bab i sirosis hati 2003
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sirosis hati merupakan penyakit hati kronis yang ditandai dengan adanya
penggantian jaringan normal dengan jaringan fibrous disertai dengan nodul
regeneratif sehingga sel-sel hati akan kehilangan fungsinya (Choudury & Sanyal,
2006). Hasil akhirnya adalah destruksi hepatosit dan digantikan oleh jaringan
fibrous serta gangguan atau kerusakan vaskular. Sirosis hati merupakan perjalanan
akhir berbagai macam penyakit hati (Kusumobroto, 2007).
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan 35.000 kematian per
tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di
Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di
Amerika Serikat (DC.Wolf, 2005). Di Asia Tenggara, prevalensi penderita sirosis
hati terbanyak terjadi pada kaum pria dengan rata-rata usia 45 sampai 69 tahun.
Hepatitis B dan Hepatitis C menjadi penyebab terbanyak (WHO, 2011).
Etiologi sirosis hati antara lain konsumsi alkohol jangka panjang; hepatitis
kronis yang disebabkan oleh virus tipe B, C, dan D; penyakit liver metabolik
seperti hemokromatosis, Wilson disease, nonalcoholic steatohepatitis atau fatty
liver; penyakit liver kolestasis; obat-obatan dan bahan alam seperti Isoniazid,
Methyldopa, Methotrexate, Estrogen, anabolic steroid, dan Jamaican bush tea.
Hepatitis B merupakan penyebab terbesar berkembangnya penyakit sirosis di
dunia secara umum (Sease et al, 2008). Penyebab utama sirosis hati di Amerika
Serikat adalah Hepatitis C (26%), penyakit hati alkoholik (21%), Hepatitis C plus
penyakit hati alkoholic (15%), Kriptogenik (18%), Hepatitis B yang bersamaan
Hepatitis D (15%), dan penyebab lain (5%) (DC.Wolf 2005).
Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan kondisi klinik yang sering
ditemui di bidang Gastroenterologi. Perdarahan saluran cerna bagian atas
didefinisikan sebagai perdarahan saluran cerna proksimal dari ligamentum Treitz
dengan manifestasi hematemesis ataupun melena dengan atau tanpa penurunan
status hemodinamik (ASGE, 2012). Etiologi perdarahan saluran cerna bagian atas
diklasifikasikan menjadi perdarahan varises dan perdarahan non varises (Palmer,
1
2
2010). Pada rentang tahun 1986-1987 di Unit Gawat Darurat RSUD Dr Soetomo
tercatat sirosis hati menjadi kausa perdarahan saluran cerna bagian atas yang
paling dominan yakni mencapai 85,9% (Kusumobroto, 1987). Namun, pada tahun
2008 terjadi pergeseran, di mana gastritis erosiva menjadi kausa perdarahan
saluran cerna bagian atas yang dominan yakni 42,66% dari seluruh kasus diikuti
varises esofagus sebagai kausa terbanyak kedua sebesar 27,99% (Sugihartono et
al, 2010).
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari hati
ataupun usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan dalam vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil
peningkatan aliran darah dan peningkatan tekanan porta ini, vena-vena di bagian
bawah esofagus dan bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises
esofagus dan lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya,
dan apabila varisesnya pecah, maka pasien akan mengalami perdarahan (variceal
bleeding). Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat
dapat berakibat fatal. Bila varises sudah muncul, pasien sirosis beresiko
mengalami perdarahan, dan sekali ia mengalami perdarahan maka ia akan
bertendesi untuk mengalami perdarahan yang berikutnya. Resiko kematian selalu
ada di setiap perdarahan (Kusumobroto, 2007). Pasien dengan sirosis memiliki
resiko mengalami perdarahan varises ketika tekanan vena portal 12 mmHg lebih
besar dibandingkan tekanan vena sentral (Sease et al, 2008).
Perdarahan varises merupakan 70% penyebab perdarahan saluran cerna bagian
atas pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan portal (Sarin et al, 2011).
Pasien sirosis hati yang mengalami perdarahan memiliki resiko tingkat kematian
sebesar 15-20% sehingga penanganan yang tepat harus diberikan sesegera
mungkin. Akan tetapi tidak semua lokasi sumber perdarahan berasal dari
rupturnya varises. Terkadang lokasi sumber perdarahan pun tidak bisa dipastikan
dengan endoskopi (Hsu et al, 2009). Walaupun dalam beberapa tahun ini terjadi
peningkatan angka survival pasien, masih terjadi kematian yang diakibatkan
kegagalan dalam mengontrol perdarahan awal atau perdarahan ulang awal yang
terjadi hingga 30-40% dari pasien selama 5 hari pertama setelah kejadian
perdarahan pertama (Bendsten et al, 2008).
3
Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna atas yang adekuat dapat
menurunkan tingkat mortalitas. Assesment yang tepat meliputi history taking
pasien, pemeriksaan fisik, pengukuran data klinik ataupun data laboratorium akan
menentukan keputusan manajemen terapi pasien selanjutnya (Cappell & Friedel,
2008). Ketika terjadi perdarahan akut, resusitasi cairan yang efektif, diagnosis
yang akurat dan pengobatan yang tepat harus segera dilakukan untuk mencegah
pasien jatuh dalam kondisi hipovolemic shock yang dapat berakibat komplikasi
gagal ginjal dan infeksi. Transfusi darah juga dilakukan untuk mengganti darah
yang hilang namun tidak boleh dilakukan secara berlebihan karena justru akan
meningkatkan hipertensi portal kembali yang berakibat meningkatnya resiko
perburukan kontrol perdarahan (Waspodo, 2007).
Setelah kondisi hemodinamik tercapai, tindakan endoskopi dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis ataupun etiologi perdarahan saluran cerna bagian
atas. Endoskopi dilakukan berdasarkan kondisi klinis pasien. Endoskopi darurat
(berselang 24 jam setelah terjadi perdarahan) direkomendasikan untuk pasien
yang memiliki riwayat keganasan atau sirosis, hematemesis dengan tanda-tanda
hipovolemic shock seperti takikardi, hipotensi dan shock serta nilai Hemoglobin <
8 g/dl (ASGE, 2012).
Akan tetapi tindakan endoskopi jarang dilakukan, hal ini dapat disebabkan
karena tenaga dan kondisi yang belum memungkinkan. Sehingga intervensi
farmakologi kerap diberikan untuk mendukung pencapaian status hemodinamik
pasien. Intervensi farmakologi juga kerap diberikan setelah diagnosis perdarahan
tegak dengan adanya endoskopi. Terdapat perbedaan penatalaksanaan
farmakologi antara perdarahan saluran cerna bagian atas karena varises dan non
varises.
Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas oleh karena pecahnya varises,
terapi farmakologi harus segera diberikan ketika pasien didiagnosis mengalami
perdarahan sebelum endoskopi diagnostik dilakukan. Vasokonstriktor dapat
digunakan untuk mengontrol hampir 80% episode perdarahan dan secara umum
digunakan sebagai terapi lini pertama (APASL, 2012). Terlipressin atau
Glipressin dapat digunakan sebagai lini pertama bila tersedia dan tidak ada
kontraindikasi (Sarin et al, 2011). Terlipressin yang merupakan analog sintetik
4
Vasopressin dapat diberikan 2 mg tiap 4 jam selama 48 jam. Setelah perdarahan
terkontrol selama 24 jam, obat ini dapat diturunkan dosisnya hingga separuhnya.
Obat ini tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung atau
gangguan pembuluh darah yang berat. Terlipressin memiliki efek samping yang
lebih kecil dibandingkan Vasopressin (Garcia Tsao et al, 2007). Pemberian
Terlipressin bersama Albumin dapat memperbaiki syndrom Hepatorenal (Uriz J et
al, 2002).
Ketika Terlipressin tidak tersedia, Somatostatin, Octreotide ataupun
Valpreotide dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan (Sarin et al, 2011).
Somatostatin, Octreotide atau Valpreotid dapat digunakan sebagai vasokonstriktor
splanchnic dengan mekanisme menghambat peptida vasodilator seperti Glukagon.
Somatostatin dapat diberikan 250 µg bolus diikuti 250 µg / jam infus. Terapi infus
diberikan selama kurang lebih 5 hari dan dipantau perkembangannya (Garcia Tsao
et al, 2007). Efek samping Somatostatin yang paling sering adalah bradikardi,
hiperglikemia ataupun diare namun tidak begitu berat (Choudry & Sanyal, 2006).
Octreotide yang merupakan analog Somatostatin dapat diberikan sebesar 50
µg bollus diikuti 50 µg / jam infus. Terapi infus juga diberikan selama 5 hari.
Octreotide diduga memiliki efek vasokontriksi lokal terhadap vena splanchnic
(Garcia Tsao et al, 2007). Takiphylasis, bradikardia, hiperglikemia ataupun diare
menjadi efek samping dari obat ini. Valpreotide dapat diberikan dengan dosis
yang sama dengan Octreotide. Pemberian Octreotide sama efektifnya dengan
sclerotherapy dalam menghentikan perdarahan (Choudury & Sanyal, 2006).
Penggunaan Somatostatin dinilai lebih baik dibandingkan Vasopressin jika
melihat efek samping yang terjadi (Choudury & Sanyal, 2006). Keberhasilan
Terlipressin ataupun Somatostatin yang diberikan selama 5 hari pada pasien untuk
mengatasi perdarahan mencapai 70% (Waspodo, 2007). Setelah perdarahan
terkontrol, pasien harus diterapi untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Kombinasi antara penyekat reseptor β non selektif dan ligasi merupakan pilihan
terapi terbaik sebagai profilaksis sekunder (Garcia Tsao et al, 2007).
Sedangkan penatalaksanaan farmakologi untuk kasus perdarahan saluran cerna
bagian atas dengan sebab non varises membutuhkan terapi farmakologi untuk
menekan produksi asam lambung sebagai kontrol perdarahan. Stabilitas bekuan
5
darah akan menurun pada suasana pH asam sehingga beresiko menyebabkan
perdarahan. Untuk itu pH lambung harus dipertahankan supaya tetap berada di
atas pH 6. Dengan pH di atas 6, diharapkan bekuan darah yang terbentuk stabil
sehingga resiko rebleeding dapat diminimalkan. Hal ini dapat dicapai dengan
pemberian infus intravena PPI dosis tinggi seperti Omeprazole 80 mg bolus
diikuti 8 mg/jam infus selama 72 jam. Pemberian terapi PPI oral dosis tinggi juga
efektif dalam menurunkan resiko rebleeding dan tindakan bedah, namun tidak
menurunkan tingkat mortalitas (Palmer, 2010). Pemberian infus intravena dosis
tinggi dapat menurunkan pepsin yang menginduksi bekuan darah untuk lisis dan
meningkatkan agregasi platelet sehingga dapat meminimalkan kemungkinan lesi
untuk berdarah lagi dan meminimalkan penggunaan endoskopi terapi (Pang &
Graham, 2010).
Intervensi farmakologi bisa diberikan baik pre-endoskopik ataupun post-
endoskopik. Sebagai terapi pre endoskopik, pada ulkus peptik dapat diberikan
infus PPI dosis tinggi. Pemberian infus intravena PPI dosis tinggi dapat
mempercepat perbaikan lesi akibat perdarahan dan meminimalkan penggunaan
terapi endoskopik. Namun, tindakan resusitasi juga tetap harus diberikan untuk
pencapaian keadaan hemodinamik pasien. Endoskopi untuk menetapkan diagnosa
juga perlu dilakukan. Sebagai terapi post-endoskopik, pemberian infus PPI lebih
baik dibanding antagonis H2 dalam mengatasi perdarahan akibat ulkus peptik.
Pemberian infus PPI seperti Omeprazole 80 mg bolus diikuti 8 mg/jam infus
selama 72 jam setelah tercapai keadaan hemostasis pasca endoskopi akan
meminimalkan kemungkinan rebleeding. (Pang & Graham, 2010). Namun,
penelitian lain menyebutkan bahwa pada pasien yang memiliki resiko rebleeding
yang rendah tidak ada perbedaan yang signifikan dalam meminimalkan resiko
rebleeding dan penurunan mortalitas antara dosis tinggi PPI dan dosis rendah
yakni 40 mg / hari seperti Pantoprazole (Liang et al, 2012).
Pemberian Pantoprazole dengan dosis sama juga diduga equipoten dalam
meningkatkan pH intragastric. Akan tetapi infus Lansoprazole diduga
meningkatkan pH intragastric lebih cepat dibanding PPI yang lain. Pemberian PPI
bersama antasida atau natrium bikarbonat diyakini akan meningkatkan pH
intragastric lebih cepat dibandingkan penggunaan PPI tunggal. Pemberian PPI
6
bolus dan oral diyakini sama efektifnya dengan pemberian infus PPI, namun hal
ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut (Pang & Graham, 2010).
Terapi untuk mengatasi perdarahan harus diberikan dengan regimentasi dosis
yang tepat supaya tidak terjadi masalah dalam pemberian terapi atau Drug Related
Problem (DRP). DRP didefinisikan sebagai kejadian yang tidak diinginkan yang
menimpa pasien selama pemberian terapi. Klasifikasi DRP meliputi indikasi
penyakit yang tidak tertangani, pemberian obat tanpa indikasi, pemilihan obat
yang tidak tepat atau salah obat, dosis obat sub terapetik, dosis obat berlebihan,
adverse drug reactions, interaksi obat dan penderita gagal menerima obat.
Mengingat betapa besar resiko kematian akibat perdarahan saluran cerna
bagian atas, diagnosa yang tepat dan manajemen terapi yang tepat untuk
mengatasi perdarahan perlu diperhatikan dengan seksama dan dijalankan sesuai
dengan prosedur sebagaimana mestinya. Penelitian ini dilakukan di Instalansi
Rawat Inap Medik Penyakit Dalam RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pemberian terapi yang tepat untuk
mengatasi perdarahan supaya dapat menurunkan resiko kematian pada pasien
sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pola penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada pasien
sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas di Instalasi Rawat
Inap Medik Penyakit Dalam RSUD Dr Soetomo, Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengkaji pola penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada
pasien sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas di
Instalasi Rawat Inap Medik Penyakit Dalam RSUD Dr Soetomo,
Surabaya.
7
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengkaji pola penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada pasien
sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas berdasarkan jenis
obat, dosis obat, rute pemakaian obat, frekwensi pemakaian, dan lama
pemakaian.
2. Mengkaji keterkaitan penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada
pasien sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna berdasarkan data
laboratorium dan data klinik pasien.
3. Mengkaji Drug Related Problem yang muncul dan atau yang akan
mungkin muncul dari penggunaan obat untuk mengatasi perdarahan pada
pasien sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna bagian atas.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan dan masukan untuk meninjau kembali pedoman terapi
untuk mengatasi perdarahan terhadap pasien sirosis hati dengan
perdarahan saluran cerna bagian atas.
2. Sebagai bahan informasi dan masukan dalam rangka meningkatkan
pelayanan kefarmasian berdasarkan konsep Pharmaceutical Care.
3. Sebagai wahana untuk belajar meneliti bagi peneliti.