bab i revisi 1.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Globalisasi ekonomi tidak pernah lepas dari peran besar
Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki perekonomian
terbesar di dunia yang tentunya memiliki peran yang besar pula
dalam perekonomian dunia. Peran besar Amerika Serikat dalam
perekonomian dunia dimulai sejak pasca perang dunia kedua
hingga sekarang, hal ini diindikasikan oleh peran Amerika Serikat
dalam membentuk organisasi-organisasi ekonomi dunia seperti
IMF (International Monetary Fund), World Bank, dan GATT
(General Agreements on Tarrifs and Trade) yang kemudian
menjadi WTO (World Trade Organization).
Sejalan dengan peran besar Amerika Serikat di dalam
perekonomian dunia, krisis finansial yang terjadi di Amerika
Serikat berdampak luas dan memicu terjadinya krisis ekonomi
global. Krisis finansial atau keuangan yang terjadi di Amerika
Serikat telah berkembang menjadi masalah yang sangat serius
dan berimplikasi kepada perekonomian negara-negara lain di
dunia baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung.
Keadaan perekonomian dunia yang saat ini saling terintegrasi
1
satu sama lain menciptakan keadaan yang interconected atau
saling berkaitan satu sama lain yang memungkinkan hal tersebut
dapat terjadi.
Dalam siklus ekonomi, krisis adalah sesuatu yang sudah
lazim terjadi, tak terkecuali bagi negara dengan ekonomi yang
kuat dan besar seperti Amerika Serikat. Sejarah tentang krisis
perekonomian Amerika Serikat dapat dilihat dari peristiwa great
depression yang terjadi pada dasawarsa 1930an. Berawal dari
peristiwa jatuhnya bursa saham New York yang berimplikasi
kepada kehancuran perekonomian dunia baik negara industri
maupun negara berkembang. Volume perdagangan internasional
berkurang drastis, begitu pula dengan pendapatan
perseorangan, pendapatan pajak, harga, dan keuntungan. Pada
masa itu dapat terlihat bagaimana krisis yang berawal terjadi di
Amerika Serikat membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi
perekonomian dunia, padahal pada masa itu keterkaitan
ekonomi dunia tidak sebesar seperti sekarang, dimana belum
didukung oleh kemajuan teknologi dan informasi.
Pada tahun 2007, Krisis ekonomi kembali mengguncang
Amerika Serikat. Keputusan Alan Greenspan yang merupakan
pimpinan tertinggi The Fed atau bank sentral Amerika Serikat
untuk menurunkan tingkat suku bunga sebagai upaya
2
meningkatkan atau memompa laju pertumbuahan ekonomi di
Amerika Serikat setelah krisis dot.com yang sebelumnya
melanda mengakibatkan investasi tumbuh dalam besaran yang
signifikan di Amerika Serikat. Sektor-sektor yang dapat
menghasilkan keuntungan dalam investasi dijadikan lahan yang
dipilih oleh para investor untuk menanamkan modal, salah
satunya adalah bisnis perumahan.
Besarnya minat investor terhadap bisnis perumahan di
Amerika Serikat dikarenakan margin keuntungan yang diberikan
bisnis ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini membawa
bisnis properti di negara tersebut menjadi bisnis yang
berkembang dengan pesat. euphoria bisnis properti ini
menciptakan bubble dimana harga suatu aset atau dalam hal ini
perumahan, naik jauh diatas harga yang seharusnya.
Kebanyakan krisis dimulai dari terciptanya bubble.1
Perkembangan pesat bisnis properti ini memicu peningkatan
jumlah penawaran kredit untuk membeli rumah sebagai usaha
untuk memasarkan produk perumahan. Akan tetapi, masalahnya
pemberian kredit bukan hanya diberikan kepada orang-orang
yang memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk
melunasi kredit yang disebut golongan prime, kredit juga
1 Nouriel Roubini and Stephen Mihm, Crisis Economics: A Crash Course In The Future Of Finance, (New York: The Penguin Press, 2010), hal. 17.
3
diberikan kepada orang-orang yang secara finansial tidak
memadai untuk mendapatkan kredit yaitu orang-orang dengan
kemampuan finansial rendah, yang dikenal sebagai peminjam
NINJA yaitu peminjam dengan No Income, No Job and no Assets.2
Mereka ini disebut sebagai golongan subprime. Pemberian kredit
ini dilakukan oleh lembaga-lembaga perkreditan properti di
Amerika Serikat yang memberikan kelonggaran persyaratan
kredit kepada golongan subprime, yang dibarengi dengan
penetapan bunga yang tinggi.
Suku bunga yang tinggi yang dikenakan kepada peminjam
subprime yang memiliki kemampuan bayar yang rendah
mengakibatkan peminjam subprime mengalami kesulitan dalam
membayar cicilan kredit yang dibebankan dengan bunga yang
cukup tinggi tadi, sedangkan penghasilan atau kemampuan
finansial yang dimiliki rendah, sehingga terjadi kegagalan
didalam pembayaran utang atau kredit yang mengakibatkan
kredit macet, kemudian memicu terjadinya krisis finansial atau
krisis subprime mortgage di Amerika Serikat.
Muncul pertanyaan, apakah lembaga-lembaga perkreditan
properti itu tidak menyadari resiko yang mereka ambil ketika
memberi kelonggaran persyaratan kredit kepada golongan
2 Nouriel Roubini and Stephen Mihm, op. cit. hal. 65.
4
subprime yang akan menyebabkan kredit macet dan mereka
merugi?
Kredit rumah yang diberikan lembaga kreditur kepada
peminjam subprime selain dikenakan bunga yang tinggi yang
merupakan sumber keuntungan, rumah yang dibeli juga
dijadikan sebagai jaminan peminjaman. Strategi lembaga
kreditur tersebut adalah ketika peminjam subprime tidak mampu
membayar maka jaminan akan disita dan kemudian akan dijual
kembali kepada pembeli lainnya dengan proyeksi harga rumah
yang terus naik sehingga akan tetap diperoleh keuntungan dari
penjualan rumah tersebut.
Akan tetapi yang terjadi tidak seperti itu, kegagalan bayar
atau kredit macet yang terjadi dalam skala yang besar
mengakibatkan masalah finansial yang rumit, yang kemudian
memicu kemerosotan ekonomi. Kemudian yang terjadi adalah
pecahnya bubble perumahan, dimana hal ini memicu atau
mengakibatkan merosotnya harga perumahan secara drastis,
sehingga ketika lembaga kreditur ingin menjual kembali rumah
yang disita dari peminjam yang tidak mampu membayar
tersebut, harga properti tengah merosot, sehingga bukan
keuntungan yang didapat melainkan kerugian yang berlipat
ganda.
5
Lima tahun sebelum dunia dihebohkan oleh kehancuran
bisnis properti di Amerika Serikat, seorang pakar ekonomi
terkemuka dunia yang juga pemenang hadiah Nobel, Joseph E.
Stiglitz pernah mengingatkan adanya indikasi tidak sehat
terhadap perkembangan ekonomi di Amerika Serikat. Ia melihat
akan ada masalah dengan suku bunga rendah yang diberlakukan
di sana, terlalu bergantungnya pertumbuhan ekonomi AS pada
bisnis properti dan pengaturan industri keuangan yang longgar.
Ketiga hal itu dikhawatirkan akan menjadi pemicu kebangkrutan
ekonomi negara itu, dan mungkin juga akan merembet ke
negara-negara lainnya.3
Apa yang pernah diingatkan oleh Stiglitz sebelumnya
kemudian menjadi kenyataan, satu persatu lembaga investasi
keuangan atau bank investment di Amerika Serikat berguguran
yang disebabkan oleh masalah kredit perumahan yang macet
serta pecahnya gelembung atau bubble perumahan yang
berakibat merosotnya harga perumahan, sehingga menyebabkan
krisis finansial. Dimulai dengan dijualnya bank investasi Bear
Stearn kepada JP Morgan Chase dengan harga yang murah yaitu
sebesar 236 juta US dolar, pada tanggal 16 maret 2008 yang
kesepakatan tersebut diprakarsai oleh Federal Reserve atau
3 “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia”, Bank Indonesia, Jakarta, 2010,
6
bank sentral Amerika Serikat.4 Kemudian, Pada tanggal 7
september 2008, Departemen Keuangan Amerika Serikat
mengambil alih salah satu perusahaan raksasa pembiayaan
perumahan di Amerika Serikat, yaitu Freddie Mac dan Fannie
Mae, sekaligus menjamin utang setiap institusi itu masing-
masing hingga sebesar 100 miliar US dolar.5
Di pertengahan sampai dengan akhir bulan september,
beberapa kejadian yang menggambarkan tentang jatuhnya
lembaga-lembaga finansial raksasa seperti Lehman Brothers
yang mendaftarkan proteksi kebangkrutan, serta upaya
pemerintah Amerika Serikat untuk menyelamatkan
perekonomian negara tersebut dengan mengumumkan rencana
penyelamatan krisis finansial senilai 700 miliar US dolar, dan
upaya The Fed yang merupakan bank sentral Amerika Serikat
yang juga sebagai lender of last resort yaitu pemberi bantuan
kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan
menekan laju inflasi.
Krisis finansial yang terjadi dikarenakan kredit macet dan
pecahnya gelembung atau bubble perumahan yang
menyebabkan keruntuhan lembaga-lembaga keuangan dan
4 “Kronologi Krisis Finansial AS”, detik finance, 22 September 2008, <http://www.detikfinance.com/read/2008/09/22/073317/1010033/5/kronologi-krisis-finansial-as>, tanggal akses 27 Januari 2011, 10:00 am.5 Ibid.
7
investasi rakasasa di Amerika Serikat memicu terjadinya
pengetatan likuiditas, sehingga kredit untuk usaha menjadi
sangat sulit diperoleh. Hal ini tentunya membuat banyak bisnis
atau usaha di Amerika Serikat mengalami kesulitan sehingga
banyak perusahaan dengan terpaksa melakukan efisiensi, salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan merampingkan
karyawan sehingga terjadi gelombang pemutusan hubungan
kerja. Sebagai contoh, dua perusahaan otomotif terbesar di
Amerika Serikat, General Motor dan Ford melakukan PHK
terhadap banyak karyawan dan tenaga kerjanya.
Ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, otomatis
masyarakat yang terkena PHK tersebut akan kehilangan
pendapatannya dan hal ini akan menyebabkan menurunnya
konsumsi rumah tangga yang pada akhirnya akan menurunkan
daya beli masyarakat secara keseluruhan. Penurunan daya beli
masyarakat yang terjadi secara signifikan akan memicu
terjadinya krisis ekonomi di Amerika Serikat. Gambaran
sederhana ini, berusaha menjelaskan bagaimana terjadinya krisis
finansial di Amerika Serikat akan menyebabkan kontraksi
terhadap perekonomian di negara tersebut secara keseluruhan
yang kemudian akan memicu terjadinya krisis ekonomi, dan
seperti itulah keadaan yang terjadi di Amerika Serikat.
8
Berita mengenai tumbangnya lembaga-lembaga keuangan
dan investasi raksasa di Amerika Serikat seperti Lehman
Brothers, Bear Stearn, dan Fannie Mae, seperti sebuah virus
yang dengan cepat menyebar dan membawa dampaknya ke
banyak negara di seluruh dunia. Satu persatu industri keuangan
yang bersinggungan dengan bisnis atau investasi properti
subprime mortgage di Amerika Serikat terkena dampaknya.
Krisis finansial yang melanda Amerika Serikat pada tahun
2007 yang diawali dengan masalah kredit perumahan subprime
mortgage, membawa dampak luar biasa secara global. Hal ini
bisa dilihat dari kepanikan investor dunia dalam usaha mereka
menyelamatkan uang mereka di pasar saham. Mereka ramai-
ramai menjual saham sehingga bursa saham terjun bebas. Sejak
awal 2008, bursa saham China anjlok 57 persen, India 52 persen,
zona Eropa 37 persen, dan Indonesia menembus 41 persen,
sebelum kegiatannya dihentikan sementara untuk mencegah
kemerosotan yang lebih tajam.6
Ketika sektor finansial Amerika Serikat terhantam krisis
yang menimbulkan efek domino kepada negara-negara lainnya
maka yang akan terjadi adalah penarikan modal oleh negara-
negara investor yang membutuhkan modal untuk memperbaiki
6 Renne RA Kawilarang dan Harriska Farida Adiati, “Bursa Asia Ikut-ikutan Rontok”, VIVAnews, 10 Oktober 2008, <http://dunia.vivanews.com/news/read/2059-bursa_di_asia_ikut_ikutan_rontok>, diakses tanggal 28 Januari 2011 09:30 pm.
9
keadaan keuangan di negaranya sendiri yang tadinya
menanamkan modalnya di negara-negara lain yang merupakan
tempat investasi, sehingga terjadi kekeringan likuiditas. Selain
kekeringan likuiditas terjadi juga pengetatan likuditas
dikarenakan investor menjadi sangat berhati-hati dalam
memarkir modalnya akibat ketidakpastian ekonomi. Kedua hal
tersebut akan mempengaruhi sektor riil perekonomian di
berbagai negara yang membutuhkan investasi modal untuk
pembangunan ekonomi di negara maju maupun berkembang.
Kekeringan dan pengetatan likuiditas yang berpengaruh
kepada sektor riil dimana para pengusaha akan kesulitan
mendapatkan modal untuk membuka atau mengambangkan
usahanya, kemudian akan memicu berkurangnya lapangan
pekerjaan yang akan meningkatkan jumlah angka
pengangguran. Hal ini terjadi di negara-negara pada tatanan
global, termasuk di Inggris sebagai negara dengan fundamental
ekonomi yang kuat sekalipun. Hingga Agustus 2008, dampak
krisis mengakibatkan jumlah pengangguran di Inggris melejit
menjadi 1,79 juta orang atau 5,7 persen dari angkatan kerja.
Menurut International Labour Organization, inilah tingkat
pengangguran terparah sejak Juli 1991.7 Krisis finansial ini juga
meluas ke negara-negara lainnya di Eropa Barat, Eropa Timur 7 “Memahami Krisis Keuangan: Bagaimana Harus Bersikap”, Departemen Keuangan, Departemen Komunikasi dan Informatika, dan Badan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2008, hal. 8.
10
seperti Estonia, Latvia, dan Rusia serta negara-negara di
kawasan Asia Pasifik. Bahkan Jepang yang memiliki cadangan
devisa sangat besar yaitu 1 triliun US dolar, tidak menjamin
negara tersebut terbebas dari krisis finansial global. Pasar saham
di Negeri Matahari Terbit itu juga terkena dampak krisis
keuangan global. Ketika investor panik, akhirnya indeks saham
Nikkei turun hingga 11,4 persen, ini merupakan penurunan
terbesar sejak 1987.8 Sementara Cina yang dianggap memiliki
kekebalan terhadap resesi negara lain, juga terkena imbas,
selain indeks saham Shanghai yang anjlok, ekspor Cina ke
Amerika Serikat juga merosot tajam dikarenakan daya beli
masyarakat Amerika Serikat yang menurun.9
Krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat
berdampak luas terhadap perekonomian gobal, gerak arus modal
yang semakin tidak terbatas pada masa sekarang dan kegiatan
ekonomi yang bersifat transnasional membuat penyebaran krisis
semakin tak terhindarkan. Gerak arus modal yang tidak terbatas
tadi, membuat pasar dunia saling terkait dan saling
berketergantungan satu sama lain, sehingga krisis subprime
mortgage di Amerika Serikat memicu terjadinya krisis global
yang terjadi mulai dari tahun 2008. Krisis ekonomi yang disebut
subprime mortgage ini berdampak luar biasa kepada negara-8 “Memahami Krisis Keuangan: Bagaimana Harus Bersikap”, op. cit, hal. 13.9 Ibid.
11
negara di tatanan global. Bagikan domino yang ketika kepala
domino itu jatuh, maka domino-domino yang lainnya akan ikut
berjatuhan pula. Penggambaran krisis ekonomi subprime
mortgage seperti domino tersebut, dimana negara Amerika
Serikat diumpamakan sebagai kepala domino yang jatuh
tersebut dan negara-negara lainnya di dunia sebagai domino lain
yang ikut jatuh karena kepala domino tersebut terjatuh.
Tentu kita masih ingat pada krisis yang menimpa Asia dan
Indonesia khususnya pada tahun 1997, krisis yang berawal dari
krisis finansial di Thailand. Pada saat itu, ekonomi Indonesia
dinilai oleh banyak pengamat memiliki fundamental yang kuat.
Meskipun sebelum krisis neraca perdagangan Indonesia
mengalami defisit, tetapi besarannya tidak lebih besar daripada,
katakanlah, defisit Australia. Dasar ekspor Indonesia yang
sebagian bahan mentah dan sebagian lagi manufaktur yang
padat karya seperti nampak solid, dan pada dasarnya secara
umum perekonomian Indonesia terlihat mantap.10
Perekonomian Indonesia yang secara umum terlihat mantap
beberapa saat sebelum krisis, ternyata tidak cukup untuk
menghindarkan Indonesia dari terpaan krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1997 tersebut. Dalam tiga bulan setelah
munculnya indikasi krisis yang dimulai dari Thailand, kondisi
10 Paul Krugman, eds, Kembalinya Depresi Ekonomi, (Bandung: ITB, 2001), hal. 99.
12
perekonomian Indonesia bahkan menjadi lebih buruk daripada
negara Asia Tenggara Lainnya, dan menuju pada kemerosotan
ekonomi yang terburuk dalam sejarah.11
Pengaruh krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang
diawali oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada
tahun 2007 terhadap perekonomian Indonesia dapat dilihat dan
diukur dari bagaimana keadaan perkonomian Indonesia pada
rentang waktu tersebut.
Tekanan terhadap pasar keuangan global, akibat krisis
ekonomi global, berimbas pada menurunnya kinerja Indeks
Harga Saham Gabungan atau IHSG selama tahun 2008. Bahkan
pada hari rabu siang, tanggal 8 oktober 2008, Bursa Efek
Indonesia atau BEI menghentikan sementara perdagangannya.12
Pelepasan saham IHSG oleh para investor dari dalam negeri dan
terutama dari luar negeri, yang menarik dananya untuk
dipergunakan di negaranya yang juga memerlukan modal karena
krisis finansial dan ekonomi global menyebabkan kekeringan
likuiditas, dan adanya faktor kehati-hatian dari investor dalam
menginvestasikan dananya di tempat yang mereka anggap
11 Ibid.12 Umi Kalsum dan Nur Farida Ahniar, “Bursa Ambruk, Menkeu Pulang Ke Jakarta”, VIVAnews, 8 Oktober 2008, <http://bisnis.vivanews.com/news/read/1804-bursa_ambruk__menkeu_pulang_ke_jakarta> , tanggal akses 28 Januari 2011, 11:00 pm.
13
dapat memberikan revenue yang positif sehingga mereka tidak
merugi.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan inflasi dikarenakan
penarikan modal asing dalam bentuk dolar akan melemahkan
nilai tukar rupiah. Kemudian penarikan modal oleh pihak asing,
akan menyebabkan berkurangnya modal pinjaman untuk usaha
di dalam negeri yang berfungsi untuk menggerakkan sektor rill
dan sebagai sarana penyerapan tenaga kerja, apabila daya serap
tenaga kerja berkurang maka akan terjadi pengangguran.
Apabila jumlah pengangguran meningkat maka konsumsi rumah
tangga akan menjadi berkurang, hal ini akan berdampak
menurunnya daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Dampak krisis ekonomi global yang juga menyebabkan
meningkatnya jumlah angka pengangguran, adalah
berkurangnya ekspor Indonesia, dimana pengurangan jumlah
ekspor akan menyebabkan usaha-usaha yang mengandalkan
ekspornya akan melakukan perampingan atau mengurangi
jumlah karyawan dan tenaga kerjanya, untuk alasan efisiensi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, krisis
ekonomi global membuat nilai ekspor Indonesia terus mengalami
penurunan, dan kondisi tersebut sudah terjadi sejak September
2008.13 Hal itu terjadi karena tujuan negara ekspor yaitu Amerika 13 “Menkeu: Krisis Ekonomi Global Membuat Nilai Ekspor Menurun”, Kominfo-Newsroom, 27 Jan
14
Serikat dan Eropa mengalami turbulence. Semua mengalami
kelesuan, baik penurunan permintaan, penurunan harga
komoditas pertanian, harga pertambangan, dan harga
manufaktur.14 Ekspor yang menurun juga akan menyebabkan
penurunan kebutuhan tenaga kerja sehingga meningkatkan
jumlah pengangguran.
Menurut data yang diperoleh dari krisis center departemen
tenaga kerja dan transmigrasi, krisis ekonomi yang melanda
dunia yang berdampak pula ke Indonesia bahwa beberapa
perusahaan merumahkan dan melakukan pemutusan hubungan
kerja atau PHK terhadap pegawainya. Data pada bulan april
2009, pegawai yang dirumahkan sebanyak 20.243 orang, dan
yang di-PHK sebanyak 42.633 orang. Data ini dari waktu ke
waktu terus meningkat, ditunjukkan pada jumlah pegawai yang
dirumahkan dan di-PHK pada bulan september naik, jumlah
pegawai dirumahkan pada bulan ini adalah sebanyak 27.560
sedangkan yang di-PHK mencapai 66.334 orang.15 Gelombang
PHK yang terjadi disebabkan oleh dampak krisis ekonomi global
akan mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat, yang
akhirnya akan menyebabkan merosotnya perekonomian dan
2009, <http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/menkeu-krisis-ekonomi-global membuat-nilai-ekspor-menurun>, tanggal akses 29 Januari 2011, 00:01 am.14 Ibid.15 “Krisis Center: Dampak Krisis Ekonomi Global”, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigasi, Jakarta, 2009, <http://www.depnakertrans.go.id/microsite/krisiscenter/>, tanggal akses 29 Januari 2011, 00:28 am.
15
menurunnya angka pertumbuhan ekonomi.
Dampak lainnya adalah terjadinya defisit neraca
perdagangan yang disebabkan oleh menurunnya angka ekspor
Indonesia ke Amerika Serikat dan negara-negara lain yang juga
terkena krisis global, kemudian pasar dalam negeri dibanjiri oleh
oleh barang-barang dari Cina dan negara eksportir lainnya yang
mengalihkan pasarnya karena permintaan di Amerika Serikat
jauh berkurang.
Pada sektor perbankan, di tengah krisis global yang
melanda, salah satu bank di Indonesia mengalami kegagalan,
dan dikhawatirkan kejatuhan bank tersebut akan berdampak
sistemik yang akan mengakibatkan kepanikan kemudian
memperparah kondisi sehingga berpotensi menciptakan krisis
yang lebih besar. Maka melalui mekanisme yang ada dibuatlah
skema penyelamatan bank tersebut, dengan cara menyuntikkan
dana segar atau bailout yang dilakukan oleh pemerintah sebesar
6,7 triliun rupiah.
Pemerintah Indonesia dalam mangantisipasi dampak krisis
ekonomi global menerapkan kebijakan stimulus fiskal sebagai
upaya menjaga pertumbuhan ekonomi, sehingga pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada tahun 2008 dapat tetap terjaga di
kisaran 6 persen meskipun mengalami sedikit penurunan
16
dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada tahun 2007. Kebijakan stimulus fiskal selain untuk menahan
laju pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini juga bertujuan untuk
membantu masyarakat yang terkena dampak buruk dari krisis
ekonomi global. Karena masyarakat kecil, merupakan golongan
yang paling rentan dan merasakan dampak krisis. Kebijakan
fiskal yang berupa stimulus, dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain, mempertahankan dan meningkatkan daya beli
masyarakat untuk mempertahankan laju pertumbuhan konsumsi,
mencegah pemutusan hubungan kerja dan meningkatkan daya
tahan dan daya saing usaha menghadapi krisis ekonomi global,
dan menangani dampak pemutusan hubungan kerja dan
mengurangi tingkat pengangguran dengan belanja infrastruktur.
Kemudian Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan
moneter juga melakukan upaya antisipasi. Selain melakuan
bailout terhadap Bank Century, Bank Indonesia juga
menlunakkan syarat bagi bank yang ingin mendapatkan fasilitas
pembiayaan darurat ketika likuiditas mereka kering. Bank
Indonesia juga membentuk Crisis Management Control pada
tanggal 29 Oktober, untuk memantau perkembangan situasi
krisis secara aktual.
Namun, terdapat pandangan yang berbeda mengenai
dampak krisis ekonomi global terhadap sektor perbankan di
17
Indonesia. Menurut ekonom senior A tony Prasentiantono, dalam
jurnalnya16 bahwa krisis finansial yang luar biasa dahsyat di
Amerika Serikat tidak tercermin di dalam industri perbankan
Indonesia. Berbeda dengan situasi krisis 1998, sektor perbankan
Indonesia saat ini justru tidak mengalami krisis. Hingga semester
pertama 2009 , kinerja bank-bank nasional terus membaik
bahkan lebih baik dari tahun 2008. Memang ada masalah dengan
Bank Century, namun karena asetnya relatif kecil, dampaknya
tidak terlalu menyebar, atau derajat resiko sistemiknya tidak
sebesar kegagalan yang terjadi pada bank-bank besar.17
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai bagaimana
dampak krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia,
krisis ekonomi global telah terbukti mengakibatkan efek domino
yang mengakibatkan krisis lain di berbagai negara secara
berkesinambungan. Untuk itu, yang diperlukan adalah sebuah
langkah antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah agar dapat
terhindar dari penyebaran dampak krisis ekonomi global
sehingga perekonomian Indonesia dapat mencapai target angka
pertumbuhan yang diinginkan dan tidak terkena imbas atau
mampu bertahan dari hantaman krisis ekonomi global.
Krisis global yang terjadi memerlukan upaya dari pemerintah
16 A Tony Prasentiantono, “Perbankan Indonesia di Tengah Turbulensi Ekonomi Global”, Jurnal Prisma, Vol. 28/2, Oktober 200917 Ibid.
18
untuk mengantisipasi hal tersebut, untuk menghindari dan
terhindar dari dampak yang lebih hebat akibat krisis ekonomi
global. Upaya-upaya dalam mengantisipasi krisis ekonomi global
dituangkan melalui kebijakan pada dua sektor yaitu kebijakan
fiskal dan moneter yang otoritasnya ada di tangan Kementrian
keuangan sebagai pengatur regulasi fiskal, dan Bank Indonesia
sebagai penentu regulasi moneter.
Hal yang menarik dari Upaya pemerintah Indonesia dalam
mengantisipasi krisis ekonomi global (2007-2010) ini adalah: (1)
Dalam era globalisasi isu ekonomi menjadi lebih penting dari isu
keamanan, sehingga masalah krisis ekonomi global menjadi
sesuatu yang signifikan; (2) Pentingnya upaya pemerintah
Indonesia dalam mangantisipasi krisis global pada tahun 2008,
mengingat bagaimana krisis ekonomi pada tahun 1997
mengakibatkan dampak yang sangat buruk bagi perekonomian
Indonesia, dan hal ini harus dihindari agar tidak terjadi kembali.
Fokus rentang waktu pada peneletian ini dalah tahun 2007
hingga 2010. Pada periode ini dunia tengah dilanda krisis global,
bermula pada krisis subprime mortgage pada tahun 2007 yang
terjadi Amerika Serikat, kemudian efek domino yang ditimbulkan
mengakibatkan terjadinya krisis finansial dan ekonomi global
pada tahun 2008 yang dampaknya masih dirasakan hingga
2009-2010 dan harus tetap diwaspadai oleh negara-negara di
19
tatanan global termasuk Indonesia, bahkan hingga sekarang.
B. Perumusan Masalah
Menurut pakar ekonomi Paul Krugman, bahwa dari berbagai
macam perekonomian dan masalahnya yang berujung pada
krisis, apapun perbedaan diantara semua perekonomian itu,
salah satu persamaan di antara semua perekonomian tersebut
adalah mudah terpengaruh oleh kepanikan.18 jadi dengan kata
lain, berbagai krisis ekonomi yang telah terjadi ternyata memiliki
kesamaan satu sama lain, salah satunya disebabkan oleh
kepanikan.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997
merupakan salah satu krisis terburuk yang pernah terjadi
sepanjang sejarah. Krisis itu memporak-porandakan keadaan
ekonomi di Indonesia. Bukan hanya itu, krisis tersebut menjalar
menjadi krisis multidimensi yang sangat luas. Sebelum terjadinya
krisis ekonomi 1997 banyak pengamat dan para ahli ekonomi
yang memandang bahwa Indonesia memiliki fundamental
ekonomi yang cukup solid dan mantap, sehingga diyakini krisis
yang berawal dari krisis finansial di Thailand tidak akan
berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Tetapi
kenyataannya, krisis tersebut berdampak sangat besar bagi
Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia, bahkan Korea 18 Paul Krugman, op. cit, hal 101.
20
Selatan sekalipun. Hal ini memandakan penyebaran krisis dapat
terjadi sedemikian cepat dan besar, tanpa membedakan besaran
ekonomi yang dimiliki oleh sebuah negara.
Pada tahun 2008, dunia dilanda krisis ekonomi global yang
berawal dari krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada
tahun 2007. Angka pertumbuhan ekonomi global menunjukkan
penurunan, dan ekonomi kawasan serta regional berbagai negara
di belahan dunia juga terkena dampak dari krisis ekonomi global
ini. Banyak para pengamat dan ahli ekonomi meyakini bahwa
krisis ekonomi global akan membawa dampak luas secara global
dan berkesinambungan ke banyak negara di dunia.
Mengingat betapa seriusnya kerusakan yang ditimbulkan
oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997,
maka dari itu diperlukan suatu upaya antisipasi atau pencegahan
agar krisis ekonomi global kali ini dapat diredam dampak
kerusakan atau skala kerusakan dapat diperkecil dan tidak
meluas seperti krisis ekonomi sebelumnya.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara pasti telah
menyiapkan langkah-langkah yang bertujuan untuk
mengantisipasi krisis ekonomi global, hal tersebut yang coba
ingin dijawab dalam penelitian ini oleh penulis. Maka hal yang
akan dijadikan pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
21
Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia mengantisipasi
krisis ekonomi global (2007-2010)?
Untuk lebih mempermudah melakukan analisa dalam
penelitian ini, penulis mengembangkan pertanyaan penelitian
lainnya, yaitu: Bagaimana dampak krisis ekonomi global bagi
perekonomian Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berkaitan dengan judul penelitian ini, maka penelitian
ditujukan untuk menjawab dan mengetahui secara komprehensif
upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
mengantisipasi krisis ekonomi global. Selain itu juga untuk
menghasilkan suatu kajian berupa tulisan ilmiah sesuai dengan
ilmu yang ada pada ilmu Hubungan Internasional.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Bagi penulis, menambah pengetahuan teoritis dan
mempertegas wawasan berpikir. Kegiatan yang dilakukan
dengan baik dan menggunakan metode kepustakaan akan
menambah pengetahuan teoritis maupun memperkaya
wawasan dan pengalaman bagi penulis.
22
2. Bagi almamater, memberikan masukan kepada almamater
atau program studi yang berkaitan dengan perspektif
akademik.
3. Bagi ilmu pengetahuan, mengembangkan ilmu
pengetahuan bersangkutan, data yang dikumpulkan
diukur, dibandingkan dan dianalisis akan memberikan
pengembangan khasanah ilmu pengetahuan secara umum
dan khususnya bagi ilmu Hubungan Internasional.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jurnal dan buku yang memiliki kaitan erat dengan
penelitian ini untuk mendapatkan gambaran awal dan
pemahaman awal tentang masalah yang akan diangkat penulis
dalam penelitian ini, antara lain:
1. Nouriel Roubini and Stephen Mihm, “Crisis Economics: A
Crash Course In The Future Of Finance”, New York: The
Penguin Press, 2010. Buku ini menjelaskan bahwa krisis
finansial yang disebabkan oleh masalah subprime
mortgage di Amerika Serikat yang memicu terjadinya krisis
global pada tahun 2008 telah dapat dibaca sebelumnya,
dan penulisnya sendiri Nouriel Roubini telah
23
memeperingatkan akan adanya krisis yang akan menimpa
Amerika Serikat yang disebabkan oleh gelembung atau
bubble ekonomi. Akan tetapi pemerintah yang memiliki
otoritas tidak mengindahkan peringatan dini akan
terjadinya krisis tersebut. Bahkan dalam buku ini terdapat
pernyataan Wakil Presiden Dick Cheney dalam sebuah
wawancara, bahwa menurutnya tidak seorangpun yang
dapat memprediksi akan datangnya krisis finansial di
Amerika Serikat. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa
krisis itu merupakan sesuatu yang lazim bukan hanya di
negara-negara emerging tetapi di negara-negara industri
maju sekalipun. Hal ini menunjukan krisis ekonomi di
negara industri maju seperti di Amerika Serikat maupun
negara-negara Eropa Barat juga merupakan sesuatu yang
lazim, maka bagaimana krisis ekonomi bisa terjadi di
Amerika Serikat dan berdampak serta menyebar ke
negara-negara lainnya yang memiliki industri maju di
Eropa Barat merupakan sebuah kelaziman.
2. Paul Krugman, “The Return of Depression Economics and
The Crisis of 2008”, New York: W.W. Norton & Company
Inc, 2009. Didalam buku ini dibahas tentang kembalinya
krisis atau depresi ekonomi yang telah terjadi di berbagai
negara di dunia, dan terjadi di Amerika Serikat, berawal
24
dari maslah kredit macet yang kemudian mengakibatkan
terjadinya krisis global. Menurut buku ini, apa yang
diperlukan oleh dunia sekarang ini adalah operasi
penyelamatan, salah satu yang penting adalah mengatasi
kelemahan dan membuat kredit menjadi mungkin atau
dapat tersalurkan kembali, agar bisa merangsang
pertumbuhan ekonomi global. Untuk itu diperlukan
kebijakan yang tepat dalam mengatasi krisis ini. Yang
harus dilakukan oleh semua pengambil kebijakan di
seluruh dunia adalah membuat agar kredit mengalir
kembali, dan meningkatkan pembelanjaan untuk
menstimulus kegiatan perekonomian. Kemudian dibahas
juga mengenai kebijakan Alan Greenspan ketika Amerika
Serikat berusaha keluar dari krisis teknologi, yang
diakibatkan oleh pecahnya gelembung atau bubble
teknologi atau yang lebih dikenal sebagai bubble dot.com.
3. A Tony Prasetiantono, “Perbankan Indonesia di Tengah
Turbulensi Ekonomi Global”, Prisma, Vol. 28, No. 2, Oktober
2009. Di dalam Jurnal ini dibahas mengenai krisis global
yang disebabkan oleh pecahnya gelembung ekonomi atau
economic bubbles, sedangkan economic bubbles itu
sendiri terjadi karena jurang yang menganga atau
disparitas antara sektor finansial dengan sektor riil, dimana
25
sektor riil tidak lagi mampu menyangga sektor finansial
yang telah jauh berkembang dan menghasilkan berbagai
macam produk-produk derivatif yang kian beragam. Produk
derivatif tersebut memang memberikan keuntungan
berlipat secara cepat akan tetapi juga memiliki resiko
kerugian yang besar. Sebagaimana yang terdapat di dalam
teori-teori ekonomi, perolehan keuntungan yang besar
dengan sendirinya mengandung resiko kerugian yang juga
besar (high risk, high return). Kemudian, krisis ekonomi
global yang bermula dari krisis finansial di Amerika Serikat
terjadi akibat pecahnya gelembung ekonomi pada sektor
perumahan, atau yang dikenal sebagai subprime
mortgage. Kredit perumahan di Amerika Serikat yang
berkembang secara cepat atau mengalami ekspansi yang
terlalu besar, dimana apabila terjadi kegagalan atau failure
dampaknya akan sangat fatal. Karena magnitude-nya
terlalu besar maka apabila bangkrut akan sangat beresiko
karena cakupannya yang besar, atau istilahnya too big to
fail.
E. Kerangka Teori
E.1. Definisi Konseptual
26
Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, pengertian krisis
adalah kemelut atau keadaan yang genting,19 sedangkan krisis
ekonomi merupakan kemeresotan dalam kegiatan ekonomi yang
dapat menimbulkan depresi, sebagai akibat dari kepekaan
konjungtur ekonomi bebas. Jadi yang dimaksud dengan krisis
ekonomi global itu adalah kemerosotan dalam kegiatan ekonomi
yang dapat menimbulkan depresi dan dampaknya terjadi dalam
skala yang luas atau global.
Pengertian Pemerintah menurut kamus besar Bahasa
Indonesia adalah Badan yang tertinggi yang memerintah suatu
negara.20 Kemudian, menurut Kamus Ilmu Politik, pengertian
lainnya dari pemerintah adalah sekelompok orang yang berkuasa
untuk memerintah pada sebuah negara dalam rentang waktu
tertentu.21 Pemerintah fokus terhadap dua hal yaitu,
melaksanakan kepemimpinan serta koordinasi pemerintahan dan
pembangunan masyarakat menuju kesejahteraan.22 Jadi yang
dimaksud dengan Pemerintah itu adalah sebuah badan yang
terdiri dari sekelompok orang yang memerintah suatu negara
yang bertujuan untuk mengelola dan membangun masyarakat di
sebuah negara.
19 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal 527.20 Ibid, hal 740.21 Frank Bealey, The Blackwell dictionary of political science: a user's guide to its terms, (Massachusetts: Wiley-Blackwell, 1999). hal. 147.22 Ibid.
27
E.2. Operasionalisasi Konsep
Menurut pandangan seorang pakar ekonomi yang berasal
dari Inggris, John Maynard Keynes yang terdapat pada bukunya
The General Theory of Employment, Interest, and Money. Di
dalam sebuah perekonomian, campur tangan pemerintah untuk
mengatasi masalah perekonomian yang kita kenal sebagai ilmu
makro ekonomi adalah melalui kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter. Pandangan ini muncul setelah dunia mengalami
peristiwa Great Depression (1929-1933).
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang bertujuan untuk
mengatur jumlah uang yang beredar, fokus utamanya adalah
inflasi. Otoritas yang melaksanakan kebijakan moneter adalah
Bank Indonesia. Kebijakan moneter dibagi menjadi dua,
kebijakan moneter ekspansif yaitu menambah jumlah uang yang
beredar dengan menurunkan suku bunga. Hal ini akan memicu
kenaikan inflasi akan tetapi pertumbuhan ekonomi juga akan
meningkat karena bunga yang rendah akan mendorong
masyarakat untuk mengembangkan atau membuka usaha
sehingga akan menyediakan lapangan pekerjaan dan
penyerapan tenaga kerja, yang kemudian akan meningkatkan
daya beli masyarakat. Kemudian kebijakan moneter kontraktif
yaitu mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
28
dengan menaikkan suku bunga yang berpotensi menurunkan
angka inflasi, akan tetapi pertumbuhan akan ikut merosot karena
daya beli masyarakat akan berkurang. Sektor usaha dan industri
akan mengalami kelesuan, karena masyarakat enggan untuk
meminjam modal membuka usaha dikarenakan bunga yang
tinggi, maka penyerapan tenaga kerja akan berkurang dan
belanja rumah tangga juga akan menurun.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang mengatur anggaran
pemerintah atau belanja pemerintah dengan menggunakan
instrumen pajak dan subsidi. Kebijakan fiskal juga dibagi menjadi
dua, kebijakan fiskal surplus yaitu kebijakan yang ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dengan cara
menaikkan pajak dan mengurangi pengeluaran. Hal ini
berpotensi menurunkan angka inflasi namun daya beli
masyarakat juga akan menurun karena tingginya pajak, dan
kecilnya subsidi dari pemerintah. Kemudian kebijakan fiskal
defisit, yaitu kebijakan yang ditujukan untuk menstimulus
pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan pajak yang akan
merangsang pertumbuhan usaha atau industri, dan menambah
belanja pemerintah dengan subsidi, menambah proyek-proyek
infrastruktur yang dapat menyerap tenaga kerja sengga
pertumbuhan ekonomi akan meningkat begitu pula dengan
inflasi.
29
Menurut A Tony Prasentiantono, ada tiga kebijakan besar
untuk mempertahankan diri dari imbas krisis ekonomi global
meliputi kebijakan moneter, fiskal, dan penanganan aset-aset
bermasalah.23 Kebijakan moneter harus diarahkan menuju easy
money policy atau pelonggaran likuiditas yaitu dengan
menurunkan suku bunga sampai kepada batasan terendah yang
dimungkinkan. Hal ini dilakukan oleh bank-bank sentral di
seluruh dunia. Kemudian mendorong stimulus fiskal yaitu dengan
mendorong belanja pemerintah agar dapat memicu
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Hal ini seperti
yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dan negara-
negara lainnya di dunia. Dan yang terakhir meurut A Tony
Prasetiantono, penanganan aset-aset bermasalah melalui
kebijakan bailout untuk menyelamatkan aset-aset bermasalah
akibat pengelolaan industri perbankan dan perusahaan-
perusahaan di sektor riil yang tidak dikelola dengan baik
sehingga dapat memicu terjadinya krisis yang lebih dalam.
Pemerintah Amerika Serikat terpaksa membentuk sebuah badan
untuk mengurusi kebijakan bailout tersebut, yaitu Troubled Asset
Recovery Program (TARP). Lembaga ini sangat mirip dengan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang pernah
23 A Tony Prasetiantono, loc. cit.
30
dimiliki Indonesia untuk menyelamatkan sektor perbankan dalam
situasi krisis.
Untuk mengantisipasi krisis global upaya yang dilakukan
akan terkait dengan dua kebijakan makro ekonomi yaitu
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Dalam kaitannya dengan
krisis global, menurut Paul Krugman, upaya yang dilakukan oleh
Indonesia untuk mengantisipasi hal tersebut, dengan campur
tangan ekonomi makro untuk melawan resesi.24 Yaitu; (1)
menurunkan tingkat suku bunga yang berarti kebijakan moneter
bersifat ekspansif yaitu kebijakan yang diarahkan untuk
mencapai pelonggaran likuiditas atau easy money policy; dan (2)
menaikkan defisit anggaran yang berarti kebijakan fiskal defisit,
dengan cara menurunkan pajak dan menambah belanja
pemerintah atau yang biasa disebut stimulus fiskal yang
bertujuan untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan mendorong
perluasan kesempatan kerja.
F. Asumsi
24 Paul Krugman, op. cit, hal 105.
31
Bedasarkan latar belakang, permasalahan, dan kerangka
pemikiran yang penulis paparkan, maka penulis berasumsi
bahwa:
Krisis ekonomi global akan berdampak terus menerus
secara berkesinambungan dan akan terjadi dalam waktu
yang lama.
Krisis ekonomi global dapat mengakibatkan kemeresoton
ekonomi atau menghambat laju pertumbuhan ekonomi
suatu negara.
Negara merupakan aktor rasional dimana aktor rasional
melindungi kepentingan nasionalnya, salah satunya pada
sektor ekonomi.
Untuk melindungi kepentingan nasionalnya dari krisis
ekonomi global yang terjadi secara berkesinambungan dan
dalam waktu yang lama maka pemerintah Indonesia akan
melakukan upaya-upaya untuk mengantisipasi krisis
tersebut agar terhindar dari dampak yang dapat
diakibatkan, yaitu kemerosotan ekonomi.
32
G. Model Analisis
33
Fenomena yang Diteliti
Upaya Pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi krisis ekonomi global tahun 2007-2010
Fenomena yang Diteliti Sebagai Preseden
Ancaman adanya penurunan perekonomian Indonesia yang dapat terjadi akibat dampak dari krisis ekonomi
global
Definisi Konseptual
- Krisis ekonomi global adalah kemerosotan dalam kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan depresi dan
dampaknya terjadi dalam skala yang luas atau global- Pemerintah itu adalah sebuah badan yang terdiri dari
sekelompok orang yang memerintah suatu negara yang bertujuan untuk mengelola dan membangun
masyarakat di sebuah negara
Definisi Operasional
Upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam mengantispasi krisis ekonomi global adalah:- Kebijakan moneter diarahkan kepada pelonggaran
likuiditas atau easy money policy dengan menurunkan tingkat suku bunga sampai batas terendah yang
dimungkinkan untuk membanjiri pasar dengan modal untuk mendukung sektor riil
- Kebijakan fiskal dengan mendorong belanja Pemerintah agar dapat memicu pertumbuhan ekonomi dan
membuka kesempatan kerja, hal ini juga biasa disebut sebagai stimulus fiskal
H. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif, yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan
permasalahan secara komprehesif atau menyeluruh mengenai
upaya Pemerintah Indonesia mengantisipasi krisis global (2007-
2010).
Dalam penelitian ini, bentuk pengumpulan datanya adalah
melalui pengumpulan data dari sumber primer yaitu dokumen
pemerintah, kemudian pengumpulan data dari sumber sekunder
seperti buku, jurnal, artikel surat kabar, dan internet yang
memiliki relevansi dengan penelitian ini. Hasil data kemudian
diakumulasikan dan dikomparasi sehingga dapat diperoleh suatu
data yang akurat.
Sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah
kualitatif. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan
adalah dalam bentuk teknik dokumentasi karena berasal dari
dokumen pemerintah, wawancara, buku-buku perpustakaan,
jurnal, artikel koran, dan internet.
34
I. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, bab ini berisikan tentang gambaran
awal mengenai masalah yang diangkat dalam skripsi ini oleh
penulis, yang terdapat pada latar belakang permasalahan.
Kemudian bab ini juga berisi perumusan masalah, tujuan
penelitian , tinjauan pustaka, kerangka teori, asumsi, model
analisis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini penulis akan membahas mengenai
perkembangan ekonomi global sampai dengan terjadinya krisis
ekonomi yang berawal dari krisis subprime mortgage yang
mengguncang perekonomian global. Penulis juga akan berusaha
menguraikan sebab dan akibat terjadinya krisis ekonomi Amerika
Serikat yang membawa implikasi luas pada perekonomian global.
Bab III, dalam bab penulis akan membahas mengenai
dampak krisis perekonomian global terhadap perekonomian
Indonesia, kemudian upaya pemerintah mengantisipasi krisis
global tersebut, yang diterapkan melalui kebijakan yang bersifat
makro ekonomi, yaitu kebijakan fiskal dan moneter, penulis akan
menganalisa kebijakan seperti apa yang diambil oleh pemerintah
Indonesia terkait dengan upaya tersebut.
35
Bab IV Penutup, bab ini berisi kesimpulan atau saran
mengenai permasalahan yang penulis teliti dalam skripsi ini.
BAB II
KRISIS EKONOMI GLOBAL
A.Krisis Finansial Amerika Serikat
Krisis ekonomi global yang telah terjadi dan melanda
berbagai negara di seluruh penjuru dunia, oleh banyak kalangan
sering kali dikaitkan dengan krisis finansial yang terjadi di
Amerika Serikat. Krisis finansial yang juga dikenal sebagai krisis
subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat ini
merupakan awal mula atau salah satu penyebab utama
terjadinya krisis ekonomi global. Amerika Serikat yang memiliki
perekonomian dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di dunia
kemudian memiliki hubungan kerjasama ekonomi dengan hampir
seluruh negara di dunia, sehingga apa yang terjadi di Amerika
Serikat akan berdampak pada banyak negara di dunia.
Globalisasi yang terjadi pada tatanan kehidupan
masyarakat dunia saat ini juga mendukung terjadi keadaan yang
menyebabkan krisis finansial di Amerika Serikat berdampak luas
terhadap perekonomian di banyak negara di seluruh dunia.
Seperti yang diungkapkan oleh Ankie Hoogvelt: “Globalization
36
can thus defined as the intensification of worldwide social
relations which link distant localties in such a way that local
happenings are shaped by events occuring many miles away and
vice versa.25 (Globalisasi dapat diartikan sebagai intensifikasi
hubungan sosial dari seluruh penjuru dunia yang
menghubungkan tempat-tempat yang berjauhan sehingga
kejadian-kejadian yang terjadi di suatu tempat yang jauh dapat
saling mempengaruhi satu sama lain).
Perekonomian Amerika Serikat yang merupakan
perekonomian terbesar di seluruh dunia, telah beberapa kali
mengalami krisis, sebut saja peristiwa great depression pada
tahun 1930an yang mengakibatkan perekonomian Amerika
Serikat porak-poranda, kemudian krisis teluk pada tahun 1990,
dotcom bubble pada tahun 2000, dan yang terakhir krisis
subprime mortgage yang terjadi pada tahun 2007. Apa yang
sebenarnya terjadi sehingga perekonomian Amerika Serikat
dapat mengalami krisis?
Fenomena yang berkembang pesat semenjak tahun 1990an
di Amerika Serikat, yaitu fenomena dimana bank investasi
(investment bank) di Amerika Serikat tumbuh dengan demikian
cepat, sangat angresif, sehingga jauh melampaui kemampuan
25 Ankie Hoogvelt, “Globalization and a Postcolonial World”, (Maryland: The John Hopkins University Press, 1997), hal 120.
37
sektor riil untuk menyangganya.26 Keadaan ini mengakibatkan
disparitas atau jurang yang menganga antara sektor finansial
dengan sektor riil, yang kemudian menciptakan perekonomian
gelembung sabun atau yang sering digambarkan sebagai
economic bubbles oleh para ahli ekonomi.
Krisis finansial subprime mortgages yang terjadi di Amerika
Serikat disebabkan oleh pecahnya gelembung perumahan atau
housing bubbles, bagaimana gelembung perumahan tersebut
dapat terbentuk dan pecah sehingga menimbulkan krisis
finansial di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh disparitas
atau perbedaan yang signifikan antara sektor finansial dengan
sektor riil. Sebagian besar krisis dimulai dengan bubble atau
gelembung, dimana harga dari suatu aset, nilainya naik atau
meningkat jauh diatas yang seharusnya27
Perkembangan sektor finansial yang terjadi di Amerika
Serikat ditandai dengan fenomena perkembangan Bank Investasi
secara pesat. Bank Investasi adalah bank yang tidak beroperasi
secara konvensional sebagaimana bank-bank komersial atau
bank umum.28 Bank Investasi membiakkan dana nasabahnya
yang merupakan individu kaya raya maupun institusi ke barbagai
26 A Tony Prasentiantono, “Perbankan Indonesia di Tengah Turbulensi Ekonomi Global”, Jurnal Prisma, Vol. 28/2, Oktober 2009.27 Nouriel Roubini and Stephen Mihm, op. cit. hal. 17.28 A Tony Prasentiantono, loc. cit.
38
portofolio yang umumnya memberi hasil atau yield yang tinggi,
misalnya diinvestasikan ke berbagai bentuk surat berharga
seperti saham, obligasi, reksadana, dan bahkan derivatif.29
Produk-produk di sektor finansial ini kian lama kian beragam
dan terus tercipta sehingga jenis derivatif yang ada memiliki
varian yang sangat banyak. Portfolio tersebut memang
memberikan keuntungan yang besar dan berlipat secara cepat,
akan tetapi memiliki resiko kerugian yang juga besar,
sebagaimana diingatkan oleh teori-teori ekonomi.
Dikarenakan kemampuan bank-bank investasi dalam
menciptakan peluang keuntungan yang lebih besar dibandingkan
bank-bank komersial atau bank umum, sehingga di Amerika
Serikat peran perbankan investasi lebih besar daripada peran
perbankan komersial. Bank Investasi yang memiliki nama besar
di Amerika Serikat antara lain, Lehman Brothers, JP Morgan,
Morgan Stanley, Goldman Sachs, Bear Sterns, dan sebagainya.
Perbedaan bank investasi dengan bank komersial adalah, bank
investasi hanya bermain di sektor finansial dengan mencipatakan
berbagai produk finansial yang kemudian menciptakan produk
derivatif yang semakin lama semakin besar dan menciptakan
sebuah gelembung perekonomian. Sedangkan bank komersial
lebih bersifat konvensional atau tradisional, dimana bank jenis ini
29 Ibid.
39
lebih banyak terfokus pada usaha untuk mendorong sektor riil,
sebagai contoh, menyalurkan kredit terhadap dunia usaha.
Peran perbankan investasi yang terfokus pada produk
finansial saja dibandingkan dengan perbankan komersial yang
terfokus pada sektor riil di Amerika Serikat inilah yang
menyebabkan disparitas antara kedua sektor tersebut dan
membentuk sebuah gelembung perekonomian atau economic
bubbles yang sewaktu-waktu dapat pecah dan menyebabkan
krisis finansial atau krisis ekonomi. Dari penjelasan singkat
tersebut dapat dipahami secara sederhana bagaimana krisis
finansial atau ekonomi seperti krisis dot.com (2000) dan krisis
subprime mortgage (2007) dapat terjadi di Amerika Serikat
dikarenakan pecahnya gelembung ekonomi.
Sejak maraknya bank investasi dan instrumen derivatif di
Amerika Serikat pada tahun 1990an, terdapat beberapa peristiwa
yang nyaris memecahkan gelembung perekonomian, khususnya
gelembung pada sektor finansial atau financial bubble. Misalnya,
kebangkrutan hedge fund AS Long Term Capital Management
(LTCM) di Rusia pada tahun 1998, padahal perusahaan keuangan
ini dikepalai oleh dua orang yang baru saja memenangkan
hadiah Nobel, yakni Robert Merton dan Myron Scholes yang
40
menemukan formula derivatif yang dianggap canggih pada
1997.30 Pada saat itu masyarakat sempat berpikir bagaimana
mungkin pemenang Nobel di bidang ekonomi finansial dapat
gagal dalam mengelola sebuah perusahaan keuangan. Suntikan
dana segar beberapa miliar dolar AS dari Federal Reserve kepada
LTCM dapat meredam kasus tersebut dan tidak menimbulkan
efek domino, sehingga kepercayaan terhadap sektor finansial
pun kembali terbentuk secara perlahan.
Kemudian, terjadi krisis dot.com pada tahun 2000 yang
kemudian mendorong Allan Greenspan sebagai Gubernur Federal
Reserve untuk menurunkan tingkat suku bunga sampai sekitar
2% untuk melonggarkan likuiditas sehingga dapat
menggairahkan kembali sektor riil atau dunia usaha, untuk
mencegah terjadinya krisis ekonomi yang lebih luas, dan hal ini
terbukti berhasil mengangkat perekonomian Amerika Serikat
saat itu.
Kebijakan Alan Greenspan sebagai Gubernur Federal
Reserve untuk menetapkan tingkat suku bunga yang rendah
yang bertujuan untuk mendorong kemajuan perekonomian
Amerika Serikat, ternyata juga memiliki efek yang kurang baik,
yaitu ekspansi besar-besaran dalam investasi finansial yang
30 Larry Elliot dan Dan Atkinson, The Gods that Failed: How Blind Faith in Markets Has Cost Us Our Future (New York: Nation Books, 2009), hal. 3.
41
disebabkan oleh tingkat suku bunga yang rendah semakin lama
menjadi semakin liar dan tidak terkendali karena tidak disertai
dengan perangkat peraturan yang ketat atau dengan kata lain
pengaturan industri keuangan di Amerika Serikat longgar
sehingga menyebabkan banyak celah bagi pihak-pihak yang
ingin mengambil keuntungan dengan manipulasi finansial dapat
bermain. Investasi finansial yang diawasi dengan baik dan tidak
terkendali menciptakan bubble dan kemudian pecah sehingga
mengakibatkan krisis finansial.
Pada tahun 2007 gelembung ekonomi atau economic
bubbles pada sektor perumahan di Amerika Serikat pecah dan
menyebabkan krisis finansial yang dikenal sebagai krisis
subprime mortgage. Seperti yang pernah diungkapkan oleh
pakar ekonomi sebelumnya, Joseph E. Stiglitz bahwa terdapat
indikasi tidak sehat mengenai perekonomian di Amerika Serikat.
Ia mengungkapkan bahwa suku bunga yang terlalu rendah,
terlalu bergantungnya perekonomian Amerika pada sektor
properti, dan longgarnya pengaturan industri keuangan di
Amerika Serikat akan membawa masalah di kemudian hari dan
ini terbukti dengan pecahnya gelembung perumahan yang
memicu terjadinya krisis finansial di AS.
42
Penetapan tingkat suku bunga yang rendah di Amerika
Serikat menarik minat masyarakat dan investor untuk terus
berinvestasi di berbagai bidang. Perekonomian tumbuh dengan
besaran yang signifikan, berbagai cara dan upaya dilakukan
untuk terus menambah laba dan memperbesar keuntungan
dalam berinvestasi, yang kemudian pada akhirnya menciptakan
produk-produk derivatif. Kemudian sektor perumahan tumbuh
dan terus berkembang menjanjikan keuntungan yang dari waktu
ke waktu semakin besar. Karena margin keuntungan investasi
pada sektor perumahan terus meningkat, hal ini menarik minat
masyarakat dan para investor untuk berinvestasi pada sektor
tersebut sehingga investasi sektor perumahan di Amerika Serikat
terus meningkat dan berekspansi secara besar-besaran.
Kredit perumahan di Amerika Serikat mengalami ekspansi
yang terlalu besar. Jumlah kredit mortgage sudah mencapai 10,6
triliun dolar Amerika.31 Ini jumlah yang terbilang sangat besar
atau terlampau fantastis karena hampir mendekati Produk
Domestik Bruto Amerika Serikat yang sekitar 14,3 triliun dolar
Amerika.32 Ekspansi pada sektor perumahan yang terjadi secara
besar-besaran akan berdampak sangat fatal apabila terjadi
kegagalan atau failure. Dalam istilahnya to big to fail yaitu
31 A Tony Prasentiantono, op cit, hal. 64.32 Ibid.
43
terlalu beresiko jika sampai gagal atau bangkrut, karena
besarannya tersebut.
Kredit perumahan di Amerika Serikat sendiri telah
disekuritisasi. Artinya, hak tagihnya bisa diperjualbelikan di pasar
sekunder menjadi surat berharga atau sekuritas. Surat berharga
itu secara cepat berpindah tangan dari satu pihak ke pihak yang
lainnya dengan nilai yang semakin membumbung tinggi seiring
dengan kenaikan harga properti di Amerika Serikat. Dari jumlah
kredit perumahan di Amerika Serikat sebesar 10,6 triliun dolar
Amerika sebagian masuk dalam kategori subprime. Kredit
kategori subprime ini jumlahnya mencapai 1,5 triliun.33 Dan
kredit dengan kategori ini yang rawan atau vulnerable jika terjadi
guncangan.
Kredit perumahan atau mortgage di Amerika Serikat dibagi
menjadi dua yaitu prime mortgage dan subprime mortgage.
Prime mortgage diberikan kepada peminjam yang memiliki
sejarah kredit yang bagus, yaitu peminjam yang tidak pernah
telat membayar kredit, tagihan-tagihan dan tidak pernah
bangkrut dan dapat menunjukkan kapasitas untuk membayar
kembali hutangnya yang diindikasikan dengan pendapatan yang
besar, rasio dari loan terhadap nilai properti rendah. Sedangkan,
subprime mortgage kredit yang diberikan kepada orang-orang
33 Ibid.
44
yang secara finansial tidak memadai untuk mendapatkan kredit
yaitu orang-orang dengan kemampuan finansial rendah, yang
dikenal sebagai peminjam NINJA yaitu peminjam dengan No
Income, No Job and no Assets.34
Walaupun kelonggaran syarat diberikan kepada golongan
subprime dalam pemberian kredit dalam hal ini kredit
perumahan, akan tetapi bunga yang ditetapkan cukup besar
sehingga menambah resiko terjadinya kegagalan. Pada tahun
2005 harga minyak dunia yang meroket dari 30 dolar Amerika
per barel menjadi 70 dolar Amerika per barel, yang
menyebabkan terjadinya inflasi di seluruh dunia tak terkecuali di
Amerika yang angka inflasinya naik dari sekitar 2 persen
pertahun, kemudian naik menjadi sekitar 5,2 persen pertahun.
Akibatnya bank sentral Amerika harus menahan laju inflasi
dengan menaikkan tingkat suku bunga. Perlahan namun pasti
The Feds funds rate terus naik hingga mencapai angka 5,25
persen, dimana sebelumnya tingkat suku bunga berada dibawah
2 persen. Kenaikan ini dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat
suku bunga tiga kali lipat daripada sebelumnya.
Dampaknya, para nasabah subprime mortgage menjadi
kesulitan dalam membayar kredit atau utang mereka, yang
menyebabkan gagal bayar atau kredit macet. Pihak bank
34 Nouriel Roubini and Stephen Mihm, loc. cit.
45
kemudian menyita aset-aset perumahan dari para nasabah yang
tidak mampu membayar untuk kemudian dilelang. Kemudian
muncul permasalahan, ketika jumlah nasabah yang tidak mampu
membayar sangat besar maka pasokan akan perumahan yang
dieksekusi menjadi sangat berlebihan atau terlampau banyak.
Apa yang terjadi adalah kelebihan pasokan atau oversupply
yang mengakibatkan harga properti di Amerika Serikat rontok
dalam sekejap.
Kemudian, harga surat berharga atau sekuritas juga ikut
anjlok seiring dengan penurunan harga agunan berupa barang-
barang properti atau perumahan itu tadi. Sementara, bank-bank
investasi seperti Lehman Brothers, Goldman Sachs, Morgan
Stanley dan lain sebagainya, banyak memegang atau
menyimpan aset dalam bentuk surat berharga berbasis kredit
perumahan, maka nilai asetnya pun ikut menguap atau amblas
seiring dengan penurunan harga sekuritas atau surat berharga
tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kemudian lembaga
keuangan atau bank investasi besar di Amerika Serikat seperti
Lehman Brothers dan yang lainnya mengalami kebangkrutan.35
Kebangkrutan lembaga keuangan atau bank investasi besar
di Amerika Serikat seperti Bear Stern, JP Morgan, Lehman
35 “Kronologi Krisis Finansial AS”, detikfinance, 22 September 2008, <http://www.detikfinance.com/read/2008/09/22/073317/1010033/5/kronologi-krisis-finansial-as>, diakses tanggal 23 februari 2011, 07:00 pm.
46
Brothers dan yang lainnya, menimbulkan kepanikan di dalam
masyarakat dan pasar yang kemudian menyebabkan kejatuhan
pasar finansial. Skema penyelamatan lembaga keuangan atau
bank-bank investasi yang diajukan pemerintah kepada kongres
yang pada awalnya ditolak walau pada akhirnya kemudian
diterima pada tanggal 3 Oktober 2008, yaitu melalui bailout
sebesar 700 miliar dolar Amerika Serikat.36
Selain itu, Pemerintah Amerika Serikat juga melakukan
tindakan antisipasi dengan mengambil alih beberapa perusahan
dan lembaga keuangan yang merugi di pasar modal Amerika.
Pada tanggal 7 September 2008, Departemen Keuangan Amerika
Serikat mengambil alih raksasa pembiayaan perumahan Freddie
Mac dan Fannie Mae, sekaligus menjamin utang setiap institusi
itu masing-masing hingga 100 miliar dolar Amerika.37 Kemudian,
Pemerintah Amerika Serikat menyelamatkan AIG dengan
menyuntikkan 85 miliar dolar Amerika, dengan imbalan 79,9%
saham perusahaan asuransi tersebut.38 Berbagai upaya
penyelamatan telah dilakukan oleh pemeintah Amerika Serikat
36 “Rencana Penyelamatan Finansial AS Telan US$ 700 M”, detikfinance, 4 Oktober 2008, <http://www.detikfinance.com/read/2008/10/04/101416/1009774/5/rencana-penyelamatan-finansial-as-telan-us--700-m>, diakses tanggal 23 februari 2011, 07:30 pm.37 Burton Bullag, “Government Rescues Two Biggest Mortgage Companies”, America.gov, 11 September 2008, <http://www.america.gov/st/business-english/2008/September/20080911160721berehellek0.5592157.html>, diakses tanggal 23 februari 2011, 08:00 pm.38 Ibid.
47
untuk mencegah krisis finansial yang terjadi disana agar tidak
berdampak semakin luas dan melebar, dari menyelamatkan
perusahaan-perusahaan keuangan raksasa seperti Freddie Mac
dan Fannie Mae sampai kepada skema bailout yang menelan
biaya yang sangat besar hingga 700 miliar dolar Amerika Serikat.
Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat
menyebar ke banyak negara lain di dunia bagai efek domino,
krisis ini kemudian menyebabkan krisis-krisis lainnya muncul di
negara-negara lain di dunia. Seperti pepatah lama dalam dunia
finansial bahwa jika Amerika Serikat mengalami bersin, maka
negara lain di dunia akan mengalami flu.
B.Krisis Ekonomi Global Akibat Krisis Finansial AS
Ketika kondisi perekonomian sebuah negara adidaya
berubah dan mengalami goncangan, maka dapat dipastikan akan
membawa konsekuensi yang luas pada perekonomian dunia.
Dalam hal ini, krisis keuangan Amerika Serikat telah
mempengaruhi tatanan sistem keuangan berbagai negara di
dunia.
Krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat
menyebabkan depresi ekonomi yang mendunia. Depresi ini
menghentikan pertumbuhan kesejahteraan dan lapangan
pekerjaan di berbagai negara yang terimbas krisis. Bangkrutnya
48
Northern Rock, sebuah bank kecil di Inggris, Bear Sterns di
Amerika Serikat dan lembaga-lembaga keuangan lainnya,
menyebabkan kian muramnya perekonomian dunia.
Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat disebabkan oleh
beberapa faktor. Hal ini bermula ketika pada tahun 2000 terjadi
krisis finansial, yaitu pecahnya gelembung ekonomi yang
diakibatkan oleh investasi pada bidang teknologi dan informasi di
Amerika Serikat yang dikenal sebagai krisis dot.com atau dotcom
bubble. Kemudian Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed
mengambil kebijakan untuk menurunkan tingkat suku bunga
untuk menggairahkan perekonomian. Kebijakan ini mendorong
terjadinya ekspansi besar-besaran dalam investasi ekonomi
terutama pada sektor perumahan.
Investasi pada sektor perumahan yang tidak diiringi oleh
regulasi ketat oleh regulator mengakibatkan investasi menjadi
liar dan tidak terkendali. Hal ini menimbulkan banyak ruang bagi
manipulasi finansial oleh pihak-pihak yang ingin mendapatkan
keuntungan. Sebagai contoh bagaimana golongan masyarakat
49
dengan penghasilan yang kurang memadai atau tidak layak,
dapat mengajukan kredit terhadap kepemilikan perumahan yang
merupakan salah satu penyebab terjadi kredit macet pada
bidang perumahan di Amerika Serikat.
Kemudian terjadinya inflasi pada tahun 2005 memaksa The
Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga mencapai 5,25%
dimana sebelumnya berada di kisaran 2%. Hal ini menyebabkan
para nasabah yang memiliki kredit kesulitan dalam membayar.
Akibatnya terjadi kredit macet pada investasi sektor perumahan
di Amerika Serikat.
Kredit macet pada sektor perumahan yang terjadi di Amerika
Serikat memicu pecahnya gelembung perekonomian pada tahun
2007. Sejak pertengahan tahun 2008 berbagai lembaga
keuangan besar di Amerika berjatuhan dan mengalami
kebangkrutan.
50