kasus revisi 4.docx

53
Presentasi Kasus Indonesia Kepada Yth, Oleh : Fredyton Rizminardo Bapak/Ibu ……… Pendahulauan Anemia adalah suatu kondisi jumlah sel darah merah (dan sebagai konsekuensinya kapasitas pengangkutan oksigen) tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. 1 Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar dari tubuh (perdarahan) dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya. 2 Hemolisis adalah penghancuran atau pengeluaran sel darah merah dari sirkulasi sebelum masa hidup normalnya 120 hari. Hemolisis dapat berlangsung sepanjang hidup sebagai kondisi yang asimptomatis, juga dapat memunculkan anemia ketika proses eritropoesis tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ditimbulkan oleh proses destruksi sel eritrosit. Hemolisis juga dapat bermanifestasi sebagai jaundice atau hanya muncul sebagai retikulositosis. 3 Etiologi hemolisis dikategorikan sebagai didapat (acquired) atau diturunkan (herediter). Penyebab umum anemia hemolitik didapat adalah autoimun, mikroangiopati dan infeksi. Sedangkan penyebab hemolitik heriditer adalah gangguan pada enzim sel darah merah, ganguan pada membran sel darah merah dan 1

Upload: drfredytonrizminardo

Post on 18-Jan-2016

85 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: kasus revisi 4.docx

Presentasi Kasus Indonesia Kepada Yth,

Oleh : Fredyton Rizminardo Bapak/Ibu ………

Pendahulauan

Anemia adalah suatu kondisi jumlah sel darah merah (dan sebagai

konsekuensinya kapasitas pengangkutan oksigen) tidak mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh.1 Pada dasarnya anemia disebabkan oleh

gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar

dari tubuh (perdarahan) dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum

waktunya.2 Hemolisis adalah penghancuran atau pengeluaran sel darah merah dari

sirkulasi sebelum masa hidup normalnya 120 hari. Hemolisis dapat berlangsung

sepanjang hidup sebagai kondisi yang asimptomatis, juga dapat memunculkan

anemia ketika proses eritropoesis tidak dapat memenuhi kebutuhan yang

ditimbulkan oleh proses destruksi sel eritrosit. Hemolisis juga dapat

bermanifestasi sebagai jaundice atau hanya muncul sebagai retikulositosis.3

Etiologi hemolisis dikategorikan sebagai didapat (acquired) atau

diturunkan (herediter). Penyebab umum anemia hemolitik didapat adalah

autoimun, mikroangiopati dan infeksi. Sedangkan penyebab hemolitik heriditer

adalah gangguan pada enzim sel darah merah, ganguan pada membran sel darah

merah dan gangguan pada hemoglobin.3 Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase

(G6PD) merupakan enzim pertama jalur pentosafosfat pada proses glikolisis, yang

mengubah Glucose-6-Phosphate menjadi 6-Phospho-Gluconate dan mereduksi

Nicotinamiden Adenine Dinucleotide Phospate (NADP) menjadi bentuk

tereduksinya Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH).3-5

Defisiensi glucose 6 phosphate dehydrogenase menyebabkan hemolisis pada

kondisi stres oksidatif.3

Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia,

disebabkan mutasi pada gen G6PD yang terkait kromosom sex (x-linked),

sehingga pada umumnya ditemukan pada laki – laki.6-8 Defisiensi G6PD

diperkirakan mempengaruhi lebih dari 400 – 500 juta lebih orang di seluruh

dunia. Paling banyak dilaporkan dari Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Asia

1

Page 2: kasus revisi 4.docx

Tenggara.4,5,9,10 Sekitar 7,5% penduduk dunia membawa satu atau dua gen

defisiensi G6PD, proporsinya mulai dari 35% di beberapa bagian Afrika hingga

0,1% di Jepang dan sebagian Eropa. Prevalensi di Indonesia diperkirakan sekitar

1%-14%. Soemantri dan kawan-kawan, mendapatkan prevalensi defisiensi G6PD

di Jawa Tengah sekitar 15%, sedangkan menurut Suhartati dan kawan-kawan, di

pulau-pulau kecil Indonesia Timur didapatkan prevalensi defisiensi G6PD

sebesar 1,6-6,7%.11 Di rumah sakit Dr.M.Djamil Padang, data yang diperoleh dari

bagian rekam medik dari 1 januari 2013 hingga 31 desember 2013 didapatkan

adanya 35 orang pasien yang didiagnosis sekunder sebagai anemia hemolitik ec

defisiensi enzim G6PD.

Seseorang dengan defisiensi enzim G6PD tidak menunjukkan gejala dan

kelainan secara hematologi. Pecahnya eritrosit terjadi bila penderita terpapar

bahan eksogen yang potensial menimbulkan kerusakan oksidatif, yaitu obat-

obatan, bahan kimia, infeksi dan kacang fava.5,9,12,13 Manifestasi klinis yang paling

sering pada defisiensi G6PD adalah penyakit kuning neonatal dan anemia

hemolitik akut yang biasanya dipicu oleh agen eksogen. Beberapa varian G6PD

dapat menyebabkan hemolisis kronis. Manajemen yang paling efektif pada

defisiensi G6PD adalah mencegah hemolisis dengan menghindari stres

oksidatif.9,10

Tujuan penulisan kasus ini adalah untuk mengingatkan kembali gambaran

klinis yang muncul pada anak dengan defisiesi enzim G6PD, penegakan

diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan variasi klinis G6PD

beserta tatalaksananya.

2

Page 3: kasus revisi 4.docx

Illustrrasi Kasus

Seorang anak laki-laki, usia 2 tahun 10 bulan, dirawat dibangsal ilmu kesehatan

anak RSUP Dr.M.Djamil selama 7 hari (29 September 2013- 5 Oktober 2013).

Aloanamnesis diperoleh dari ibu dan ayah kandung pasien.

Keluhan Utama : Tampak pucat sejak 1 hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang :

Demam sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, tidak menggigil, tidak

berkeringat, tidak disertai kejang. Orang tua baru menyadari anak tampak pucat

sejak 1 hari yang lalu. Mata terlihat kuning sejak 1 hari yang lalu. Nafsu makan

berkurang sejak sakit, biasanya anak makan 2- 3 kali perhari dengan nasi 1/3 – ½

porsi dewasa perkali, lauk pauk daging 1 kali per minggu dan ikan 2-3 kali

perminggu, ayam 2-3 kali perminggu, telur 6-8 kali perminggu, sayur 6 kali

perminggu dan buah 4 kali perminggu. Sejak sakit anak hanya makan 1-2 kali

perhari. Batuk tidak ada. Pilek tidak ada.Sesak nafas tidak ada. Mual dan muntah

tidak ada. Keluar cairan dari telinga tidak ada. Riwayat perdarahan dari kulit, gusi

dan saluran cerna tidak ada. Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria tidak

ada. Riwayat mendapat transfusi darah tidak ada. Buang air besar warna dan

konsistensi biasa. Buang air kecil warna dan jumlah biasa. Keluhan nyeri saat

buang air kecil tidak ada. Anak dibawa berobat ke puskesmas 3 hari yang lalu

karena batuk dan demam , diberikan obat batuk puyer (nama dan jenis obat tidak

diketahui keluarga) dan antibiotik amoksisilin sirup. Kemudian atas anjuran

tetangga pasien, orang tua mengganti antibiotik dengan antibiotik kotrimoksazol

sirup pada anak. Karena anak masih demam dan tampak pucat, orang tua lalu

membawa anak berobat ke RST Reksodiwiryo dan dilakukan pemeriksaan darah

dengan hasil Hb 6,4 gr/dL, leukosit 19.500/mm3, trombosit 548.000/mm3,

hematokrit 21%. Kemudian atas permintaan keluarga, anak dirujuk ke RSUP

Dr.M.Djamil dengan katerangan febris + anemia ec ?

3

Page 4: kasus revisi 4.docx

Riwayat Penyakit dahulu

Tidak pernah mengalami pucat dan kuning sebelumnya

Riwayat Penyakit keluarga

Adik kandung nenek pasien dari pihak ibu pernah menderita kulit pucat dan

kekuningan saat berusia balita. Keluhan muncul saat demam dan menghilang

sendiri. Saat itu dibawa berobat ke dukun. Meninggal dunia saat usai 5 tahun

karena tenggelam.

Saudara laki-laki ibu mengalami pucat setelah demam saat berusia balita,

dibawa berobat ke dukun. Hingga saat ini tidak pernah mengalami keluhan yang

sama.

Pedigree

Keterangan = Riwayat tampak pucat dan kuning

4

Page 5: kasus revisi 4.docx

Riwayat Persalinan

Pasien merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara, lahir spontan, cukup

bulan, ditolong bidan, berat badan lahir 4400 gr, panjang badan lahir 51 cm,

langsung menangis kuat.

Riwayat Imunisasi

Pasien mendapat imunisasi dasar BCG diberikan usia 2 bulan, parut BCG ada,

DPT diberikan 3 kali pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan, polio 3 kali pada

usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, hepatitis B diberikan 3 kali usia 2 bulan, 4 bulan, 6

bulan, campak umur 9 bulan. Kesan imunisasi dasar lengkap, booster belum

pernah diberikan.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan:

Gigi pertama anak tumbuh umur 7 bulan , anak sudah bisa tengkurap umur 4

bulan , duduk umur 6 bulan, berdiri umur 10 bulan , berjalan umur 13 bulan,

berbicara umur 14 bulan. Kesan pertumbuhan dan perkembangan dalam batas

normal.

Riwayat sosio-ekonomi keluarga

Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama ibu, ayah

dan seorang saudara perempuan. Ibu berusia 29 tahun, pendidikan sekolah

menengah atas, ibu pasien bekerja membuka warung makan disamping rumah

pasien dengan penghasilan perbulan ± Rp 600.000,00 dan ayah berusia 39 tahun,

pendidikan sekolah menengah pertama, bekerja sebagai buruh swasta (penjaga

gudang) dengan penghasilan perbulan ± Rp 1.300.000,00. Rumah semipermanen,

5

Page 6: kasus revisi 4.docx

sumber air minum dari air sumur gali, buang air besar di wc diluar rumah, sampah

dibakar, pekarangan luas. Kesan higiene dan sanitasi lingkungan cukup.

Riwayat Nutrisi

Anak mendapat ASI dari lahir sampai saat umur 2 tahun. Bubur susu mulai usia 6

bulan sampai usia 8 bulan, nasi tim mulai usia 8 bulan sampai 12 bulan dan nasi

biasa mulai usia 1 tahun sebanyak 2-3x perhari dengan nasi 1/3 – ½ pors dewasa,

lauk pauk daging 1x per minggu dan ikan 2-3 x per minggu, ayam 2-3 x

perminggu, telur 6-8 x/minggu, sayur 5x/minggu dan buah 4x/ minggu. Kesan :

kualitas dan kuantitias cukup

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum tampak sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 110 kali permenit,

tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi nafas 24 kali permenit, suhu 37,1 oC,

sianosis tidak ada, edema tidak ada, anemis ada, ikterik ada. Status gizi: berat

badan 13 kg, tinggi badan 87 cm. Berdasarkan kurva CDC, berat badan

berdasarkan umur 92,85%, tinggi badan berdasarkan umur 92,5 %, berat badan

berdasarkan tinggi badan 102,3%, kesan gizi baik. Kulit teraba hangat, dan

tampak pucat. Tidak teraba pembesaran kelenjer getah bening. Mata: konjungtiva

anemis, sklera ikterik, pupil isokor 2 mm, reflek cahaya +/+ normal. Tenggorokan

tampak tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, mukosa mulut dan

bibir basah. Tekanan vena jugularis 5-2 cmH2O. Thorak: normochest, simetris,

suara nafas vesikuler, ronkhi dan wheezing tidak ada. Iktus cordis tidak terlihat,

ictus cordis teraba 1 jari medial linea midklavikularis kiri ruang interkostal V.

Batas jantung atas ruang intercostal II, kanan linea sternalis dextra, dan kiri 1 jari

medial linea midklavikularis kiri ruang interkostal V, irama teratur, bising tidak

ada. Abdomen tidak distensi,supel, hepar dan lien tidak teraba, perkusi timpani,

bising usus (+) normal. Genitalia tidak ditemukan kelainan. Status pubertas

A1P1G1. Akral hangat refilling kapiler baik, reflek fisiologis positif normal, dan

reflek patologis negatif.

6

Page 7: kasus revisi 4.docx

Pemeriksaan laboratorium

Hemoglobin 6,5 g/dl, leukosit 18.500/mm3, hitung jenis 0/0/3/57/37/1 mielosit 1,

metamielosit 1, hematokrit 19,1 %, eritrosit 2,3 juta/mm3,

Trombosit:503.000/mm3, MCH: 27,3 pg, MCV: 80,2 fl, MCHC: 34%, retikulosit

3,9%. Kesan: anemia normositik normokrom. Gambaran darah tepi: eritrosit:

normokrom anisositosis, polikromasi (+), leukosit: leukositosis dengan neutrofilia

shift to the left, dan tombosit: jumlah meningkat. Hasil urinalisis: protein (-),

reduksi (-), leukosit +, eritrosit (-), bilirubin (-), urobilinogen (+) kesan: suspek

infeksi saluran kemih. Pemeriksaan feses dalam batas normal.

Daftar Masalah

1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun

Dd/ ec anemia hemolitik non imun Dd/ ec G6PD

Thalasemia

Malaria

2. Suspek infeksi saluran kemih (ISK)

3. Tidak mendapat booster imunisasi

Diagnosis kerja

1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun

Dd/ ec anemia hemolitik non imun ec suspect defisiensi G6PD

Dd/ ec Thalasemia

Malaria

2. Suspek infeksi saluran kemih (ISK)

7

Page 8: kasus revisi 4.docx

TATALAKSANA

1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun

Dd/ ec anemia hemolitik non imun ec suspect defisiensi G6PD

Dd/ ec Thalasemia

Malaria

a. Diagnostik : Bilirubin total, direk dan indirek, comb test, serologi malaria,

slide darah tepi malaria, HPLC

b. Terapeutik: ML 1200 kkal, parasetamol 130 mg bila T ≥ 38,5 0C, rencana

transfusi darah bertahap.

c. Edukasi : diagnosis, tatalaksana, dan prognosis

2. Suspek infeksi saluran kemih

a. Diagnostik : kultur urin

b. Terapeutik: Kotrimoksazol 2 x 60 mg (TMP) bila kultur urin sudah

diambil.

c. Edukasi: berkemih sebelum tidur, menganjurkan banyak minum

PEMANTAUAN

30 September 2013 ( hari rawatan ke 2)

Pasien tidak demam pagi ini, malam hari sebelumnya pasien masih demam, tidak

tinggi, anak masih tampak pucat dan ikterik, kejang tidak ada, batuk dan pilek

tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, buang air kecil warna

dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.

Keadaan umum tampak sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 100 kali

permenit, frekuensi nafas 24 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 37,2

ºC, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak

ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan: anemia. Terapi

dilanjutkan.

8

Page 9: kasus revisi 4.docx

Hasil pemeriksaan laboratorium dengan hasil LDH : 2247 u/L; Bilirubin

total 3,16 mg/dL; bilirubin direk 0,62 mg/dL; bilirubin indirek 2,54 mg/dL; kesan:

sesuai dengan anemia hemolitik. Comb test : hasil negatif; kesan: tidak sesuai

dengan anemia hemolitik autoimun. Tidak ditemukan parasit malaria pada sediaan

hapus darah tepi. Direncanakan untuk pemeriksaan serologi malaria. Hasil

pemeriksaan urinalisis protein (-), glukosa (-), leukosit 0-1/LPB; eritrosit 0-1 /

LPB; silinder (-), kristal (-), epitel gepeng (+), bilirubin (-), urobilinogen (+),

kesan : dalam batas normal; tunggu hasil kultur urin.

Didapatkan kesan anemia dan ikterik, dipikirkan defisiensi enzim G6PD;

sikap: direncanakan pemeriksaan enzim G6PD.

1 Oktober 2013 (hari rawatan ke 3)

Pasien tidak demam, anak masih tampak pucat dan ikterik, kejang tidak ada, batuk

dan pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, buang air

kecil warna dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.

Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 101

kali permenit, frekuensi nafas 23 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu

36,8 ºC, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak

ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan:anemia dan

iktrerik; sikap : dilakukan pemeriksaan enzim G6PD.

2-3 Oktober 2013 (hari rawatan ke 4 dan 5)

Pasien tidak demam, anak masih tampak pucat dan ikterik, kejang tidak ada, batuk

dan pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, buang air

kecil warna dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.

Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 90 kali

permenit, frekuensi nafas 24 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 37,1

ºC, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak

9

Page 10: kasus revisi 4.docx

ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan:anemia dan

iktrerik. Terapi dilanjutkan

Hasil pemeriksaan laboratroium kultur urin hasil steril. Kesan : tidak

sesuai dengan infeksi saluran kencing. Hasil pemeriksaan laboratorium serologi

malaria negatif, kesan : tidak sesuai dengan infeksi malaria

4 Oktober 2013 (hari rawatan ke 6)

Anak masih tampak pucat, namun berkurang dari sebelumnya, transfusi darah

belum dilakukan, demam tidak ada, kejang tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak

ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, perdarahan tidak ada,

buang air kecil warna dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi

biasa.

Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 98 kali

permenit, frekuensi nafas 24 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36,7

ºC, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak

ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan:anemia dan

iktrerik. Terapi dilanjutkan. Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap

ulangan.

Hasil pemeriksaan laboratroium darah perifer lengkap Hb 7,7 gr/dL; Ht

25,9%, leukosit 14.520/mm3; hitung jenis 0/1/5/49/37/6; eritrosit berinti 4/100

leukosit; mielosit 1%, metamielosit 1%, retikkulosit 34,29%; trombosit

305.000/mm3; eritrosit 2,75 juta/mm3; Gambaran darah tepi: eritrosit:

normokrom anisositosis, polikromasi, ditemukan eritrosit berinti 4/100 leukosi;.

leukosit: leukositosis dengan neutrofilia shift to the left sampai mielosit, limfosit

atipik (+); dan trombosit: jumlah cukup, platelet clump (+). kesan: anemia

normositik normokrom

10

Page 11: kasus revisi 4.docx

5 Oktober 2013 (hari rawatan ke 7)

Demam tidak ada, kejang tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, sesak nafas

tidak ada, mual dan muntah tidak ada, perdarahan tidak ada, buang air kecil warna

dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.

Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 98 kali

permenit, frekuensi nafas 23 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36,9

ºC, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak

ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan: hemodinamik

stabil. Terapi dilanjutkan. Hasil pemeriksaan enzim G6PD belum keluar. Pasien

diperbolehkan pulang dengan anjuran kontrol ulang poliklinik.

7 Oktober 2013

Hasil pemeriksaan enzim G6PD selesai dan menunjukkan hasil penurunan enzim

G6PD dengan hasil 1,7 U/g Hb. Sedangkan nilai normal 7,0-10,4 U/g Hb.

Kesan : sesuai dengan anemia ec defisiensi enzim G6PD;

Sikap :

- Edukasi keluarga mengenai penyakit dan penyebab yang dapat

memunculkan gejala penyakit tersebut serta prognosis pada penyakit

- Menjelaskan obat-obatan dan makanan yang dapat memunculkan gejala

penyakit

- Memberikan daftar obat dan makanan yang dapat memunculkan gejala

penyakit.

11

Page 12: kasus revisi 4.docx

11 November 2013

Demam tidak ada, kejang tidak ada, anak tidak tampak pucat, pilek tidak ada,

batuk tidak ada, muntah tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak

ada, perdarahan tidak ada, buang air kecil jumlah dan warna biasa, buang air besar

warna dan konsistensi biasa. Pada pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukan

kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan : hemodinamik stabil;

Anak dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hasil Hb 11,6

gr/dL; Ht 33%, leukosit 9.040/mm3; hitung jenis 0/0/9/45/39/5; mielosit 1,

metamielosit 1, retikkulosit 0, 44%; trombosit 389.000/mm3; eritrosit 4,6

juta/mm3;

Kesan : Peningkatan Hb dari sebelumnya

12

Page 13: kasus revisi 4.docx

Tinjauan Pustaka

Definisi

Defisiensi G6PD adalah suatu kelainan enzim yang terkait kromosom sex (x-

linked), yang diwariskan, dimana aktifitas atau stabilitas enzim G6PD menurun,

sehingga menyebabkan pemecahan sel darah merah pada saat seorang individu

terpapar oleh bahan eksogen yang potensial menyebabkan kerusakan oksidatif.11

Epidemiologi

Defisiensi enzim G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada

manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia, diperkirakan sekitar 400 juta

manusia di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi ditemukan di daerah tropis,

ditemukan dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur Tengah,

India, Cina, Malayu, Thailand, Filipina dan Melanesia.11,12

Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia

hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia prevalensinya

diperkirakan 1-14%, prevalensi defisiensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah

sebesar 15%, di pulau-pulau kecil yang terisolasi di Indonesia bagian Timur

(pulau Babar, Tanimbar, Kur dan Romang di Propinsi Maluku), disebutkan bahwa

prevalensi defisiensi G6PD adalah 1,6-6,7% (Gambar1).11

Gambar 1. Prevalensi defisiensi G6PD15

13

Page 14: kasus revisi 4.docx

Enzim G6PD

Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk

mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi pompa

natrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur

metabolisme, yaitu 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof)

yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase serta enzim

piruvat kinase, dan 20% dari proses glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat)

dengan bantuan enzim G6PD untuk menghasilkan glutation yang penting untuk

melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan (Gambar 2).11

Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat

mempermudah dan mempercepat hemolisis, yang paling sering mengalami

defisiensi adalah G6PD.2

Gambar 2. Diagram skematik metabolisme sel darah merah5

Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino

dengan berat molekuler 59,265 kilodalton. Enzim G6PD merupakan enzim

pertama jalur pentosa phospat, yang mengubah glukosa – 6 phospat menjadi 6

fosfogluconat pada proses glikolisis. Perubahan ini menghasilkan Nicotinamide

14

Page 15: kasus revisi 4.docx

Adenine Dinucleotide Phospate (NADPH), yang akan mereduksi glutation

teroksidasi (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH). GSH berfungsi sebagai

pemecah peroksida dan oksidan radikal H2O2 (gambar 3).11 G6PD adalah enzim

“housekeeping” yang melakukan fungsi-fungsi vital di seluruh sel tubuh. Namun,

dalam eritrosit yang tidak memiliki nukleus, mitokondria, organel lainnya, ada

hambatan tertentu pada metabolisme dan enzim ini memiliki peran penting. G6PD

mengkatalisis langkah pertama dari jalur pentosa fosfat (jalur heksosa

monofosfat), sejumlah reaksi sampingan dari jalur utama glikolisis dalam eritrosit

dan dalam semua sel tubuh.11

Metabolisme glukosa melalui jalur heksosa monofosfat meningkat

beberapa kali ketika eritrosit terpapar dengan obat-obatan atau toksin yang

membentuk radikal bebas.2 G6PD menginisiasi jalur heksosa monofosfat ini

dengan menjadi katalis oksidasi glukosa-6-fosfat menjadi 6-

phosphoglucunolactone oleh ko-enzim nikotinamida adenin-

dinucleotidephosphate (NADP), yang dikurangi menjadi NADPH. 6-

phosphogluconolactone menghidrolisis secara spontan menjadi 6-P-

phosphogluconolactone.11

Gambar 3. Jalur pentosa fosfat10

15

Page 16: kasus revisi 4.docx

6-P-phosphogluconolactone ini berfungsi sebagai substrat untuk 6-

phosphogluconate dehidrogenase dan NADP. 6 phospogluconolactone kemudian

dirubah menjadi bentuk ribose-5-phosphate melalui 6-P-phosphogluconolactone

dan ribolose-5-phospate. Reaksi ini dapat disimpukan sebagai berikut:16

G6P + 2NADP+ + H2O R5P + 2NADPH + 2H+ + CO2

Ribose-5-phosphate dibutuhkan sebagai prekursor dalam biosintesis

sejumlah molekul penting seperti ATP, CoA, NAD, FAD, RNA dan DNA. Selain

itu, ribose-5-phosphate ini juga dapat dirubah kembali menjadi senyawa

intermidiete dalam glikoisis.16 Ketika terjadi perubahan glucose-6-phosphate

menjadi 6-phosphoglucunolactone malalui peranan enzim glucose 6 phosphate

dehydrogenase, terbentuk suatu reduktan metabolit penting yaitu NADPH.

NADPH ini sangat penting peranannya dalam pembentukan glutation tereduksi

(GSH) dari bentuk teroksidasinya (GSSG) dan juga NADPH berperanan penting

dalam mempertahankan sumber GSH intraseluler.17

Senyawa GSH pada awalnya adalah suatu glutation bentuk disulfida

(glutation teroksidasi, GSSG) yang direduksi menjadi glutation bentuk sulfhidril

(glutation tereduksi, GSH). Reduksi GSSG menjadi GSH dilakukan oleh NADPH,

pada jalur pentosa fosfat, dimana pada jalur metabolisme ini NADPH dibentuk

bila glucose-6-phosphate dioksidasi menjadi 6-fosfogluconat dengan bantuan

enzim G6PD (gambar 4).11 Fungsi GSH adalah mempertahankan residu sistein

pada hemoglobin dan protein-protein lain pada membran eritrosit agar tetap dalam

bentuk tereduksi dan aktif, mempertahankan hemoglobin dalam bentuk fero,

mempertahankan struktur normal sel darah merah, serta berperan dalam proses

detoksifikasi, dimana GSH merupakan substrat kedua bagi enzim gluthation

peroksidase dalam menetralkan hidrogen peroksida yang merupakan suatu

oksidan yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah

merah.11

16

Page 17: kasus revisi 4.docx

Gambar 4. Peranan enzim G6PD dalam sel darah merah11

Dalam keadaan normal peroksida dan radikal bebas dibuang oleh katalase

dan gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan produksi GSSG. GSH

dibentuk dari GSSG dengan bantuan enzim gluthathione reductase yang

keberdaannya tergantung pada NADPH. Pada defisiensi G6PD, pembentukan

NADPH berkurang sehingga berpengaruh pada regenerasi GSH dari GSSG,

akibatnya mempengaruhi kemampuan untuk menghilangkan peroksida dan

radikal bebas.11 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa fungsi enzim G6PD

adalah menyediakan NADPH yang diperlukan untuk membentuk kembali GSH.11

Patofisiologi

Enzim G6PD mengkalisis adenin dinukletida fosfat (NADP) menjadi bentuk

tereduksinya NADPH pada jalur pentosa fosfat. NADPH melindungi sel dari

kerusakan oksidatif. Dikarena sel darah merah tidak memproduksi NADPH

melalui jalur lain, maka sel darah merah menjadi lebih rentan dibandingkan

dengan sel lain untuk mengalami kerusakan akibat stres oksidatif. Kadar aktifitas

enzim G6PD pada sel eritrosit yang mengalami deifisensi G6PD biasanya lebih

rendah daripada sel lainnya.18

17

Page 18: kasus revisi 4.docx

Genetik

Gen G6PD terdiri dari 13 ekson dan 12 intron yang tersebar pada daerah seluas

lebih 100 kb pada ujung terminal lengan panjang kromosom X. Lokasi ini secara

lokasi berdekatan dengan gen yang mengkode hemofilia A, Dyskeratosis

kongenital dan buta warna.5 Defisiensi G6PD terjadi akibat mutasi gen G6PD, ada

lebih dari 400 mutasi yang telah diketahui, sebagian besar adalah mutasi

missense.18

Defisiensi ini merupakan suatu penyakit sex-linked. Laki-laki hanya

mempunyai 1 kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisensi G6PD

akan muncul atau bermanifestasi. Wanita mempunyai 2 kromosom X, sehingga

jika terdapat 1 gen yang yang abnormal karena mutasi, pasangan atau allelenya

dapat menutup kekurangan tersebut, sehingga defisiensi G6PD bisa bemanifestasi

namun dapat pula tidak. Defisiensi G6PD meliputi berbagai mutasi gen G6PD

yang berbeda-beda dan tidak bereaksi sama, hal ini menjelaskan mengapa

individu defisiensi G6PD menunjukkan reaksi berbeda dengan faktor pencetus

yang sama. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat membantu

mengidentifikasi adanya mutasi.11 Berdasarkan lokasi mutasi pada gen pengkode

enzim G6PD, terdapat 5 tipe defisiensi G6PD yang paling umum ditemukan, yaitu

G6PD A-(202A), G6PD Mediteraranean, G6PD Seatle, G6PD A- (986C), dan

G6PD Union (Gambar 5).10

Gambar 5. Mutasi yang sering terjadi sepanjang ekson pengkode gen G6PD10

18

Page 19: kasus revisi 4.docx

Manifestasi klinis

Terdapat 3 manifestasi klinis umum yang dapat muncul pada individu dengan

defisiensi enzim G6PD, yaitu :

1. Hiperbilirubinemia Neonatus

Prevalensi kejadian hiperbilirubinemia pada laki-laki yang

membawa gen defek defisiensi dan pada wanita homozigot pembawa gen

defek defisensi dua kali lipat dibandingkan populasi umum. Kejadian ini

jarang muncul pada wanita heterozigot. Mekanisme terjadinya

hiperbilirubinemia neonatus pada penderita defisensi G6PD belum

sepenuhnya dipahami. Namun kejadian hemolisis dan jaundice dapat

terlihat pada neonatus dengan defisiensi G6PD. Kejadian

hiperbilirubinemia pada neonatus sepertinya merupakan kejadian sekunder

akibat berkurangnya proses konjugasi bilirubin di hepar dan proses

klearens bilirubin oleh hepar yang menyebabkan terjadinya

hiperbilirubinemia indirek.18

Defisiensi G6PD harus dipertimbangkan pada neonatus yang

mengalami hiperbilirubinemia dalam 24 jam pertama kehidupan, adanya

riwayat ikterik pada saudara kandung, kadar bilirubin lebih besar dari

persentil 95, dan pada jenis kelamin laki-laki dari ras Asia. Defisiensi

G6PD dapat memicu peningkatan risiko kejadian early onset

hiperbilirubinemia, yang memerlukan tindakan fototerapi atau transfusi

tukar. Pada populasi tertentu, kejadian hiperbilirubinemia sebagai kejadian

sekunder dari defisiensi G6PD memunculkan peningkatan kejadian

kernikterik dan kematian, namun pada kelompok populasi lain, hal ini

tidak ditemui. Kejadian ini dapat menunjukkan bahwa kejadian mutasi

dapat terjadi berbeda-beda pada setiap kelompok etnik.18

2. Hemolisis Akut

Hemolisis akut disebabkan oleh infeksi, mengkonsumsi kacang

fava atau terpajan dengan obat-obatan yang bersifat oksidatif. Kejadian

hemolisis terjadi setelah terpapar dengan stresor, namun tidak berlanjut

19

Page 20: kasus revisi 4.docx

walaupun pemaparan dengan stressor tetap berlanjut. Hal ini dapat terjadi

karena eritrosit berusia tua yang memiliki kadar defisiensi enzim yang

lebih besar akan mengalami hemolisis lebih awal. Ketika sel eritrosit

dengan defiensi enzim G6PD telah mengalami hemolisis, sel eritrosit

muda dan retikulosit yang memiliki kadar aktifitas enzim lebih tinggi

mampu untuk bertahan terhadap kerusakan oksidatif tanpa mengalami

hemolisis.18

Obat – obatan yang dapat menyebabkan hemolisis pada individu

dengan defisiensi enzim G6PD menyebabkan kerusakan oksidatif

sehingga memunculkan kejadian penghancuran eritrosit. Kejadian

hemolisis muncul 24-72 jam setelah terpapar, dengan perbaikan dalam 4-

7 hari. Obat-obat yang bersifat oksidatif bila dikonsumsi oleh seorang ibu

yang menyusui dapat ditransmisikan melalui air susu dan menyebabkan

hemolisis akut pada seorang anak yang mengalami defisiensi G6PD.18

Infeksi merupakan penyebab tersering dari hemolisis akut pada

individu dengan defisiensi G6PD. Namun mekanisme pasti bagaimana hal

ini terjadi belum sepenuhnya diketahui. Leukosit dapat melepaskan

oksidan saat proses fagositosis dan hal ini menyebabkan stres oksidatif

pada sel eritrosit. Agen penyebab infeksi tersering yang dapat

memunculkan hemolisis adalah salmonella, escherichia coli, beta-

hemolityc streprococci, rickettsia, hepatitis virus dan virus influenza A.18

3. Hemolisis Kronis

Pada anemia kronik nonsperositosis, yang biasanya disebabkan

oleh mutasi gen sporadis, hemolisis terjadi selama metabolisme normal

eritrosit. Tingkat keparahan dari hemolisis bervariasi, menyebabkan

hemolisis ringan sampai anemia yang bergantung pada transfusi.

Pemaparan dengan stres oksidatif dapat menyebabkan hemolisis akut pada

individu ini.18

20

Page 21: kasus revisi 4.docx

Tingkat keparahan dari defisiensi enzim G6PD umumnya dibagi menjadi 4

tingkatan. Tingkat I, mutasi berat dengan anemia hemolitik kronik non

sperositosis; tingkat II, intermidiet dengan < 10 % fungsi normal dari enzim

G6PD; tingkat III, ringan dengan 10-60% fungsi normal enzim G6PD; Tingkat

IV, asimptomatik dengan 60-100% fungsi normal enzim G6PD.15

Defek tingkat I mungkin disebabkan oleh mutasi pada regio enzim G6PD

yang merupakan lokasi pengikatan NADP+ atau G6P. Sementaran itu

latarbelakang genetik dari tingkat lainnya masih belum diketahui. Tingkat I

merupakan kejadian yang jarang terjadi dan dapat menjadi cukup berat sehingga

menyebabkan ketergantungan terhadapa transfusi. Pasien dengan defisiensi pada

tingkat I ini biasanya menderita anemia hemolitik non sperositosis. Sel eritrosit

pada pasien ini diketahui memiliki masa hidup yang lebih pendek dibandingakan

dengan sel eritrosit normal, walaupun sel eritrosit ini tidak terpapar dengan stres

oksidatif. Defisensi G6PD pada eitrosit ini menyebabkan sel eritrosit rentan untuk

mengalami kerusakan dari stres yang diperoleh selama dalam sirkulasi.15

Pasien dengan defisiensi tingkat II, III, dan IV biasanya asimptomatik.

Defisiensi tingkat III merupakan defek yang sering terjadi. Kejadian hemolisis

pada tingkat ini bersifat self limiting. Hanya sel eritrosit tua dengan kurang cukup

aktifitas enzim G6PD yang akan rentan lisis terhadap kejadian stres oksidatif.

Defisiensi tingkat II biasanya juga asimptomatik, namun baik pada kelompok

eritrosit muda maupun sel eritrosit tua sama-sama rentan terhadap stress oksidatif.

Kejadian hemolisis pada pasien dengan defisiensi tingkat II ini bersifat lebih berat

dan tidak bersifat self limiting. Kejadian hemolisis berhenti setelah penghilangan

dari agen penyebab stres oksidatif.15

Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis anemia defisiensi G6PD dapat dilakukan

pendekatan diagnosis berupa anamnesis, periksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.17 Pada anamnesis yang diperlu diperhatikan adalah adanya keluhan

kulit tampak pucat, kulit tampak kuning, adanya riwayat infeksi sebelumnya,

21

Page 22: kasus revisi 4.docx

adanya riwayat konsumsi obat-obatan serta substansi yang berpotensi

memunculkan hemolisis, dan juga adanya riwayat konsumsi beberapa makanan

yang berpotensi memunculkan hemolisis.18 (Tabel 1)

Tabel 1. Daftar obat-obatan dan substansi yang dapat memunculkan hemolisis pada pasien defisiensi enzim G6PD19

1. Acetanilid2. Acetylphenilhydrazine3. Aldesulfone sodium4. Arsine5. Beta – Naphthol (2-Naphtol)6. Chloramphenicol7. Chloroquine8. Ciprofloxacin9. Dapson10. Dimercaprol11. Doxorubicin12. Furazolidone13. Glibenclamide14. Glucosulfone15. Isobutyl Nitrite16. Menadiol sodium sulfate (vitamin K4

sodium sulfate)17. Menadione18. Menadione sodium bisulfite (vitamin K3

sodium bisulfite)19. Mepacrine (quinacrine)20. Mesalazine-5-aminosalicyclic Acid

(paraminosalicylic acid)21. Metamizole22. Methyltioninium Chloride 23. Nalidixid acid24. Naphtalene, pure (naphtalin)25. Niridazole26. Nitrofural (nitrofurazone)27. Nitrofurantoin

28. O-Acetylsalicylic Axid (acetylsalicylic acid)

29. Oxidase, urate (urate oxidase)30. Pamaquine31. pentaquine 32. phenacetin (acetophenetidin)33. Phenazopyridine34. Phynylhydrazine35. Primaquine36. Probenecid37. Stibophen Sulfasetamide38. Sulfamidine39. Sulfafurazole (sulfafurazone,

sulfisoxazole)40. Sulfamethoxazole41. Sulfanilamide (sulphanilamide)42. Sulfapuridine 43. Sulfasalazine, salasosulfapyride 44. Thiazosulfone (thiazolesulfone)45. Tolonium Chloride, tolonium chloride

(toluidine bliue)46. Trinitrotoluene (2,4,6-Trinitrotoluene)47. Kacang fava48. Anggur merah49. Inai (henna)50. Kacang polong51. Bluberi52. Yogurt53. Kedelai

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya kulit tampak pucat, konjungtiva

anemis, ikterik dan hepatopslenomegali.7

Pemeriksaan Penunjang

Berikut ini pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk defisiensi enzim

G6PD:

22

Page 23: kasus revisi 4.docx

1. Hitung darah lengkap dan Hitung Retikulosit

Pemeriksaan hitung darah lengkap dan jumlah retikulosit sangat

penting untuk mendeteksi anemia hemolitik.20 Anemia bisa ditemui

dalam bentuk anemia sedang hingga sangat berat (nilai hemoglobin

2,5 gr/dL pernah dilaporkan pada pasien).10 Dalam keadaan tidak

adanya keadaan gangguan hematologi penyerta lainnya, kebanyakan

gambaran anemia hemolitik adalah jenis normositik normokrom.10

Kadar retikulosit yang sangat tinggi dan disertai dengan polikromasia

mungkin dapat dihubungkan dengan peningkatan Mean Cell Volume

(MCV) pada level antara 100-110 fL.10

Terdapat gambaran morfologi sel darah merah yang sangat

mencolok. Sering dapat ditemukan adanya anisositosis karena

terdapatnya sejumlah sel-sel dengan gambaran polikromatik dan

sejumlah sel dengan gambaran terkontraksi yang sebagian

diklasifikasikan sebagai sel sperositosis. Terdapat juga peningkatan

poikilositosis dengan adanya penyimpangan gambaran sel-sel darah

merah, terdapatnya gambaran sejumlah sel darah merah yang tidak

memiliki distribusi hemoglobin. Sel ini dikenal sebagai hemoghost

(Gambar 6).10 Mungkin gambaran poikilositosis yang paling khas

adalah gambaran sejumlah sel eritrosit yang terlihat penyok, seolah-

olah sebagian dari sel eritrosit ini telah dicabut atau tergigit.

Gambaran ini dikenal dengan bite sel (gambar 6). Pemeriksaaan yang

teliti pada retikulosit dapat terlihat adanya badan terinklusi yang

terlihat berbeda dari sel retikolosit normal, badan terinklusi ini

berbentuk diskrit, bulat, dengan diameter 1 sampai 3 μm dan mereka

biasanya muncul berdekatan dari sisi inferior terhadap membran sel

retikulosit. Badan inklusi ini lebih jelas ditampilkan melalui

pewarnaan supravital dengan metil violet dan disebut sebagai badan

Heinz. Badan Heinz terdiri dari endapan hemoglobin terdenaturasi.10

23

Page 24: kasus revisi 4.docx

Gambar 6. Bitten sel dan ghost sel14

Gambar 7. Heinz Body14

2. Combs Test

Penentuan diagnosis dari anemia hemolitik autoimun ditentukan dengan

pemeriksaan labor berupa deteksi adanya autoantibodi abnormal dari

penghancuran sel darah merah. Pemeriksaan Combs Test / Direct

Antiglobulin Test (DAT) dan tes titer dingin aglutinin adalah pemeriksaan

yang rutin dilakukan untuk mendeteksi adanya anemia hemolitik

autoimun.20

3. Kadar Bilirubin Indirek

Kadar bilirubin indirek merupakan salah satu tes yang sangat sensitif untuk

menilai tingkat kerusakan dari sel darah merah. Jika hemolisis meningkat

secara signifikan, kadar bilirubin indirek akan meningkat hingga mencapai

103 mg/dL pada pasien dengan aktifitas hemolisis yang meningkat.20

4. Serum Laktat Dehidrogenase (LDH)

24

Page 25: kasus revisi 4.docx

Pada anemia hemolitik kadar serum LDH akan meningkat secara drastis

hingga melebihi 1000 IU.20

5. Pemeriksaan kadar enzim G6PD :

Untuk pemeriksaan kadar enzim G6PD secara kualitatif dapat dengan

menggunakan spektofotometer klasik. Biasanya didapatkan dalam sel

darah normal pada suhu 300C adalah 7-10 IU/g dari hemoglobin.5

Sedangkan untuk skrining, biasanya digunakan beberapa metode

yang sifatnya semi kuantitatif seperti seperti Beutler fluorescent spot test,

dichlorophenol indophenol decolourization, methemoglobin reduction test.

Pada tes ini akan didapatkan interpretasi hasil berupa ‘normal” atau

“defisien”. 5,17

a. Beutler fluorescent spot test merupakan tes yang paling terpercaya

dalam skrining defisiensi G6PD. Dengan menggunakan metode ini,

nilai produksi dari NADPH diukur di bawah sinar ultraviolet.

Sampel darah yang tidak memiliki defisiensi enzim G6PD akan

mempunyai tampilan floresensi yang terang, sedangkan sampel

darah dengan defisiensi G6PD akan menunjukkan sedikit atau

tidak ada sama sekali floresensi.17

b. Metode skrining yang lain pada defisiensi G6PD adalah

dichlorophenol-indophenol (DPIP) dye decolorization. Metode ini

digunakan untuk menetukan G6PD dalam sel darah merah. Dengan

menggunakan metode ini heterozigot dapat ditentukan dengan

lebih mudah dan dapat digunakan untuk skrining defisiensi G6PD

pada populasi yang lebih besar. Sejumlah darah pasien

ditambahkan ke dalam larutan yang mengandung G6PD,

nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADP), dan

oxidized glutathione, diinkubasi selama 5-10 menit pada suhu

ruangan dan diteteskan pada kertas saring. Setelah kering, lalu

dilihat apakah terdapat dekolorisasi. 17,20

Penatalaksanaan

25

Page 26: kasus revisi 4.docx

Strategi penatalaksaaan paling efektif pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah

dengan menghindari hemolisis melalui penghindaran terhadap stresor oksidatif

(seperti obat-obatan, infeksi dan kacang fava). Melalui strategi penghindaran ini,

diharapkan kewaspadaan dari individu dengan defisensi G6PD terhadap keadaan

defisiensi enzim yang mereka alami berdasarkan pengalaman hemolisis

sebelumnya. Kejadian hemolisis akut pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD

biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang singkat dan tidak membutuhkan

penatalaksaan spesisfik. Dalam kasus yang jarang terjadi (biasanya pada anak),

kejadian hemolisis akut menyebabkan terjadinya anemia yang berat dapat

menyebabkan diperlukannya transfusi sel darah merah.10

Tidak terdapat standar baku yaang dapat dijadikan acuan untuk

menentukan kapan seorang anak dengan defisiensi enzim G6PD yang mengalami

anemia hemolitik akut memerlukan tindakan transfusi darah, namun terdapat

beberapa guidline yang dapat di gunakan untuk pertimbangan melakukan transfusi

darah, yaitu:10

1. Jika tingkat hemoglobin dibawah 7 gr/dL, transfusi darah diindikasikan.

2. Jika tingkat hemoglobin di bawah 9 g / dL dan ada bukti hemolisis cepat

persisten (hemoglobinuria), transfusi darah langsung juga diindikasikan

3. Jika tingkat hemoglobin di atas 9 g / dL tetapi hemoglobinuria tetap

ditemukan atau jika tingkat hemoglobin adalah antara 7 dan 9 g / dL tetapi

tidak ada hemoglobinuria, anak tersebut harus diobservasi ketat selama

minimal 48 jam dan ditransfusikan jika kondisi baik 1 atau 2 berkembang.

Neonatal jaundice yang disebabkan oleh defisiensi G6PD ditatalaksana

dengan cara yang sama dengan kejadian neonatal jaundice yang disebabkan oleh

penyebab lain. Pasien-pasien dengan anemia hemolitik kongenital non-

spherocytotic seringkali menunjukkan keadaan anemia yang terkompensai baik

yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun pasien-pasien dengan kondisi

ini harus dimonitor dengan ketat, karena kejadian eksaserbasi seperti infeksi atau

mengkonsumsi obat-obatan oksidatif dapat memperburuk derajat anemia. Sangat

jarang pasien dengan anemia hemolitik kongenital nonsperocytotic mengalami

ketergantungan transfusi darah. Pada keadaan ini pemberian agen chelating besi

26

Page 27: kasus revisi 4.docx

harus diberikan. Antioksidan seperti vitamin E dan selenium nampak memberikan

manfaat pada pasien-pasien hemolisis kronis. Namun belum ada data yang

konsisten mendukung pendekatan ini.10

Analisis kasus

27

Page 28: kasus revisi 4.docx

Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun 10 bulan didiagnosis dengan

anemia defisiensi enzim G6PD. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil

anamnesis ditemukan anak tampak pucat sejak 1 hari yang lalu, tampak kuning

sejak 1 hari yang lalu, adanya riwayat demam sejak 3 hari yang lalu, serta adanya

riwayat konsumsi obat yang bersifat stresor oksidatif yaitu kotrimoksazol. Dari

pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak pucat dan ikterik. Berdasarkan hasil

pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya anemia dengan Hb 6,5 gr/dL dan

MCV didapatkan nilai normal 80,2 fL; retikulositosis dengan nilai 3,9%;

peningkatan LDH; hiperbiluribunemia dengan hasil total bilirubin 3,16 mg/dL,

bilirubin direk 0,62 mg/dL, bilirubin indirek 2,54 mg/dL; hasil comb test negatif.

Hal ini sesuai dengan penegakan diagnosis melalui algoritma pendekatan

diagnosis anemia melalui MVH dan hitung retikulosit (gambar 8).8

Berdasarakan gambaran darah tepi didapatkan hasil gambaran darah tepi

yang normal, sehingga dilakukan pemeriksaan kuantitatif enzim G6PD. Hal ini

sesuai dengan alur diagnosis algoritma anemia hemolitik (Gambar 9).21 Pada

pasien ini didapatkan hasil kuantitatif enzim G6PD 1,7 U/g Hb, dimana pada

pemeriksaan dengan menggunakan metode ini nilai normal adalah sebesar 7,8-

14,4 U/g Hb.

28

Page 29: kasus revisi 4.docx

Gambar 8. Pendekatan Diagnosis anemia dengan menggunakan MCV dan hitung retikulosit8

29

Page 30: kasus revisi 4.docx

Gambar 9. Alur Diagnosis Anemia Hemolitik21

Defisiensi G6PD merupakan kelainan enzim tersering pada manusia,

diperkirakan sekitar ± 400 juta di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan di

daerah tropis, dan menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia

hemolitik akut di Asia Tenggara. Prevalensi di Indonesia diperkirakan sekitar 1%-

14%. Soemantri dan kawan-kawan mendapatkan prevalensi defisiensi G6PD di

Jawa Tengah sekitar 15%, sedangkan menurut Suhartati dan kawan-kawan di

pulau-pulau kecil Indonesia Timur 1,6% - 6,7%.11 Gen pengkode enzim G6PD

adalah salah satu gen terpenting yang berlokasi di regio telomerik lengan panjang

kromosomnX (Xq28), sehingga hal ini menyebabkan ganggguan lebih banyak

muncul pada laki-laki dibandingkan perempuan.17 Hal ini sesuai dengan kondisi

pasien yang merupakan anak laki-laki dan tinggal di Indonesia, serta

didapatkannya riwayat keluarga dari pihak ibu yang pernah menderita tampak

pucat dan tampak kuning.

30

Page 31: kasus revisi 4.docx

Thalasemia merupakan salah satu penyebab dari anemia hemolitik defek

korpuskular dimana terjadi gangguan pada rantai globin.22 Sekitar 3% dari

penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi

sampai dengan 40% kasus adalah di Asia. Di Indonesia thalasemia merupakan

penyakit terbanyak diantara golongan anemia hemolitik dengan penyebab

intrakorpuskuler.22 Pada pasien juga ditemukan adanya gambaran klinis yang

menunjukkan terjadinya proses hemolisis, hal ini terlihat adanya keluhan pasien

tampak pucat, tampak kuning, serta peningkatan dari nilai bilirubin indirek dan

adanya gambaran anisositosis dan polikromasia pada gambaran darah tepi. Namun

pada pemeriksaan gambaran darah tepi pasien tidak ditemukan adanya gambaran

kelainan yang berhubungan dengan thalasemia seperti mikrositik hipokromik, sel

target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit,, basophilic

stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis.23 Pasien juga pikirkan diagnosis

banding dengan malaria, hal ini disebabkan pada pemeriksaan darah ditemukan

hasil anemia hemolitik dengan hasil pemeriksaan comb test negatif. Sesuai dengan

algoritma anemia hemolitik, pasien dengan hasil pemeriksaaan darah yang

menunjukkan anemia hemolitik dengan comb test negatif, dapat dipikirkan

kemungkinan penyebab infeksi pada pasien, dan langkah selanjutnya adalah

dengan melihat gambaran darah tepi.21 Pada pasien ini telah dilakukan

pemeriksaan pemeriksaan hapus darah tepi dengan hasil tidak ditemukan parasit

malaria pada hapus darah tepi. Pasien juga telah dilakukan pemeriksaaan serologi

malaria dengan hasil malaria serologi negatif.

Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan pada pasien ini, pasien

termasuk penderita anemia defisensi G6PD tingkat III. Berdasarkan literatur

didapatkan bahwa penderita anemia defisiensi G6PD tingkat III ini bersifat self

limiting.14 Pada pembagian variant dari G6PD berdasarkan lokasi dari mutasi pada

gen penyandi G6PD, pasien ini kemungkinan termasuk kedalam varian G6PD

Mediteranean, dimana berdasarkan dari literatur didapatkan bahwa variant G6PD

Mediteranean ini ditemukan pada semua negara disekitar laut mediterania dan

termasuk juga tersebar di daerah timur tengah, Israel, India dan Indonesia.10

31

Page 32: kasus revisi 4.docx

Pencetus terjadinya hemolisis pada pasien awalnya dipikirkan adalah

akibat infeksi. Hal ini karena ditemukan adanya keluhan demam sejak 3 hari

sebelum masuk rumah sakit dan peningkatan nilai leukosit. Infeksi adalah

fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap

mikroorganisme atau invasi mikroorganisme ke jaringan yang seharusnya steril.

Infeksi menyebabkan aktivasi sistem pertahanan tubuh seorang individu, baik

seluler maupun humoral. Pada fase tersebut makrofag dan sel-sel neutrofil lainnya

akan melakukan proses fagositosis dan melepaskan sejumlah mediator kimia,

termasuk sejumlah radikal bebas berupa spesies oksigen aktif. Oksidan

mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah

merah, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya lisis.11 Sumber infeksi pada

pasien ini dipikirkan adalah pada infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih

merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada anak selain infeksi

saluran nafas atas dan diare.23 Hal ini didukung dengan ditemukan adanya

leukosit urin positif pada pemeriksaan awal. Namun hal ini tidak didukung oleh

pemeriksaan urinalisis ulangan pada hari rawatan ke 2 yang memperlihatkan hasil

normal dan juga pada pemeriksaan kultur urin yang menunjukkan tidak ditemukan

pertumbuhan kuman yang patogen. Selain itu pada pasien ini semenjak hari

rawatan ke 2 sudah tidak adanya lagi keluhan demam dan pada pemeriksaan darah

ulangan ditemukan penurunan nilai leukosit dari sebelumnya. Keadaan ini

berkemungkinan karena pasien telah mengkonsumsi antibiotik kotrimoksazol

sebelumnya.

Pencetus lain terjadinya hemolisis pada pasien ini juga dipikirkan akibat

dari kontak dengan obat-obatan yang bersifat stresor oksidatif. Pada pasien ini

didapatkan adanya riwayat konsumsi obat sulfamethoxazol. Sulfamethoxazole

merupakan obat yang termasuk kedalam kelompok obat yang kontraindikasi

untuk diberikan pada pasien dengan defisensi enzim G6PD.24 Beberapa jenis obat-

obatan menyebabkan stres oksidatif dan memicu terjadinya hemolisis pada sel

darah merah yang menderita defisiensi enzim G6PD. Obat-obatan tersebut

membentuk hidrogen peroksida ketika berkontak dengan hemoglobin.6 Ketika

terjadi reaksi ini, gluthation tereduksi mengalami oksidasi secara cepat, sehingga

terjadi gangguan pada pool dari gluthation. Keadaan ini menyebabkan

32

Page 33: kasus revisi 4.docx

hemoglobin mengalami denaturasi dan terbentuk Heinz body. Heinz body merusak

membran sel darah merah lalu memicu terjadinya hemolisis dan anemia akut. Sel

darah merah dengan defisiensi enzim G6PD tidak mampu mereduksi NADP

menjadi NADPH, dimana NADPH ini dibutuhkan untuk membentuk gluthation

tereduksi dari bentuk oksidasinya. Gluthation tereduksi ini memiliki peranan

penting sebagai perlindungan sel melawan cedera oksidatif yang menyebabkan

hemolisis.17

Gambar 10. Interaksi obat-obatan denggan sel darah merah yang menghasilkan hidrogen

peroksida.6

Selama rawatan anak hanya mendapat terapi makanan biasa 1200 Kkal

dan parasetamol 130 mg (T≥38,5 0C), tidak dilakukan tindakan trasnfusi darah .

Transfusi darah diberikan pada keadaan terjadinya hemolisis berat yang

memunculkan anemia berat yang mengancam nyawa.8 Tidak terdapat standar

baku yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan kapan seorang anak dengan

defisiensi enzim G6PD yang mengalami anemia hemolitik akut memerlukan

tindakan transfusi darah.10 Menurut Aboud (2011), didapatkan bahwa indikasi

trasnfusi darah diberikan pada anak dengan hemoglobin < 9 gr/dL.16 Sedangkan

menurut Luzzatto (2009) dinyatakan bahwa transfusi darah diberikan pada anak

anemia penderita defisiensi enzim G6PD bila hemoglobin < 7 gr/dL.10 Komplikasi

terpenting yang memerlukan tindakan trasnfusi darah adalah gagal ginjal, namun

keadaan ini jarang pada anak.10 Pada saat rawatan hari ke 6 dilakukan

pemeriksaan ulang darah lengkap pada pasien dan didapatkan hasil peningkatan

hemoglobin dari sebelumnya. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan

bahwa anemia akibat defisiensi G6PD bersifat self limited disease.17 Kejadian

hemolisis muncul 24-72 jam setelah terpapar, dengan perbaikan dalam 4- 7 hari.18

33

Page 34: kasus revisi 4.docx

Daftar Pustaka

1. Regil LZ. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. WHO/NMH/MNM; 2014: 1-5.

2. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Buku ajar penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007; 4 (2): p.622-53

3. Dhaliwal G, Patricia AC, Lawrence MT. Hemolytic anemia. Americans Family Physician. 2004; 69: 2599-606

4. Berth. Hereditary hemolytic anemias due to red blood cell enzym disorder. In : Wintrobe clinical hematology. Edisi 12. New York: Wolters Kluwer Health; 2009. p. 933-41

5. Luzzatto L, Vincenzo P. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. In : Hematology of infancy and childhood. Canada: Saunder Elsevier Inc; 2009. p. 884-00

6. Beutler E. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. A historical perspective. Blood; 2008; 111: 16-24.

7. Provan D, Charles RJS, Trevor B, John L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. In Oxford handbook of clinical haematology second edition. New York: Oxford University Press Inc; 2004. p. 102-3

8. Lanzkowsky P. Red cell membrane and enzyme defects. manual of pediatric hematology and oncology. New York: Elsevier Inc; 2011. p. 194-9

9. Zhao X, Li Z, Zhang XY. G6PD-MutDB: A mutation and phenotype database of glucose-6-phosphate (G6PD) deficiency. Journal of bioinformatics and computational biology. 2010; 8: 101-9.

10. Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Lancet.2008; 37: 64-74

11. Wibowo S. Perbandingan kadar bilirubin neonatus dengan dan tanpa defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase, infeksi dan tanpa infeksi [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2007

12. Minareci E, Uzunoglu S, Minareci O. Incidence of severe glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency in countryside villages of the central city of manisa, turkey. Manisa: Eur J Gen Med. 2006; 3: 5-10.

13. Raharjani KB. Kadar bilirubin neonatus dengan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase yang mengalami infeksi atau tanpa infeksi. Sari Pediatri. 2008; 10: 122-8.

14. HowesRE, Frederic BP, Anand PP, Oscar AN, Peter WG. G6PD deficiency prevalence and estimates of affected populations in malaria endemic countries. A geostatistical model-based map. Plos Medicine. 2012; 9: 1-101

34

Page 35: kasus revisi 4.docx

15. Peters AL, Cornelis JFVN. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency and malaria. Cytochemical detection of heterozygous G6PD deficiency in women. Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 2009; 57: 1003-11

16. Aboud LN. Occurrence of "G6PD" enzyme deficiency among children suffering from hemolytic anemia in Gaza – Palestine [Tesis]. Gaza: Islamic University-Gaza; 2011.

17. Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency. Iranian J Publ Health. 2008; 37: 1-18

18. Frank JE. Diagnosis and management of G6PD deficiency. American family physician. 2005; 72: 1277-82

19. Drugs that should be avoided-official list. 2014 [diakses 15 februari 2014]. Diunduh dari: www.g6pd.org

20. Hillman RS, Kenneth AA, Henry MR. Hemolytic anemias. In Hematology in clinical practice. Portland: Mc Graw Hill; 2005. p. 135-51

21. Deters A, Kulozik AE. Hemolytic anemia. Practical algorithms in pediatric hematology and oncology. New York: Karger; 2003. p. 18-9

22. Bulan S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak thalassemia beta mayor [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro;2009.

23. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak. Jakarta: Badan penerbit Ikatan Dokter Indonesia; 2011

24. Afssaps. Medicinal products and glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency.2008 [diakses 21 Oktober 2013]. Diunduh dari: www.afssaps.sante.fr

35

Page 36: kasus revisi 4.docx

Incidence of severe Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency in countryside villages of the central city of manisa

Minareci E, Uzunoglu S, Minareci O

i. Clinical Question :Apakah kejadian anemia hemolitik ec defisiensi enzim G6PD ditemukan dinegara lain?

ii. Component of Foreground Question (PICO)Problem : Insiden kejadian defisiensi enzim G6PD sering menjadi

penyebab terjadinya anemia hemolitikIntervention : -Comparison : -Outcome :

Dari 1604 orang penduduk yang diperiksa enzim G6PD, didapatkan hasil 35 orang memiliki defisiensi berat enzim G6PD. Insiden kejadian defisiensi berat enzim G6PD pada populasi ini didapatkan sebesar 2,2%. Terdapat perbedaaan insidensi antara pria (3,2%) dan wanita (1,14%). Insidensi kejadian defisiensi enzim G6PD yang tinggi ini menunjukkan bahwa penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting di daerah Manisa dan oleh karena itu diperlukan tindakan skrining dalam jumlah besar untuk pendeteksian defisiensi enzim ini. Hal ini karena defisiensi ini berhubungan dengan suatu masalah kesehatan yang dapat dicegah.

iii. Invsetigation Methode:Keyword : defisiensi enzim G6PD, kejadian defisiensi enzim berat, pemeriksaan skrining defisiensi enzim G6PD. Found in an article to answer the clinical question with Title : Incidence of Severe Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) Deficiency in Countryside Villages of the Central City of Manisa, Turkey. Eur J gen Med. 2006; 3 (1): 5-10.

36