laporan skenario d blok 27

Upload: ihsan-rasyid-yuldi

Post on 07-Jan-2016

263 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Laporan

TRANSCRIPT

A. Skenario D Blok 27

Seorang perempuan berumur 30 tahun control ke puskesmas untuk mendapatkan suntikan streptomisin yang ke-30. Satu setengah bulan terakhir, pasien mendapatkan OAT kategori 2 dan control rutin ke puskesmas karena di diagnosis Tb kasus kambuh. Dokter menyuntikan Streptomycin 1 gram intra muscular. Beberapa menit setelah disuntik, pasien tiba-tiba mengeluhkan pusing dan pandangan gelap lalu pingsan.Pemeriksaan fisik :Keadaan umum sakit berat, tanda vital : sensorium koma; Tekanan darah: tidak terukur, nadi : tidak teraba, pergerakan dinding nada : tidak terlihat, denyut jantung : tidak terdengar, temperature : 36,3 C

B. Klarifikasi Istilah1. Kontrol: Memeriksa 2. Streptomisin: Suatu aminoglikosida yang diperoleh dari Streptomycesgriseus , senyawa ini berkhasiat bakterisid terhadapkuman gram negatif dan gram positif.3. OAT kategori 2: Obat antituberkulosis yang diberikan kepada pasien TBBTA positif yang telah diobati sebelumnya.4. Tb kasus kambuh: Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkanpengobatan tuberculosis dan telah menyatakan sembuhdidiagnosis kembali BTA positif.5. Pusing: Gejala yang menggambarkan ringan kepala, lemas,merasa goyang, dan tidak stabil.6. Pingsan: Syncope, adalah kehilangan kesadaran sementara yangdiikuti oleh kembalinya kesadaran.7. Koma: Situasi darurat medis ketika penderitanya mengalamikeadaan tidak sadar dalam jangka waktu tertentu.

C. Identifikasi masalah1.Seorang perempuan berumur 30 tahun control ke puskesmas untuk mendapatkan suntikan streptomisin yang ke-30. Dokter menyuntikan Streptomycin 1 gram intra muscular.2.Satu setengah bulan terakhir, pasien mendapatkan OAT kategori 2 dan control rutin ke puskesmas karena di diagnosis Tb kasus kambuh.3.Beberapa menit setelah disuntik, pasien tiba-tiba mengeluhkan pusing dan pandangan gelap lalu pingsan.4.Pemeriksaan fisik :Keadaan umum sakit berat, tanda vital : sensorium koma; Tekanan darah: tidak terukur, nadi : tidak teraba, pergerakan dinding nada : tidak terlihat, denyut jantung : tidak terdengar, temperature : 36,3 C

D. Analisis masalah1.Seorang perempuan berumur 30 tahun control ke puskesmas untuk mendapatkan suntikan streptomisin yang ke-30. Dokter menyuntikan Streptomycin 1 gram intra muscular.a. Bagaimana farmakodinamik dari streptomisin ? 1 2 3Streptomisin adalah sintesis protein inhibitor. Ia mengikat ke protein S12 dari subunit 30S ribosom bakteri, campur dengan pengikatan formil-methionyl-tRNA ke subunit 30S. Hal ini untuk mencegah inisiasi sintesis protein, mengganggu permeabilitas membran dan menyebabkan kematian sel-sel mikroba. Manusia struktural ribosom berbeda dari bakteri, sehingga memungkinkan selektivitas antibiotik ini untuk bakteri. Namun pada konsentrasi rendah Streptomisin hanya menghambat pertumbuhan bakteri, hal ini dilakukan oleh ribosom untuk membujuk prokariotik mRNA salah membaca (Katzung, 2007)

b. Bagaimana farmakokinetik dari streptomisin ? 4 5 6Streptomisin merupakan salah satu jenis aminoglikosida. Aminoglikosida sangat kurang diserap dari saluran cerna, dan hampir seluruh dosis oral diekskresikan di feses setelah pemberian oral. Namun, obat dapat diserap jika terdapat ulserasi. Setelah penyuntikan intramuskulus, aminoglikosida diserap dengan baik, menghasilkan konsentrasi puncak dalam darah dalam 30-90 menit. Waktu paruh normal aminoglikosida dalam serum adalah 2-3 jam, meningkat menjadi 24-48 jam pada pasien dengan gangguan signifikan fungsi ginjal. Aminoglikosida adalah senyawa yang sangat polar dan tidak mudah masuk ke dalam sel.Aminoglikosida memiliki kemampuan membasmi bakteri sesuai konsentrasinya, yaitu semakin meningkat konsentrasinya, maka semakin banyak bakteri yang mati dalam waktu yang lebih cepat.

c. Apa efek samping dari streptomisin? 7 8 9 Efek ototoxic (bisa menyebabkan ototoxicity yang tidak dapat diubah, berupa kehilangan pendengaran, kepeningan, vertigo); Efek renal (nephrotoxicity yang dapat diubah, gagal ginjal akut dilaporkan terjadi biasanya ketika obat nephrotoxic lainnya juga diberikan); Efek neuromuskular (penghambatan neuromuskular yang menghasilkan depresi berturut-turut dan paralisis muskuler); reaksi hipersensitivitas.

d. Indikasi dan kontraindikasi dari streptomisin pada kasus TB kambuh ? 10 1 2 Indikasi Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut. KontraindikasiHipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida lainnya.

e. Berapa dosis pemberian streptomisin pada pasien TB kasus kambuh ? 3 4 5Suntikan IM, dosis total sehari 1-2 g (15-25mh/KgBB); 500mg 1g disuntikan tiap 1-2 jam. untuk infeksi berat dosis harian 2-4 g dibagi dalam 2-4 pemberian.Streptomisin bubuk injeksi dalam vial 1-5 gram. dosisnya 20mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2-3 minggu. kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu.

f. Bagaimana cara pemberian streptomisin pada pasien TB kasus kambuh ? 6 7 8Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 atau kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE *catatan: jika terjadi reaksi alergi terhadap streptomisin dapat digantikan kanamisin.

g. Bagaimana hubungan suntikan ke 30 dengan keluhan yang dialami ?9 10 1Pada hipersensitifitas tipe I ini terjadi beberapa fase, yaitu: a. Fase sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE. b. Fase aktivasi, yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi.c. Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat penglepasan mediator.Pada kasus ini, kemungkinan suntikan ke 1-29 masih berada pada fase sensitisasi dan aktivasi, belum masuk ke fase efektor sehingga tidak terjadi manifestasi syok anafilaktik.

2.Satu setengah bulan terakhir, pasien mendapatkan OAT kategori 2 dan control rutin ke puskesmas karena di diagnosis Tb kasus kambuh.a. Apa saja regimen untuk OAT kategori 2 ? 2 3 4KATEGORI-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : H = IsoniazidR = RifampisinZ = PirazinamidE = EtambutolS = StreptomisinKategori KasusPaduan obat yang diajurkanKeterangan

I- TB paru BTA +, BTA - , lesi luas 2 RHZE / 4 RH atau2 RHZE / 6 HE*2RHZE / 4R3H3

II- Kambuh-Gagal pengobatan-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE-3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHEBila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin

II- TB paru putus berobatSesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau *2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

III-TB paru BTA neg. lesi minimal2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE atau*2RHZE /4 R3H3

IV- KronikRHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)

IV- MDR TBSesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup

BBKATEGORI II: Kasus Relaps / gagal, BTA (+)

Fase InisiasiFase Lanjutan

33 -50 kg2RHZES( 450 / 300 / 1500 / 800 / 750 )1RHZE( 450 / 300 / 1500 / 800 )5RHE( 450 / 300 / 800 )5R3H3E3( 450 / 600 / 1200 )

>50 kg2RHZES( 600 / 300 / 2000 / 1200 / 750)+1RHZE( 600 / 300 / 2000 / 1200 )5RHE( 600 / 300 / 1200 )5R3H3E3( 600 / 700 / 1600 )

b. Berapa lama pemberian OAT kategori 2 pada TB kasus kambuh ? 5 6 7Tahap intensif terdiri dari 2RHEZS (Rifampisin, Isoniazid, Ethambutol, Pirazinamid, Streptomisin). Dan obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan, kemudian diteruskan dengan RHEZ (Rifampisin, Isoniazid, Ethambutol, pirazinamid) yang diberikan setiap hari selama satu bulan. Tahap lanjutan terdiri dari 5R3H3E3 (Rifampisin, Isoniazid, Ethambutol) yang diberikan tiga kali seminggu dalam waktu 5 bulan.

3.Beberapa menit setelah disuntik, pasien tiba-tiba mengeluhkan pusing dan pandangan gelap lalu pingsan.a. Bagaimana mekanisme dari reaksi yang terjadi ?1 2 3Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

4.Pemeriksaan fisik:Keadaan umum sakit berat, tanda vital : sensorium koma; Tekanan darah: tidak terukur, nadi : tidak teraba, pergerakan dinding nada : tidak terlihat, denyut jantung : tidak terdengar, temperature : 36,3 Ca. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik ? 4 5 6PF : AbnormalSuhu 36,3 oC : Hipotermia

E. Template 1. How to diagnose 7 8 9Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang timbul, dapat ringan seperti pruritus, urtikaria, sampai gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Terkadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal.Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran dikelompokkan sebagai berikut:SistemGejala dan Tanda

UmumProdromalLesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.

PernapasanHidungLaringLidahBronkusHidung gatal, bersin, dan tersumbat.Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.EdemaBatuk, sesak, mengi, spasme

KardiovaskulerPingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.

Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.

KulitUrtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas.

MataGatal, lakrimasi

Susunan saraf pusatGelisah, kejang

a. Onsetnya mendadak dan gejalanya progresif Pasien akan merasa dan terlihat tidak tenang. Reaksi yang hebat berlangsung hanya beberapa menit. Bisa juga reaksi onsetnya berlangsung lambat. Waktu onset reaksi anapilaksis dipengaruhi dan tergantung oleh faktor pencetus. Onset reaksi nya pada jalur intravena lebih cepat dibandingkan dengan jalur lain termasuk lewat oral. Pasien selalu terlihat cemas.b. Life-threatening Airway dan Breathing dan maslah Circulation Pasien biasanya sering mengalami maslah pada A atau B atau C terjadi bersamaan. Sehingga perlu penanganan yang tepat pada ABCDE nya.Masalah Airway:- Pembengkakan jalan napas: (Airway swelling), misalnya pembengkakan lidah (pharyngeal/laryngeal edem). Pada pasien bisanya kesulitan dalam bernapas. - Suara ngorok: Stridor suara ini terdengar sangat keras pada saat suara inspirasi dimana disebabkan oleh sumbatan jalan napas atas.

Breathing problems: Shortness of breath increased respiratory rate, Wheezing, Patient becoming tired,Kejang yang disebabkan karena hypoxia, Cyanosis (terlihat kebiruan) ini biasanya gejala lanjut, Gagal nafas.

Masalah Circulation:Tanda-tanda dari syok yaitu pucat dan dingin, Takikardi, Tekanan darah turun (hypotension) feeling faint (dizziness), kolaps. Derajar kesadaran turun atau hilang kesadaran.Masalah sirkulasi (sering menyertai syok anapilaksis) dapat dapat menyebabkan langsung myocardial depression, vasodilatasi dan gangguan capillar, dan kehilangan cairan dari sirkulasi. Bradycardia (pulse yang lambat) biasanya selalu terjadi belakangan, sering terjadi sebelum atau menandai akan terjadi cardiac arrest. Setelah masalah Airway, Breathing dan Circulation sudah dapat dikusai dan ditangani baru setelah itu status neurologisnya dinilai (Disability problems) sebab bisa saja terjadi perfusi jaringan otaknya menurun. c. Perubahan kulit dan atau mucosa Penanganan pada bagian yang mengalami Exposure sambil melakukan penanganan ABCDE. Perubahan pada kulit dan mukosa selalu menyertai dari reaksi anapilaksis yaitu lebih dari 80%.- Biasanya terjadi secara luas.- Perubhan itu bisa terjadi pada kulit, mukosa, atau keduanya.- Perubahan tersebut biasanya dalam bentuk gambaran erythema a patchy, atau generalisata, bisa juga dalam bentuk ruam merah.- Dapat juga dalam bentuk urticaria yang ditemukan diseluruh tubuhnya. Biasanya dirasakan sangat gatal sekali.- Angioedema- Walaupun terjadi perubahan pada kulit dengan gambaran menakutkan atau membuat stress pasien, tetap penanganan pada kulit dan mukosa setelah masalah life-threatening airway, breathing dan circulation problems dapat teratasi.Pemeriksaan LaboratoriumPeningkatan hematokrit umumnya ditemukan sebagai akibat dari hemokonsentrasi karena peningkatan permeabilitas vaskuler. Serum tryptase sel mast biasanya meningkat.2. DD 10 1 2Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.3. WD 3 4 5Seorang perempuan berusia 30 tahun mengalami shock anafilaktik akibat suntikan streptomisin ke-30.4. EpidemiologiInsiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi5. Etiologi 6 7 8Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.6. Patogenesis 9 10 1Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom. Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai efek yang berlawanan terhadap organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan mempengaruhi terhadap keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya (otot polos).Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau endotel dan kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE sitotropik yang berikatan dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga menimbulkan rangkaian peristiwa biokimia. Kekuatan barier alami seperti kulit atau saluran cerna harus dapat ditembus, dan alergen ini harus mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel mast) atau darah (basofil).Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif () yang menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit. Mikrotubuli angat diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang mengandung beberapa mediator tertentu ke arah tepi sel sehingga dapat dilepaskan ke luar sel, yaitu histamin, SRS-A dan ECF-A. Sebaliknya pembentukan mikrotubuli akan dihambat oleh pembentukan cAMP dari ATP oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula cAMP dalam sito plasma dalam keadaan seimbang dengan konsentrasi cGMP. Dengan demikian degranulasi tersebut tergantung dari konsentrasi cAMP dan cGMP.Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau penurunan cAMP akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf parasimpatis (misalnya N. Vagus) akan mendorong produksi asetilkolin yang akan mengubah enzim guanilatsiklase menjadi aktif. Enzim aktif ini akan mengubah GTP menjadi cGMP. Sedangkan efek perangsangan parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya yaitu atropin.Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan mempengaruhi konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri akan mengakibatkan 2 jenis efek karena adanya 2 jenis reseptor yang berbeda. Perangsangan melalui reseptor -adrenergik akan menghasilkan penurunan cAMP dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui -adrenergik akan meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui pengaktifan enzim adenilatsiklase sehingga ATP akan diubah menjadi cAMP.Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat mempengaruhi degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP. Namun sebaliknya juga dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan menghancurkan keduanya cAMP dan cGMP.Reseptor untuk adrenergik dan dapat dirangsang oleh molekul yang sama dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan reseptor akan lebih besar efeknya dari pada perangsangan reseptor . Sebaliknya epinefrin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar apabila merangsang reseptor . Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor adrenergik 1 dan 2 yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata. Misalnya reseptor 2lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru. Keadaan ini dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang merupakan agonis untuk reseptor 2.Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP maka otot polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi pada sel sasaran lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan pembuluh darah dan pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat mengrangi gejala alergi.7. Tatalaksana 2 3 4 Hentikan kontak dengan alergen. Perhatikan tanda vital dan jalan napas; bila perlu dilakukan resusitasi dan pemberian oksigen. Epinefrin 1/1000, 0,5-1 ml subkutan/intramuscular, daapat diulang 5-10 menit kemudian. Dapat diberikan pula antihistamin berupa difenhidramin 10-20 mg intravena, kortikosteroid berupa hidrokortison 100-250 mg intravena lambat (dalam 30 detik), dan aminofilin 250-500 mg intravena lambat, bila spasme bronkioli nyata (Purwadianto dan Sampurna, 2000).

8. Edukasi dan pencegahan 5 6 7a. KewaspadaanTiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.b. Test kulitTest kulit memang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal kita dapat terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan stracth test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.c. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu hasilnyapun dapat diandalkan.d. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik yang mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kedokteran.9. Komplikasi 8 9 10a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.b. Bronkospasme persistenc. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).e. Kerusakan otak permanen akibat syok.f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulang. Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian10. Prognosis 1 2 3Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.11. KDU 4 5 63B. Gawat daruratLulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien.Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

F. HipotesisSeorang perempuan berumur 30 tahun diduga mengalami syok anafilaktik tipe 1 setelah mendapatkan suntikan streptomisin ke 30.

G. Learning issue1. Syok anafilaktik 1 2 3 4 5 1. Definisi Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).Shock is a multisystem disorder that involves inadequate tissue perfusion and altered metabolism. Anaphylactic shock is a potentially life-threatening situation. It is the result of an exaggerated or a hypersensitivity response to an antigen (or allergen).(Pamela L. Swearingen, Manual of Critical Care Nursing, Hal.624). Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7, hal 144).Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).

2. EtiologiBerbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksisa. Anafilaksis (melalui IgE)1) Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)2) Ekstra alergen (bisa tawon, polen)3) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)4) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)Zat pelepas histamin secara langsung :1) Obat (opiat, vankomisin, kurare)2) Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)3) Obat lain (dekstran, flouresens)4) Aktivasi komplemen5) Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)6) Bahan dialisis7) Modulasi metabolisme8) Asam asetilsalisilat9) Antiinflamasi nonsteroid

3. PatofisiologiSyok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan.Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin.Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.

Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B.Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.

4. Manifestasi klinisGejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:a. Umum :Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskanProdormal :rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.b. Pernapasan : 1) Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat2) Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.3) Lidah : edema4) Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.c. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokardd. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.e. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.f. Mata : gatal, lakrimasig. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang

5. Pemeriksaan diagnosisUntuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :a. Skin tesSkin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.b. Kadar komplemen dan antibodyMeskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.c. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitroHistamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik ) pada pelepasan histamin.d. Radio allergo sorbent test ( RAST )Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .

6. Penatalaksanaan Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai.Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.a. Sistem pernapasan 1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun pada kardiovaskular.3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.b. Sistem Kardiovaskular1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya. 4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 4 mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat. Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.b) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin.c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)

7. KomplikasiKomplikasinya meliputi :a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.b. Bronkospasme persistenc. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).e. Kerusakan otak permanen akibat syok.f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan2. Reaksi Imunologi 6 7 8 9 10A. PENDAHULUAN Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme. 1 Berdasarkan asalnya sistem imun tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu Innate (alamiah) dan Adaptive (Aquired, didapat). Immunitas alamiah adalah suatu mekanisme pertahanan yang ada sebelum terjadi infeksi dan melindungi tubuh dengan cara menghancurkan semua mikroba yang masuk ke tubuh. Immunitas adaptive terdiri atas mekanisme yang distimulasi oleh mikroba dan hanya mampu untuk menghancurkan substansi mikroba yang telah dikenali saja yang disebut antigen. Immunitas alamiah merupakan pertahanan pertama sedangkan immunitas adaptive terdiri atas Lymphocyte dan produknya termasuk antibodi. Terdapat 2 macam sistem imun adaptive yaitu cell mediated immunity yang bertanggung jawab terhadap pertahanan intraseluler dan humoral immunity yang bertanggung jawab terhadap mikroba ekstraseluler dan toxinnya. Cellular immunity melibatkan sel lymphocyte T sedangkan Humoral immunity melibatkan sel lymphocyte B. 1,2 Cellular immunity melibatkan sel lymphocite T yang berfungsi dalam proteksi terhadap intraseluler agent. Sel T tersebut memiliki reseptor (TCRs) yang memampukan mereka untuk mengenali mikroba yang muncul pada permukaan dari sel yang terinfeksi. Selain itu TCRs juga dapat membedakan komponen sendiri dengan antigen. Masuknya molekul patogen yang potensial ke dalam tubuh host dan berinteraksi dengan sistem imun non adaptif, antigen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) seperti makrofage. Antigen nonself (dari luar) muncul kembali pada permukaan makrofage, digabungkan dengan protein yang disandi oleh kompleks histokompatibilitas mayor (MHC=Major Histocompatibility Complex) dan disajikan ke kelompok limfosit T. Kompleks MHC-antigen dikenali oleh reseptor spesifik pada permukaan sel T. Terdapat 2 cara respon imunitas yang diperantarai oleh antibodi dan sel dan terjadi secara bersamaan. 2 Pada respon imunitas yang diperantarai oleh antibodi, Limfosit T helper (CD4) mengenali antigen patogen yang bergabung dengan protein MHC kelas II pada permukaaan APC (makrofage atau sel B) dan memproduksi sitokinin yang mengaktivasi sel yang mengekspresikan antibodi spesifik terhadap antigan tersebut. Sel B mengalami proliferasi dan difrensiasi sehingga memproduksi Immunoglobulin spesifik (antibodi). Fungsi utama antibodi ini adalah netralisasi toksin dan virus serta opsonisasi (menyelubungi) patogen. Pertahanan ini berlaku terhadap patogen ekstraseluler dan toksinnya. Pada pertahanan yang diperantarai oleh sel, kompleks antigen-MHC kelas II dikenali oleh Limfosit T helper (CD4) sedangkan kompleks antigen-MHC kelas I dikenali oleh Limfosit T cytotoxic (CD8). 2 Pada penderita hipersensitivitas atau alergi, pada paparan pertama tubuh bereaksi secara normal dengan menghasilkan antibodi dan memory cell, namun pada paparan kedua tubuh secara abnormal atau secara berlebihan bereaksi terhadap antigen. Oleh karena itu melalui kasus di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai reaksi hiperseensitivitas dalam makalah ini.

B. DEFINISI HIPERSENSITIVITAS Hipersensitivitas adalah suatu reaksi tubuh terhadap kerusakan jaringan yang merupakan reaksi berlebihan. Reaksi ini biasanya terjadi pada individu yang telah terpapar oleh antigen secara berulang-ulang. Reaksi hipersensitifitas menurut kecepatan reaksinya terbagi menjadi 2 tipe yaitu, Immediate Hypersensitivity dan Delayed Hypersensitivity. Untuk reaksi Immediate Hypersensitivity berlangsung sangat cepat biasanya terjadi beberapa saat setelah terpapar oleh antigen. Sedangkan untuk reaksi delayed hypersensitivity terjadi lebih lama. 3,4 Hipersensitivitas merupakan suatu kelainan imunitas yang melibatkan dua faktor agar dapat berlangsung. Faktor-faktor ini meliputi gen dan allergen. Gen merupakan komponen pembawa sifat genetik. Setiap orang memiliki gen alergi namun tidak semua orang memiliki manifestasi yang sama. Allergen adalah antigen yang menyebabkan alergi. Biasanya allergen dapat berupa debu, udara dingin, makanan, dll. 3,4 Respon imun pada kontak kedua terhadap antigen biasanya memiliki pertahanan yang lebih kuat. Namun pada alergi kontak pertama dengan antigen menyebabkan sensitisasi (Allergization) dan pada kontak selanjutnya akan menyebabkan penghancuran sel sehat dan jaringan utuh. Hal ini juga dapat mengakibatkan kerusakan protein endogen dan produksi autoantibodi. 3-5

C. TIPE-TIPE HIPERSENSITIVITASMenurut Gell dan Coombs, klasifikasi hipersensistifitas dibagi kedalam 4 tipe yaitu sebagai berikut :Tipe I (Immediate Hypersensitivity) : Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Pada kontak pertama, allergen yang diinternalisasi oleh sel B ini dipresentasi untuk Sel Th2. Kemudian sel B berproliferasi dan berdifrensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan Imunoglobulin E (IgE). Fragmen Fc pada IgE mengikat sel mast dan basofil. Pada kontak berikutnya, antigen akan berikatan dengan kompleks IgE-mast cell. Ikatan antara antigen dengan kompleks antibodi-sel mast ini akan memicu terjadinya degranulasi sel mast dan mengeluarkan zat-zat vasoactive amine seperti histamin. Zat inilah yang menimbulkan efek berupa gatal-gatal, edema, dan hyperemia (anafilaksis). 4Tipe II (Cytotoxic) : Pada reaksi hipersensitivitas tipe ini antigen akan berikatan dengan antibodi. Kemudian kompleks ini mengaktifkan komplemen yang akan segera menghancurkan sel. 4Tipe III (Antigen-Antibody Complex) : Reaksi ini disebabkan oleh adanya ikatan kompleks antigen-antibodi. Jika antigen-antibodi banyak tersedia maka kompleks ini akan larut dan beredar dalam darah dalam waktu yang lama serta menempel pada dinding kapiler darah. Hal ini mengakibatkan dinding kapiler menganggap kompleks antigen-antibodi ini sebagai benda asing yang harus dihancurkan. Oleh karena itu reaksi ini disebut juga sebagai reaksi autoimmun. 4Tipe IV (Delayed Hypersensitivity) : reaksi ini terjadi dengan mekanisme sebagai berikut: Antigen masuk kedalam sel dan merangsang makrofage untuk memfagosit sel tersebut. Lalu sel dipresentasi kepada sel Th1 dipermukaan sel. Pertemuan antara antigen dan Th1 menyebabkan sel berproliferasi dan melepaskan sitokin. Sitokin merangsang limfosit, makrofage dan basofil untuk menginfeksi jaringan tersebut sehingga jaringan tersebut mengalami inflamasi. 3

Perbedaan Tipe Hipersensitivitas

D. FAKTOR PENYEBAB Hipersensitifitas disebabkan oleh 2 faktor yaitu gen dan allergen. Gen adalah faktor pembawa sifat alergi sedangkan allergen adalah antigen penyebab alergi. Allergen ini dapat berupa serbuk bunga, debu, udara, makanan, obat, dll. 4 Pada kasus di atas, pasien mengalami hipersensitivitas yang disebabkan oleh allergen berupa obat antibiotika amoxicillin. Amoxicillin merupakan obat yang dapat berasosiasi terhadap keempat macam hipersensitifitas.

E. MEKANISME IMUNOLOGI Pada kasus, Ibu tersebut mengalami alergi yang termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. Hal ini dapat diketahui dari gejala yang dialami oleh ibu tersebut berupa gatal-gatal di seluruh tubuhnya. Selain itu dapat diketahui melalui kecepatan reaksi, Ibu tersebut mengeluh bahwa ia mulai merasakan gatal-gatal pada tubuhnya setelah meminum obat tersebut. Dari pengakuan ibu tersebut ini dapat kita lihat bahwa reaksi ini berlangsung sangat cepat dan berlangsung dalam beberapa jam setelah meminum obat tersebut. Oleh karena dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut mengalami alergi untuk reaksi hipersensitivitas tipe I. Mekanisme terjadinya reaksi ini adalah sebagai berikut : pada pemaparan pertama, antibodi berikatan dengan cell mast atau basofil. Pada kontak pertama, allergen yang diinternalisasi oleh sel B ini dipresentasi untuk Sel Th2. Kemudian sel B berproliferasi dan berdifrensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan Imunoglobulin E (IgE). Fragmen Fc pada IgE mengikat sel mast dan basofil. Pada kontak berikutnya, antigen akan berikatan dengan kompleks IgE-mast cell. Ikatan antara antigen dengan kompleks antibodi-sel mast ini akan memicu terjadinya degranulasi sel mast dan mengeluarkan zat-zat vasoactive amine seperti histamin. Zat inilah yang menimbulkan efek berupa gatal-gatal, edema, dan hyperemia (anafilaksis). 4

Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I

F. HISTOPATOLOGI Pada kasus diatas, pasien mengalami reaksi hipersensitivitas tipe I. Gambaran yang terlihat yaitu adanya gambaran cell mast dan basofil yang banyak disertai dengan gambaran radang akut berupa adanya vasodilatasi kapiler, adanya serbukan sel radang akut berupa Polimorfonuklear yang banyak, eksudasi, dan hyperemia. 2

KESIMPULAN Hipersensitivitas adalah suatu reaksi tubuh terhadap kerusakan jaringan yang merupakan reaksi berlebihan. Reaksi ini biasanya terjadi pada individu yang telah terpapar oleh antigen secara berulang-ulang. Hipersensitivitas merupakan suatu kelainan imunitas yang melibatkan dua faktor agar dapat berlangsung. Faktor-faktor ini meliputi gen dan allergen. Gen merupakan komponen pembawa sifat genetik. Allergen adalah antigen yang menyebabkan alergi. Biasanya allergen dapat berupa debu, udara dingin, makanan, dll. Menurut Gell-Coombs tipe hipersensitivitas terbagi atas 4 macam yaitu, Tipe I (Immediate Hypersensitivity), Tipe II (Cytotoxic), Tipe III (Antigen-Antibody Complex), Tipe IV (Delayed Hypersensitivity). Selain itu gambaran histopatologis dari reaksi hipersensitivitas yaitu adanya gambaran cell mast dan basofil yang banyak dan adanya gambaran reaksi radang akut seperti hyperemia, vasodilatasi kapiler, PMN yang banyak, dan eksudasi. Pada kasus, Ibu B mangalami alergi untuk reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebabkan oleh allergen antibiotik amoxicillin dan dapat diketahui dari gejala yang timbul berupa gatal-gatal di seluruh tubuh, bengkak, merah serta muncul beberapa saat setelah mengonsumsi obat antibiotika am