makalah d6.docx

20
Pendahuluan Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan streptococcus, staphylococcus, kuman anaerob bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici. Pembahasan Anatomi Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. vagus. 1 Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan 1

Upload: claudia-dadlani

Post on 25-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH D6.docx

Pendahuluan

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan

leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam

terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi

dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.

Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri leher dalam yang terlibat.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan streptococcus, staphylococcus, kuman anaerob

bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses

retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici.

Pembahasan

Anatomi

Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat radang akut atau radang kronik

faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior

faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. vagus.1

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah

m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu

ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya

merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang

merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenar-benarnya.1

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan

kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine dan

tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil

palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil

seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua. Kutub bawah

tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam

dan mempunyai celah yang dsebut kriptus.1

1

Page 2: MAKALAH D6.docx

Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel squamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus

biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan

lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak

melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil

mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksilla eksterna,

a.faring asendens dan a.lingual dorsalis. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi

dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat

foramen sekum pada apeks yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.1

Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut

maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid.

Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh darah karotis.1

Anamnesis

Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil. Adanya

riwayat pasien mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung

terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsillitis dan rasa

kurang nyaman pada pharyngeal uni lateral. Keluhan utama pada organ faring dapat berupa:

a. Nyeri tenggorok

Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok ini disertai

demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok dan

berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam satu hari.2

b. Nyeri menelan (Odinofagia)

Nyeri menelan merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan menelan. Apakah

rasa nyeri ini dirasakan sampai telinga.2

c. Rasa banyak dahak di tenggorokan

Adanya dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya

inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, nanah, atau

bercampur darah. Dahak ini dapat turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun

di tenggorok.2

2

Page 3: MAKALAH D6.docx

d. Sulit menelan (Disfagia)

Pada pasien dengan keluhan sulit menelan perlu ditanyakan sudah berapa lama hal

tersebut terjadi dan jenis makanan cair atau padat. Apakah disertai muntah dan berat

badan menurun dengan cepat.2

e. Rasa ada yang menyumbat atau mengganjal

Rasa sumbatan ditenggorok dapat ditanyakan sudah berapa lama menderita hal

tersebut dan tempatnya terdapat dimana.2

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi

pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah

tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan

obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan

tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal/ servikal adenopati. Disaat

abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat

disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum molle yang terkena.1,2

Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup

oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada

sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang

tonsil, penyebaran pus kearah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan

obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.

Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan

pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah

peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.3

Pemeriksaan Penunjang

Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspirasi

dibius/ dianestesi menggunakan lidocain dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16-18)

3

Page 4: MAKALAH D6.docx

yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent)

merupakan tanda khas dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.2

Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

a. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte

level measurement), dan kultur darah (blood cultures),

b. Tes Monospot (antibody heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan

bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan

evaluasi/ penilaian hepatosplenomegali. Liver function tests perlu dilakukan pada

penderita dengan hepatomegali,

c. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi

organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang

tepat dan efektif untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotic,

d. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari

nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis

abses retropharyngeal,

e. Computerized tomography (CT scan); biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di

apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”

f. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonografi.2

Diagnosis Kerja

Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai akibat

dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar,

yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina

dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus

piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari jaringan ikat

longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi purulen.

Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring lateral,

dan, dasar lidah.3

4

Page 5: MAKALAH D6.docx

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-

40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system immunnya,

tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini

memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Angka kejadian abses peritonsil

juga tidak dipengaruhi oleh ras.

Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat inflamasi

dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat pasien

menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan ke

dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga berpotensi

menyebabkan obstruksi jalan napas.

Gambar 1. Abses peritonsil

Menegakkan diagnosis penderita dengan absesperitonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis

tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaanfisik penderita. Aspirasi dengan jarum

pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakandiagnosis yang akurat untuk

memastikan absesperitonsil. Seperti dikutip dari Hanna, Similarly Snowdkk berpendapat untuk

mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok.

Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan

penatalaksanaan.Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus.

5

Page 6: MAKALAH D6.docx

Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis,

mungkin banyak detritus, terdorongke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong kearah

kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuaidengan gejala klinisnya.Pemeriksaan

laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu

diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi

komputer.3

Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapatmendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan

mungkin dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa

menampakkan gambaran cincin isoechoic dengangambaran sentral hypoechoic.

Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bilavolume relatif pus dalam seluruh abses adalah

kurangdari 10% pada penampakan tomografi komputer.Penentuan lokasi abses yang akurat,

membedakan antaraselulitis dan abses peritonsil serta menunjukkangambaran penyebaran

sekunder dari infeksi inimerupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer.Khusus untuk

diagnosis abses peritonsil di daerah kutubbawah tonsil akan sangat terbantu dengan

tomografikomputer.

Gambar 2: Tomografi komputer abses peritonsil.

6

Page 7: MAKALAH D6.docx

Fasano mengatakan bahwa pemeriksaan denganmenggunakan foto rontgen polos dalam

mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi

dapat membantu untukmembedakan antara abses peritonsil dengan selulitistonsil. Dikutip dari

Fasano10, Lyon dkk melaporkan kasusdiagnosis abses peritonsil bilateral di ruang gawatdarurat

dengan menggunakan intraoral sonografi.

Ultrasonografi juga dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu

mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasidengan jarum.3

Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar

mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis,

dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.3

Pathogenesis

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu

infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak

palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian

inferior. Pada stadium permulaan, selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila

proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil

akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus,

peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkab iritasi pada M.pterigoid interna, sehingga

timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi paru.3

Gejala dan tanda

Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia(nyeri menelan) yang hebat,

biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga(otalgia), mungkin terdapat juga

muntah(regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah, suara gumam(hot potato voice) dan kadang-

kadang sukar membuka mulut(trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan

nyeri tekan.3,4

7

Page 8: MAKALAH D6.docx

Terapi

Penanganan abses peritonsil meliputi hidrasi, menghilangkan nyeri, dan antibiotic yang efektif

mengatasi staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Aspirasi needle merupakan penanganan

yang efektif pada 75% abses peritonsil pada anak-anak dan dianjurkan sebagai terapi utama

kecuali terdapat riwayat tonsillitis rekuren atau abses peritonsil sebelumnya maka indikasinya

adalah tonsilektomi dengan segera.4

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-

kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan antibiotika yang tepat

tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “DOC”

pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan metronidazole.

Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam dan anak

12.500-25.000 U/kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kgBB dan dosis

penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infuse 7,5mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8

jam dan tidak boleh lebih dari 4gr/hari.5

Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau

dengan teknik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah

berhubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi, jia

ragu, jarum ukuran 17 dapat dimasukkan ke dalam tiga lokasi yang paling memungkinkan untuk

menghasilkan aspirasi pus. Jika tonsilektomi dilakukan bersama-sama tindakan drenase abses,

disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses,

disebut tonsilektomi “a’tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drenase abses, disebut

tonsilektomi “a’froid”.4,5

Komplikasi

(1) Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.

(2) Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring. Sehingga terjadi abses parafaring.

Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga menjadi mediastinitis.

(3) Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus

kavernosus, meningitis dan abses otak.3

8

Page 9: MAKALAH D6.docx

DIfferensial diagnosis

Abses Retrofaring

Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia dibawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena

pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada

sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung sinus paranasal, nasofaring,

faring, tuba eusthacius dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan

mengalami atrofi.5

Etiologi

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah infeksi saluran napas

atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda

asing sepert, tulang ikan atau tindakan mendis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan

endoskopi, dan juga karena tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas.

Manifestasi klinis

Gejala abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, menyebabkan anak

menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri.

Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses

peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga

dapat menganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang

faring tampak benjolan yang teraba lunak biasanya unilateral.

Terapi

Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai

medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan

secara parenteral. Selain itu, dilakukan pungsi dan insisi abses dengan laringoskopi langsung

dalam posisi pasien baring mendelnburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi

aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau analgesia umum. Pasien dirawat

inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

Komplikasi

9

Page 10: MAKALAH D6.docx

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera,

mediastinitis, obstruksii jalan napas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat menyebabkan

pneumonia aspirasi dan abses paru.

Abses Parafaring

Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara langsung; yaitu akibat tusukan jarum

pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum

suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. Konstriktor faring

superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. Proses supurasi kelenjar limfa

leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal

dapat merupakan sumber infeksi yntuk terjadinya abses ruang parafaring. Penjalaran infeksi dari

ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.5,6

Manifestasi klinis

Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus

mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah

medial.

Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung ke daerah

sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah

menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan

dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,

sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul

tromboflebitis dan septikemia.

Terapi

Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob.

Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada peradangan dengan antibiotika dalam 24-48

jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.

10

Page 11: MAKALAH D6.docx

Insisi dari luar dilakukan 2½ jari dibawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi

dilanjutkan dari batas anterior m sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian

medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesu

stiloid. Bila nana terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan

insisi horizontal ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi

dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.

Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.

Abses Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual

dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi

atas ruang submental dan ruang submaksila oleh otot digastrikus anterior.

Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang

submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila

saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai

kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.6

Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau limfe submandibula.

Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya

campuran, dapat kuman aerob atau anaerob.

Manifestasi klinis

Nyeri leher disertai pembengkakan dibawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin

berfluktuasi.

11

Page 12: MAKALAH D6.docx

Terapi

Antiobiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral.

Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkan dan terlokalisasi

atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.

Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan

luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.7

Pencegahan

Karena abses peritonsil cenderung untuk berulang-ulang, maka setelah serangan pertama kali,

sesudah dua atau tiga minggu dilakukan tonsilektomi. Jika operasi ditunda, maka kemungkinan

perlengketan jaringan tonsil itu sendiri dengan jaringan sekitarnya akan semakin ketat sehingga

tonsilektomi akan semakin sukar dilakukan. Jika abses berada di belakang tonsil plika anterior,

sehingga drainase secara yang biasa(melalui fossa supratonsilais) tidak berhasil, dapat dilakukan

dengan melakukan tonsilektomi segera dengan diikuti oleh pemberian antibiotika yang

tinggi(mencegah sepsis). Tindakan ini juga dilakukan bilamana keadaan abses pecah kedalam

ruang parafaring sudah mengancam. Kalau terjadi abses pada ruang parafaring akan terjadi

komplikasi yang serius.7,8

Prognosis

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika terjadi

komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi

ke intracranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. Abses peritonsil hampir selalu berulang

bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat

tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat

operasi.6

Penutup

Kesimpulan

Laki-laki berusia 38 tahun itu menderita abses peritonsil. Dilihat dari keluhannya sulit menelan,

demam, banyak air liur, leher kiri membengkak. Abses peritonsil ini biasanya disebabkan oleh

12

Page 13: MAKALAH D6.docx

karena komplikasi dari tonsillitis akut. Terapi bisa kita berikan antibiotic, lalu abses harus kita

drainase, dan pasien dianjurkan untuk tonsilektomi. Prognosis abses peritonsil ini cukup baik jika

dilakukan perawatan yang adekuat dan cepat.

Daftar pustaka

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,

hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007

2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005

3. Burnside, McGlynn. Adams diagnostic fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;

1995.

4. Herawaty S, Rukmini S. Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2005.

5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Telinga hidung tenggorok kepala dan

leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011.

6. Artikel tentang abses peritonsil diunduh dari

http://medicastore.com/penyakit/841/Abses_Peritonsiler.html, 24 Maret 2013.

7. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC; 2003

8. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring . Jakarta:EGC; 2001

13