kolestasis
TRANSCRIPT
DEFINISI
Kolestasis secara fisiologi dapat didefinisikan sebagai suatu penurunan pada aliran
empedu kanalikuli yang secara primer bermanifestasi sebagai hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya
sekresi berbagai substansi yang seharusnya disekresikan ke dalam duodenum,
sehingga menyebabkan tertahannya bahan-bahan atau substansi tersebut di dalam
hati dan menimbulkan kerusakan hepatosit. Kolestasis juga dapat didefinisikan
sebagai suatu kegagalan aliran cairan empedu masuk kedalam duodenum. Dari
segi klinis kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang
diekskresikan ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol di
dalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah
terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier.
Parameter yang paling sering digunakan untuk menilai seorang anak menderita
kolestasis adalah kadar bilirubin. Kadar bilirubin yang dikatakan sebagai
kolestasis adalah apabila didapatkan kadar bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila
bilirubin total < 5 mg/dL atau kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin
total apabila kadar bilirubin total > 5 mg/dL. Secara klinis kolestasis ditandai
dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik, dan urin yang berwarna
kuning tua seperti teh. Apabila proses tersebut berjalan dalam jangka waktu yang
lama maka akan dapat menimbulkan manifestasi klinis lainnya seperti pruritus,
gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari penumpukan zat-zat yang seharusnya
diangkut oleh empedu untuk dibuang ke usus.
EPIDEMIOLOGI
Secara umum insiden kolestasis pada bayi kurang lebih 1:25000 kelahiran hidup.
Penyebab kolestasis dikatakan sangat beragam, akan tetapi atresia bilier
ekstrahepatik dikatakan sebagai penyebab tersering untuk terjadinya kolestasis.
Insiden atresia bilier dikatakan 1:10000 kelahiran hidup, sedangkan rasio atresia
bilier pada anak perempuan lebih besar 2 kali dibandingkan pada anak laki-laki.
KLASIFIKASI
Adapun klasifikasi kolestasis pada bayi:
I. Kelainan Ektrahepatik
A. Atresia bilier
B. Striktur saluran empedu
C. Kista koledokal
D. Anomali pada choledochopancreaticoductal junction
E. Perforasi spontan pada saluran empedu
F. Massa (Neoplasia, batu)
II. Kelainan Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis nenoatus idiopatik
2. Kolestasis intrahepati, persisten
a. Displasia arteriohepatik ( sindrom Alagille’s)
b. Nonsyndromic paucity dari saluran intrahepatik
c. Kolestasis intrahepatik berat dengan penyakit hepatoseluler progresif
3. Kolestasis intrahepatik, berulang
a. Kolestasis intrahepatikberulang yang jinak
b. Kolestasis keturunan dengan lymphedema (Aagenaes)
B. Anatomi
1. Fibrosis hepatik kongenital atau penyakit polikistik infantil (dari hati dan
ginjal)
2. Penyakit Caroli’s (dilatasi kista pada saluran intrahepatik)
C. Kelainan metabolik atau endokrin
1. Kelainan dari metabolisme asam amino
a. Tirosemia
2. Kelainan dari metabolisme lemak
a. Penyakit Wolman’s / penyakit penyimpanan kolesterol ester
b. Penyakit Niemann-Pick
c. Penyakit Gaucher’s
3. Kelainan dari metabolisme karbohidrat
a. Galaktosemia
b. Fruktosemia
c. Penyakit penyimpanan glikogen
4. Kelainan dari metabolisme asam empedu –primer
a. 3ß-hidroksisteroid Δ5- C27 steroid dehidrogenase/isomerase
b. Δ5 – 3-oxosteroid 5 ß-reduktase
5. Kelainan dari metabolisme asam empedu –sekunder
a. Sindrom Zellweger’s (sindrom serebrohepatorenal)
b. Enzimopati peroximal spesifik
6. Hepatopati mitokondria
7. Penyakit metabolik yang dimana defeknya tidak dapat dikarakteristikkan
a. Defisiensi α1-antitripsin
b. Fibrosis kista
c. Hipopituitari idiopatik
d. Hipotiroid
e. Penyakit penyimpanan zat besi neonatal
f. Kelebihan tembaga infatil
g. Familial erythrophagocytic lymphohistiocytosis (FELS)
f. Defisiensi arginase
8. Racun
a. Kolestasis yang berhubungan dengan nutrisi parenteral
D. Kolestasis yang berhubungan dengan infeksi
1. Sepsis dengan kemungkinan endotoxemia
2. Sipilis
3. Toxoplasmosis
4. Listeriosis
5. Infeksi virus kongenital
E. Genetik atau Kromosomal
1. Trisomi E
2. Sindrom Down
3. Sindrom Donahue’s
F. Miscellaneous
1. Histiositosis sel langerhans
2. Syok atau hipoperfusi
3. Obstruksi intestinal
4. Lupus neonatus
PATOFISIOLOGI
Empedu adalah cairan yang disekresi oleh hati, berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, fosfolipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonjugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu, sedangkan bilirubin terkonjugasi
merupakan bagian terkecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi
enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epithelial dimana
permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal, sedangkan
permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah
epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun
dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan
hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contohnya adalah penanganan
dan detoksifikasi dari bilirubin terkonjugasi (bilirubin indirek).
Bilirubin yang tidak terkonjugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh
transporter pada membran basolateral, dikonjugasi oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonjugasi yang larut air dan dikeluarkan
ke dalam empedu oleh transporter mrp2 yang bertanggung jawab terhadap aliran
bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit ke dalam
empedu oleh transporter lain yaitu, pompa aktif asam empedu. Pada keadaan
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonjugasi juga
terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Proses yang terjadi di
hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan
gangguan pada transporter hepatobilier yang menyebabkan penurunan aliran
empedu dan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis kolestasis pada umumnya disebabkan karena adanya keadaan
seperti dibawah ini:
1. Terganggunya aliran empedu memasuki usus:
Tinja berwarna dempul
Urobilin dan sterkobilin tinja menurun
Urobilinogen urin menurun
Malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
Hipoprotombinemia
2. Akumulasi empedu dalam darah
Ikterus
Gatal-gatal
Hiperkolesterolemia
Kerusakan sel hepar sebagai akibat penumpukan garam empedu
SGOT, SGPT, Alkali phospatase, glutamil transpeptidase meningkat
Gambar 1. Manifestasi umum kolestasis
DIAGNOSIS
KOLESTASI
KONSENTRASI ASAM EMPEDU INTRALUMINAL
RETENSI/REGURGITASI
HIPERTENSI PORTA
PENYAKIT HATI PROGRESIF (SIROSIS
BILIER)
PENURUNAN ALIRAN EMPEDU KE USUS HALUS
MALABSORPSI
GAGAL HATI
1. Asam Empedu Pruritus Hepatotoksik
2. Bilirubin Ikterus
3. Kolesterol Xantaplasma Hiperkolesterolemia
4. Penumpukan “trace elements” Tembaga dll
1. Lemak Malnutrisi Retardasi pertumbuhan
2. Vitamin larut dalam lemak A : Kulit tebal D : Osteopenia E : Degenerasi Neuromuscular K : Hipoprotombinemia
3. Diare/steatorea Hipersplenisme Asites Perdarahan (varises)
Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara
kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini
obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis
intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan
medikamentosa.
Anamnesis
a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.
b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau
berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak
perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan
tinja akolis lebih awal.
c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang
demam atau disertai tanda-tanda infeksi.
d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi α1-
antitripsin).
Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin
sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan
bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan
sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap
bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota
pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam
dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba
pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus
kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi
kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab
seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai.
Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi
hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa
adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan
vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus dengan infeksi
kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura,
berat badan rendah, dan gangguan organ lain
Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk
membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria
tersebut kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik ±
82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran
histopatologi hati.
Tabel 1. Kriteria klinis untuk membedakan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam
penegakkan diagnosis kolestasis yaitu melalui pemeriksaan laboratorium dan
dengan pencitraan. Ada beberapa tahapan dalam mengevaluasi dari kolestasis
neonatal yaitu:
1. Membedakan kolestasis dari fisiologis atau breast milk jaundice dan
menentukan tingka keberatan penyakit
a. Evaluasi klinis (riwayat, pemeriksaan fisik, warna tinja).
b. Serum bilirubin terfraksi (serum asam empedu).
c. Tes untuk penyakit hepatoseluler dan bilier (ALT, AST, Alkali phospatase,
GGTP)
d. Tes untuk fungsi hati ( serum albumin, protombine time, glukosa darah,
amonia)
2. Mengeksklusi pengobatan dan kelainan spesifik lainnya.
a. Kultur bakteri (urine dan darah)
b. VDRL, dan serologi virus sesuai indikasi
c. α1-antitripsin fenotip
d. T4 dan TSH (eksklusi hipotiroid)
e. Deteksi metabolik (urine-reducing substance, asam empedu urine, asam
amino serum, ferritin)
f. Klorida keringat/ analisis mutasi
3. Membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari intrahepatik
a. Ultrasonografi
b. Hepatobilier scintigrafi
c. Biopsi Hati
Pemeriksaan Laboratorium
1. Tes Hati
Transaminase
Transaminase serum, alanine aminotransferase (ALT) dan aspartat
aminotransferase (AST) merupakan tes yang paling sering dilakukan
untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini spesifik
untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak sensitif.
AST dijumpai dalam kadar yang tinggi pada berbagai jaringan, antara lain
hati, otot jantung, otot skelet, ginjal, pankreas, dan sel darah merah.
Apabila ada kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi
kenaikan kadar enzim ini dalam serum. Dibandingkan dengan ALT, AST
lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati karena kadar di
jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan dengan kadar di hati.
Gamma-glutamyltransferase (GGT)
GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris
dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak,
mammae, dan intestinum dengan kadar tertinggi pada tubulus renal.
Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan, peningkatannya
tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit pada hati.
Pada bayi baru lahir dapat dijumpai kadar GGT yang sangat tinggi, lima
sampai delapan kali lebih tinggi dari batas atas kadar normal pada orang
dewasa. Pada bayi prematur, kadar GGT dapat lebih tinggi dibanding bayi
cukup bulan pada minggu pertama kehidupan. Kemudian secara perlahan
akan turun, baik pada bayi prematur maupun cukup bulan dan mencapai
kadar normal orang dewasa pada usia 6-9 bulan.Apabila dibandingkan
dengan tes serum yang lain, GGT merupakan indikator yang paling sensitif
untuk mendeteksi adanya penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi
ditemukan pada obstruksi hepatobilier, tetapi pada kolestasis intrahepatik
(contohnya pada Sindrom Alagille) dapat dijumpai kadar ekstrem yang
sangat tinggi. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk membedakan
diantara keduanya.
Tabel 2. Referensi kadar normal GGT
Umur Jenis Kelamin U/L (persentil 2,5 – 97,5)
0 – 5 hari L – P 34 – 263
1 – 3 tahun L – P 6 – 19
4 – 6 tahun L – P 10 – 22
7 – 9 tahun L – P 13 – 25
10 – 11 tahun L 17 – 30
P 17 – 28
12 – 13 tahun L 17 – 44
P 14 – 25
14 – 15 tahun L 12 – 33
P 14 – 26
16 – 19 tahun L 11 – 34
P 11 – 28
Alkaline Phosphatase (AP)
Alkaline Phospatase dapat ditemukan pada hati, berasal dari membran
kanalikular; pada tulang, dari osteoblas; pada intestinum, dari brush
border enterosit; dan pada ginjal, dari tubulus proksimal. Peningkatan
serum AP terjadi pada kolestasis, baik intrahepatik maupun ekstrahepatik.
Namun peningkatan abnormal enzim ini tidak dapat membedakan antara
keduanya. Obstruksi biliaris terjadi pada lebih dari 90% pasien dewasa
yang mengalami peningkatan kadar serum AP lebih dari dua kali normal
dan lebih dari 75% pasien dengan peningkatan kadar lebih dari empat kali
nilai normal. Meskipun demikian, lebih dari 20% pasien dewasa dengan
hepatitis viral tanpa obstruksi ekstrahepatik mengalami peningkatan kadar
serum AP lebih dari empat kali nilai normal.
Pada anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang, terjadi peningkatan
serum AP yang disebabkan oleh influks isoenzim di tulang ke dalam
serum. Maka dari itu, penggunaan kadar serum AP dalam penilaian
penyakit hati pada anak (terutama pada remaja yang sedang dalam
pertumbuhan aktif) kurang bermakna.
2. Tes Fungsi Hati
Albumin
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di
retikulum endoplasma hepatosit dengan half-life dalam serum sekitar 20
hari. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan tekanan koloid
osmotik intravaskular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai komponen
dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya kalsium)
serta obat-obatan.
Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena penurunan
produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar albumin serum digunakan
sebagai indikator utama kapasitas sintesis yang masih tersisa pada
penyakit hati. Karena albumin memiliki half-life yang panjang, kadar
albumin serum yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya
penyakit hati kronis. Pada pasien dengan asites, penurunan kadar albumin
lebih disebabkan karena terjadi peningkatan volume distribusi dibanding
penurunan sintesis. Penyebab hipoalbuminemia non-hepatik lainnya
adalah malnutrisi serta kehilangan yang berlebihan dari urin (pada
nefrosis) dan usus (pada protein-losing enteropathies).
Tabel 3. Refernsi kadar albumin serum normal pada anak
Umur Albumin
g/dL +1 SD
1 – 3 bulan 3,41 0,72
4 – 6 bulan 3,46 0,36
7 – 12 bulan 3,62 0,60
13 – 24 bulan 3,63 0,80
25 – 36 bulan 4,11 0,78
3 – 8 tahun 4,0 0,65
9 – 16 tahun 4,25 0,70
Lipid dan Lipoprotein
Hati merupakan tempat sintesis dan metabolisme utama lipid dan
lipoprotein sehingga apabila terdapat gangguan pada hati akan terjadi
abnormalitas kadar lipid dan lipoprotein serum serta munculnya
lipoprotein yang normalnya tidak ada pada individu sehat (contohnya
Lipoprotein X). Peningkatan kadar kolesterol bebas dan fosfolipid yang
ekstrem terjadi pada penyakit hati dengan gejala kolestasis, contohnya
pada Sindrom Alagille. Hal ini disertai dengan munculnya LDL yang
abnormal, yaitu Lipoprotein X (Lp-X).
Faktor Koagulasi
Hati memiliki 3 peranan dalam mengontrol koagulasi, yaitu :
- Produksi semua faktor koagulasi kecuali faktor von Willebrand
- Produksi dan pemecahan faktor integral menjadi fibrinolisis, seperti
plasminogen dan aktivator plasminogen
- Clearence faktor pembekuan dari sirkulasi
Sintesis faktor II, VII, IX, dan X tergantung pada suplai vitamin K, suatu
vitamin larut lemak yang mungkin tidak diabsorpsi dengan baik pada
pasien kolestasis, yang adekuat. Vitamin K berperan sebagai kofaktor
dalam kaskade homeostasis. Karena kapasitas penyimpanan vitamin K di
hati sangat terbatas, maka apabila terjadi gangguan absorpsi maka PT dan
PTT akan meningkat.
3. Tes untuk pelacakan etiologi
Darah : darah rutin, kultur → mencari kemungkinan infeksi
kadar T4 dan TSH serum, α-1 antitripsin serum, asam amino,
laktat, amonia → mencari kemungkin kelainan metabolik
Urin : urinalisis, kultur → mencari kemungkinan ISK
USG Abdomen
USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna pada
evaluasi awal kolestasis pada bayi. USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan
hati dan kandung empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada sistem bilier oleh
batu maupun endapan, ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruksi atau
kistik pada sistem bilier.
Pada saat puasa kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan
empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah diberi minum,
kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu akan
mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu dapat tidak terlihat.
Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus hepatikus dan
duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke
saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini USG setelah minum tidak
diperlukan lagi.
Pada keadaan lain dapat terlihat kandung empedu kecil saat puasa dan setelah
minum ukuran kandung empedu tidak berubah. Hal ini kemungkingan disebabkan
karena adanya gangguan aliran empedu dari kandung empedu melewati duktus
koledoktus komunis ke duodenum. Tanda “triangular cord” yaitu ditemukan
adanya densitas okogenik triangular atau tubular di kranial bifurcatio vena porta
sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya atresia biliaris (sensitivitas 93%,
spesifisitas 96%).
Skintigrafi hepatobilier
Skintigrafi hepatobilier menggunakan isotop yang dilabel Technetium berguna
dalam membantu membedakan antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis
lain. Pemeriksaan ini sangat sensitif terhadap atresia biliaris tetapi spesifisitasnya
rendah karena pada kolestasis intrahepatal ekskresi isotop dapat pula tertunda
(sensitivitas 93%, spesifisitas 40%). Pada atresia biliaris uptake isotop oleh
hepatosit normal tetapi ekskresinya tertunda atau tidak diekskresi sama sekali.
Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik uptake isotop oleh hepatosit tertunda
tetapi ekskresinya normal. Premedikasi dengan phenobarbital (5 mg/kgBB/hari
selama 5 hari) dapat meningkatkan sensitivitas karena phenobarbital diketahui
dapat menstimulasi enzim-enzim hati dan meningkatkan aliran empedu.
Biopsi hati
Biopsi hati perkutan merupakan tes diagnostik definitif untuk evaluasi kolestasis
pada bayi (sensitivitas 100%, spesifisitas 95%). Pada atresia biliaris dapat
ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug, portal track edema, dan
fibrosis. Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik dapat ditemukan gambaran
pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal.
Selain itu dapat pula ditemukan badan inklusi virus yang menunjukkan adanya
infeksi CMW atau herpes simpleks.
Kolangiografi
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak secara rutin direkomendasikan
pada bayi dengan kolestasis karena sulit dilakukan dan berbahaya namun
memiliki akurasi yang tinggi (98%), dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas
96% dalam penegakan diagnosis atresia biliaris. Metode ini menggunakan agen
paramagnetik negatif untuk menekan cairan yang ada di usus sehingga visualisasi
duktus pankreatobilier dapat terlihat jelas.
Gambar 2. Algoritme diagnosis kolestasis