laporan kasus sirosis hati dekompensata

96
BAB I PENDAHULUAN Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati dan merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk negara endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara asia diperkirakan bahwa penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi HBV yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HbeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya. Adanya HbeAg pada ibu sangat berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu mengandung HbsAg positif namun HbeAg negatif, maka daya tularnya rendah. Prevalensi anti HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka di antara 0.5-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A akut (39,8- 68,3%) sedang urutan ketiga hepatitis B (6,4-25,9%). 1 Sirosis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang

Upload: ayu-indria-paramitha

Post on 27-Nov-2015

90 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

laporan kasus di RSD Soedarso Pontianak

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

BAB I

PENDAHULUAN

Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang

hati dan merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia.

Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% di

Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk negara endemisitas

sedang sampai tinggi. Di negara-negara asia diperkirakan bahwa penyebaran

perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi

HBV yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HbeAg

positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya. Adanya

HbeAg pada ibu sangat berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu

mengandung HbsAg positif namun HbeAg negatif, maka daya tularnya rendah.

Prevalensi anti HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia

menunjukkan angka di antara 0.5-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada

hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5-46,4%) menempati

urutan kedua setelah hepatitis A akut (39,8-68,3%) sedang urutan ketiga hepatitis

B (6,4-25,9%).1

Sirosis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium

akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandia dengan distorsi

dari arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif. Istilah sirosis hati

diberikan oleh Laennec pada tahun 1819 yang berasal dari kata Khirros yang

berarti warna oranye atau kuning kecoklatan karena perubahan warna pada nodul-

nodul yang terbentuk di permukaan hati pada saat autopsi.

Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketifa

pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan

kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian.

Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati

merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian

Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama

Page 2: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan

saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites,

Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carsinoma. Gejala klinis

dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala

yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus

Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira 30% dari seluruh

populasi penyakit ini, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan secara kebetulan

ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya ditemukan saat atopsi.2

Page 3: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi

Penyakit infeksi akut yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan

oleh Virus Hepatitis B.1,3,4,5 Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan kronis:

Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus itu.beberapa kasus berubah

menjadi hepatitis fulminan.

Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan.

2.1.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko

Hepatitis B merupakan penyakit endemis di seluruh dunia, tetapi distribusi

carier virus hepatitis B sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Di

area dengan prevalensi tinggi seperti Asia Tenggara, Cina, dan Afrika, lebih dari

setengah populasi pernah terinfeksi oleh virus hepatitis B pada satu saat dalam

kehidupan mereka, dan lebih dari 8% populasi merupakan pengidap kronik virus

ini. Keadaan ini merupakan akibat infeksi VHB yang terjadi pada usia dini.1,5,6

Infeksi VHB yang terjadi pada masa bayi dan anak umumnya tidak

memberikan gejala klinis (asimtomatik), sehingga sering kali tidak diketahui.

Dengan demikian dapat dimengerti bila angka laporan mengenai jumlah pengidap

jauh di bawah angka yang sebenarnya.1,3,4,5,6

Pada bayi dan anak terdapat masalah hepatitis B yang serius karena risiko

untuk terjadinya infeksi hepatitis B kronis berbanding terbalik dengan usia saat

terjadinya infeksi. Data-data menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi VHB

sebelum usia 1 tahun mempunyai resiko kronisitas sampai 90%, sedangkan bila

infeksi VHB terjadi pada usia antara 2- 5 tahun risikonya menurun menjadi 50%,

bahkan bila terjadi infeksi pada anak berusia di atas 5 tahun hanya berisiko 5-10%

untuk terjadinya kronisitas.1,5,6

Prevalens HBsAg di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 3-20%,

dengan frekuensi terbanyak antara 5-10%. Pada umumnya di luar Jawa angka ini

Page 4: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

lebih tinggi. Di Jakarta prevalens HBsAg pada suatu populasi umum adalah 4,1%.

Angka-angka ini sangat tinggi sehingga diperlukan suatu cara untuk

menurunkannya. Pengobatan untuk menghilangkan virus hepatitis B sampai saat

ini belum memuaskan dan hanya dapat dipertimbangkan pada pasien dengan

criteria yang sangat selektif serta menelan biaya yang cukup tinggi. Cara lain

yang dapat digunakan adalah dengan imunisasi hepatitis B secara universal.

Berdasarkan data di atas, menurut klasifikasi WHO, Indonesia tergolong dalam

Negara dengan prevalens infeksi VHB sedang sampai tinggi, sehingga strategi

yang dianjurkan adalah dengan pemberian vaksin pada bayi sedini mungkin.1,3.4,5

Tingginya angka prevalens hepatitis B di Indonesia terkait dengan terjadinya

infeksi HBV pada masa dini kehidupan. Sebagian besar pengidap VHB ini diduga

mendapatka infeksi HBV melalui transmisi vertical, sedangkan sebagian lainnya

mendapatkan melalui transmisi horizontal karena kontak erat pada usia dini.

Tingginya angka transmisi vertical dapat diperkirakan dari tingginya angka

pengidap VHB pada ibu hamil pada beberapa rumah sakit di Indonesia. Oleh

sebab itu perlu dilakukan usaha untuk memutuskan rantai penularan sedini

mungkin, dengan cara vaksinasi bahkan bila memungkinkan diberikan juga

imunisasi pasif (HBIg).1,3,5

Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari)

Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi

akut

Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang

menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten

Infeksi persisten dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis, dan kanker

hati.

HBV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan tubuh

lain

Cara transmisi:

- Melalui darah (penerima produk darah, pasien hemodialisis, pekerja

kesehatan, pekerja yang terpapar darah)

- Transmisi seksual

Page 5: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

- Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan

ulang alat medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur,

tato, akupuntur, penggunaan sikat gigi bersama

- Transmisi maternal neonatal

- Tak ada bukti penyebaran fecal-oral

2.1.3 Etiologi

Gambar 1. Virus Hepatitis B

Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam

family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena

virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk

dalam family ini adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika

Utara) yang telah diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis

B pada bebek Peking, dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak

bersifat sitopatik.1,3,6

Gambar 2. Rantai DNA Virus Hepatitis B

Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi

alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan

penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran

Page 6: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis

ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam.

Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang

sebagian berantai ganda (partially double stranded) dengan bentuk sirkular.

Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah

yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga partikel Dane dan selubung virus

yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong berukuran 22 nm, dapat

berbentuk seperti bola atau filament. 1

Gambar 3. Genom Virus Hepatitis B

Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah diketahui

adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya berhimpitan.

Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C untuk gen C

(core), X untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF lainnya (ORF5 dan

ORF6) telah dideskripsikan tetapi masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.1

Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan

pre-C mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri

dari 87 nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C

mengkode 212 asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian

pre-S2, pre-S2, dan S, mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226

asam amino. 1,3,4,5

Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen ini

juga berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang

bekerja sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi

Page 7: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

virus. Gen ini merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan

protein X VHB (HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga

berperan pada pathogenesis karsinoma hepatoselualar (KHS).1,3,4

Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai

aktivitas replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi

atau dengan metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction

(PRC). DNA-VHB kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons

penyakit terhadap terapi.1.9,10

Gambar 4. Perkembangbiakan Virus Hepatitis B di Hati

Siklus hidup Hepatitis B virus adalah kompleks. Hepatitis B adalah satu dari

beberapa non-retroviral yang menggunakan transkripsi kebalikan sebagai sebuah

bagian dari proses replikasinya. Virus meningkatkan masukan ke sel dengan cara

membuat suatu sel peka rangsangan terhadap permukaan dari sel dan masuk ke

sel tersebut dengan endocytosis. Secara parsial lilitan ganda DNA virus kemudian

membuat secara penuh lilitan ganda serta mentransformasikan ke dalam

covalently menutup DNA melingkar (cccDNA) yang bertindak sebagai satu

cetakan (template) untuk penyalinan empat mRNA virus. MRNA paling besar,

(adalah lebih panjang dari genom virus), digunakan untuk membuat copy baru

dari genom dan untuk membuat inti capsid protein serta DNA virus polymerase.

Empat catatan virus Ini mengalami pemrosesan tambahan dan meneruskan untuk

membentuk keturunan virions yang bebas dari sel atau kembali ke nukleus serta

re-cycled untuk menghasilkan lebih lagi mengcopy. MRNA lama kemudian

mengangkut kembali ke cytoplasm dimana virion P protein mensintesa DNA

melalui nya kebalikan aktivitas transcriptase.3

Page 8: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

2.1.4 Cara Transmisi

Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral)

yang terdiri dari transmisi vertical (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal

terjadi dari ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat

antar keluarga/individu. Transmisi perinatal dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis

B (VHB) ke bayi adalah salah satu cara transmisi yang paling serius karena bayi

lahir akan memiliki risiko tertinggi untuk menjadi hepatitis kronis dan dapat

berlanjut menjadi sirosis atau karsinoma hepatoselular. Transmisi vertical ini

dapat terjadi intrauterine (pranatal), saat lahir (intranatal), dan setelah lahir

(pascanatal). Transmisi intrauterine sangat jarang, hanya terjadi pada <2% dari

seluruh kejadian transmisi perinatal. Besarnya risiko transmisi vertical ini sangat

ditentukan oleh status serologi ibu. Bila HBsAg dan HBeAg ibu positif, risiko

transmisi vertical sangat tinggi yaitu sebanyak 70-90%, sementara bila hanya

HBsAg yang positif, risiko transmisi vertical tersebut lebih rendah yaitu 10-67%.

Bila anti HBe ibu positif, berpotensi untuk menimbulkan hepatitis fulminan pada

bayi, walaupun jarang terjadi. 1,3,5

2.1.5 Patogenesis

Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatis

yang mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun.

Langkah pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV,

menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting

dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg,

pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan protein

histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk

melisis sel T sitotoksis. 1,5,6

Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan

baik. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein

MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau

beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran

Page 9: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang

mengandung virus harus bertahan hidup.1,5,6

Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadaan

ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Kompleks imun yang

sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pada penderita yang

mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika,

krioglobulinemia, dan sindrom Guillan Barre yang terkait.1,3

Mutasi HBV lebih sering terkait untuk virus DNA biasa, dan sederetan

strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebebkan

kegagalan mengekspresikan HBAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan

hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 1,3

Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme system imun diaktivasi untuk

mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi

peningkatan serum transaminase, dan terbentuk antibody spesifik terhadap protein

HBV, yang terpenting adalah anti-HBs.1

Untuk dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan respons

imun non-spesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera

setelah infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun non-spesifik

diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini men ingkatkan ekspresi HLA

kelas I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi VHB, sehingga nantinya

memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit yang terinfeksi dan

melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC) seperti sel makrofag

atau sel Kupffer akan memfagositosis dan mengolah VHB. Sel APC ini kemudian

akan mempresentasikan antigen VHB dengan bantuan HLA kelas II pada sel CD4

(sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan dan membentuk suatu kompleks.

Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan produk sitokin. Sel CD4 ini mulanya

adalah berupa Th0, dan akan berdiferensiasi menjadi Th1 atau Th2. Diferensiasi

ini tergantung pada adanya sitokin yang mempengaruhinya.1

Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan

IFN γ, sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel

hepatosit yang terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga

Page 10: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi.

Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga respons imun yang

dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel.1

Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan

mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang secara

non-spesifik akan melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi sitotoksis

dan proliferasi sel NK ini bergantung pada interferon. Walaupun peran sel NK

yang jelas belum diketahui, tampaknya sel ini berperan penting untuk terjadi

resolusi infeksi virus akut. Pada hepatitis B kronis siketahui terdapat gangguan

fungsi sel NK ini.1

Perjalanan klinis HBV umumnya dibagi menjadi 4 stadium:1

1. Stadium I

Bersifat imun toleran. Pada neonatus, stadium ini dapat berlangsung hanya 2-4

minggu saja. Pada periode ini, replikasi virus dapat terus berlangsung

walaupun serum ALT hanya sedikit atau bahkan tidak meningkat sama sekali

serta tidak menimbulkan gejala klinis.

2. Stadium II

Mulai muncul respons imun dan berkembang. Hal ini akan mengakibatkan

stimulasi sitokin dan menyebabkan sitolisis hepatosit secara langsung dan

terjadi proses inflamasi. Pada stadium ini HBeAg tetap diproduksi, tetapi

serum DNA-VHB menurun jumlahnya karena sel yang terinfeksi juga

menurun. Pada hepatitis B akut, stadium ini merupakan periode simtomatik

dan umumnya berlangsung selama 3-4 minggu. Pada pasien dengan hepatitis

kronis stadium ini dapat berlangsung selama 10 tahun atau lebih, yang

kemudian akan melanjut sitosis dan komplikasinya.

3. Stadium III

Dimulai ketika pejamu mampu mempertahankan respons imunnya dan

mampu mengeliminasi sel hepatosit yang terinfeksi sehingga sel yang

terinfeksi menurun jumlahnya dan replikasi virus aktif berakhir. Pada stadium

ini tidak terdapat lagi HBeAg dan kemudian muncul antibody terhadap

Page 11: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

HBeAg. Penurunan jumlah DNA virus yang bermakna ditemukan walaupun

DNA-VHB pasien tetap positif.

4. Stadium IV HBsAg menghilang dan timbul antibody terhadap HBsAg (anti-HBs).1

Petanda Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV

HbsAg + + + _

Anti-HBs _ _ _ +

DNA-VHB + kuat + _ _

Anti HBc + + + +

HbeAg + + _ _

Anti Hbe _ _ + +

AST&ALT N Meningkat N N

Seorang bayi dengan infeksi perinatal oleh HBV mempunyai predisposisi

untuk mengalami infeksi HBV kronis, karena:1

1. Pada neonatus sistem imunnya belum sempurna.

2. Diduga HBeAg ibu akan melewati barier plasenta dan HBeAg ini

menyebabkan sel T helper tidak responsive terhadap HbcAg.

3. HBeAg pada neonatus yang lahir dari ibu pengidap dengan HBeAg positif.

4. Adanya IgG anti HBc ibu yang secara pasif masuk dalam sirkulasi bayi akan

menutupi ekspresi HBcAg di permukaasn hepatosit bayi, sehingga akan

mengganggu pengenalan dan penghancuran hepatosit oleh sel T sitotoksik.

2.1.6 Gejala Klinis

Hepatitis B biasanya asimtomatik atau dengan gejala yang ringan saja.

Walaupun demikian infeksi HBV yang terjadi pada masa anak-anak mempunyai

risiko untuk menjadi kronis. Kronisitas terutama terjadi pada anak yang mendapat

infeksi perinatal. Meskipun asimtomatik, sebetulnya tingkat replikasi DNA-VHB

tinggi. Tetapi hal ini tidak berarti infeksi hepatitis B kronis selalu ringan pada

anak-anak karena dapat langsung terjadi KHS.1,3 Pada pemeriksaan fisik,

hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan yang ditemukan.1

Page 12: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Infeksi hepatitis B kronis pada anak yang melanjut sampai dewasa

berhubungan dengan tingginya angka kejadian sirosis dan KHS. Karsinoma

hepatoseluler akibat hepatitis B walaupun jarang ditemukan telah diketahui dapat

terjadi pada anak pengidap hepatitis B kronis. Risiko pengidap VHB untuk

berkembang menjadi KHS 230x lebih besar dibandingkan populasi umum.

Frekuensi tertinggi terjadinya KHS ditemukan pengidap hepatitis B berjenis

kelamin lelaki dengan sirosis. Hubungan KHS dengan VHB pada anak telah

dilaporkan. Walaupun hampir semua kasus KHS yang dilaporkan terjadi pada

anak didahului terjadinya sirosis, tetapi adanya kasus yang tanpa sirosis mengarah

pada kesimpulan bahwa integrasi genom VHB mungkin bersifat onkogenik.4,5,6

Walaupun umumnya infeksi hepatitis B bersifat asimtomatik, tetapi pada

sebagian kecil kasus dapat terjadi hepatitis fulminan. Bila sudah hepatitis

fulminan, umumnya bersifat fatal. Hepatitis fulminan pada bayi berhubungan erat

dengan ibu pengidap dengan HBeAg negative dan anti-HBe positif. Selain itu

terdapat hubungan adanya mutan pre-core dengan gejala infeksi hepatitiS B yang

berat, termasuk hepatitis fulminan.1,3

Gambar 5. Keadaan Hati pada Hepatitis yang Menjadi Kronis

Diperkirakan akibat ketidakhadiran HBeAg di dalam serum menyebabkan

virus tidak mampu membuat respons imun untuk toleran terhadap VHB. Mutasi

pada daerah pre-core merupakan cara virus untuk melepaskan diri terhadap

tekanan respons imun. Adanya antibody terhadap HBeAg (anti-HBe) mendahului

timbulnya stop codon pre-core, sehingga tidak mengherankan bahwa sekuens pre-

core tipe wild dapat ditemukan bila terdapat anti-HBe.1,3

Page 13: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Gejala berkembang dan muncul antara 30-180 hari setelah terpapar virus.

Awalnya gejala seperti flu biasa. Gejala-gejala yang muncul antara lain:

- Kehilangan nafsu makan

- Cepat lelah

- Mual dan muntah

- Gatal seluruh tubuh

- Nyeri abdomen kanan atas

- Kuning, kulit dan atau sklera

- Warna urin seperti teh atau cola

- Warna feses lebih pucat

Hepatitis fulminan adalah perkembangan yang lebih berat dari bentuk akut,

dengan gejala:

- Ketidakseimbangan mental seperti : bingung, lethargy, halusinasi (hepatic

encephalopati)

- Kolaps mendadak disertai keadaan sangat lemah

- Jaundice

- Pembengkakan abdomen

Gagal hati, dengan gejala:

- Asites

- Jaundice yang persisten

- Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan

- Muntah disertai darah

- Perdarahan pada hidung, mulut, anus, atau keluar bersama feses

2.1.7 Diagnosis

Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-kurangnya 2

pertanda serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang

muncul dan terdapat pada hampir semua orang yang terinfeksi; kenaikannya

sangat bertepatan dengan mulainya gejala. HBeAg sering muncul selama fase

akut dan menunjukkan status yang sangat infeksius. Karena kadar HBsAg turun

sebelum akhir gejala, antibody IgM terhadap antigen core hepatitis B (IgM anti

Page 14: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

HBcAg) juga diperlukan karena ia naik awal pasca infeksi dan menetap selama

beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg, yang menetap selama

beberapa tahun. IgM anti-HBcAg biasanya tidak ada pada infeksi HBV perinatal.

Anti-HBcAg adalah satu pertanda serologis infeksi HBV akut yang paling

berharga karena ia muncul hampir seawal HBsAg dan terus kemudian dalam

perjalanan penyakit bila HBsAg telah menghilang. Hanya anti-HBsAg yang ada

pada orang-orang yang diimunisasi dengan vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg

dan anti-HBcAg terdeteksi pada orang dengan infeksi yang sembuh.1,3,4,5

Diagnosis Infeksi pada Hepatitis B11

2.1.8 Tatalaksana

Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan

prinsipnya adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode

simptomatis. Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid tidak efektif.

Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan dapat digunakan pada hepatitis fulminan

akibat eksaserbasi akut HVB. 1,3,4,5,6

Pada HBV kronis, tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi dengan

menjadi normalnya nilai aminotransferase, menghilangnya replikasi virus dengan

terjadinya serokonversi HBeAg menjadi antiHBe dan tidak terdeteksinya HBV-

DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan terjadi pula serokonversi HBsAg

menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta karsinoma hepatoseluler dapat dicegah.

Berdasarkan rekomendasi APASL (Asia Pacific Association for Study of the

Liver), anak dengan HBV dipertimbangkan untuk mendapat terapi antiviral bila

Page 15: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas normal selama lebih dari 6 bulan, terdapat

replikasi aktif (HBeAg dan/atau HBV-DNA positif). Sebaiknya biopsi hati

dilakukan sebelum memulai pengobatan untuk mengetahui derajat kerusakan hati.

Interferon dan lamivudin telah disetujui untuk digunakan pada terapi hepatitis B

kronis. Bila hanya memakai interferon (dosis 5-10 MU/m2, subkutan 3x/minggu)

dianjurkan diberikan selama 4-6 bulan, sedangkan bila hanya digunakan

lamivudin tersendiri diberikan paling sedikit selama 1 tahun atau paling sedikit 6

bulan bila telah terjadi konversi HBeAg menjadi anti HBe. 1,3,4,5,6

Faktor yang berpengaruh pada respon pengobatan adalah:

1. Faktor genetik

2. Adanya strain mutan

3. Transmisi vertikal

4. Lamanya infeksi singkat

5. Nilai transaminase basal

6. Level HBV-DNA rendah

7. Nilai alanin aminotransferase basal tinggi

8. Didapat pada dewasa

9. Imunokompeten

10. Tipe wild (HBeAg positif)

11. Penyakit hati kompensasi

2.1.8 Diagnosa Banding

Diagnosis banding hepatitis B kronis adalah hepatitis C, defisiensi α1-

antitrypsin, tyrosinemia, cystic fibrosis, gangguan metabolism asam amino atau

gangguan metabolisme karbohidrat atau gangguan oksidasi asam lemak.

Penyebab lain dari hepatitis kronis pada anak termasuk penyakit Wilson’s,

hepatitis autoimun, dan pengobatan yang hepatotoksik.1,5

2.1.9 Komplikasi

Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus

hepatitis lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi

bersama atau superinfeksi dengan HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar

Page 16: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif; perawatan

pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan penderita sementara memberi

waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah satu-satunya pilihan

lain.1,3,6

Infeksi VHB juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat

menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Interferon alfa-2b

tersedia untuk pengobatan hepatitis kronis pada orang-orang berumur 18 tahun

atau lebih dengan penyakit hati kompensata dan replikasi HBV. Glomerulonefritis

membranosa dengan pengendapan komplemen dan HBeAg pada kapiler

glomerulus merupakan komplikasi infeksi HBV yang jarang. 1,3,6

2.1.10 Pencegahan

Dasar utama imunoprofilaksis adalah pemberian vaksin hepatitis B sebelum

paparan.

1. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan

a. Vaksin rekombinan ragi

1) Mengandung HbsAg sebagai imunogen

2) Sangat imunogenik, menginduksi konsentrasi proteksi anti HbsAg

pada > 95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3

dosis

3) Efektivitas sebesar 85-95% dalam mencegah infeksi HBV

4) Booster tidak direkomendasikan walaupun setelah 15 tahun imunisasi

awal

5) Booster hanya untuk individu dengan imunokompromais jika titer

dibawah 10mU/mL

b. Dosis dan jadwal vaksinasi HBV. Pemberian IM (deltoid) dosis dewasa

untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak

(1/2 dosis dewasa), diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian

c. Indikasi

1) Imunisasi universal untuk bayi baru lahir

2) Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun, bila belum

divaksinasi

Page 17: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

3) Grup resiko tinggi: pasangan dan anggota keluarga yang kontak

dengan karier hepatitis B

2. Imunoprofilaksis pasca paparan dengan (vaksin hepatitis B dan imunoglobulin

hepatitis B (HBIG).

a. Dosis 0,04-0,07mL/kg HBIG sesegera mungkin setelah paparan

b. Vaksin HBV pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada

deltoid sisi lain

c. Vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian.

d. Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HbsAg positif :

1) 0,5 ml HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di bagian

anterolateral otot paha atas.

2) Vaksin HBV dengan dosis 5-10 ug, diberikan dalam waktu 12 jam

pada sisi lain, diulang pada 1 dan 6 bulan.1,3

3. Imunisasi Pada Bayi

Imunisasi bayi universal dengan vaksin hepatitis B sekarang dianjurkan oleh

American Academy of Pediatrics (AAP) dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat

AS karena strategi selektif telah gagal untuk mencegah morbiditas dan mortalitas

akibat infeksi VHB. Masa neonatus telah dijadikan sasaran karena lebih dari 90%

bayi yang mendapat infeksi perinatal akan menjadi pengidap kronis. Risiko

mendapat status pengidap kronis berkurang menurut umur; 50% anak yang lebih

tua dan 10% orang dewasa yang menjadi pengidap kronis. Dua vaksinDNA

rekombinan tersedia di Amerika Serikat; keduanya telah terbukti sangat

imunogenik pada anak. Vaksin yang berasal dari plasma asli sama imunogeniknya

tetapi tidak dibuat lagi di AS.5

Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang HBsAg positif harus mendapat

vaksin pada saat lahir, umur 1 bulan dan 6 bulan. Dosis pertama harus disertai

dengan pemberian 0,5 ml immunoglobulin hepatitis B (IGHB) sesegera mungkin

sesudah lahir karena efektivitasnya berkurang dengan cepat dengan bertambahnya

waktu sesudah lahir.

Upaya pencegahan umum terhadap HBV yang seyogianya dilakukan pula

adalah:6

Page 18: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

a. Uji tapis donor darah terhadap HBV

b. Sterilisasi alat operasi, alat suntik, peralatan gigi

c. Penggunaan sarung tangan oleh tenaga medis

d. Mencegah kemungkinan terjadinya mikrolesi yang dapat menjadi tempat

masuknya virus, seperti pemakaian sikat gigi, sisir, alat pencukur rambut

pribadi

e. Untuk mencegah transmisi vertical, semua ibu hamil terutama yang berisiko

terinfeksi HBV sebaiknya dianjurkan untuk diperiksa terhadap HBV.

Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada awal dan trisemester ketiga

kehamilan.

2.2 Sirosis Hepatis

Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari

kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna

pada nodul- nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis adalah penyakit hepar menahun

difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul yang

mengelilingi parenkim hepar.9,12

Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala

sampai dengan gejala yang sangat jelas. Gejala patologik dari sirosis hepatis

mencerminkan proses yang telah berlangsung lama dalam parenkim hepar dan

mencakup proses fibrosis yang berkaitan dengan pembentukan nodul-nodul

regeneratif. Kerusakan dari sel-sel hepar dapat menyebabkan ikterus, edema,

koagulopati, dan kelainan metabolik lainnya.9,13

Secara lengkap, sirosis hepatis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi

mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hepar

mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat

(fibrosis) di sekitar parenkim hepar yang mengalami regenerasi.9

2.2.1 Insidens dan Epidemiologi

Page 19: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Insidensi sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000

penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik dan

infeksi virus kronik. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya

laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito

Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat

di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun pada tahun 2004. Di

Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819

(4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.14

Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika

dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak

antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.1

2.2.2 Etiologi

Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik

sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil

penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis

adalah virus hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang

tidak diketahui(10-20%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis hepatis antara

lain:9,14

1. Virus hepatitis (B,C,dan D)

2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)

3. Kelainan metabolik :

a. Hemokromatosis (kelebihan beban besi)

b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)

c. Defisiensi Alpha l-antitripsin

d. Glikonosis type-IV

e. Galaktosemia

f. Tirosinemia

4. Kolestasis

5. Gangguan imunitas ( hepatitis lupoid )

Page 20: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

6. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-

lain)

7. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)

8. Kriptogenik

9. Sumbatan saluran vena hepatika

2.2.3 Anatomi Hepar

Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-,1,8 kg atau

kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar

kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan

fungsi yang sangat kompleks.15 Hepar menempati daerah hipokondrium kanan

tetapi lobus kiri dari hepar meluas sampai ke epigastrium. Hepar berbatasan

dengan diafragma pada bagian superior dan bagian inferior hepar mengikuti

bentuk dari batas kosta kanan. Hepar secara anatomis terdiri dari lobus kanan

yang berukuran lebih besar dan lobus kiri yang berukuran lebih kecil. Lobus

kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum falsiforme16. Lobus kanan dibagi

menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak

terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh

ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar17. Pada daerah antara ligamentum

falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan lobus

kuadratus dan lobus kaudatus yang tertutup oleh vena cava inferior dan

ligamentum venosum pada permukaan posterior16. Permukaan hepar diliputi oleh

peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat

langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum

membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat

yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ ;

bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka

untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis

adalah fisura pada hepar tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta

tempat keluarnya duktus hepatika15.

Page 21: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Gambar 6. Anatomi hepar9

Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa

melalui vena porta hepatica dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika

keluar dari aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk

ke hepar membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena

akan keluar sebagai vena hepatica. Vena hepatica mengembalikan darah dari

hepar ke vena kava inferior. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena

mesenterika superior, mengantarkan 20% darahnya ke hepar, darah ini

mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 % sebab beberapa O2 telah diambil oleh

limpa dan usus. Darah yang berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel

hepar dan setiap lobulus dilewati oleh sebuah pembuluh sinusoid atau kapiler

hepatika. Pembuluh darah halus yang berjalan di antara lobulus hepar disebut

vena interlobular17.

Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan dari saluran

cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari sistem arteri.

Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yang lebih

kecil membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang membentik lamina hepatika.

Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian tengah

masing-masing lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-prmbuluh ini

menbawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami deoksigenasi yang

telah dibawa ke hepar oleh arteri hepatika sebagai darah yang telah deoksigenasi.

Page 22: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar didalam septum interlobularis.

Anterior ini menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan septum diantara

lobules yang berdekatan, dan banyak arterior kecil mengalir langsung ke sinusoid

hepar, paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis17.

Gambar 7. Pembuluh darah pada hepar18

Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar,

sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang

bermakna dan sel-sel non parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium,

sel Kuppfer dan sel Stellata yang berbentuk seperti bintang15. Hepatosit sendiri

dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari eferen vena hepatika dan

ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui arteri hepatica dan vena

porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen secara

bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting kerentanan

jaringan terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan langsung

dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada

sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat

permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan

penghubungan dan desmosom yang saling bertautan dengan disebelahnya15.

Page 23: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Gambar 8. Histologi hepar18

Sinusoid hepar memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari

hepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam

dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting

dalam sistem retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel Ito, liposit atau

perisit) yang memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu pengaturan

aliran darah sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan

kerusakan hepar. Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor

kunci pembentukan fibrosis di hepar15.

2.2.4 Fisiologi Hepar

Hepar adalah suatu organ besar, dapat meluas, dan organ venosa yang

mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna di saat

volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan

volume darah. Selain itu, hepar juga merupakan suatu kumpulan besar sel reaktan

kimia dengan laju metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan

energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan

mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan

berbagai fungsi metabolisme lain.16 Fungsi metabolisme yang dilakukan oleh

hepar adalah20:

Page 24: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

a. Metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan

fungsi sebagai berikut :

1) Menyimpan glikogen dalam jumlah besar

2) Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa

3) Glukoneogenesis

4) Pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme

karbohidrat

Hepar terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah

normal. Penyimpanan glikogen memungkinkan hepar mengambil kelebihan

glukosa dari darah, menyimpannya, dan kemudian mengembalikannya

kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah rendah. Fungsi ini disebut

fungsi penyangga glukosa hepar.

b. Metabolisme lemak. Beberapa fungsi spesifik hepar dalam metabolisme

lemak antara lain :

1) Oksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh yang lain

2) Sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein

3) Sintesis lemak dari protein dan karbohidrat

Hepar berperan pada sebagian besar metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen

kolesterol yang disintesis didalam hepar diubah menjadi garam empedu yang

kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu, sisanya diangkut dalam

lipoprotein dan dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Fosfolipid

juga disintesis di hepar dan ditranspor dalam lipoprotein. Keduanya digunakan

oleh sel untuk membentuk membran, struktur intrasel, dan bermacam-macam

zat kimia yang penting untuk fungsi sel.

c. Metabolisme protein. Fungsi hepar yang paling penting dalam metabolisme

protein adalah sebagai berikut :

1) Deaminasi asam amino

2) Pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari cairan tubuh

3) Pembentukan protein plasma

4) Interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam

amino

Page 25: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Diantara fungsi hepar yang paling penting adalah kemampuan hepar untuk

membentuk asam amino tertentu dan juga membentuk senyawa kimia lain

yang penting dari asam amino. Untuk itu, mula-mula dibentuk asam keto yang

mempunyai komposisi kimia yang sama dengan asam amino yang akan

dibentuk. Kemudian suatu radikal amino ditransfer melalui beberapa tahap

transaminasi dari asam amino yang tersedia ke asam keto untuk menggantikan

oksigen keto.

d. Hepar merupakan tempat penyimpanan vitamin. Hepar mempunyai

kecenderungan tertentu untuk menyimpan vitamin dan telah lama diketahui

sebagai sumber vitamin tertentu yang baik pada pengobatan pasien. Vitamin

yang paling banyak disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tetapi sejumlah

besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan secara normal

e. Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Sel hepar mengandung sejumlah

besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik

dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak

tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin

membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hepar sampai

diperlukan.

Hepar memiliki aliran darah yang tinggi dan resistensi vaskuler yang

rendah. Kira-kira 1050 milimeter darah mengalir dari vena porta ke sinusoid

hepar setiap menit, dan tambahan 300 mililiter lagi mengalir ke sinusoid dari

arteri hepatika dengan total rata-rata 1350 ml/menit. Jumlah ini sekitar 27 persen

dari sisa jantung. Rata-rata tekanan di dalam vena porta yang mengalir ke dalam

hepar adalah sekitar 9 mmHg dan rata-rata tekanan di dalam vena hepatika yang

mengalir dari hepar ke vena cava normalnya hampir tepat 0 mmHg. Hal ini

menunjukkan bahwa tahanan aliran darah melalui sinusoid hepar normalnya

sangat rendah namun memiliki aliran darah yang tinggi. Namun, jika sel-sel

parenkim hepar hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan fibrosa yang

akhirnya akan berkontraksi di sekeliling pembuluh darah, sehingga sangat

menghambat darah porta melalui hepar. Proses penyakit ini disebut sirosis

hepatis, Sistem porta juga kadang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar

Page 26: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

yang berkembang di dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta

tiba-tiba tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui system aliran

darah porta hepar ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan

hipertensi portal.20

2.2.5 Patofisiologi

Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat.

Meskipun terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor utama

lainnya adalah hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan zat besi.

Tahap akhir penyakit kronis ini didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik :21

a. Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar yang

menggantikan lobulus.

b. Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan ukuran

bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul) hingga besar

(garis tengah beberapa sentimeter, makronodul).

c. Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.

Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian

sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya

berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor.

Sebagai respons terhadap kematian sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan

regenerasi terhadap sel-sel yang mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis,

hepar normal mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran

porta, sekitar vena sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis,

kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua

bagian lobulus dan sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi

pirau vena porta ke vena hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses ini

pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang berlubang dengan

pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular tekanan tinggi,

beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan protein

antara hepatosit dan plasma sangat terganggu.21,22

Page 27: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

2.2.6 Klasifikasi

Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis,

yaitu:10,14

1. Mikronodular

Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3 mm.

2. Makronodular

Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3 mm.

3. Campuran

Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang

terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.

Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas:10,14

1. Sirosis Hepatis Kompensata

Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini

belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada

saat pemeriksaan screening.

2. Sirosis Hepatis Dekompensata

Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala-gejala

sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.

2.2.7 Diagnosis

a. Gambaran Klinik

Stadium awal sirosis hepatis sering tanpa gejala sehingga kadang

ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau

karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis hepatis meliputi:14

1) perasaan mudah lelah dan lemah

2) selera makan berkurang

3) perasaaan perut kembung

4) mual

5) berat badan menurun

6) pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada

membesar, dan hilangnya dorongan seksualitas.

Page 28: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Stadium lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol

terutama bila timbul komplikasi kegagalan hepar dan hipertensi portal,

meliputi:13

1) hilangnya rambut badan

2) gangguan tidur

3) demam tidak begitu tinggi

4) adanya gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis,

gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh

pekat, muntah darah atau melena, serta perubahan mental, meliputi

mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis

hepatis antara lain:14

1) SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat

aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau

ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST

lebih meningkat disbanding ALT. Namun, bila enzim ini normal, tidak

mengeyampingkan adanya sirosis.

2) Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas.

Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis

primer dan sirosis bilier primer.

3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP.

Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi

karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan menyebabkan

bocornya GGT dari hepatosit.

4) Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan

meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)

5) Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen

bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya

menginduksi immunoglobulin.

Page 29: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

6) Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor koagulan

akibat sirosis

7) Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan

ketidakmampuan ekskresi air bebas.

8) Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan

hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.

Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :

1) Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi

porta

2) USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk

melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran

vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada

pasien sirosis.

2.2.8 Komplikasi

Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut

berbagai macam komplikasi sirosis hati:14

a. Hipertensi Portal

b. Asites

c. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu

infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder

intra abdominal. Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta demam

d. Varises esophagus dan hemoroid. Varises esophagus merupakan salah satu

manifestasi hipertensi porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien

sirosis dengan varises esophagus pecah menimbulkan perdarahan

e. Ensefalopati Hepatik. Rnsefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri

akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut

sampai gangguan kesadaran dan koma. Ensefalopati hepatic terjadi karena

kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH3 dan

sejenisnya). NH3 berasal dari pemecahan protein oleh bakteri di usus. Oleh

karena itu, peningkatan kadar NH3 dapat disebabkan oleh kelebihan asupan

Page 30: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan alkalosis.23 Berikut pembagian

stadium ensefalopati hepatikum :

Pembagian stadium ensefalopati hepatikum23

Stadium Manifestasi Klinis

0 Kesadaran normal, hanya sedikit ada penurunan daya ingat,

konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi.

1 Gangguan pola tidur

2 Letargi

3 Somnolen, disorientasi waktu dan tempat, amnesia

4 Koma, dengan atau tanpa respon terhadap rangsang nyeri.

f. Sindroma Hepatorenal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi

ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya

kelainan organic ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan

perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.

2.2.9 Penatalaksanaan

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk

mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah

kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien

sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi progresi kerusakan

hati.

a. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata

Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :

1) Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang hepatotoksik

2) Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat

menghambat kolagenik

3) Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif

4) Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai

konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Page 31: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

5) Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah

terjadinya sirosis

6) Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.

Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama satu tahun.

Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, 3x1 minggu

selama 4-6 bulan.

7) Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan

terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan dengann dosis 5 MIU,

3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.

Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,

kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam penelitian.

b. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata

1) Asites

a) Tirah baring

b) Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari

c) Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa

dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau

1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian spironolakton

tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari

(dosis max.160 mg/hari)

d) Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti

dengan pemberian albumin.

2) Peritonitis Bakterial Spontan

Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti

cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara oral.

Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis dapat diberikan

norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.

3) Varises Esofagus

a) Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta

(propanolol)

Page 32: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

b) Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau

okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi

4) Ensefalopati Hepatik

a) Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia

b) Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia

c) Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya

asam amino rantai cabang

5) Sindrom Hepatorenal

Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh

karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian utama

berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi

cairan yang berlebihan.

2.2.10 Prognosis

Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,

meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang

menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai prognosis pasien

sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin,

albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi. Klasifikasi Child-

Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup

selama satu tahun untuk pasien dengan Child A,B, dan C berturut-turut

100%,80%, dan 45%.13

Klasifikasi Modifikasi Child-Pugh15

Page 33: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

2.3 Sindrom Hepatorenal

2.3.1 Definisi

Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsional ginjal reversibel

yang terjadi pada seseorang dengan sirosis hati lanjut atau kegagalan hati

fulminan.24 Sindrom hepatorenal ditandai dengan berkurangnya laju filtrasi

glomerulus (GFR) dan aliran plasma renal (RPF) tanpa adanya penyebab lain

dari disfungsi ginjal.24,25 Sindrom hepatorenal bersifat fungsional dan

progresif. Sindrom hepatorenal merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre

renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya

perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memper- baiki gangguan

fungsi ginjal ini.26,37

Berdasarkan International Ascites Club, sindrom hepatorenal adalah

sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronis dan kegagalan hati

lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan

abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas sistem vasoaktif

endogen.28

2.3.2 Patogenesis dan Patofisiologi

Page 34: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Sindrom Hepatorenal (SHR) merupakan salah satu komplikasi sirosis

hepatis. Karakteristik khas pada SHR adalah vasokonstriksi yang kuat dari

sirkulasi ginjal namun disertai pengurangan pengisian arteri sistemik yang

disebabkan oleh vasodilatasi arteri pada sirkulasi splanik.25,29 Mekanisme yang

mendasari SHR belum sepenuhnya dipahami, namun mungkin men- cakup

peningkatan faktor vasokonstriktor dan penurunan vasodilator pada sirkulasi

ginjal.24 Ada tiga faktor dominan yang terlibat dalam patogenesis SHR, yaitu:,28

a. Perubahan hemodinamik dimana terjadi vasodilatasi arteri perifer yang luas

dengan sirkulasi hiperdinamik dan vasokonstriksi sirkulasi ginjal.

b. Stimulasi sistem saraf simpatis ginjal.

c. Peningkatan sintesis humoral dan mediator vasoaktif ginjal.

Selain itu, ada tiga teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang

timbul pada penderita SHR, yaitu:

a. Hepatorenal Refleks

Teori ini berdasarkan percobaan binatang yang memperlihatkan bahwa

peningkatan tekanan intrahepatik menyebabkan peningkatan aktivitas

simpatoadrenal ginjal yang disertai dengan penurunan perfusi ginjal dan laju

filtrasi glomerular (GFR), serta peningkatan reabsorpsi natrium dan air.

Studi ini mendukung adanya refleks hepatorenal, yang mungkin da- pat

diaktivasi melalui reseptor adenosine seperti pada binatang. Pembe- rian

adenosine receptor antagonist dapat mencegah peningkatan retensi natrium

dan air setelah penurunan aliran darah vena portal.27 Meskipun demikian,

masih didebatkan apakah refleks heepatorenal juga ditemukan pada

manusia.

b. Teori Vasodilatasi Arteri

Patofisiologi yang sesuai dengan perubahan fungsi ginjal dan sirkulasi

dalam SHR adalah vasodilatasi arterial. Pasien dengan SHR ditandai dengan

vasodilatasi splanikus yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular

sistemik dan penurunan volume efektif arterial, yang selanjut- nya

menginduksi sistem neurohumoral, sistem saraf simpatis dan sistem renin-

Page 35: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

angiotensin-aldosteron.35,27,29 Aktivasi dari sistem vasokonstriktor tersebut

akan menyebabkan hipoperfusi ginjal, penurunan GFR, dan retensi

natrium (sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis) serta

air (arginine vasopressin) yang terjadi pada sirosis hepatis tahap lanjut.27,30

Pada pasien dengan sirosis dan asites, konsentrasi nitrit dan nitrat serum

menunjukkan peningkatan. Nitrit oksida (NO) merupakan vasodilator dan

pada pasien dengan SHR terjadi peningkatan produksi NO endogen oleh

endothelium pada arteri splanik.29 Hal inilah yang diduga menye- babkan

sirkulasi splanikus terhindar dari efek vasokonstriktor karena adanya

rangsangan vasodilator lokal yang kuat.24,29,31

c. Vasokonstriksi Renal

Pada fase awal dari sirosis hepatis dekompensata, perfusi ginjal masih dapat

dipelihara dalam batas normal, karena adanya peningkatan sintesis dari

faktor-faktor vasodilatasi. Akan tetapi, pada fase lanjut, perfusi gin- jal tidak

dapat dipelihara lagi karena adanya vasodilatasi sistemik yang luar biasa

dan penurunan volume efektif arterial. Penurunan volume efektif arterial ini

dapat menyebabkan aktivasi progresif dari mediator baroreseptor dan

vasokonstriktor disertai dengan penurunan produksi vasodilator renal.28,31

Gambar 2. Patogenesis Sindroma Hepatorenal 27

Page 36: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Seperti penjelasan sebelumnya, pada pasien sindrom hepatorenal

ditemukan vasokonstriksi ginjal reversibel dan hipotensi sistemik. Penyebab

utama dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi

kemungkinan melibatkan banyak faktor antara lain perubahan sistem

hemodinamik, meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor

dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal.27

a. Faktor Vasokonstriktor

Sistem renin – angiotension dan sistem saraf simpatis merupakan mediator

utama yang mempunyai efek vasokonstriksi sirkulasi ginjal pada sindrom

hepatorenal.27 Aktifitas dari sistem vasokonstriksi ini meningkat pada penderita

dengan sirosis dan asites, terutama penderita dengan sindrom hepatorenal dan

berkolerasi terbalik dengan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.27,29,30

Selain itu, penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan SHR

menunjukkan bahwa konsentrasi plasma endothelin-1 meningkat. Endothelin-1

merupakan salah satu substansi vasokonstriktor ginjal. Peningkatan level

endothelin-1 mungkin berkontribusi pada vasokonstriksi ginjal. Hipotesis ini juga

didukung dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pemberian

antagonis reseptor endotelin menginduksi peningkatan GFR pada pasien SHR.27

Cysteinyl leukotriene (leukotrien C4 dan D4) merupakan vasokonstriktor

ginjal yang poten dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial secara in vitro.

Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan cysteinyl leukotrien

pada SHR.29 Tromboxane A2 juga memberikan kontribusi pada vasokonstriksi

sirkulasi ginjal dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial pada SHR.29

Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostanes dapat juga

sebagai faktor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal

dalam SHR tapi mekanismenya masih belum diketahui 27

b. Faktor Vasodilator

Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada hewan

memperlihatkan bahwa sintesa faktor vasodilator lokal pada ginjal memainkan

peran yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal den- gan melindungi

sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari faktor vasokon- striktor. Mekanisme

Page 37: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs).27,29

Bukti yang paling kuat menyokong peran PGs ginjal dalam memper-

tahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan asites diperoleh dari penelitian yang

menggunakan obat NSAIDs untuk menghambat pembentukan prostaglandin

ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis

hati dengan asites menyebabkan penurunan yang nya- ta dalam aliran darah ginjal

dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR

pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata.27,29

c. Sistem saraf simpatis

Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan

menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini

telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi

katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk menga- mati

vasokonstriksi pada arteriol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah

ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.27

Gambar 5. Patofisiologi Mekanisme dari Sindrom Hepatorenal Renal VD, renal

vasodilation; Renal VC, renal vasoconstriction; SNS, sympathetic nervous

Page 38: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

system24

Page 39: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

2.3.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai dengan

kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal

dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi

natrium dan air, yang menimbulkan asites, edema dan dilutional hyponatremia,

yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan pen- gurangan

kemampuan buang air (oliguri–anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat

ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan

penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik.27 Pada pasien sirosis

hepatis, 80% kasus SHR disertai asites, 75% disertai ensefalopati hepatic, dan

40% disertai ikterus.25

Gangguan Hemodinamik yang Sering Ditemukan pada Sindrom

Hepatorenal diantaranya adalah penignkatan cardiac output, tekanan arterial

menurun, total tahanan pembuluh darah sistemik menurun, total volume darah

meninggi, aktivasi sistem vasokonstriktor meninggi, tekanan portal meninggi,

portosystemic Shunt,t ekanan pembuluh darah splanik menurun, tekanan

pembuluh darah ginjal meninggi, tekanan arteri brachial dan femoral meninggi,

tahanan pembuluh darah otak meninggi.

Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu:

a. Sindroma Hepatorenal tipe I

Merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan

serum kreatinin dua kali lipat.3 Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan

progresif dari BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai

kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%,

keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu.26,27 Gagal ginjal sering

dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi natrium dan

hiponatremi.27

Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat

dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati.27,29

Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan hepatitis

Page 40: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah

kasus Sindroma Hepatorenal tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi

yang diketahui, kadang- kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab

akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi, seperti

infeksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis. Peritonitis Bakteri

Spontan (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal.

b. Sindroma Hepatorenal Tipe II

Merupakan bentuk kronis SHR.26 Tipe II SHR ini ditandai dengan

penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50

mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR

biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi

pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup penderita

dengan kondisi ini lebih panjang dari pada Sindroma Hepatorenal tipe I.26,28,29

2.3.4 Diagnosis

Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik sindrom hepatorenal.

Diagnosis SHR selalu dibuat setelah eksklusi gangguan-gangguan lain yang dapat

menyebabkan gagal ginjal pada pasien sirosis.31 Kriteria diagnostik yang dianut

sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of

Hepatorenal Syndrome.

a. Kriteria Mayor

1) Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi

portal.

2) GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130 µmol/L) atau kreatinin klirens

24 jam < 40 ml/mnt.

3) Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan

dan mendapat obat nefrotoksik.

4) Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander

1,5 liter dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau

pen- ingkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt).

Page 41: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

5) Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau

penyakit- parenkim ginjal secara ultrasonografi

b. Kriteria Tambahan

1) Volume urin < 500 ml / hari

2) Natrium urin < 10 meg/liter

3) Osmolalitas urin > osmolalitas plasma

4) Eritrosit urin < 50 /lpb

5) Natrium serum <130 mEq/liter

Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnose Sindroma

Hepatorenal, sedangkan criteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnose

Sindroma Hepatorenal.

SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati

bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa

keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan

Pseudohepatorenal Syndrome. Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu

keadaaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati

yang tidak ada hubungan satu sama lain. Beberapa penyeebab Pseudohepatorenal

Syndrome adalah:26

1) Penyakit congenital, misalnya penyakit polikista ginjal dan hati

2) Penyakit metabolic, misalnya diabetes, amyloidosis, penyakit Wilson

3) Penyakit sistemik, misalnya SLE, arthritis rheumatoid, sarkoidosis

4) Penyakit infeksi, misalnya leptospirosis, malaria, hepatitis virus, dan lain-

lain

5) Gangguan sirkulasi, misalnya syok, insufisiensi jantung

6) Intoksikasi, misalnya endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka

bakar, dan lain-lain

7) Medikamentosa, misalnya metoksifluran, halotan, sulfonamid,

parasetamol, tetrasiklin, iproniazid

8) Tumor, misalnya hipernefroma, metastasis

9) Eksperimenta, misalnya defisiensi kolin, dan lain-lain

Page 42: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

BAB III

PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Tn. J

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 41 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : -

Alamat : Tepuai

Pasien masuk melalui IGD dan dirawat di Ruangan Isolasi sejak tanggal 30

Desembar 2013.

B. ANAMNESIS

1) Keluhan Utama

Sesak napas

2) Riwayat Penyakit Sekarang

Tiga tahun yang lalu pasien mengeluh demam hilang timbul

kemudian diikuti kuning pada mata dan kulit disertai mual, BAK

bewarna seperti air teh dengan frekuensi dan jumlah tidak berubah

sebelum sakit. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan diagnosisoleh

dokter sakit kuning kemudian diobati dan gejala hilang. Pasien tidak

pernah kontrol kembali.

Satu tahun perut pertama kali mulai membesar. Pasien tidak pergi

berobat. Perut semakin membesar 1 bulan sebelum masuk rumah sakit

diikuti dengan bengkak pada kedua tungkai kaki. Semakin lama perut

terasa semakin penuh hingga terasa sesak jika berbaring. Sesak tidak

dipengaruhi oleh aktivitas. BAK berwarna seperti air teh dengan jumlah

sembab pada wajah (-), sedikit, nyeri saat berkemih (-),BAK berpasir (-),

Page 43: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

darah (-). BAB konsistensi cair berwarna hitam sebanyak 1x, darah segar

(-), lendir (-), ampas (-). Pasien juga merasakan mual, namun tidak

muntah. Riwayat nyeri dada, batuk, demam, muntah, badan atau mata

menguning disangkal.

Satu minggu sebelum masuk rumah sakit perut terasa semakin penuh

sehingga sesak napas memberat dan badan terasa lemah. Sesak tidak

dipengaruhi oleh aktivitas, keluhan tidak disertai nyeri dada, batuk,

gangguan BAB/BAK, demam, mual atau muntah. Pasien kemudian

berobat ke RSDS.

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat sakit kuning 3 tahun yang lalu dan diobati

oleh dokter, minum obat dan keluhan hilang. Riwayat operasi batu ginjal

pada tahun 1990. Riwayat sakit jantung, kencing manis, sakit paru,

bengkak pada wajah disangkal.

4) Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa. Riwayat

anggota keluarga yang menderita sakit kuning, tekanan darah tinggi, dan

kencing manis disangkal.

5) Riwayat Kebiasaan, Sosial-Ekonomi

Riwayat konsumsi alkohol 20 tahun yang lalu, riwayat konsumsi

obat-obatan dan jamu-jamuan yang lama disangkal. Riwayat merokok

saat muda.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1) Status Generalis

Keadaan umum : WHO performance status grade 3

Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Page 44: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Frekuensi nadi : 80 kali/menit; reguler

Frekuensi napas : 25 kali/menit

Suhu : 36,5°C

2) Pemeriksaan Organ

Kulit : warna sawo matang, anemis (+), ikterik (-)

Kepala : normosefali

Rambut : rambut hitam, terdistribusi rata, tidak mudah

dicabut

Mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik (-/-)

edem palpebra (-/-)

Telinga : sekret (-/-) nyeri tekan (-)

Hidung : sekret (-/-) deviasi septum (-)

Tenggorokan : hiperemi faring (-), tonsil T1//T1

Gigi dan Mulut : gigi lengkap, stomatitis (-)

Leher : distensi vena jugular (-); JVP 5+2 cmH2O

Dada : simetris, spider nevi (+)

Paru

Inspeksi : statis : simetris ; dinamis : dada tidak tertinggal

Palpasi : fremitus taktil kanan < kiri

Perkusi : Paru kanan: redup pada SIC V

Paru kiri: sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler, melemah pada paru

kanan rh(-/-) wh (-/-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tampak pada SIC V linea midclavicula

sinistra

Palpasi : iktus kordis teraba pada SIC V linea midclavicula

sinistra

Page 45: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

Perkusi : batas kanan jantung SIC V linea parasternalis

dextra

batas kiri jantung SIC V 1 linea midclavicula

sinistra

pinggang jantung SIC II linea parasternalis sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I dan II, reguler, murmur (-), gallop

(-)

Abdomen

Inspeksi : perut membuncit, venektasi (+), caput medusa (+)

Auskultasi : BU sulit dinilai, bruit (-)

Palpasi : distensi (+), hepar dan lien sulit diraba, undulasi

(+)

Perkusi : redup, shifting dullness (+)

Alat Kelamin & Anus: pembesaran pada scrotum sinistra

Anggota Gerak : pitting edema pada ekstremitas atas dan bawah

KGB : tidak teraba pembesaran KGB

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 30 Desember 2013

WBC : 6,6 K/ul

RBC : 2,66 M/ul

HGB : 8,5 g/dl

HT : 23,2%

MCV : 87,4 fl

MCHC : 36,6 ng

PLT : 58 K/ul

Ureum : 94,5 mg/dl

Kreatinin : 1,3 mg/dl

GDS : 79 mg/dl

Albumin : 1,8 gr/dl

Page 46: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

SGOT : 56,8 mg/dl

SGPT : 40,3 mg/dl

Bilirubin total : 0,3 mg/dl

Bilirubin direk : 0,1 mg/dl

HbsAg : reaktif

Anti-Hcv : non-reaktif

E. DIAGNOSIS

- Sirosis Hepatis dekompensata

- Hepatitis B

- Sindrom Hepatorenal

F. DIAGNOSIS BANDING

- Congestive heart failure

- Chronic kidney disease

G. TATA LAKSANA

Non medikamentosa

1) Tirah baring

2) Diet lunak, rendah garam, restriksi cairan, diet protein 1g/kgBB, dan

kalori 2000-3000 kkal/hari

3) Pemasangan kateter Foley 16”

4) Pemasangan akses IV

Medikamentosa

1) IVFD ringer asetat 10 tpm

2) Aminofusin hepar 50gr/hari, 45 tpm

3) Spironolactone tablet 2 x 100 mg p.o

H. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN

Page 47: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

1) Parasentesis diagnosis

2) Pemeriksaan IgG anti-HBc, HbeAg, HBV DNA

3) Foto toraks PA

4) Endoskopi

I. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanactionam : dubia ad malam

Page 48: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

J. FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Assessment Plan

31-12-2013 Sesak, kaki, dan perut bengkak, mual, muntah (-), BAB hitam

Kes: compos mentisTD: 130/80mmHgHR: 16x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CCor: S1S2 murmur (-) gallop (-).Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri.Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 107 cm, BU sulit dinilai, hepar lien sulit teraba.Alat Ekstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawah.BB: 53 kg

Dx: Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10

tpm- Aminofusin hepar- Transfusi WBC 2 kolf- Inj dexametason 1 amp- Spironolactone tab

2x100mg

USG Abdomen

1-1-2014 Sesak↓, kaki dan perut bengkak, nyeri perut, mual (+), muntah (-), BAB (+) encer warna kuning

Kes: compos mentisTD: 110/80mmHgHR: 80x/m, regulerRR: 16x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 107 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 53 kg

Dx: Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10

tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab

2x100mg

Page 49: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

2-1-2014 Nyeri perut (+), perut memberat, sesak (+), mual (+), muntah (+), 1 kali terdiri makanan , perut terasa penuh, BAB (+) normal, BAK sedikit-sedikit warna putih.

Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 107 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 51 kg

Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10

tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab

2x100mg

3-1-2014 Nyeri perut (+), sesak (+), mual (-), muntah (-),

Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg

Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10

tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab

2x100mg

Page 50: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

4-1-2014 Sesak(-), kaki tangan, dan perut bengkak

Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg

Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10

tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab

2x100mg

USG abdomen:- Asites (+)- Hipertensi porta- Sirosis hati

5-1-2014 Sesak(-), kaki tangan, dan perut bengkak

Kes: compos mentisTD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg

Dx:Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10

tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab

2x100mg

6-1-2014 Sesak(-), Kes: compos mentis Dx:

Page 51: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

kaki tangan, dan perut bengkak

TD: 100/70mmHgHR: 84x/m, regulerRR: 24x/mT: 36,2°CMata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)Cor: S1S2 murmur (-) gallop (-)Pulmo: Rhonki basah kanan dan kiri, Abdomen: distensi (+) undulasi (+), lingkar perut 106 cmAlat kelamin: scrotum membesarEkstremitas: pitting edema pada ekstremitas atas dan bawahBB: 50 kg

Sirosis hatiTerapi:- IVFD ringer asetat 10

tpm- Aminofusin hepar- Spironolactone tab

2x100mg

Page 52: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sesak napas dan perut yamg

membesar. Perut membesar sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Pembengkakan

pada perut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya dipengaruhi oleh

peningkatan tekanan intrakapiler, penurunan tekanan onkotik plasma

intravaskuler, dan retensi cairan. Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam

rongga peritoneum. Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen.

Penimbunan cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan napas pendek karena

diafragma terdorong. Dengan semakin banyaknya penimbunan cairan peritoneum,

dapat dijumpai cairan lebih dari 500 ml pada saat pemeriksaan fisik dengan pekak

alih, gelombang cairan, dan perut yang membengkak.

Hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh perut membesar yang terasa

penuh dan sesak napas yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas, keluhan tidak

disertai nyeri dada, batuk, gangguan BAB/BAK, demam, mual atau muntah.

Pasien kemudian berobat ke RSDS. Pasien pernah mengalami BAB hitam eperti

ter dan cair sebanyak satu kali ± 1 bulan yang lalus.

Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya konjungtiva anemis,

asites, spider nevi pada dada atas, venektasi vena (caput medusa), ginekomastia,

redup pada perkusi paru kanan dimulai pada SIC V dan penurunan suara napas

dasar, dan edema perifer pada kedua tungkai kaki. Pada pemeriksaan laboratorium

pasien ini ditemukan adanya anemia, trombositopenia, peningkatan kadar SGOT,

penurunan kadar albumin, dan HBsAg reaktif.

Berdasarkan manifestasi klinis, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium pasien ini didiagnosis kerja sebagai sirosis hepatis dan hepatitis B.

Diagnosis sirosis ditegakan dengan kriteria Soebandiri yaitu asites, splenomegali,

venektasi/ vena kolateral, spider nevi, varises esophagus (hematemesis melena),

ratio albumin : globulin terbalik dan palmar eritem. Pada pasien ini didapatkan 5

kriteria klinis soebandiri yaitu asites, venektasi/vena kolateral, spider nevi,

kemungkinan varises esophagus dengan mempertimbangkan riwayat melena

Page 53: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

pada pasien dan splenomegali dengan mempertimbangkan anemia dan

trombositopeni dalam pemeriksaan laboratorium. Pada pasien ini telah

mengalami sirosis hati dekompensata. Sirosis hati dapat dikatakan dekompensata

apabila memiliki satu atau lebih manifestasi ikterik, asites, ensefalopati atau

perdarahan varises. Diagnosis hepatitis B dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan

HbsAg yang reaktif pada pasien ini. Komplikasi tersering hepatitis virus adalah

perjalanan klinis yang lebih lama hingga berkisar dari 2-8 bulan yang dikenal

sebagai hepatitis kronis persisten. Sekitar 5-10% hepatitis virus dapat mengalami

kekambuhan setelah sembuh dari serangan awal. Kekambuhan ikterus biasanya

tidak teralalu nyata, dan uji fungsi hati tidak memperlihatkan kekambuhan dalam

derajat yang samaseperti pada serangan awal. Setelah hepatitis virus akut,

sejumlah kecil pasien akan mengalami hepatitis agresif atau kronis aktif akan

terjadi kerusakan hati yang akan berakhir dengan sirosis hati. Kondisi ini

dibedakan dari hepatitis kronis persisten melalui pemeriksaan biopsi hati.

Pada anamnesis ditemukan keluhan berupa pembengkakan perut disertai

sesak napas, BAB cair dan hitam sebanyak satu kali. Asites merupakan

masifestasi cardinal sirosis dan bentuk berat lain dari penyakit hati. Beberapa

factor yang tururt terlibat dalam pathogenesis asites pada sirosis hati adalah

hipertensi porta, hipoalbuminemia, meningkatnya pembentukan dan aliran limfa

hati, retensi natrium, dan gangguan ekskresi air.

Pada sirosis hati terjadi vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid yang

berakibat terjadinya peningkatan resistensi sistem porta sehingga terjadi hipertensi

porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan vasodilatasi splanik

bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi system porta yang diikuti

oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanknik bed menyebabkan

hipertensi porta menetap. Hipertensi porta akan menyebabkan peningkatan

tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudate

akan terkumpul di rongga peritoneum.

Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis albumin yang

dihasilkan oleh sel-sel hati terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan

menurunnya tekanan osmotic koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang

Page 54: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

meningkat dengan tekanan osmotic yang menurun dalam jaringan pembuluh

darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang intravascular

ke ruang interstisial.Hipertensi porta juga dapat meningkatkan pembentukan limfa

hepatikyang membuatnya keluar dari hati ke dalam rongga peritoneum sehingga

menyebabkan tingginya protein dalam cairan asites, dan meningkatkan tekanan

osmotic koloid dalam rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan

dari rongga intravascular ke ruang peritoneum. Hipertensi portal juga dapat

menyebabkan terjadinya vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan

mengakibatkan hipovolemi arterial sentral sehingga akan merangsang aktivasi

system renin-angiotensin-aldosteron yang dapat menyebabkan retensi natrium dan

air. Sehingga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik intravascular yang

pada akhirnya menyebabkan transudasi cairan dari intravascular ke interstisial.

Pasien dengan perdarahan saluran cerna berupa hematemesis atau melena

sering terjadi pada sirosis. Penyebab perdarahan saluran cerna dapat berupa

varises esophagus, yang merupakan penyebab perdarahan terbanyak pada sirosis

hepatis. Penyebab lain perdarahan adalah tukak lambung dan duedonum (pada

sirosis insidensi gangguan ini meningkat), erosi lambung akut, dan kecendrungan

perdarahan akibat masa protrombin yang memanjang dan trombositopenia.

Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya konjungtiva anemis,

asites, spider nevi pada dada atas, venektasi vena (caput medusa), ginekomastia,

redup pada perkusi paru kanan dimulai pada SIC V dan penurunan suara napas

dasar, dan edema perifer pada kedua tungkai.

Spider nevi merupakan suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena-

vena kecil dan dapat ditemukan pada bahu, wajah, dan lengan atas. Spider nevi

dapat terjadi akibat peningkatan rasio ekstradiol/testosterone bebas. Caput medusa

terjadi akibat hipertensi porta. Ginekosmastia terjadi akibat penurunan level

serum testosterone dan penurunan aktivitas reseptor androgen hepatik. Adanya

redup pada perkusi paru kanan dan penurunan suara napas vesicular paru kanan

dapat disebabkan oleh karena efusi pleura. Efusi pleura pada pasien dengan sirosis

disebabkan kondisi hepatik hidrotoraks. Hal ini dapat dikarenakan defek pada

diafragma yang menyebabkan transfer cairan asites dari permukaan hepar

Page 55: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

melewati langsung ke rongga pleura. Tekanan negatif intratoraks menarik cairan

asites rongga pleura. Efusi pleura juga dapat mengakibatkan sesak napas pada

pasien.

Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan dapat

dijelaskan sebagai akibat hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Kegegalan

sel hati untuk menginaktifkan aldosterone dan hormone antidiuretic merupakan

penyebab retensi natrium dan air.

Pada pemeriksaan laboratorium pasien ini ditemukan adanya anemia,

trombositopenia, peningkatan kadar SGOT, penurunan kadar albumin serum, dan

hasil HbsAg reaktif. Gangguan hematologik yang sering terjadi pada sirosis

adalah kecendrungan perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia.

Penderita sering mengalami perdarahan hidung, gusi, dan mudah memar. Masa

protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya

pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leukopenia, dan

trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya

membesar (splenomegaly) tetapi juga aktif menghancurkan sel-sel darah dari

sirkulasi. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah defisiensi folat,

vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan

peningkatan hemolisis eritrosit.

Pada pasien selain ditemukan HBsAg reaktif juga terjadi peningkatan

kadar SGOT dan penurunan kadar albumin. Pada pemeriksaan laboratorium

pasien dengan hepatitis B kronis dapat menunjukkan hasil dalam batas normal.

Peningkatan ringan hingga sedang dari kadar SGOT/SGPT merupakan satu-

satunya tes biokimia yang ditemukan. Penanda dari fungsi hepatis yang terganggu

(penurunan albumin, peningkatan bilirubin, dan perpanjangan protrombin dapat

ditemukan). Pasien dengan infeksi hepatitis B kronis juga dapat memiliki hasil

HBsAg dan IgG anti-HBc.

Pada pasien ini dapat terjadi sindrom hepatorenal yang ditandai dengan

adanya beberapa kriteria mayor sindrom hepatorenal yaitu penyakit hati akut atau

kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal, tidak ada syok, infeksi

bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan mendapat obat nefrotoksik,

Page 56: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 liter

dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau pen- ingkatan

kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt).

Tatalaksana pada pasien ini merupakan terapi suportif untuk mengurangi

keluhan pasien dan untuk tidak memperberat progresifitas penyakit. Tirah baring

disertai dengan pemeberian diuretic dapat memberikan manfaat. Hal ini

dihubungkna dengan peningkatan perfusi renal dan aliran darah vena porta.

Pemberian terapi cairan berupa aminofusin hepar dikarenakan aminofusin hepar

memiliki efek hepatoprotektor dan meningkatkan regenerasi sel hati serta bekerja

pada siklus urea untuk meningkatkan produksi urea dari ammonia. Aminofusin

hepar merupakan nutrisi parenteral untuk pasien dengan gangguan fungsi hati

kronis untuk membantu mempertahankan kesadaran. Diet lunak, rendah garam,

restriksi cairan dan diet rendah protein. Diet lunak dilakukan untuk tidak

memperberat kerja system pencernaan, diet rendah garam untujj mencegah retensi

natrium, menghindari intake cairan yang berlebihan dan diet protein untuk

menghindari terjadinya penumpukan ammonia yang berlebihan yang dapat

mengakibatkan ensefalopati hepatikum oleh karena peningkatan ammonia dalam

darah. Pemasangan foley kateter digunakan untuk observasi cairan input dan

output pasien sambil melihat fungsi ginjal.

Terapi medikamentosa yang diberikan adalah spironolakton 1x100 mg,

Spironolakton merupakan antagonist aldosterone, dimana pada sirosis hepatis

terjadi hipertensi porta dan dilatasi splanknik sehingga terjadi aktivasi sistem

RAAS oleh karena itu spironolakton bermanfaat untuk mencegah retensi natrium

dan air. Pemberian ceftriakson 2x1 gr i.v diberikan untuk profilaksis. Setiap

penderita sirosis hati dengan asites dekompensata atau ensefalopati hepatic harus

diperhatikan kemungkinan adanya peritonitis bacterial spontan (PBS).

Pemeriksaan paracentesis diagnosis diperlukan untuk melihat cairan

asites. Parasintesis diagnostic harus selalu dilakukan pada pasien dengan

keluhan asites yang baru untuk dicari penyebab nya. Pada pasien dengan sirosis

hepatis, parasentesis diagnostic perlu dilakukan untuk mencari tahu apakah

terdapat SBP atau tidak. Cairan asites yang didapat bisa berwarna jernih, hijau,

Page 57: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

kuning jerami ataupun berwarna kecoklatan serta kemerahan. Warna kemerahan

diindikasikan terdapat keganasan, bekas parasentesis ataupun bekas prosedur

invasive lainnya. Cairan asites yang didapatkan diperiksakan asites total protein

dan gradient serum asites albumin, asites polimorfonuklear sel, asites biological

kultur, elektrolit, dan jumlah total cairan asites. Pada pasien ini diperlukan

parasentesis diagnostic untuk melihat kecurigaan SBP pada sirosis hepatis.

Rencana pemeriksaan lanjutan pada pasien ini adalah pemeriksaan IgM

anti-Hbc dan IgG anti-Hbc yang diperlukan untuk menentukan apakah infeksi

hepatitis pada pasien ini bersifat akut atau kronis. Pada masa infeksi akut

hepatitis, anti-Hbc didominasi oleh IgM sehingga titer IgM anti-Hbc akan

meningkat pada fase akut dan juga sebagai solo marker pada masa window

period. Titer IgM anti-Hbc akan berkurang selama fase pemulihan dimana saat

fase pemulihan titer IgG anti-Hbc akan meningkat. Selama fase awal fase kronik

infeksi hepatitis B HBeAg dan peningkatan level HBV-DNA juga dapat

ditemukan. IgM anti-Hbc akan dipertahankan pada titer rendah pada infeksi

kronik hepatitis B pada kebanyakan pasien, titer IgM anti-Hbc akan meningkat

pada eksaserbasi akut infeksi kronik hepatitis B, sehingga kadang sulit untuk

membedakan antara infeksi kronis dan infeksi akut hepatitis B. pada pasien ini

diperlukan pemeriksaan titer antibody diatas untuk menentukan pemberian terapi

antiviral. Pemeriksaan toraks PA dilakukan untuk mengetahui keadaan paru dan

jantung pasien. Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kelainan pada jantung dan

memastikan kelainan pada paru yang ditemukan pada pemeriksaan fisik yaitu

redup pada paru kanan di SIC V dan suara napas dasar melemah pada paru kanan.

Pemeriksaan endoskopi diperlukan untuk menentukan adanya varises

esophagus atau tidak, serta untuk menentukan adanya gastropati hipertensi porta

sebab pada pasien ini didapatkan adanya melena untuk melihat apakah perdarahan

berasal dari varises esophagus atau lambung.

Page 58: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

BAB V

KESIMPULAN

Pasien laki-laki 41 tahun dengan keluhan sesak dan bengkak pada perut.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang disimpulkan pasien ini

mengalami sirosis hepatis dekompesata yang diduga disebabkan oleh hepatitis B.

Diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memastikan etiologis dan

komplikasi penyakit ini. Prognosis pasien secara keseluruhan dubia ad malam.

Page 59: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

DAFTAR PUSTAKA

1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In

Harrison’s : Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical

Publishing Division, 2005.

2. Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011 February 23rd].

Available from : URL : http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789

/3386/1/ penydalam-srimaryani5.pdf

3. Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD,

Michael P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition. Saunders

Elsevier. Canada. 2006

4. Hanifah Oswari,Tinjauan Multi Aspek Hepatitis B pada Anak – Tinjauan

Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000

5. Lina Herlina Soemara, Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan Komprehensif

Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000

6. Julfina Bisanto. Hepatitis virus – Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak

dengan Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.

Jakarta. 2007

7. Steffen R (Oktober 2005). "Changing travel-related global epidemiology of

hepatitis A". Am. J. Med. 118 Suppl 10A: 46S–49S. doi:10.1016/

j.amjmed.2005.07.016. PMID 16271541. http://linkinghub.elsevier.com/

retrieve/pii/S0002-9343(05)00609-1. Diakses tanggal 13 Januari 2014

8. Caruntu FA, Benea L (September 2006). "Acute hepatitis C virus infection:

Diagnosis, pathogenesis, treatment". Journal of Gastrointestinal and Liver

Diseases: JGLD 15 (3): 249–56. PMID 17013450. http://www.jgld.ro/

32006/32006_7.html. Diakses tanggal 17 Januari 2014.

9. Jolley DS, Lok AS, Burroughs AK, Heathtcote EJ. Sherlock’s Disease of The

Liver and Billiary System. 12th Edition. Blackwell Publishing. 2011.

10. Suyono,Sufiana,Heru,Novianto,Riza,Musrifah. Sonografi sirosis hepatis di

RSUD Dr. Moewardi. Kalbe. 2006. [cited on 2014 Januari 13rd]. Available

Page 60: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

from:URL:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishep

atis.pdf/09_150_Sonografisirosishepatis.html

11. Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. Cirrhosis and its complications. In :

Kasper DL et.al, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 th Edition.

USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62.

12. Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 443-53.

13. Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 415-6.

14. Faiz O, Moffat D. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy at a

glance. USA: Blackwell Publishing Company; 2002. p. 44-5.

15. Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan

Pankreas. Dalam : Sylvia A.Price et.al, eds. Patofisiologi. Edisi

6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2006. Hal.472-5.

16. Netter FH. Surface and bed of liver. In : Atlas of Human Anatomy. 4 th

Edition. USA : Saunders Elsevier; 2006. p. 287.

17. Douglas Eder. Histology. In : Laboratory Atlas of Anatomy and Physiology.

4th Edition. USA : McGraw-Hill Science; 2001. p.35

18. Hall & Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 902-6.

19. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto

H, Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7 th Edition.

Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.

20. Wadei, HM, Martin LM, Nasimul A. Hepatorenal Syndrome: Pathophysiology

and Management. American Society of Nephrology [Internet]. 2006 [Diakses

pada 28 Januari 2014]. Didapat dari:

h t t p : // c j as n . a s n j o urn al s .o r g / c o n t e n t /i/ 5 / 10 6 6 . f u ll . p df .

Page 61: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

21. Kuntz, Erwin, H. D. Kuntz. Hepatology Principles and Practice. Germany:

Springer; 2006.

22. Setiawan, P. B, Hernomo K. Sindrom Hepatorenal. Dalam: ed. Sudoyo, Ari W

dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

In- donesia; 2006. Hal 452 – 454

23. Sri Maryani S. Sindrom Hepatorenal. Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara [Internet]. 2003 [Diakses 28 J a n u a r i 2014]. Didapat

dari; h t t p : // r e p o si t ory.u s u. ac . i d / b i t s t r e am / 1 2 345678 9 / 339 0 / 1 / p e n yd ala m - s r i ma -

ry a n i 6 . p d f

24. Charles, KF, Michael HM. Hepatorenal Syndrome. Department of Chemical

Pathology, The Chinese University of Hong Kong, Prince of Wales Hospital,

Shatin, Hong Kong [Internet]. 2007. [Diakses 28 Januari 2014]. Didapat dari:

h t t p : // www . n c b i . n lm .n i h. g ov / p m c / a r t i c l e s / P M C 1 9 0 44 2 0 /

p d f /c b r 2 8 _ 1 p 01 1. p d f

25. Dagher, Moore. The Hepatorenal Syndrome. [Internet]. 2001. [Diakses 28

Januari 2014]. Didapat dari: h t t p : // www . n c b i . n lm .n i h. g ov / p m c / a r t i c l e s /

P M C 1 7 2 84 9 2 / p d f / v 0 4 9 p 00 729.pd f ?t oo l= p mc e n t r e z

26. Moreau, Richard. Hepatorenal Syndrome in Patients with Cirrhosis. Lancet

[Internet] 2003; 362: 739-747. Didapat dari: h t t p : // o n l i n e l i br a ry. w i le y. c o m /

s t or e / 1 0.1 0 46 /j . 1 440 1 746. 2 00 2 . 0 2 778.x / a ss e t /j . 1 4 4 0 - 1 746 . 2 00 2 . 0 2 778.x . pd f ?

v = 1 &t = g m n m 3 e f c & s =e e a f 38 2 37 c 6 ac e b 26 6 9 a 1 d48 c 4433 3 64 11 8 2 5 a e 9

27. Pere Glines. 2003. Hepatorenal Syndrome. Lancet 2003; 362: 1819-1826.

Didapat dari: http://www.med.upenn.edu/gas tro/documents/ LancetHRS.pdf

28. Wilkinson SP, KP Moore, V Arroyo. Pathogenesis of ascites and hepatorenal

syndrome. Gut Supplement [internet] 1991 [Diakses 18 April 2011]. Didapat

dari:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1405222/pdf/gut00594001

4.pdf?tool=pmcentrez

Page 62: Laporan Kasus Sirosis Hati Dekompensata

29. Fauci, dkk. Harrison’s Priciples of Internal Medicine Edisi 17. USA: Mc

Graw-Hill Company; 2008. Chapter 302

30. Taylor CR. Cirrhosis. emedicine. 2009. [cited on 2014 January 28th].

Available from: URL : http://emedicine.medscape.com/article/366426-

overview

1