penatalaksanaan sirosis hati

11
Penatalaksanaan Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein 1 g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. 2 Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya: alkohol dan bahan- bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. 2 Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. 2 Pada hemokromatosis, flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan. 2 Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. 2 Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa

Upload: ian-leonard

Post on 10-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

internaHepatobilier

TRANSCRIPT

PenatalaksanaanEtiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein 1 g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.2 Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.2Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif.2Pada hemokromatosis, flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.2Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.2Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MlU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.2 Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MlU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.2Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis, Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.2Pengobatan Sirosis DekompensataAsites; tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol / hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.2Ensefalopati hepatik; laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.2Varises esofagus; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.2 Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.2Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air.2Transplantasi hati; terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.2Sirosis LaennecSirosis dan hepatitis alkoholik merupakan penyakit serius yang memerlukan pengawasan medis dan.penatalaksanaan cermat jangka panjang. Terapi penyakit hati yang mendasari umumnya bersifat suportif. Terapi spesifik ditujukan kepada komplikasi tertentu misalnya perdarahan varises dan asites. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa pemberian prednison atau prednisolon dengan dosis sedang dapat membantu pada pasien hepatitis alkoholik yang berat dan ensefalopati. Namun, penggunaan glukokortikoid pada hepatitis alkoholik masih diperdebatkan dan sebaiknya dicadangkan untuk pasien yang penyakitnya parah. Walaupun sejumlah penelitian menyarankan penggunaan propiltiourasil pada penatalaksanaan hepatitis alkoholik akut, cara kerja obat tersebut masih belurn diketahui, dan efektivitasnya belum benar-benar dipastikan. Yang lebih baru, pada satu penelitian jangka panjang diperlihatkan bahwa terapi pemeliharaan dengan kolkisin (0,6 mg per oral dua kali sehari) dapat memperlambat perkembangan penyakit dan memperpanjang usia pasien penyakit hati alkoholik. Obat lain, misalnya penisilamin dan infus intravena insulin dan glukagon pernah digunakan secara eksperimental, tetapi efektivitas dan keamanannya belum dipastikan.4 Pada ketiadaan tanda koma hepatik yang akan datang, pasien sebaiknya dianjurkan melakukan diet yang mengandung paling sedikit 1 g protein per kilogram berat badan dan 8.500-12.500 kJ (2000 sampai 3000 kkal) per hari. Penggunaan diet yang diperkaya asam amino rantai-cabang dianjurkan.pada pasien yang diprediposisi ensefalopati hati, tetapi diet yang berharga ini pada pasien dengan sirosis terkompensasi tidak terbukti. Tambahan multivitamin setiap hari sebaiknya diresepkan, dengan tambahan dosis tiamin parenteral yang besar pada pasien dengan penyakit Weruicke-Korsakoff. Pasien tersebut sebaiknya disadarkan bahwa tidak ada obat yang akan melindungi hati terhadap efek pencernaan alkohol lebih lanjut. Oleh karena itu, alkohol sebaiknya sama sekali dihindari. Komponen perawatan lengkap yang penting dari pasien seperti itu didesak untuk menjadi terlibat dalam program penyuluhan alkohol yang tepat.4 Pada pasien sirosis semua obat harus diberikan dengan hati-hati, terutama obat yang dikeluarkan atau dimodifikasi melalui metabolisme hati atau jalur empedu. Harus dihindari pemakaian obat berlebihan yang dapat secara langsung atau tidak langsung mencetuskan komplikasi sirosis. Misalnya, pengobatan asites yang berlebihan dengan diuretik dapat menimbulkan gangguan elektrolit atau hipovolemia, yang dapat menimbulkan koma. Demikian juga, sedatif dosis rendah pun dapat memperparah ensefalopati.4Sirosis PascanekrotikPenatalaksanaan biasanya terbatas pada pengobatan untuk komplikasi hipertensi portal, termasuk mengatasi asites, menghindari obat atau masukan protein berlebihan yang dapat mencetuskan koma hepatikum, dan pemberian terapi segera bila terjadi infeksi. Pada pasien sirosis asimtomatik, penatalaksanaan yang bersifat menunggu saja cukup. Pada pasien yang telah mengalami sirosis pascanekrosis akibat penyakit yang dapat diobati, terapi yang ditujukan kepada penyakit primer dapat menghambat perkembangan penyakit (misal penyakit Wilson, hemokromatosis).4Sirosis BiliarisTidak terdapat terapi spesifik untuk sirosis biliaris primer. Glukokortikoid tidak efektif dan bahkan dapat memperparah kelainan tulang. D-Penisilamin pernah dicoba karena kemampuannya mengikat tembaga dan karena kemungkinan sifat antifibrotik dan imunomodulatornya. Namun, obat ini tampaknya tidak efektif dan menyebabkan banyak insidensi efek samping. Sebagian menyarankan bahwa pemberian azatioprin mungkin dapat memperlambat perkembangan penyakit, tetapi hal ini belum dibuktikan. Kolkisin diperlihatkan memiliki efektivitas terbatas dalam memperlambat perkembangan penyakit pada pasien simtomatik dan harus dicoba (dosis 0,6 mg per oral dua kali sehari) kecuali bila ada keluhan gastrointestinalis. Pemberian metotreksat dosis rendah dilaporkan dapat memperlambat atau membalikkan proses perkembangan sirosis biliaris primer. Diperlukan uji klinis terkontrol untuk memastikan peran obat ini dalam penatalaksanaan sirosis biliaris primer. Siklosporin pernah dianjurkan untuk memperlambat perkembangan penyakit pada sebuah penelitian yang relatif kecil. Namun, keuntungan terapi ini harus dibandingkan dengan nefrotoksisitas yang relatif sering terjadi sebelum obat ini dianjurkan untuk kelainan yang akan menetap seumur hidup ini. Baru-baru ini, terapi ursodiol (13 sampai 15 mg/kg per hari) juga dilaporkan menghasilkan perbaikan simtomatik dan perbaikan dalam penanda-penanda biokimiawi serum pada pasien sirosis biliaris primer. Mekanisme kerja asam ursodeoksikolat dalam mencapai hasil ini belum jelas. Sementara menunggu konfirmasi lebih lanjut, obat ini umumnya aman dan ditoleransi baik.4 Pengobatan biasanya ditujukan untuk menghilangkan gejala. Walaupun mekanisme pruritus tidak seluruhnya jelas, kolestiramin, suatu resin oral untuk sekuestrasi garam empedu, dengan dosis 8 sampai 12 g/hari dapat digunakan untuk menurunkan pruritus dan hiperkolesterolemia. Steatore dapat dikurangi dengan diet rendah lemak dan mengganti trigliserida rantai panjang dalam diet dengan trigliserida rantai-sedang. Vitamin A dan K yang larut lemak harus diberikan secara parenteral dan teratur masing-masing untuk mencegah atau memperbaiki buta senja dan hipoprotrombinemia. Suplemen Zn mungkin diperlukan untuk mengatasi buta senja bila refrakter terhadap vitamin A. Osteomalasia dan osteoporosis dapat diatasi dengan suplemen kalsium bersama vitamin D oral. Pada penyakit tahap lanjut, lebih baik digunakan 25 (OH)D3 atau 1 ,25(OH2)D3 daripada vitamin D, karena gangguan fungsi hati dapat mengurangi konversi vitamin D menjadi metabolit aktif. Perkembangan sirosis biliaris primer menimbulkan komplikasi yang lazim dijumpai pada penyakit hati tahap lanjut.4Penatalaksanaan asites, perdarahan varises, dan ensefalopati juga dilakukan. Selama beberapa dekade terakhir, telah dibuktikan bahwa transplantasi hati ortotopik merupakan pengobatan yang sangat efektif bagi pasien sirosis biliaris primer. Analisis berjenjang terhadap pasien dengan beragam derajat risiko menggunakan model prognostik telah memperlihatkan adanya peningkatan kesintasan pada semua pasien. Bila tersedia, transplantasi hati merupakan pengobatan pilihan bagi sirosis biliaris primer tahap lanjut.4Pembebasan obstruksi aliran empedu, baik dengan pembedahan maupun cara endoskopis, adalah langkah yang paling penting dalam pencegahan dan terapi sirosis biliaris sekunder. Dekompresi saluran empedu yang efektif menyebabkan perkembangan gejala dan ketahanan hidup yang mencolok, bahkan pada pasien dengan sirosis yang ditetapkan. Bila obstruksi tidak dapat dibebaskan, seperti pada kolangitis sklerosis, antibiotic mungkin membantu secara akut dalam mengendalikan infeksi yang melapisi atau bila diberikan atas dasar kronik, seperti terapi profilaksis pada penekanan episode kolangitis asendens yang berulang. Tanpa pembebasan obstruksi, terdapat progresi yang terus menerus terhadap sirosis stadium akhir dan manifestasi terminalnya.4Komplikasi Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.2Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.2 Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.2 Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. Dua puluh sampai 40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua pertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.2Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.2 Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.2PrognosisPrognosis sirosis hati sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyait lain yang menyertai. Klasifikasi Child Pugh, juga dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi. Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease (MELD) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.2

Daftar Pustaka1. Lindseth GN. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam: Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 1. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2006.h.472-7; 493-7.2. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.668-72.3. David CW. Cirrhosis. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm. Accessed on September 11, 2012.4. Podolsky DK, Isselbacher KJ. Penyakit hati ynag berkaitan dengan alcohol dan sirosis. Dalam: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editor. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: EGC, 2000.h.1665-71.5. Sutadi SM. Sirosis hepatis. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf. Accessed on September 12, 2012.Jeffrey AG. Cirrhosis. Available from: http://www.emedinehealth.com/cirrhosis/article.htm. Accessed on September 11, 2012