skenario b blok 22

70
I. Skenario Nn. A, 20 tahun, pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSMH tiba-tiba mengeluh pusing, keringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan akan disuntikkan ke pasien tersebut. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang diresepkan dokter karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan selama makan obat tersebut. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan laut atau udang keluar bentol- bentol merah dan gatal. Kakak perempuannya mempunyai riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter karena penyakit ekzema yang diterimanya. Pemeriksaan Fisik: Keadaan umum: kesadaran spoor; suhu 36,8 C; tekanan darah 60 mmHg, palpasi; frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular. Saturasi Oksigen 60%. Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut jantung 120x/menit, regular. Pemeriksaan Laboratorium: Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm 3 , diff. count: 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam. II. Klarifikasi Istilah 1. Ceftriaxon : Sefalosporin generasi ketiga semisintetik yang resisten terhadap β-laktamase dan efektif terhadap 1

Upload: carollius-pratama-putra

Post on 23-Oct-2015

70 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

tutorial

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario B Blok 22

I. Skenario

Nn. A, 20 tahun, pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSMH tiba-tiba

mengeluh pusing, keringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar setelah beberapa menit

sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan

akan disuntikkan ke pasien tersebut. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan

yang lalu yang diresepkan dokter karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun

tidak ada keluhan selama makan obat tersebut. Menurut penuturan kakaknya, adiknya

tersebut bila makan ikan laut atau udang keluar bentol-bentol merah dan gatal. Kakak

perempuannya mempunyai riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter karena

penyakit ekzema yang diterimanya.

Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum: kesadaran spoor; suhu 36,8 ᵒC; tekanan darah 60 mmHg, palpasi;

frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular. Saturasi Oksigen 60%.

Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut jantung

120x/menit, regular.

Pemeriksaan Laboratorium:

Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm3, diff. count: 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam.

II. Klarifikasi Istilah

1. Ceftriaxon : Sefalosporin generasi ketiga semisintetik yang resisten terhadap β-

laktamase dan efektif terhadap sebagian besar bakteri gram positif dan gram negatif

yang biasa dipakai dalam garam natrium.

2. Amoxicilin : Turunan semisintetik ampisilin yang efektif terhadap spektrum luas

bakteri gram positif dan gram negative.

3. Kaplet (Kapsul tablet) : Bentuk tablet yang dibungkus dalam lapisan gula dan

biasanya diberi zat warna yang menarik.

4. Asma : Serangan dispneu paroksismal berulangdisertai mengi akibat kontraksi

spasmodic bronchi.

5. Ekzema : Dermatitis papulo vesikular yang terasa gatal pada awalnya, ditandai

edema yang disebabkan eksudat serosa di epidermis dan infiltrate radang di dermis

basalis dan disertai vaskulasi dan krusta dengan sisik dan kemudian mengalami

likenifikasi menebal, ditandai dengan psoriasis serta gangguan pigmentasi.

1

Page 2: Skenario B Blok 22

6. Infeksi : Invasi dan multiplikasi mikroorganisme jaringan tubuh, terutama yang

menyebabkan cedera seluler local akibat metabolism yang kompetitif, toksin,

replikasi intraseluler, respon antigen-antibodi.

7. Sopor : Tidur yang terlalu dalam atau abnormal.

8. Saturasi Oksigen : Ukuran seberapa banyak persentase Oksigen yang mampu

dibawa oleh Hb.

9. Wheezing : Suara bersuit yang dibuat saat bernapas (fase akhir ekspirasi).

10. LED : Kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku dengan

satuan mm/jam.

III. Identifikasi Masalah

1. Nn. A, 20 tahun, mengeluh pusing, berkeringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar

setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon,

yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut.

2. Riwayat obat-obatan : Nn. A pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu

karena infeksi tenggorokan, namun tidak ada keluhan sealama makan obat tersebut.

3. Riwayat atopi : Nn. A mengalami bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan

laut atau udang.

4. Riwayat atopi keluarga : Kakak perempuan Nn. A mempunyai riwayat asma dan ibu

Nn. A memiliki riwayat ekzema

5. Pemeriksaan fisik

6. Pemeriksaan laboratorium

IV. Analisis Masalah

1. Nn. A, 20 tahun, mengeluh pusing, berkeringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar

setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon,

yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut.

a. Apa hubungan obat ceftriaxon dengan gejala-gejala yang dialami Nn. A?

Pada kasus Nn. A ini, telah terjadi reaksi hipersensitifitas tubuh terhadap obat

ceftriaxon. Sehingga Nn.A mengalami syok anafilaktik. Syok anafilaktik

merupakan salah satu kasus emergensi yang diakibatkan reaksi hipersensitivitas

antara antigen dan antibodi tubuh. Antigen yang bersangkutan terikat pada

antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran

histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan

2

Page 3: Skenario B Blok 22

permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif

karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan

permeabilitas kapiler menyebabkan udem.

Pusing

Pusing disebabkan oleh gangguan pada otak karena memburuknya aliran

darah pada arteri yang bertugas untuk mengirim zat gizi dan oksigen, dalam

hal ini karena terjadinya hipotensi. Gangguan terutama pada otak kecil, yang

bertugas mengontrol segala macam perintah atau impuls yang berasal dari

mata, dan bagian tubuh lain. Selain itu gangguan juga terjadi pada alat

kontrol organ keseimbangan yang terdapat di dalam telinga dengan

mekanisme yang serupa.

Keringat dingin

Terjadinya syok anafilaktik menyebabkan tekanan arteri berkurang.

Kemudian baroreseptor arteri (sinus karotikus dan arkus aorta) dan reseptor

regangan vaskuler merespon penurunan tersebut dengan memberikan

stimulus kepada saraf simpatis. Saraf simpatis inilah yang akan merangsang

kelenjar keringat untuk mengekskresikan keringat.

Sesak napas

Saat terjadi syok anafilaktik, antigen (obat Ceftriaxon) akan ditangkap oleh

IgE lalu IgE ini akan melekat pada sel-sel imun, salah satunya basophil dan

sel mast. Kedua sel ini lalu akan mengeluarkan Histamin sebagai mediator

inflamasi. Histamin memiliki efek bronkospasme pada bronkus yang

menyebabkan sesak napas.

Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil kontraksi dari otot polos

bronkus spasme bronkus sesak nafas

Tidak sadar

Keadaan tidak sadar pada syok anafilaksis diakibatkan oleh gangguan dari

sistem sirkulasi. Gangguan yang paling mencolok yaitu hipotensi. Hipotensi

dapat terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya

vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya

permeabilitas kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun,

juga banyak cairan intravascular yang keluar ke ruang interstisial sehingga

terjadi hipovolemia relative. Hipotensi ini akan menyebabkan tekanan

3

Page 4: Skenario B Blok 22

perfusi jaringan menurun lalu berakhir pada hipoksia jaringan, termasuk

otak. Inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

b. Jelaskan aspek farmakologi dari obat ceftriaxon! (indikasi, kontra indikasi,

dosis, efek samping, cara kerja)

Indikasi

Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap

Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih,

sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra

abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan

infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap cephalosporin dan penicillin (sebagai reaksi alergi

silang).

Dosis

Dewasa : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan

organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu

kali sehari.

Efek Samping

Reaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti

anaphylaxis bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar);

Efek lainnya (infeksi candidal)

Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy,

convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan

hati juga terjadi.

Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated partial

thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa

pendarahan) dikabarkan terjadi, kebanyakan terjadi dengan rangkaian sisi

NMTT yang mengandung cephalosporins.

Cara Kerja

Menghasilkan efek bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding kuman.

4

Page 5: Skenario B Blok 22

2. Riwayat obat-obatan : Nn. A pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu

karena infeksi tenggorokan, namun tidak ada keluhan sealama makan obat tersebut.

a. Jelaskan aspek farmakologi dari obat amoxicillin! (indikasi, kontra indikasi,

dosis, efek samping, cara kerja)

Indikasi

Untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang

peka pada kulit & jaringan lunak, saluran nafas,

genitourinari, gonore.

Infeksi saluran pernafasan kronik dan akut: pneumonia,

faringitis (tidak untuk faringitis gonore), bronkitis, langritis.

Infeksi sluran cerna: disentri basiler.

Infeksi saluran kemih: gonore tidak terkomplikasi, uretritis,

sistitis, pielonefritis.

Infeksi lain: septikemia, endokarditis.

Kontra Indikasi

Penderita hipersensitif atau mempunyai riwayat hipersensitif

terhadap antibiotik beta laktam (penicilin dan cephalosporin).

Dosis

Dewasa : 250- 500 mg tiap 8 jam.

Efek Samping

Pada pasien yang hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti urtikaria, ruam

kulit, pruritus, angio edema dan gangguan saluran cerna seperti diare, mual,

muntah, glositis dan stomatitis

Cara Kerja

Amoksisilin merupakan senyawa penisilin semi sintetik dengan aktivitas anti

bakteri spectrum luas yang bersifat bakterisid. Obat ini tidak membunuh bakteri

secara langsung tetapi dengan cara mencegah bakteri membentuk semacam

lapisan yang melekat disekujur tubuhnya, yaitu dinding sel. Lapisan ini

berfungsi sangat vital yaitu untuk melindungi bakteri dari perubahan lingkungan

dan menjaga agar tubuh bakteri tidak tercerai-berai. Bakteri tidak akan mampu

bertahan hidup tanpa lapisan ini. Ampisilin efektif terhadap sebagian bakteri

5

Page 6: Skenario B Blok 22

gram-positif dan beberapa gram-negatif yang patogen. Bakteri patogen yang

sensitif terhadap amoksisilin adalah Staphylococci, Streptococci, Enterococci, S.

pneumoniae, N. gonorrhoeae, H. influenzae, E. coli dan P. mirabilis.

Amoksisilin kurang efektif terhadap spesies Shigella dan bakteri penghasil beta-

laktamase.

b. Adakah hubungan antara ceftriaxone dan amoxicillin? Jelaskan!

Untuk hubungan interaksi obat antara keduanya tidak ada. Ceftriaxone dan

Amoxicilin merupakan antibiotik spektrum luas. Amoxicillin merupakan

antibiotik spektrum luas turunan dari penicillin yang sering digunakan untuk

pemakaian oral sedangkan ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas,

salah satu cephalosporin generasi ke-3 yang digunakan untuk pemakaian

parenteral. Ceftriaxone dan amoxicilin sama-sama memiliki cincin β-lactam

yang penting untuk aktivitas antimikroba.

c. Mengapa Nn. A tidak mengalami keluhan seperti pada penggunaan obat

ceftriaxone selama mengonsumsi amoxicillin?

Golongan penisilin dan sefalosporin sama-sama memiliki cincin beta

laktam dengan rantai samping yang mirip. Cincin beta laktam inilah yang

dikaitkan sebagai determinan antigen utama untuk reaksi alergi yang dimediasi

oleh Ig E.

Sesuai dengan tahap reaksi alergi, awalnya terjadi fase sensitisasi terlebih

dahulu ketika pasien memakan kaplet amoxicillin. Yaitu waktu yang dibutuhkan

untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan

mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas

atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera

6

Page 7: Skenario B Blok 22

mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan

mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi

menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E

(IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor

permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Sampai selanjutnya terjadi fase

aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang

sama.

Kemudian akibat kemiripan cincin beta laktam golongan sefalosporin

dengan penisilin, pada paparan obat ceftriaxone terjadi reaksi silang alergi.

Yaitu reaksi alergi dimana alergen atau antigen paparan sebelumnya memiliki

struktur mirip dengan yang sekarang sehingga menimbulkan reaksi.

Walaupun sebenarnya penelitian terbaru menyebutkan bahwa hanya

sefalosporin generasi pertama (seperti cephalothin, cephalexin, cefadroxil, dan

cefazolin) yang menyebabkan kejadian reaksi silang yang bermakna pada

golongan penisilin karena struktur rantai samping yang mirip. Sedangkan

generasi kedua dan ketiga (seperti cefprozil, cefuroxime, ceftazidime,

cefpodoxime, dan ceftriaxone) memiliki struktur rantai samping yang agak

sedikit berbeda sehingga tidak meningkatkan resiko terjadinya reaksi silang

alergi, namun tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya reaksi silang.

3. Riwayat atopi : Nn. A mengalami bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan

laut atau udang.

a. Bagaimana mekanisme bentol-bentol merah dan gatal pada Nn. A bila dia

makan ikan laut atau udang? (berdasarkan pada kandungannya)

Bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan laut seperti yang dialami oleh

Nn.A adalah karena reaksi alergi terhadap makanan tersebut. Alergi makanan

adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang dicetuskan oleh

reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula (reaksi

hiprsensitifitas tipe 1).

Alergen yang terdapat pada makanan adalah komponen utama terjadinya

alergi makanan. Alergen ini berupa protein yang tidak rusak pada saat proses

memasak, dan tidak rusak pada saat berada di keasaman lambung. Protein yang

paling sering menyebabkan reaksi alergi tersebut adalah parvalbumin.

7

Page 8: Skenario B Blok 22

Akibatnya alergen dapat melenggang mulus di dalam tubuh masuk ke peredaran

darah mencapai organ yang menjadi targetnya guna menimbulkan reaksi alergi.

Mekanisme terjadinya alergi makanan melibatkan sistem imun dan

herediter/keturunan.

Alergi makanan merupakan reaksi hipersensitif yang artinya sebelum reaksi

alergi terhadap alergen pada makanan muncul, seseorang harus pernah terkena

alergen yang sama sebelumnya. Pada saat pertama kali terkena, alergen akan

merangsang limfosit (bagian dari sel darah putih) untuk memproduksi antibodi

(IgE) terhadap alergen tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel Mast

jaringan tubuh manusia (fase sensitisasi). Jika kelak orang tersebut memakan

makanan yang sama maka antibodi ini akan menyuruh sel Mast untuk

melepaskan histamin dan berbagai mediator lainnya (fase aktivasi). Histamin

inilah yang akan menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit,

perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi

otot polos (fase efektor).

4. Riwayat atopi keluarga : Kakak perempuan Nn. A mempunyai riwayat asma dan ibu

Nn. A memiliki riwayat ekzema

a. Adakah hubungan riwayat atopi pada keluarga dengan keluhan Nn. A sekarang?

Jelaskan!

Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk mengembangkan

respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk sejak dini pada masa

gestasi. Berbagai region kromosom terkait dengan atopi dan asma, terutama

dengan lokus pada kromosom 5, 6, 11, 12, 13, dan 16. Kromosom 5q31-36 yang

mengandung gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan GM-CSF yang

diekpresikan oleh sel Th-2 menunjukkan peran penting faktor genetik pada

penyakit alergi.

Atopi adalah kecendrungan genetik untuk memproduksi antibodi IgE

ketika terpapar alergen. Suatu studi epidemiologi keluarga menyokong kejadian

alergi, bahwa faktor genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu

orang tua mempunyai sifat alergi, maka 25 % - 40% anak akan menderita alergi.

Bila kedua orang tua mempunyai alergi maka resiko anak memiliki alergi adalah

50-70%.

8

Page 9: Skenario B Blok 22

5. Pemeriksaan fisik

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik?

Keadaan umum : kesadaran sopor; suhu 36,8 ᵒC; tekanan darah 60 mmHg,

palpasi; frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular.

Saturasi Oksigen 60%.

Data pada

kasus

Nilai normal Interpretasi Keterangan

Kesadaran Sopor Compos mentis Abnormal Penrunan

kesadaran

Suhu 36,8 ᵒC 36,5-37,5 ᵒC Normal

Tekanan darah 60 mmHg 120/80 mmHg Abnormal Hipotensi

RR 36x/menit 16-24 x/menit Abnormal Takipneu

PR 120x/menit 60-100x/menit Abnormal Meningkat

SaO2 60% 95-100% Abnormal Menurun

Mekanisme Abnormal

Sopor

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah

perifer menurun hipovolemia relative cardiac output menurun

perfusi oksigen ke otak menurun penurunan kesadaran (sopor)

Tekanan darah : Hipotensi

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi perifer, meningkatnya

permeabilitas kapiler tahanan pembuluh darah perifer menurun, dan

banyak cairan intravascular keluar ke ruang interstisial hipovolemia

relative hipotensi

Frekuensi napas : Takipneu

9

Page 10: Skenario B Blok 22

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil kontraksi dari otot polos

pada bronkus spasme bronkus sesak napas

Frekuensi nadi : Meningkat

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah

perifer menurun Hipovolemia relative terjadi mekanisme kompensasi

untuk meningkatkan cardiac output dan memperbaiki perfusi ke jaringan

serta organ-organ vital frekuensi jantung meningkat frekuensi denyut

nadi juga meningkat

Saturasi Oksigen menurun

Pada kasus ini, hanya sedikit oksigen yang mampu dibawa Hb karena

dampak dari adanya bronkospasme sehingga pernapasan menjadi terganggu.

Bronkospasme ini menyebabkan oksigen yang dapat masuk ke saluran

pernapasan hanya sedikit. Sehingga sedikit juga oksigen yang bisa diikat

oleh Hb.

Keadaan spesifik : auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut

jantung 120x/menit, regular.

Data pada

kasus

Nilai normal Interpretasi Keterangan

Auskultasi paru Wheezing Tidak ada Abnormal Mengi

HR 120 x/menit 60-100 x/menit Abnormal Takikardi

Mekanisme abnormal

Auskultasi paru : wheezing

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

terlepasnya mediator (histamine) kontraksi dari otot polos pada bronkus

spasme bronkus terdengar wheezing pada pemeriksaan

HR : takikardi

10

Page 11: Skenario B Blok 22

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah

perifer menurun Hipovolemia relative terjadi mekanisme kompensasi

untuk meningkatkan cardiac output dan memperbaiki perfusi ke jaringan

serta organ-organ vital frekuensi jantung meningkat

b. Bagaimana cara pemeriksaan saturasi oksigen?

Saturasi O2 dapat diukur menggunakan alat non-invasive yang disebut

Oksimetri Nadi (Pulse Oximetry). Caranya adalah dengan memasang alat ini

pada ujung jari atau daun telinga. Alat ini akan mendeteksi saturasi oksigen

dalam arteri dan dapat mendeteksi hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis

muncul.

6. Pemeriksaan laboratorium

Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm3, diff. count: 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam.

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan laboratorium?

Data pada

kasus

Nilai normal Interpretasi Keterangan

Hb 12,5 gr% 12 – 16 gr% Normal

Leukosit 11.000/mm3 5.000-10.000/mm3 Abnormal Leukositosis

11

Page 12: Skenario B Blok 22

Diff. Count

- Basofil

- Eosinofil

- Neutrofil batang

- Neutrofil segmen

- Monosit

- Limfosit

0

4

7

70

18

1

0-1

0-5

0-3

40-60

20-45

2-6

Normal

Normal

Meningkat

Meningkat

Menurun

Menurun

Neutrofilia

LED 10 mm/jam 0-15 mm/jam Normal

Mekanisme Abnormal

Leukositosis dan Neutrofilia

Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross linking atau

bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E

yang menempati molekul tersebut. Pengaktifan sel mast

menghasilkan reaksi biologik sebagai berikut : (i) terjadi

sekresi sel mast, zat –zat yang telah terbentuk dan disimpan

dalam granula akan dilepaskan keluar secara

eksositosis/degranulasi. (ii) sel mast mensintesa lipid

mediator secara enzimatik dari precursor yang tersimpan di

dalam membran sel. (iii) sel mast membentuk dan

mensekresi sitokin. Pada proses degranulasi sel mast terjadi

pelepasan mediator kimia yang berkaitan dengan

manifestasi klinik alergi. Mediator ini dilepaskan segera

setelah sel mast teraktivasi (1 – 30 menit), dan menimbulkan

respon segera. Histamin sebagai mediator utama yang

dihasilkan oleh sel mast bersifat kemoaktran terhadap

neutrofil. (ii) mediator yang baru disintesa pada waktu

aktivasi (newly synthesized), termasuk lipid mediator dan

sitokin. Mediator ini dilepaskan 24 jam setelah sel mast

teraktivasi. Beberapa di antaranya yang bersifat kemoaktran

terhadap neutrofil adalah LTB4 dan PAF (Platelet Activating

Factor).

12

Page 13: Skenario B Blok 22

7. Diagnosis

a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus ini dan pemeriksaan penunjang

lain apa saja yang diperlukan?

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinis sistemik

yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen

atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau

urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan.

Prioritas pertama dalam pemeriksaan fisik harus menilai jalan nafas pasien,

pernapasan, sirkulasi, dan kecukupan pemikiran (misalnya, kewaspadaan,

orientasi, koherensi pemikiran).

Hasil pemeriksaan pada kasus Nn. A berupa:

Keadaan umum dan vital sign:

Kesadaran : Sopor

Suhu : 36,8o C

TD : 60 mmHg (hipotensi)

RR : 36 x/menit (takipneu)

PR : 120 x/menit, regular

Saturasi O2 : 60% (menurun)

Pemeriksaan Traktus Respiratorius

Auskultasi : wheezing

Pemeriksaan kardiovaskular

HR : 120 x/menit (takikardi)

Penelitian laboratorium biasanya tidak diperlukan dan jarang membantu.

Namun, jika diagnosis tidak jelas, terutama dengan sindrom berulang, atau jika

penyakit lain perlu disingkirkan, studi laboratorium berikut mungkin

diperintahkan dalam situasi tertentu:

Plasma / urin histamin dan serum tryptase (dapat membantu mengkonfirmasi

diagnosis anafilaksis)

24 jam kadar asam 5-hidroksiindolasetat urin (jika sindrom karsinoid adalah

pertimbangan)

Uji kulit, in vitro imunoglobulin E (IgE) tes, atau keduanya dapat digunakan

untuk menentukan stimulus yang menyebabkan reaksi anafilaksis. Studi

tersebut dapat meliputi:

13

Page 14: Skenario B Blok 22

b. Apa DD dan WD pada kasus ini?

WD pada kasus Nn. A ini adalah syok anafilaktik. Beberapa keadaan yang

menyerupai reaksi anafilaktik sebagai diagnosis bandingnya, seperti :

Reaksi vasovagal

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien

tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi

anafilaktik, pada reaksi vasovagal  nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.

Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya

tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.

Infark miokard akut

Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan

atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak

tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik

tidak ada nyeri dada.

Reaksi hipoglikemik

Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau

sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.

Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda

obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi

saluran napas.

c. Apa saja etiologi pada kasus ini?

Etiologi syok anafilaktik pada kasus Nn. A ini adalah obat-obatan, yaitu

ceftriaxone.

d. Apa epidemiologi pada kasus ini?

Di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis

dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005, dan

mengalami peningkatan menjadi 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis di tahun

2006. Sedangkan di US, angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/

10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan golongan penisilin dengan

kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis

diperkirakan 1-2/ 10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/ 1 juta

penduduk.

14

Page 15: Skenario B Blok 22

e. Apa saja faktor risiko pada kasus ini?

Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi

mempunyai risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan

agen radiokontras. Mereka ini tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap

obat injeksi ataupun sengatan. Suatu studi pada anak dengan anafilaksis

menemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih

dari 90% dari anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma.Orang

dengan kelainan yang disebabkan oleh jumlah sel mast yang terlalu banyak pada

jaringannya (mastositosis) atau orang dengan status sosioekonomi yang lebih

tinggi, memiliki risiko yang lebih besar.Semakin lama waktu sejak terakhir kali

terpapar pada agen penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko terjadi

reaksi yang baru (Hygiene hypothesis).

f. Apa manifestasi klinis pada kasus ini?

Gejala permulaan : Pusing

Sistem Respirasi : Bronkospasme, dispneu, wheezing, takipneu

Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, diaphoresis, sincope – penurunan

kesadaran, hipoksia, takikardi, palpitasi

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus ini?

Patofisiologi Syok Anafilaktik yang dialami Nn. A melibatkan 3 fase, yaitu:

Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E

sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan

basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran

makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan

antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin

(IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel

Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E)

spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor

permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Riwayat konsumsi Amoxicilin 7 bulan yang lalu merupakan fase

sensitisasi penisilin.

15

Page 16: Skenario B Blok 22

Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan

antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa

granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan

lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Sel mast diaktifkan apabila

terjadi cross linking atau bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen

dengan Ig E dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator

vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan

vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari

membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin

(PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly

formed mediators.

Pada kasus, dilakukan uji kulit terhadap eutrophil. Ceftriaxon merupakan

golongan sefalosporin. Sekitar 10% orang yang alergi terhadap penisilin

juga alergi terhadap sefalosporin karena keduanya memiliki struktur

molekul yang serupa.

Fase Efektor, adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau neutroph dengan aktivitas

farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek

bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi. Serotonin

meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan

kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek

bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan

aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan

neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi,

demikian juga dengan Leukotrien.

Pada kasus Nn.A, di fase inilah timbul gejala-gejala syok anafilaktik

seperti sesak napas, tidak sadar serta tanda-tanda syok anafilaktik seperti

hipotensi, takipneu, takikardi, saturasi O2 menurun, wheezing.

16

Page 17: Skenario B Blok 22

h. Apa tatalaksana pada kasus ini?

i. Bagaimana pencegahan pada kasus ini?

17

Page 18: Skenario B Blok 22

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis

riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan

etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat

penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,

mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok

anafilaktik. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian

bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian

obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami

reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi

positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. Dalam pemberian obat

juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan,

intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.

Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari

obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada

status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari

makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah

harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta

adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik

adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

j. Apa komplikasi pada kasus ini?

Komplikasi pada kasus Nn. A dapat berakibat sampai kematian akibat obstruksi

jalan napas dan/atau syok. Kerusakan otak dan gangguan jantung juga dapat

terjadi pada kasus syok anafilaktik.

k. Bagaimana prognosis pada kasus ini?

Bila penanganan cepat, klinis masih ringan dapat membaik dan tertolong.

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,

reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis

tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama.

18

Page 19: Skenario B Blok 22

Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis

untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi

anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu

umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif

kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang

dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai

terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi

adrenalin.

Functionam : bonam

Vitam : dubia ad bonam

l. Apa SKDI pada kasus ini?

Reaksi anafilaktik : 4A

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan

penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang

dicapai pada saat lulus dokter.

V. Hipotesis

Nn. A, 20 tahun, syok anafilatik akibat alergi obat ceftriaxone.

VI. Sintesis

1. Hipersensitivitas

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-

spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang

secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam

imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang

dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu

mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel

lain untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan

respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang

menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana

19

Page 20: Skenario B Blok 22

merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas

atau alergi.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

a.Reaksi Tipe I

b. Reaksi Tipe II

c.Reaksi Tipe III

d. Reaksi Tipe IV

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE

pelepasan amino vasoaktif dan mediator

lain dari basofil dan sel mast rekrutmen

sel radang lain

Anafilaksis, beberapa

bentuk asma bronkial

II Antibodi

terhadap Antigen

Jaringan

Tertentu

IgG atau IgM berikatan dengan antigen

pada permukaan sel fagositosis sel

target atau lisis sel target oleh komplemen

atau sitotosisitas yang diperantarai oleh

sel yang bergantung antibody

Anemia hemolitik

autoimun, eritro-

blastosis fetalis, pe-

nyakit Goodpasture,

pemfigus vulgaris

III Penyakit

Kompleks Imun

Kompleks antigen-antibodi mengak-

tifkan komplemen menarik perhatian

nenutrofil pelepasan enzim lisosom,

radikal bebas oksigen, dan lain-lain

Reahsi Arthua, serum

sickness, lupus erite-

matosus sistemik, ben-

tuk tertentu glomeru-

lonefritis akut

IV Hipersensitivitas

Selular (Lambat)

Limfosit T tersensitisasi pelepasan

sitokin dan sitotoksisitas yang diper-

antarai oleh sel T

Tuberkulosis,

dermatitis kontak,

penolakan transplan

a. Tipe I : Reaksi Anafilaksis

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal

ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya

histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.

20

Page 21: Skenario B Blok 22

Patofisiologi :

Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T

CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam pathogenesis

hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan

IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai

faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil.

Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel

mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang

bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan

yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang pada

IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi

pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respon awal

sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.

Respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme

otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah

terpajan oleh suatu alergan dan menghilang setelah 60 menit;

21

Page 22: Skenario B Blok 22

Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama

beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel

peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga

ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Mediator Primer

Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan

meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan

meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi

adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit)

serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan

dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya,

triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen

untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

Mediator Sekunder

Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang

dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif

daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam

menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat

kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.

Prostaglandin D2

adalah mediator yang

paling banyak

dihasilkan oleh jalur

siklooksigenasi dalam

sel mast. Mediator ini

menyebabkan

bronkospasme hebat

serta meningkatkan

sekresi mukus.

Faktor pengaktivasi

trombosit merupakan

mediator sekunder

22

Page 23: Skenario B Blok 22

lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan

bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan

eosinofil.

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan

kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui

kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang.

TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan

aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan

diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I

Kerja Mediator

Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)

Leukotrien B4

Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis

Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis

Faktor pengaktivasi trombosit

Vasoaktif (vasodilatasi,

meningkatkan per-

meabilitas vaskular)

Histamin

Faktor pengaktivasi trombosit

Leukotrien C4, D4, E4

Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin

Prostaglandin D2

Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4

Histamin

Prostaglandin

Faktor pengaktivasi trombosit

Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam

hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat

antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.

Manifestasi Klinis :

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi

lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin)

secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa

23

Page 24: Skenario B Blok 22

menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal,

urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan

bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat

dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan

menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua

saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut,

dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok

anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian

dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat

tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan

urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru

(inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

b. Tipe II : reaksi sitotoksik

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk

melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya.

Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah

satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

Respon yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua

mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai

komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan

fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui

kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan

fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel

darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini,

meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat

menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai

oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:

24

Page 25: Skenario B Blok 22

Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai

dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan

antigen darah donor.

Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen

materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah

tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah

merahnya sendiri.

Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang

disebabkan oleh antibodi yang

dihasilkan oleh seorang

individu yang menghasilkan

antibodi terhadap sel darah

merahnya sendiri.

Reaksi obat, antibodi diarahkan

untuk melawan obat tertentu

(atau metabolitnya)byang

secara nonspesifik diadsorpsi

pada permukaan sel (contohnya

adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).

Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom

yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.

Sitotoksisitas Selular

Bergantung Antibodi

Bentuk jejas yang

diperantarai antibodi ini meliputi

pembunuhan melalui jenis sel

yang membawa reseptor untuk

bagian Fc IgG; sasaran yang

diselubungi oleh antibodi dilisis

tanpa difagositosis ataupun

fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit,

termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus

ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya,

25

Page 26: Skenario B Blok 22

pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah

IgE.

Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor

permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel

atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap

reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot rangka mengganggu

transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat

merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor

hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan

hipertiroidisme.

c. Tipe III : reaksi imun kompleks

26

Page 27: Skenario B Blok 22

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-

antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit

polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti

bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen

terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun

terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks

imun in situ).

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut

terbentuk dalam sirkulasi

mengendap dalam berbagai organ ,

atau terlokalisasi pada organ

tertentu (misalnya, ginjal, sendi,

atau kulit) jika kompleks tersebut

terbentuk dan mengendap pada

tempat khusus. Tanpa

memperhatikan pola distribusi,

mekanisme terjadinya jejas

jarungan adalah sama; namun,

urutan kejadian dan kondisi yang

menyebabkan terbentuknya

kompleks imun berbeda.

Penyakit Komplek Imun

Sistemik

Patogenesis penyakit

kompleks imun sistemik dapat

dibagi menjadi tiga tahapan: (1)

pembentukan kompleks antigen-

antibodi dalam sirkulasi dan (2)

pengendapan kompleks imun di

berbagai jaringan, sehingga

mengawali (3) reaksi radang di

berbagai tempat di seluruh tubuh.

Patofisiologi

27

Page 28: Skenario B Blok 22

Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda)

diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan

antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-

antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang

terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor

penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan

penyakit dan pengendapan jaringan:

Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada

keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi

oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan.

Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan

berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel

fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.

Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar

kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan

bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan

kemungkinan pengendapan jaringan.

Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan

kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas

antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut,

dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks

imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan

pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui

fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada

glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi

kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.

Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam

atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas

pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan

dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator

vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks

tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang.

Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul

28

Page 29: Skenario B Blok 22

gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah

bening, dan proteinuria.

Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa.

Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas,

melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan

C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat

kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh

neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah

substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator,

dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran

basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai

oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks

imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor

Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali

pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia

lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada

pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika

terjadi di sendi, dan seterusnya.

Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang

dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi

komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula

menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas

jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar

komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan

lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit,

konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.

d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi

(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T

atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme

utama respon terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel

seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti

29

Page 30: Skenario B Blok 22

protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan

kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal

ataupun sebagai respon terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).

Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus

bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1)

hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas

sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat,

sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya

perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada

sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.

Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)

Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam

setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi

setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam

waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/

tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi

DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti

manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin

oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas

mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;

penyebab utama indurasi jaringan dalam respon ini adalah deposisi fibrin.

Respon tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang

pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.

Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya,

akibat HIV) dapat menimbulkan respon tuberkulin yang negatif, bahkan bila

terdapat suatu infeksi yang berat.

Patofisiologi

Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga

antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses

antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1

tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih

belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk

30

Page 31: Skenario B Blok 22

menginduksi respon TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T

naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin

berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respon kepada antigen

yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan

proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1

inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan

respon DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses

tersebut adalah sebagai berikut:

IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah

interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi

DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel

TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di

bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel

NK yang poten.

IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang

paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten,

yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi

mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga

meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai

aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan

kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi

beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan

yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang

proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas,

aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen

penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.

IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat

DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang

antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang

tidak spesifik untuk agen penyerang asal.

TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya

pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin,

yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2)

meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang

31

Page 32: Skenario B Blok 22

meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi

faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan

keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

2. Syok anafilaktik

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang

ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah

syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk

menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anfilaksis yang berat dapat

terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala

utamanya.

Justru gejala yang terakhir ini sering terjadi dan bahkan ada laporan yang

menyatakan kematikan karena anafilaksi dua pertiga disebabkan oleh obstruksi

saluran napas (terutama pada usia muda), dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular

(terutama usia lanjut).

Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala yang timbul beberapa

detik sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor

pencetus non alergen seperti zat kimia, obat atau kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu

anafilaksis merupakan reaksi sitemik, sehingga melibatkan banyak organ yang

gejalanya timbul serentak atau hampir serentak.

Insiden

Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari

500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam,

khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002%

pemakaian.

Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian

media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi

yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1:10.000

dan 1:50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya

media kontras yang hipoosmokular.

Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan. Enam

kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun 1959

32

Page 33: Skenario B Blok 22

sampai tahun 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi

selama periode 1985 sampai 1989.

Mekanisme dan penyebab anafilaksis karena obat

Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE

maupun melalui non-IgE. Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang

lain seperti makanan, kegiatan jasmati, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara

yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebgaian anafilaksis

penyebabnya tidak diketahui.

Anafilaksis (melalui IgE)

Antibiotik (penisilin, sefalosporin)

Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)

Obat (glukokortikoid, thiopentalm sekainikolin)

Enzim (kemopapain, tripsin)

Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)

Protein manusia (insulin, vasipresin, serum)

Anafilaktoid (tidak melaui IgE)

Zat penglepas histamin secara langsung

Obat (opiat, vankomisin, kurare)

Cairan hipertonik (media radiokontras, menitol)

Obat lain (dekstran, fluoresens)

Aktivasi komplemen

Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)

Bahan dialisis

Modulasi metabolisme asam arakidonat

Asam asetilsalisilat

Antiinflamasi nonsteroid

Diagnosis

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik

yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau

faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria

sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu

mengenal tanda-tanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera

33

Page 34: Skenario B Blok 22

dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksisw yang berat seperti syok

anafilaktik atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal.

Sistem Gejala dan tanda

Umum

Prodormal

Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar

dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut,

rasa gatal di hidung dan palatum

Pernapasan

Hidung

Laring

Lidah

Bronkus

Hidung gatal, bersin, dan tersumbat

Rasa tercekik, suara serak, sesak napas,

stridor, edema, spasme.

Edema.

Batuk,sesak, mengi, spasme.

Kardiovaskular Pingsan sinkop, palpitasi, takikardia,

hipotensi sampai syok, aritmia.

Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik,

atau tanda-tanda infark miokard.

Gastro Intestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang

kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus

meninggi

Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka atau

ekstremitas

Mata Gatal, lakrimasi

Sususnan Saraf Pusat Gelisah, kejang

Gejala-gejala di atas dapat timbul pada satu orga saja, tetapi pula muncuk

gejala pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala

yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai ganggaun

pernapasan baik karena edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang

didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang

berat sampai tejadi penurunan kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular,

pernapasan atau kulit juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik usus, diare yang

berdarahm kejang uterus atau perdarahan vagina.

Terapi

34

Page 35: Skenario B Blok 22

Tanpa memandang beratnya gejala anafikasis, sekali diagnosis sudah

ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya

mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dnegan kematian.

Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1:1000 yang diberikan adalah

0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat

diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah

buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan

secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang–kadang dosis epinefrin dapat

dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung.

Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin,

atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1:1000 0,1-0,3

ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi alergan tadi. Bila mungkin

dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit.

Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal

penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien

anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar, sehingga

oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik

sehingga perfusi jaringan memadai.

Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasa dan

kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan tau diobati.

Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama

disebabakan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.

Sistem Pernapasan

1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab terseirng kematian pada

anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema larings atau

spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai

untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema larings kadang-kadang

diperlukan tidakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan

edema larings tidak saja sulit tetapi juga seing menambah beratnya obstruksi.

Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran napas

tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena

trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka

35

Page 36: Skenario B Blok 22

tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi

membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke

rumah sakit.

2. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan

maupun kardiovaskular.

3. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah

seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan

larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc - 0,5 cc dalam 2-4 ml

NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang

diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-

lahan sekitar 15 menit.

Sistem Kardiovaskular

1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin

menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini

membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid

(NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan

cairan koloid 0,5 – 1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan

koloid ini tidak saja mengganti cairan intracaskular yang merembes ke luar

pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga

dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.

2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskular

dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik

3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure). Pemasangan CVP

ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan

pemberian cairan juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor

dapat merangsang jaringan sekitarnya.

4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli

sependapat untuk memberikan vasop[resor melalui cairan infus intravena.

Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dektrosa

(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60

mikrodrio/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat

dinaikan sampai maksimum 10 mg/dl.

Pencegahan

36

Page 37: Skenario B Blok 22

Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resiko untuk

memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini

harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan pada

pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan

adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetusnya

tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada sengatan tawon atau anafilaksis

idiopatik.

Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaksis bisa jauh

lebih berat, oleh karena itu setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh

pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai resiko anafilaksis dianjurkan

untuk tidak memakai obat-obat penyekat beta karena bila terjadi reaksi anafilaksis

pengobatannya sulit. Sebaiknya obat-obat substitusi pengganti obat penyekat beta

tersebut.

3. Fisiologi Imun (Mekanisme Pertahanan Tubuh)

a. Mekanisme imun

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang

melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan

membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam

pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh

dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat

asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat

dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit

karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi

organisme. Organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh system

enzim yang melindungi terhadap infeksi virus.

b. Peran sel imun

Didalam tubuh kita terdapat mekanisme perlindungan yang dinamakan

sistem imun. Ia dirancang untukmempertahankan tubuh kita terhadap jutaan

bakteri, mikroba, virus, racun dan parasit yang setiap saat menyerang tubuh

kita. Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda

yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit

penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh

37

Page 38: Skenario B Blok 22

adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk

melakukan proses penyembuhan.

c. Sel-Sel dalam sistem imun

Fagosit monokulear

Sistem fagosit monokulear terdiri atas monosit dalam sirkulasi dan makrofag

dalam jaringan.

- Monosit

Selama hematopoiesis dalam sumsum tulang, sel progenitor

granulosit/monosit berdiferensiasi menjadi premonosit yang

meninggalkan sumsum tulang dan masuk kedalam sirkulasi untuk

selanjutnya berdiferensiasi menjadi monosit matang dan berperan dalam

berbagai fungsi. Monosit adalah fagosit yang didistribusikan secara luas

sekali di organ limfoid dan organ lainnya.

- Makrofag

Monosit yang seterusnya hidup dalam jaringan sebagai makrofag

residen, berbentuk khusus yang tergantung dari alat/jaringan yang

ditempati, dan dinamakan sesuai dengan lokasi jaringan sebagai berikut:

1. Usus : makrofag intestinal

2. Kulit : sel dendritik atau sel langerhans

3. Paru ; makrofag alveolar, sel langerhans

4. Jaringan ikat ; histiosit

5. Hati : sel kuppfer

6. Ginjal : sel mesangial

7. Otak : sel microglia

8. Tulang : osteoklas

Makrofag di aktifkan oleh berbagai rangsanggan, dapat memakan,

menangkap, mencerna anti gen eksogen, seluruh mikro organisme,

partikel tidak larut dan bahan endogen seperti sel penjamu yang cedera

atau mati.

Makrofag sel utama fagositosis. Terdiri dari 2 macam : makrofag bebas

dan makrofag fiksasi (tinggal di organ). Sel makrofag sebagai sel APC

(Antigen Presenting Cell) yang mempunyai molekul MHC. MHC kelas

I aken mengaktivasi sel Tc, Kelas II mengaktivasi sel Th, MHC kelas

III menstimulasi sistem komplemen.

38

Page 39: Skenario B Blok 22

Fagosit polimorfonuklear

Fagosit polimorfonuclear atau polimorf atau granulosit dibentuk dalam

sumsum tulang dalam kecepatan 8 juta/menit dan hidup selama 2-3 hari,

sedang monosit/makrofag dapat hidup untuk beberapa bulan sampai tahun.

Granulosit merupakan sekitar 60-70% dari seluruh jumlah sel darah

putihnormal dan dapat keluar dari pembuluh darah. Granulosit dibagi menurut

pewarnaan histologik menjadi neutrofil dan eosinofil.

- Neutrofil

Merupakan sebagian besar dari leukosit dalam sirkulasi. Biasanya

hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 7-10 jam sebelum bermigrasi

ke jaringan, dan hidup selama beberapa hari dalam jaringan. Neutrofil

mempunyai reseptor untuk IgGdan komplemen

- Eosinofil

Merupakan 2-5% dari sel darah putih orang sehat tannpa alergi. Seperti

neutrofil, eosinofil juga dapat berfungsi sebagai fagosit. Eosinofil dapat

pula di rangsang untuk degranulasi seperti halnya dengan sel mast dan

basofil serta melepas mediator. Eosinofil juga berperan dalam imunitas

parasit dan memiliki berbagai reseptor. Fungsi utama eosinofil adalah

melawan infeksi parasit dan dapat juga memakan antigen antibody.

Sel lain :

- Sel dendritik : menyajikan antigen yang terikat protein MHC kelas II

- Sel Langerhans : menyajikan antigen yang terikat protein MHC kelas

II

d. Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid)

Berdasarkan fungsinya :

1. Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel

imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.

2. Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat

berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa,

39

Page 40: Skenario B Blok 22

the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated

Lymphoid Tissue), tonsil.

RES (Reticuloendothelial System): bagian sistem imun yang terdiri dari sel-

sel fagosit yang terdapat pada reticular connective tissue terutama adalah

monosit dan makrofag.

Human Lymphoid Sistem :

Terdiri dari : Pembuluh limfatik, Organ limfoid, sel dan Jaringan imun, dan

limfe (cairan sistem limfoid)

e. Mekanisme Kerja Sel Imun

1. NK cell (Natural Killer Cell)

Bekerja secara non-spesifik (tanpa pengenaan lebih lanjut), tapi buka sel

fagositik. Bekerja dengan cara kontak langsung dengan sel terinfeksi. NK

cell disebut sebagai “immune surveylence” (seperti polisi dalam tubuh).

Ketika NK cell menempel pada sel terinfeksi, maka golgi dari NK cell

akan mensekresi protein killer (perforin). Perforin ini akan membentuk

suatu ‘jembatan’ antara NK cell dengan sel terinfeksi, melalui ‘jembatan’

ini terjadi pengeluaran elektrolit berlebih dari sel terinfeksi yang

menyebabkan litik osmotik. Peristiwa penyerangan dengan ‘jembatan’ ini

disebut membrane attack complex.

2. Sel B

Secara umum berfungsi sebagai APC. Sel B akan menerima antigen

kemudian melalui MHC kelas II, antigen ini disajikan ke permukaan sel

untuk mengaktivasi sel T helper. Sel T helper akan mensekresikan sitokin

yang dapat menstimulasi sel B berproliferasi menjadi sel memori, selain

itu juga mengaktifkan sel B untuk menjadi sel plasma penghasil antibodi.

3. Sel T

Setelah sel B berikatan dengan sel T helper, sel T helper tidak bisa

langsung teraktivasi tanpa adanya stimulasi dari Co-stimulatory sitokin. Di

antara yang termasuk sitokin adalah : IL (Interleukin I,II,..dst); interferon

α,β,γ; Tumor Necrosis Factor; Prostaglandin, dll.

4. Non Specific Killer Cells

40

Page 41: Skenario B Blok 22

Yaitu : NK cell dan LAK cell; ADCC (K) cell; Activated macrophage;

Eosinophils (diaktivasi oleh IgE karena IgE mentriger/memicu eosinofil

untuk mengeliminasi cacing).

f. Respon imun humoral dan seluler

Respon imun alamiah tidak memiliki spesifisitas dan memori sehingga

pertahanan tidak meningkat dengan adanya infeksi berulang. Respon ini

diperankan oleh sel fagosit dan sel NK dengan menggunakan faktor soluble

yaitu lisosom, komplemen, acute phase proteins (CRP), dan interferon.

Mikroorganisme yang masuk dalam tubuh akan melalui dua mekanisme

pertahanan utama, yaitu efek destruksi oleh enzim yang bersifat bakterisidal

dan mekanisme fagositosis oleh sel-sel fagosit (gambar 4). Sel fagosit akan

mengenali berbagai mikroorganisme. Mekanisme ini akan menimbulkan

respon inflamasi akibat migrasi sel-sel yang terlibat dalam respon imun serta

mengakibatkan vasodilatasi. 

Respon imun adaptif terjadi melalui identifikasi dan pengenalan terhadap

adanya stimulus, misalnya bakteri dan virus. Respon ini memiliki tiga karakter

utama, yaitu spesifik, memori, dan intensitas yang bervariasi. Komponen

respon imun spesifik terdiri dari respon imun humoral dan respon imun

seluler.

1. Respon Imun Humoral

Respon imun humoral diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu

populasi (klon) sama yang memproduksi antibodi spesifik dan limfosit B

memori. Antibodi akan berikatan dengan antigen untuk mengaktivasi

komplemen yang mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Tiga elemen

penting dalam respon imun humoral, yaitu: antibodi, reseptor sel T (T cell

receptors), dan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex).7,19

Antibodi berfungsi untuk pertahanan host karena menjadikan

mikroorganisme infektif sebagai target, merekrut mekanisme efektor host

yang dapat merusak, menetralkan toksin, dan menyingkirkan antigen asing

dari sirkulasi. TCR berinteraksi bukan dengan antigen secara keseluruhan,

tetapi dengan segmen pendek dari asam amino (antigen peptida). Fungsi

TCR adalah untuk mengikat dan mengenali kompleks antigen spesifik

41

Page 42: Skenario B Blok 22

dengan molekul MHC. MHC berfungsi untuk menentukan kemampuan

sistem imun seseorang dalam membedakan self dan nonself, mengatur

berbagai interaksi antara berbagai jenis sel yang terlibat dalam respon

imun, dan menentukan kemampuan individu untuk bereaksi terhadap

antigen spesifik dan kecenderungan untuk menderita kelainan imunologik.

2. Respon Imun Seluler

Antibodi tidak dapat menjangkau mikroorganisme yang berkembang biak

intraseluler. Oleh karena itu, sistem imunitas tubuh mengaktivasi limfosit

T untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Setelah antigen

eksogen diproses oleh APC, akan terbentuk fragmen peptida yang

kemudian dapat berinteraksi dengan TCR bersamaan membentuk

kompleks dengan MHC. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu Th

(CD4), untuk mengenal antigen bekerja sama dengan MHC kelas II.

Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah

protein yang disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker.

Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya

berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T

mengeluarkan subsetnya, yaitu Tc (CD8), untuk mengenali antigen

endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I. Sel Th1. Pada dasarnya,

respon imun alamiah dan adaptif bekerja saling melengkapi. Sel-sel imun

saling berinteraksi dalam regulasi sistem imun.

g. Respon Imun terhadap Alergen dan Iritan

Faktor yang terpenting dalam reaksi anafilaktik adalah IgE, yang disebut

antibodi homostitotropik atau reagin. IgE mempunyai sifat khas yang tidak

dimiliki oleh imunoglobulin kelas lain yang afinitasnya tinggi pada mastosit

(sel mast) dan basofil melalui reseptor Fc pada permukaan sel bersangkutan

yang mengikat fragmen Fc IgE. Sekali terikat, IgE dapat melekat pada

permukaan mastosit dan basofil selama beberapa minggu dan IgE yang terikat

inilah yang berperan besar pada reaksi anafilaktik. Selain IgE, IgG4 diketahui

mempunyai kemampuan serupa, tetapi dengan afinitas yang jauh lebih rendah.

Penelitian-penelitian terakhir mengungkapkan bahwa berbagai jenis limfokin

dan sitokin dengan peran multi fungsi juga dilepaskan pada reaksi ini sebagai

42

Page 43: Skenario B Blok 22

akibat aktivitas mastosit oleh IgE. IL-3 dan IL-4 mungkin mempunyai dampak

autokrin pada sel mast bersangkutan dan substansi ini bersama-sama dengan

sitokin yang lain meningkatkan produksi IgE oleh sel B. Disamping itu,

beberapa jenis sitokin lain, termasuk produk golongan gen IL-8/IL-9, berperan

dalam proses kemotaksis dan aktifitas sel-sel inflamasi di daerah terjadinya

alergi. 

Apabila IgE yang melekat pada mastosit atau basofil, mengalami

pemaparan ulang pada alergen spesifik yang dikenalnya, maka alergen akan

diikat oleh IgE demikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk jembatan

antara 2 molekul IgE pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking hanya

terjadi dengan antigen yang bivalen atau multivalen tetapi tidak terjadi dengan

antigen univalen. Crosslinking yang sama hanya dapat terjadi bila fragmen Fc-

IgE bereaksi dengan anti IgE, atau bila reseptor Fc dihubungkan satu dengan

lain oleh anti reseptor Fc. Crosslinking merupakan mekanisme awal atau

sinyal untuk degranulasi sel mast atau basofil. 

Segera setelah ada sinyal pada membran sel, terjadi serangkaian reaksi

biokimia intraseluler secara berurutan menyerupai kaskade, dimulai dengan

aktivitas enzim metiltransferase dan serine esterase, diikuti dengan

perombakan fosfatidilinositol menjadi inositol trifosfat (IP3), pembentukan

diasilgliserol dan peningkatan ion Ca2+ intrasitoplasmatik. Reaksi-reaksi

biokimia ini menyebabkan terbentuknya zat-zat yang memudahkan fusi

membran granula sehingga terjadi degranulasi. Degranulasi mengakibatkan

pelepasan mediator-mediator yang sebelumnya telah ada di dalam sel

misalnya histamin, heparin, faktor kemotaktik neutrofil (neutrophil

chemotactic factor = NCF), platelet activating factor (PAF), maupun

pembentukan berbagai mediator baru. Diantara mediator baru yang dibentuk

adalah slow reacting substances anapltylaxis yang terdiri atas substansi-

substansi dengan potensi spasmogenik dan vasodilatasi yang kuat yaitu

leukotrien LTB4, LTC4, dan LTD4, disamping beberapa jenis prostaglandin

dan tromboksan. Mediator-mediator tersebut mempunyai dampak langsung

pada jaringan, misalnya histamin menyebabkan vasodilatasi, peningkatan

permeabilitas vaskular, penyempitan bronkus, edema pada mukosa, dan

hipersekresi. 

43

Page 44: Skenario B Blok 22

Iritan yang mengenai tubuh akan memicu sel mast untuk melepaskan

neuropeptida substansi P yang akan merangsang serabut saraf C (n.trigeminus)

sehingga timbul nyeri. Substansi P terletak dalam sel saraf yang terpencar di

seluruh tubuh sel dan dalam sel endokrin khusus di usus. Neuropeptida ini

dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan merupakan

neurotransmiter rasa nyeri, raba, dan temperatur. 

VII. Kerangka Konsep

44

Skin Test Ceftriaxon(Fase aktivasi)

Mediator Inflamasi keluar

Riwayat konsumsi Amoxicilin

(Fase sensitisasi)

Riwayat konsumsi Amoxicilin

(Fase sensitisasi)

Tanda- Sopor- Takikardi

Gejala- Pusing- Keringat dingin

Mediator Inflamasi keluar

Skin Test Ceftriaxon(Fase aktivasi)

Page 45: Skenario B Blok 22

VIII.Kesimpulan

Nn. A, 20 tahun, mengalami syok anafilaktik et causa reaksi hipersensitifitas tipe I

terhadap obat Ceftriaxon.

DAFTAR PUSTAKA

Bartawidjaja, Karnen Garna. 2012. Imunologi Dasar edisi ke-10. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Ho, Marry T., dan Samsudin, Sonny. 1990. Resusitasi Kardiopulmoner dan Syok. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Price, Sylvia Anderson dan Willson, Lorraine McCarty. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rab, Prof.Dr. H tabrani. 2000. Pengatasan Shock. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

45

Gejala- Pusing- Keringat dingin- Sesak napas- Tidak sadar

Tanda- Sopor- Takikardi- Takipneu- Hipotensi- SaO2 menurun- Wheezing

Tanda- Sopor- Takikardi

Gejala- Pusing- Keringat dingin

Page 46: Skenario B Blok 22

Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Wahab, A. Samik dan Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

46