makalah kel 2.docx
DESCRIPTION
otitis media akutTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis Media Akut (OMA) merupakan peradangan sebagian atau seluruh bagian
mukosa telinga tengah , tuba eusthacius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid yang
berlangsung mendadak yang disebabkan oleh invasi bakteri maupun virus ke dalam telinga
tengah baik secara langsung maupun secara tidak langsung sebagai akibat dari infeksi saluran
napas atas yang berulang.
Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi dibandingkan
pada orang dewasa tua maupun dewasa muda. Pada anak-anak makin sering menderita
infeksi saluran napas atas, maka makin besar pula kemungkinan terjadinya OMA disamping
oleh karena system imunitas anak yang belum berkembang secara sempurna.
Tuba eusthacius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring yang berfungsi sebagai ventilasi, drainase sekret dan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring ke telinga tengah.
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh yang terganggu, sumbatan
dan obstruksi pada tuba eusthacius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media
sehingga invasi kuman ke dalam telinga tengah juga gampang terjadi yang pada akhirnya
menyebabkan perubahan mukosa telinga tengah sampai dengan terjadinya peradangan berat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Otitis Media Akut?
2. Apa penyebab dari Otitis Media Akut?
3. Apa patofisiologi Otitis Media Akut?
1
4. Bagaimana gejala klinis Otitis Media Akut?
5. Apa diagnosis Otitis Media Akut?
6. Apa diagnosis banding Otitis Media Akut?
7. Apa terapi yang diberikan terhadap penderita Otitis Media Akut?
8. Bagaimana pencegahan Otitis Media Akut?
9. Apa prognosis dan komplikasi Otitis Media Akut?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi Otitis Media Akut
2. Untuk mengetahui etiologi Otitis Media Akut
3. Untuk mengetahui patofisiologi Otitis Media Akut
4. Untuk mengetahui gejala klinis Otitis Media Akut
5. Untuk mengetahui cara diagnosis Otitis Media Akut
6. Untuk mengetahui diagnosis banding Otitis Media Akut
7. Untuk mengetahui terapi terhadap penderita Otitis Media Akut
8. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan Otitis Media Akut
9. Untuk mengetahui prognosis dan komplikasi Otitis Media Akut
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius,antrum mastoid, dan sel-sel mastoid kurang dari 3 minggu.
Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media
non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga
terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika.
Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva.
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab utama terjadinya OMA ini adalah karena masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah yang seharusnya steril, dikarenakan oleh mekanisme pertahanan tubuh (seperti silia
mukosa tuba eustachius, enzim dan antibody) terganggu. Gangguan mekanisme pertahanan
tubuh ini paling sering terjadi karena sumbatan dari tuba eustachius1.
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur (pada anak-anak lebih sering), jenis
kelamin (lebih sering pada laki-laki), ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta
lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak
dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis congenital yang menyebabkan gangguan fungsi
tuba, status imunologi dimana system imunnya menurun, infeksi bakteri atau virus di saluran
pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, immatur tuba Eustachius dan lain-lain4. Pada
anak lebih sering teradi karena pada anak tuba eustachius nya pendek, lebar, dan letaknya
agak horizontal1.
3
Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti Streptokokus
hemolitikus, stafilokokus aeureus, pneumokokus. Kadang – kadang ditemukan juga
Haemofilus influenza, E.coli, Streptococus anhemolitikus, proteus vulgaris, dan
pseudomonas aeruginosa. Hemofillus influenza sering ditemukan pada anak usia dibawah 5
tahun1.
2.3 Patofisiologi
Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga
kesterilan telinga tengah. Faktor penyebab utama adalah sumbatan tuba eustachius sehingga
pencegahan invasi kuman terganggu. Pencetusanya adalah infeksi saluran nafas atas. Infeksi
saluran nafas bagian atas menyebabkan penyumbatan pada tuba eustachius sehingga terjadi
gangguan ventilasi tuba yang menyebabkan terjadinya tekanan negative pada telinga tengah
akibat absorpsi udara oleh mukosa telinga tengah, yang menyebabkan retraksi dari membran
timpani lalu terjadi pula respon inflamasi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di
membrane timpani, protein plasma keluar dan terkumpulnya cairan yang menyebabkan efusi
serta edema dan selanjutnya bila fungsi tuba tetap terganggu dan adanya infiltrasi kuman
pathogen dari nasofaring dan rongga hidung akan menimbulkan supurasi. Akumulasi cairan
yang terus menerus menyebabkan membrane timpani menonjol lama kelamaan membrane
timpani bisa perforasi1.
2.4 Gejala Klinis
Gejala klinik otitis media akut tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien.
Keluhan yang biasanya timbul adalah otalgia, otorea, pendengaran berkurang, rasa penuh di
telinga, demam. Pada anak-anak biasanya timbul keluhan demam, anak gelisah dan sulit
tidur, diare, kejang, kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.
4
2.5 Diagnosis
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu
ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga
tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu,
juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia,
gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat
meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C,
dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat11.
2.6 Diagnosis Banding
1. Otitis eksterna
2. Otitis media efusi
3. Eksaserbasi akut otitis media kronik
4. Infeksi saluran napas atas
2.7 Pengobatan
Terapi Otitis Media Akut tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
anak-anak dengan kecenderungan mengalami otitis media akut dapat bersifat medis atau
pembedahan. Penatalaksanaan medis berupa pemberian antibiotic dosis rendah dalam jangka
waktu hingga 3 bulan. Alternative lain adalah pemasangan tuba ventilasi untuk mengeluarkan
secret terutama pada kasus-kasus yang membandel. Keputusan untuk melakukan miringotomi
umumnya berdasarkan kegagalan profilaksis secara medis atau timbul reaksi alergi terhadap
antimikroba yang lazim dipakai.
BAB III
5
PEMBAHASAN
3.1 Definisi dan Klasifikasi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-
tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau
inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging,
mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani,
dan otore (Kerschner, 2007).
6
3.2 Etiologi dan Faktor Resiko
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-
75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap
kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena
tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media
tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-
30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen
yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus,
dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang
dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
7
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan
dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-
kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa
dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan
adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain
reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-
virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75%
kasus (Buchman, 2003).
3.2.1 Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,
status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,
lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status
imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius,
inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada
bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau
imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga
masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding
dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous
Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor
genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan,
8
kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan
pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat
membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI
banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA
yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga
meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA
karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga
tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas
atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).
3.3 Patofisiologi
3.3.1 Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media.
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka apabila
udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap.
Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila terjadi
perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg.
Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase
sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama
dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan
menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase
9
bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007;
Kerschner, 2007).
3.3.2 Patogenesis OMA
Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran
napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit,
sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian
berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring
ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada
tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika
terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan
terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA
dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah
terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian
terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan
atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi
tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,
sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus
bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap
getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani
akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor
intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema
10
pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius,
sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan
hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).
3.3.3 Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang dewasa.
Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih
horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah
menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah
umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks
dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya otitis media
pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan
diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba.
Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu
terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas
yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang
dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid
yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat
terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius
(Kerschner, 2007).
11
3.4 Gejala Klinis
Gejala klinik otitis media akut tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien.
Keluhan yang biasanya timbul adalah otalgia, otorea, pendengaran berkurang, rasa penuh di
telinga, demam. Pada anak-anak biasanya timbul keluhan demam, anak gelisah dan sulit
tidur, diare, kejang, kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi (Djaafar, 2007).
12
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi
lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius
juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap
normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi
tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa
yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai
oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat
serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah
dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).
13
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di
telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah
menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen
di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang
telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur
nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi
dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran
timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat
tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil
ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit
14
menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah
yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-
kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,
anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung
melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua
keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan,
maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
15
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan
akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman
rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan
sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa.
Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi
membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
3.5 Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah.
Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti
menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada
membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat
cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanysalah
satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri
telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
16
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu
ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga
tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu,
juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia,
gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat
meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C,
dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
3.6 Diagnosis Banding
1. Otitis eksterna
2. Otitis media efusi
3. Eksaserbasi akut otitis media kronik
4. Infeksi saluran napas atas
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA dan otitis
media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan pendengaran dengan
0-50 decibels hearing loss.
17
3.7 Pengobatan
3.7.1 Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan
memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin
1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa.
Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi,
18
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan
eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat
dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan
tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut
atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi
akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada
lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi
dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari,
atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat
terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American
Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat
diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.
19
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga
tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri
telinga ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat
adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam
hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala
ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan
pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line
terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari.
Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap
amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi seperti
amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis,
termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-valent conjugate
vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of
Pediatric, 2004).
20
3.7.2 Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase
sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat
dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik.
Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah
adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah
(Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem
saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan
terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi
atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan
terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur
(Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada
membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat
komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah.
Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti
otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan
plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
21
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA
rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis,
tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah
didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi
jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
3.8 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada
bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian
ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-
lain (Kerschner, 2007).
3.9 Prognosis dan Komplikasi
Prognosis otitis media akut adalah dubia ad bonam, biasanya gejala membaik dalam
24 jam dan dapat sembuh dalam 3 hari dengan pengobatan yang adekuat, tetapi jika tidak
diobati dengan benar, otitis media akut dapat menimbulkan komplikasi mulai dari
mastoiditis, kolesteatom, abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang
semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada OMSK. Jika perforasi menetap dan
secret tetap keluar lebih dari 3 bulan maka keadaan ini disebut OMSK1.
22
BAB IV
PENUTUP
OMA merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius,antrum mastoid, dan sel-sel mastoid kurang dari 3 minggu. Penyebab utama
terjadinya OMA ini adalah karena masuknya mikroba ke dalam telinga tengah yang
seharusnya steril, dikarenakan oleh mekanisme pertahanan tubuh (seperti silia mukosa tuba
eustachius, enzim dan antibody) terganggu. Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri
piogenik, seperti Streptokokus hemolitikus, stafilokokus aeureus, pneumokokus. Kadang –
kadang ditemukan juga Haemofilus influenza, E.coli, Streptococus anhemolitikus, proteus
vulgaris, dan pseudomonas aeruginosa. Gejala klinik otitis media akut tergantung pada
stadium penyakit dan umur pasien. Keluhan yang biasanya timbul adalah otalgia, otorea,
pendengaran berkurang, rasa penuh di telinga, demam. OMA terdiri dari 5 satdium yaitu :
stadium oklusi tuba, stadium hiperemis atau pre supurasi, stadium supurasi, stadium
perforasi, stadium resolusi. Terapi yang dilaksanakan pun sesuai dengan stadium
penyakitnya. Sebelum adanya antibiotika, otitis media akut dapat menimbulkan komplikasi
mulai dari mastoiditis, kolesteatom, abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. dr. Soepardi E. A, dkk. 2010. Buku ajar ilmu kesehatan THT. Edisi VI. Fakultas
kedokteran UI. Jakarta
2. Adam, George L, Lawrence R.Boies, dan Peter A.Higler. Embriologi
Anatomi dan Fisiologi Telinga dan Penyakit Telinga Tengah dan
Mastoid.BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC.1997
3. Titisari, hanekung. 2005. Prevalensi dan sensitivitas haemophillus influenza pada
otitis media akut di RSCM dan RSAB Harapan Kita. Jakarta. Balai penerbit FKUI
4. Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier.
5. Berman, S., 1995. Otitis Media in Children. N Engl J Med 332 (23): 1560-1565.
6. Bluestone, C.D., Klein, J.O., 1996. Otitis Media, Atelektasis, and Eustachian Tube
Dysfunction. In Bluestone, Stool, Kenna eds. Pediatric Otolaryngology. 3rd ed.
London: WB Saunders, Philadelphia, 388-582.
24