bab i sirosis hati 2003

12
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati kronis yang ditandai dengan adanya penggantian jaringan normal dengan jaringan fibrous disertai dengan nodul regeneratif sehingga sel-sel hati akan kehilangan fungsinya (Choudury & Sanyal, 2006). Hasil akhirnya adalah destruksi hepatosit dan digantikan oleh jaringan fibrous serta gangguan atau kerusakan vaskular. Sirosis hati merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati (Kusumobroto, 2007). Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan 35.000 kematian per tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di Amerika Serikat (DC.Wolf, 2005). Di Asia Tenggara, prevalensi penderita sirosis hati terbanyak terjadi pada kaum pria dengan rata-rata usia 45 sampai 69 tahun. Hepatitis B dan Hepatitis C menjadi penyebab terbanyak (WHO, 2011). Etiologi sirosis hati antara lain konsumsi alkohol jangka panjang; hepatitis kronis yang disebabkan oleh virus tipe B, C, dan D; penyakit liver metabolik seperti hemokromatosis, Wilson disease, nonalcoholic steatohepatitis atau fatty liver; penyakit liver kolestasis; 1

Upload: cloudeluna

Post on 13-Dec-2014

37 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Sirosis Hati 2003

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirosis hati merupakan penyakit hati kronis yang ditandai dengan adanya

penggantian jaringan normal dengan jaringan fibrous disertai dengan nodul

regeneratif sehingga sel-sel hati akan kehilangan fungsinya (Choudury & Sanyal,

2006). Hasil akhirnya adalah destruksi hepatosit dan digantikan oleh jaringan

fibrous serta gangguan atau kerusakan vaskular. Sirosis hati merupakan perjalanan

akhir berbagai macam penyakit hati (Kusumobroto, 2007).

Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan 35.000 kematian per

tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di

Amerika Serikat (DC.Wolf, 2005). Di Asia Tenggara, prevalensi penderita sirosis

hati terbanyak terjadi pada kaum pria dengan rata-rata usia 45 sampai 69 tahun.

Hepatitis B dan Hepatitis C menjadi penyebab terbanyak (WHO, 2011).

Etiologi sirosis hati antara lain konsumsi alkohol jangka panjang; hepatitis

kronis yang disebabkan oleh virus tipe B, C, dan D; penyakit liver metabolik

seperti hemokromatosis, Wilson disease, nonalcoholic steatohepatitis atau fatty

liver; penyakit liver kolestasis; obat-obatan dan bahan alam seperti Isoniazid,

Methyldopa, Methotrexate, Estrogen, anabolic steroid, dan Jamaican bush tea.

Hepatitis B merupakan penyebab terbesar berkembangnya penyakit sirosis di

dunia secara umum (Sease et al, 2008). Penyebab utama sirosis hati di Amerika

Serikat adalah Hepatitis C (26%), penyakit hati alkoholik (21%), Hepatitis C plus

penyakit hati alkoholic (15%), Kriptogenik (18%), Hepatitis B yang bersamaan

Hepatitis D (15%), dan penyebab lain (5%) (DC.Wolf 2005).

Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan kondisi klinik yang sering

ditemui di bidang Gastroenterologi. Perdarahan saluran cerna bagian atas

didefinisikan sebagai perdarahan saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz

dengan manifestasi hematemesis ataupun melena dengan atau tanpa penurunan

status hemodinamik (ASGE, 2012). Etiologi perdarahan saluran cerna bagian atas

diklasifikasikan menjadi perdarahan varises dan perdarahan non varises (Palmer,

1

Page 2: BAB I Sirosis Hati 2003

2

2010). Pada rentang tahun 1986-1987 di Unit Gawat Darurat RSUD Dr Soetomo

tercatat sirosis hati menjadi kausa perdarahan saluran cerna bagian atas yang

paling dominan yakni mencapai 85,9% (Kusumobroto, 1987). Namun, pada tahun

2008 terjadi pergeseran, di mana gastritis erosiva menjadi kausa perdarahan

saluran cerna bagian atas yang dominan yakni 42,66% dari seluruh kasus diikuti

varises esofagus sebagai kausa terbanyak kedua sebesar 27,99% (Sugihartono et

al, 2010).

Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari hati

ataupun usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat mengakibatkan

peningkatan tekanan dalam vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil

peningkatan aliran darah dan peningkatan tekanan porta ini, vena-vena di bagian

bawah esofagus dan bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises

esofagus dan lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya,

dan apabila varisesnya pecah, maka pasien akan mengalami perdarahan (variceal

bleeding). Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat

dapat berakibat fatal. Bila varises sudah muncul, pasien sirosis beresiko

mengalami perdarahan, dan sekali ia mengalami perdarahan maka ia akan

bertendesi untuk mengalami perdarahan yang berikutnya. Resiko kematian selalu

ada di setiap perdarahan (Kusumobroto, 2007). Pasien dengan sirosis memiliki

resiko mengalami perdarahan varises ketika tekanan vena portal 12 mmHg lebih

besar dibandingkan tekanan vena sentral (Sease et al, 2008).

Perdarahan varises merupakan 70% penyebab perdarahan saluran cerna bagian

atas pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan portal (Sarin et al, 2011).

Pasien sirosis hati yang mengalami perdarahan memiliki resiko tingkat kematian

sebesar 15-20% sehingga penanganan yang tepat harus diberikan sesegera

mungkin. Akan tetapi tidak semua lokasi sumber perdarahan berasal dari

rupturnya varises. Terkadang lokasi sumber perdarahan pun tidak bisa dipastikan

dengan endoskopi (Hsu et al, 2009). Walaupun dalam beberapa tahun ini terjadi

peningkatan angka survival pasien, masih terjadi kematian yang diakibatkan

kegagalan dalam mengontrol perdarahan awal atau perdarahan ulang awal yang

terjadi hingga 30-40% dari pasien selama 5 hari pertama setelah kejadian

perdarahan pertama (Bendsten et al, 2008).

Page 3: BAB I Sirosis Hati 2003

3

Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna atas yang adekuat dapat

menurunkan tingkat mortalitas. Assesment yang tepat meliputi history taking

pasien, pemeriksaan fisik, pengukuran data klinik ataupun data laboratorium akan

menentukan keputusan manajemen terapi pasien selanjutnya (Cappell & Friedel,

2008). Ketika terjadi perdarahan akut, resusitasi cairan yang efektif, diagnosis

yang akurat dan pengobatan yang tepat harus segera dilakukan untuk mencegah

pasien jatuh dalam kondisi hipovolemic shock yang dapat berakibat komplikasi

gagal ginjal dan infeksi. Transfusi darah juga dilakukan untuk mengganti darah

yang hilang namun tidak boleh dilakukan secara berlebihan karena justru akan

meningkatkan hipertensi portal kembali yang berakibat meningkatnya resiko

perburukan kontrol perdarahan (Waspodo, 2007).

Setelah kondisi hemodinamik tercapai, tindakan endoskopi dapat dilakukan

untuk menegakkan diagnosis ataupun etiologi perdarahan saluran cerna bagian

atas. Endoskopi dilakukan berdasarkan kondisi klinis pasien. Endoskopi darurat

(berselang 24 jam setelah terjadi perdarahan) direkomendasikan untuk pasien

yang memiliki riwayat keganasan atau sirosis, hematemesis dengan tanda-tanda

hipovolemic shock seperti takikardi, hipotensi dan shock serta nilai Hemoglobin <

8 g/dl (ASGE, 2012).

Akan tetapi tindakan endoskopi jarang dilakukan, hal ini dapat disebabkan

karena tenaga dan kondisi yang belum memungkinkan. Sehingga intervensi

farmakologi kerap diberikan untuk mendukung pencapaian status hemodinamik

pasien. Intervensi farmakologi juga kerap diberikan setelah diagnosis perdarahan

tegak dengan adanya endoskopi. Terdapat perbedaan penatalaksanaan

farmakologi antara perdarahan saluran cerna bagian atas karena varises dan non

varises.

Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas oleh karena pecahnya varises,

terapi farmakologi harus segera diberikan ketika pasien didiagnosis mengalami

perdarahan sebelum endoskopi diagnostik dilakukan. Vasokonstriktor dapat

digunakan untuk mengontrol hampir 80% episode perdarahan dan secara umum

digunakan sebagai terapi lini pertama (APASL, 2012). Terlipressin atau

Glipressin dapat digunakan sebagai lini pertama bila tersedia dan tidak ada

kontraindikasi (Sarin et al, 2011). Terlipressin yang merupakan analog sintetik

Page 4: BAB I Sirosis Hati 2003

4

Vasopressin dapat diberikan 2 mg tiap 4 jam selama 48 jam. Setelah perdarahan

terkontrol selama 24 jam, obat ini dapat diturunkan dosisnya hingga separuhnya.

Obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung atau

gangguan pembuluh darah yang berat. Terlipressin memiliki efek samping yang

lebih kecil dibandingkan Vasopressin (Garcia Tsao et al, 2007). Pemberian

Terlipressin bersama Albumin dapat memperbaiki syndrom Hepatorenal (Uriz J et

al, 2002).

Ketika Terlipressin tidak tersedia, Somatostatin, Octreotide ataupun

Valpreotide dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan (Sarin et al, 2011).

Somatostatin, Octreotide atau Valpreotid dapat digunakan sebagai vasokonstriktor

splanchnic dengan mekanisme menghambat peptida vasodilator seperti Glukagon.

Somatostatin dapat diberikan 250 µg bolus diikuti 250 µg / jam infus. Terapi infus

diberikan selama kurang lebih 5 hari dan dipantau perkembangannya (Garcia Tsao

et al, 2007). Efek samping Somatostatin yang paling sering adalah bradikardi,

hiperglikemia ataupun diare namun tidak begitu berat (Choudry & Sanyal, 2006).

Octreotide yang merupakan analog Somatostatin dapat diberikan sebesar 50

µg bollus diikuti 50 µg / jam infus. Terapi infus juga diberikan selama 5 hari.

Octreotide diduga memiliki efek vasokontriksi lokal terhadap vena splanchnic

(Garcia Tsao et al, 2007). Takiphylasis, bradikardia, hiperglikemia ataupun diare

menjadi efek samping dari obat ini. Valpreotide dapat diberikan dengan dosis

yang sama dengan Octreotide. Pemberian Octreotide sama efektifnya dengan

sclerotherapy dalam menghentikan perdarahan (Choudury & Sanyal, 2006).

Penggunaan Somatostatin dinilai lebih baik dibandingkan Vasopressin jika

melihat efek samping yang terjadi (Choudury & Sanyal, 2006). Keberhasilan

Terlipressin ataupun Somatostatin yang diberikan selama 5 hari pada pasien untuk

mengatasi perdarahan mencapai 70% (Waspodo, 2007). Setelah perdarahan

terkontrol, pasien harus diterapi untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang.

Kombinasi antara penyekat reseptor β non selektif dan ligasi merupakan pilihan

terapi terbaik sebagai profilaksis sekunder (Garcia Tsao et al, 2007).

Sedangkan penatalaksanaan farmakologi untuk kasus perdarahan saluran cerna

bagian atas dengan sebab non varises membutuhkan terapi farmakologi untuk

menekan produksi asam lambung sebagai kontrol perdarahan. Stabilitas bekuan

Page 5: BAB I Sirosis Hati 2003

5

darah akan menurun pada suasana pH asam sehingga beresiko menyebabkan

perdarahan. Untuk itu pH lambung harus dipertahankan supaya tetap berada di

atas pH 6. Dengan pH di atas 6, diharapkan bekuan darah yang terbentuk stabil

sehingga resiko rebleeding dapat diminimalkan. Hal ini dapat dicapai dengan

pemberian infus intravena PPI dosis tinggi seperti Omeprazole 80 mg bolus

diikuti 8 mg/jam infus selama 72 jam. Pemberian terapi PPI oral dosis tinggi juga

efektif dalam menurunkan resiko rebleeding dan tindakan bedah, namun tidak

menurunkan tingkat mortalitas (Palmer, 2010). Pemberian infus intravena dosis

tinggi dapat menurunkan pepsin yang menginduksi bekuan darah untuk lisis dan

meningkatkan agregasi platelet sehingga dapat meminimalkan kemungkinan lesi

untuk berdarah lagi dan meminimalkan penggunaan endoskopi terapi (Pang &

Graham, 2010).

Intervensi farmakologi bisa diberikan baik pre-endoskopik ataupun post-

endoskopik. Sebagai terapi pre endoskopik, pada ulkus peptik dapat diberikan

infus PPI dosis tinggi. Pemberian infus intravena PPI dosis tinggi dapat

mempercepat perbaikan lesi akibat perdarahan dan meminimalkan penggunaan

terapi endoskopik. Namun, tindakan resusitasi juga tetap harus diberikan untuk

pencapaian keadaan hemodinamik pasien. Endoskopi untuk menetapkan diagnosa

juga perlu dilakukan. Sebagai terapi post-endoskopik, pemberian infus PPI lebih

baik dibanding antagonis H2 dalam mengatasi perdarahan akibat ulkus peptik.

Pemberian infus PPI seperti Omeprazole 80 mg bolus diikuti 8 mg/jam infus

selama 72 jam setelah tercapai keadaan hemostasis pasca endoskopi akan

meminimalkan kemungkinan rebleeding. (Pang & Graham, 2010). Namun,

penelitian lain menyebutkan bahwa pada pasien yang memiliki resiko rebleeding

yang rendah tidak ada perbedaan yang signifikan dalam meminimalkan resiko

rebleeding dan penurunan mortalitas antara dosis tinggi PPI dan dosis rendah

yakni 40 mg / hari seperti Pantoprazole (Liang et al, 2012).

Pemberian Pantoprazole dengan dosis sama juga diduga equipoten dalam

meningkatkan pH intragastric. Akan tetapi infus Lansoprazole diduga

meningkatkan pH intragastric lebih cepat dibanding PPI yang lain. Pemberian PPI

bersama antasida atau natrium bikarbonat diyakini akan meningkatkan pH

intragastric lebih cepat dibandingkan penggunaan PPI tunggal. Pemberian PPI

Page 6: BAB I Sirosis Hati 2003

6

bolus dan oral diyakini sama efektifnya dengan pemberian infus PPI, namun hal

ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut (Pang & Graham, 2010).

Terapi untuk mengatasi perdarahan harus diberikan dengan regimentasi dosis

yang tepat supaya tidak terjadi masalah dalam pemberian terapi atau Drug Related

Problem (DRP). DRP didefinisikan sebagai kejadian yang tidak diinginkan yang

menimpa pasien selama pemberian terapi. Klasifikasi DRP meliputi indikasi

penyakit yang tidak tertangani, pemberian obat tanpa indikasi, pemilihan obat

yang tidak tepat atau salah obat, dosis obat sub terapetik, dosis obat berlebihan,

adverse drug reactions, interaksi obat dan penderita gagal menerima obat.

Mengingat betapa besar resiko kematian akibat perdarahan saluran cerna

bagian atas, diagnosa yang tepat dan manajemen terapi yang tepat untuk

mengatasi perdarahan perlu diperhatikan dengan seksama dan dijalankan sesuai

dengan prosedur sebagaimana mestinya. Penelitian ini dilakukan di Instalansi

Rawat Inap Medik Penyakit Dalam RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pemberian terapi yang tepat untuk

mengatasi perdarahan supaya dapat menurunkan resiko kematian pada pasien

sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pola penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada pasien

sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas di Instalasi Rawat

Inap Medik Penyakit Dalam RSUD Dr Soetomo, Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengkaji pola penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada

pasien sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas di

Instalasi Rawat Inap Medik Penyakit Dalam RSUD Dr Soetomo,

Surabaya.

Page 7: BAB I Sirosis Hati 2003

7

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengkaji pola penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada pasien

sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas berdasarkan jenis

obat, dosis obat, rute pemakaian obat, frekwensi pemakaian, dan lama

pemakaian.

2. Mengkaji keterkaitan penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada

pasien sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna berdasarkan data

laboratorium dan data klinik pasien.

3. Mengkaji Drug Related Problem yang muncul dan atau yang akan

mungkin muncul dari penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada

pasien sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan dan masukan untuk meninjau kembali pedoman terapi

untuk mengatasi perdarahan terhadap pasien sirosis hati dengan

perdarahan saluran cerna bagian atas.

2. Sebagai bahan informasi dan masukan dalam rangka meningkatkan

pelayanan kefarmasian berdasarkan konsep Pharmaceutical Care.

3. Sebagai wahana untuk belajar meneliti bagi peneliti.