laporan skenario b blok 12

83
SKENARIO B BLOK 12 Tuan Ahmad, 68 tahun, datang ke UGD dengan keluhan dyspnoe disertai edema pada kedua tungkai. Dokter yang memeriksanya mendiagnosis tuan Ahmad menderita decompensatio cordis. Dari anamnesis diketahui tuan Ahmad pernah dirawat dengan penyakit yang sama akibat hipertensi kronis. Selama ini tuan ahmad mendapat pengobatan kombinasi Captopril (2x25 mg), furosemide (1x20 mg) dan Spironolactone (1x25 mg) untuk pengobatan pemeliharaan terhadap penyakitnya. Sejak dua minggu sebelum datang ke UGD, tuan Ahmad menderita osteoarthritis genu sinistra dan mendapat obat Natrium Diklofenak (2x50 mg) setiap hari dari dokter Puskesmas. KLARIFIKASI ISTILAH Dispnoe : pernapasan yang sukar atau sesak Edema : pengumpulan cairan secara abnormal diruang interselular tubuh Decompensatio cordis : suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metbolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri 1

Upload: merta-aulia

Post on 28-Nov-2015

90 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Skenario B Blok 12

SKENARIO B BLOK 12

Tuan Ahmad, 68 tahun, datang ke UGD dengan keluhan dyspnoe disertai edema pada

kedua tungkai. Dokter yang memeriksanya mendiagnosis tuan Ahmad menderita decompensatio

cordis. Dari anamnesis diketahui tuan Ahmad pernah dirawat dengan penyakit yang sama akibat

hipertensi kronis. Selama ini tuan ahmad mendapat pengobatan kombinasi Captopril (2x25 mg),

furosemide (1x20 mg) dan Spironolactone (1x25 mg) untuk pengobatan pemeliharaan terhadap

penyakitnya.

Sejak dua minggu sebelum datang ke UGD, tuan Ahmad menderita osteoarthritis genu

sinistra dan mendapat obat Natrium Diklofenak (2x50 mg) setiap hari dari dokter Puskesmas.

KLARIFIKASI ISTILAH

Dispnoe : pernapasan yang sukar atau sesak

Edema : pengumpulan cairan secara abnormal diruang interselular tubuh

Decompensatio cordis : suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung

berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi

kebutuhan metbolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada

kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri

Captopril : suatu inhibitor angiotensinogen yang digunakan dalam pengobatan

hipertensi gagal jantung, gagal jantung kongesti dan disfungsi

vetrikel kiri pasca infark myocardium

Furosemide : obat diuretika yang dipakai dalam pengobatan edema yang

berkaitan dengan gagal jantung kongesti atau peyakit hati atau

ginjal dan juga paa pengobatan hipertensi

Spironolactone : senyawa golongan spirolactone suatu inhibitor aldosterone yang

menghalangi pertukaran natrium dan kalium bergantung

aldosterone di tubulus distal sehingga meningkatkan eksresi

natrium dan air sehingga menurunkan eksresi klium, digunakan

1

Page 2: Laporan Skenario B Blok 12

untuk terapi edema, hypokalemia, hipertensi dan aldosterisme

primer

Osteoarthritis genu sinistra : penyakit degenerative sendi non inflamatorik yang ditandai dengan

degenerasi cartilago artikularis, hipertropi tulang pada tepi-tepinya,

dan perubahan pada membrane sinovialis, disertai nyeri dan

kekakuan pada bagian lutut sinistra

Natrium diklofenak : obat gologan anti inflamasi non steroid yang mempunyai efek anti

inflamasi, analgetik dan antipiretik

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Tuan Ahmad, 68 tahun, dating ke UGD dengan keluhan dyspnoe disertai edema pada

kedua tungkai (chief complain)

2. Dokter yang memeriksanya mendiagnosis tuan Ahmad menderita decompensatio cordis

(main problem)

3. Dari anamnesis diketahui tuan Ahmad pernah dirawat dengan penyakit yang sama akibat

hipertensi kronis

4. Selama ini tuan ahmad mendapat pengobatan kombinasi Captopril (2x25 mg), furosemide

(1x20 mg) dan Spironolactone (1x25 mg) untuk pengobatan pemeliharaan terhadap

penyakitnya

5. Sejak dua minggu sebelum dating ke UGD, tuan Ahmad menderita osteoarthritis genu

sinistra dan mendapat obat Natrium Diklofenak (2x50 mg) setiap hari dari dokter

Puskesmas

ANALISIS MASALAH

1. Tuan Ahmad, 68 tahun, dating ke UGD dengan keluhan dyspnoe disertai edema pada kedua

tungkai

a. Bagaimana patofisiologi dispnoe disertai edema? (dalam kasus)

2

Page 3: Laporan Skenario B Blok 12

Edema yang terjadi merupakan akibat dari peningkatan tekanan atrium kiri yang

diteruskan ke belakang ke dalam anyaman vaskular paru-paru, meningkatkan tekanan

kapiler dan vena paru-paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru

melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan melebihi

kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadilah edema interstitial. Peningkatan tekanan

lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema

paru-paru. Kemudian adanya peningkatan retensi natrium dan air sebagai mekanisme

kompensasi tubuh melalui aktivasi RAAS juga turut memberikan peran dalam terjadinya

edema pada kedua tungkai.

Dispnoe terjadi karena peningkatan kerja akibat kongesti vaskular paru-paru yang

menurangi kelenturan paru-paru. Dan juga meningkatnya tahanan aliran udara.

b. Bagaimana hubungan umur dan jenis kelamin terhadap dispnoe? (faktor resiko)

Manifestasi klinis yang menunjukkan adanya tanda-tanda kegagalan jantung kongestif

yaitu dispnu dan kelelahan yang dapat menghambat toleransi latihan dan retensi cairan

yang dapat menimbulkan kongesti paru dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut

akan mengurangi kapasitas fungsional dan kualitas hidup.

Pada orang lanjut usia, fisiologi tubuh semakin menurun akibatnya proses kompensasi

tubuhpun menurun akibatnya manifestasi klinis dispnoe lebih berat pada orang lanjut

usia.

2. Dokter yang memeriksanya mendiagnosis tuan Ahmad menderita decompensatio cordis

a. Bagaimana hubungan dispnoe disertai edema dengan decompensatio cordis?

Gagal jantung dapat terjadi di ventrikel kiri, kanan, dan keduanya. Jika gagal

jantung terjadi pada ventrikel kiri, maka pemompaan darah yg berasal dari paru2 akan

terhambat. Sehingga aliran darah dari paru2 ke ventrikel kiri menumpuk, dan lama

kelamaan meningkatkan tekanan hidrostatik di pembuluh kapiler paru2. Peningkatan

tekanan hidrostatik ini akan menyebabkan keluarnya cairan dari pembuluh darah ke ruang

intertitial jaringan paru2. Peningkatan jumlah cairan ini akan mengganggu proses

pertukaran gas O2 dan CO2 sehingga terjadi hipoxemia yg mengakibatkan terjadinya sesak

nafas.

3

Page 4: Laporan Skenario B Blok 12

Edema pada tungkai pada kasus ini cenderung diakibatkan oleh pemberian Na

diklofenak yang memiliki efek samping retensi cairan dan edema pada daerah terjadinya

osteoarthritis.

b. Bagaimana etiologi decompensatio cordis?

Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut

menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri :

penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit

katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi

( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri,

penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung

kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif (Chandrasoma,

2006).

4

Page 5: Laporan Skenario B Blok 12

c. Bagaimana patofisiologi decompensatio cordis?

Kelainan instrinsik pada kontraktibilitas miokardium yang khas pada gagal

jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan

ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel yang menurun mengurangu curah

sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV

(volume akhir diastolik ventrikel), maka terjadi pula peningkatan tekanan akhir diastolik

ventrikel kiri (LVEDP). Dengan meningkatnya LVEDP, maka terjadi pula peningkatan

tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan lansung selama

diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam anyaman vaskular paru-paru,

meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat

mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru-paru.

Tekanan arteria paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan

kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonar meningkatkan tahanan terhadap ejeksi

ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri juga akan

terjadi pada jantung kanan, dimana pada akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan

edema.

5

Page 6: Laporan Skenario B Blok 12

Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat

dilihat : (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal

akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respon

kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.

Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal

perjalanan gagal jantung. Namun, dengan berlanjutnya gagal jantung kompensasi menjadi

kurang efektif (Price dan Wilson, 2006).

Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung antara lain : (1)

norepinephrine menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas

myocite, (2) angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan

mengaktifkan saraf simpatis, (3) aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium, (4)

endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas myocite, (5) vasopresin

menyebabkan vasokontrikso dan resorbsi air, (6) TNF α merupakan toksisitas langsung

myosite, (7) ANP menyebabkan vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada

myocite, (8) IL 1 dan IL 6 toksisitas myocite (Nugroho, 2009).

Berdasar hukum Fank-Starling, semakin teregang serabut otot jantung pada saat

pengisian diastolik, maka semakin kuat kontraksinya dan akibatnya isi sekuncup

bertambah besar. Oleh karena itu pada gagal jantung, terjadi penambahan volum aliran

balik vena sebagai kompensasi sehingga dapat meningkatkan curah jantung (Masud,

1992).

d. Bagaimana tata laksana (pengobatan) decompensatio cordis?

Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek :

mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan

cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit

yang mendasari.

Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi

aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam,

mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari

rokok, olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan

cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi

6

Page 7: Laporan Skenario B Blok 12

dengan obat-obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat

ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng

dan Sitompul, 2003).

Dapat juga dilakukan tindakan operatif. Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah

antara lain :

Revaskularisasi (perkutan, bedah)

Operasi katup mitral

Aneurismektomi

Kardiomioplasti

External cardiac support

Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.

Implantable cardioverter defibrillators (ICD).

Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.

Ultrafiltrasi, hemodialisis.

e. Bagaimana manifestasi klinis decompensatio cordis?

1. Dispnea

Dispnea disebabkan peningkatan kerja akibat kongesti vaskular paru-paru yang

menurangi kelenturan paru-paru. Dan juga meningkatnya tahanan aliran udara.

2. Peningkatan JVP

Gagal ke belakang pada sisi kanan jantung menimbulkan tanda dan gejala

bendungan vena sistemik. Tekanan vena sentral dapat meningkat secara paradoks

selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap

peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.

3. Edema perifer

7

Page 8: Laporan Skenario B Blok 12

Terjadinya transudasi cairan ke dalam interstitial dan ditambah dengan adanya

retensi natrium dan air dari RAAS.

4. Nokturia

Redistribusi cairan dan rearbsorbsi pada waktu berbaring, juga berkurangnya

vasokonstiksi ginjal pada waktu istirahat.

5. Kulit pucat dan dingin

Sebagai akibat dari aliran darah yang kurang pada organ-organ yang

metobolismenya rendah seperti kulit dan ginjal agar perfusi darah ke jantung dan

otak dapat dipertahankan.

6. Demam ringan dan keringat berlebihan

Vasokonstriksi kulit mengakibatkan terhambatnya kemampuan tubuh untuk

melepaskan panas.

7. Takikardia

Merupakan respon terhadap rangsangan saraf simpatik, sebagai kompensasi tubuh

agar cardiac ouput tercukupi.

f. Bagaimana cara menegakkan diagnosis decompensatio cordis?

Diagnosis klinik berdasar pada riwayat klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium, pemeriksaan EKG, foto rontgen thorax, ekokardiografi, pemeriksaan

radionuklir, dan pemeriksaan invasif (Jota, 2002; Kertohoesodo, 1987)

Kriteria diagnosis gagal jantung dibagi 2 menjadi kriteria utama dan kriteria

tambahan. Kriteria utama : dispnea paroxismal nokturnal (PND), kardiomegali, gallop S-

3, peningkatan tekanan vena, reflex hepatojugular, ronkhi. Kriteria tambahan : edem

pergelangan kaki, batuk malam hari, dispnea waktu aktivitas, hepatomegali, efusi pleura,

takikardi. Diagnosis ditetapkan atas adanya 2 kriteria utama atau 1 kriteria utama

ditambah 2 kriteria tambahan (Fathoni, 2007).

8

Page 9: Laporan Skenario B Blok 12

3. Dari anamnesis diketahui tuan Ahmad pernah dirawat dengan penyakit yang sama akibat

hipertensi kronis

a. Bagamana hubungan decompensatio cordis dengan hipertensi kronis?

Karena jantung tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang adekuat, maka sebagai

kompensasinya jantung akan memompa lebih kuat sehingga tekanan darah meningkat

(hipertensi)

b. Apa saja obat-obat anti hipertensi

1. Diuretik

a. Golongan Tiazid

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat transfort bersama (symport) Na-Cl di

tubulus distal ginjal, sehingga eksresi Na+ dan Cl- meningkat. Ada beberapa obat yang

termasuk golongan tiazid antara lain Hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan

diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortaridon).

b. Obat Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretic)

9

Page 10: Laporan Skenario B Blok 12

Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat

kotransfort Na+, K+, Cl- dan menghambat reabsorpsi air dan elektrolit. Yang termasuk

dalam golongan diuretik kuat antara lain furosemid, bumetamid dan asam etakrinat.

Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali

sehari.

c. Diuretik Hemat Kalium

Amilorlid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaannya

terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia.

2. Penghambat Sistem Adrenergik

a. penghambat adrenoseptor beta (β-bloker)

Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung.

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian betabloker dapat

diakibatkan dengan hambatan reseptor β 1.

b. penghambat adrenoseptor alfa (α-bloker)

Hanya α-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa 1 yang digunakan sebagai

antihipertensi karena hambatan reseptor alfa 2 di ujung saraf andrenergik akan

meningkatkan aktivitas simpatis.

c. Adrenolitik Sentral, yang paling sering digunakan adalah metildopa dan klonidin.

d. Penghambat Saraf Andrenergik

3. Vasodilator

Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos

(otot pembuluh darah).

4. Penghambat Ensim Konversi Angiotensin dan Antagonis Resptor Angiotensin II

a. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA), berperan dalam pengaturan tekanan

darah dan volume cairan tubuh.

10

Page 11: Laporan Skenario B Blok 12

b.Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-inhibitor)

Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak digunakan di

klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. ACE-inhibitor menghambat

perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan

penurunan sekresi aldosteron.

c. Antagonis Antireseptor Angiotensin II (Angiotensin receptor blocer, ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor AT1 dan AT2.

Reseptor AT1 terdapat di otot polos pembuluh darah dan di otot jantung. Selain terdapat

juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal.

5. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot pplos pembuluh darah dan

miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium menimbulkan relaksasi arteriol

sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh

refleks takikardia dan vasokontriksi, terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin

kerja pendek (nifedipin).

4. Selama ini tuan Ahmad mendapat pengobatan kombinasi Captopril (2x25 mg), furosemide

(1x20 mg) dan Spironolactone (1x25 mg) untuk pengobatan pemeliharaan terhadap

penyakitnya

a. Apa indikasi dari:

-captopril

Pengobatan hipertensi ringan sampai sedang. Pada hipertensi berat digunakan bila terapi

standar tidak efektif atau tidak dapat digunakan.

Pengobatan gagal jantung kongestif, digunakan bersama dengan diuretik dan bila

mungkin dengan digitalis.

11

Page 12: Laporan Skenario B Blok 12

-furosemid

Pengobatan edema yang menyertai payah jantung kongestif, sirosis hati dan gangguan

ginjal termasuk sindrom nefrotik. Pengobatan hipertensi, baik diberikan tunggal atau

kombinasi dengan obat antihipertensi. Furosemida sangat berguna untuk keadaan-

keadaan yang membutuhkan diuretik kuat. Pendukung diuresis yang dipaksakan pada

keracunan

-spironolactone

Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan edema

yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan maksud

mengurangi ekskresi kalium, di samping memperbesar diuresis. Pada gagal jantung

kronik spirolankton digunakan untuk mencegah remodelling (pembentukan jaringan

fibrosis miokard). Spirolankton merupakan obat pilihan untuk hipertensi

hiperaldosteronisme primer dan sangat bermanfaat pada kondisi-kondisi yang disertai

hiperaldosteronisme sekunder seperti asites pada sirosis hepatis dan sindrom nefrotik.

b. Apa kontraindikasi dari:

-captopril

Kontraindikasi captopril

Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor lainnya.

Wanita hamil karena bersifat teratogenik dan ibu menyusui karena ACE-inhibitor

dieksresikan melalui ASI dan berdampak buruk terhadap fungsi ginjal bayi.

Pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral atau angioedema pada terapi dengan

penghambat ACE sebelumnya.

-furosemid

Hipersensitif terhadap furosemid, atau komponen lain dalam sediaan atau sulfonil urea,

anuria, pasien koma hepatik atau keadaan penurunan elektrolit parah sampai keadaannya

membaik.

-spironolactone

Anuria, gagal ginjal, hiperkalemia

12

Page 13: Laporan Skenario B Blok 12

c. Bagaimana farmakodinamik dari:

-captopril

-Furosemid

Inhibisi reabsorpsi natrium dan klorida pada lengkung Henle menaik dan tubulus ginjal

distal, mempengaruhi sistem kotranspor ikatan klorida, selanjutnya meningkatkan

ekskresi air, natrium, klorida magnesium dan kalsium.

Diuretik loop; menghambat reabsorpsi natrium dan klorida ion pada proksimal dan distal

tubulus ginjal dan lengkung Henle, dengan mengganggu sistem cotransport klorida-

mengikat, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium, dan klorida.

-Spironolactone

Diuretic hemat-kalium menurunkan absorpsi Na di tubulus dan duktus koligens.

Absorpsi Na (sekresi K) pada tubulus distal yang diatur oleh aldosteron. Spironolakton

berkaitan dengan reseptor aldosteron dan dapat pula menurunkan metabolit aktif

13

Page 14: Laporan Skenario B Blok 12

aldosteron di dalam sel. Kerja adosteron tergantunng pada produksi prostaglandin di

ginjal.

Dalam klinik spironolakton berguna pada terapi kombinasi dengan obat golongan tiazid.

d. Bagaimana farmakokinetik dari:

-Captopril

Captopril tidak membutuhkan biotransformation untuk aktivitasnya. Konsentrasi

plasma puncak tercapai dalam 60-90 menit. Captopril diabsorbsi dengan baik dengan

pemberian oral dengan bioavailabilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan

mengurangi absorbsi sekitar 30%, oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam

sebelum makan.

25-30% obat yang di sirkulasi terikat dengan protein plasma.Sebagian besar ACE-

inhibitor dimetabolisme di hati, kecuali lisonopril yang tidak dimetabolisme.

Eliminasinya melalui ginjal. Lebih dari 95% dari dosis yang diserap di eliminasi

di urin dalam 24 jam; 40-50% nya adalah unchanged drug dan sisa dari disulfide

metabolit inaktif (captropil disulfide dan captopril sistein disulfide). Gangguan fungsi

ginjal akan mengakibatkan akumulasi obat. Maka, pasien dengan fungsi ginjal yang

terganggu, dosis nya harus dikurangi dan selang waktu antar obat diperpanjang.

-Furosemid

1. Penyerapan (Absorpsi)

Bioavailabilitas : PO, 47-64%

Onset : PO / SL, 30-60 menit; IM, 30 menit, IV, 5 menit

Puncak efek : IV, <15 menit; PO / SL, 1-2 jam

Durasi : IV, 2 jam, PO, 6-8 jam

2. Distribusi

Protein terikat : 91-99%

Vd : 0,2 L / kg

14

Page 15: Laporan Skenario B Blok 12

3. Metabolisme

Dimetabolisme di hati (~ 10%)

Metabolit : glukuronida (asam 2-amino-4-kloro-5-

sulfamoylanthranilic [saluamine]) (aktivitas diketahui)

4. Penyisihan (Eliminasi)

Paruh : 30-120 menit; stadium akhir penyakit ginjal, 9 jam

Dialisis peritoneal, tidak, hemodialisis, no: dialyzable

Pembersihan ginjal : 2 mL / menit / kg

Ekskresi : Urin (PO, 50%; IV, 80%)

-Spironolactone

Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi

enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Ikatan dengan protein cukup tinggi.

metabolit utamanya, kanrenon memperlihatkan aktivitas antagonis aldosteron dan turut

berperan dalam aktivitas biologik spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi

enzimatik menjadi kanrenoat yang tidak aktif.

e. Bagaimana dosis dari:

-Captopril

Hipertensi ringan sampai sedang.

Dosis awal 12,5 mg, 2 kali sehari. Dosis pemeliharaan 25 mg, 2 kali sehari, yang

dapat ditingkatkan selang 2–4 minggu, hingga diperoleh respon yang memuaskan. 

Dosis maksimum 50 mg, 2 kali sehari.

Diuretik tiazida dapat ditambahkan jika belum diperoleh respon yang memuaskan.

Dosis diuretik dapat ditingkatkan selang 1–2 minggu hingga diperoleh respon

optimum atau dosis maksimum dicapai.

Hipertensi berat.

Dosis awal 12,5 mg, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan bertahap menjadi

maksimum 50 mg , 3 kali sehari.

15

Page 16: Laporan Skenario B Blok 12

Captopril harus digunakan bersama obat anti hipertensi lain dengan dilakukan

penyesuaian dosis. Dosis Captopril jangan melebihi 150 mg sehari.

Gagal jantung.

Captoril digunakan bila terapi dengan diuretik tidak memadai untuk mengontrol

gejala-gejala.

Dosis awal 6,25 mg atau 12,5 mg dapat meminimalkan efek hipotensif sementara.

Dosis pemeliharaan 25 mg, 2–3 kali sehari, dapat ditingkatkan bertahap dengan

selang paling sedikit 2 minggu. Dosis maksimum 150 mg sehari.

Usia lanjut

Dianjurkan penggunaan dosis awal yang rendah, mengingat kemungkinan

menurunnya fungsi ginjal atau organ lain pada penderita usia lanjut.

Anak-anak

Dosis awal 0,3 mg/kg berat badan sampai maksimum 6 mg/kg berat badan perhari

dalam 2–3 dosis, tergantung respon.

-Furosemid

Sesuai kasus, dewasa:

Oral : Dosis awal 20-80 mg/dosis,dengan peningkatan 20-40 mg/dosis pada

interval 6-8 jam; umumnya dosis pemeliharaan adalah dua kali sehari atau setiap hari;

mungkin dititrasi lebih dari 600 mg/hari pada keadaan edermatous parah.

Untuk hipertensi : 20-80 mg/hari dalam dua dosis terbagi.

I.M.I.V : 20-40 mg/dosis, yang mungkin diulang 1-2 kali sesuai kebutuhan dan

ditingkatkan 20 mg/dosis sampai tercapai efek yang diinginkan.Interval dosis yang

umum : 6-12 jam ;

Untuk edema paru-paru akut, dosis yang umum digunakan adalah 40 mg, I.V selama 1-2

menit. Jika belum tercapai respon, dosis ditingkatkan sampai 80 mg.

Infus I.V kontinyu : Dosis bolus i.v adalah 0,1mg/kg diikuti dengan infus i.v

kontinyu 0,1 mg/kg/hari-dosis ditingkatkan setiap 2 jam sampai maksimum 0.4

16

Page 17: Laporan Skenario B Blok 12

mg/kg/jam jika output urin adalah <1 mL/kg/jam, Dosis ini telah terbukti efektif dan

menurunkan kebutuhan harian furosemid dibandingkan dengan penggunaan furosemid

yang tidak teratur.

Gagal jantung refraktori :

Oral, i.v : dosis 8 g/hari telah digunakan.

-Spironolactone

Sediaan dan dosis : Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50, dan 100 mg.

Dosis dewasa berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100 mg

dalam dosis tunggal atau dosis terbagi.

f. Bagaimana interaksi ketiga obat itu?

Captopril + Furosemid

Furosemide dapat meningkatkan efek ACE inhibitor (Captopril). Hal ini

kemungkinan karena adanya penghambat Angiotensin II oleh ACE inhibitor.

Diuretic merangsang sekresi renin dan mengaktifkan system Renin Anggiotensin

Aldosteron sehingga memberi efek sinergistik dengan penghambat ACE.

Captopril + Spironolactone

Interaksi dengan diuretic hemat kalium, yang menyebabkan hyperkalemia.

Captopril menururunkan aldosteron, sehingga meningkatkan ekskresi natrium dan

air serta menyebabkan retensi kalium, jika dikombinasikan dengan diuretik hemat

kalium akan menyebabkan hiperkalemia.

Furosemid + Spironolactone

Kombinasi furosemide bersama diuretic hemat kalium (Spironolactone) dapat

menurunkan resiko hypokalemia.

g. Apa efek samping dari:

-Captopril

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini diantaranya :

17

Page 18: Laporan Skenario B Blok 12

1. Hipotensi. Dapat terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor, terutama pada

hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus hati-hati pada

pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat

kombinasi beberapa antihipertensi.

2. Batuk Kering. Merupakan efek samping yang sering terjadi dengan insidens 5-

20%, lebih sering pada wanita dan terjadi pada malam hari. Diduga efek samping

ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar bradikinin dan substansi P, atau

prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada besarnya dosis dan bersifat

reversibel bila obat dihentikan.

3. Hiperkalemia. Dapat terjadi pada pasien dnegan gangguan fungsi ginjal atau

pasien yang mengalami diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau beta

bloker.

4. Rash dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga

dapat terjadi dengan ACE-inhibitor yang lain. Sekitar 10% pemakai kaptopril

mengalami rash makulopapular yang bersifat reversibel pada penghentian obat

atau dengan pemberian antihistamin.

5. Edema angioneurotik terjadi pada 0,1-0,2 % pasien berupa pembengkakan di

hidung, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan nafas yang bisa berakibat

fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah pemberian

ACE-inhibitor. Efek samping yang berat sering memerlukan epinefrin,

antihistamin atau kortikosteroid.

6. Gagal ginjal Akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri

renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi. Hal ini disebabkan

dominasi ACE-inhibitor pada arteriol eferen yang menyebabkan tekanan filtrasi

glomerulus semakin rendah sehingga filtrasi glomerulus semakin menurun.

7. Proteinuria jika pemberian lebih dari 1 gram/hari. Secara umum, ACE-inhibitor

diiindikasikan untuk mengurangi proteinuria, karena obat ini bersifat renoprotektif

pada berbagai kelainan ginjal.

8. Eefek teratogenik. Terutama terjadi pada pemberian selama trimester 2 dan 3

kehamilan. Dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus akibat

18

Page 19: Laporan Skenario B Blok 12

berbagai kelainan lainnya. Oleh karena itu, begitu ada kecurigaan kehamilan,

maka ACE-inhibitor harus segera dihentikan.

9. Neutropenia, anemia, trombositopenia.

-Furosemid

Hipotensi ortostatik, tromboflebitis, aortitis kronik, hipotensi akut,serangan jantung

(akibat pemberian melalui I.V atau I.M), parethesias, vertigo, pusing, kepala terasa

ringan, sakit kepala, pandangan kabur, demam, tidak bisa beristirahat, hiperglikemia,

hiperurisemia, hipokalemia, hipokloremia, alkalosis metabolik, hipokalsemia,

hipomagnasemia, hiponatremia, dermatitis eksfoliatif, eritema multiform, purpura,

fotosensitifitas, urtikaria, rashm pruritusm vaskulitis kutan, spasmus saluran urin,

frekuensi uriner, anemia aplastik (jarang), trombositopenia, agranulositosis (jarang),

anemia hemolitik, anemia, leukopenia, anemia, gangguan pendengaran (sementara atau

permanen; pada pemberian I.M atau I.V). tinitus, tuli sementara (pada pemberian i.m

atau i.v cepat), vaskulitis, alergi nefritis intestinal, glikosuria, penurunan kecepatan

filtrasi dan aliran darah pada ginjal (karena overdiuresis), kenaikan BUN  sementara.

-Spironolactone

Efek toksik yang utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang sering terjadi bila

obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi efek

toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan bersama dengan tiazid pada

pasien dengan fungsi ginjal yang berat. Efek samping lain yang ringan dan reversibel

di antaranya ginekomastia, efek samping mirip androgen dan gejala saluran cerna.

5. Sejak dua minggu sebelum datang ke UGD, tuan Ahmad menderita osteoarthritis genu sinistra

dan mendapat obat Natrium Diklofenak (2x50 mg) setiap hari dari dokter Puskesmas

a. Bagaimana etiologi osteoarthritis?

Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan

struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang

rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng

19

Page 20: Laporan Skenario B Blok 12

tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya

peradangan, dan melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi.

Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling umum di

dunia. Satu dari tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda radiologis terhadap OA. OA

pada lutut merupakan tipe OA yang paling umum dijumpai pada orang dewasa. Penelitian

epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan bahwa orang dewasa dengan kelompok

umur 60-64 tahun sebanyak 22% . Pada pria dengan kelompok umur yang sama, dijumpai

23% menderita OA. pada lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita OA

pada lutut kiri. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden OA

pada lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7.

Menurut McKeag (1992) ada beberapa predisposi yang berhubungan erat dengan

terjadinya osteoartritis sendi lutut, yaitu : (1) umur, umumnya osteoartritis ditemukan

pada pasien berumur di atas 50 tahun dan gejala klinisnya semakin memburuk seiring

dengan bertambahnya usia, (2) gender, wanita lebih banyak terkena osteoartritis

dibandingkan laki-laki, (3) etnis, osteoartritis lutut sering ditemukan pada orang asia

sedangkan osteoartritis sendi panggul lebih sering pada orang kaukasia, (4) geografis,

pada suatu ”prevalence study” menunjukkan osteoartritis lebih jarang ditemukan pada

daerah yang lebih dingin seperti Alaska dan Finlandia, (5) obesitas, semakin bertambah

berat badan maka resiko terjadinya osteoartritis lutut semakin tinggi, (6) ”bone density”,

penderita osteoporosis atau osteopenia cenderung juga menderita osteoartritis, (7)

hiperurisemia, seseorang yang menunjukkan peningkatan serum uric acid menunjukkan

juga cenderung terkena osteoartritis. Parjoto (2000) menambahkan (8) aktifitas

fisik/pekerjaan, Pekerjaan yang banyak membebani sendi lutut mempunyai resiko

terserang osteoartritis lebih besar (9) hormon/metabolisme, diabetes melitus berperan

sebagai faktor predisposisi timbulnya osteoartritis. Di lain pihak Merino (1994)

menyebutkan pula bahwa (10) injury, pada persendian terutama oleh infeksi dan trauma,

serta penyakit sinovial ikut menjadi predisposisi terjadinya osteoartritis.

b. Bagaimana patofisiologi osteoarthritis?

Pada osteoartritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan sendi.

Perubahan tersebut berupa peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak

makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan dan

20

Page 21: Laporan Skenario B Blok 12

kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat

kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses degenerasi dari

kartilago artikular menghasilkan suatu subtansi atau zat yang dapat menimbulkan suatu

reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk menghasilkan IL-1 yang akan

meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks ekstraseluler

Gambaran utama pada osteoarthritis adalah:

1. Destruksi kartilago yang progresif

2. terbentuknya kista subartikular

3. Sklerosis yang mengelilingi tulang

4. terbentuknya osteofit

5. adanya fibrosis kapsul

Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang rawan untuk

menahan kekuatan tekanan dari sendi dan pengaruh-pengaruh yang lain yang merupakan

efek dari tekanan. Penurunan kekuatan dari tulang rawan disertai oleh perubahan yang

tidak sesuai dari kolagen. Pada level teratas dari tempat degradasi kolagen, memberikan

tekanan yang berlebihan pada serabut saraf dan tentu saja menimbulkan kerusakan

mekanik.

Kondrosit sendiri akan mengalami kerusakan. Selanjutnya akan terjadi perubahan

komposisi molekuler dan matriks rawan sendi, yang diikuti oleh kelainan fungsi matriks

rawan sendi. Melalui mikroskop terlihat permukaan tulang rawan mengalami fibrilasi dan

berlapis-lapis. Hilangnya tulang rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi.

Pada tepi sendi akan timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan

pembentukan osteofit. Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggap suatu usaha untuk

memperbaiki dan membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas permukaan

sendi yang dapat menerima beban, osteofit diharapkan dapat memperbaiki perubahan-

perubahan awal tulang rawan sendi pada osteoartritis. Lesi akan meluas dari pinggir sendi

sepanjang garis permukaan sendi.

Adanya pengikisan yang progresif menyebabkan tulang dibawahnya juga ikut terlibat.

Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha untuk melindungi permukaan yang

tidak terkena. Namun ternyata peningkatan tekanan yang terjadi melebihi kekuatan

21

Page 22: Laporan Skenario B Blok 12

biomekanik tulang. Sehingga tulang subkondral merespon dengan meningkatkan

selularitas dan invasi vaskular, akibatnya tulang menjadi tebal dan padat (eburnasi).

Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus, rusak dan menimbulkan gejala-gejala

osteoartritis seperti nyeri sendi, kaku dan deformitas. Melihat adanya proses kerusakan

dan proses perbaikan yang sekaligus terjadi, maka osteoartritis dapat dianggap sebagai

kegagalan sendi yang progressif.

Jadi, secara ringkas Osteoarthritis adalah radang sendi akibat ausnya tulang persendian

karena sering dipakai (sering memikul beban tubuh); kerusakan rawan sendi disertai

tulang baru; kandungan cairan sinovial dalam kartilago akan menurun sehingga

proteoglikan juga menurun. Karena efek pelindung proteoglikan menurun, jaringan

kolagen pada kartilago akan mengalami degradasi dan kemudian kembali mengalami

degenerasi.

c. Bagaimana tata laksana osteoarthritis?

Penatalaksanaan OA lutut terdiri dari terapi farmakologik dan non farmakologik.

Terapi farmakologik dapat berupa analgesik baik dari golongan non steroid (NSAID)

maupun golongan steroid, dapat diberikan oral maupun injeksi intraartikular. Suplemen

glukosamin sulfat dan kondroitin sulfat sebagai bahan dasar tulang rawan sendi juga

sering digunakan sebagai terapi OA. Mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti,

tetapi dikatakan bermanfaat dalam metabolisme kartilago sendi dan mempunyai efek anti

inflamasi. Injeksi intraartikular dengan asam hyaluronat sebagai viscosuplement

dikatakan juga dapat memperbaiki kekentalan dan elastisitas cairan sinovial, efek anti

inflamasi dan anti nosiseptif, menghambat degradasi enzim kartilago sendi, spons

mekanik (absorbsi mediator inflamasi), umpan balik positif untuk sintesis asam

hyaluronat endogen, dan merangsang sintesis matriks tulang sendi.

Terapi non farmakologis terdiri dari edukasi pada penderita, terapi modalitas,

latihan, dan pemberian alat bantu/ortesa. Terapi modalitas bisa berupa terapi panas (Short

wave diathermy, micro wave diathermy, ultrasound diathermy),  terapi dingin, TENS, dan

terapi laser. Pemakaian terapi panas bertujuan mengurangi nyeri, mengurangi spasme

otot, mengurangi kekakuan sendi, menambah ekstensibilitas tendon. Kompres dingin

pada sendi OA akan menghambat aktivitas kolagenase di dalam sinovium. Kompres

dingin juga mengurangi spasme otot. Terapi listrik TENS (Transcutaneous Electrical

22

Page 23: Laporan Skenario B Blok 12

Nerve Stimulation) digunakan untuk mengurangi nyeri melalui kerjanya menaikkan

ambang rangsang nyeri. Terapi laser pada dekade terakhir ini mulai populer digunakan

pada OA untuk mengurangi nyeri.

Ortosis atau alat bantu pada OA lutut diberikan untuk mengurangi beban sendi,

menstabilkan sendi, mengurangi gerakan sendi, memelihara sendi pada posisi fungsi

maksimal, dan mencegah deformitas.         

Terapi bedah (arthroscopy, osteotomy, atrhroplasty) diindikasikan pada pasien

yang tidak responsif dengan terapi konservatif.

d. Bagaimana manifestasi klinis osteoarthritis?

Nyeri dan kekakuan pada satu atau lebih sendi, biasanya pada tangan, pergelangan

tangan, kaki, lutut, spina bagian atas dan bawah, panggul, dan bahu. Nyeri dapat

berkaitan dengan rasa kesemutan atau kebas, terutama pada malam hari.

Pembengkakan sendi yang terkena, disertai penurunan rentang gerak. Sendi

mungkin mengalami deformitas.

Nodus Heberden, pertumbuhan tulang di sendi interfalangeal distal pada jari

tangan, dapat terbentuk.

Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman

yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia.

Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat

badan terutama pada OA lutut.

Tanda – tanda peradangan

Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa

hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena

adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada

perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut.

Krepitasi

Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum

dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya

23

Page 24: Laporan Skenario B Blok 12

sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring

dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu.

Kaku pagi

Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak

melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang

cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.

e. Bagaimana cara mendiagnosis osteoarthritis?

Diagnosis OA lutut dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang rutin yang dilakukan untuk evaluasi OA lutut adalah

pemeriksaan rontgen konvensional. Tidak ada pemeriksaan darah apapun yang berperan

dalam diagnosa penyakit ini. Pemeriksaan darah hanya untuk mencari penyebab.

Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan penyempitan celah sendi.

Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren & Lawrence menyusun gradasi OA lutut

menjadi :

Grade 0 :  tidak ada OA

Grade 1 :  sendi dalam batas normal dengan osteofit meragukan

Grade 2 :  terdapat osteofit yang jelas tetapi tepi celah sendi baik dan tak

nampak deformitas tulang.

Grade 3 :  terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan penyempitan celah

sendi.

Grade 4 :  terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan disertai hilangnya

celah sendi.

f. Apa indikasi natrium diklofenak?

Indikasi Natrium Diklofenak adalah pengobatan akut dan kronis gejala-gejala reumatoid

artritis, osteoartritis dan ankilosing spondilitis.

24

Page 25: Laporan Skenario B Blok 12

g. Apa kontraindikasi natrium diklofenak?

Kontraindikasi Natrium Diklofenak, antara lain:

Penderita yang hipersensitif terhadap diklofenak atau yang menderita asma, urtikaria

atau alergi pada pemberian asam asetilsalisilat atau NSAIA lain, karena terdapat

potensial terjadi sensitivitas silang antara NSAIA dan asam asetil salisilat yang dapat

menyebabkan reaksi anafilaktik parah.

Penderita tukak lambung.

h. Bagaimana dosis natrium diklofenak?

1. Osteoarthritis

Oral

Preparat Dosis

Diclofenac potassium conventional

tablets

100–150 mg perhari, diberrikan dengan 50 mg

2 atau 3 kali sehari

Diclofenac sodium delayed-release

tablets

100–150 mg perhari, 50 mg 2 atau 3 sehari atau

75 mg dua kali sehari

Diclofenac sodium extended-release

tablets

100 mg sekali sehari

Diclofenac sodium (in fixed

combination with misoprostol)

50 mg 3 kali sehari

Topical (gel)

Untuk nyeri pada sendi ekstremitas bawah (lutut, tungkai, ankles), dioleskan

dengan 4 g diclofenac sodium 1% gel 4 kali sehari.

Untuk nyeri sendi ekstremitas atas, pijatkan 2 g diclofenac sodium 1% gel 4

kali sehari.

2. Rheumatoid Arthritis

Oral

Preparation Dosage

Diclofenac potassium conventional

tablets

150–200 mg /hari, 50 mg 3 atau 4 kali sehari

25

Page 26: Laporan Skenario B Blok 12

Diclofenac sodium delayed-release

tablets

150–200 mg /hari, 50 mg 3 atau 4 kali sehari

atau 75 mg 2 kali sehari

Diclofenac sodium extended-release

tablets

100 mg sekali sehari

Diclofenac sodium (in fixed

combination with misoprostol)

50 mg 3 atau 4 kali sehari

3. Ankylosing Spondylitis

Oral : 100–125 mg sehari (diclofenac sodium delayed-release tablets);

4. Dysmenorrhea

Oral: 50 mg 3 kali sehari (diclofenac potassium conventional tablets).

i. Bagaimana farmakokinetik natrium diklofenak?

a. Absorpsi

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini

terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas pertama

(first-pass) sebesar 40-50%. Maksudnya, Obat-obatan tidak semua yang diabsorpsi

dapat mencapai sirkulasi sistemik terutama pemberiaan oral karena sebagian akan

dimetabolisme oleh enzim didinding usus atau di hati pada lintasan pertama melalui

organ-organ tersebut. Waktu paruh natrium diklofenak adalah selama 1-3 jam.

Diklofenak pemberian topikal terabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik, tetapi

konsentrasi plasmanya sangat rendah jika dibandingkan dengan pemberian oral.

Pemberian 4 g Natrium diklofenak secara topikal (gel 1%) 4x sehari pada satu lutut,

konsentrasi mean peak plasma sebanyak 15 ng/ml terjadi setelah 14 jam. Pada

pemberian gel ke kedua lutut dan kedua tangan 4x sehari (48 g gel sehari),

konsentrasi mean peak plasma sebanyak 53,8 ng/ml terjadi setelah 10 jam.

Pemaparan sistemik 16 g atau 48 g sehari adalah sebanyak 6 atau 20% jika

dibandingkan dengan administrasi oral dosis 50 mg 3x sehari.

Penggunaan heat patch selama 15 menit sebelum pemakaian gel tidak berpengaruh

terhadap absorpsi sistemik.

26

Page 27: Laporan Skenario B Blok 12

a. Distribusi 

Untuk sediaan topikal, seperti gel, diklofenak tidak mengalami distribusi. Sediaan

oral, diklofenak terdistribusi ke cairan sinovial. Mencapai puncak 60-70% yang

terdapat pada plasma. Namun, konsentrasi diklofenak dan metabolitnya pada cairan

sinovial melebihi konsentrasi dalam plasma setelah 3-6 jam. Diklofenak terikat

secara kuat dan reversibel pada protein plasma, terutama albumin.Pada konsentrasi

plasma 0,15-105 mcg/ml, diklofenak terikat 99-99,8% pada albumin.

Diklofenak pemberian topikal tidak mengalami distribusi.

a. Metabolisme 

Metabolisme diklofenak secara jelas belum diketahui, namun dimetabolisme secara

cepat di hati. Diklofenak mengalami hidroksilasi, diikuti konjugasi dengan asam

glukoronat, amida taurin, asam sulfat dan ligan biogenik lain. Konjugasi dari

unchanged drug juga terjadi. Hidroksilasi dari cincin aromatik diklorofenil

menghasilkan 4′-hidroksidiklofenak dan 3′-hidroksidiklofenak. Konjugasi dengan

asam glukoronat dan taurin biasanya terjadi pada gugus karboksil dari cincin fenil

asetat dan konjugasi dengan asam sulfat terjadi pada gugus 4′ hidroksil dari cincin

aromatik diklorofenil. 3′ dan/atau 4′-hidroksi diklofenak dapat melalui 4′-0. Metilasi

membentuk 3′-hidroksi-4′-metoksi diklofenak. Diklofenak pemberian topikal tidak

mengalami metabolisme.

b. Eliminasi 

Diklofenak dieksresikan melalui urin dan feses dengan jumlah minimal yang

dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (unchanged). Eksresi melalui feses

melalui eliminasi biliari. Konjugat dari diklofenak yang tidak berubah dieksresikan

melalui empedu (bile), sementara metabolit terhidroksilasi dieksresi melalui urin.

j. Bagaimana farmakodinamik natrium diklofenak?

Diklofenak mempunyai aktivitas analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Diklofenak

mempunyai kemampuan melawan COX-2 lebih baik dibandingkan dengan indometasin,

27

Page 28: Laporan Skenario B Blok 12

naproxen, atau beberapa NSAIA lainnya. Sebagai tambahan, diklofenak terlihat/dapat

mereduksi konsentrasi intraselular dari AA bebas dalam leukosit, yang kemungkinan

dengan merubah pelepasan atau pengambilannya. (GG Ed.11, hal 698)

Mekanisme kerja farmakologi secara pasti belum jelas, namun banyak aksi/aktivitas pada

dasarnya adalah menginhibisi sintesis prostaglandin. Diklofenak menginhibisi sintesis

prostaglandin di dalam jaringan tubuh dengan menginhibisi siklooksigenase; sedikitnya 2

isoenzim, siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2) (juga tertuju ke

sebagai prostaglandin G/H sintase-1 [PGHS-1] dan -2 [PGHS-2]), telah diidentifikasikan

dengan mengkatalis/memecah formasi/bentuk dari prostaglandin di dalam jalur asam

arakidonat. Walaupun mekanisme pastinya belum jelas, NSAIA berfungsi sebagai

antiinflamasi, analgesik dan antipiretik yang pada dasarnya menginhibisi isoenzim COX-

2; menginhibisi COX-1 kemungkinan terhadap obat yang tidak dihendaki (drug’s

unwanted) pada mukosa GI dan agregasi platelet. (AHFS 2010,hal.2086).

k. Bagaimana efek samping natrium diklofenak?

Efek samping Natrium Diklofenak, antara lain:

Efek samping yang umum terjadi seperti nyeri/keram perut, sakit kepala, retensi

cairan, diare, nausea, konstipasi, flatulen, kelainan pada hasil uji hati, indigesti, tukak

lambung, pusing, ruam, pruritus dan tinitus.

Peninggian enzim-enzim aminotransferase (SGOT, SGPT) hepatitis.

Dalam kasus terbatas gangguan hematologi (trombositopenia, leukopenia, anemia,

agranulositosis).

l. Bagaimana interaksi keempat obat tersebut

diclofenac + furosemide

diclofenac meningkatkan Kalium serum sedangkan furosemide menurunkan. Efek

interaksi ini belum jelas, digunakan peringatan. Diclofenac menurunkan efek

furosemide dengan pharmacodynamic antagonism. Interaksi minor atau non-

signifikan. NSAID menurunkan sintesis prostaglandin.

28

Page 29: Laporan Skenario B Blok 12

Hipertensi Kronik

Decompensatio Cordis

Terapi Captopril, Furosemide, dan Spironoklatone

Osteoarthritis genu sinistra

Terapi obat natrium diklofenak

Decompensatio cordis berulang

Dyspneu dan Edema

diclofenac + captopril

diclofenac menurunkan efek kaptopril secara pharmacodynamic antagonism.

NSAID menurunkan sintesis prostaglandin untuk vasodilatasi di renal, sehingga

mempengaruhi homeostasis cairan dan dapat mengurangi efek antihipertensi.

keduanya meningkatkan toksisitas satu sama lain pada kerusakan fungsi ginjal,

terutama pada usia tua.

spironolactone + diclofenac

spironolactone dan diclofenac sama-sama meningkatkan kalium serum.

KETERKAITAN ANTAR MASALAH

29

Page 30: Laporan Skenario B Blok 12

HIPOTESIS

Tn. Ahmad, 68 tahun menderita decompensatio cordis berulang yang disebabkan oleh interaksi

obat Natium Diklofenak dengan kombinasi obat anti hipertensi (captopril, furosemid,

spironolactone).

SINTESIS MASALAH

I. CAPTOPRIL

Merupakan salah satu obat anti hipertensi golongan ACE Inhibitor. Cara kerja

ACE Inhibitor adalah menghambat perubahan Angiotensin I (inaktiv) menjadi

Angiotensin II (aktiv),dimana AT II menimbulkan sekresi Aldosteron yang bisa

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan retensi Natrium dan air. Terhambatnya

pembentukan AT II akan menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi Na dan air.

ACE Inhibitor menyebabkan terjadinya pelepasan bradykinin yang mempunyai efek

vasodilator dan bisa merangsang batuk kering.

ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat. Kombinasi

dengan diuretik memberikan efek sinergitik, sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat

dicegah. Kombinasi dengan betabloker memberikan efek adaptif. Kombinasi dengan

vasodilator lain, termasuk prozosin dan antagonis kalsium, memberi efek yang baik.

Tetapi pemberian bersama penhambat adrenergik lain yang menghambat respons

adrenergik alfa dan beta sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan hipotensi berat

dan berkepanjangan.

ACE-inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Obat ini

juga menunjukan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin

sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas. Obat ini

juga sering digunakan untuk mengurangi proteinuria pada sindrom nefrotik dan nefropati

DM. Selain itu, ACE-inhibitor juga sangat baik untuk hipertensi dengan atropi ventrikel

kiri, PJK, dll.

Indikasi Captopril

30

Page 31: Laporan Skenario B Blok 12

Pengobatan hipertensi ringan sampai sedang. Pada hipertensi berat digunakan bila terapi

standar tidak efektif atau tidak dapat digunakan.

Pengobatan gagal jantung kongestif, digunakan bersama dengan diuretik dan bila

mungkin dengan digitalis.

Kontraindikasi Captopril

Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor lainnya.

Wanita hamil karena bersifat teratogenik dan ibu menyusui karena ACE-inhibitor

dieksresikan melalui ASI dan berdampak buruk terhadap fungsi ginjal bayi.

Pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral atau angioedema pada terapi dengan

penghambat ACE sebelumnya.

Farmakokinetik

Captopril tidak membutuhkan biotransformation untuk aktivitasnya. Konsentrasi

plasma puncak tercapai dalam 60-90 menit. Captopril diabsorbsi dengan baik dengan

pemberian oral dengan bioavailabilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan

mengurangi absorbsi sekitar 30%, oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam

sebelum makan.

25-30% obat yang di sirkulasi terikat dengan protein plasma.Sebagian besar ACE-

inhibitor dimetabolisme di hati, kecuali lisonopril yang tidak dimetabolisme.

Eliminasinya melalui ginjal. Lebih dari 95% dari dosis yang diserap di eliminasi

di urin dalam 24 jam; 40-50% nya adalah unchanged drug dan sisa dari disulfide

metabolit inaktif (captropil disulfide dan captopril sistein disulfide). Gangguan fungsi

ginjal akan mengakibatkan akumulasi obat. Maka, pasien dengan fungsi ginjal yang

terganggu, dosis nya harus dikurangi dan selang waktu antar obat diperpanjang.

Farmakodinamik Captopril

Dosis Captopril

31

Page 32: Laporan Skenario B Blok 12

Penghambat ACE harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis

target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang terbukti efektif mengurangi

mortalitas/ hospitalisasi dalam uji klinik yang besar.

Hipertensi ringan sampai sedang.

Dosis awal 12,5 mg, 2 kali sehari. Dosis pemeliharaan 25 mg, 2 kali sehari, yang

dapat ditingkatkan selang 2–4 minggu, hingga diperoleh respon yang memuaskan. 

Dosis maksimum 50 mg, 2 kali sehari.

Diuretik tiazida dapat ditambahkan jika belum diperoleh respon yang memuaskan.

Dosis diuretik dapat ditingkatkan selang 1–2 minggu hingga diperoleh respon

optimum atau dosis maksimum dicapai.

Hipertensi berat.

Dosis awal 12,5 mg, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan bertahap menjadi

maksimum 50 mg , 3 kali sehari.

Captopril harus digunakan bersama obat anti hipertensi lain dengan dilakukan

penyesuaian dosis. Dosis Captopril jangan melebihi 150 mg sehari.

Gagal jantung.

Captoril digunakan bila terapi dengan diuretik tidak memadai untuk mengontrol

gejala-gejala.

Dosis awal 6,25 mg atau 12,5 mg dapat meminimalkan efek hipotensif sementara.

Dosis pemeliharaan 25 mg, 2–3 kali sehari, dapat ditingkatkan bertahap dengan

selang paling sedikit 2 minggu. Dosis maksimum 150 mg sehari.

Usia lanjut

Dianjurkan penggunaan dosis awal yang rendah, mengingat kemungkinan

menurunnya fungsi ginjal atau organ lain pada penderita usia lanjut.

Anak-anak

Dosis awal 0,3 mg/kg berat badan sampai maksimum 6 mg/kg berat badan perhari

dalam 2–3 dosis, tergantung respon.

Efek samping Captopril

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini diantaranya :

32

Page 33: Laporan Skenario B Blok 12

1. Hipotensi. Dapat terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor, terutama pada

hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus hati-hati pada

pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat

kombinasi beberapa antihipertensi.

2. Batuk Kering. Merupakan efek samping yang sering terjadi dengan insidens 5-

20%, lebih sering pada wanita dan terjadi pada malam hari. Diduga efek samping

ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar bradikinin dan substansi P, atau

prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada besarnya dosis dan bersifat

reversibel bila obat dihentikan.

3. Hiperkalemia. Dapat terjadi pada pasien dnegan gangguan fungsi ginjal atau

pasien yang mengalami diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau beta

bloker.

4. Rash dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga

dapat terjadi dengan ACE-inhibitor yang lain. Sekitar 10% pemakai kaptopril

mengalami rash makulopapular yang bersifat reversibel pada penghentian obat

atau dengan pemberian antihistamin.

5. Edema angioneurotik terjadi pada 0,1-0,2 % pasien berupa pembengkakan di

hidung, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan nafas yang bisa berakibat

fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah pemberian

ACE-inhibitor. Efek samping yang berat sering memerlukan epinefrin,

antihistamin atau kortikosteroid.

6. Gagal ginjal Akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri

renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi. Hal ini disebabkan

dominasi ACE-inhibitor pada arteriol eferen yang menyebabkan tekanan filtrasi

glomerulus semakin rendah sehingga filtrasi glomerulus semakin menurun.

7. Proteinuria jika pemberian lebih dari 1 gram/hari. Secara umum, ACE-inhibitor

diiindikasikan untuk mengurangi proteinuria, karena obat ini bersifat renoprotektif

pada berbagai kelainan ginjal.

8. Eefek teratogenik. Terutama terjadi pada pemberian selama trimester 2 dan 3

kehamilan. Dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus akibat

33

Page 34: Laporan Skenario B Blok 12

berbagai kelainan lainnya. Oleh karena itu, begitu ada kecurigaan kehamilan,

maka ACE-inhibitor harus segera dihentikan.

9. Neutropenia, anemia, trombositopenia.

Interaksi Obat

Obat-obat imunosupresan dapat menyebabkan diskrasia darah pada pengguna

Captopril dengan gagal ginjal.

Suplemen potassium atau obat diuretik yang mengandung potassium, dapat terjadi

peningkatan yang berarti pada serum potassium.

Probenesid, dapat mengurangi bersihan ginjal dari Captopril.

Obat antiinflamasi non steroid, dapat mengurangi efektivitas antihipertensi.

Obat diuretik meningkatkan efek antihipertensi Captopril.

Captopril dilaporkan bekerja sinergis dengan vasodilator perifer seperti minoxidil.

II. FUROSEMIDE

A. Deskripsi Furosemide

Furosemida adalah diuretik derivat sulfonamida. Aktivitas diuretik furosemida

terutama dengan jalan menghambat absorpsi natrium dan klorida, tidak hanya pada

tubulus proksimal dan tubulus distal, tapi juga pada loop of Henle.

Tempat kerja yang spesifik ini menghasilkan efektivitas kerja yang tinggi.

Efektivitas kerja furosemida ditingkatkan dengan efek vasodilatasi dan penurunan

hambatan vaskuler sehingga akan meningkatkan aliran darah ke ginjal. Furosemida juga

menunjukkan aktivitas menurunkan tekanan darah sebagai akibat penurunan volume

plasma.

34

Page 35: Laporan Skenario B Blok 12

Rumus Kimia

Nama kimia :Asam-4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat

Nama lazim :Furosemidum, Furosemida

Rumus kimia : C12H11ClN2O5S

BM : 330,74

Nama Dagang :Classic, Cetasix, Diurefo, Furosemid,Furosix,

Farsiretic, Farsix, Impugan, Lasix, dsb.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam kloroform

P, larut dalam 75 bagian etanol (95%) P dan dalam

850 bagian eter P; larut dalam larutan alkali

hidroksida.

Khasiat : diuretikum

Dosis maksimum : 40 mg  (Ditjen POM, 1995).

Kelompok Obat : Diuretika kuat.

Komposisi : Tiap tablet mengandung 40 mg furosemida.

Bentuk Sediaan : Tablet 40 mg, Injeksi i.v./i.m. 10mg/ml, Ampul 2

ml

Pamerian :serbuk hablur; putih atau hampir putih; tidak

berbau; hampir tidak berasa.

Kemasan : Ktk 10

B. Mekanisme Kerja

35

Page 36: Laporan Skenario B Blok 12

Inhibisi reabsorpsi natrium dan klorida pada lengkung Henle menaik dan tubulus

ginjal distal, mempengaruhi sistem kotranspor ikatan klorida, selanjutnya meningkatkan

ekskresi air, natrium, klorida magnesium dan kalsium.

Diuretik loop; menghambat reabsorpsi natrium dan klorida ion pada proksimal

dan distal tubulus ginjal dan lengkung Henle, dengan mengganggu sistem cotransport

klorida-mengikat, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium, dan

klorida.

C. Farmakokinetik

1. Penyerapan (Absorpsi)

Resorbsinya dari usus hanya lebih kurang 50%.

Bioavailabilitas : PO, 47-64%

Onset : PO / SL, 30-60 menit; IM, 30 menit, IV, 5 menit

Puncak efek : IV, <15 menit; PO / SL, 1-2 jam

Durasi : IV, 2 jam, PO, 6-8 jam

2. Distribusi

Protein terikat : 91-99%

Vd : 0,2 L / kg

3. Metabolisme

Dimetabolisme di hati (~ 10%)

Metabolit : glukuronida (asam 2-amino-4-kloro-5-

sulfamoylanthranilic [saluamine]) (aktivitas diketahui)

4. Penyisihan (Eliminasi)

Waktu Paruh : 30-60 menit (sumber buku obat-obat penting)

Dialisis peritoneal, tidak, hemodialisis, no: dialyzable

Pembersihan ginjal : 2 mL / menit / kg

Ekskresi : Urin (PO, 50%; IV, 80%)

Ekskresi melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu.

36

Page 37: Laporan Skenario B Blok 12

D. Indikasi

Pengobatan edema yang menyertai payah jantung kongestif, sirosis hati dan

gangguan ginjal termasuk sindrom nefrotik. Pengobatan hipertensi, baik diberikan

tunggal atau kombinasi dengan obat antihipertensi. Furosemida sangat berguna untuk

keadaan-keadaan yang membutuhkan diuretik kuat. Pendukung diuresis yang dipaksakan

pada keracunan.

E. Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap furosemid, atau komponen lain dalam sediaan atau sulfonil

urea, anuria, pasien koma hepatik atau keadaan penurunan elektrolit parah sampai

keadaannya membaik.

F. Efek Samping

Hipotensi ortostatik, tromboflebitis, aortitis kronik, hipotensi akut,serangan

jantung (akibat pemberian melalui I.V atau I.M), parethesias, vertigo, pusing, kepala

terasa ringan, sakit kepala, pandangan kabur, demam, tidak bisa beristirahat,

hiperglikemia, hiperurisemia, hipokalemia, hipokloremia, alkalosis metabolik,

hipokalsemia, hipomagnasemia, hiponatremia, dermatitis eksfoliatif, eritema multiform,

purpura, fotosensitifitas, urtikaria, rashm pruritusm vaskulitis kutan, spasmus saluran

urin, frekuensi uriner, anemia aplastik (jarang), trombositopenia, agranulositosis (jarang),

anemia hemolitik, anemia, leukopenia, anemia, gangguan pendengaran (sementara atau

permanen; pada pemberian I.M atau I.V). tinitus, tuli sementara (pada pemberian i.m atau

i.v cepat), vaskulitis, alergi nefritis intestinal, glikosuria, penurunan kecepatan filtrasi dan

aliran darah pada ginjal (karena overdiuresis), kenaikan BUN  sementara.

G. Cara Penggunaan

Furosemide ada yang dalam bentuk oral (tablet) dan injeksi (IV/IM). Untuk yang

penggunaan oral mungkin pasien sudah familiar , tetapi untuk yang injeksi biasanya

pasien diberikan injeksi oleh dokter. Untuk penggunaan injeksi dirumah, maka pasien

akan diberikan latihan tentang cara penggunaan injeksi oleh petugas kesehatan. Dalam

hal ini pasien harus benar-benar mengerti apa yang telah diajarkan baik tentang

pengaturan dosis sampai teknik aseptic sebelum melalukan injeksi.

37

Page 38: Laporan Skenario B Blok 12

Pasien tidak diijinkan untuk meningkatkan dosis sendiri lebih dari yang telah

diresepkan atau berhenti menggunakan obat tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada

dokter. Dosis yang diberikan tergantung pada keadaan klinis pasien dan respon terhadap

terapi. Pada anak-anak penggunaan dosis lebih dari 6 mg/kgBB tidak dianjurkan.

Pemakaian dosis pertama mungkin akan meningkatkan jumlah urin atau pasien akan

sering BAK, oleh karena itu supaya tidak mengganggu kenyamanan tidur pasien, maka

dianjurkan untuk mengkonsumsi obat sebelum jam 6 sore.

H. Interaksi

H.1 Dengan Obat Lain

Hipokalemia yang diinduksi oleh furosemid akan menyebabkan toksisitas pada

digoksin dan dapat meningkatkan risiko aritmia dengan obat-obat yang dapat

meningkatkan interval QT, termasuk antiaritmia tipe Ia dan III, cisaprid dan beberapa

kuinolon (sparfloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin). Risiko toksisitas litium dan

salisilat akan meningkat dengan adanya diuretik loop. Efek hipotensi dan/atau efek lanjut

pada ginjal dari inhibitor ACE dan anti inflamasi non steroid akan meningkat dengan

adanya hipovolemia yang diinduksi oleh furosemida, Efek obat bloker adrenergik perifer

atau bloker ganglion dapat ditingkatkan oleh furosemid. Furosemid dapat meningkatkan

risiko toksisitas dengan agen ototoksik lain (aminoglikosida, cis-platinum), terutama pada

pasien dengan disfungsi ginjal. Efek sinergis diuretik lebih cenderung terjadi pada

penggunaan bersama obat antihipertensi lain dan hipotensi dapat terjadi. Indometasin,

aspirin, fenobarbital, fenitoin dan antiinflamasi non steroid dapat menurunkan efek

natriuretik dan hipotensif dari furosemid. Colestipol, kolestiramin dan sukralfat akan

menurunkan efek furosemid, beri jarak pemberian 2 jam. Furosemid dapat mengantagonis

efek relaksan otot skeletal (tubokurarin). Toleransi glukosa dapat diturunkan oleh

furosemid, perlu penyesuaian dosis obat hipoglikemik. Metformin dapat menurunkan

konsentrasi furosemid.

H.2 Dengan Makanan

38

Page 39: Laporan Skenario B Blok 12

Konsentrasi furosemid menurun dengan adanya makanan. Hindari dong quai,

efedra, yohimbe, ginseng (memperparah hipotensi), bawang putih (dapat meningkatkan

efek hipertensi), batasi penggunaan licorice.

I. Dosis

I.1 Bayi dan Anak

Oral : 1-2 mg/kg/dosis dengan peningkatan 1 mg/kg/dosis pada setiap tahap

peningkatan, sampai tercapai respon yang memuaskan, dosis maksimum 6

mg/kg/dosis pada rentang tidak lebih dari 6 jam.

I.M, I.V : 1 mg/kg/dosis dengan peningkatan 1 mg/kg/dosis pada interval 6-12 jam

sampai 6 mg/kg/dosis.

I.2 Dewasa

Oral : Dosis awal 20-80 mg/dosis,dengan peningkatan 20-40 mg/dosis pada interval

6-8 jam; umumnya dosis pemeliharaan adalah dua kali sehari atau setiap hari;

mungkin dititrasi lebih dari 600 mg/hari pada keadaan edermatous parah.

Untuk hipertensi : 20-80 mg/hari dalam dua dosis terbagi.

I.M.I.V : 20-40 mg/dosis, yang mungkin diulang 1-2 kali sesuai kebutuhan dan

ditingkatkan 20 mg/dosis sampai tercapai efek yang diinginkan.Interval dosis yang

umum : 6-12 jam ;

Untuk edema paru-paru akut, dosis yang umum digunakan adalah 40 mg, I.V selama 1-2

menit. Jika belum tercapai respon, dosis ditingkatkan sampai 80 mg.

Infus I.V kontinyu : Dosis bolus i.v adalah 0,1mg/kg diikuti dengan infus i.v

kontinyu 0,1 mg/kg/hari-dosis ditingkatkan setiap 2 jam sampai maksimum 0.4

mg/kg/jam jika output urin adalah <1 mL/kg/jam, Dosis ini telah terbukti efektif

dan menurunkan kebutuhan harian furosemid dibandingkan dengan penggunaan

furosemid yang tidak teratur.

39

Page 40: Laporan Skenario B Blok 12

Gagal jantung refraktori :

Oral, i.v : dosis 8 g/hari telah digunakan.

I.3 Pasien Lanjut Usia

Oral, I.M, I.V :

Dosis awal : 20 mg/hari, ditingkatkan perlahan sampai mencapai respon yang diharapkan.

Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal : gagal ginjal akut; dosis tinggi (lebih dari 1-3

g/hari melalui oral/i.v) telah digunakan sebagai dosis awal untuk mencapai respon yang

diharapkan, dihindari untuk keadaan oligouri.

Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya adalah 2 hari, sehingga

pemberian ulang dosis setiap dua hari jika perlu. Obat diekskresikan lewat urin.

J. Parameter Monitoring

J.1 Stabilitas Penyimpanan

Furosemid injeksi harus disimpan pada suhu kamar yang terkontrol dan dilindungi

dari cahaya. Pemaparan terhadap cahaya dapat menyebabkan perubahan warna.

Furosemid jangan dipergunakan jika berubah warna menjadi kuning. Penyimpanan beku

dapat menyebabkan pengendapan atau kristalisasi, pelarutan kembali pada suhu kamar

atau penghangatan dapat dilakukan dan tidak mempengaruhi stabilitas obat. Furosemid

tidak stabil pada media asam tetapi stabil pada media basa.

J.2 Informasi Pasien

1. Urin yang keluar akan lebih banyak dan sering,ini membantu pengeluaran air dalam

tubuh serta menurunkan tekanan darah

2. Makanlah obat ini pada waktu yang sama setiap harinya ,jika mungkin janganlah

dimakan sebelumtidur karena tidur akan terganggu dengan seringnya urinasi.

3. Makanlah buah atau makanan untuk mengganti kehilangan kalium yang banyak

terbuang bersama urin

40

Page 41: Laporan Skenario B Blok 12

4. Jika timbul nyeri otot, mual, pusing, radang pada pangkal tenggorokan, ruam kulit,

nyeri pada persendian, segeralah ke dokter.

5. Jauhkan dari jangkauan anak.

K. Farmakologi Furosemid

            Furosemid merupakan obat golongan diuretik kuat, yang efektif terhdap

pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal dan hipertensi. Pengobatan

dengan furosemid sering menimbulkan permasalahan bioavaiabilitas per oral (Al Obaid et

al 1989 ;  Sutriyo, et al.,2005).

            Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi elektrolit di

Ansa Henle asenden bagian epitel tebal. Pada pemberiannya secara IV obat ini cenderung

meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus.

Perubahan hemodinamik ginjal mengakibatkan menurunya reabsorbsi ciran dan elektrolit

di tubuli proksimal serta meningkatnya efek awal diuretik. Peningkatan aliran darah ginjal

ini relatif hanya berlangsung sebentar, dengan berkurangnya cairan ekstraseluler akibat

diuresis, maka aliran darah ke ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan

meningkatnmya reabsorbsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal. Hal yang terakhir ini

agaknya merupakan mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah yang terlarut yang

mencapai bagian epitel dengan demikian akan mengurangi diuresis ( Tjay,2002 ).

Bioavailbilitas furosemid 65%. Diuretik kuat secara cepat diabsorpsi dan

dieliminasi melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerulus. Respons diuretik secara cepat

setelah pemberian intravena. Lamanya efek bervariasi 2-3 jam. Waktu paruh tergantung

fungsi ginjal. Karena furosemid bekerja pada bagain luminal tubulus, respons diuretik

berhubungan secara positif dengan sekresinya di urin. Gangguan sekresi dan bersihan

obat ini mungkin terjadi bila obat tersebut diberikan bersamaan dengan obat-obat seperti

indometasin dan probenesid, yang akan menghambat sekresi asam lemah di tubulus

proksimal (Jawetz, 1997).

III. SPIRONOLACTONE

Spironolakton termasuk ke dalam antagonis aldosteron. Aldosteron adalah

mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron ialah

41

Page 42: Laporan Skenario B Blok 12

memperbesar reabsorpsi natrium dan klorida di tubuli distal serta memperbesar ekskresi

kalium. Jadi pada hiperaldosteronisme, akan terjadi penurunan kadar kalium dan alkalosis

metabolik karena reabsorpsi HCO3- dan sekresi H+ yang bertambah.

Keadaan dan tindakan yang dapat menyebabkan bertambahnya sekresi aldosteron

oleh korteks adrenal adalah sekresi glukokortikoid yang meninggi misalnya pembedahan,

rasa takut, trauma fisik dan perdarahan, asupan kalium yang tinggi, asupan natrium yang

rendah, bendungan pada vena kava inferior, sirosis hepatis, nefrosis dan payah jantung

akan meningkatkan sekresi aldosteron tanpa peningkatan glukokortikoid. Keadaan

tersebut di atas sering disertai adanya edema, sehingga pemberian antagonis aldosteron

yaitu sebagai diuretik sangat bermanfaat.

Mekanisme kerja spironolakton adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Ini

terbukti dari kenyataan bahwa obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron baik

endogen maupun eksogen dalam tubuh dan efeknya dapat dihilangkan dengan

meninggikan kadar aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron, reabsorpsi

Na+ dan K+ di hilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi, dengan demikian

ekskresi K+ juga berkurang.

Farmakokinetik

Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami

sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Ikatan dengan protein cukup

tinggi. metabolit utamanya, kanrenon memperlihatkan aktivitas antagonis aldosteron dan

turut berperan dalam aktivitas biologik spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi

enzimatik menjadi kanrenoat yang tidak aktif.

Efek samping

Efek toksik yang utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang sering terjadi

bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi efek

toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan bersama dengan tiazid pada

pasien dengan fungsi ginjal yang berat. Efek samping lain yang ringan dan reversibel di

antaranya ginekomastia, efek samping mirip androgen dan gejala saluran cerna.

Indikasi

Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan

edema yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan maksud

42

Page 43: Laporan Skenario B Blok 12

mengurangi ekskresi kalium, di samping memperbesar diuresis. Pada gagal jantung

kronik spirolankton digunakan untuk mencegah remodelling (pembentukan jaringan

fibrosis miokard). Spirolankton merupakan obat pilihan untuk hipertensi

hiperaldosteronisme primer dan sangat bermanfaat pada kondisi-kondisi yang disertai

hiperaldosteronisme sekunder seperti asites pada sirosis hepatis dan sindrom nefrotik.

Sediaan dan Dosis

Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50, dan 100 mg. Dosis dewasa

berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100 mg dalam dosis

tunggal atau dosis terbagi. Terdapat juga sediaan kombinasi tetap antara spironolakton 25

mg dan hidroklorotiazid 25 mg, serta antara spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg.

IV. NATRIUM DIKLOFENAK

1. Nama Obat dan Sinonim

a. Natrium diklofenak mempunyai sinonim diclofenacum natricum, diclofenak sodium,

diklofenaakkinatrium. (Clarke, hal.905; Martindale, hal.35,38)

b. Nama kimia natrium diklofenak adalah Natrium[o-(2,6-dikloroanilino)fenil]asetat.

(Suplemen I FI IV, hal.1405)

c. Secara farmakologi termasuk golongan: NSAIA (Nonsteroidal Anti-Inflamatory

Agent) yang juga termasuk golongan analgesik dan antipiretik. (AHFS 2010, hal.2081

dan 3588).

d. Secara kimia termasuk golongan turunan asam fenil asetat. (AHFS 2010, hal.3588)

2. Struktur Kimia

43

Page 44: Laporan Skenario B Blok 12

3. Komposisi obat

Natrium Diklofenak 25 mg Tablet Salut Enterik

Tiap tablet salut enterik mengandung: Natrium Diklofenak 25 mg.

Natrium Diklofenak 50 mg Tablet Salut Enterik

Tiap tablet salut enterik mengandung: Natrium Diklofenak 50 mg.

4. Farmakodinamik

Diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas anti inflamasi, analgesik

dan antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase

sehingga pembentukan prostaglandin terhambat.

Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau

mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam

arachidonat. Asam lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah oleh ezim

cyclo-oksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin.

Cyclo-Oksigenase terdiri dari dua iso-enzim, yaitu COX-1 (tromboxan dan prostacyclin)

dan COX-2 (prostaglandin). Kebanyakan COX-1 terdapat di jaringan, antara lain di

trombosit, ginjal dan saluran cerna. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat

dijaringan tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang.

Penghambatan COX-2 lah yang memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs.

Diklofenak merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) yang

44

Page 45: Laporan Skenario B Blok 12

bersifat tidak selektif dimana kedua jenis COX di blokir. Dengan Dihambatnya COX-1,

dengan demikian tidak ada lagi yang bertanggung jawab melindungi mukosa lambung-

usus dan ginjal sehingga terjadi iritasi dan efek toksik pada ginjal.

Termasuk interaksi antagonis yang tidak mengalami interaksi reseptor. nonsteroidal anti-

inflammatory drug (NSAID) dapat menurunkan efek antihipertensi ACE inhibitor dengan

menurunkan eliminasi sodium via renal.

NSAID menghambat vasodilatasi yang dimediasi prostaglandin dan meningkatkan retensi

air dan garam serta menurunkan renal blood flow, akan membahayakan efek

antihipertensi pada obat-obat seperti ACE inhibitor, ARB, beta blocker dan diuretic, serta

agen agen yang mekanismenya tergantung pada pengaturan prostaglandin, renin, dan

keseimbangan natrium dan air.

5. Farmakokinetik

a. Absorpsi

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini

terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas pertama

(first-pass) sebesar 40-50%. Maksudnya, Obat-obatan tidak semua yang diabsorpsi

dapat mencapai sirkulasi sistemik terutama pemberiaan oral karena sebagian akan

dimetabolisme oleh enzim didinding usus atau di hati pada lintasan pertama melalui

organ-organ tersebut. Waktu paruh natrium diklofenak adalah selama 1-3 jam.

Diklofenak pemberian topikal terabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik, tetapi

konsentrasi plasmanya sangat rendah jika dibandingkan dengan pemberian oral.

Pemberian 4 g Natrium diklofenak secara topikal (gel 1%) 4x sehari pada satu lutut,

konsentrasi mean peak plasma sebanyak 15 ng/ml terjadi setelah 14 jam. Pada

pemberian gel ke kedua lutut dan kedua tangan 4x sehari (48 g gel sehari),

konsentrasi mean peak plasma sebanyak 53,8 ng/ml terjadi setelah 10 jam.

Pemaparan sistemik 16 g atau 48 g sehari adalah sebanyak 6 atau 20% jika

dibandingkan dengan administrasi oral dosis 50 mg 3x sehari.

Penggunaan heat patch selama 15 menit sebelum pemakaian gel tidak berpengaruh

terhadap absorpsi sistemik.

45

Page 46: Laporan Skenario B Blok 12

b. Distribusi 

Untuk sediaan topikal, seperti gel, diklofenak tidak mengalami distribusi. Sediaan

oral, diklofenak terdistribusi ke cairan sinovial. Mencapai puncak 60-70% yang

terdapat pada plasma. Namun, konsentrasi diklofenak dan metabolitnya pada cairan

sinovial melebihi konsentrasi dalam plasma setelah 3-6 jam. Diklofenak terikat

secara kuat dan reversibel pada protein plasma, terutama albumin.Pada konsentrasi

plasma 0,15-105 mcg/ml, diklofenak terikat 99-99,8% pada albumin.

Diklofenak pemberian topikal tidak mengalami distribusi.

c. Metabolisme 

Metabolisme diklofenak secara jelas belum diketahui, namun dimetabolisme secara

cepat di hati. Diklofenak mengalami hidroksilasi, diikuti konjugasi dengan asam

glukoronat, amida taurin, asam sulfat dan ligan biogenik lain. Konjugasi

dariunchanged drug juga terjadi. Hidroksilasi dari cincin aromatik diklorofenil

menghasilkan 4′-hidroksidiklofenak dan 3′-hidroksidiklofenak. Konjugasi dengan

asam glukoronat dan taurin biasanya terjadi pada gugus karboksil dari cincin fenil

asetat dan konjugasi dengan asam sulfat terjadi pada gugus 4′ hidroksil dari cincin

aromatik diklorofenil. 3′ dan/atau 4′-hidroksi diklofenak dapat melalui 4′-0. Metilasi

membentuk 3′-hidroksi-4′-metoksi diklofenak. Diklofenak pemberian topikal tidak

mengalami metabolisme.

d. Eliminasi 

Diklofenak dieksresikan melalui urin dan feses dengan jumlah minimal yang

dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (unchanged). Eksresi melalui feses

melalui eliminasi biliari. Konjugat dari diklofenak yang tidak berubah dieksresikan

melalui empedu (bile), sementara metabolit terhidroksilasi dieksresi melalui urin.

6. Indikasi

Indikasi Natrium Diklofenak adalah pengobatan akut dan kronis gejala-gejala reumatoid

artritis, osteoartritis dan ankilosing spondilitis.

46

Page 47: Laporan Skenario B Blok 12

7. Kontraindikasi

Kontraindikasi Natrium Diklofenak, antara lain:

Penderita yang hipersensitif terhadap diklofenak atau yang menderita asma, urtikaria

atau alergi pada pemberian asam asetilsalisilat atau NSAIA lain, karena terdapat

potensial terjadi sensitivitas silang antara NSAIA dan asam asetil salisilat yang dapat

menyebabkan reaksi anafilaktik parah.

Penderita tukak lambung.

8. Efek Samping

Efek samping Natrium Diklofenak, antara lain:

a. Saluran pencernaan :

- Kadang- kadang : nyeri epigastrum, gangguan saluran pencernaan seperti mual,

muntah, diare, kejang perut, dyspepsia, perut kembung, anoreksia.

- Jarang : perdarahan saluran pencernaan ( hematemesis, melena, tukak lambung

dengan atau tanpa perdarahan/ perforasi, diare berdarah )

- Sangat jarang : gangguan usus bawah seperti “nonspesifik haemorrhagic colitis” dan

eksaserbasi colitis ulseratif atau chron’s disease, stomatitis aphthosa, glositis, lesi

esophagus, konstipasi.

b. Saluran saraf pusat dan perifer :

- Kadang- kadang : sakit kepala, pusing, vertigo

- Jarang : perasaan ngantuk

- Sangat jarang : gangguan sensasi ternasuk parestesia, gangguan memori, disorientasi,

gangguan penhlihatan ( blurred vision, diplopia ), gangguan pendengaran, tinnitus,

insomnia, iritabilitas, kejang, depresi, kecemasan,mimpi buruk, tremor, reaksi

psikotik, gangguan perubahan rasa.

c. Kulit

- Kadang-kadang : ruam atau erupsi kulit

- Jarang : urtikaria

47

Page 48: Laporan Skenario B Blok 12

- Sangat jarang : erupsi bulosa , eksema, eritema multiforme, SSJ, lyell syndrome

( epidermolisis toksik akut ), eritrodema ( dermatitis exfoliatif ), rambut rontok,

reaksi fotosensitivitas, purpura termasuk purpura alergik

Sistem urogenital, fungsi hati, darah, hipersensitivitas, susunan organ lainnya.

Peninggian enzim-enzim aminotransferase (SGOT, SGPT) hepatitis. Dalam kasus

terbatas gangguan hematologi (trombositopenia, leukopenia, anemia,

agranulositosis).

9. Peringatan dan Perhatian

a. Hati-hati penggunaan pada penderita dekomposisi jantung atau hipertensi, karena

diklofenak dapat menyebabkan retensi cairan dan edema.

b. Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal, jantung, hati, penderita

usia lanjut dan penderita dengan luka atau perdarahan pada saluran pencernaan.

c. Hindarkan penggunaan pada penderita porfiria hati.

d. Hati-hati penggunaan selama kehamilan karena diklofenak dapat menembus plasenta.

e. Diklofenak tidak dianjurkan untuk ibu menyusui karena diklofenak diekskresikan

melalui ASI.

f. Pada anak-anak efektivitas dan keamanannya belum diketahui dengan pasti.

h. Geriatri: pada individu 65 tahun/lebih, tidak terdapat perbedaan keamanan dan efikasi

dibandingkan dengan pasien dewasa, tetapi peningkatan sensitivitas tetap

diperhitungkan.

10. Dosis dan Cara Pemakaian

Dosis dan cara pemakaian Natrium Diklofenak, antara lain:

a. Osteoartritis : 2 - 3 kali sehari 50 mg atau 2 kali sehari 75 mg.

b. Reumatoid artritis : 3 - 4 kali sehari 50 mg atau 2 kali sehari 75 mg.

c. Ankilosing spondilitis : 4 kali sehari 25 mg ditambah 25 mg saat akan tidur.

Tablet harus ditelan utuh dengan air, sebelum makan.

48

Page 49: Laporan Skenario B Blok 12

11. Dosis berlebih

Penanganan keracunan akut dengan antiinflamasi nonsteroid pada dasarnya dilakukan

dengan tindakan supportif dan simptomatik. Tidak ada gambaran klinis yang khas dari

dosis berlebih diklofenak. Tindakan pengobatan yang dilakukan dalam hal dosis berlebih

adalah sebagai erikut : absorbs harus dicegah segera setelah dosis berlebih dengan

pencucian lambungdan pengobatan dengan arang aktif. Pegobatan suportif dan

simptomatik harus diberikan untuk komplikasi seperti hipotensi, gagal ginjal, kejang,

iritasi saluran pencernaan dan depresi pernapasan. Tetapi spesifik seperti “ forced

dieresis”, dialysis atau hemoperfusi mungkin tidak membantu menghilangkan antirematik

non steroid karena jumlah ikatan protein yang tinggi.

12. Toksisitas (AHFS 2010, hal. 2086)

Dosis letal akut pada manusia tidak diketahui.

13. Interaksi Obat

Apabila diberikan bersamaan dengan preparat yang mengandung lithium atau digoxin,

kadar obat-obat tersebut dalam plasma meningkat tetapi tidak dijumpai adanya gejala

kelebihan dosis.

Beberapa obat antiinflamasi nonsteroid dapat menghambat aktivitas dari diuretika.

Pengobatan bersamaan dengan diuretika golongan hemat kalium mungkin mungkin

disertai dengan kenaikan kadar kalium dalam serum.

Pemberian bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid sistemik dapat menambah

terjadinya efek samping. Meskipun pada uji klinik diklofenak tidak mempengaruhi efek

antikoagulan, sangat jarang dilaporkan adanya penambahan resiko perdarahan dengan

kombinasi diklofenak dan antikoagulan, oleh karena itu dianjrkan untuk dilakukan

pemantauan yang ketat terhadap pasien tersebut. Seperti dengan anti inflamasi nonsteroid

49

Page 50: Laporan Skenario B Blok 12

lainnya, diklofenak dalam dosis tinggi (200 mg ) dapat menghambat agrregasi platelet

untuk sementara.

Uji klinik memperlihatkan bahwa diklofenak dapat diberikan bersamaan dengan anti

diabetic oral tanpa mempengaruhi efek klinis dari masing-masing obat. Sangat jarang

dilaporkan efek hipoglikemik dan hiperglikemik dengan adanya diklofenak sehingga

diperlukan penyesuaian dosis obat-obat hipoglikemik. Perhatian harus diberikan bila

antiinflamasi nonsteroid diberikan kurang dari 24 jam sebelum atau setelah pengobatan

dengan methotrexate dalam darah dapat meningkat dan toksisitas dari pbat ini bertambah.

Penambahan nefrotoksisitas cyclosporine munkin terjadi oleh karena efek obat-obat

antiinflamasi nonsteroid terhadap prostaglandin ginjal.

V. DECOMPENSATIO CORDIS

Etiologi

Berdasar definisi patofisiologik gagal jantung (decompensatio cordis) atau dalam bahasa

inggris Heart Failure adalah ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut akan

menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik (sistem saraf, hormonal,

ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas (Fathoni, 2007).

Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat. Oleh

karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien

yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun (Fathoni, 2007).

Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42%

wanita ( Sugeng dan Sitompul, 2003).

Berdasar perkiraan tahun 1989, di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan

setiap tahunnya bertambah 400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada

untuk seluruh Indonesia, dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan

bertambah setiap tahunnya (Sugeng dan Sitompul, 2003).

50

Page 51: Laporan Skenario B Blok 12

Pengertian

Decompansatio cordis atau gagal jantung adalah keadaaan patofisiologik dimana jantung

sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.

Ada tiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, yakni meningkatnya

beban awal (preload); meningkatnya beban akhir (afterload); dan menurunnya

kontraktilitas miokardium.

Klasifikasi Fungsional (NYHA)

1. I bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas fisik yang berat.

2. II bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas yang sedang.

3. III bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas yang ringan.

4. IV bila timbul gejala sesak napas atau capai pada aktivitas yang sangat ringan dan pada

waktu istirahat (Purwaningtyas, 2007).

Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut

menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri :

penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit

katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi

( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri,

penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung

kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif (Chandrasoma,

2006).

Mekanisme kerja Dekompensasi kordis

Mekanisme kerja dari dekompensasi kordis atau gagal jantung haruslah dipahami agar

pengobatan serta pencegahan dapat dilakukan secara tepat. Pompa yang tidak adekuat

dari jantung merupakan dasar terjadinya dekompensasi jantung. “Pompa yang lemah”

tidak dapat memenuhi keperluan terus-menerus dari tubuh akan oksigen dan zat nutrisi.

Sebagai reaksi dari hal tersebut :

51

Page 52: Laporan Skenario B Blok 12

Awalnya dinding jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah karena hal ini,

maka otot jantung menebal untuk memompa lebih kuat. Sementara itu ginjal

menyebabkan tubuh menahan cairan dan sodium. Ini menambah jumlah darah yang

beredar melalui jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kenaikkan yang

progresif pada tekanan pengisian sistemik rata-rata dimana tekanan atrium kanan

meningkat sampai akhirnya jantung mengalami peregangan yang berlebihan atau menjadi

sangat edema sehingga tidak mampu memompa darah yamg sedang sekalipun. Tubuh

kemudian mencoba untuk berkompensasi dengan melepaskan hormon yang membuat

jantung bekerja lebih keras. Dengan berlalunya waktu, mekanisme pengganti ini gagal

dan gejala-gejala gagal jantung mulai timbul. Seperti gelang karet yang direntang

berlebihan, maka kemampuan jantung untuk merentang dan mengerut kembali akan

berkurang. Otot jantung menjadi terentang secara berlebihan dan tidak dapat memompa

darah secara efisien.

Diagnosis

Diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik,

dan foto torak. Pemeriksaan EKG membantu untuk mendiagnosis etiologi (misalnya

disritmia). Tanda gagal jantung yang paling sering ditemukan adalah : takikardia, irama

gallop, kardiomegali, gagal tumbuh, berkeringat, takipnu, hepatomegali, dan edema

palpebra.

Gagal jantung sendiri merupakan proses progresif, walaupun tidak ada kerusakan baru

terjadi pada jantung. Dalam mendiagnosa terjadinya dekompensasi kordis atau gagal

jantung ini, haruslah berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik/jasmani,

elektrokardiografi/foto toraks, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi.

Namun walaupun demikian beberapa gejala pokok dapat digunakan untuk menentukan

diagnosis gagal jantung pada bayi yaitu : takikardia, takipnu, kardiomegali, hepatomegali

dan irama derap.

Beberapa penyakit yang gejalanya menyerupai gagal jantung pada bayi ialah : sindrom

gangguan pernapasan, bronkiolitis akut yang berat, fistula trakeo-esofagus, hernia

diafragmatika dan lain – lain.

52

Page 53: Laporan Skenario B Blok 12

Gambaran Klinik

Efek gagal jantung digolongkan sebagai gagal jantung ke depan (curah tinggi) dan gagal

jantung ke belakang (curah rendah). Gagal jantung curah rendah terjadi apabila jantung

tidak mampu mempertahankan curah jantung sistemik normal. Sedangkan gagal curah

tinggi terjadi bila jantung tidak mampu mempertahankan curah jantung yang tinggi

karena kebutuhan yang meningkat. Masing-masing terdiri dari dominan sisi kiri dan

dominan sisi kanan.

Gambaran klinik gagal curah rendah kanan : hepatomegali, peningkatan vena jugularis,

kongesti sistemik pasif, edema tungkai. Gagal curah rendah kiri : edema paru,

hipoksemia, dispnea, hemoptisis, kongesti vena paru, dispnea waktu bekerja, PND,

hipertensi pulmonal, hipertrofi dan gagal ventrikel kanan.

Gagal curah tinggi kanan : kematian mendadak, penurunan aliran arteri pulmonalis (efek

klinis minimal). Curah tinggi kiri : kematian mendadak, syok kardiogenik, sinkop,

hipotensi, penurunan perfusi jaringan, vasokontriksi ginjal, retensi cairan, edema

(Chandrasoma, 2006; Sugeng dan Sitompul, 2003).

Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis gagal jantung dibagi 2 menjadi kriteria utama dan kriteria tambahan.

Kriteria utama : dispnea paroxismal nokturnal (PND), kardiomegali, gallop S-3,

peningkatan tekanan vena, reflex hepatojugular, ronkhi. Kriteria tambahan : edem

pergelangan kaki, batuk malam hari, dispnea waktu aktivitas, hepatomegali, efusi pleura,

takikardi. Diagnosis ditetapkan atas adanya 2 kriteria utama atau 1 kriteria utama

ditambah 2 kriteria tambahan (Fathoni, 2007).

Penatalaksanaan

Dulu gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya

pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta

vasodilator untuk mengurangi beban jantung.

Sekarang gagal jantung dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit

pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohumoral

53

Page 54: Laporan Skenario B Blok 12

(neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor, Angiotensin Receptor-Blocker atau

Penyekat Beta diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digilatis)

ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti bedah rekonstruksi ventrikel

kiri (LV reconstruction surgery) dan mioplasti.

Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk

menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially

curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :

Non medikamentosa, medikamentosa dan operatif.

1. Non medikamentosa.

Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja

jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar – benar dengan tirah baring

( bed rest ) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.

Sering tampak gejala – gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet

umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan

kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein.

Cairan diberikan sebanyak 80 – 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.

2. Medikamentosa

Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun

parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung. Sampai

edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor

Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal.

Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-

inhibitor tersebut diberikan.

Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya)

dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah kekuatan dan kecepatan

kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan.

Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan

hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan

pemberian jenis obat ini.

Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide

(Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac

54

Page 55: Laporan Skenario B Blok 12

Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac

Defibrillator) sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia

maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun

mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala dengan

masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard

yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.

3. Operatif

Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :

Revaskularisasi (perkutan, bedah)

Operasi katup mitral

Aneurismektomi

Kardiomioplasti

External cardiac support

Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.

Implantable cardioverter defibrillators (ICD).

Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.

Ultrafiltrasi, hemodialisis.

Prognosis

Pada bayi dan anak lebih baik daripada orang dewasa bila ditolong dengan segera. Hal ini

disebabkan oleh karena belum terjadi perburukan pada miokardium.

Ada beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :

Waktu timbulnya gagal jantung.

Timbul serangan akut atau menahun.

Derajat beratnya gagal jantung.

55

Page 56: Laporan Skenario B Blok 12

Penyebab primer.

Kelainan atau besarnya jantung yang menetap.

Keadaan paru.

Cepatnya pertolongan pertama.

Respons dan lamanya pemberian digitalisasi.

Seringnya gagal jantung kambuh.

Upaya pencegahan

Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi hal yang diutamakan, terutama pada

kelompok dengan risiko tinggi.

· Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard.

· Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan.

· Pengobatan hipertensi yang agresif.

· Koreksi kelainan kongenital serta penyakit katup jantung.

· Memerlukan pembahasan khusus.

· Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari.

56