skenario b blok 27 laporan

77
Skenario B Blok 27 1 jam sebelum masuk RS, Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah. Dari hasil pemeriksaan didapatkan: RR: 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi: 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif. Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-) Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan: Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg. Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dextra, reflek cahaya pupil kanan negatif, reflek cahaya pupil kiri reaktif/normal.

Upload: raven

Post on 05-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Skenario B Blok 27

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario B Blok 27 Laporan

Skenario B Blok 27

1 jam sebelum masuk RS, Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong

kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali dan melaporkan kejadian

ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et

repertum, di RSUD Bujang mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri

kepala hebat dan muntah.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

RR: 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi: 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil

isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-)

Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan

dasar fraktur tulang.

Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung

Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.

Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:

Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg.

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil

anisokor dextra, reflek cahaya pupil kanan negatif, reflek cahaya pupil kiri reaktif/normal.

Pada saat itu Anda merupakan Dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang

perawat.

Klarifikasi Istilah

1. Visum et repertum : Visum et repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter,

tentang apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan

apa yang ia dengar, sehubungan dengan seseorang yang luka,

seseorang yang terganggu kesehatannya, dan seseorang yang

mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap

sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya

dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana.

2. Memar : jejas pada suatu bagian karena kerusakan kulit.

3. Pupil anisokor : ketidaksamaan ukuran diameter kedua pupil mata.

4. Pupil isokor : ukuran diameter kedua pupil mata sama.

Page 2: Skenario B Blok 27 Laporan

5. Hematom : pengumpulan darah setempat, umumnya menggumpal, dalam

organ, rongga, atau jaringan, akibat pecahnya dinding

pembuluh darah.

6. Muntah : pengeluaran isi lambung melalui mulut

7. Sub-conjungtival bleeding : perdarahan pada daerah di bawah konjungtiva

Identifikasi Masalah

1. Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu, Bujang pingsan

kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali.

2. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang

mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.

3. Pemeriksaan saat sadar:

RR: 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi: 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil

isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-)

Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan

dasar fraktur tulang.

Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung

4. Pemeriksaan saat penurunan kesadaran:

Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg.

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata.

Pupil anisokor dextra, reflek cahaya pupil kanan negatif, reflek cahaya pupil kiri

reaktif/normal.

Page 3: Skenario B Blok 27 Laporan

Analisis Masalah

1. Apa saja mekanisme trauma yang terjadi pada kasus ini?

Trauma akibat pukulan keras dan cepat menggunakan benda tumpul pada os cranium. Os

cranium merupakan suatu cavitas yang rigid, sehingga terjadi shock waves pada organ di

dalam cavitas cranium. Pada kasus ini pukulan mengakibatkan fraktur tulang, herniasi

unkus,, dan perubahan autoregulasi aliran darah ke otak.

2. Apa saja kemungkinan trauma yang terjadi pada kasus ini?

Trauma yang dialami oleh Bujang adalah trauma mekanik tumpul dengan jenis luka yang

dialami adalah luka memar dan luka robek.

3. Jenis-jenis cedera kepala?

Berdasarkan berat ringannya cidera:

a. Ringan

- GCS: 14-15

- CT scan atas indikasi

- Perawatan di rumah sakit atas indikasi

b. Sedang

- GCS: 9-13

- Lakukan ABC

- CT scan pada semua kasus

- Jika keadaan memburuk maka dirawat sebagai cidera kepala berat

c. Berat

- GCS: 3-8

- Lakukan ABC

- Reevaluasi

Berdasarkan morfologi:

a. Skull fractures

- Vault: depressed dan linier

- Basis

o Fossa anterior: rhinorhea, raccoon’s eye

o Fossa media: otorhea, battle sign

Page 4: Skenario B Blok 27 Laporan

b. Brain injuries

- Fokal: epidural hematom, subdural hematom, intraserebral hematom

- Difus

Berdasarkan mekanisme cidera kepala:

a. Tajam

b. Tumpul

4. Makna klinis pingsan 5 menit kemudian sadar lagi dan pingsan lagi?

Gejala tersebut menunjukkan adanya lucid interval yaitu tenggang waktu antara kejadian

trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran. Lucid interval merupakan

gejala khas pada epidural hematoma (EDH).

Mekanisme pingsan ± 5 menit lalu sadar :

Benturan kepalagoncangan pada batang otakpons turun, a. basilaris

meregangperfusi ke ascending reticulo activation system (ARAS)

terganggupenurunan kesadaranpingsan selama 5 menitstabil (ARAS kembali

berfungsi) sadar kembali

Mekanisme pingsan kembali :

Trauma kepala frakturpecahnya arteri meningea media di antara duramater dan

tengkorak pembentukan hematoma di epidural TIK ↑kompresi lobus temporalis

ke arah bawah dan dalam herniasi uncus melalui incisura tentorii menekan batang

otak (ARAS) penurunan kesadaran (pingsan) kembali

5. Apa tujuan dibuat visum et repertum?

Untuk mengungkapkan suatu fakta tentang sebuah kasus, penegak hukum wajib

mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang

ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah

sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-

undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI No.8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1

yang menyebutkan : Alat bukti yang sah ialah :

a. keterangan saksi

b. keterangan ahli

Page 5: Skenario B Blok 27 Laporan

c. surat

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa

Pada kasus seperti pemerkosaan , penganiayaan, dan pembunuhan keterangan ahli yang

dimaksud salah satunya adalah keterangan dari dokter. Visum et repertum adalah hasil

pemeriksaan tertulis yang dianggap sah sebagai keterangan dari dokter.

6. Bagaimana sistematika dalam membuat visum et repertum?

a. Projustisia

Ditulis ‘pro justicia’ yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri atas sebagai

pengganti materai.

b. Pendahuluan

Berisi tentang : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya

permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan pemeriksaan,

identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat,

pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan, alasan

dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya,

pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang mengantar korban

ke rumah sakit.

c. Pemberitaan (pemeriksaan luar, dalam, dan ringkasan pemeriksaan luar dan dalam)

Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama

dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan

dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.

Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis

adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka

dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera,

karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan

korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :

1) Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan , baik pemeriksaan

fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu

Page 6: Skenario B Blok 27 Laporan

hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang

berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).

2) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya , atau pada keadaan sebaliknya,

alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian

meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan

tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang

tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat -tidaknya kesimpulan yang diambil.

3) Keadaan akhir korban , terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan

hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.

Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka

pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan

yang diberikan.

d. Kesimpulan

Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari

fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan

dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian

ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat

kualifikasi luka.

e. Penutup

Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan

mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan

mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan .

Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum.

7. Bagaimana mekanisme luka dan memar di kepala sebelah kanan, nyeri kepala hebat, dan

muntah?

Luka dan memar di kepala sebelah kanan

Pukulan di kepala dari arah samping→ penekanan kuat dan tiba-tiba pada pada kulit

kepala → kulit kepala pecah atau robek → luka

Pukulan di kepala dari arah samping dan depan → penekanan kuat dan tiba-tiba pada

pada tulang tengkorak → fraktur dan adanya pergeseran sementara pada otak →

Page 7: Skenario B Blok 27 Laporan

CPP = MAP - ICP

robeknya arteri meningea media pada daerah epidural → darah mengisi daerah epidural

→ darah membeku → hematom (memar)

Nyeri kepala hebat disertai muntah

Nyeri kepala dan muntah pada kasus ini disebabkan oleh peningkatan tekanan

intracranial. Mekanisme peningkatan intracranial : Pukulan dari arah sampingfraktur

di os temporalruptur a. meningea mediahematoma epiduralketika kompensasi

tidak bisa terjadi lagiTIK↑ terjadi penekanan pada pusat muntahterjadi reflex

muntah.

8. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan saat sadar?

RR: 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi: 50 x/menit.

RR: 28 x/menit (normal: 16-24 x/menit)

Takipneu, merupakan kompensasi dari ↓ perfusi otak untuk menjaga perfusi otak

adekuat.

Tekanan darah 130/90 mmHg (normal: 120/80 mmHg)

Hipertensi, kompensasi iskemik otak. Dengan rumus :

Jika tekanan intracranial meningkat maka MAP juga harus meningkat agar perfusi

otak tetap adekuat. Peningkatan MAP menyebabkan peningkatan tekanan darah.

TIK (ICP) ↑kompensasi untuk mempertahankan CPPpeningkatan

MAPhipertensi

Nadi: 50 x/menit (normal: 60-100 x/menit)

Bradikardi, akibat penekanan pada medulla oblongata yang selanjutnya merangsang

pusat inhibisi jantung.

GCS: E4 M6 V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Normal

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-).

Trauma kepala fraktur basis crania pecahnya arteri oftalmika darah masuk

kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita (brill hematom) darah tidak

dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopakterbentuk gambaran

hitam kemerahan pada kelopak seperti seseorang yang memakai kacamata. 

Page 8: Skenario B Blok 27 Laporan

Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul

dengan dasar fraktur tulang.

Adanya trauma tumpul menyebabkan terjadi luka dengan tepi tidak rata dan sudut

tumpul, serta terjadi fraktur temporal.

Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.

Dalam pemeriksaan fisik, di region nasal tampak darah segar yang mengalir dari

kedua lubang hidung yang menunjukkan terjadinya epistaksis bagian anterior.

Epistaksis disebabkan karena trauma akibat dari pukulan benda tumpul berupa kayu

yang kemungkinan menyebabkan rupturnya pleksus kieselbach atau arteri ethmoidalis

anterior.

9. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan saat terjadi

penurunan kesadaran?

Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg

Pasien ngorok

Interpretasi: sumbatan jalan nafas

Mekanisme: Herniasi unkus penekanan pada medual oblongata sistem ARAS

terganggu penurunan kesadaran melemahkan refleks tegang lidah pangkal

lidah jatuh menutupi saluran nafas ngorok

RR 24 x/menit (normal: 16-24x / menit)

Peningkatan tekanan intracranial penurunan perfusi ke otak hipoksia

peningkatan usaha ventilasi oleh paru RR normal tinggi

Nadi 50 x/menit (normal: 60-100 x/menit)

Peningkatan tekanan intrakranial kompresi medulla oblongata ganguuan fungsi

pernapasan bradikardi

Tekanan darah 140/90 mmHg (normal: 120/80 mmHg)

Trauma tumpul temporal a. meningea media robek perdarahan epidural (perlu

pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume intracranial ↑ compliance

pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang spinal perdarahan masih

berlangsung compliance pertama tidak adekuat volume intracranial ↑

Tekanan intracranial terus ↑ Cerebral Perfusion Pressure ↓ CBF ↓

kompensasi peningkatan tekanan sistemik peningkatan tekanan darah (140/90

mmHg)

Page 9: Skenario B Blok 27 Laporan

Pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata

GCS 10

a. E 2 : Rangsangan nyeri

b. M 4 : Menghindar

c. V 4 : Jawaban kacau

Cedera Kepala Sedang (CKS):

a. Skor GCS 9-12

b. Ada pingsan lebih dari 10 menit

c. Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

d. Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.

Pupil anisokor dextra, reflek cahaya pupil kanan negatif, reflek cahaya pupil kiri

reaktif/normal

Trauma tumpul hematoma epidural perdarahan berlanjut, terjadi peningkatan

tekanan intrakranial hematoma meluas ke daerah temporal lobus temporalis

tertekan ke arah bawah dan dalam bagian medial lobus mengalami herniasi ke

bawah tepi tentorium menekan nukleus saraf nervus III (occulomotorius)

gangguan pada parasimpatis yang berfungsi untuk kontriksi pupil aktivitas saraf

simpatis menjadi lebih dominan pupil kanan (ipsilateral) midriasis.

10. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dan pemeriksaan tambahan dalam kasus ini?

Hematoma epidural

a. Anamnesis

1) Adanya riwayat trauma kepala yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang

tengkorak dan laserasi pembuluh darah.

2) Terdapat lucid phase

3) Terdapat keluhan terjadinya peningkatan intracranial pressure seperti sakit kepala

yang berat dan muntah.

b. Gambaran Klinis

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien

dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang

telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga.

Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.

Page 10: Skenario B Blok 27 Laporan

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera

kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :

o Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

o Bingung

o Penglihatan kabur

o Susah bicara

o Nyeri kepala yang hebat

o Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

o Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.

o Mual

o Pusing

o Berkeringat

o Pucat

o Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

o Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau

serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai

maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah

tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

bradikardi.  Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil

kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak

menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala

respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal

batang otak.

o Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval

bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

c. Gambaran Radiologi

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah

dikenali.

1) Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural

hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang

Page 11: Skenario B Blok 27 Laporan

mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong

sulcus arteria meningea media.

2) Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara

intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi

dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di

daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,

midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area

epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),

ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi

duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis

pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

Epistaksis

Anamnesis

o apakah perdarahan ini baru perlama kali atau sebelumnya sudah pernah

o kapan terakhir terjadinya.

o jumlah perdarahan

o Perlu lebih detail karena pasien biasanya dalam keadaan panik dan cenderung

mengatakan bahwa darah yang keluar adalah banyak. Tanyakan apakah darah yang

keluar kira-kira satu sendok alau satu cangkir Sisi mana yang berdarah jjga perlu

dilanyakan,

o Apakah satu sisi yang sama atau keduanya;

o Apakah ada trauma, infeksi sinus, operas hidung atau sinus

o apakah ada hipertensi

o keadaan mudah berdarah

o Apakah ada penyakit paru kronik, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis; apakah

sering makan obat-obatan seperti aspirin atau produk antikoagulansia

a. Pemeriksaan keadaan umum

Page 12: Skenario B Blok 27 Laporan

Tanda vital harus dimonitor. Segeralah pasang infus jika ada penurunan tanda vital,

adanya riwayat perdarahan profus, baru mengalami sakit berat misalnya serangan

jantung, stroke atau pada orang tua.

b. Pemeriksaan hidung

1) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.

Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha

inferior harus diperiksa dengan cermat.

2) Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan

epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

3) Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena

hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

4) Rontgen sinus

Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi

5) Skrinning terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial,

jumlah platlet dan waktu perdarahan.

6) Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang

mendasari epistaksis

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan :

o Pemeriksaan darah rutin

o CT Scan untuk mengetahui ada tidaknya fraktur, pendarahan, hematoma, udem

dan kelainan otak lainnya & dapat ditentukan seberapa luas lesi, pendarahan dan

perubahan jaringan di otak.

Page 13: Skenario B Blok 27 Laporan

o X-Ray mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis

(perdarahan / edema), fragmen tulang.

o Analisa Gas Darah medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

Menilai kadar PCO2 dan PO2 yang penting dalam patofisiologi perdarahan

otak

PCO2 yang tinggi menyebabkan vasodilatasi vaskular otak yang memperparah

perdarahan.

o Elektrolit untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrakranial.

o Rinoskopi atau nasoendoskopi (bila tersedia )Pemeriksaan trauma hidung dan

sumber perdarahan

o Ophthalmoscopymenilai adanya perdarahan intraocular, edema, foreign body,

retinal detachment, edema papil nervus II atau tidak.

o Factor pembekuan, clotting time, bleeding time

o Halo test, untuk menilai adanya cairan serebrospinal pada cedera kepala

11. Apa diagnosis banding pada kasus ini?

- Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah diantara dura mater dan arachnoid

- Hematoma sub-arachnoid, yaitu robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya

12. Epidemiologi cedera kepala?

Epidemiologi perdarahan epidural

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH dan sekitar 10% 

mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural

hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang beresiko

mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.

60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur

kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang

berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.

Epidemiologi cedera kepala

Page 14: Skenario B Blok 27 Laporan

Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin bertambah,

pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera kepala yang

bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau 1sesuai dengan harapan kita

(Smeltzer, 2002) angka kejadian cedera kepala (58%) laki-laki lebih banyak

dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan

usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah

disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat

(Smeltzer, 2002). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden

cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak

kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Yang sampai di rumah sakit, 80%

dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala

sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).

13. Bagaimana tatalaksana di UGD pada kasus ini (1 dokter jaga di UGD dan 3 orang

perawat)?

Airway dengan kontrol servikal

Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)

Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi

Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi

Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid.

Pasang tampon pada hidung untuk menghentikan epistaksis.

Breathing

Pemasangan airway orofaringeal

Prosedur ini digunakan untuk ventilasi sementara pada penderita yang tidak sadar

sementara intubasi penderita sedang dipersiapkan.

Pilih airway yang cocok ukurannya. Ukuran yang cocok sesuai dengan jarak dari

sudut mulut penderita sampai kanalis auditivus eksterna.

Buka mulut penderita dengan manuver chin lift atau teknik cross-finger (scissors

technique).

Sisipkan spatula lidah diatas lidah penderita, cukup jauh untuk menekan lidah, hati-

hati jangan merangsang penderita sampai muntah.

Page 15: Skenario B Blok 27 Laporan

Masukkan airway ke posterior, dengan lembut diluncurkan diatas lengkungan lidah

sampai sayap penahan berhenti pada bibir penderita.

Airway tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat airway.

Tarik spatula lidah.

Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.

Ventilasi bag-valve-mask- teknik dua orang

Pilih ukuran masker yang cocok dengan wajah penderita.

Hubungkan selang oksigen dengan alat bag-valve-mask, dan atur aliran oksigen

sampai 12 L/ menit.

Pastikan airway penderita terbuka dan dipertahankan dengan teknik-teknik yang telah

dijelaskan sebelumnya.

Orang pertama memegang masker pada wajah penderita, dan menjaga agar rapat

dengan dua tangan.

Orang kedua memberikan ventilasi dengan memompa kantong dengan dua tangan.

Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan gerakan dada penderita.

Penderita diberi ventilasi dengan cara seperti ini tiap 5 detik.

Intubasi orotrakeal dewasa

Pastikan bahwa ventilasi yang adekuat dan oksigenasi tetap berjalan, dan

peralatan penghisap berada pada tempat yang dekat sebagai kesiagaan bila

penderita muntah.

Kembangkan balon pipa endotrakeal untuk memastikan bahwa balon tidak bocor,

kemudian kempiskan balon.

Sambungkan daun laryngoskop pada pemegangnya, dan periksa terangnya lampu.

Minta seorang asisten mempertahankan kepala dan leher dengan tangan.

Leher penderita tidak boleh di-hiperekstensi atau di-hiperfleksi selama prosedur ini.

Pegang laringoskop dengan tangan kiri.

Masukkan laringoskop pada bagian kanan mulut penderita , dan menggeser lidah

kesebelah kiri.

Secara visual identifikasi epiglotis dan kemudian pita suara.

Dengan hati-hati masukkan pipa endotrakeal kedalam trakea tanpa menekan gigi atau

jaringan-jaringan di mulut.

Kembangkan balon dengan udara secukupnya agar tidak bocor. Jangan

mengembangkan balon secara berlebihan.

Page 16: Skenario B Blok 27 Laporan

Periksa penempatan pipa endotrakeal dengan cara memberi ventilasi dengan bag

valve tube.

Secara visual perhatikan pengembangan dada dengan ventilasi.

Auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk memastikan letak pipa.

Amankan pipa (dengan plester). Apabila penderita dipindahkan, letak pipa harus

dinilai ulang.

Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam beberapa detik atau selama

waktu yang diperlukan untuk menahan napas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan

intubasinya, ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask, dan coba lagi.

Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto toraks berguna untuk menilai

letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esofageal.

Hubungkan alat kolorimetris CO2 ke pipa endotrakeal antara adaptor dengan alat

ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan

untuk memastikan bahwa letak pipa endotrakeal berada dalam airway.

Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus masih

ada) untuk mengukur dan memantau tingkat saturasi oksigen penderita.

Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus

menerus dan sebagai cara menilai segera tindakan intervensi.

Pemantauan oksimetri pulsa/pulse oxymetri

Pulse oxymeter didesain untuk mengukur saturasi oksigen dan laju nadi pada sirkulasi

perifer. Apabila menilai hasil pulse oxymeter, nilailah pembacaan pembacaan awal:

Apakah laju nadi sesuai dengan monitor EKG?

Apakah saturasi oksigen cocok/sesuai?

Apabila pulse oxymeter memberikan hasil yang rendah atau sangat sulit membaca

penderita, carilah penyebab fisiologisnya, jangan menyalahkan alatnya.

Circulation

Akses vena perifer

Pilih tempat yang baik di salah satu anggota badan, misalnya pembuluh di sebelah

depan dari siku, lengan depan, pembuluh kaki (safena).

Pasang turniket elastis di atas tempat punktur yang dipilih.

Bersihkan tempat itu dengan larutan antiseptis.

Page 17: Skenario B Blok 27 Laporan

Tusuklah pembuluh tersebut dengan kateter kaliber besar dengan plastik di atas jarum,

dan amatilah kembalinya darah.

Masukkan kateter ke dalam pembuluh di atas jarum kemudian keluarkan jarum dan

buka torniketnya.

Pada saat ini boleh ambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium.

Sambunglah kateter dengan pipa infus intravena dan mulailah infusi larutan RL atau

normal saline.

Amatilah infiltrasi yang mungkin terjadi dari cairan ke jaringan.

Tambatkan kateter dan pipa ke kulit anggota badan.

Pasang kateter untuk pengeluaran cairan pada alat urogenital pasien

Obat-obatan

Mannitol, 0,25 sampai 1 g/kg secara bolus intravena, untuk mengurangan peningkatan

ICP.

Jika ABC pasien tidak ada masalah langsung rujuk ke dokter bedah, agar dilakukan

operasi untuk mengurangi tekanan intracranial.

Page 18: Skenario B Blok 27 Laporan

Lakukan secondary survey di RS :

a. Pemakaian collar neck dengan indikasi :

Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher

Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher

Rasa baal pada lengan

Gangguan keseimbangan atau berjalan

Kelemahan umum

b. Pantau tanda vital (suhu, pernafasan, tekanan darah), pupil , GCS, gerakan

ekstremitas, sampai pasien sadar. Pantauan dilakukan tiap 4 jam. Lama

pantauan sampai pasien mencapai GCS 15.

c. Pemantauan selama 24 jam, jika tidak terdapat :

Penurunan kesadaran (menurut GCS) dari observasi awal

Gangguan daya ingat

Nyeri kepala hebat

Mual dan muntah

Bila kondisi memburuk (10%) Bila penderita tidak mampu melakukan

perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat

Bila kondisi membaik (90%) Pulang bila memungkinkan Kontrol di poliklinik

Definisi : penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk; namun masih mampu menuruti perintah

GCS : 9-13 Pemeriksaan awal :

Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana

Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat Pemeriksaan neurologis periodic Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila

penderita akan dipulangkan.

AlgoritmePenatalaksanaan Cedera Kepala Sedang

Page 19: Skenario B Blok 27 Laporan

Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)

Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan

Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya

dirumah. Namun apabila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam

pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat.

d. Mencegah terjadinya hipotensi, dijaga jangan sampai kondisi berikut terjadi:

tekanan darah sistolik < 90 mm Hg

Suhu > 38 derajat celcius

Frekuensi nafas > 24 x / menit

e. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial, dengan cara

Posisi kepala ditinggikan 30 derajat

Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% (hati-hati kontraindikasi).

Dosis awal 1gr/kg BB, berikan dalam waktu ½ - 1 jam, drip cepat,

dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr / kg BB cepat, ½ - 1 jam

setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama

Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka

pendek

14. Apa komplikasi pada kasus ini? Jelaskan!

Cedera kepala :

a. koma

b. defisit neurologis

c. kompresi batang otak

d.edema serebri

e.kematian

Epistaksis :

a. Anemia

b. Syok

15. Bagaimana prognosis pada kasus ini?

Prognosis tergantung pada

Lokasinya (infratentorial lebih jelek)

Besarnya

Page 20: Skenario B Blok 27 Laporan

Kesadaran saat masuk kamar operasi

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena

kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15%

dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk padapasien yang mengalami

koma sebelum operasi.

Vitam : Dubia at bonam

Fungsionam : Dubia

16. Apa SKDI kasus ini?

Perdarahan epidural

Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan

menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan

dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Trauma tumpul; Epistaksis

Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan

tuntas

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan

penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

Visum et repertum; Pemeriksaan korban trauma dan deskripsi luka

Tingkat kemampuan 4 ( Does ): Mampu melakukan secara mandiri

Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai

seluruh teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi, dan

pengendalian komplikasi. Selain pernah melakukannya di bawah supervisi, pengujian

keterampilan tingkat kemampuan 4 dengan menggunakan Workbased Assessment

misalnya mini-CEX, portfolio, logbook, dsb.

4A. Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter

Page 21: Skenario B Blok 27 Laporan

Kesimpulan

Bujang mengalami perdarahan epidural dengan fraktur temporal dan basis cranii karena

trauma tumpul kepala.

Page 22: Skenario B Blok 27 Laporan

Kerangka Konsep

Page 23: Skenario B Blok 27 Laporan

Learning Issue

Anatomi kepala

1. Kulit Kepala

a. SCALP

Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan

bergerak sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama kelima lapisan kulit

kepala tersebut, gunakan setiap huruf dari SCALP (kulit kepala) untuk menunjukkan

lapisan kulit kepala

Skin : kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea

Connective tissue : jaringan ikat di bawah kulit, yang merupakan jaringan lemak

fibrosa. Septa fibrosa menghubungkan kulit dengan aponeurosis

m.occipitofrontalis. Pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh arteri dan vena.

Arteri merupakan cabang-cabang dari a. carotis externa dan interna, dan terdapat

anastomosis yang luas di antara cabang-cabang ini.

Aponeurosis (epicranial), merupakan lembaran tendo yang tipis, yang

menghubungkan venter occipitale dan venter frontale m.occipitofrontalis. Pinggir

lateral aponeurosis melekat pada fascia temporalis.

Spatium subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis

epicranial. Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan

melah ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis

Loose areolar tissue : jaringan ikat, yang mengisi spatium subaponeuroticum dan

secara longgar menghubungkan cranium (pericranium). Jaringan areolar ini

mengandung beberapa arteri kecil, dan juga beberapa vv.emissaria yang penting.

Vv.emissaria tidak berkatup dan menghubungkan vena-vena superificial kulit

kepala dengan vv.diploicae tulang tengkorak dan dengan sinus venosus

intracranialis.

Pericranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang

tengkorak. Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan

periosteum pada permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada

permukaan dalam tulang-tulang tengkorak.

Page 24: Skenario B Blok 27 Laporan

b. Otot-otot Kulit Kepala

M.Occipitofrontalis

Origo : otot ini mempunyai empat venter, dua occipitalis dan dua frontalis, yang

dihubungkan oleh aponeurosis. Setiap venter occipitalis berasal dari linea nuchalis

suprema ossis occipitale dan berjalan ke depan untuk melekat pada aponeurosis.

Setiap venter frontalis berasal dari kulit dan fascia superficialis alis mata,

berjalan ke belakang untuk melekat pada aponeurosis.

Persarafan : venter occipitalis dipersarafi oleh ramus auricularis n.facialis, venter

frontalis dipersarafi oleh ramus temporalis n.facialis

Fungsi : ketiga lapisan pertama kulit kepala dapat bergerak ke depan dan

belakang, jaringan ikat longgar dari lapisan keempat kulit kepala memungkinkan

aponeurosis bergerak di atas pericranium. Venter frontalis dapat menaikkan alis

mata seperti pada ekspresi keheranan dan ketakutan.

c. Persarafan Sensorik Kulit Kepala

Truncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari anterior di

garis tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini :

N.supratrochlearis, cabang dari divisi ophtalmica n.trigeminus, membelok di

sekitar margo superior orbitalis dan berjalan ke depan di atas dahi. Mempersarafi kulit

kepala ke arah belakang sampai ke vertex. N.zygomaticotemporalis, cabang dari

divisi maxillaris n.trigeminus, mempersarafi kulit kepala di atas

pipi.N.auriculotemporales, cabang dari divisi mandibula n.trigeminus, berjalan ke

atas di samping kepala dari depan aurikula. Cabang terakhirnya mempersarafi kulit

daerah temporal. N.occipitalis minor, cabang dari plexus cervicalis (C2),

mempersarafi kulit kepala di bagian lateral regio occipitale dan kulit di atas

Page 25: Skenario B Blok 27 Laporan

permukaan medial auricula. N.occipitalis major, cabang dari ramus posterior

n.cervicalis kedua, berjalan ke atas di belakang kepala dan mempersarafi kulit sampai

ke depan sejauh vertex cranii.

d. Pendarahan Kulit Kepala

Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan ke

folikel rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan perdarahan yang

banyak. Arteri terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah anterior ke lateral,

ditemukan arteri-arteri berikut ini :

A. supratrochlearis dari a.supraorbitalis, cabang-cabang a.ophthalmica,

berjalan ke atas melalui dahi bersama dengan n.supratrochlearis dan

n.supraorbitalis.

A.temporalis superficialis, cabang terminal kecil a.carotis externa, berjalan di

depan auricula bersama dengan n.auriculotemporalis. arteri ini bercabang dua,

ramus anterior dan posterior yang mendarahi kulit di daerah frontal dan temporal.

A.auricularis posterior cabang a.caroti externa, naik di belakang telinga dan

mendarahi kulit kepala di atas dan belakang telinga.

A.occipitalis, sebuah cabang a.carotis externa, berjalan ke atas dari puncak

trigonum posterior bersama dengan n.occipitalis major. Pembuluh ini mendarahi

kulit di belakang kepala sampai ke vertex cranii.

e. Aliran Vena Kulit Kepala

V.supratrochlearis dan v.supraorbitalis bersatu di pinggir medial orbita

untuk membentuk v.facialis. V.temporalis superficialis bersatu dengan v.maxillaris

di dalam substansi glandula parotidea untuk membentuk v.retromandibularis.

V.auricularis posterior bersatu denga divisi posterior v.retromandibularis, tepat di

bawah glandula parotidea, untuk membentuk v.jugularis externa. V.occipitalis

bermuara ke plexus venosus suboccipitalis, yang terletak di dasar bagian atas

trigonum posterior, kemudian plexus bermuara ke dalam v.vertebralis atau v.jugularis

interna. Vena-vena di kulit kepala beranastomosis luas satu dengan yang lain,

dihubungkan ke vv.diploicae tulang tengkorak dan sinus venosus intracranial oleh

Vv.emissariae yang tidak berkatup.

2. Cavum Cranii

Page 26: Skenario B Blok 27 Laporan

Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian saraf otak,

arteri, vena dan sinus venosus.

a. Calvaria

Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis,

lambdoidea. Pada garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk tempat sinus

sagittalis superior. Di kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa lubang kecil, disebut

foveae granulares yang menjadi tempat lacunae laterales dan granulationes

arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal untuk divisi anterior dan poesterior a.

et v.meningea media sewaktu keduanya berjalan di sisi tengkorak menuju calvaria.

b. Basis Cranii

Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii anterior,

media, dan posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii media oleh ala

minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari fossa cranii posterior

oleh pars petrosa ossis temporalis.

1) Fossa Cranii Anterior

Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di anterior oleh

permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista untuk tempat melekatnya

falx cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor ossis sphenoidalis yang tajam dan

bersendi di lateral dengan os frontale dan bertemu dengan angulus anteroinferior os

parietale atau pterion.Ujung medial ala minor ossis sphenoidalis membentuk processus

clinoideus anterior pada masing-masing sisi, yang menjadi tempat melekatnya

tentorium cerebelli. Bagian tengah fossa cranii media dibatasi di posterior oleh alur

chiasma opticum.

Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina

cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan tajam ke atas dari

os ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat melekatnya falx cerebri. Di antara

crista galli dan crista ossis frontalis terdapat apertura kecil, yaitu foramen cecum, untuk

tempat lewatnya vena kecil dari mucosa hidung menuju ke sinus sagittalis superior.

Sepanjang crista galli terdapat celah sempit pada lamina cribriformis untuk tempat

lewatnya n.ethmoidalis anterior menuju ke cavum nasi. Permukaan atas lamina

cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-lubang halus pada lamina

cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.

2) Fossa Cranii Media

Page 27: Skenario B Blok 27 Laporan

Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian lateral yang

lebar. Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis, dan

bagian lateral yang luas membentuk cekungan di kanan dan kiri, yang menampung lobus

temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor ossis sphenoidalis dan di posterior

oleh batas atas pars petrosa ossis temporalis. Di lateral terletak pars squamosa ossis

temporalis, ala major ossis sphenoidalis dan os parietale. Dasar dari masing-masing

bagian lateral fossa cranii media dibentuk leh ala major ossis sphenoidalis dan pars

squamosa dan petrosa ossis temporalis.

Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian tengah dan ala

major dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis sphenoidalis berisi sinus

sphenoidalis yang berisi udara, yang dibatasi oleh membrana mucosa dan berhubungan

dengan rongga hidung. Sinus ini berfungsi sebagai resonator suara. Di anterior, canalis

opticus dilalui oleh n.opticus dan a.ophthalmica, sebuah cabang dari a.carotis interna,

menuju orbita. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah di antara ala major dan

minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontalis, n.trochlearis,

n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan n.abducens, bersama dengan v.ophthalmica superior.

Sinus venosus sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir posterior ala minor

ossis sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus cavernosus.

Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis superior,

menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris dari ganglion

trigeminus menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale terletak posterolateral terhadap

foramen rotundum dan menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh radix

sensorik besar dan radix motorik kecil dari n.mandibularis menuju ke fossa

infratemporalis n.petrosus minus juga berjalan melalui foramen ini.

Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen ovale dan

juga menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui oleh a.meningea media

dari fossa infratemporalis menuju ke cavum cranii. Kemudian arteri berjalan ke depan

dan lateral di dalam alur pada permukaan atas pars squamosa ossis temporalis dan ala

major ossis sphenoidalis. Pembuluh ini berjalan dalam jarak yang pendek, kemudian

terbagi dalam ramus anterior dan posterior. Ramus anterior berjalan ke depan dan atas, ke

angulus anteroinferior ossis temporalis. Di sini, arteri membuat saluran yang pendek dan

dalam, kemudian berjalan ke belakang dan atas pada os parietale. Pada tempat ini, arteri

paling mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus posterior berjalan ke belakang

dan atas, melintasi pars squamosa ossis temporalis untuk sampai os parietale.

Page 28: Skenario B Blok 27 Laporan

Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa osis

temporalis dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi kartilago dan

jaringan fibrosa, dan hanya sedikit pembuluh darah melalui jaringan tersebut dari rongga

tengkorak ke leher. Canalis caroticus bermuara pada sisi foramen lacerum di atas muara

inferior yang tertutup. A.carotis interna masuk ke foramen dari canalis ini dan segera

melengkung ke atas untuk sampai pada sisi corpus ossis sphenoidalis. Di sini, arteri ini

membelok ke depan dalam sinus cavernosus untuk mencapai daerah processus clinoideus

anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna membelok vertikal ke atas, medial terhadap

processus clinoideus anterior, dan muncul dari sinus cavernosus.

Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars petrosa ossis

temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior os petrosus terdapat dua

alur saraf, alur medial yang lebih besar untuk n.petrosus major, sebuah cabang

n.facialis, dan alur lateral yang lebih kecil untuk n.petrosus minor, sebuah cabang dari

plexus tymphanicus. N. petrosus major ke dalam foramen lacerum dibawah ganglion

trigeminus dan bergabung dengan n.petrosus profundus (serabut symphatis dari sekitar

a.carotis interna), untuk membentuk n.canalis pterygoidei. N. petrosus minor berjalan ke

depan ke foramen ovale.

N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus, medial

terhadap ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa cranii posterior dan

masuk ke dalam sinus cavernosus. Eminentia arcuata adalah penonjolan bulat yang

terdapat pada permukaan anterior os petrosus dan ditimbulkan oleh canalis

semicircularis superior yang terletak di bawahnya. Tegmen tympani adalah lempeng

tipis tulang, yang merupakan penonjolan ke depan pars petrosa ossis temporalis dan

terletak berdampingan dengan pars squamosa tulang ini. Dari belakang ke depan,

lempeng ini membentuk atap antrum mastoideum, cavum tympani dan tuba auditiva.

Lempeng tipis tulang ini merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi dari

dalam cavum tympani ke lobus temporalis cerebri.

Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis. Di

depan terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan chiasma opticum dan

berhubungan ke lateral dengan canalis opticus. Posterior terhadap sulcus terdapat

peninggian, disebut tuberculum sellae. Di belakang peninggian ini terdapat cekungan

dalam, yaitu sella turcica, yang merupakan tempat glandula hypophisis. Sella turcica

dibatasi di posterior oleh lempeng tulang bersegi empat yang disebut dorsum sellae.

Angulus superior dorsum sellae mempunyai dua tuberculum disebut processus

Page 29: Skenario B Blok 27 Laporan

clinoideus posterior, yang menjadi tempat perlekatan dari pinggir tetap tentorium

cerebelli.

3) Fossa Cranii Posterior

Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang, yaitu

cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir superior

pars petrosa ossis temporalis dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars

squamosa ossis occipitalis. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basillaris,

condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan pars mastoideus ossis temporalis. Atap

fossa dibentuk oleh lipatan dura, tentorium cerebelli, yang terletak di antara cerebellum

di sebelah bawah dan lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh

medulla oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis ascendens

n.accessories, dan kedua a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak di atas pinggir

anterolateral foramen magnum dan dilalui oleh n.hypoglossus. Foramen jugularis

terletak di antara pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis dan pars condylaris ossis

occipitalis. Foramen ini dilalui oleh struktur berikut ini dari depan ke belakang : sinus

petrosus inferior, n.IX, n.X dan n.XI, dan sinus sigmoideus yang besar. Sinus petrosus

inferior berjalan turun di dalam alur pada pinggir bawah pars petrosa ossis temporalis

untuk mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke bawah melalui foramen dan

berlanjut sebagai v.jugularis interna.

Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars petrosa ossis

temporalis. Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan radix motorik dan senorik

n.facialis. Crista occipitalis interna berjalan ke atas di garis tengah, posterior terhadap

foramen magnum, menuju ke protuberantia occipitalis interna. Pada crista ini melekat

falx cerebelli yang kecil, yang menutupi sinus occipitalis.

Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar untuk sinus

transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan dalam os occipitale,

sampai ke angulus inferior atau sudut os parietale. Kemudian alur berlanjut ke pars

mastoideus ossis temporalis, dan di sini sinus transversus berlanjut sebagai sinus

sigmoideus. Sinus petrosus superior berjalan ke belakang sepanjang pinggir atas os

petrosus di dalam sebuah alur sempit dan bermuara ke dalam sinus sigmoideus. Sewaktu

berjalan turun ke foramen jugulare, sinus sigmoideus membuat alur yang dalam pada

bagian belakang os petrosus dan pars mastoideus ossis temporalis. Di sini, sinus

sigmoideus terletak tepat posterior terhadap antrum amstoideum.

Page 30: Skenario B Blok 27 Laporan

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu : duramater, araknoid dan piamater.

Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang

melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang

terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat

mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior

mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-

sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara

duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari

tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan

perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media

yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus

pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat

permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.

4. Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri

atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater

dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara

manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer

dominan.

Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi

dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi

sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital

bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid

brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem

aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula

oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla

spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan

defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan

Page 31: Skenario B Blok 27 Laporan

keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis,

batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.

5. Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui

foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju

ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang

subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan

direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.

6. Tentorium

Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial

(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi

fosa kranii posterior).

Tekanan Intrakranial (TIK)

Tekanan intrakranial normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. Berbagai proses

patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan TIK. Kenaikan TIK dapat

menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.

Doktrin Monro-Kellie :

- Merupakan konsep dinamika TIK

- Volume TIK harus selalu konstan. Hal ini karena rongga kranium pada dasarnya

merupakan rongga yang rigid, tidak mungkin mekar.

- Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara

TIK masih dalam batas normal saat pengaliran CSS dan darah intravaskular mencapai

titik dekompensasi, TIK secara cepat akan meningkat

Aliran Darah ke Otak (ADO) :

- Normal pada orang dewasa antara 50-55 ml/100gr jaringan otak per menit

- Cedera otak berat sampai koma dapat menurunkan 50% dalam 6-12 jam pertama sejak

trauma

- ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang

koma tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma

Page 32: Skenario B Blok 27 Laporan

- Terdapat bukti bahwa ADO yang rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme

otak segera setelah trauma, sehingga akan mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun

menyeluruh.

Fisiologi

Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :

1. Tekanan Intra Kranial

Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu

tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg.

Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari

dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.

Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya

dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan serebrospinal( sekitar

75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur

utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan

menaikkan tekanan intra kranial.

2. Hipotesa Monro-Kellie

Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu

dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan

mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra kranial ini

terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.

Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis

Page 33: Skenario B Blok 27 Laporan

dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme

kompensasi yangberpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak

dan pergeseran otak ke arah bawah (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme

terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan

menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan

kematian neuronal.

Cedera kepala

1. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

Ada riwayat trauma kapitis

Tidak pingsan

Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan cukup

istirahat.

2. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (gegar otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih

dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien

mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat. Vertigo dan

muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam

batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu

hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia

ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan

tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi

Page 34: Skenario B Blok 27 Laporan

simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya

komplikasi dan mobilisasi bertahap.

3. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan

otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami

kerusakan atau terputus.

Timbulnya lesi contusio di daerah “coup”, “contrecoup”, dan “intermediate”

menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan

kelumpuhan UMN.

Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan

lemah.

Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan

pernafasan bisa timbul.

Terapi dengan antiserebral edema, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater.

Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural

akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak

langsung.

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda

asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan

laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan

mekanis.

5. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior.

Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.

Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

Epistaksis

Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

Hematom retroaurikuler, ottorhoe

Perdarahan dari telinga

Page 35: Skenario B Blok 27 Laporan

Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila

adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.

6. Hematom Epidural

Letak : antara tulang tengkorak dan duramater

Etiologi : pecahnya a. Meningea media atau cabang-cabangnya

Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar

kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-

gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun,

nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit,

lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah

tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.

Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)

Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma

subkutan

Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi

kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis,

misalnya : hemiparesis, refleks tendon meninggi, dan refleks patologik positif.

Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan

pembuluh darah.

7. Hematom subdural

Letak : di bawah duramater

Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi

piamater serta arachnoid dari kortex cerebri

Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama

Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian

Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.

Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian

dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)

Isodens → terlihat dari midline yang bergeser

Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak

(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom

akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.

8. Perdarahan Intraserebral

Page 36: Skenario B Blok 27 Laporan

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus

temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya

berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput

dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan

kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi

bagian otak yang terkena.

9. Oedema serebri

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga

berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah

dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.

Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.

TIK meningkat,

Cephalgia memberat,

Kesadaran menurun

Visum et repertum

Visum et repertum adalah keterangan atau laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas

permintaan penyidik tentang apa yang dilihat dan ditemukan terhadap manusia baik hidup

maupun mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan

keilmuannya untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum adalah salah satu alat bukti

yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP

1. Jenis visum Visum Orang Hidup dan Visum Orang Mati

2. Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:

1) Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa

2) Bernomor dan bertanggal

3) Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)

4) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

5) Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan

pemeriksaan

6) Tidak menggunakan istilah asing

7) Ditandatangani dan diberi nama jelas

Page 37: Skenario B Blok 27 Laporan

8) Berstempel instansi pemeriksa tersebut

9) Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan

10) Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum . Apabila ada lebih

dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan

keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum

et repertum masing-masing asli

11) Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan

disimpan sebaiknya hingga 20 tahun

3. Bagian-bagian visum:

Projustisia

Pendahuluan

Berisi tentang : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul

diterimanya permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan

pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,

alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan,

alasan dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat

sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang

mengantar korban ke rumah sakit

Pemberitaan (pemeriksaan luar, dalam, dan ringkasan pemeriksaan luar dan dalam)

Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati

terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan

dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.

Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis

adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka

dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera,

karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan

korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :

1) Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan , baik pemeriksaan

fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Page 38: Skenario B Blok 27 Laporan

Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu

hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang

berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).

2) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya , atau pada keadaan sebaliknya,

alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian

meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan

tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat

tidaknya penanganan dokter dan tepat -tidaknya kesimpulan yang diambil.

3) Keadaan akhir korban , terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan

hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.

Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka

pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan

yang diberikan.

Kesimpulan

Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari

fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan

dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian

ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat

kualifikasi luka.

Penutup

Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan

mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan

sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan . Dibubuhi tanda

tangan dokter pembuat visum et repertum.

Tata Laksana VeR pada Korban Hidup

A. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup

1. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)

adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI.

Page 39: Skenario B Blok 27 Laporan

Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai

penyidik.

2. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)

adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.

3. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa

permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah

diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).

4. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang

memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak

lain tidak dapat memintanya.

B. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik

1. Dokter

2. Perawat

3. Petugas Administrasi

C. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup

Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.

Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai

dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut.

Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila

kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak

tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan

berbagai disiplin spesialis.

Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/ visum et revertum

Adanya surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum merupakan hal

yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai

penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan

tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering

menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari

penyidik belum ada atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan

keterangan ahli/ visum et repertum.

Page 40: Skenario B Blok 27 Laporan

Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang

pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV.

Sebagai berikut :

-Setiap pasien dengan trauma

-Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan

-Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas

-Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan

-Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum

“Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal pencatatan

temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada map rekam

medisnya (tanda “VER”), warna sampul rekam medis serta penyimpanan rekam

medis yang tidak digabung dengan rekam medis pasien umum.”

Pemeriksaan korban secara medis

Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang

telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang

mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan.

Pengetikan surat keterangan ahli/ visum et repertum

Pengetikan berkas keterangan ahli/ visum et repertum oleh petugas

administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk

kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk

mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Contoh :

“Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata sepanjang lima senti meter“

Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum

Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang

menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut

(dokter pemeriksa).

Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang

menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam

penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa

yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan

luka/cedera/racun/tindak pidana.

Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa

Page 41: Skenario B Blok 27 Laporan

Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada

penyidik saja dengan menggunakan berita acara.

Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum

Surat keterangan ahli/ visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada

pihak penyidik yang memintanya saja.

Initial assesment

I. Primary Survey

a. Airway dengan kontrol servikal

i. Penilaian

Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)

Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi

ii. Pengelolaan airway

Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line

immobilisasi

Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang

rigid

Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal

Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabel 1 )

iii. Fiksasi leher

iv. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita

multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas

klavikula.

v. Evaluasi

Tabel 1- Indikasi Airway Definitif

Kebutuhan untuk perlindungan airway

Kebutuhan untuk ventilasi

Tidak sadar Apnea• Paralisis neuromuskuler• Tidak sadar

Fraktur maksilofasial Usaha nafas yang tidak adekuat• Takipnea• Hipoksia• Hiperkarbia• Sianosis

Page 42: Skenario B Blok 27 Laporan

Bahaya aspirasi• Perdarahan• Muntah - muntah

Cedera kepala tertutup berat yangmembutuhkan hiperventilasi singkat,bila terjadi penurunan keadaan neurologis

Bahaya sumbatan

• Hematoma leher

• Cedera laring, trakea

• Stridor

Gambar 2

Algoritme Airway

Keperluan Segera Airway DefinitifKecurigaan cedera servikal

Oksigenasi/Ventilasi

Apneic BernafasIntubasi orotrakeal Intubasi Nasotrakealdengan imobilisasi atau orotrakealservikal segaris dengan imobilisasi

servikal segaris*Cedera

maksilofasial berat

Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi

Tambahan farmakologik

Intubasi orotrakeal

Tidak dapat intubasi

Airway Surgical

* Kerjakan sesuai pertimbangan klinis dan tingkat ketrampilan/pengalaman

b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi

i. Penilaian

Page 43: Skenario B Blok 27 Laporan

Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol

servikal in-line immobilisasi

Tentukan laju dan dalamnya pernapasan

Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan

terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian

otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.

Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor

Auskultasi thoraks bilateral

ii. Pengelolaan

Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12

liter/menit)

Ventilasi dengan Bag Valve Mask

Menghilangkan tension pneumothorax

Menutup open pneumothorax

Memasang pulse oxymeter

iii. Evaluasi

c. Circulation dengan kontrol perdarahan

i. Penilaian

Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal

Mengetahui sumber perdarahan internal

Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak

diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda

diperlukannya resusitasi masif segera.

Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.

Periksa tekanan darah

ii. Pengelolaan

Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal

Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta

konsultasi pada ahli bedah.

Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel

darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita

usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah

(BGA).

Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.

Page 44: Skenario B Blok 27 Laporan

Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-

pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.

Cegah hipotermia

iii. Evaluasi

d. Disability

i. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS

ii. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda

lateralisasi

iii. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.

e. Exposure/Environment

i. Buka pakaian penderita

ii. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang

cukup hangat.

II. RESUSITASI

a. Re-evaluasi ABCDE

b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20

mL/kg pada anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )

c. Evaluasi resusitasi cairan

i. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3,

tabel 3 dan tabel 4 )

ii. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta

awasi tanda-tanda syok

d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.

i. Respon cepat

- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance

- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian

darah

- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan

- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin

masih diperlukan

ii. Respon Sementara

- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah

Page 45: Skenario B Blok 27 Laporan

- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif

- Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).

iii. Tanpa respon

- Konsultasikan pada ahli bedah

- Perlu tindakan operatif sangat segera

- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade

jantung atau kontusio miokard

- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 )

Tabel 2- Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah, Berdasarkan Presentasi Penderita Semula

KELAS I Kelas II Kelas III Kelas IVKehilangan Darah (mL)

Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000

Kehilangan Darah (% volume darah)

Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%

Denyut Nadi <100 >100 >120 >140Tekanan Darah Normal Normal Menurun MenurunTekanan nadi(mm Hg)

Normal atau Naik

Menurun Menurun Menurun

Frekuensi Pernafasan

14-20 20-30 30-40 >35

Produksi Urin(mL/jam)

>30 20-30 5-15 Tidak berarti

CNS/ StatusMental

Sedikit cemas Agak cemas Cemas,bingung

Bingung,lesu(lethargic)

Penggantian Cairan(Hukum 3:1)

Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah

Kristaloid dan darah

Table 3-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok

KONDISI PENILAIAN (Pemeriksaan

Fisik)

PENGELOLAAN

TensionPneumothorax

• Deviasi Tracheal• Distensi vena leher• Hipersonor• Bising nafas (-)

• Needle decompression• Tube thoracostomy

Massive hemothorax • ± Deviasi Tracheal• Vena leher kolaps• Perkusi : dullness• Bising nafas (-)

• Venous access• Perbaikan Volume• Konsultasi bedah• Tube thoracostomy

Cardiac tamponade • Distensi vena leher• Bunyi jantung jauh• Ultrasound

Pericardiocentesis• Venous access• Perbaikan Volume

Page 46: Skenario B Blok 27 Laporan

• Pericardiotomy• Thoracotomy

Perdarahan Intraabdominal

• Distensi abdomen• Uterine lift, bila hamil• DPL/ultrasonography• Pemeriksaan Vaginal

• Venous access• Perbaikan Volume• Konsultasi bedah• Jauhkan uterus dari vena cava

Perdarahan Luar • Kenali sumber perdarahan

Kontrol Perdarahan• Direct pressure• Bidai / Splints• Luka Kulit kepala yangberdarah : Jahit

Tabel 4-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok

KONDISI

IMAGE FINDINGS

SIGNIFICANCE

INTERVENSI

Fraktur Pelvis

Pelvic x-ray• Fraktur Ramus Pubic

• Kehilangan darah kurangdibanding jenis lain• MekanismeKompresi Lateral

• Perbaikan Volume• Mungkin Transfuse• Hindari manipulasiberlebih

• Open book • Pelvic volume ↑ • Perbaikan Volume• Mungkin Transfusi• Pelvic volume• Rotasi Internal Panggul• PASG

• Vertical shear • Sumber perdarahan banyak

• External fixator• Angiography• Traksi Skeletal• Konsultasi Ortopedi

Cedera Organ Dalam

CT scan• Perdarahan intraabdomimal

• Potensial kehilangan darah• Hanya dilakukan bilahemodinamik stabil

• Perbaikan Volume• Mungkin Transfusi• Konsultasi Bedah

TAMBAHAN PADA PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI

A. Pasang EKG

1. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai

adanya hipoksia dan hipoperfusi

2. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia

B. Pasang kateter uretra

1. Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan

kateter urine

Page 47: Skenario B Blok 27 Laporan

2. Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH,

jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada

bagian bedah

3. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine

4. Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal dan

hemodinamik penderita

5. Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1

ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi

C. Pasang kateter lambung

1. Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial

yang merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan

orogastric tube.

2. Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena

bahaya aspirasi bila pasien muntah.

D. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium

Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah,

Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan

laboratorium darah.

E. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST

1. Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin x-

ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.

2. Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat proses

resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary

survey.

3. Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus dilakukan.

II. SECONDARY SURVEY

A. Anamnesis

Anamnesis yang harus diingat :

A : Alergi

M : Mekanisme dan sebab trauma

M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)

P : Past illness

Page 48: Skenario B Blok 27 Laporan

L : Last meal (makan minum terakhir)

E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

B. Pemeriksaan Fisik ( lihat tabel 7 )

Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey

Hal yangDinilai

Identifikasi/tentukan

PenilaianPenemuan

KlinisKonfirmasi

denganTingkatKesadaran

• Beratnya trauma kapitis

• Skor GCS • 8, cedera kepala berat

• 9 -12, cedera kepala sedang

• 13-15, cedera kepala ringan

• CT Scan• Ulangi tanpa

relaksasi Otot

Pupil • Jenis cedera kepala

• Luka pada mata

• Ukuran• Bentuk• Reaksi

• "mass effect"• Diffuse axional

injury• Perlukaan mata

• CT Scan

Kepala • Luka pada kulit kepala

• Fraktur tulang tengkorak

• Inspeksi adanya luka dan fraktur

• Palpasi adanya fraktur

• Luka kulit kepala

• Fraktur impresi• Fraktur basis

• CT Scan

Maksilofasial

• Luka jaringan lunak

• Fraktur• Kerusakan

syaraf• Luka dalam

mulut/gigi

• Inspeksi : deformitas

• Maloklusi• Palpasi :

krepitus

• Fraktur tulang wajah

• Cedera jaringan lunak

• Foto tulang wajah

• CT Scan tulang wajah

Leher • Cedera pada faring

• Fraktur servikal• Kerusakan

vaskular• Cedera

esofagus• Gangguan

neurologis

• Inspeksi• Palpasi• Auskultasi

• Deformitas faring

• Emfisema subkutan

• Hematoma• Murmur• Tembusnya

platisma• Nyeri, nyeri

tekan C spine

• Foto servikal• Angiografi/

Doppler• Esofagoskopi• Laringoskopi

Toraks • Perlukaan dinding toraks

• Emfisema subkutan

• Pneumo/ hematotoraks

• Cedera bronchus

• Inspeksi• Palpasi• Auskultasi

• Jejas, deformitas, gerakan

• Paradoksal• Nyeri tekan

dada, krepitus• Bising nafas

berkurang

• Foto toraks• CT Scan• Angiografi• Bronchoskopi• Tube

torakostomi• Perikardio

sintesis

Page 49: Skenario B Blok 27 Laporan

• Kontusio paru• Kerusakan

aorta torakalis

• Bunyi jantung jauh

• Krepitasi mediastinum

• Nyeri punggung hebat

• USG Trans-Esofagus

Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey ( lanjutan )

Hal yangDinilai

Identifikasi/ tentukan

Penilaian Penemuan klinis Konfirmasi dengan

Abdomen/ pinggang

• Perlukaan dd. Abdomen

• Cedera intra-peritoneal

• Cedera retroperitoneal

• Inspeksi• Palpasi• Auskultasi• Tentukan arah

penetrasi

• Nyeri, nyeri tekan abd.

• Iritasi peritoneal

• Cedera organ viseral

• Cedera retroperitoneal

• DPL• FAST• CT Scan• Laparotomi• Foto dengan

kontras• Angiografi

Pelvis • Cedera Genito-urinarius

• Fraktur pelvis

• Palpasi simfisis pubis untuk pelebaran

• Nyeri tekan tulang elvis

• Tentukan instabilitas pelvis (hanya satu kali)

• Inspeksi perineum

• Pem. Rektum/vagina

• Cedera Genito- rinarius (hematuria)

• Fraktur pelvis• Perlukaan

perineum, rektum, vagina

• Foto pelvis• Urogram• Uretrogram• Sistogram• IVP• CT Scan

dengan kontras

MedulaSpinalis

• Trauma kapitis• Trauma medulla

spinalis• Trauma syaraf

perifer

• Pemeriksaan motorik

• Pemeriksaan sensorik

• "mass effect" unilateral

• TetraparesisParaparesis

• Cedera radiks syaraf

• Foto polos• MRI

KolumnaVertebralis

• Fraktur• lnstabilitas

kolumna Vertebralis

• Kerusakan syaraf

• Respon verbal terhadap nyeri,

tanda lateralisasi• Nyeri tekan• Deformitas

• Fraktur atau dislokasi

• Foto polos• CT Scan

Ekstremitas • Cedera jaringan lunak

• Fraktur• Kerusakan sendi• Defisit neuro-

vascular

• Inspeksi• Palpasi

• Jejas, pembengkakan, pucat

• Mal-alignment• Nyeri, nyeri

tekan,

• Foto ronsen• Doppler• Pengukuran

tekanan kompartemen

• Angiografi

Page 50: Skenario B Blok 27 Laporan

Krepitasi• Pulsasi hilang/

berkurang• Kompartemen• Defisit

neurologis

III. TAMBAHAN PADA SECONDARY SURVEY

A. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan

teliti dan pastikan hemodinamik stabil

B. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan

tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain

C. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :

1. CT scan kepala, abdomen

2. USG abdomen, transoesofagus

3. Foto ekstremitas

4. Foto vertebra tambahan

5. Urografi dengan kontras

IV. RE-EVALUASI PENDERITA

A. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap

perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.

B. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin

C. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan

IX. TRANSFER KE PUSAT RUJUKAN YANG LEBIH BAIK

A. Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena

keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih

memungkinkan untuk dirujuk.

B. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama

perjalanan serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.

Page 51: Skenario B Blok 27 Laporan

DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.

EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme

Medical Publisher, New York,1996, 22

Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,

2006, 359-366

Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta,

2004, 818-819

Markam S, Trauma Kapitis,  Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta, 2005, 314

Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar, Dian

Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

Paul, Juhl’s, The Brain And Spinal Cord, Essentials of Roentgen Interpretation, fourth

edition, Harper & Row, Cambridge, 1981, 402-404

Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates In

Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002,  80