Download - MAKALAH D6.docx
Pendahuluan
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan
leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi
dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri leher dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan streptococcus, staphylococcus, kuman anaerob
bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses
retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici.
Pembahasan
Anatomi
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat radang akut atau radang kronik
faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior
faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. vagus.1
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenar-benarnya.1
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil
palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua. Kutub bawah
tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam
dan mempunyai celah yang dsebut kriptus.1
1
Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel squamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak
melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil
mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksilla eksterna,
a.faring asendens dan a.lingual dorsalis. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi
dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.1
Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut
maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid.
Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh darah karotis.1
Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil. Adanya
riwayat pasien mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsillitis dan rasa
kurang nyaman pada pharyngeal uni lateral. Keluhan utama pada organ faring dapat berupa:
a. Nyeri tenggorok
Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok ini disertai
demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok dan
berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam satu hari.2
b. Nyeri menelan (Odinofagia)
Nyeri menelan merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan menelan. Apakah
rasa nyeri ini dirasakan sampai telinga.2
c. Rasa banyak dahak di tenggorokan
Adanya dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya
inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, nanah, atau
bercampur darah. Dahak ini dapat turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun
di tenggorok.2
2
d. Sulit menelan (Disfagia)
Pada pasien dengan keluhan sulit menelan perlu ditanyakan sudah berapa lama hal
tersebut terjadi dan jenis makanan cair atau padat. Apakah disertai muntah dan berat
badan menurun dengan cepat.2
e. Rasa ada yang menyumbat atau mengganjal
Rasa sumbatan ditenggorok dapat ditanyakan sudah berapa lama menderita hal
tersebut dan tempatnya terdapat dimana.2
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi
pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah
tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan
obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan
tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal/ servikal adenopati. Disaat
abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat
disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum molle yang terkena.1,2
Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup
oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada
sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang
tonsil, penyebaran pus kearah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan
obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan
pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah
peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.3
Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspirasi
dibius/ dianestesi menggunakan lidocain dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16-18)
3
yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent)
merupakan tanda khas dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.2
Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
a. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures),
b. Tes Monospot (antibody heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/ penilaian hepatosplenomegali. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegali,
c. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang
tepat dan efektif untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotic,
d. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis
abses retropharyngeal,
e. Computerized tomography (CT scan); biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di
apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”
f. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonografi.2
Diagnosis Kerja
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai akibat
dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar,
yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina
dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus
piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari jaringan ikat
longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi purulen.
Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring lateral,
dan, dasar lidah.3
4
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-
40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system immunnya,
tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini
memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Angka kejadian abses peritonsil
juga tidak dipengaruhi oleh ras.
Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat inflamasi
dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat pasien
menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan ke
dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga berpotensi
menyebabkan obstruksi jalan napas.
Gambar 1. Abses peritonsil
Menegakkan diagnosis penderita dengan absesperitonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis
tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaanfisik penderita. Aspirasi dengan jarum
pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakandiagnosis yang akurat untuk
memastikan absesperitonsil. Seperti dikutip dari Hanna, Similarly Snowdkk berpendapat untuk
mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok.
Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan
penatalaksanaan.Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus.
5
Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis,
mungkin banyak detritus, terdorongke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong kearah
kontra lateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuaidengan gejala klinisnya.Pemeriksaan
laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu
diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi
komputer.3
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapatmendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan
mungkin dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengangambaran sentral hypoechoic.
Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bilavolume relatif pus dalam seluruh abses adalah
kurangdari 10% pada penampakan tomografi komputer.Penentuan lokasi abses yang akurat,
membedakan antaraselulitis dan abses peritonsil serta menunjukkangambaran penyebaran
sekunder dari infeksi inimerupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer.Khusus untuk
diagnosis abses peritonsil di daerah kutubbawah tonsil akan sangat terbantu dengan
tomografikomputer.
Gambar 2: Tomografi komputer abses peritonsil.
6
Fasano mengatakan bahwa pemeriksaan denganmenggunakan foto rontgen polos dalam
mengevaluasi abses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi
dapat membantu untukmembedakan antara abses peritonsil dengan selulitistonsil. Dikutip dari
Fasano10, Lyon dkk melaporkan kasusdiagnosis abses peritonsil bilateral di ruang gawatdarurat
dengan menggunakan intraoral sonografi.
Ultrasonografi juga dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu
mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasidengan jarum.3
Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar
mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis,
dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.3
Pathogenesis
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak
palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian
inferior. Pada stadium permulaan, selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila
proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil
akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkab iritasi pada M.pterigoid interna, sehingga
timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi paru.3
Gejala dan tanda
Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia(nyeri menelan) yang hebat,
biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga(otalgia), mungkin terdapat juga
muntah(regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah, suara gumam(hot potato voice) dan kadang-
kadang sukar membuka mulut(trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan
nyeri tekan.3,4
7
Terapi
Penanganan abses peritonsil meliputi hidrasi, menghilangkan nyeri, dan antibiotic yang efektif
mengatasi staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Aspirasi needle merupakan penanganan
yang efektif pada 75% abses peritonsil pada anak-anak dan dianjurkan sebagai terapi utama
kecuali terdapat riwayat tonsillitis rekuren atau abses peritonsil sebelumnya maka indikasinya
adalah tonsilektomi dengan segera.4
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-
kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan antibiotika yang tepat
tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “DOC”
pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan metronidazole.
Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam dan anak
12.500-25.000 U/kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kgBB dan dosis
penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infuse 7,5mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8
jam dan tidak boleh lebih dari 4gr/hari.5
Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau
dengan teknik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah
berhubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi, jia
ragu, jarum ukuran 17 dapat dimasukkan ke dalam tiga lokasi yang paling memungkinkan untuk
menghasilkan aspirasi pus. Jika tonsilektomi dilakukan bersama-sama tindakan drenase abses,
disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses,
disebut tonsilektomi “a’tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drenase abses, disebut
tonsilektomi “a’froid”.4,5
Komplikasi
(1) Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
(2) Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring. Sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga menjadi mediastinitis.
(3) Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak.3
8
DIfferensial diagnosis
Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia dibawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena
pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada
sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung sinus paranasal, nasofaring,
faring, tuba eusthacius dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan
mengalami atrofi.5
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah infeksi saluran napas
atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda
asing sepert, tulang ikan atau tindakan mendis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan
endoskopi, dan juga karena tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas.
Manifestasi klinis
Gejala abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, menyebabkan anak
menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri.
Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses
peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga
dapat menganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang
faring tampak benjolan yang teraba lunak biasanya unilateral.
Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan
secara parenteral. Selain itu, dilakukan pungsi dan insisi abses dengan laringoskopi langsung
dalam posisi pasien baring mendelnburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi
aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau analgesia umum. Pasien dirawat
inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
Komplikasi
9
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera,
mediastinitis, obstruksii jalan napas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi dan abses paru.
Abses Parafaring
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara langsung; yaitu akibat tusukan jarum
pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum
suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. Konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. Proses supurasi kelenjar limfa
leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal
dapat merupakan sumber infeksi yntuk terjadinya abses ruang parafaring. Penjalaran infeksi dari
ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.5,6
Manifestasi klinis
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah
medial.
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung ke daerah
sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan
dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.
Terapi
Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob.
Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada peradangan dengan antibiotika dalam 24-48
jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.
10
Insisi dari luar dilakukan 2½ jari dibawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior m sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian
medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesu
stiloid. Bila nana terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan
insisi horizontal ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi
dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.
Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.
Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual
dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi
atas ruang submental dan ruang submaksila oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.6
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau limfe submandibula.
Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya
campuran, dapat kuman aerob atau anaerob.
Manifestasi klinis
Nyeri leher disertai pembengkakan dibawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin
berfluktuasi.
11
Terapi
Antiobiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral.
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkan dan terlokalisasi
atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan
luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.7
Pencegahan
Karena abses peritonsil cenderung untuk berulang-ulang, maka setelah serangan pertama kali,
sesudah dua atau tiga minggu dilakukan tonsilektomi. Jika operasi ditunda, maka kemungkinan
perlengketan jaringan tonsil itu sendiri dengan jaringan sekitarnya akan semakin ketat sehingga
tonsilektomi akan semakin sukar dilakukan. Jika abses berada di belakang tonsil plika anterior,
sehingga drainase secara yang biasa(melalui fossa supratonsilais) tidak berhasil, dapat dilakukan
dengan melakukan tonsilektomi segera dengan diikuti oleh pemberian antibiotika yang
tinggi(mencegah sepsis). Tindakan ini juga dilakukan bilamana keadaan abses pecah kedalam
ruang parafaring sudah mengancam. Kalau terjadi abses pada ruang parafaring akan terjadi
komplikasi yang serius.7,8
Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika terjadi
komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi
ke intracranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. Abses peritonsil hampir selalu berulang
bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat
tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat
operasi.6
Penutup
Kesimpulan
Laki-laki berusia 38 tahun itu menderita abses peritonsil. Dilihat dari keluhannya sulit menelan,
demam, banyak air liur, leher kiri membengkak. Abses peritonsil ini biasanya disebabkan oleh
12
karena komplikasi dari tonsillitis akut. Terapi bisa kita berikan antibiotic, lalu abses harus kita
drainase, dan pasien dianjurkan untuk tonsilektomi. Prognosis abses peritonsil ini cukup baik jika
dilakukan perawatan yang adekuat dan cepat.
Daftar pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007
2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005
3. Burnside, McGlynn. Adams diagnostic fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
1995.
4. Herawaty S, Rukmini S. Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Telinga hidung tenggorok kepala dan
leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011.
6. Artikel tentang abses peritonsil diunduh dari
http://medicastore.com/penyakit/841/Abses_Peritonsiler.html, 24 Maret 2013.
7. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC; 2003
8. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring . Jakarta:EGC; 2001
13