29038852 tinjauan pustaka kolestasis

Upload: kyuu-kesawa

Post on 06-Jan-2016

76 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

krk

TRANSCRIPT

BAB I

Tinjauan Pustaka

Kolestasis: Atresia Bilier dan Sindrom Hepatitis NeonatalDalam praktek sehari-hari, orang tua akan membawa bayi yang kuning ke dokter dan mengharapkan dokter untuk menjelaskan keadaan pada umumnya terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan. Umumnya, bila bayi telah 2 minggu atau lebih dan masih terlihat ikterik perlu dipikirkan adanya kolestasis.

Kesalahan yang umum terjadi adalah cukup puas melihat bayi berkurang kuningnya, terlebih lagi bila melihat kadar bilirubin total yang menurun. Padahal keadaan ini dapat saja terjadi pada saat yang sama dengan peningkatan bilirubin direk. Penurunan bilirubin indirek yang terjadi dapat lebih besar daripada peningkatan bilirubin direk, sehingga secara total memang terjadi penurunan kadar bilirubin, tetapi dengan adanya peningkatan bilirubin direk, maka kondisi ini sesuai dengan definisi kolestasis.Kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl; sedangkan bila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dl; kadar bilirubin direk adalah lebih dari 20% dari bilirubin total. Keadaan ini dapat saja segera terjadi setelah lahir tetapi dapat juga bermanifestasi lambat. Bayi yang tetap ikterik setelah 2 minggu pertama kehidupan perlu diperiksa kadar bilirubin total dan bilirubin direk darah. Pemeriksaan bilirubin direk dan total ini merupakan pemeriksaan yang terpenting untuk menentukan ada tidaknya kolestasis.

Pada kolestasis terjadi peningkatan bilirubin direk. Secara teoritis bilirubin direk bersifat larut dalam air sehingga dapat mewarnai urin menjadi kuning tua atau kuning seperti teh. Pada bayi diketahui produksi urin relatif lebih banyak sehingga kadang-kadang bilirubin direk yang meningkat di darah dapat tidak terlihat sebagai warna urin yang kuning pada bayi.

Ada banyak nomenklatur penyakit hati pada neonatus, istilah ikterus neonatal mengacaukan keadaan kolestasis dengan ikterus fisiologis pada neonatus. Istilah hepatitis neonatal juga kurang tepat karena inflamasi hepar bukanlah gambaran yang ditemukan pada semua kondisi ini. Istilah umum untuk keadaan penyakit hati dengan kolestasis adalah kolestasis neonatal, yang untuk mudahnya dibagi menjadi dua menurut penyebabnya yaitu: kolestasis ekstrahepatik dan sindrom hepatitis neonatal. Beberapa penyebab yang sering ditemukan pada kolestasis neonatal dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1. Penyebab kolestasis pada bayi

Kolestasis ekstrahepatik

Atresia bilier ekstrahepatik

Kista duktus koledokus

Inspissated bile syndrome

Sindrom Caroli

Perforasi spontan duktus biliaris komunis

Sindrom Hepatitis Neonatal

Infeksi

Bakteri

E.coli

Syphilis

Protozoa

Toxoplasmosis

Virus

Cytomegalovirus (CMV)

Rubella

Herpesvirus

Kelainan metabolik

Sindrom Alagille

Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis (PFIC)

Kelainan endokrin

Hipopituitarisme

Hipotiroidisme

Kelainan kromosom

Trisomi 18, 21

Kelainan toksik

Nutrisi parenteralHepatitis neonatal idiopatik

Evaluasi bayi dengan kolestasis Pertama kita perlu memikirkan penyakit yang dapat diobati misalnya sepsis, infeksi saluran kemih, endokrinopati. Kedua, obstruksi bilier perlu dipikirkan dan dibedakan dengan karena intervensi bedah yang cepat akan memberikan prognosis yang lebih baik. Terakhir, komplikasi klinis kolestasis termasuk koagulopati karena hipoprotrombinemia atau defisiensi vitamin K dan konsekuensi nutrisi akibat malabsorpsi lemak perlu dipertimbangkan karena terapi akan memperbaiki outcome dan kualitas hidup pasien.Secara umum insidens kolestasis kurang lebih 1:2500 kelahiran hidup. Hepatitis neonatal idiopatik dilaporkan insidensnya 1:4800-9000 kelahiran hidup. Adanya metode diagnostik yang lebih baik dan akurat menurunkan insiden bayi dengan diagnosis hepatitis neonatal idiopatik. Insidens atresia bilier bervariasi antara 1:8000-25000 kelahiran hidup.Walaupun penyebab kolestasis sangat beragam, diagnosis atresia bilier dan hepatitis neonatal idiopatik telah mencakup 60% kasus kolestasis. Beberapa hal berikut dapat membantu membedakan atresia bilier (atresia bilier ekstrahepatik) dan sindrom hepatitis neonatal (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Gambaran klinis atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal

Jenis kelamin

Pertumbuhan

Keadaan umum

Tinja pucat/dempul

Gambaran dismorfik

Fungsi sintetik

HipoglikemiaSindrom hepatitis neonatalLebih sering pada lelakiSering terganggu

Biasanya tampak sakit

BerfluktuasiSering

Sering tergangguSering

Atresia bilier

Lebih sering pada perempuan

Biasanya normal

Biasanya tampak sehat

Terus menerus

Kadang-kadang ada

Umumnya awalnya baikJarang

Mengingat banyaknya penyebab kolestasis pada bayi, perlu dipilih pendekatan diagnosis yang cost-effective. Evaluasi yang umum dipakai adalah evaluasi bertahap yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tahapan evaluasi kolestasis neonatal

Bedakan kolestasis dari ikterus fisiologis akibat ASI dan tentukan beratnya penyakit

Evaluasi klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis, dan warna BAB)

Pemeriksaan bilirubin direk dan indirek, asam empedu

Tes kelainan hepatoselular dan bilier (ALS, AST, fosfatase alkali, GGT)

Tes fungsi hati (albumin serum, waktu protrombin, glukosa darah, amonia)

Singkirkan penyebab yang dapat diterapi

Kultur bakteri (darah, urin)

Serologi virus (TORCH)

FT4 dan TSH

Bedakan obstruksi ekstrahepatik dan kelainan intrahepatik

USG

Biopsi hati

Atresia bilier merupakan kelainan yang paling sering menyebabkan kolestasis pada minggu pertama setelah lahir. Kelainan ini ditandai adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris ekstrahepatik. Atresia bilier merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit hati dan merupakan indikasi utama transplantasi hati pada anak.Pada umumnya, atresia bilier merupakan suatu proses yang bertahap, dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran bilier ekstrahepatik. Selama evolusi obstruksi saluran bilier ini, pada biopsi hati akan tampak sel epitel yang berdegenerasi, inflamasi dan fibrosis pada jaringan periduktular. Saluran empedu di dalam hati sampai ke porta hepatis biasanya tetap paten selama minggu pertama kehidupan, tetapi kemudian secara progresif rusak kemungkinan karena proses yang sama dengan penyebab destruksi saluran bilier ekstrahepatik.

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui. Adanya gambaran inflamasi yang menyebabkan terjadinya proses destruksi saluran bilier ekstrahepatik menyebabkan para ahli memikirkan etiologinya adalah infeksi. Berbagai virus dihubungkan dengan atresia bilier diantaranya virus sitomegalo, rubella, rotavirus, reovirus tipe 3, tetapi sampai saat ini belum satupun dapat dibuktikan sebagai penyebab atresia bilier. Imaturitas sistem imun dan faktor genetik mungkin berkontribusi pada patogenesis penyakit ini. Hipotesis lain ialah adanya defek atau gangguan penyusunan pada perkembangan duktus biliaris pada saat dini yang mungkin berhubungan dengan kelainan kongenital yang khas untuk atresia bilier dengan malformasi splenik (BASM).Lumen duktus ekstrahepatik mengalami obliterasi pada berbagai level, hal ini menjadi dasar untuk menentukan klasifikasi. Untuk kepentingan klinis, klasifikasi yang paling umum digunakan adalah sebagai berikut: 1. Tipe 1 (5%)-obstruksi terjadi pada duktus biliaris komunis (kandung empedu akan berisi empedu), 2.tipe (3%) obstruksi terjadi pada duktus hepatikus komunis (kandung empedu tidak berisi empedu), 3.tipe 3 (>90%) tidak terlihat lumen yang berisi empedu, obstruksi terjadi di dalam porta hepatis.Gambaran klinis yang sering dijumpai pada atresia bilier adalah biasanya terjadi pada bayi perempuan, lahir dengan berat normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, dan bayi tidak tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Bila dibandingkan dengan hepatitis neonatal , bayi dengan atresia bilier tidak terlalu ikterik dan umumnya terlihat keadaan umumnya baik. Kalau dilihat pada tahap dini, bayi atresia bilier akan terlihat keadaan umumnya lebih baik dibandingkan sindrom hepatitis neonatal, dan pertumbuhannya pun tetap baik, dengan berat badan naik sesuai grafik pertumbuhan. Hal-hal inilah yang menyebabkan dokter yang kurang memahami atresia bilier dapat terkecoh, tidak menyangka pasien yang sedang dihadapinya sebagai atresia bilier yang memerlukan penanganan segera. Sebaliknya bayi dengan sindrom neonatal hepatitis sering ditemukan lebih ikterus, kurang bertumbuh baik, tampak lebih sakit dibandingkan atresia bilier. Tanda yang penting untuk ditanyakan pada pasien kolestasis adalah warna tinjanya. Bila ditemukan tinja pucat/dempul terus menerus hal ini akan mengarahkan kita pada diagnosis atresia bilier. Pasien yang demikian memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan atau menyingkirkan atresia bilier. Tinja dempul ini sebaiknya tidak hanya ditanyakan pada anamnesis, tetapi perlu dilihat sendiri. Seringkali orang tua menyebut tinja kuning muda yang ternyata dempul atau sebaliknya. Orang tua tentunya tidak berpengalaman melihat warna tinja bayinya. Di Jepang dan Taiwan dokter membagikan kartu yang berisi warna-warna tinja untuk dipilih orang tua bayi untuk menjaring atresia bilier , warna pada kartu tersebut sangatlah diperhatikan pada saat mencetaknya agar tidak salah interpretasi saat melihat tinja bayi. Karena pigmen empedu fotosensitif, feces harian sebaiknya disimpan dalam gelap dan diperiksa pigmen kuning atau hijau. Duktus biliaris intrahepatik maupun ekstrahepatik dapat paten pada beberapa minggu pertama kehidupan, tapi menjadi atretik kemudian. Jadi, pada 30% batita dengan atresia bilier, feces dapat berwarna di minggu-minggu pertama kehidupan, sebelum aliran empedu terobstruksi total. Makin lama atresia bilier telah terjadi, makin besar kemungkinan duktus bilier intrahepatik terobliterasi dan makin kecil kemungkinan portoenterostomi sukses.Ikterik pada atresia bilier pada umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu, hal ini pada umumnya terjadi pada tipe perinatal. Pada tipe yang jarang yaitu tipe embrionik (prenatal), ikterus dapat ditemukan sejak lahir. Sekitar 10%-15% bayi jenis ini memiliki malformasi kongenital lain.

Laboratorium

Pemeriksaan tes fungsi hati dapat menolong tetapi tidak bernilai diagnostik. Pada bayi dapat ditemukan pemanjangan waktu protrombin, tetapi umumnya akan kembali normal bila diberi vitamin K pada keadaan dini dan nilai albumin serum juga akan di atas 3 g/dl yang berarti fungsi sintesis hati masih baik. Petanda kerusakan hepatoselular berupa peningkatan serum alanin dan aspartat aminotransferase biasanya hanya ringan sampai sedang. Sedangkan gamma glutamil transpeptidase (GGT) dan fosfatase alkali akan meningkat secara progresif yang menunjukkan adanya kerusakan saluran bilier yang berat. Tingginya GGT ini memiliki nilai untuk membedakan dengan sindrom hepatitis neonatal, karena GGT yang rendah jarang ditemukan pada atresia bilier. Ultrasonografi

Ultrasonografi abdomen merupakan alat diagnostik yang dapat dipakai untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi saluran bilier ekstrahepatik. Pada saat puasa kandung kemih bayi normal pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga akan dengan mudah terlihat dengan USG. Setelah diberi minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empeda akan mengecil. Pada atresia bilier, saat puasa kandung empedu dapat tidak terlihat yang membuat kita berfikir ada gangguan patensi duktus hepatikus dan duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan kandung empedu tidak terlihat saat puasa, USG setelah minum tidak diperlukan lagi. Pada keadaan lain, saat puasa kandung empedu terlihat kecil tetapi setelah minum ukuran kandung empedu tidak berubah, hal ini mengarah pada kemungkinan adanya gangguan aliran cairan empedu dari kandung kemih melalui duktus sistikus melewati duktus koledokus komunis ke duodenum. Kedua gambaran ini mengarahkan kita akan kemungkinan atresia bilier.Kesalahan yang sering ditemukan adalah USG dilakukan tidak dalam keadaan puasa atau operator USG tidak melaporkan ukuran kandung empedu saat puasa dan saat sesudah minum sehingga hasil yang didapatkan tidak dapat memberikan informasi tambahan yang diperlukan. Ada tanda karakteristik lain yang perlu dicari dengan USG yaitu tanda triangular cord. Pada beberapa penelitian dilaporkan tanda ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis atresia bilier, tetapi sekali lagi hal ini bergantung pada operator yang melakukannya.

Biopsi hati

Biopsi hati per kutan merupakan tes diagnostik yang penting untuk evaluasi bayi dengan kolestasis. Pada umumnya tindakan biopsi pada bayi merupakan tindakan yang aman dengan menggunakan jarum biopsi Menghini. Saat ini tersedia jarum biopsi Mengihini sekali pakai dengan harga yang cukup terjangkau. Berbagai penelitian melaporkan atresia bilier dapat didiagnosis pada 90-95% kasus. Pada biopsi hati dapat ditemukan tanda karakteristik adanya obstruksi duktus hepatikus komunis antara lain proliferasi duktus biliaris, bile plug pada duktus biliaris, dan adanya fibrosis portal, pelebaran portal track, dan edema.

Kolangiografi intraoperatif

Bila hasil gambaran histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil pemeriksaan belum dapat menyingkirkan atresia bilier, perlu dilakukan laparotomi eksplorasi. Saat laparotomi, inspeksi langsung keadaan kandung empedu dan sistem bilier perlu dilakukan. Perlu ditentukan apakah sistem bilier mengalami obstruksi, bila ada perlu ditentukan tempatnya, dan kemudian perlu melakukan prosedur untuk mengalirkan empedu dari hati ke duodenum. Pada umumnya, pada atresia bilier, kandung empedu terlihat kecil dan fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Untuk menentukan patensi sistem bilier, perlu dilakukan kolangiografi. Sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandung empedu kemudian ditusukkan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang umum dipakai adalah menurut Japanese Society of Pediatric Surgeons yang membagi keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis. Tipe 2 atresia bilier naik sampai ke duktus hepatikus komunis, dan tipe 3, atresia bilier mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik. Bentuk paling banyak ialah tipe 3 (85-90% kasus); rekonstruksi bedah (portoenterostomi) paling menantang dalam bentuk ini. Pemeriksaan kolangiografi ini penting untuk memastikan diagnosis atresia bilier. Sindrom Alagille merupakan keadaan yang dapat mirip dengan atresia bilier jika tidak diketahui pada saat kolangiografi atau tidak dilakukan kolangiografi akan membuat pasien menjalani prosedur Kasai. Bila hal ini terjadi, portoenterostomi akan menyebabkan pasien Alagille mengalami sirosis bilier dan memperburuk prognosisnya.Terapi

Tidak ada terapi medis yang dapat menghambat atau menghilangkan kolestasis dan kerusakan hati pada atresia bilier. Satu-satunya pilihan adalah meningkatkan aliran bilier dan memperbaiki ikterus dengan prosedur Kasai (portoenterostomi).

Terapi medis kolestasis pasca portoenterostomi

Terapi postoperatif bayi dengan atresia bilier adalah: 1.menghindari kolangitis, 2. menstimulasi koleresis dan 3. memberi tunjangan nutrisi. Untuk menghindari kolangitis umumnya diberikan asam ursodeoksikolat (10-20mg/kg/hari). Dukungan nutrisi pada atresia bilier perlu dilakukan pada saat diagnosis, perlu diperhatikan kebutuhan energi untuk menjamin pertumbuhan dan suplementasi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Ringkasan dukungan nutrisi yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 4.Tabel 4. Tata laksana nutrisi bayi dengan atresia bilier

NutrienPilihan terapiEfek bila defisit

Energi

Vitamin A

Vitamin D

Vitamin E

Vitamin K125% RDA berdasarkan persentil 50 untuk BB/TB; protein 2-3g/kg/hr; lemak: diperkaya dengan MCT (-50% kalori dari lemak)

5000-25000 IU/hari

3-10x RDA sesuai umur; 3-5 g/kg/hari 25-hydroxyvitamin D jika ada rickets

15-25 IU/kg/hari

2,5 mg 2 kali seminggu sampai 5,0 mg/hariMalnutrisi

Keratopati punctata

Rickets, osteomalacia

Disfungsi neurologis

Kaufman dkk. memberikan review yang baik bagi support nutrisi pada anak dengan atresia bilier ekstrahepatik. Mereka menyarankan Pregestimil mengingat kandungannya yang tinggi asam linoleat. Jika penambahan berat badan tidak adekuat, bubuk glukosa (polycose) atau MCT oil dapat ditambahkan. Dianjurkan tujuan 3 g protein/kg/hari. Vitamin A, D, dan E dapat dimonitor di serum, dengan suplementasi jika dibutuhkan. Pemberian vitamin K dapat dimonitor melalui evaluasi faktor pembekuan terkait. Fe, zink, dan kalsium sebaiknya diberikan juga. Kebutuhan suplementasi umumnya proporsional dengan aliran empedu; jadi pasien dengan aliran yang buruk dan penyakit progresif memiliki kebutuhan lebih tinggi.Faktor Prognostik

Usia. Indikator prognostik utama bagi sukses atau gagalnya terapi pada atresia bilier ekstrahepatik ialah usia anak saat operasi. Walaupun beberapa variasi terjadi pada hasil, tampak kecenderungan kesuksesan yang lebih tinggi pada usia yang makin dini. Operasi pada usia 60 hari menghasilkan tingkat kesuksesan lebih dari 75%. Jika operasi terlambat satu bulan, tingkat keberhasilan diperkirakan 20-30%. Ada studi serial peningkatan keberhasilan ketika operasi dilakukan setelah 90 hari tapi sebelum 120 hari. Pasien seringkali tidak teridentifikasi hingga 6 minggu pemeriksaan postnatal, sehingga penilaian inisial sedini mungkin harus dilakukan.Histologi. Hubungan hasil jangka pendek dan jangka panjang hasil operasi terhadap histologi bervariasi. Walaupun beberapa studi mengatakan tidak ada hubungan, Suruga dkk. memeriksa beberapa gambaran histologis porta hepatis dan jaringan intrahepatik terkait jaundice persisten pada bulan ke-3. Mereka menemukan tidak ada hubungan antara ukuran di porta tapi menemukan hubungan dengan derajat fibrosis dan degenerasi duktus bilier intrahepatik. Pada studi lain, kualitas duktus bilier pada porta dievaluasi. Ditemukan struktur bilier besar yang tidak memiliki koneksi dengan duktus intrahepatik; oleh karena itu, identifikasi yang cermat terhadap duktus sejati terkait dengan aliran empedu postoperatif, walaupun korelasi statistik antara struktur dan restorasi aliran empedu tidak didapatkan. Temuan yang sama antara antara histologi duktus bilier dan aliran empedu juga disebutkan oleh Ohio dkk. Duktus bilier sejati dikaitakan dengan peningkatan aliran empedu, ekskresi bilirubin, dan penurunan insiden kolangitis.Aliran bilirubin inisial. Aliran bilirubin postoperatif mungkin merefleksikan baik tingkat obstruksi yang sedang terjadi maupun kapasitas sekresi hepar. Suruga dkk. memeriksa tingkat aliran bilirubin dan menemukan bahwa baik ini maupun tingkat ekskresi asam empedu berhubungan dengan ketiadaan jaundice 3 bulan setelah operasi. 80% pasien bebas jaundice memiliki lebih dari 200 ml empedu per hari. Ekskresi asam empedu pada pasien yang yang belakangan bebas jaundice bervariasi antara 10-30 mol/ml, tetapi hanya 0,04 sampai 3,2 mol/ml yang diekskresikan oleh pasien dengan jaundice persisten. Korelasi antara aliran empedu dan ekskresi asam empedu lebih jauh didukung oleh hasil kerja Weber dkk. dimana klirens bilirubin secara signifikan meningkat pada 4 sampai 24 minggu postoperatif pada kelompok survivor dibandingkan dengan non survivor, tapi bukan pada periode postoperatif dini. Level klirens alkalin fosfatase juga menunjukkan bahwa secara signifikan klirens lebih tinggi pada empedu survivor dapat didemonstrasikan segera setelah operasi.

Penurunan klirens bilirubin selama kolangitis juga dikaitkan dengan prognosis lebih buruk. Ohkohci dkk. menemukan bahwa peningkatan bilirubin serum lebih dari 10mg/dl selama kolangitis terkait dengan disfungsi hati progresif.Lokasi pembuluh darah/aliran portal. Dengan kemajuan teknologi studi Dopler flow terkait sonografi real-time, penilaian akurat aliran darah dapat dilakukan secara non invasif. Pada satu studi, mutu vena portal di follow up dengan pemeriksaan serial setelah portoenterostomi. Pada pasien dengan disfungsi hepar, tampak penurunan diameter, yang menjadi kecil secara progresif pada pasien dengan fungsi hati yang menurun. Hal ini penting khususnya bagi timing pasien yang membutuhkan patensi untuk transplantasi. Institusi yang sama juga telah menggunakan kecepatan aliran portal sebagai studi prognostik. Pasien dengan aliran lambat (38oC), kemunculan kembali jaundice, dan seringkali terdapat gambaran sepsis. Kultur darah, aspirat ascites, atau biopsi hati untuk mengidentifikasi organisme yang bertanggung jawab sebaiknya mendahului terapi antibiotik intravena, yang diteruskan selama 14 hari jika patogen teridentifikasi. Namun, seringkali diagnosis kolangitis tidak jelas dan demam yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya bisa menjadi satu-satunya gejala. Antibiotik intravena dimulai secara empiris setelah pengambilan darah untuk kultur dan penilaian fungsi hati, level protein C rektif dan hitung darah lengkap. Jika demam respon terhadap antibiotik, teruskan selama 5 hari. Jika demam kembali terjadi setelah penghentian antibiotik, biopsi hati dilakukan untuk pemeriksaan histologis dan kultur. Profilaksis jangka panjang dengan rotasi antibiotik diindikasikan pada kolangitis rekuren. Biasanya digunakan ampisilin, gentamisin, sefalosforin generasi ke-3 dan imipenem. Pada kasus infeksi refrakter yang diindikasikan denga demam kontinu setelah 24 sampai 48 jam pemberian antibiotik, disarankan pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid dosis tinggi di taperring off setelah 4 hari hingga 3 minggu. Derajat hipertensi portal hadir pada hampir semua pasien pada waktu awal operasi. Sekitar 50% dari semua pasien yang bertahan hidup hingga 5 tahun, walaupun dengan level bilirubin normal, memiliki varises esofagus, tapi hanya 10-15% mengalami perdarahan saluran cerna. Untuk itu, variceal banding atau skleroterapi injeksi merupakan pilihan terapi. Pada sekitar 10% pasien yang level bilirubin serum kembali normal, terdapat prograsi kolangiopati intrahepatik dan berkembang komplikasi sirosis bilier. Bagi pasien-pasien ini, dan yang terapi operasi tidak efektif, transplantasi hati harus dipertimbangkan. Dengan angka survival 1 tahun mendekati 90%, dan angka survival 5 tahun di atas 80%, transplantasi hati kini menjadi opsi terapi standar. Transplantasi. Kemampuan untuk mentransplantasi hati menjadi isu penting pada terapi atresia bilier ekstraheptik. Karena disfungsi hepar sering terjadi terlepas dari portoenterostomi, perlu identifikasi pasien yang sebiknya menjalankan inisial atau reoperasi atresia bilier ekstrahepatik. Seleksi pasien. Ada kesepakatan umum bahwa portoenterostomi dini membawa tingkat kesuksesan yang tinggi untuk penggunaanya sebelum transplantasi. Kasai dkk. menyatakan bahwa 80% pasien mendapat kesuksesan jangka panjang jika operasi dilakukan sebelum usia 60 hari. Drainase yang terjadi belakangan bisa komplit atau parsial. Walaupun banyak pasien dengan hanya drainase parsial akan menjalani transplantasi, peningkatan morbiditas trombosis arteri hepatika yang terlihat dengan operasi pada tahun pertama kehidupan dapat dikurangi. Selain itu, ketersediaan donor makin baik dengan peningkatan usia.

Perhatian utama portoenterostomi terdahulu ialah keterkaitannya dengan peningkatan kehilangan darah, waktu operasi, dan kemungkinan peningkatan mortalitas yang tampak pada pasien dengan transplantasi lanjutan. Temuan ini tidak didukung oleh serial lain dimana kehilangan darah, kebutuhan untuk retransplantasi, dan keselamatan tidak secara statistik berbeda. Pada kohort pasien yang mengalami portoenterostomi diikuti transplantasi ketika dibutuhkan, 89% angka survival 10 tahun tercapai.Nilai prognostik berbagai faktor pada portoenterostomi telah didiskusikan sebelumnya. Di luar dari operasi dini, aliran empedu yang diinginkan, dan histologi, jelas bahwa banyak pasien mengalami deteriorasi hepar dan menjalani transplantasi. Walaupun akan menolong apabila identifikasi pasien dilakukan pada stadium awal, hal ini tidak mungkin. Walaupun tidak ada kontraindikasi tegas, usia lebih dari 120 hari, sirosis, histologi yang buruk menjadi petunjuk indikasi transplantasi primer.Pada banyak batita yang membutuhkan transplantasi dini, kecocokan ukuran menjadi isu penting. Kesuksesan transplantasi hati ukuran tereduksi membuat transplantasi dini mungkin. Bersamaan dengan itu, kelompok donor hidup telah berkembang melalui transplantasi hepar donor hidup. Transplantasi graft segmental dari kerabat yang hidup memberikan tingkat survival 90% pada batita yang protoenterostomi Kasai tidak sukses. Hasil akan lebih baik pada anak yang ditransplantasi ketika lebih berat dari 10 kg (atau setelah usia 1 tahun) dan ketika prosedur dilakukan secara elektif. Yang menjadi masalah ialah risiko kegagalan graft dan imunosupresi seumur hidup (risiko terkena infeksi oportunistik, didapat di komunitas atau keganasan). Risiko ini dan peningkatan keberhasilan portoenterostomi mensupport penggunaanya sebelum transplantasi. Transplantasi hati pada pasien dengan atresia bilier sebaiknya bersifat komplementer terhadap portoenterostomi, kecuali bagi batita yang mengalami decompensated sirosis yang terjadi akibat keterlambatan diagnosis. Kombinasi ini memperbaiki harapan hidup anak dengan atresia bilier. Dilaporkan angka survival 4 tahun dengan hati asal 51% dan keseluruhan (dengan hati asal maupun post transplantasi hati) mencapai 89%.Sindrom Hepatitis Neonatal

Sindrom hepatitis neonatal meliputi spektrum penyakit yang luas. Pembagiannya sering berbeda-beda. Dalam makalah ini hanya akan dibagi 3 penyakit yang sering yaitu infeksi saluran kemih, sindrom Alagille, dan hepatitis neonatal idiopatik. Kolestasis karena toksoplasmosis, virus sitomegalo, rubella, dan herpes dapat dilihat pada makalah lain.

Infeksi saluran kemih

Pada pengamatan sehari-hari di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, infeksi saluran kemih sering ditemukan pada bayi dengan kolestasis intrahepatik (KIH). Kolestasis intrahepatik dengan ISK merupakan penyakit yang dapat diterapi, relatif mudah didiagnosis, dan mempunyai prognosis baik bila diterapi dengan adekuat.

Pada periode Januari sampai dengan Desember 2003 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM tercatat 99 menderita kolestasis dengan 68 diantaranya dengan kolestasis intrahepatik. Dari 68 orang bayi tersebut, biakan urin dilakukan pada 34 bayi, dan didapatkan bakteriuria bermakna pada 24 bayi. Pada pemantauan selanjutnya, pada 11 dari 24 bayi kadar bilirubin menjadi normal.

Sebagian besar kuman penyebab ISK pada penelitian ini adalah E.coli (15/24), Staphylococcus epidermidis (3/24), Enterobacter aerogens dan Proteus mirabilis masing-masing 2, dan Klebsiela sp serta Providencia stuartii masing-masing 1. Prevalensi ISK pada bayi dengan KIH pada penelitian ini cukup tinggi (24/34) dengan dominasi lelaki (3:1). Tidak ada gejala klinik yang spesifik pada kolestasis dengan ISK. Demam pada umumnya tidak ditemukan. Pemeriksaan urinalisis tidak sensitif untuk mendiagnosis KIH dengan ISK. Walaupun leukosituria secara tradisi digunakan sebagai petanda untuk membedakan ISK dengan bakteriuria asimtomatik, tetapi leukosituria bukan petanda yang sensitif pada bayi. Crain dan Gershel pada penelitian prospektif melaporkan 333 bayi dari 430 bayi dengan demam kurang dari 8 minggu yang disebabkan oleh ISK. Dari 33 bayi tersebut hanya 48% diantaranya dengan leukosit atau terlihat bakteri pada pemeriksaan mikroskopis. Pada penelitian kami, KIH dengan biakan urin positif hanya 1 dari 24 pasien dengan leukosituria. Oleh sebab itu pemeriksaan kultur urin perlu dilakukan pada semua pasien dengan KIH.

Patogenesis kolestasis pada ISK

Pada keadaan infeksi baik yang masuk ke dalam hati maupun di luar hati, bakteri dapat menghasilkan endotoksin dan endotoksin tersebut dapat masuk dalam sirkulasi walaupun bakteri yang menginfeksi tidak masuk dalam peredaran darah. Oleh sebab itu mungkin saja ditemukan kolestasis walaupun tidak ada bakteremia. Endotoksin dapat merangsang sintesis sitokin oleh makrofag (di dalam hati misalnya: Sel Kupfer). Sel kupfer dan sel imunokompeten lainnya dalam hati mensintesis sitokin intrahepatik seperti TNF , IL-1, IL-6 dan IL-8, sehingga sitokin intrahepatik meningkat jumlahnya, mengganggu fungsi hepatosit dan menyebabkan kolestasis. Telah diketahui bahwa sitokin proinflamasi, terutama TNF dan IL-1 adalah inhibitor yang poten untuk menghambat ekspresi gen transporter hepatobilier. Asam empedu dan bilirubin untuk masuk dari sinusoid ke intrahepatik memerlukan bantuan protein transporter tertentu, demikian juga untuk ekskresi asam empedu dan bilirubin dari intrahepatik ke kanalikulus biliaris. Akibat adanya gangguan pada transporter-transporter baik untuk transpor bilirubin dan asam empedu maka akan terjadi gangguan aliran empedu dan secara klinis dikenal sebagai kolestasis. Terapi kolestasis akibat ISK

Terapi kolestasis pada ISK terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi saluran kemih. Antibiotik yang sesuai dengan antibiogram sesuai hasil kultur urin merupakan antibiotik yang terbaik untuk mengatasi infeksi saluran kemih tersebut. Membaiknya infeksi saluran kemih akan memperbaiki keadaan kolestasis yang terjadi.

Sindrom Alagille

Sindrom Alagille adalah kelainan autosomal dominan yang menyebabkan terjadinya perkembangan abnormal pada banyak struktur termasuk hati, jantung, muka, mata, ginjal, dan tulang belakang. Bayi dengan sindrom ini sering disertai dengan kolestasis akibat duktus biliaris yang sedikit jumlahnya. Pada kelainan ini terjadi mutasi gen Jagged 1 (JAG 1) pada kromosom 20p12. Gen ini mengkode protein permukaan sel yang merupakan ligand untuk reseptor Notch suatu reseptor yang sangat dipertahankan yang berperan untuk memberika sinyal intraseluler yang penting dalam perkembangan.

Prevalensi

Prevalensi sindrom Alagille dilaporkan 1:100.000 kelahiran. Terdapat riwayat keluarga positif untuk gambaran klinis Alagille pada 15-23% pedigree.

Gambaran Klinis

Sindrom Alagille umumnya memberikan gejala pada 3 bulan pertama kehidupan.

Selain miskin saluran empedu intrahepatik, pada sindrom Alagille umumnya dapat ditemukan 5 gambaran klinis mayor yang karakteristik untuk sindrom ini yaitu:

Kolestasis kronis yang menyebabkan ikterus, pruritus, hiperkolesterolemia, dan xantoma Wajah khas berupa mata yang menjorok ke dalam, dagu yang lancip dan kecil, hipertelorisme ringan, dahi yang lebar, dan hidung yang lurus sejajar dengan dahi yang menonjol

Defek lengkung vertebra pada foto vertebra yang umumnya berupa vertebra bentuk kupu-kupu

Abnormalitas pada jantung yang paling sering berupa stenosis arteri pulmonalis perifer

Abnormalitas mata berupa embriotokson posterior

Kelainan lain yang juga dapat ditemukan adalah abnormalitas pada ginjal, gangguan pertumbuhan, atau insufisiensi pankreas.

Histopatologi hati pada sindrom Alagille

Rasio saluran empedu terhadap portal track adalah kurang dari 0,5. Pemeriksaan yang paling baik paling sedikit dapat memeriksa minimal 10 portal track. Walaupun demikian jumlah bile duct pada waktu awal pada bayi dengan sindrom Alagille dapat normal dan paucity akan berkembang kemudian. Pada suatu laporan kasus dengan biopsi hati serial dilaporkan sampai dengan 59% biopsi hari awal pada pasien yang berusia kurang dari 6 bulan atau satu tahun ratio bile duct terhadap portal tract masih normal, tetapi 90% paucity ditemukan pada pasien yang beruia lebih dari 1 tahun.

Pada biopsi awal juga dapat ditemukan proliferasi bile duct yang mirip gambaran untuk atresia bilier, hal ini lebih menyulitkan lagi jika ditambah dengan kesulitas saat menemukan hasil kolangioram yang abnormal dan tidak berhasil melihat saluran bilier ekstrahepatik yang hipoplastik. Berbeda dengan atresia bilier, prosedur portoenterostomi yang dilakukan pada sindrom Alagille akan memperburuk prognosis pasien ini.

Diagnosis

Diagnosis sindrom Alagille ditegakkan jika histologi hati yang khas disertai dengan penemuan gejala ekstrahepatik mayor (kolestasis kronis, muka khas, murmur jantung, anomali tulang belakang, dan embriotokson posterior). Gejala klinis sindrom Alagille mayor ini setidaknya ditemukan kolestasis kronis ditambah 2 gejala mayor lainnya.

Terapi

Terapi sindrom Alagille umumnya sama dengan sindrom hepatitis neonatal lainnya yaitu berupa pemberian suplemen vitamin, support nutrisi dan ditambah pengontrolan pruritus. Untuk pengontrolan pruritus dapat memperhatikan hidrasi kulit dengan emolien dan kuku sebaiknya dipotong pendek. Pemberian terapi antihistamin mungkin dpat menolong, tetapi pada beberapa pasien mungkin memerlukan rifampisin.

Hepatitis neonatal idiopatik

Hepatitis neonatal idiopatik merupakan diagnosis terakhir yang umumnya digunakan bila penyebab lain tidak diketahui. Makin maju upaya diagnostik yang dapat dilakukan , pasien yang masuk dalam diagnosis ini akan semakin sedikit.

Gambaran klinisBayi dengan hepatitis neonatal idiopatik biasanya lahir dengan berat badan lahir rendah. Pada 50% bayi terlihat kuning pada minggu pertama kehidupan. Kira-kira sepertiga kasus ditemukan gagal tumbuh. Tinja dempul jarang ditemukan kecuali berat. Hatinya biasanya membesar dan kenyal. Tanda lain seperti mikrosefali, korioretinitis, anomali vaskular dan skeletal, tidak umum ditemukan, jadi bila ditemukan perlu dipikirkan diagnosis lainnya.

Laboratorium

Bilirubin direk meningkat. Nilai ALT dan AST meningkat 2-10 kali batas atas normal. Kadar gamma glutamyl transpeptidase meningkat bervariasi tetapi biasanya tidak melebihi 5 kali batas atas normal. Kadar serum asam empedu biasanya meningkat hebat. Dapat ditemukan pemanjangan waktu protrombin karena adanya faktor pembekuan karena defisiensi vitamin K atau penurunan sitesis faktor pembekuan.

Histopatologi hati

Pada pemeriksaan histopatologi hati dapat ditemukan gambaran seperti trasnformasi sel giant cell trasformation dan hematopoiesis ekstrameduler. Kelainan ini memang tidak spesifik menggambarkan respon stereotipik hati neonatus terhadap peradangan, tetapi biopsi hati dapat menolong untuk menyingkirkan penyebab lain hepatitis neonatal.Tatalaksana

Tatalaksana hepatitis neonatal idiopatik umumnya sama dengan kolestasis intrahepatik lainnya.

Daftar Pustaka

Oswari, Hanifah. Kolestasis: atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal dalam Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit anak dengan Geja;la Kuning. Departemen Ilmu kesehatan Anak FKUI: Jakarta, 2007.

Vergani, G.E. and Nedim H. Biliary atresia and neonatal disorders of the bile duct in Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Elsevier: Netherland, 2006. Atein, J.E and Joseph P.V. Biliary atresia and other disorder of the extrahepatic biliary tree In Liver Disease In Children. Mosby: Missouri, 1994.BAB II

SAJIAN KASUS

Identitas Pasien

Nama

: By A. P.

Jenis kelamin: Laki-laki

Usia

: 4 bulan

Agama: Islam

Alamat: Kp. Kuaron Ds. Citerep Kec. Cirus Kab. Serang

No. RM:3380692

Tgl Masuk RS:22 Februari 2010 pkl 17.15

Orang Tua

Ayah

Nama

: Tn. S.

Pekerjaan:tidak bekerja

Pendidikan: SD kelas 2

Ibu

Nama

: Ny. R.

Pekerjaan: Ibu rumah tangga

Pendidikan: SMP

Data diperoleh dari hasil aloanamnesis dengan ibu dan ayah pasien (4 Maret 2010) dan rekam medis Rumah Sakit.

Anamnesis

Keluhan Utama : Kuning di mata dan seluruh tubuh sejak lahir

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak lahir pasien agak kuning. Kuning terlihat di mata dan seluruh badan. Di rumah pasien dijemur oleh ibunya namun kuning tetap tidak membaik. Kuning makin tampak jelas pada saat usia bayi 3 bulan. BAB pasien warna putih (dempul). BAK pasien warna kuning, agak gelap. Riwayat BAB atau BAK berdarah disangkal. Riwayat demam, batuk, pilek (+) 3 x dalam 3 bulan. Perut buncit tampak, agak keras saat diraba, dan terdapat gambaran pembuluh darah sejak 1 bulan smrs. Pasien sering menggaruk-garuk kepala dan wajah. Pernah menggaruk ke dalam mulut sehingga gusi berdarah. Memar disangkal. Riwayat mual muntah (+) 2 bulan smrs. Pasien berobat ke RSUD Serang. Pasien dikatakan menderita penyakit hati, tidak diberi obat dan dirujuk ke RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Di RSCM pasien sempat dirawat dan dilakukan USG Hati. Pasien kemudian pulang karena tidak ada biaya operasi. Setelah mengurus surat Jamkesmas pasien dikirim kembali ke RSCM.

Sehari-hari pasien aktif, tidak rewel, mau minum susu dari botol, bisa tidur pulas.

Saat ini pasien sudah dirawat selama 2 minggu di RSCM, masih kuning dan perutnya buncit. Telah dilakukan pemeriksaan darah, air seni, tinja dan biopsi hati dengan USG pada pasien. Selama perawatan di RS, pasien diinfus, dipasang selang makan dari hidung, diberikan susu khusus dari RS, diberi obat suntik maupun obat minum, BAK diukur dan berat badan ditimbang.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi disangkal

Riwayat sakit berat disangkal

Riwayat operasi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit kuning (+)pada ibu pasien saat hamil 2 bulan, sembuh setelah diobati

Riwayat alergi disangkal Riwayat sakit gula(diabetes mellitus) disangkalRiwayat Kelahiran: cukup bulan, spontan, ditolong bidan, langsung menangis, tidak biru, kuning (+), berat lahir 3 kg, panjang lahir 49 cm. Pasien merupakan anak pertama. Ibu melahirkan pada usia 25 tahun. Selama hamil ibu rutin kontrol ke bidan dan mendapat vitamin.

Riwayat Imunisasi: Ibu tidak tahu, BCG scar (-)

Riwayat Gizi : Sejak lahir pasien diberikan susu formula karena ibu tidak bisa produksi ASI. Pasien selalu diberi susu tiap kali menangis. Saat ini orang tua pasien diedukasi untuk memberikan susu dari RS sesuai takaran.

Riwayat tumbuh kembang: pasien sudah bisa miring kanan dan kiri, menurut orang tua pasien sudah bisa tangkurap. Pasien sudah bisa mengoceh spontan dan berekasi terhadap bunyi maupun muka orang.

Lingkungan tempat tinggal: pasien tinggal bersama ayah, ibu dan neneknya.

Sebagian pembiayaan untuk mengurus pasien di RS dibantu oleh kerabat istri.

Pemeriksaan FisikKeadaan umum: tampak sakit ringan, cukup aktif, tidak sesak, tidak sianosis

Kesadaran

: kompos mentis

Frekuensi nadi

: 120x/menit, reguler, isi cukup

Frekuensi nafas

: 32x/menit, reguler, kedalaman cukup

Suhu

: 36,8oC(aksila)

Status antropometri: BB 5,45 kg, TB 56 cm

BB/U = 5,45/7 x100% =77,9%

TB/U = 56/63,9 x 100%=87,6%

BB/TB = 5,45/4,4%= 123% (kesan: gizi lebih obesitas ringan)

Kepala: Ubun-ubun besar cekung (-), membonjol (-), deformitas (-), lingkar kepala 39 cm (normocephal batas bawah)

Wajah: dismorfik (-)

Mata

: Kunjungtiva pucat -/-, sklera ikterik +/+ tampak kotor, pergerakan bola mata simetris, cekung -/-

Telinga: nyeri tekan telinga -/-, sekret -/-

Hidung: deviasi septum (-), konka tidak hiperemis, pernafasa cuping hidung -/-

Tenggorok: faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1 tenang

Gigi dan mulut: mukosa tidak kering, higiene baik, perdarahan gusi (-), gigi belum tumbuh

Leher: KGB tidak teraba pembesaran

Dada: Gerakan simetris stastis dan dinamik, retraksi (-)

Jantung: Bunyi jantung I/II normal, murmur (-), gallop (-)

Paru: Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen:Buncit, lemas, venektasi (+), bising usus (+) normal, turgor cukup, hepar 4 cm bpx, 4 cm bac, permukaan rata, tepi tajam, lien S1-II,lingkar perut 47 cm

Ekstremitas: Akral hangat CRT < 2, edema -/-, sianosis -/-, aktif bergerak, kuning (+)

Kulit: warna gelap, tampak ikterik, ruam kulit (-)

Genitalia eksterna: penis dan skrotum lengkap, ukuran testis kiri=kanan, hiperemis (-), nyeri tekan (-)

Status neurologis: Tanda rangsang meningeal (-), tidak terdapat gerakan tak terkoordinasi.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Tanggal 22-2-2010

Hb 8,2 g/dl

Ht 24%

MCV 80 fL

MCH 23 pg

MCHC 35%

Leukosit 22600/mm3 Trombosit 143000

PT 12,7

APTT 42,8 1,3x

SGOT 133 U/L

Bilirubin total 20,7 mg/dl

Bilirubin direk 13,8 mg/dl

Bilirubin indirek 6,9 mg/dl

GDS 66 mg/dl(N: 60-100)

Albumin 2,0 mg/dl(N:3,4-4,8)

Tanggal 23-2-2010

SGOT 117 U/L (N