skenario blok uronefrologi
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

Skenario
Seorang anak laki-laki, umur 12 tahun, datang ke Puskesmas dengan bengkak pada
wajah dan perut. Keadaan ini dialami sejak 3 minggu yang lalu, dan saat ini semakin
bertambah. Tidak ada demam dan tanda infeksi lain.
Kalimat/kata kunci
• Anak laki-laki 12 tahun
• Bengkak pada wajah dan perut
• Sejak 3 minggu yang lalu
• Semakin bertambah/berat
• Tidak ada demam dan tanda infeksi yang lain
Pertanyaan-Pertanyaan Penting
1. Bagaimana anatomi,histologi, dan fisiologi dari ginjal?
2. Bagaimana patofisiologi dari bengkak?
3. Mengapa terjadi pada wajah dan perut?
4. Mengapa gejala tersebut semakin bertambah/berat?
5. Kenapa tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi?
6. Jenis pemeriksaan apa yang dilakukan saat pasien datang pertama kali?
7. Differential Diagnosis?

Jawaban
1. Anatomi, histologi, dan fisiologi dari ginjal
Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Sebagai
bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah
dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk
urin. Cabang dari kedokteran yang mempelajari ginjal dan
penyakitnya disebut nefrologi.
Letak
Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di
belakang perut atau abdomen. Ginjal ini terletak di kanan
dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di
bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal
(juga disebut kelenjar suprarenal).
Ginjal bersifat retroperitoneal, yang berarti terletak di
belakang peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Kedua ginjal terletak di sekitar
vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk
memberi tempat untuk hati.
Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas. Kedua
ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang
membantu meredam goncangan.
Pada orang dewasa, setiap ginjal memiliki ukuran panjang sekitar 11 cm dan ketebalan 5
cm dengan berat sekitar 150 gram. Ginjal memiliki bentuk seperti kacang dengan
lekukan yang menghadap ke dalam. Di tiap ginjal terdapat bukaan yang disebut hilus
yang menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter.
Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi disebut medulla.
Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagian medulla ginjal manusia dapat pula
dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran pengumpul. Ginjal dibungkus
oleh lapisan jaringan ikat longgar yang disebut kapsula. Unit fungsional dasar dari ginjal
adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal
manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama

elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan
molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang.
Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus
dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin. Sebuah nefron
terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau badan Malphigi)
yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap korpuskula mengandung
gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman.
Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari
glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring
melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman
karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan
akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal
lewat arteri eferen. Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam
kapsula Bowman terdapat tiga lapisan:
1. kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus
2. lapisan kaya protein sebagai membran dasar
3. selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)
Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari glomerulus, melewati
ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman dalam
bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun
molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam
filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2
liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan
glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi ginjal.
Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan
filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian
selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal.
Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav Jakob Henle di
awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan
arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak
mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk
menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air

(97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui
osmosis. Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang
terdiri dari:
tubulus penghubung
tubulus kolektivus kortikal
tubulus kloektivus medularis
Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus
juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular
adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin Cairan menjadi makin kental di
sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke
kandung kemih melewati ureter.
Fisiologi Ginjal
Fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun; mempertahankan
keseimbangan cairan; mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan
tubuh; mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh;
mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum, kreatinin danamoniak”.
Tiga tahap pembentukan urine :
1)Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein
plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti
elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal
Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar
seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula
bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari
perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s,
tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan
ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.

2)Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan
air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi
zat-zat yang sudah difiltrasi.
3)Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui
tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah
dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh
termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
2. Bagaimana patofisiologi dari bengkak
Ada lima mekanisme yang berhubungan secara umum : penurunan tekanan osmotic
koloid, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler,
obstrukso limfatik, dan kelebihan natrium dan air tubuh. Beberapa bentuk edema
diakibatkan oleh lebih dari satu mekanisme.
Penurunan tekanan osmotic koloid. Bila protein plasma di dalam darah menipis,
kekuatan ke dalam menurun, yang memungkinkan gerakan ke dalam jaringan. Ini
menimbulkan akumulasi cairan dalam jaringan dengan penurunan volume plasma
sentral. Ginjal berespons terhadap penurunan volume sirkulasi melalui aktivasi system
aldosteron-renin-angiotensin, yang mengakibatkan reabsorbsi tambahan terhadap
natrium dan air. Volume intravaskuler meningkat sementara. Namun, karena defidit
protein plasma belum diperbaiki, penurunan tekanan osmotic koloid tetap rendah dalam
proporsi terhadap tekanan hidrostatik kapiler. Akibatnya cairan intravaskuler bergerak
kedalam jaringan, memperburuk edema dan status sirkulasi.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler. Penyebab paling umum dari peningkatan
tekanan kapiler adalah gagal jantung kongestif dimana peningkatan tekanan vena
sistemik dikombinasi dengan peningkatan volume darah. Manifestasi ini adalah
karakteristik untuk gagal ventrikel kanan, atau gagal jantung kanan. Bila tekanan ini
melebihi 30mmHg terjadi edema paru. Penyebab lain dari peningkatan tekanan
hidrostatik adalah gagal ginjal dengan peningkatan volume darah total, peningkatan
kekuatan gravitasi akibat dari berdiri lama, kerusakan sirkulasi vena, dan obstruksi hati.

Obstruksi vena biasanya menimbulkan edema local daripada edema umum karena hanya
satu vena atau kelompok vena yang terkena.
Peningkatan permeabilitas kapiler. Kerusakan langsunga pada pembuluh darah, seperti
pada trauma luka bakar, dapat meyebabkan peningkatan permeabilitas hubungan
endothelium. Edema local dapat terjadi pada respons terhadap allergen, seperti sengatan
lebah. Pada individu tertentu, allergen ini dapat mencetuskan respons anafilaktik dengan
edema luas yang ditimbulkan oleh reaksi tipe histamine. Inflamasi menyebabkan
hyperemia dan vasodilatasi, yang menyebabkan akumulasi cairan, protein, dan sel pada
area yang sakit. Ini mengakibatkan pembengkakan edema (eksudasi) area yang terkait.
Obstruksi limfatik. Penyebab paling umum dari obstruksi limfatik adalah pengangkatan
limfonodus dan pembuluh darah melalui pembedahan untuk mencegah penyebaran
keganasan. Terapi radiasi, trauma, metastasis keganasan, dan inflamasi dapat juga
menimbulkan obstruksi luas pada pembuluh darah. Obstruksi limfatik menimbulkan
retensi kelebihan cairan dan protein plasma dalam cairan interstisial. Pada saat protein
mengumpul dalam ruang interstisial, lebih banyak air bergerak ke dalam area. Edema
biasanya lokal.
Kelebihan air tubuh dan natrium. Pada gagal jantung kongestif, curah jantung menurun
pada saat kekuatan kontraksi menurun. Untuk mengkompensasi, peningkatan jumlah
aldosteron menyebabkan reytensi natrium dan air. Volume plasma meningkat, begitu
juga tekanan kapiler intervaskular vena. Jantung yang gagal ini tidak mampu memompa
peningkatan aliran balik vena ini, dan cairan dipaksa masuk ke dalam interstisial.
Dari skenario diatas bengkak yang dialami anaka tersebut akibat dari peningkatan
tekanan onkotik koloid.Hal ini dikarenakan akibat reaksi antigen antibody pada
glomerulus menyebabkan permeabilitas MBG meningkat dan setelah itu terjadilah
proteinuria. Karena terjadi proteinuria maka dalam darah terjadi kekurangan protein
(hipoproteinemia) akibat terjadinya hipoproteinemia maka tekanan koloid plasma
menurun sehingga terjadi ekstravasasi. Akibat dari ekstravasasi tersebut maka volume
plasma dan CO menurun. Dan di kelenjar suprarenal mengakibatkan mineralokortikoid
meningkat dan produksi aldosteron meningkat. Dan ADH meningkat sehingga
mengakibatkan terjadi retensi Na dan air. Dan terjadilah edema.

Edema juga terjadi karena penurunan GFR yang terjadi akibat dari reaksi antigen
antibody.
3. Mengapa bengkak yang dialami hanya pada wajah dan perut?
Terjadi pada wajah dan perut karena distribusi edema tergantung pada 2 faktor yaitu
gravitasi & tahanan jaringan lokal. Itu sebabnya edema pada muka sangat menonjol
waktu bangun pagi oleh karena adanya jaringan ikat longgar pada daerah tersebut dan
adanya gaya gravitasi dimana cairan akan menempati daerah yang rendah dan pada perut
karena banyaknya rongga-rongga pada perut dan juga karena rendahnya tekanan di
daerah perut sehingga cairan dapat memasuki bagian perut.
4. Mengapa semakin hari edemanya semakin bertambah besar?
Jawab:
Karena aliran darah ke ginjal terus menerus ada, maka proses filtrasi dalam glomerulus
terus menerus berlangsung. Jika proses filtrasi ini terus menerus terjadi maka protein
dalam darah akan terus menerus di saring dan keluar dalam urin. Sehingga konsentrasi
protein dalam tubuh akan terus berkurang dan akan mengakibatkan ekstravasasi cairan
plasma ke ruang intertitial akan semakin bertambah dan akan semakin menambah
besarnya edema.
5. Mangapa tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi?
Jawab:
Tidak adanya demam dan tanda-tanda infeksi hal yang dapat terjadi kemungkinan pasien
sebelum dibawa kerumah sakit sudah pernah mengkonsumsi obat sebelumnya sehingga
ketika pasien dibawa ke rumah sakit tidak dalam keadaan demam.
6. Jenis pemeriksaan apa yang dilakukan saat pasien datang pertama kali :
Langkah diagnostik pada pasien
1. Anamnesis
• Riwayat penyakit sekarang : tidak terdapat tanda – tanda infeksi
• Riwayat penyakit terdahulu : riwayat 1-2 minggu sebelumnya à malaria ?
faringitis ? tonsilitis ? ISPA ? Piodermi ?
• Kebiasaan makan : intake protein ? alergi ? diet garam ?

2. Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi :
edema (pitting nail ?, lokasi ?), anemia/ikterus (diduga terjadi hemolisis RBC
à proteinuria fisiologis)
Sklera : melihat Status Gizi (mata cekung? Sembab ?)
• Palpasi :
Edema, asites sesuai dengan letak yang diduga
• Perkusi :
Melakukan perkusi untuk memastikan adanya asites à Shifting Dullness,
Puddle Sign, Blumberg Sign
3. Pemeriksaan Penunjang
• Patologi Klinik : Urinalisis à Kadar Protein
Tes Fungsi Ginjal
Kadar Kreatinin
• Radiologi : BNO
7. Differential Diagnostic
Syndrome nefrotik
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria
masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari
atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl.
Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri,
bahkan kadang-kadang azotemia.1
Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-
85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-
laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak
nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan
laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun
sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. 1,2

Etiologi
Sebab pasti belum diketahui; akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit auto
imun. Jadi merupakan suatu antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu :1,2,4
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak
anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif
autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan.
Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa
neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in
Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan
klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases
in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda
dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di
Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori

yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma
ke ruang interstitial.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema.
Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya
retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha
kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal.
Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan
air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa
peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma
dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep
baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi
karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam

kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang
meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat
hipervolemia.
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan
atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3
Mekanisme hipoalbuminemia secara jelas dapat pada Sindrom nefrotik adalah
sebagai berikut :
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan
ekstra vascular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah
protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk
meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein
dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin
disebabkan beberapa factor :
a. kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein
losing enteropathy)
b. Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun
dan mual-mual
c. Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Gejala Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara
lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab
sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau
labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).

Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas
bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan
mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien
SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur. Tanda
utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50
mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya
mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5
g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-
3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun
tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi
pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat
normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal.
Penegakkan diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
I. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.
II. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-
kadang ditemukan hipertensi
III.Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus
fokal).
Komplikasi
Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
Infeksi sekunder, terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptokokus,
Stafilokokus
Hambatan pertumbuhan
Gagal ginjal akut atau kronik
Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi
dan perilaku’
Penatalaksanaan

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-
gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%
kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari
PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
A. Sindrom nefrotik serangan pertama
1. Perbaiki keadaan umum penderita
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian
gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai ± 1 gram/hari, secara praktis dengan
menggunakan garam secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat
c. Berantas infeksi
d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. biasanya
furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons
pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50
mg/hari). Selama pengobatan diuretic perlu dipantau kemungkinan hipokalemia,
alkalosis metabolic, atau kehilangan cairan intravascular berat Jika ada hipertensi,
dapat ditambahkan obat antihipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan,
prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi
pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan
2. Perbaiki keadaan umum penderita
GNAPS
Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi
sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang
menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas.
Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering
infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Dari perkembangan teknik biopsi ginjal per-
kutan, pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunofluoresen serta pemeriksaan
serologis, glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah satu contoh
dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini merupakan contoh klasik sindroma nefritik akut
dengan awitan grosshematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut. Walaupun
penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna, pada sebagian kecil
kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga memerlukan pemantauan.
Pembagian Klinik Glomerulonefritis Berdasarkan Perjalanan Penyakit
1. Kongenital atau herediter
Sindrom Alport, Sindrom Nekrotik Congenital (tipe finlandia), Hematuria Familial,
Sindrom Nail Patella.
2. Didapat
a. Primer atau Idiopatik
Penyakit Kelainan Minimal
Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial
Glomerulonefritis Fokal Segmental
Glomerulonefritis Membranoproliferatif Tipe I, II, III
Glomerulopati Membranosa, Nefropati IgA
Glomerulonefritis Progresif cepat
Glomerulonefritis Proliferatif Difus
Glomerulonefritis Kronik yang lain (tak terklasifikasi)

b. Sekunder
Akibat Infeksi
- Glomerulonefritis pasca streptokok, hepatitis B, endokarditis bakteril subakut
- Nefritis pirau, glomerulonefritis pasca pneumokok, sifilis congenital, malaria
- Lepra, schistosomiasis, filariasis, AIDS, dll
Berhubungan dengan Penyakit Multisistem
- Purpura Henoch Schonlein, Lupus Eritematosus Sistemik, Sindrom Hemolitik
Uremik
- Diabetes Mellitus Sindrom Goodpasture, amiloidosis, dll
- Penyakit kolagen vascular lainnya : poliarteritis nodosa, penyakit jaringan ikat
campuran, granulomatosis Wegener, vaskulitis, arthritis rheumatoid
Obat
Penisilamin, obat anti-radang nonsteroid, kaptopril, garam emas, Street geroin,
trimetadion, litium, merkuri, dll.
Neoplasia
Leukemia, limfoma, karsinoma
Lain-lain
Rejeksi transplantasi ginjal kronik, nefropati refluks, penyakit sel sabit, dll
Kuman Penyebab GNAPS
Bakteri
Streptokokus ß hemolitikus grup A
Streptokokus grup C (Streptococcus zooepidemicus)
Pneumococcus (Pneumonia)
Streptococcus viridians (endokarditis bacterial sub akut)
Staphylococcus aureus (endokarditis bacterial sub akut pneumonia)
Staphylococcus albus (shunt ventrikuloatrial yang terinfeksi)
Diphteroids (shunt ventrikuloatrial yang terinfeksi)
Meningococcus (sepsis)
Klebsiella pneumonia (pneumonia)
Organisme gram negatif (sepsis)
Gonococcus (endokarditis)
Salmonella thypi (demam tifoid)

Mycoplasma pneumonia (pneumonia)
Leptospira
Treponema pallidum (sifilis kongenital)
Mycobacterium leprae
Di negara berkembang, glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus (GNAPS)
masih sering dijumpai dan merupakan penyebab lesi ginjal non supuratif terbanyak pada
anak. Sampai saat ini belum diketahui faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini menjadi
berat, karena tidak ada perbedaan klinis dan laboratoris antara pasien yang jatuh ke dalam
gagal ginjal akut (GGA) dan yang sembuh sempurna. Manifestasi klinis yang bervariasi
menyebabkan insiden penyakit ini secara statistik tidak dapat ditentukan. Diperkirakan
insiden berkisar 0- 28% pasca infeksi streptokokus. Pada anak GNAPS paling sering
disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus group A tipe nefritogenik.
Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe nefritogenik. Serotipe streptokokus beta
hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan glomerulonefritis akut (GNA) yang
didahului faringitis adalah tipe 12, tetapi kadang- kadang juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49
paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit / pioderma,
walaupun galur 53,55,56,57 dan 58 dapat berimplikasi. Protein streptokokus galur
nefritogenik yang merupakan antigen antara lain endostreptosin, antigen presorbing (PA-Ag),
nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal sebagai streptokinase dan nephritic
plasmin binding protein (NPBP).
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau
sporadic paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun.5
Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1. Di Indonesia, penelitian multisenter
selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak
menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%).
Patogenesis dan Gambaran Histologis
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik diduga berperan
dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan HLADR. Periode laten antara

infeksi streptokokus dengan kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang
peran penting dalam mekanisme penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim imun
pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan
terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus.
Disini terjadi aktivasi sistim komplemen yang melepas substansi yang akan menarik
neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan faktor responsif untuk merusak
glomerulus.
Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan
mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya autoantibodi terhadap IgG yang
telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek imun yang bersirkulasi,
kemudian mengendap dalam ginjal. Pada kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop
cahaya menunjukkan kelainan minimal. Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang
dari sel mesangial dan matriks. Pada kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan
sel endotel yang difus disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan
lumen kapiler. Istilah glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus digunakan
untuk menggambarkan kelainan morfologi penyakit ini. Bentuk bulan sabit dan inflamasi
interstisial dapat dijumpai mulai dari yang halus sampai kasar yang tipikal di dalam
mesangium dan di sepanjang dinding kapiler. Endapan imunoglobulin dalam kapiler
glomerulus didominasi oleh Ig G dan sebagian kecil Ig M atau Ig A yang dapatdilihat dengan
mikroskop imunofluoresen. Mikroskop elektron menunjukkan deposit padat elektron atau
humps terletak di daerah subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi Ag-Ab
kompleks.
Anamnesis
Identitas pasien
Keluhan utama
Keluhan tambahan
Riwayat penyakit
Riwayat pengobatan
Gambaran Klinis dan kelainan fisik

Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali dengan
infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya
sembab. Periode laten rata-rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit.
Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik. Gross
hematuria terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa
dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu.1,4
Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya
ringan atau sedang.7,15 Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari.
Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa
berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites
dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata
dengan takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
Laboratorium
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis akut. Volume
urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian daging.
Hematuria makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit
khas terdapat pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus. Proteinuria
biasanya sebandingdengan derajat hematuria dan ekskresi protein umumnya tidak melebihi
2gr/m2 luas permukaan tubuh perhari. Sekitar 2-5% anak disertai proteinuria masif seperti
gambaran nefrotik.
Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi air dan garam,
menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraselular. Menurunnya LFG akibat tertutupnya
permukaan glomerulus dengan deposit kompleks imun. Sebagian besar anakyang dirawat
dengan GNA menunjukkan peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi serum kreatinin.
Anemia sebanding dengan derajat ekspansi volume cairan esktraselular dan membaik
bila edem menghilang. Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup
eritrosit. Kadar albumin dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan
berbanding terbalik dengan jumlah deposit imun kompleks pada mesangial glomerulus.

Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak dengan GNA harus
diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok atau kulit
penting untuk isolasi dan identifikasi streptokokus. Bila biakan tidak
mendukung, dilakukan uji serologi respon imun terhadap antigen streptokokus.
Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 10- 14 hari setelah
infeksi streptokokus. Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang tidak mendapat
antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang meningkat dan hanya
terjadi pada 50% kasus. Titer antibodi lain seperti antihialuronidase (Ahase) dan anti
deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer antibodi yang
terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang meningkat pada 90-95%
kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat mendeteksi infeksi
streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus.
Penurunan komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama,
sedang kadar properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar
sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-170 mg/dl). Kadar IgG seringmeningkat lebih dari 1600
mg/100 ml pada hampir 93% pasien. Pada awal penyakit kebanyakan pasien mempunyai
krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3.
Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru. Di Ujung Pandang pada
tahun 1980-1990 pada 176 kasus mendapatkan gambaran radiologis berupa kardiomegali
84,1%, bendungan sirkulasi paru 68,2 % dan edem paru 48,9% . Gambaran tersebut lebih
sering terjadi pada pasien dengan manifestasi klinis disertai edem yang berat. Foto abdomen
menunjukkan kekaburan yang diduga sebagai asites.
Diagnosis
Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala klinis berupa
hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi
streptokokus.Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secaralaboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk
menegakkan diagnosis.
Tetapi beberapa keadaan dapat menyerupai GNAPS seperti:

Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut
Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal
Hematuria idiopatik
Nefritis herediter (sindrom Alport )
Lupus eritematosus sistemik
Tata laksana
1. Pengobatan
Suportis
Pengobatan GNAPS umumnya bersifat suportis. Tirah baring umumnya
diperlukan jika pasien tampak sakit, misalnya kesadaran menurun, hipertensi, edema.
Diet nefritis diberikan terutama pada keadaan dengan retensi cairan dan penurunan
fungsi ginjal. Jika terdapat komplikasi seperti gagal ginjal, hipertensi ensefalopati,
gagal jantung, edema paru, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang
terjadi.
Dietetik
Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgBB/hari) dan rendah
garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan denan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti
gagal jantung, edema, hipertensi, dan oligouria, maka jumlah cairan yang diberikan
harus dibatasi.
Medikamentosa
Golongan Penisilin dapat diberikan untuk eradikasi kuman, dengan
Amoksisilin 50mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan
penisilin, diganti dengan Eritromisin 30mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya, dll)
Rujuk ke dokter nefrologi anak bila terdapat komplikasi gagal ginjal, ensefalopati,
hipertensi, gagal jantung.
2. Pemantauan
Terapi

Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan
dilakukan terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat
mengakibatkan kematian. Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara
berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika
terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele.
Komplikasi GNAPS
Oligouria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat
berkurangnya filtrasi glomerolus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia,
hiperfosfatemia, hiperkalemia, dan hidremia. Walaupun oligouria atau anuria yang lama
jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialisis (bila perlu).
Ensefalopati hipertensi merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan
karena spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi basah, kardimegali,
dan meningkatnya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi
juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi
gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping eritropoetik yang
menurun.
Kwashiorkor
Definisi
Kata “kwarshiorkor” berasal dari bahasa Ghana-Afrika yang berati “anak yang kekurangan
kasih sayang ibu”. Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein berat yang
disebabkan oleh intake protein yang inadekuat dengan intake karbohidrat yang normal atau
tinggi.Dibedakan dengan Marasmus yang disebabkan oleh intake dengan kualitas yang
normal namun kurang dalam jumlah .
Etiologi

Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis.
Faktor yang dapat menyebabkan hal tersbut diatas antara lain :
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan
berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua
makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak
memperoleh ASI protein adri sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain)
sangatlah dibutuhkan (6). Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak
berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI .
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik
tidak stabil , ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah
berlansung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor .
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak
dapat mencukupi kebutuhan proteinnya .
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat
ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
Epidemiologi
Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, persediaan makanan yang terbatas, dan tingkat
pendidikan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah di negara-negara miskin dan

berkembang di Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Asia Selatan. Di negara maju
sepeti Amerika Serikat kwashiorkor merupakan kasus yang langka .
Berdasarkan SUSENAS (2002), 26% balita di Indonesia menderita gizi kurang dan 8% balita
menderita gizi buruk (marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) .
PATOGENESIS
Pada kwashiorkor yang klasik, terjadi edema dan perlemakan hati disebabkan gangguan
metabolik dan perubahan sel. Kelainan ini merupakan gejala yang menyolok. Pada penderita
defisiensi protein, tidak terjadi katabolisme jaringan yang berlebihan, karena persediaan
energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori yang cukup dalam dietnya. Namun, kekurangan
protein dalam dietnya akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino esensial yang
dibutuhkan untuk sintesis
Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat
dan sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan
disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebabnya kurang
pembentukan albumin oleh hepar, sehingga kemudian timbul edema
Perlemakan hati disebabkan gangguan pembentukan lipoproteinbeta sehingga transportasi
lemak dari hati ke depot lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumulasi lemak dalam
hepar
Gejala Klinis
Tanda atau gejala yang dapat dilihat pada anak dengan Malnutrisi protein berat-Kwashiorkor,
antara lain :
* Gagal untuk menambah berat badan
* Pertumbuhan linear terhenti.
* Edema gerenal (muka sembab, punggung kaki, perut yang membuncit)
* Diare yang tidak membaik
* Dermatitis, perubahan pigmen kulit (deskuamasi dan vitiligo).
* Perubahan warna rambut menjadi kemerahan dan mudah dicabut.

* Penurunan masa otot
* Perubahan mental seperti lethargia, iritabilitas dan apatis dapat terjadi.
* Perubahan lain yang dapat terjadi adala perlemakan hati, gangguan fungsi ginjal, dan
anemia.
* Pada keadaan berat/ akhir (final stages) dapat mengakibatkan shock, coma dan berakhir
dengan kematian
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamesis
Keluhan yanga sering ditemukan adalah pertumbuhan anak yang kurang, seperti berat badan
yang kurang dibandingkan anak lain (yang sehat). Bisa juga didapatkan keluhan anak yang
tidak mau makan (anoreksia), anak tampak lemas serta menjadi lebih pendiam, dan sering
menderita sakit yang berulang .
2. Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik antara lain
* Perubahan mental sampai apatis
* Edema (terutama pada muka, punggung kaki dan perut)
* Atrofi otot
* Ganguan sistem gastrointestinal
* Perubahan rambut (warna menjadi kemerahan dan mudah dicabut)
* Perubahan kulit (perubahan pigmentasi kulit)
* Pembesaran hati
* Tanda-tanda anemia
3. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap, urin lengkap, feses lengkap, protein serum (albumin, globulin), elektrolit
serum, transferin, feritin, profil lemak. Foto thorak, dan EKG.
Komplikasi

Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lemahnya
sistem imun .Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk tumbuh tidak akan pernah dapat
dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa
kwashiorkor yang terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ
secara permanen
Penatalaksanaan/ terapi
Penatalaksanaan kwashiorkor bervariasi tergantung pada beratnya kondisi anak. Keadaan
shock memerlukan tindakan secepat mungkin dengan restorasi volume darah dan
mengkontrol tekanan darah. Pada tahap awal, kalori diberikan dalam bentuk karbohidrat, gula
sederhana, dan lemak. Protein diberikan setelah semua sumber kalori lain telah dapat
menberikan tambahan energi. Vitamin dan mineral dapat juga diberikan.
Dikarenan anak telah tidak mendapatkan makanan dalam jangka waktu yang lama,
memberikan makanan per oral dapat menimbulkan masalah, khususnya apabila pemberian
makanan dengan densitas kalori yang tinggi. Makanan harus diberikan secara bertahap/
perlahan. Banyak dari anak penderita malnutrisi menjadi intoleran terhadap susu (lactose
intolerance) dan diperlukan untuk memberikan suplemen yang mengandung enzim lactase .
Penatalaksaan gizi buruk menurut standar pelayanan medis kesehatan anak – IDAI (ikatan
dokter anak Indonesia) :
Prognosis
Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor umumnya memberikan hasil yang baik.
Penanganan yang terlambat (late stages) mungkin dapat memperbaiki status kesehatan anak
secara umum, namun anak dapat mengalami gangguan fisik yang permanen dan gangguan
intelektualnya. Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak dilakukan penanganan atau
penanganannya yang terlambat, akanmemberikan akibat yang fatal

DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI jilid 2
Catatan kuliah Nefrologi Anak,dr.Syarifuddin Rauf