sirosis hati done

Upload: agnes-niy

Post on 10-Jan-2016

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

A

TRANSCRIPT

Sirosis Hati

Sirosis Hati et causa Hepatitis B Dessy Christina [email protected] Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk Jakarta Barat 11510Telp. (021) 56942061. Fax (021) 5631731PendahuluanDi Negara maju sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar komplikasi yang paling sering terjadi adalah asites, terlihat pada 39,1% pasien sirosis, dan ensefalopati hati 21,7%, kanker sel hati (hepatocellular carcinoma/HCC) terjadi pada 13%. penelitian lain juga mencatat hematemesis melena merupakan salah satu komplikasi yang dapat menyebabkan kematian paling banyak pada penderita sirosis hepatis. Hematemesis melena pada sirosis hepatis termasuk penyakit gawat darurat yang memerlukan tindakan medik intensif yang segera di rumah- sakit/puskesmas karena angka kematiannya yang tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus yang dahulu berkisar antara 40 -85%. Di Indonesia prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Sirosis hepatis sebagian besar disebabkan oleh hepatitis penderitanya juga tidak pernah berkurang terutama dari pengamatan di RSDM Surakarta sejak tahun 2001-2003. Sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki- laki dibanding kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1. Hasil penelitian di RSDM menunjukkan pada pasien sirosis, kelompok umur 51-60 tahun merupakan kelompok umur yang terbanyak.1,2

Anamnesis

Anamnesis memain peran yang sangat penting dalam mendiagnosis sesuatu penyakit. Yang ditanyakan pada anamnesis meliputi identitas pasien, keluhan pasien, riwayat penyakit yang diderita dan sebagainya. Berikut adalah sistematika dari anamnesis:

Identitas pasien

Nama pasien

Jenis kelamin

Pekerjaan

Pendidikan

Agama

Status pernikahan

Tanggal lahirKeluhan dan riwayat penyakit

Keluhan utama adalah keluhan yang membawa pasien ke dokter. Keluhan tambahan yaitu keluhan-keluhan yang lain disamping keluhan utama. Riwayat penyakit sekarang adalah penjabaran dari keluhan utama. Riwayat penyakit dahulu terutama yang berkaitan dengan keluhan/penyakit yang diderita saat ini. Riwayat penyakit keluarga untuk menandai adanya faktor herediter atau penularan.

Pada kasus ini, yang harus ditanyakan adalah riwayat penyakit hepatitis, riwayat konsumsi alkohol, riwayat pemakaian obat NSAID, anti reumatoid, anti tuberkulosis, atau obat kemoterapi. Selain itu, harus ditanyakan apakah pasien merupakan petugas kesehatan yang mudah terpapar dengan darah, atau pasien hemodialisis. Perlu ditanyakan juga apakah sering berganti pasangan karena mungkin didapatkan virus dari hubungan seksual.

Pemeriksaan fisik

Pada pasien dengan sirosis hepatis, pemeriksaan fisik yang dilakukan akan memberikan hasil-hasil seperti berikut:3Spider telangiektasi

Suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil. Sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas.

Eritema palmaris

Warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Sering dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen, dan tidak spesifik untuk sirosis hati.

Hepatomegali

Ukuran hati yang sirosis bisa membesar, normal, ataupun mengecil. Sekiranya hati teraba, hati yang tekah sirosis akan teraba keras dan nodular.

Splenomegali

Pembesaran lien sering ditemukan pada sirosis hati non-alkoholik, disebabkan oleh hipertensi porta.

Asites

Penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi portra dan hipoalbuminemia. Turut ditemukan edema pada tungkai.

Ikterus

Hiperbilirubinemia sering didapatkan pada sirosis stadium lanjut, ditandai dengan ikterus pada kulit dan membran mukosa.

Selain dari yang disebutkan di atas, didapatkan juga demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar, batu pada vesika felea akibat hemolisis, dan pembesaran kelenjar parotis, terutama pada sirosis alkoholik.

Pemeriksaan penunjang

Gambaran Laboratoris

Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrinning untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin.11. Laboratorium

Darah pada penderita sirosis hati dapat ditemukan Hb yang rendah, anemia (normokrom normositer, hipokrom mikrositer, hipokrom makrositer). Anemia diduga akibat hipersplenisme dengan leukopenia dan trombositopenia. Pemeriksaan kolesterol dilakukan oleh karena kolesterol darah yang rendah mempunyai prognosis yang kurang baik. Kenaikan kadar enzim transaminase (SGOT, SGPT): aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tetapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat dari ALT, namun bila transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.

Alkali fosfatase (ALP) meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali harga batas normal atas.

Peningkatan gamma-glutamil transpeptidase (GGT), GGT kadarnya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik. Boleh karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.

Bilirubin kadarnya bisa normal pada sirosis hati kompensata dan meningkat pada sirosis yang lanjut.

Albumin: albumin diproduksi di hati dan kadarnya akan menurun sesuai dengan perburukan sirosis.

Globulin: kadarnya meningkat pada sirosis, terjadi oleh karena adanya pintasan antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid yang selanjutnya menginduksi produksi immunoglobulin.

Waktu protrombin: mencerminkan derajat disfungsi sel hati, dan akan memanjang pada sirosis.

Natrium serum akan menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.

Gula darah: kadar gula darah pada sirosis akan meningkat oleh karena kemampuan hati membentuk glikogen berkurang. 12. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HbsAg dan HbcAg, dan bila mungkin HBV DNA, HCV RNA adalah penting dalam menentukan etiologi sirosis hati. Pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam menetukan apakah telah terjadi transformasi kearah keganasan. Nilai AFP yang terus naik (>500-1000) mempunyai nilai diagnostik untuk suatu hepatoma / kanker hati primer. 43. Pemeriksaan Penunjang Lainnya.

Biopsi hati .

Diagnosis pasti sirosis hati dapat ditegakkan secara mikroskopis dengan melakukan biopsi hati. Dapat dilakukan dengan cara biopsi hati perkutaneus atau biopsi terarah sambil melakukan peritoneoskopi. Biopsi sulit dikerjakan dalam keadaan asites yang banyak dan hati yang mengecil.5,6 USG Abdomen

Pada saat ini pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaan rutin penyakit hati. Yang dilihat Pada USG antara lain tepi hati, permukaan, pembesaran, homogenitas, asites, splenomegali, gambaran vena hepatika, vena porta, pelebaran saluran empedu, daerah hipo atau hiperekoik atau adanya SOL (Space Occupying Lesion). Sonografi dapat mendukung obstruktif batu kandung empedu dan saluran empedu.

Esofagoskopi

Dengan Esofagoskopi dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal. Kelebihan endoskopi ialah dapat melihat langsung sumber perdarahan varises esofagus, tanda-tanda yang mengarah akan kemungkinan terjadinya perdarahan (red color sign) berupa cherry red spot, red whale marking, kemungkinan perdarahan yang lebih besar akan terjadi bila dijumpai tanda diffus redness. Selain tanda tersebut dapat dievaluasi besar dan panjang varises serta kemungkinan perdarahan yang lebih besar.

Sidikan Hati

Radionukleid yang disuntikkan secara intravena akan diambil parenkim hati, sel retikuloendotel dan limpa. Bisa dilihat besar dan bentuk hati, limpa, kelainan tumor hati, kista, filling defek. Pada sirosis hati dan kelainan difus parenkim terlihat pengambilan radio nukleid hati secara bertumpuk-tumpuk (patchy) dan difus.64. Pemeriksaan Cairan Asites

Dilakukan dengan pungsi asites. Melalui pungsi asites dapat dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis bakterial spontan), sel tumor, perdarahan dan eksudat. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap cairan pungsi antara lain pemeriksaan mikroskopis; kultur cairan, dan pemeriksaan kadar protein, amilase dan lipase. 1,7Differential diagnosis

1. Hepatitis viral

Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. Hepa berarti hati, sementara itis berarti radang. Radang hati hepatitis mempunyai beberapa penyebab, antaranya adalah mikroorganisme, termasuk virus; racun dan zat kimia seperti alkohol berlebihan; dan penyakit yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat dalam tubuh, yang disebut sebagai penyakit autoimun.Agen penyebab hepatitis viral diklasifikasikan ke dalam dua grup yaitu hepatitis dengan transmisi secara enterik dan transmisi melalui darah. Transmisi secara enterik terdiri atas virus hepatitis A (HAV) dan virus hepatitis E (HEV) sedangkan transmisi melalui darah terdiri dari virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis D (HDV).3Hepatitis B

Cara penularan HBV sangat mirip dengan HIV. HBV terdapat dalam darah, air mani, dan cairan vagina, dan menular melalui hubungan seks, penggunaan alat suntik narkoba (termasuk jarum, kompor, turniket) bergantian, dan mungkin melalui penggunaan sedotan kokain.3 Perempuan hamil dengan hepatitis B juga dapat menularkan virusnya pada bayi, kemungkinan besar saat melahirkan. Jumlah virus (viral load) hepatitis B dalam darah jauh lebih tinggi daripada HIV atau virus hepatitis C, jadi HBV jauh lebih mudah menular dalam keadaan tertentu (misalnya dari ibu-ke-bayi saat melahirkan).

Seperti hepatitis A, hepatitis B dapat menyebabkan hepatitis akut bergejala. Tetapi berbeda dengan hepatitis A, hepatitis B dapat menjadi infeksi kronis (menahun). Ini berarti bahwa sistem kekebalan tubuh tidak mampu memberantas virus dalam enam bulan setelah terinfeksi. Dengan kata lain, virus tersebut terus berkembang dalam hati selama beberapa bulan atau tahun setelah terinfeksi. Hal ini meningkatkan risiko kerusakan hati dan kanker hati. Lagi pula, seseorang dengan HBV kronis dapat menularkan orang lain. Kurang dari 10 persen orang dewasa yang terinfeksi HBV mengalami infeksi HBV kronis. Sebaliknya, kurang lebih 90 persen bayi yang terinfeksi HBV saat lahir mengalami infeksi HBV kronis.1,3 Ada obat yang dapat diberikan pada bayi setelah lahir untuk membantu mencegah hepatitis B. Anak muda yang terinfeksi HBV mempunyai risiko 25-50 persen mengalami hepatitis B kronis.8Pada orang dewasa, kemungkinan menjadi HBV kronis tergantung pada sistem kekebalan tubuhnya. Misalnya, orang dengan sistem kekebalan yang lemah karena pencangkokan organ, melakukan cuci darah karena masalah ginjal, menjalankan kemoterapi, menerima terapi steroid untuk menekan sistem kekebalan, atau akibat infeksi HIV lebih mungkin menjadi HBV kronis dibandingkan dengan orang dengan sistem kekebalan yang sehat.

Hepatitis B didiagnosis dengan tes darah yang mencari antigen (pecahan virus hepatitis B) tertentu dan antibodi (yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh sebagai reaksi terhadap HBV). Tes darah awal untuk diagnosis infeksi HBV mencari satu antigen HBsAg (antigen permukaan, atau surface, hepatitis B) dan dua antibodi anti-HBs (antibodi terhadap antigen permukaan HBV) dan anti-HBc (antibodi terhadap antigen bagian inti, atau core HBV).

Tabel 1. Interpretasi Tes Serologi HBV

HBsAgAnti-HBsAnti-HBcIgM anti-HBcHBeAgHBV-DNA

AKUT+++++

KRONIK++/++/+

VAKSIN+

SEMBUH++

2. Karsinoma hati atau hepatoma Kanker hati (hepatocellular carcinoma) adalah suatu kanker yang timbul dari hati. Ia juga dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Hati terbentuk dari tipe-tipe sel yang berbeda (contohnya, pembuluh-pembuluh empedu, pembuluh- pembuluh darah, dan sel-sel penyimpan lemak). Bagaimanapun, sel-sel hati (hepatocytes) membentuk sampai 80% dari jaringan hati. Jadi, mayoritas dari kanker- kanker hati primer (lebih dari 90 sampai 95%) timbul dari sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular (hepatocellular cancer) atau karsinoma.6

Merupakan komplikasi lanjut dari sirosis hati, dapat dipertimbangkan apabila ukuran hepar membesar, asites dan nyeri abdomen, BB menurun,AFP meningkat, atau nodul hepatik pada

USG atau CTscan abdomen.Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan atau tanpa bruit hepatik, plenomegali, asites, ikterus, demam, dan atrofi otot. Pasien hepatoma juga banyak yang mengalami asites hemoragik, hiperkolestrolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tidak adanya kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma.

Pemeriksaan penunjang:

Penanda tumor

Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal tang disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60% sampai 70% dari pasien hepatoma, dan kadar lebih tinggi dari 400 ng/mL adalah diagnostik atau sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal dapat ditemukkan juga pada HCC stadium lanjut. Hasil positif palsu juga dapat ditemukan oleh hepatitis aku atau kronik dan pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada pasien HCC, namun juga dapat meningjat pada defisiensi vitamin K, hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lagi penanda HCC, seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa L-fucosidase serum, dll tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesifisitas melebihi AFP, AFP-L3, dan PIVKA-2.

Ultrasonografi abdomen

Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hti dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada pasien dengan resiko tinggi USG lebih sensitif daripada AFP serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70% hingga 80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran mosaik, formasi septum, bagian perifer sonoluse (ber-halo) (lihat gambar 3), bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior. Berbeda dari tumor metastasis, HCC dengan diameter kurang dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor hepatik lain. Tumor yang berada dibagian atas-belakang lobus kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik.

Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi kadang diperlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena beberapa kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostik yang paling populer dan bermanfaat.

Gejala klinis

Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, dan banyak tanpa keluhan. Lebih dari 75% tidak memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang besar sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa. Keluhan utama yang sering adalah keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun ada rasa bengkak di perut kanan atas dan nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan rasa lemas. Keluhan lain terjadinya perut membesar karenaascit es (penimbunan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-lain.1Stadium penyakit

Stadium I : Satu fokal tumor berdiameter < 3cm yang terbatas hanya pada salah satu segment tetapi bukan di segment I hati

Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segement I atau multi-fokal terbatas pada lobus kanan/kiri

Stadium III: Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atas ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (billiary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.

Stadium IV: Multi-fokal ataudiffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati.

atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati(intra hepaticvaskuler) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)

atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati(extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)

atau vena cava inferior

atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).Karsinoma hepatoseluler (KHS) atau hepatoma adalah suatu tumor ganas primer pada hati yang paling sering ditemukan. Faktor risiko KHS adalah infeksi hepatitis B, infeksi hepatitis C, alkohol, aflatoxin B1, obat-obat terlarang dan sirosis. Gejala klinis KHS adalah sakit perut, rasa penuh, bengkak di perut kanan, nafsu makan berkurang dan rasa lemas. Diagnosis KHS ditegakkan bila ditemui dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima dari PPHI. Pemeriksaan KHS terdiri dari laboratorium, biopsi, radiologi imaging berupa USG, CT Scan, MRI, dan PET. Pengobatan KHS meliputi tindakan bedah hati digabung dengan tindakan radiologi, tindakan non bedah hati dan transplantasi hati.

Working diagnosis

Pada stadium kompensasi sempurna kadang kadang sangat sulit menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia atau serologi dan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis, laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.

Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan tanda tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi. Diagnosis pada penderita suspek sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan dari kumpulan gejala yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisis sudah cukup mengarahkan kita pada diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen dan tes-tes laboratorium dapat membantu .

Pada pemeriksaan fisik, kita dapat menemukan adanya pembesaran hati dan terasa keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave. Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider telangiekstasis (Suatu lesi vaskular ang dikelilingi vena-vena kecil), eritema palmaris (warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan), caput medusa, foetor hepatikum (bau yang khas pada penderita sirosis), dan ikterus

Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, Fungsi hati kita dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, serum albumin, prothrombin time, dan bilirubin. Serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi dan juga tidak spesifik.

Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis.

Dari diagnosis sirosis ini kita dapat menilai derajat beratnya sirosis dengan menggunakan klasifikasi Child Pugh. 1,4,6Tabel 2. Klasifikasi Child Pugh1Derajat KerusakanMinimalSedangBeratSatuan

Bilirubin (total)50 (>3)mol/l (mg/dL)

Serum albumin>3530-35 3mm) atau mikronodular (besar nodul < 3mm) atau campuran mikro dan makronodular.3Penyebab dari sirosis dapat dilihat pada tabel 1.9

Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi sirosis alkoholik, sirosis akibat hepatitis virus kronis (post-nekrotik), sirosis biliaris, dan sirosis karena penyebab lain yang lebih jarang seperti sirosis kardiak dan sirosis kriptogenik.3Epidemiologi

Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr.Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4.1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004, tidak dipublikasi). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) dari seluruh pasien di bagian penyakit dalam. 31. Patofisiologi

2. Sirosis alkoholik/Sirosis Lannec

Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit hati kronis, termasuk perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik. Lebih parah, konsumsi alkohol yang berlebihan dapat berperan pada kerusakan hati pada pasien dengan kerusakan hati yang lain seperti hepatitis C, hemokromatosis, dan pasien yang mengalami perlemakan hati karena obesitas. Konsumsi alkohol secara kronis dapat menyebabkan fibrosis dimana ketiadaan proses perbaikan yang mendampingi inflamasi dan atau nekrosis. Ketika fibrosis telah mencapai derajat tertentu, terjadi gangguan pada arsitektur normal hati dan penggantian sel hati oleh nodul regeneratif. Pada sirosis alkoholik, diameter ukuran nodul biasanya < 3mm, sehingga disebut mikronodular.

Perlemakan hati, akumulasi droplet trigliserid pada hati, adalah respon yang paling sering dan paling awal dari penggunaan alkohol yang berlebihan (lebih dari 120-150 g/hari selama 2-3 minggu), dan studi klasik menunjukkan bahwa abstinensia selama 4 minggu merupakan solusinya. Sintesis asam lemak dan trigliserid yang berlebihan dari kemampuan untuk mengoksidasinya atau mengeluarkannya bersama partikel lipoprotein menyebabkan steatosis hepatitis.

Etanol umumnya diabsorpsi di usus halus, dan sedikit di lambung. Gastric alkohol dehidrogenase (ADH) memulai metabolismee alkohol. Ada 3 sistem enzim berperan pada metabolismee alkohol di hati, yaitu ADH sitosolik, microsomal-oxidizing system (MEOS), dan katalase peroksimal. Oksidasi etanol mayoritas terjadi dengan bantuan ADH di sitosol membentuk asetaldehid, molekul sangat reaktif yang mempunyai banyak efek multiple, dan NADH.9 Peningkatan rasio NADH sitosolik dan mitokondrial menyebabkan terjadinya kompetisi dengan substrat lain di rantai pernafasan sehingga menurunkan aktivitas siklus asam sitrat, yang akhirnya menghambat oksidasi lemak. Penghambatan oksidasi asam lemak ini meningkatkan esterifikasi asam lemak menjadi triasilgliserol (TG), menghasilkan perlemakan hati.7 Kemudian, asetaldehid masuk ke mitokondria dan dimetabolismee menjadi asetat oleh aldehid dehidrogenase (ALDH). .Peningkatan konsumsi alkohol menyebabkan akumulasi trigliserid intraselular karena peningkatan uptake asam lemak dan penurunan oksidasi asam lemak dan sekresi lipoprotein. Sintesis protein, glikosilasi, dan sekresi tidak seimbang. Kerusakan oksidatif pada membrane hepatosit terjadi karena pembentukan senyawa reaktif oksigen, asetaldehid adalah molekul yang sangat reaktif yang berikatan dengan protein membentuk protein-acetaldehid adducts. Adducts ini dapat bergabung dengan aktivitas enzim spesifik, termasuk pembentukan mikrotubular dan penangkapan protein hati. Bersama asetaldehid yang memediasi kerusakan hepatosit, senyawa reaktif oksigen tertentu dapat menyebabkan aktivasi sel Kupffer. Sebagai hasilnya, sitokin profibrogenik diproduksi dan menginisiasi dan mengabadikan aktivasi sel stelata, yang menghasilkan produksi kolagen dan matriks ekstraselular yang berlebihan.9Jaringan ikat muncul di daerah periportal dan perisentral dan akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis membentuk nodul regeneratif. Nodul biasanya kecil, berukuran 1-3 mm dan ukurannya serupa.10,11 Etanol menekan regenerasi sel hati, sehingga abstinensia (tidak menggunakan alkohol) menyebabkan nodul regenerasi menjadi semakin meningkat , menghasilkan campuran mikro/makronodular atau sirosis makronodular.11Terjadi kehilangan hepatosit, dan bersama peningkatan produksi dan deposisi kolagen dan destruksi hepatosit yang terus menerus, hati berkontraksi dan menyusut. Proses ini memerlukan waktu tahunan sampai dekade.93. Sirosis post-nekrotik (akibat virus hepatitis B atau C)

Dari pasien yang terpajan virus hepatitis C (HCV), hampir 80% berkembang menjadi hepatitis C kronis, dan sekitar 20-80% menjadi sirosis dalam waktu 20-30 tahun. Kebanyakan dari pasien ini juga mengonsumsi alkohol, dan insiden murni dari dari sirosis karena hepatitis C belum diketahui. Virus hepatitis C adalah virus non-sitopatik, dan kerusakan hati kemungkinan karena dimediasi oleh imun.

Progresi penyakit hati karena hepatitis C kronis dilihat dari adanya fibrosis di daerah portal dengan bridging fibrosis dan pembentukan nodul, dan akhirnya memuncak pada sirosis. Hati menjadi kecil dan mengerut disertai campuran sirosis mikro dan makronodul yang terlihat pada biopsi hati. Selain terlihat peningkatan fibrosis, juga ditemukan infiltrat inflamasi di daerah portal bersama dan kadang-kadang terdapat cedera lobular hepatoselular dan inflamasi. Pada pasien dengan HCV genotip 3, sering terjadi steatosis.

Temuan yang sama didapatkan pada pasien dengan hepatitis B kronis. Dari pasien yang terekspos hepatitis B, 5% berkembang menjadi hepatitis B kronis, dan kira-kira 20% menjadi sirosis. HbsAg dan HbcAg akan positif, dan dapat ditemukan ground glass hepatosit yang menunjukkan adanya HbsAg .

4. Sirosis karena hepatitis autoimun dan perlemakan non-alkoholik

Penyebab lain dari sirosis post-nekrotik meliputi hepatitis autoimun dan sirosis karena steatohepatitis non alkoholik. Banyak pasien dengan hepatitis autoimun muncul bersama dengan sirosis yang sudah ada. Secara khas, pasien ini tidak responsif terhadap terapi imunosupresif seperti glukokortikoid atau azatioprin. Pada situasi ini, biopsi hati tidak menunjukkan infiltrat inflamasi yang signifikan. Diagnosis kasus ini membutuhkan marker autoimun yang positif seperti antinuclear antibody (ANA) atau antismooth-muscle antibody (ASMA). Ketika pasien dengan hepatitis autoimun bersama dengan sirosis dan inflamasi aktif, disertai peningkatan enzim hati, dapat dipikirkan penggunaan terapi imunosupresif.

Dari hasil penelitian, ditemukan peningkatan pasien dengan steatohepatitis non alkoholik akan berkembang menjadi sirosis. Karena banyaknya kasus obesitas sekarang ini, semakin banyak pasien yang diidentifikasi memiliki perlemakan hati non-alkoholik. Dari sejumlah pasien ini, sejumlah orang mempunyai steatohepatitis non alkoholik dan dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis.

Selama beberapa tahun yang lalu, ditemukan peningakatan bahwa pasien yang didiagnosis menderita sirosis kriptogenik pada dasarnya memiliki setatohepatitis non alkoholik.6 Pada pemerikasaan biopsi ditemukan peradangan campuran di parenkim hati berisi neutrofil dan sel mononukleus, hepatosit yang mengandung hialin Malory.115. Sirosis biliaris

Sirosis biliaris mempunyai gamabran patologis yang berbeda dari sirosis alkoholik arau sirosis post-hepatitis, walaupun manifestasi akhirnya pada penyakit hari sama. Penyebab utama dari sindrom kolestasis kronis adalah sirosis biliaris primer, kolangitis autoimun, kolangitis sklerosing primer, dan idiopatik ductopenia dewasa.

a. Sirosis biliaris primer

Sirosis biliaris primer terdapat pada 100-200 individu tiap juta, dengan lebih banyak pada wanita dan usia pertengahan sekitar 50 tahunan ketika didiagnosis. Penyebabnya belum diketahui, gambarannya adalah inflamasi portal dan nekrosis kolangiosit pada duktus biliaris. Gambaran kolestatis dan sirosis biliaris ditandai dengan peningkatan level bilirubin dan kegagalan hati yang progresif.

Transplantasi hati adalah terapi piluhan untuk pasien dengan sirosis dekompensata karena sirosis biliaris primer. Dari banyak pilihan terapi, baru asam ursodeoksikolat yang diterima karena memperlambat progresi penyakit.

Antimitokondrial antibodi (AMA) positif pada 90% pasien dengan sirosis bilier primer. Autoantibodi ini mengenali protein membrane intermitokondrial yang mengandung enzim piruvat dehydrogenase complex (PDC), rantai cabang 2-oxacoid dehydrogenase complex, dan 2-oxogluterate dehydrogenase complex. Autoantibodi ini tidak patogenik, tapi merupakan marker yang berguna untuk pembuatan diagnosis.

b. Kolangitis sklerosing primer

Seperti pada sirosis biliaris primer, penyebab dari kolangitis sklerosing primer juga belum diketahui. Kolangitis sklerosing primer merupakan sindrom kolestasis kronis yang ditandai dengan inflamasi yang difus dan fibrosis duktus biliaris. Proses patologis ini menghasilkan obliterasi kedua duktus biliaris, intra dan ekstrahepatik, sehingga menyebabkan sirosis biliaris, hipertensi portal, dan gagal hati. Penyebab utamanya belum pasti, namun diduga terkait infeksi bakteri dan virus, toksin, predisposisi genetik, dan mekanisme imunologik.

Perubahan patologis dapat terjadi pada kolangitis sklerosing primer yang menunjukkan proliferasi seperti ductopenia dan kolangitis fibrosa (perikolangitis). Seringkali, perubahan biopsi liver tidak patognomonik dan diagnosis kolangitis sklerosis primer harus mencakup visualisasi (imaging) duktus biliaris. Fibrosis periductal kadang-kadang terlihat pada spesimen biopsi dan dapat membantu dalam membuat diagnosis. Selama penyakit berlangsung, sirosis biliaris adalah manifestasi tahap akhir dari kolangitis sklerosing primer.96. Sirosis kardiak

Pasien dengan gagal jantung kanan dalam waktu lama dapat berkembang menjadi cedera hati kronis dan sirosis kardiak. Pada gagal jantung kanan dalam waktu lama, terdapat peningkatan tekanan vena melalui vena cava inferior dan vena hepatika, ke sinusoid-sinusoid hati, yang menjadi dilatasi dan terisi oleh darah. Hati menjadi membesar dan bengkak, dan pada kongesti pasif dalam waktu lama, dan relatif ischemia karena sirkualsi yang tidak baik, hepatosit sentrolobuler dapat menjadi nekrosis, menuju ke fibrosis perisentral. Pola fibrosis ini dapat meluas ke perifer sampai terjadinya sirosis.

Gejala klinisnya, pasien bisanya memiliki gagal jantung karena kongesti dan pembesaran hati. Terjadi peningkatan level ALP, dan peningkatan AST lebih tinggi dari ALT.9Manifestasti KlinisPasien dapat asimptomatik atau muncul dengan gejala konstitusional yang tidak spesifik, atau gejala gagal hati, komplikasi hipertensi portal, atau keduanya.

Gejala yang tidak spesifik seperti kelelahan, mual, muntah, anoreksia, perubahan pola tidur, perubahan libido, nyeri perut, dan malaise.12Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat 2 tipe gangguan fisiologis: gagal hepatoselular dan hipertensi portal.

1. Manifestasi gagal hepatoselular

Terjadi ikterus pada 60% penderita dan biasanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis karena hormon korteks adrenal, testis, dan ovarium diinaktivasi di hati, sehingga terjadi peningkatan hormon-hormon tersebut dalam tubuh. Akibatnya, terjadi spider naevi pada kulit, atrofi testis, ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, dan eritema palmaris, karena kelebihan estrogen dalam sirkulasi.

Gangguan hematologik yang seing terjadi antara lain kecenderungan perdarahan karena masa proterombin memanjang akibat kurangnya sintesis faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leucopenia, dan trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar (splenomegali), tapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi sehingga dapat terjadi pansitopenia. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah defisiensi folat, vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit.

Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan terjadi karena hipoalbuminemia dan retensi daram dan air akibat kegagalan hati menginaktifkan aldosteron dan hormon antidiuretik. Fetor hepatikum (bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita, terutama koma hepatikum) terjadi karena ketidakmampuan hati dalam memetabolisme metionin.

Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatik atau koma hepatikum, akibat kelebihan ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin. Berkembangnya ensefalopati hepatik sering merupakan keadaan terminal sirosis.132. Manifestasi hipertensi portal

Hipertensi portal secara langsung menyebabkan 2 komplikasi utama dari sirosis, yaitu perdarahan varises dan asites. Selain itu, hipertensi portal juga menyebabkan splenomegali dan hipersplenisme.

Hipertensi portal didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan vena porta hepatika > 5 mmHg. Keadaan ini disebabkan oleh kombinasi 2 proses hemodinamik yang berlangsung terus menerus, yaitu:

1. Peningkatan resistensi intrahepatik terhadap pasase aliran darah melewati hati karena adanya sirosis dan nodul regeneratif, dan

2. Peningkatan sekunder aliran darah splanknikus karena vasodilatasi dari pembuluh darah splanknikus.9,13Kombinasi kedua faktor ini menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal yang akhirnya merangsang timbulnya aliran kolateral untuk menghindari obstruksi hepatik sehingga terjadi varises. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada esofagus bagian bawah sehingga terjadi varises esofagus. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian. Selain itu, sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding abdomen, sehingga mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus (caput medusae). Sistem vena rectal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid interna. Namun perdarahan dari hemoroid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di daerah ini tidak setinggi tekanan pada esofagus karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis terjadi karena kongesti pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih tinggi pada vena lienalis. Peningkatan tekanan portal juga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbunemia sehingga menyebabkan oedem dan asites.13Komplikasi

1. Perdarahan saluran cerna

Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan paling berbahaya pada sirosis adalah perdarahan dari varises esofagus yang merupakan penyebab dari sepertiga kematian. Penyebab lain perdarahan adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi gangguan ini meningkat), dan kecenderungan perdarahan akibat masa perdarahan yang memanjang dan trombositopenia. Perdarahan saluran cerna ini bermanifestasi pada hematemesis dan melena.

2. Asites

Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis hati antara lain:

1. Hipertensi portal

2. Hipoalbuminemia

3. Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati

4. Retensi natrium

5. Gangguan ekskresi air

Mekanisme primer penginduksi hipertensi portal adalah resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam jaringan pembuluh darah intestinal. Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis protein karena sel-sel hati yang terganggu akibat sirosis. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang meningkat dengan tekanan osmotik yang menurun dalam jaringan pembuluh darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya Starling. Dalam hal asites, ruang interstisial yang dimaksud adalah peritoneum. Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatik, yang dialirkan dari hari ke rongga peritoneum. Mekanisme ini dapat turut menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan asites, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan dari rongga intravaskuler ke ruang peritoneum. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air juga merupakan faktor penting dalam berlanjutnya asites karena hiperaldosteronisme sekunder.

Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan yang nyata dapat menyebabkan nafas pendek karena diafragma terdesak naik.

3. Ensefalopati hepatik (koma hepatikum)

Ensefalopati hepatik (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis.

Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikasi otak disebabkan oleh isi usus yang tidak mengalami metabolismee dalam hati, karena kerusakan sel hati akibat nekrosis atau terdapat pirau yang memungkinkan darah portal mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolit yang menyebabkan intoksikasi pada otak adalah NH3 yang merupakan hasil pemecahan protein oleh bakteri pada saluran cerna dan seharusnya diubah menjadi urea oleh hati. NH3 merupakan salah satu zat yang bersifat toksik dan diyakini dapat mengganggu metabolisme otak.

Gejala dan tanda klinis ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih bersifat reversibel. Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma biasanya dibagi dalam 4 stadium:

Stadium 1: sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, penampilan tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, tidak mampu memusatkan perhatian, tidak kooperatif, banyak tidur, sedikit letargi.

Stadium 2: perubahan perilaku yang tidak semestinya, pengendalian sfingter yang tidak dapat terus dipertahankan, kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas, perubahan sifat dan kepribadian, letargi, apraksia konstitusional (tidak dapat menulis dan menggambar dengan baik)

Stadium 3: mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan perilaku, tidur sepanjang waktu, elektroensefalogram (EEG) mulai berubah pada stadium 2 dan menjadi abnormal pada stadium 3 dan 4, prognosis fatal.

Stadium 4: koma yang tidak dapat dibangunkan, timbul refleks hiperaktif dan tanda Babinsky, adanya fetor hepatikum (merupakan tanda prognosis buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan kekacauan).134. Peritonitis bakterial spontan

Peritonitis bakterial spontan adalah komplikasi umum dan parah dari asites, ditandai dengan ainfeksi spontan pada cairan asites tanpa sumber dari intraabdomen. Translokasi bakteri adalah mekanisme yang diasumsikan pada berkembangnya peritonitis bakterial spontan, dengan flora usus yang melewati usus kemudian masuk ke nodus limfe mesenterikus, yang mengarah pada bakteremia dan masuk ke cairan asites. Organisme yang paling sering adalah Escherichia coli dan bakteri usus lain, dan dapat juga ditemukan bakteri gram positif seperti Streptococcus viridans, Staphococcus aureus, and Enterococcus sp. Jika terdapat lebih dari 2 organisme, harus dipikirkan kemungkinan peritonitis bakterial sekunder karena perforasi. Diagnosis peritonitis bakterial spontan dibuat ketika jumlah nautrofil pada cairan sampel >250/mm3.

.

5. Sindrom hepatorenal

Sindrom hepatorenal adalah bentuk dari gagal ginjal fungsional tanpa kelainan ginjal patologis yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis berat atau gagal hati akut. Adanya gangguan pada sirkulasi arteri renalis pada pasien dengan sindrom hepatorenal, yaitu peningkatan resistensi vascular (vasodilatasi splanknikus) dibarengi penurunan resistensi vaskular sistemik (vasokonstriksi sistemik) menyebakan penurunan hebat aliran darah ginjal, terutama korteks.. Alasan mengapa terjadi vasokonstriksi arteri renalis sepertinya multifaktorial dan belum dapat dipahami. Diagnosis dibuat bila ada asites masif pada pasien yang mengalami peningkatan kreatinin secara progresif. Sindrom hepatorenal tipe 1 ditandai dengan ketidakseimbangan fungsi renal yang progresif dan penurunan bersihan kreatinin yang signifikan selama 1-2 minggu. Sindrom hepatorenal tipe 2 ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) karena penurunan perfusi ginjal akibat kerusakan hati lanjut dengan peningkatan kadar serum kreatinin, namun keadaan ini lebih stabil dan diasosiasikan dengan hasil yang lebih baik daripada tipe 1.9 Fungsi ginjal akan pulih jika gagal hati dapat diatasi. Gagal ginjal dapat mempercepat kematian pada pasien dengan penyakit hati fulminan akut atau penyakit hati kronis lanjut.11Penatalaksanaan

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan, dan pengobatan komplikasi.

Pengobatan sirosis kompensata

Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya menghentikan alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati.

Pada hepatitis autoimun, dapat diberikan steroid atau imunosupresif.

Pada hemokromatosis, flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Pada penyakit hati non-alkoholik, penurunan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.

Pada hepatitis C kronis, kombinasi interferon denga ribavirin merupakan terapi standar.

Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik saat ini lebih mengarah pada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, sel stelata akan ditempatkan sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik sebagai terapi utama untuk mengurangi aktivitasnya. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangna aktivitas sel stelata. Kolkisin memiliki efek antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen namun belum terbukti dalam penelitian sebagai antifibrosis dan sirosis. Metotreksat dan viramin A juga dicobakan sebagai antifibrosis.

Pengobatan sirosis dekompensata

Varises esofagus: sebelum berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta bloker (propanolol). Waktu perdarahan akut, dapat diberikan preparat somatostatin atau okreotide, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.

Asites: tirah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5.2 gram atau 90 mmol/ hari, dikombinasi dengan obat-obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Repsons diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0.5 kg.hari tanpa ada edema kaki, atau 1 kg/hari bila ada edema kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat dapat dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg.hari. pemberian furosemid dapat ditingkatkan dosisnya bila tidak ada respons (dosis maksimal 160 mg.hari). parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites dapat mencapai 4-6 Liter dan dilindungi dengan pemberian albumin IV untuk menghindari ketidakseimbangan elektrolit seperti hipovolemia, hiponatremia, hipokalemia, ensefalopati hepatikum dan gagal ginjal.3 Ensefalopati hepatik: pengobatan awal adalah menyingkirkan semua protein dari diet sampai 0.5g/kg BB per hari dan menghambat kerja bakteri terhadap protein usus. Neomisin (suatu antibiotik yang tidak diabsorpsi)dengan dosis 4-12 g/hari digunakan untuk mengurangi bakteri usus. Laktulosa membantu pasien mengeluarkan ammonia yang kemudian diekskresi dalam feses.3,13 Peritonitis bakterial spontan: pemberian antibiotik seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.

Sindrom hepatorenal: mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air, tranplantasi hati.Prognosis

Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.

Klasifikasi ChildPugh, pasien sirosis hati dalam terminologi cadangan fungsi hati juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B dan C berturut turut 100, 80, dan 45 %. Tabel klasifikasinya dapat dilihat pada pembahasan diagnosis kerja pada pembahasan yang sebelumnya.

Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease (MELD) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati. 1,2,4

Penutup

Sirosis hepatis atau sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang disebabkan oleh multifaktorial, primer maupun sekunder. Penyebab primer salah satunya adalah kecenderungan pasien mengonsumsi minuman alkohol dalam jangka waktu yang lama. Penyebab sekundernya di dapat dari penyakit metabolisme baik genetis atau pun non genetis serta oleh karena penyakit infeksi.

Diagnosis pada pasien biasanya dapat dilakukan setelah pasien datang dengan keluhan yang lebih spesifik, Setelah dilakukan anmnesis dan pemeriksaan fisik, dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk menegakkan diagnosis banding. Terapi pada sirosis hepatis biasanya simptomatik dilihat dari kerusakan hati yang diakibatkan adalah irreversible sehingga tidak memungkinkan untuk membuat fungsi kerja hati normal kembali kecuali jika dilakukan tranplantasi hati. Pencegahan sirosis hepatis dapat dilakukan dengan mengurangi terpaparnya faktor resiko, salah satunya adalah tidak mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dan pola konsumsi dan kegiatan hidup sehat.

Prognosis pasien dengan sirosis hepatis yang sudah terjadi hepatorenal syndrome adalah buruk. Oleh karena itu, terapi sirosis hepatis dengan obat sangatlah hati-hati dan penuh pertimbangan. Prognosis juga sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.Daftar Pustaka

1. Sumariyono, Linda K, Wijaya. Struktur Sendi, Otot, Saraf, dan Endotel Vaskular. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. p. 668-73.

2. Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005.p.493-95.

3. Sudoyo AW et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I dan II. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h. 640-76, 708-13, 999-1003.

4. Dennis L. Kasper. Horrison Principles of Internal Medicine 16th edition.USA: McGrawHil; 2005.p.289:1858-69.

5. Underwood. Patologi Umum dan Sistemik. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.p.483-93

6. Adrianto P, Johannes G. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Jakarta: EGC; 2009.p.224-29.

7. Bickley LS, Szilagyi PG. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: ECG; 2009.

8. Horn T, Learned J. Viral hepatitis and HIV. Jakarta: Yayasan Spiritia; 2005.h.5-39.9. Fauci, Braunwald, Kasper, Longo. Harrisons: principle of internal medicine [e-book]. Edisi ke-17. McGraw-Hill; 2008.h.2177-8, 2213-2110. Yamada, T. Textbook of gastroenterology. Volume 2. Edisi ke-5. Singapore: Blackwell Publishing Ltd: 2009. h.2256-405.

11. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi Robbins. Volume 2. Edisi ke-7. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2007.671-83.

12. Cirrhosis. Dalam: Runge, M. S., Greganti, M.A. Netters internal medicine. Edisi ke-2. China: Elsevier Saunders; 2009.h.457-63.

13. Lindseth, Glenda N. Sirosis hati. Dalam: Price, S.A., Wilson, L.M. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 1. Edisi ke-6. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2006.h.493-501