laporan skenario b blok 9

81
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 9 BIOMOLEKUL Disusun oleh : KELOMPOK: L6 ANGGOTA KELOMPOK: Febri Wijaya (04111001002) Inne Fai Mariety (04111001005) Fitri Hidayati (04111001015) Kardiyus Syaputra (04111001016) Putri Nilam Sari (04111001025) Rike Lestari (04111001027) Restya Fitriani (04111001033) Ferry Krisnamurti (04111001065) Bellinda Dwi Priba (04111001098) Moza Guyanto (04111001112) Ramadan Adurrahman Dwiputra (04111001129)

Upload: rabecca-beluta-ambarita

Post on 19-Oct-2015

271 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

LAPORAN TUTORIALSKENARIO B BLOK 9 BIOMOLEKUL

Disusun oleh :KELOMPOK: L6ANGGOTA KELOMPOK:Febri Wijaya (04111001002)Inne Fai Mariety (04111001005)Fitri Hidayati (04111001015)Kardiyus Syaputra (04111001016)Putri Nilam Sari (04111001025)Rike Lestari (04111001027)Restya Fitriani (04111001033)Ferry Krisnamurti (04111001065)Bellinda Dwi Priba (04111001098)Moza Guyanto (04111001112)Ramadan Adurrahman Dwiputra (04111001129)Anggun Nurul Fitri (04111001143)PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYAKATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan tutorial skenario B blok 9 ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Laporan ini betujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Kami mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, orang tua, tutor, dr. Henny dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun materil dalam pembuatan laporan ini.

Peribahasa menyatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.

Palembang, 2012Tim Penyusun

SKENARIOTn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, datang ke dokter dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan, hidung tersumbat, dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri sehingga merujuk pasien itu ke dokter spesialis THT-KL dan dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta PCR. Tn. Aam mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan bakar, ikan asin, dan produk awetan lainnya. Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedankan pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap EBV.

I. KLARIFIKASI ISTILAH1. Benjolan di leher: pembengkakkan di leher2. Suara serak: produksi suara yang kurang jelas akibat adanya ganggung pada saluran pernafasan di leher.3. Mimisan: keluar darah dari hidung.4. Hidung tersumbat: kesulitan dalam bernafas melalui hidung karena adanya obstruksi di dalam hidung.5. Tumor: pembengkakan, salah satu tanda utama peradangan, pembesaran abnormal.6. Dokter spesialis THT-KL: dokter spesialis telinga, hidung, tenggorokan, kepala, dan leher.7. Pemeriksaan patologi anatomi: pemeriksaan mengenai makroskopik dan mikroskopik dari suatu penyakit.8. Pemeriksaan serologi: pemeriksaan mengenai reaksi antigen antibodi invitro.9. PCR: suatu teknik yang digunakan untuk memperbanyak DNA.10. Karsinoma Nasofaring: tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa rosenguler dan atap nasofaring.11. Titer antibodi: jumlah antibodi yang digunakan untuk menimbulkan reaksi antigen antibodi terhadap substansi lain.12. EBV: virus epstein-barr, virus yang termasuk golongan herpes virus yang dapat menyebabkan peradangan glandula dan menyerang limfosit B.

II. IDENTIFIKASI MASALAHFaktaKesesuaianKonsen

Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, datang ke dokter dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan, hidung tersumbat, dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu.TSHVVVV

Dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri sehingga merujuk pasien itu ke dokter spesialis THT-KL dan dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta PCR.TSHVVV

Tn. Aam mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan bakar, ikan asin, dan produk awetan lainnya.TSHVV

Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedankan pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap EBV.TSHV

III. ANALISIS MASALAH1. Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, datang ke dokter dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan, hidung tersumbat, dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu.A. Bagaimana mekanisme gejala yang berkaitan dengan skenario ini:a. Benjolan di leherKarsinoma nasofaring menginvasi secara lokal, menyebar ke kelenjar getah bening leher. Mekanisme timbulnya benjolan pada leher diawali dengan displasia dan metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga proses diferensiasi sel tidak lagi sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme apoptosis. Hal ini berakibat pada ploriferasi sel yang tak terkendali yang bermanifestasi pada benjolan di jaringan. Hal ini yang menyebabkan benjolan di leherb. Suara serakPada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi semakin kasar, mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang-kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit.

Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor. Apabila tumor laring tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap. Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian.

Suara serak juga merupakan Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, Palatum, Faring atau laring. N. IXkesulitan menalan karena hemiparesis otot konstriktor superior sertagangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.N.Xhiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan saliva.N. XIkelumpuhan/atrofi otot trapezius, otot sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum mole.N. XIIemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

c. MimisanMimisan atau epistaksis : gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga pada iritasi ringan dapa terjadi perdarahan. Bisa juga terjadi jika terjadi pembesaran tumor dapat memecahkan atau mengganggu pembuluh darah kecil sehingga pembuluh darah tersebut pecah.

d. Hidung tersumbatGejala seperti tersumbat pada hidung tersumbat tersebut terjadi karena adanya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam nasofaring dan menutupi koana sehingga hidung seperti tersumbat, umunya gejala seperti pilek kronis serta adanya ingus kental.

e. Sakit kepalaNyeri kepalahebat timbulkarena peningkatantekananintracranial. Gejala ini terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis. Oleh karena itu, akan dirasakan Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. Tekanan intracranial juga disebabkan oleh invasi tumor yang menekan basis cranial

B. Bagaimana hubungan umur, asal daerah, jenis kelamin, dan kebiasaan hidup dengan penyakit ini ?Peningkatan insidensi KNF dilaporkan berkaitan erat dengan faktor makanan seperti makanan yang diawetkan (ikan asin), difermentasi, dan diasapi. Makanan-makanan tersebut dapat meningkatkan kandungan nitrosamin, dapat mengaktivasi Epstein-Barr virus (EBV) dan menginduksi perkembangan KNF. Selain itu, konsumsi minuman beralkohol juga dapat meningkatkan risiko terkena KNF. Nitrosamin juga disebut sebagai zatkarsinogenik karena nitrosamin dapat merusak rantai DNA. Nitrosamin tersebut dapat mengubah pasangan basa pada rantai DNA, karena nitrosamin dapat mentransfer gugus metil atau etil kepada ikatan fosfat atau basa pada rantai DNA. Biasanya pasangan basa yang sering mendapat gugus metil atau etil tersebut adalah Guanin sehingga terbentuk senyawa nitrosoguanin.Asal daerah juga mempengaruhi, karena jenis makanan khas yang dikonsumsi. Misalnya daerah sunda terkenal dengan makanan-makanan yang diasap atau dibakar, dan juga ikan asin.Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 kenapa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNFberbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun danmenurun setelahnya.Semakin tinggi usia seseorang, maka pertahanan tubuh akan semakin melemah sehingga lebih mudah mengalami gangguan.

2. Dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri sehingga merujuk pasien itu ke dokter spesialis THT-KL dan dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta PCR.A. Kenapa benjolan hanya terjadi di bagian leher sebelah kiri ?a. Tumor sign :Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.

b. Penyebaran ke kelenjar getah bening :Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

B. Apa tujuan dari pemeriksaan PA dan p-serologi dan PCR ?a. Pemeriksaan Patologi Anatomi Diagnosis penyakit berdasarkan pada pemeriksaan kasar, mikroskopik, dan molekuler atas organ, jaringan, dan sel. mengidentifikasi sebab dari suatu penyakit (etiologi) melihat adanya perubahan morfologi dari struktur sel atau jaringan yang khas pada suatu penyakit menentukan terapi (pengobatan) prognosa (ramalan tentang berakhirnya suatu penyakit) b. Pemeriksaan Serologi Untuk mengetahui respon tubuh terhadap agen infeksius secara kualitas maupun kuantitas.c. PCR mendeteksi adanya mutasi DNA secara spesifik sehingga dapat membantu menegakkan diganosis terhadap suatu penyakit. amplifikasi urutan nukleotida. menentukan kondisi urutan nukleotida suatu DNA yang mengalami mutasi. bidang kedokteran forensik. melacak asal-usul sesorang dengan membandingkan finger print.C. Bagaimana cara kerja pemeriksaan tersebut ?a. Pemeriksaan Patologi AnatomiAdapun contoh pemeriksaan dengan patalogi anatomi ini berupa :1. sitologi : contohnya berupa pemeriksaanFine Needle Aspiration Biopsy(FNAB), di mana cara pengambilan contoh jaringan dengan menggunakan jarum suntik yang kemudian ditusukkan ke dalam tumor atau ductal lavage of breast cell. Biasanya tumor yang berkonsistensi lunak atau cair atau dapat juga berupa cairan tubuh (cairan pleura paru, cairan cerebral, dan lain - lain).2. histo Patologi : contohnya berupa pemeriksaan biopsi jaringan (kanker payudara, kanker kulit dan sebagainya), di mana dalam pengambilan contoh jaringan seperti operasi, namun bahan yang diambil hanya sedikit dan kemudian contoh ini dilihat di bawah mikroskop.3. vriesCoupe : pemeriksaan jaringan kanker yang dilakukan di tengah - tengah operasi, di mana ketika jaringan tumor / kanker bersama jaringan sekitarnya yang dianggap normal diangkat, jaringan tersebut dibekukan dengan cairan nitrogen dan kemudian langsung dibawa ke bagian patologi anatomi yang memang sudah disediakan di ruang operasi. Bila patholog menyatakan bahwa jaringan yang diambil tidak menyebar ke sekitarnya, maka operasi selesai. Dan bila sebaliknya, maka operasi dilanjutkan sampai didapatkan jaringan yang benat normal atau dapat juga dihentikan bila operasi tak dapat dilanjutkan oleh karena riskan untuk mengangkat jaringan sekitarnya yang memiliki fungsi tak tergantikan.

b. Pemeriksaan SerologiPemeriksaan serologis diperkenalkan saat ini sebagai salah satu cara untuk deteksidini kanker nasofaring. Dengan masuknya virus ke dalam sel manusia, badan akan membentuk suatu reaksi imunologi atau kekebalan tubuh terhadap antigen-antigen yang ada di dalam virus. Penyelidikan reaksi imunologi terhadap antigen virus EBV ini telah berhasil mengidentifikasi beberapa antigen khusus yang dijumpai pada karsinoma nasofaring. Antibodi IgG dan IgA terhadap Viral CapsidAntigen (VCA). Sampai saat ini,pemeriksaantiterIgAVCAdianggapyangpaling spesifik dan sensitifuntukdiagnosa dini kanker nasofaring. Uji ini juga dianggap metode pilihan untuk keadaan occolt primary yaitu keadaan ditemukannya kelainan berupa pembesaran kelenjarservikal atau destruksi dasar tengkorak atau kelumpuhan saraf otak tanpa adanya tumor di nasofaring. Ig Ganti FarlyAntigen (FA). Untukdeteksi dinikanker nasofaring, ujiini kurangsensitif jika dibandingkan dengan Ig A VCA Antibody Dependent Cellular Cytotoxicty (ADCC). Pemeriksaan ADCC dapatmenentukan perjalanan penyakit serta prognosis berdasarkan tinggi rendahnya titerpada waktu diagnosis.

Terdiriatasbeberapametodeyaitu:1. Haemagglutination Inhibition (HI) testSecara bahasahaemagglutination inhibitiondapat diartikan sebagai hambatan haemaglutinasi. Zat haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus atau bakteri tersebut bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik. Antibodi yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan mengambat terjadinya aglutinasi darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus atau bakteri.Prinsip kerja dari HI test ialah mereaksikan antigen dan serum dengan pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. HI test merupakan metode uji serologis yang mudah dilakukan dan hasilnya dapat diketahui dengan cepat.

2. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)ELISA sebagai salah satu metode uji serologis mempunyai satu kelebihan yaitu mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi dari 1 sampel serum (tergantung dari kit ELISA yang digunakan). ELISA juga memiliki tingkat spesifikasi (yaitu kemampuan mendeteksi ayam yang tidak terinfeksi atau ayam yang tidak terinfeksi dinyatakan negatif) yang tinggi.

3. Agar Gel Precipitation (AGP)Metode uji serologis ini termasuk metode yang sederhana untuk mendeteksi antibodi terhadap berbagai virus berdasarkan reaksi positif (+) atau negatif (-). Namun AGP akan mendeteksi semua strain virus tanpa memperhatikan serotipenya.

4. Rapid Plate Aglutination (RPA)Cara metode uji ini juga sangat mudah, hanya dengan mencampur satu tetes serum dengan satu tetes antigen kemudian dikocok selama 2 menit. Jika terjadi aglutinasi (penggumpalan) maka reaksi dinyatakan positif dan sebaliknya jika tidak terjadi aglutinasi hasil uji serologis dinyatakan negatif. Oleh karena itu, metode uji serologis ini hanya menunjukkan ada tidaknya titer antibodi, namun tidak bisa menentukan tinggi rendahnya (nilai) dari antibody.

5. Serum Neutralisation (SN) testSerum neutralisation(SN) test merupakan metode uji serologis yang paling mahal diantara ke-4 metode uji sebelumnya. Metode uji ini membutuhkan peralatan yang mahal. Selain itu, dalam metode ini diperlukan telur spesific pathogenic free(SPF) untuk persiapan kultur jaringan atau kultur organ.Metode uji ini paling tepat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap serotipe yang berbeda dari virus yang diuji. Titer antibodi yang dapat diuji dengan SN test antara lain IB dan FAV.

c. Pemeriksaan PCRSampel pada penelitian ini adalah darah perifer penderita KNF dan kontrol. 1. Denaturasi DNABiasanya denaturasi selama 0.5 2 menit pada suhu 94-95C sudah cukup baik, ketika produk PCR yang disintesis pada siklus amplifikasi awal cukup pendek dari pada templet DNA dan telah terdenaturasi secara sempurna pada kondisi tersebut. Jika DNA yang diamplifikasi memiliki kandungan GC yang cukup tinggi, waktu denaturasi sebaiknya ditingkatkan mecapai 3-4 menit. Selain itu penambahan bahan untuk membantu proses denaturasi dapat dilakukan misalnya dengan gliserol (hingga 10-15 %), DMSO (hingga 10%) atau formamid (hingga 5%). Dengan adanya bahan tersebut, temperatur anealing harus diatur secara experimental, mengingat Tm dari primer-templat menurun secara signifikan ketika bahan-bahan tersebut digunakan. Jumlah enzim dalam reaksi harus ditingkatkan hingga 50%, mengingat DMSO dan formamid, pada konsentrasi tersebut menghambat aktivitasTaqDNA Polymerase. Selain itu, ada cara umum yang dapat dilakukan untuk mengurangi Tm dari produk PCR yaitu dengan mengganti dGTP dengan 7-deaza-dGTP dalam campuran reaksi.

2. Tahap Annealing Primer.Biasanya suhu optimal anealing adalah 5C lebih rendah dari temperatur melting (Tm) primer-template DNA duplex. Inkubasi selama 0.5-2 menit biasanya sudah cukup. Namun, jika diperoleh produk PCR yang tidak spesifik, maka suhu anealing dapat ditingkatkan pada tahap tersebut 1-2C.

3. Tahap Extending.Tahap Extending AwalBiasanya tahap pemanjangan (extending) ini dilakukan pada suhu 70-75C. Kecepatan sintesis DNA olehTaqDNA Polymerase pada suhu tersebut sangat tinggi. Periode dari tahap ini yang direkomendasikan adalah 1 menit untuk mensintesis fragmen PCR hingga 2 kb. Apabila fragmen DNA yang lebih besar yang akan diamplifikasi, maka waktu extensinya di tingkatkan menjadi 1 menit tiap 1 kb.

Tahap Extending Akhir.Setelah akhir siklus, sampel biasanya di inkubasikan pada suhu 72C selama 5-15 menit yang bertujuan untuk menyelesaikan penggandaan yang belum selesai dari produk PCR baru. Juga, pada tahapan ini, aktifitas akhir transferasi dariTaqDNA Polymerase akan menambahkan nukleotida A pada ujung 3 produk PCR. Selanjutnya, jika fragmen PCR ini akan digunakan untuk diklon pada vektor, biasanya diperlukan waktu sekitar 30 menit.

D. Gen apa yang mengkode adanya karsinoma nasofaring ?Sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan denganpasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV kedalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Hirunsatit et al. melaporkan bahwa mutasi missense pada gen PIGR (1739CT) menyebabkan kerentanan terhadap KNF pada populasi etnis Cina dan Thailand. Dilaporkan pula bukti bahwa PIGR berfungsi sebagai reseptor epitel nasofaring bagi EBV melalui transitosis kompleks IgA-EBV. Mutasi gen PIGR 1739CT dapat mengubah asam amino alanin menjadi valin yang berdekatan dengan situs pembelahan enzim endoproteolitik. Varian tersebut dapat mengganggu efisiensi PIGR dalam melepaskan kompleks IgA-EBV ke lumen sehingga meningkatkan kerentanan individu terhadap infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF. Mutasi gen PIGR diketahui berperan dalam patogenesis KNF di Thailand dan memiliki distribusi geografis yang berbeda secara signifikan. Oleh karena itu, diduga perbedaan distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR juga terjadi pada populasi di Indonesia. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR antara kelompok KNF dengan kelompok kontrol, antara kelompok pribumi dengan kelompok Etnis Cina di Indonesia.Langkah awal infeksi litik EBV ditandai dengan aktivitas protein ZEBRA yang disandi oleh gen BZLF1 yang terdapat pada sel epitel dan limfosit B. Beberapa produk yang berbeda-beda dari gen yang mempuyai korelasi dengan tahapan siklus replikasi litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi: Early Membrane Antigen (EMA), Early Intra Celulair Atigen (EA), Viral capcid Antigen (VCA),Late Membrane Antigen (LMA).Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankanvirus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyaltyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gentersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur proteinLMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis)Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentananterhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol danmemiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyteantigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah genkerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atasaktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.

3. Tn. Aam mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan bakar, ikan asin, dan produk awetan lainnya.A. Apa kandungan terasi, ikan bakar, ikan asin, dan produk awetan yang dapat memicu timbulnya tumor ?a. Pada terasi sering kali terdapat zat pewarna rhodamin B yang bersifat karsinogenik yang biasa digunakan untuk zat pewarna kertas, tekstil, atau tintab. pembakaran daging akan membentuk suatu zat yang disebut heterocyclic amines (HCAs) yang dilepaskan ketika panas membakar suatu senyawa yang disebut creatin yang ditemukan dalam darah dan jaringan hewan. HCAs sering dikaitkan dengan kanker usus, tumor paru-paru dan kanker payudara.c. Ikan asin memiliki zat bernama nitrosamin yang merupakan zat karsinogenik yang bisa menyebabkan kanker. Zat tersebut muncul dalam proses pengasinan dan penjemuran ikan asin dibawah panasnya sinar matahari. Dalam prosesnya, sinar matahari akan bereaksi dengan nitrat pada daging ikan asin tersebut dan membentuk senyawa nitrosamin.d. Pada produk awetan seperti sosis, dendeng, bacon, dll; senyawa nitrat dan nitrit yang digunakan untuk mengolah daging berubah menjadi zat nitrosamine selama proses pengolahan tersebut. Zat ini mengandung karsinogenB. Bagaimana interaksi zat yang terkandung dalam makanan tersebut dengan gen?Peningkatan insidensi KNF dilaporkan berkaitan erat dengan faktor makanan seperti makanan yang diawetkan (ikan asin), difermentasi, dan diasapi. Makanan-makanan tersebut dapat meningkatkan kandungan nitrosamin, sehingga dapat mengaktivasi Epstein-Barr virus (EBV) dan menginduksi perkembangan KNF. Selain itu, konsumsi minuman beralkohol juga dapat meningkatkan risiko terkena KNF.Nitrosamin juga disebut sebagai zatkarsinogenik karena nitrosamin dapat merusak rantai DNA. Nitrosamin tersebut dapat mengubah pasangan basa pada rantai DNA, karena nitrosamin dapat mentransfer gugus metil atau etil kepada ikatan fosfat atau basa pada rantai DNA. Biasanya pasangan basa yang sering mendapat gugus metil atau etil tersebut adalah Guanin sehingga terbentuk senyawa nitrosoguanin.

4. Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedankan pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap EBV.A. Bagaimana struktur histologi dan anatomi dari karsinoma nasofaring (normal dan tidak normal) ?Struktur Anatomi NasofaringNASOFARING disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan belakang 2-3 sentimeter.Batas-batasnya :- Dinding depan : Koane- Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggiVertebra Sevikalis I dan II.- Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.- Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.- Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.

Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu. Dengan radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik.

Sebaliknya dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi dan atropidari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.

Pembagian daerah nasofaring :1. Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak.2. Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung dimasukkan sebagai fosa nasal.(1)

Histologi NasofaringPermukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel ".

Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium "2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ".3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium"4. Epitel torak berlapis semu bersilia "Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium".Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng "Stratified Squamous Epithelium", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.(9)Pic1. stratified squamous nonkeratinized epithelium. plastic section. x270 EL= esophageal lumenN = nucleiL = lumenBL= basal layer(lamina basale)CT= connective tissue Pic2, stratified squamous keratinized epithelium. skin. paraffion section. x132K = keratinP = connective tissue dermal ridgesR = epithelial ridgeBM= basal membraneD = duct of a sweat gland

HistopatologiKesukaran timbul dalam mengidentifikasi karsinoma nasofaring jenis sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campur ganas. Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dindinga lateral yang ada fosa Rossenmulleri Merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian geajla-gejala akan muncul sesuai dengan arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubanga pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang secara nekrosis tekanan.klasifikasikarsinomanasofaringyang diusulkan WHO tahun 1978. ada tiga jenis bentuk histologik :Karsinomasel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan mikroskop Karsinomanonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa Karsinomatidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.

B. Bagaimana patogenesis karsinoma nasofaring ?1. Virus Epstein-BarrVirus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus padainfeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imunlokal.

2. Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3.Faktor lingkunganSejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah diasia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkanmengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dannitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengancara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV. (kelompok 2)

C. Apa hubungan EBV dengan karsinoma nasofaring ?Ebstein Barr Virus (EBV) adalah virus Penyebab Kanker NasofaringVirus Epstein Barr (EBV) merupakan virus dsDNA yang memiliki capsid ichosahedral termasuk dalam family Herpesviridae, merupakan salah satu penyebab karsinoma nasofaring. Virus Epstein-Barr virus (EBV).yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan KNF. EBV merupakan virus utama yang menyebabkan infeksi mononucleosis, dan terutama ditemukan dalam sel tumor nasofaring tapi tidak meliputi seluruh limfositnya. Kehadiran EBV pada KNF dibuktikan dengan adanya serum antibodi terhadap Virus Caspid Antigen (VCA) dan Early Antigen (EA), dimana peningkatan titer antibodi tersebut biasanya hanya terjadi pada KNF dan tidak pada kanker lainnya serta pada individu normal.

Patogenesis Ebstein Barr Virus (EBV)Virus Ebstein Barr masuk ke dalam tubuh manusia kemudian bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus ini terjadi pada dua tempat yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai menginfeksi dengan cara berikatan dengan komplemen C3d (CD21 atau CR2). Mekanisme masuknya EBV dan terjanya infeksi kemungkinan dengan cara: 1) melaui hubungan langsung antara sel pada membrane bagian apical yang dengan limfosit yang sudah terifeksi virus, 2) melalui membrane basolateral, yang dimediasi oleh adanya interaksi antara integrin 1 atau 5B1 dengan EBV, 3) melalui penyebaran virus secara langung melalui membrane lateral yang terjadi setelah pertama kali terinfeksi EBV (Tugizov at all cit Hariwiyanto). Infeksi virus pada limfosit B dimungkinkan karena adanya ikatan antara reseptor membrane glikoprotein gp350/220 pada kapsul EBV dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B sebagai targetnya. Setelah mengikat reseptor CD21 pada limfisit B, EBV dalam waktu 1-2 jam akan masuk ke sitoplasma sel penjamu kemudian terjadi fusi TR (Terminal Repeat), yang menyebabkan epitop berbentuk sirkuler, partikel-partikel EBV akan terurai dan genom-genom EBV akan masuk ke dalam nucleus, yang merupakan bentuk EBV infeksi laten, yang ditandai dengan proses aktivasi dan proliferasi sel yang disebut sebagai pengabadian EBV pada sel limfosit B. Proses ini melibatkan interaksi beberapa kompleks glikoprotein virus termasuk gH dan gL yang merupakan homolog dari molekul gp42 dengan MHC kelas II pada limfosit B.

Pada kondisi normal infeksi EBV dapat terkontrol dan masuk ke fase latent, dimana hanya sedikit sel B yang terinfeksi. Fase litik dapat terjadi baik di epitel rongga mulut maupun di sel B yang terletak berdekatan dengan epitel rongga mulut sehingga menyebabkan EBV yang infeksious banyak terdapat di rongga mulut sehingga dapat menular pada orang lain. Pada keganasan yang berhubungan dengan EBV, genom EBV genom EBV muncul pada setiap sel tumor dalam bentuk episom yang latent ( latent episomal) dan genom tersebut akan mengadakan replikasi selama pembelaha sel. Ekspresi DNA pada EBV yang berbentuk latent episomal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam mendeteksi funsi virus pada perkembangan KNF.

Langkah awal infeksi litik EBV ditandai dengan aktivitas protein ZEBRA yang disandi oleh gen BZLF1 yang terdapat pada sel epitel dan limfosit B. Beberapa produk yang berbeda-beda dari gen yang mempuyai korelasi dengan tahapan siklus replikasi litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi: Early Membrane Antigen (EMA), Early Intra- Celulair Atigen (EA), Viral capcid Antigen (VCA),Late Membrane Antigen (LMA). Pada infeksi latent terjadi ekspresi dari beberapa protein antara lain: Epstein Barr Nucleus Antigen 2 & 5 (EBNA 2 & 5) yang dapat diteksi 2-5 jam setelah infeksi, Latent Membrane Protein 1 & 2 (LMP 1&2) yang dapat diteksi 5-7 jam setelah infeksi.

Infeksi laten yang bersifat diam dan tidak memproduksi partikel-partikel virus yang baru, dikaitkan salah satunya dengan KNF. Bentuk laten infeksi EBV pada KNF termasuk tipe II dengan karakteristik terekspresinya protein LMP disamping protein EBER dan EBNA1.

Mekanisme pasti bagaimana EBV dapat menginduksi terjadinya kanker masih belum bisa dipastikan. Akan tetapi penelitian selanjutnya tentang ekspresi dari gen Latent Membrane Protein (LMP) menunjukkan bisa mengubah sel epitel nasofaring in vitro, dan diperkirakan bahwa LMP pada sel yang terinfeksi EBV memproteksi sel tersebut dari program kematian sel atau apoptosis. Sedangkan pada penelitian lainnya ditemukan juga gen LMP ini terdapat pada 65% penderita KNF .

IV. KETERKAITAN ANTAR MASALAH

Tn. Aam Syaroni 42 th WNI asli Sunda berkebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan bakar, ikan asin, dan produk awetan lainnyaKeluhan benjol di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan, hidung tersumbat, sakit kepala sejak 6 bulan laluPemeriksaan SerologiPemeriksaan Patologi AnatomiPCRPeningkatan Titer AntibodiKarsinoma NasofaringMutasi Genetik

V. LEARNING OBJECTIVEPokok bahasanWhat I knowWhat I dont knowWhat I have To proveHow will I learn

Karsinoma NasofaringDefinisiStadium-Internet & Textbook

EBVDefinisiMekanisme penularan-Internet & Textbook

Mutasi GenDefinisiKlasifikasi mutasi gen-Internet & Textbook

Anatomi dan Histologi NasofaringDefinisiHubungan dengan diet-Internet & Textbook

Pemeriksaan Patologi AnatomiDefinisiLangkah pemeriksaan dan interpretasi-Internet & Textbook

Pemeriksaan SerologiDefinisiLangkah pemeriksaan dan interpretasi-Internet & Textbook

PCRDefinisiLangkah PCR dan interpretasi-Internet & Textbook

Zat KarsinogenDefinisiKlasifikasi dan ciri zat karsinogen-Internet & Textbook

AntibodiDefinisiMekanisme kerja antibodi-Internet & Textbook

VI. KERANGKA KONSEPEBVReseptor PIGR pada epitel nasofaringKonsumsi ikan asin, ikan bakar, terasi, produk awetanInfeksi EBVNitrosamine meningkatAktivasi EBVSintesis LMP1Mutasi genetikP53 mutan, BCL2 overekspresiInaktivasi apoptosisProliferasi sel tidak terkontrolKNF (Karsinoma Nasofaring)Pembengkakan kelenjar limfe leherPembuluh darah pecah akibat tertekan tumor Tumor menutupi koanaPembengkakan di leher mengganggu vocal cordInvasi tumor meningkatkan tekanan intracranialTonjolan di leherMimisan (Epistaksis)Hidung tersumbatSuara serakSakit kepala

VII. SINTESISKARSINOMA NASOFARING

Neoplasma yang jarang ini dibahas karena keterkaitan epidemiologik yang kuat dengan EBV dan tingginya frekuensi bentuk kanker ini pada orang china, yang menimbulkan hipotesis adanya onkogenesis virus dengan latar belakang kerentanan genetic. EBV menginfeksi pejamu dengan mula mula bereplikasi di epitel nasofaring, kemudian menginfeksi limfosit B di tonsil. Pada sebagian orang, hal ini menyebabkan transformasi sel epitel. Tumor terkait EBV lainnya, genom EBV ditemukan pada hampir semua karsinoma nasofaring, termasuk karsinoma yang terjadi di luar daerah endemik di Asia. Tiga varian histologik adalah karsinoma sel skuamosa keratinisasi, karsinoma sel skuamosa non keratinisasi, dan karsinoma tidak berdiferensiasi; yang terakhir ini adalah yang tersering dan paling erat kaitannya dengan EBV. Neoplasma tidak berdiferensiasi ini ditandai dengan sel epitel besar dengan batas tak jelas dan nukleolus eosinofilik yang mencolok. Perlu diingat bahwa pada nukelosis infeksiosa, EBV secara langsung menginfeksi limfosit B, yang kemudian diikuti oleh poliferasi mencolok limfosit T reaktif dan menyebabkan limfositosis reaktif, yang ditemukan di darah perifer, dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada karsinoma nasofaring juga terjadi influx mencolok limfosit matur. Oleh karena itu, neoplasma ini disebut limfoepitelomia, suatu kesalahan nama karena limfosit bukan merupakan bagian proses neoplastik, dan tumornya juga tidak jinak. Adanya sel neoplastik besar pada latar belakang limfositosis reaktif dapat menimbulkan gambaran yang mirip dengan limfoma non-Hodgkin, dan mungkin diperlukan pewarnaan imunohistokimia untuk membukatikan sifat epitel sel ganas tersebut. Karsinoma nasofaring menginvasi secara lokal, menyebar ke kelenjar getah bening leher, dan kemudian bermetastasis ke tempat jauh. Tumor ini cenderung radiosensitive, dan dilaporkan angka kesintasan 5 tahun bahkan untuk kasus lanjut.

STADIUMPenentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :1,2,3T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.T0 : Tidak tampak tumorT1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaringT2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaringT3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaringT4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regionalN0 : Tidak ada pembesaran kelenjarN1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkanN2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapatdigerakkanN3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauhM0 : Tidak ada metastase jauhM1 : Terdapat metastase jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium I T1 N0 MoStadium II T2 N1 M0Stadium III T3 N2 M0Stadium IV Tiap T N3 M0Stadium V Tiap T N3 M1

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging darinasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :Tis : Carcinoma in situT1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang takdapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dandindinglateral.T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial(atau keduanya).

EPSTEIN BARR VIRUS (EBV)Epstein Barr Virus (EBV) adalah virus Penyebab Kanker NasofaringVirus Epstein Barr (EBV) merupakan virus dsDNA yang memiliki capsid ichosahedral termasuk dalam family Herpesviridae, merupakan salah satu penyebab karsinoma nasofaring. Virus Epstein-Barr virus (EBV).yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan KNF. EBV merupakan virus utama yang menyebabkan infeksi mononucleosis, dan terutama ditemukan dalam sel tumor nasofaring tapi tidak meliputi seluruh limfositnya. Kehadiran EBV pada KNF dibuktikan dengan adanya serum antibodi terhadap Virus Caspid Antigen (VCA) dan Early Antigen (EA), dimana peningkatan titer antibodi tersebut biasanya hanya terjadi pada KNF dan tidak pada kanker lainnya serta pada individu normal.

Patogenesis Ebstein Barr Virus (EBV)Virus Ebstein Barr masuk ke dalam tubuh manusia kemudian bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus ini terjadi pada dua tempat yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai menginfeksi dengan cara berikatan dengan komplemen C3d (CD21 atau CR2). Mekanisme masuknya EBV dan terjanya infeksi kemungkinan dengan cara: 1) melaui hubungan langsung antara sel pada membrane bagian apical yang dengan limfosit yang sudah terifeksi virus, 2) melalui membrane basolateral, yang dimediasi oleh adanya interaksi antara integrin 1 atau 5B1 dengan EBV, 3) melalui penyebaran virus secara langung melalui membrane lateral yang terjadi setelah pertama kali terinfeksi EBV (Tugizov at all cit Hariwiyanto). Infeksi virus pada limfosit B dimungkinkan karena adanya ikatan antara reseptor membrane glikoprotein gp350/220 pada kapsul EBV dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B sebagai targetnya. Setelah mengikat reseptor CD21 pada limfisit B, EBV dalam waktu 1-2 jam akan masuk ke sitoplasma sel penjamu kemudian terjadi fusi TR (Terminal Repeat), yang menyebabkan epitop berbentuk sirkuler, partikel-partikel EBV akan terurai dan genom-genom EBV akan masuk ke dalam nucleus, yang merupakan bentuk EBV infeksi laten, yang ditandai dengan proses aktivasi dan proliferasi sel yang disebut sebagai pengabadian EBV pada sel limfosit B. Proses ini melibatkan interaksi beberapa kompleks glikoprotein virus termasuk gH dan gL yang merupakan homolog dari molekul gp42 dengan MHC kelas II pada limfosit B.

Pada kondisi normal infeksi EBV dapat terkontrol dan masuk ke fase latent, dimana hanya sedikit sel B yang terinfeksi. Fase litik dapat terjadi baik di epitel rongga mulut maupun di sel B yang terletak berdekatan dengan epitel rongga mulut sehingga menyebabkan EBV yang infeksious banyak terdapat di rongga mulut sehingga dapat menular pada orang lain. Pada keganasan yang berhubungan dengan EBV, genom EBV genom EBV muncul pada setiap sel tumor dalam bentuk episom yang latent ( latent episomal) dan genom tersebut akan mengadakan replikasi selama pembelaha sel. Ekspresi DNA pada EBV yang berbentuk latent episomal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam mendeteksi funsi virus pada perkembangan KNF.

Langkah awal infeksi litik EBV ditandai dengan aktivitas protein ZEBRA yang disandi oleh gen BZLF1 yang terdapat pada sel epitel dan limfosit B. Beberapa produk yang berbeda-beda dari gen yang mempuyai korelasi dengan tahapan siklus replikasi litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi: Early Membrane Antigen (EMA), Early Intra- Celulair Atigen (EA), Viral capcid Antigen (VCA),Late Membrane Antigen (LMA). Pada infeksi latent terjadi ekspresi dari beberapa protein antara lain: Epstein Barr Nucleus Antigen 2 & 5 (EBNA 2 & 5) yang dapat diteksi 2-5 jam setelah infeksi, Latent Membrane Protein 1 & 2 (LMP 1&2) yang dapat diteksi 5-7 jam setelah infeksi.

Infeksi laten yang bersifat diam dan tidak memproduksi partikel-partikel virus yang baru, dikaitkan salah satunya dengan KNF. Bentuk laten infeksi EBV pada KNF termasuk tipe II dengan karakteristik terekspresinya protein LMP disamping protein EBER dan EBNA1.

Mekanisme pasti bagaimana EBV dapat menginduksi terjadinya kanker masih belum bisa dipastikan. Akan tetapi penelitian selanjutnya tentang ekspresi dari gen Latent Membrane Protein (LMP) menunjukkan bisa mengubah sel epitel nasofaring in vitro, dan diperkirakan bahwa LMP pada sel yang terinfeksi EBV memproteksi sel tersebut dari program kematian sel atau apoptosis. Sedangkan pada penelitian lainnya ditemukan juga gen LMP ini terdapat pada 65% penderita KNF .

Epstein Barr Virus (EBV) adalah virus DNA yang diklasifikasikan sebagai bagian dari herpes virus dengan double stranded DNA pada membran limfosit B yang terinfeksi. Virus ini termasuk bagian dari gamma herpes virus family dan memiliki kemiripan dalam genomic structure dan gene organisation. Sesuai hubungannya dengan berbagai macam limfoid dan keganasan epitelial, EBV telah dikelompokkan sebagai group 1 karsinogen oleh international agency for research on cancer. Imunitas terhadap virus Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. Kegagalan imunitas spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa manifestasi klinik.

Peranan virus dalam karsinogenesisTerjadinya kanker dapat berasal dari berbagai mutasi. Mutasi dapat terjadi akibat respons terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, dan virus. Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen (gen yang bertanggungung jawab dalam pengembangan cancer ) bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.

Implikasi kelainan siklus sel terhadap keganasanKeganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen yang merangsang sel menjalani dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel.

MUTASI GENMutasi adalah perubahan pada struktur kimia gen yang bersifat turun temurun yang terjadi bisa secara spontan atau tidak spontan oleh zat kimia, radiasi sinar radioaktif, terinfeksi virus, dan lain sebagainya.Jenis-jenis Mutasi Menurut KejadiannyaMutasi dapat terjadi secara spontan (spontaneous mutation) dan juga dapat terjadi melalui induksi (induced mutation). Mutasi spontan adalah mutasi (perubahan materi genetik) yang terjadi akibat adanya sesuatu pengaruh yang tidak jelas, baik dari lingkungan luar maupun dari internal organisme itu sendiri. Sedangkan mutasi terinduksi adalah mutasi yang terjadi akibat paparan dari sesuatu yang jelas, misalnya paparan sinar UV. Secara mendasar tidak terdapat perbedaan antara mutasi yang terjadi secara alami dan mutasi hasil induksi.

Berdasarkan Sel yang BermutasiBerdasarkan jenis sel yang mengalami mutasi, mutasi dibedakan atas mutasi somatik dan mutasi gametik atau germinal. Mutasi somatik adalah mutasi yang terjadi pada sel-sel somatik. Sedangkan mutasi gametik atau germinal adalah mutasi yang terjadi pada sel gamet. Mutasi somatik dapat diturunkan dan dapat pula tidak diturunkan. Sedangkan mutasi gametik, karena terjadinya di sel gamet, maka akan diwariskan olehketurunannya. Berdasarkan Bagian yang BermutasiBerdasarkan bagian yang bermutasi, mutasi dibedakan menjadi mutasi DNA, mutasi gen dan mutasi kromosom.a. Mutasi DNA1. Mutasi DNA terdiri atas:Mutasi transisi, yaitu suatu pergantian basa purin dengan basa purin lain atau pergantian basa pirimidin dengan basa pirimidin lain; atau disebut juga pergantian suatu pasangan basa purin-pirimidin dengan pasangan purin-pirimidin lain. Misalnya: ATGS, GSAT, SGTA.2. Mutasi tranversi, yaitu suatu pergantian antara purin dengan pirimidin pada posisi yang sama. 3. Insersi, yaitu penambahan satu atau lebih pasangan nukleotida pada suatu gen.4. Delesi, yaitu pengurangan satu atau lebih pasangan nukleotida pada suatu gen. b. Mutasi GenMutasi gen merupakan perubahan yang terjadi pada nukleutida DNA yang membawa pesan suatu gen tertentu. Mutasi gen pada dasarnya merupakan mutasi titik. Mutasi titik (point mutation) merupakan perubahan kimiawi pada satu atau beberapa pasangan basa dalam satu gen tunggal.Mutasi salah arti (missens mutation), yaitu perubahan suatu kode genetic (umumnya pada posisi 1 dan 2 pada kodon) sehingga menyebabkan asam amino terkait (pada polipeptida) berubah. Perubahan pada asam amino dapat menghasilkan fenotip mutan apabila asam amino yang berubah merupakan asam amino esensial bagi protein tersebut. Jenis mutasi ini dapat disebabkan oleh peristiwa transisi dan tranversi. Mutasi diam (silent mutation), yaitu perubahan suatu pasangan basa dalam gen (pada posisi 3 kodon) yang menimbulkan perubahan satu kode genetik tetapi tidak mengakibatkan perubahan atau pergantian asam amino yang dikode. Mutasi diam biasanya disebabkan karena terjadinya mutasi transisi dan tranversi. Mutasi tanpa arti (nonsense mutation), yaitu perubahan kodon asam amino tertentu menjadi kodon stop. Hampir semua mutasi tanpa arti mengarah pada inaktifnya suatu protein sehingga menghasilkan fenotip mutan. Mutasi ini dapat terjadi baik oleh tranversi, transisi, delesi, maupun insersi. Mutasi perubahan rangka baca (frameshift mutation), yaitu mutasi yang terjadi karena delesi atau insersi satu atau lebih pasang basa dalam satu gen sehingga ribosom membaca kodon tidak lengkap. Akibatnya akan menghasilkan fenotip mutan.c. Mutasi kromosomMutasi kromosom yaitu mutasi yang disebabkan karena perubahan struktur kromosom atau perubahan jumlah kromosom. Istilah mutasi pada umumnya digunakan untuk perubahan gen, sedangkan perubahan kromosom yang dapat diamati dikenal sebagai variasi kromosom atau mutasi besar/ gross mutation atau aberasi. Mutasikromosom sering terjadi karena kesalahan pada meiosis maupun pada mitosis. Pada prinsipnya, mutasi kromosom digolongkan rnenjadi dua, yaitu sebagai berikut. Mutasi Komosom Akibat Perubahan Jumlah KromosomMutasi kromosom yang terjadi karena perubahan jumlah kromosom (ploid) melibatkan kehilangan atau penambahan perangkat kromosom (genom) disebut euploid, sedang yang hanva terjadi pada salah satu kromosom dari genorn disebut aneuploid. Euploid (eu = benar; ploid = unit) Yaitu jenis mutasi dimana terjadi perubahan pada jumlah n. Makhluk hidup yang terjadi dari perkembangbiakan secara kawin, pada umumnya bersifat diploid, memiliki 2 perangkat kromosom atau 2 genom pada sel somatisnya (2n kromosom). Organismee yang kehilangan I set kromosomnya sehingga memiliki satu genom atau satu perangkat kromosom (n kromosom) dalam sel somatisnya disebut monoploid. Sedang organisme yang memiliki lebih dari dua genom disebut poliploid. Mutasi poliploid ada dua, yaitu (1) autopoliploid yang terjadi akibat n-nya mengganda sendiri karena kesalahan meiosis dan terjadi pada krornosom homolog, misalnya semangka tak berbiji; dan (2) alopoIiploid yang terjadi karena perkawinan atau hybrid antara spesies yang berbeda jumlah set kromosomnya dan terjadi pada kromosom non homolog, misalnya Rhaphanobrassica (akar seperti kol, daun mirip lobak). Aneuploid (an = tidak; eu = benar; Ploid = Unit) Yaitu jenis mutasi dimana terjadi perubahan jumlah kromosom. Mutasi kromosom ini tidak melibatkan seluruh genom yang berubah, rnelainkan hanya terjadi pada salah satu kromosom dari genom. Mutasi ini disebut juga dengan istilah aneusomik. Penyebab mutasi ini adalah anafase lag (peristiwa tidak melekatnya benang-benang spindle ke sentromer) dan nondisjunction (gagal berpisal). Macam-macam aneusomik antara lain sebagai berikut. monosomik (2n-1); yaitu mutasi karena kekurangan satu kromosom, misalnya Sindrom Turner pada manusia dimana jumlah kromosomnya 45 dan kehilangan 1 kromosom kelamin (22AA+X0). nullisomik (2n-2); yaitu mutasi karena kekurangan dua kromosom trisomik (2n + 1); yaitu mutasi karena kelebihan satu kromosom, misalnya Sindrom Klinefelter pada manusia dengan kariotipe 22AA+XXY dan Sindrom Jacobs (22AA+XYY). tetrasomik (2n * 2); yaitu mutasi karena kelebihan dua kromosom.2. Mutasi Kromosom Akibat Perubahan Struktur KromosomMutasi karena perubahan struktur kromosom atau kerusakan bentuk kromosom disebut juga dengan istilahaberasi. Macam-macam aberasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Delesi atau defisiensiDelesi terminal; ialah delesi yang kehilangan ujung segmen kromosom.Delesi intertitial; ialah delesi yang kehilangan bagian tengah kromosomDelesi cincin; ialah delesi yang kehilangan segmen kromosom sehingga berbentuk lingkaran seperti cincin.Delesi loop; ialah delesi cincin yang membentuk lengkungan pada kromosom lainnya. DuplikasiMutasi karena kelebihan segmen kromosom. Mutasi ini terjadi pada waktu meiosis, sehingga memungkinkan adanya kromosom lain (homolognya) yang tetap normal. Translokasi.Translokasi ialah mutasi yang mengalami pertukaran segmen kromosom ke kromosom non homolog.Macam-macam translokasi antara lain sebagai berikut.l. Translokasi homozigot (resiprok)2. Translokasi heterozigot (non resiprok)3. Translokasi Robertson InversiInversi ialah mutasi yang mengalami perubahan letak gen-gen, karena selama meiosis kromosom terpilin dan terjadi kiasma. Macam-macam inversi antara lain sebagai berikut.a) Inversi parasentrik; teriadi pada kromosom yang tidak bersentromer.b) lnversi perisentrik; terjadi pada kromosom yang bersentromer. Isokromosomlsokromosom ialah mutasi kromosom yang terjadi pada waktu menduplikasikan diri, pembelahan sentromernya mengalami perubahan arah pembelahan sehingga terbentuklah dua kromosom yang masing- masing berlengan identik (sama). KatenasiKatenasi ialah mutasi kromosom yang terjadi pada dua kromosom non homolog yang pada waktu membelah menjadi empat kromosom, saling bertemu ujung-ujungnya sehingga membentuk lingkaran.

Penyebab Mutasi (Mutagen)Penyebab mutasi dalam lingkungan dapat bersifat fisik, kimia, dan biologis. Mutagen FisikPenyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik adalah radiasi dan suhu. Radiasi sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi radiasi pengion dan radiasi bukan pengion. Radiasi pengion adalah radiasi berenergi tinggi sedangkan radiasi bukan pengion adalah radiasi berenergi rendah. Contoh radiasi pengion adalah radiasi sinar X, sinar gamma, radiasi sinar kosmik. Contoh radiasi bukan pengion adalah radiasi sinar UV. Radiasi pengion mampu menembus jaringan atau tubuh makhluk hidup karena berenergi tinggi. Sementara radiasi bukan pengion hanya dapat menembus lapisan sel-sel permukaan karena berenergi rendah. Radiasi sinar tersebut akan menyebabkan perpindahan elektron-elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi. Atom-atom yang memiliki elektron-elektron sedemikian dinyatakan tereksitasi atau tergiatkan.Molekul-molekul yang mengandung atom yang berada dalam keadaan tereksitasi maupun terionisasi secara kimiawi lebih reaktif daripada molekul yang memiliki atom-atom yang berada dalam kondisi stabil. Raktivitas yang meningkat tersebut mengundang terjadinya sejumlah reaksi kimia, terutama mutasi. Radiasi pengion dapat menyebabkan terjadinya mutasi gen dan pemutusan kromosom yang berakibat delesi, duplikasi, insersi, translokasi serta fragmentasi kromosom umumnya. Mutagen KimiawiPenyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat kimiawi disebut juga mutagen kimiawi. Mutagen-mutagen kimiawi tersebut dapat dipilah menjadi 3 kelompok, yaitu analog basa, agen pengubah basa dan agen penyela. Senyawa yang merupakan contoh analog basa adalah 5-Bromourasil (5 BU). 5-BU adalah analog timin. Dalam hubungan ini posisi karbon ke-5 ditempati oleh gugus brom padahal posisi itu sebelumnya ditempati oleh gugus metil. Keberadaan gugus brom mengubah distribusi muatan serta meningkatkan peluang terjadinya tautomerik. Senyawa yang tergolong agen pengubah basa adalah mutagen yang secara langsung mengubah struktur maupun sifat kimia dari basa, yang termasuk kelompok ini adalah agen deaminasi, agen hidroksilasi serta agen alkilasi. Perlakuan dengan asam nitrit, misalnya, terhadap sitosin akan menghasilkan urasil yang berpasangan dengan adenin sehingga terjadi mutasi dari pasangan basa S-G menjadi T-A. Agen hidroksilasi adalah mutagen hydroxammin yang bereaksi khusus dengan sitosin dan menguabhnya sehingga sitosisn hanya dapat berpasangan dengan adenin. Sebagai akibatnya terjadi mutasi dari SG menjadi TA.agen alkilasimengintroduksi gugus alkil ke dalam basa pada sejumlah posisi sehingga menyebabkan perubahan basa yang akibatnya akan terbentuk pasangan basa yang tidak lazim. Senyawa yang tergolong agen interkalasi akan melakukan insersi antara basa-basa yang berdekatan pada sati atau kedua unting DNA. Contoh agen interkalasi adalah proflavin, aeridine, ethidium bromide, dioxin dan ICR-70.

Gen yang mengkode KNFVirus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sellimfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakanrangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B danselanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan denganpasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV kedalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : selmenjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atauvirus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga selkembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi selmenjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankanvirus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyaltyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gentersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur proteinLMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis)Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentananterhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol danmemiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyteantigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah genkerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atasaktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.HLA merupakan petanda imunogenetik seseorang yang berperan pada respon imun terutama pada infeksi intraselular seperti infeksi virus Epstein-Barr. HLA diturunkan secara heterozigot dan bersifat kodominan serta mengikuti pola induk kelompok rasnya. Akibatnya, kelompok ras tertentu akan mengahadapi resiko menderita penyakit tertentu. HLA sebagai petanda genetik seseorang sangat berperan pada respon imun terutama pada infeksi intraselular seperti VEB. Infeksi VEB sebagai salah satu faktor penyebab KNF sangat ditentukan keberadaanya di dalam tubuh manusia oleh HLA.

Infeksi VEB berhubungan erat dengan derajat imunitas seluler seseorang, yang terkait dengan pengaruh faktor imunogenetik. Dalam proses ini, salah satu faktor yang memiliki peran penting adalah HLA yang bekerja sebagai regulator pada respon imun, sekaligus sebagai petanda genetic setiap individu.

Pada infeksi laten, terjadi rekombinan DNA VEB dan DNA host yang mengakibatkan terbentuknya gen-gen yang mengespresikan protein seperti EBNA, LMP, VCA, EBER yang berperan pada transfortasi keganasan, dapat menyebabkan mutasi gen p53. Keadaan ini akan menekan proses apoptosis sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak terkontrol yang mengarah pada proses keganasan.

ANATOMI DAN HISTOLOGI NASOFARINGAnatomi NasofaringNasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.Batas nasopharing:1. Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia1. Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.1. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.1. Posterior : - vertebra cervicalis I dan II1. Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar1. Mukosa lanjutan dari mukosa atas1. Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang1. Muara tuba eustachii1. Fossa rosenmulleri

Bangunan yang penting pada nasopharing1. Ostium tuba eustachii pars pharyngealTuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.1. Torus tubarius1. Fossa rosen mulleriAdalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di THT.1. Fornix nasofaringAdalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor angiofibroma nasopharing1. Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha

1. Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti hak.Fungsi nasopharing :1. Sebagai jalan udara pada respirasi1. Jalan udara ke tuba eustachii1. Resonator1. Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidungSecret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:1. Gaya gravitasi1. Gerakan menelan1. Gerakan silia (kinosilia)1. Gerkan usapan palatum molle

Histologi nasofaring :Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut "Limfoepitel".Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :1. Epitel selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium "2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ".3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium"4. Epitel torak berlapis semu bersilia "Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium".

Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.Pic1. stratified squamous nonkeratinized epithelium. plastic section. x270 EL= esophageal lumenN = nucleiL = lumenBL= basal layer(lamina basale)CT= connective tissue Pic2, stratified squamous keratinized epithelium. skin. paraffion section. x132K = keratinP = connective tissue dermal ridgesR = epithelial ridgeBM= basal membraneD = duct of a sweat gland

HistopatologiKesukaran timbul dalam mengidentifikasikarsinomanasofaringjenis sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalahkarsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campurganas.Menggunakan mikroskop electron, ditemukankarsinomanasofaringtumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel respiratorius pada permukaan kriptinasofaring. Dinding lateral yang ada fosa Rossenmulleri merupakan lokasi terseringkarsinomanasofaringdan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian gejala-gejala akan muncul sesuai dengan arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubanga pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang secara nekrosis tekanan klasifikasikarsinomanasofaringyang diusulkan WHO tahun 1978. ada tiga jenis bentuk histologik :Karsinomasel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan mikroskop Karsinomanonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa Karsinomatidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.

PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) ialah pemeriksaan morfologi tumor, meliputi pemeriksaan makroskopi dan mikroskopi. Bahan untuk pemeriksaan PA dapat diperoleh dari biopsi tumor ganas atau dari spesimen operasi. Ada beberapa cara biopsi yang sering dilakukan,4 yaitu:1. Biopsi insisi, yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor ganas dengan menggunakan pisau bedah;2. Biopsi eksisi (biopsi in toto), yaitu mengambil seluruh tumor. Untuk tumor jinak, tindakan ini sekaligus sebagai terapi;3. Biopsi truneut, yaitu mengambil sebagian jaringan tumor dengan alat biopsi khusus berbentuk jarum besar yang dapat memotong dan mengambil jaringan tumor;4. Biopsi aspirasi dengan jarum (Needle Aspiration Biopsy), yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor ganas dengan cara disedot menggunakan jarum yang ditusukkan kedalam jaringan tumor.5. Biopsi endoskopi, yaitu mengambil sebagian kecil jaringan tumor dengan menggunakan endoskop.

Patologi anatomi merupakan ilmu kedokteran di mana bidang ini sangat membantu dalam membuat diagnosis (termasuk stadium) dan penentuan pengobatan yang tepat bagi kanker.Dalam bidang ilmu patologi anatomi, tumor / kanker dapat diketahui dengan melihat penampakan suatu sel jaringan di bawah mikroskop. Penentuan tumor / kanker berdasarkan patologi anatomi berdasarkan bentukan sel yang dapat dilihat dengan mikroskop.SifatJinak Ganas

diferensiasi anaplasiberdiferensiasi baik, struktur mirip jaringan asalkurang berdiferensiasi dan terdapat anaplasia, struktur sering atipik

kecepatan pertumbuhan dan gambaran mitosis (pembelahan)

progresif dan lambat, dapat tetap atau regresi (menciut), gambaran mitosis jarang dan normalkacau dan dapat lambat - cepat, gambaran mitosis banyak dan abnormal

pembentukan simpai - invasijarang membentuk simpai; umumnya kohesif dan bersifat ekspansifinvasif tanpa simpai; biasanya infiltratif, tetapi dapat tampak kohesif dan ekspansif

metastasistidak adasering ada, besar dan makin tidak berdiferensiasi tumor primer, makin sering terjadi metastasis.

Diferensiasi dan anaplasiDiferensiasimenyatakan seberapa banyak kemiripan sel kanker ini dengan sel jaringan asalnya yang normal, baik dalam hal morfologi atau pun fungsi.Diferensiasi tumor jinak berbeda dengan kanker, di mana diferensiasi tumor jinak mirip dengan jaringan asalnya. Sementara kanker diferensiasi selnya bervariasi, dari berdiferensiasi baik sampai sama sekali tidak berdiferensiasi. Sel - sel yang tidak berdiferensiasi ini disebut dengan anaplasia.Anaplasi ini dapat digunakan sebagai penanda kanker.Sel anaplastik akan memperlihatkanpleomorfismenyata yaitu variasi nyata dalam bentuk dan ukuran sel. Pleomorfisme ini dapat dilihat melalui penampakan di bawah mikroskop, berupa:-inti sel hiperkromatik (berwarna lebih gelap dari sel normal)-rasio inti sel dengan sitoplasma (cairan dalam sel) dapat mendekati 1 : 1, yang normalnya 1 : 4 atau 1 : 6-bentuknya dan ukuran inti sel tidak teratur-kromatin kromatin terlihat kasar dan bergumpal serta anak inti sel berukuran sangat mencolok-terjadi banyak pembelahan sel (mitosis) dan dan jelas atipik (banyak tipe)-terdapat banyak kumparan (spindle) kacau yang dapat memberi bentukan tripolar atau pun kuadripolar, dan sering terdapat suatu kumparan besar dan kumparan lain kecil.Pemeriksaan tumor / kanker dengan pemeriksaan secara patologi anatomi ini merupakan hal yang paling sering dilakukan karena pemeriksaan ini dapat secaraakurat menegakkan diagnosis tumor / kanker serta dalam penentuan stadium kanker.Adapun contoh pemeriksaan dengan patalogi anatomi ini berupa :4. sitologi : contohnya berupa pemeriksaanFine Needle Aspiration Biopsy(FNAB), di mana cara pengambilan contoh jaringan dengan menggunakan jarum suntik yang kemudian ditusukkan ke dalam tumor atau ductal lavage of breast cell untuk cairan yang diproduksi payudara. Biasanya tumor yang berkonsistensi lunak atau cair atau dapat juga berupa cairan tubuh (cairan pleura paru, cairan cerebral, dan lain - lain).5. histo Patologi : contohnya berupa pemeriksaan biopsi jaringan (kanker payudara, kanker kulit dan sebagainya), di mana dalam pengambilan contoh jaringan seperti operasi, namun bahan yang diambil hanya sedikit dan kemudian contoh ini dilihat di bawah mikroskop.6. vriesCoupe : pemeriksaan jaringan kanker yang dilakukan di tengah - tengah operasi, di mana ketika jaringan tumor / kanker bersama jaringan sekitarnya yang dianggap normal diangkat, jaringan tersebut dibekukan dengan cairan nitrogen dan kemudian langsung dibawa ke bagian patologi anatomi yang memang sudah disediakan di ruang operasi. Bila patholog menyatakan bahwa jaringan yang diambil tidak menyebar ke sekitarnya, maka operasi selesai. Dan bila sebaliknya, maka operasi dilanjutkan sampai didapatkan jaringan yang benat normal atau dapat juga dihentikan bila operasi tak dapat dilanjutkan oleh karena riskan untuk mengangkat jaringan sekitarnya yang memiliki fungsi tak tergantikan.

PEMERIKSAAN SEROLOGIA. PengertianUji serologi adalah pengujian yang menggunakan serum sebagai sampel. Prinsip utama uji serologis adalah mereaksikan antibodi dengan antigen yang sesuai. Antibodi adalah zat kekebalan yang dilepaskan oleh sel darah putih untuk mengenali serta menetralisir antigen (bibit penyakit baik virus maupun bakteri) yang ada dalam tubuh.

B. Fungsi Pemeriksaan Serologi Membantu dalam mendiagnosa penyakit Monitoring titer antibody Mengetahui keberhasilan vaksinasiUntuk mengetahui tingkat keberhasilan vaksinasi maka pemeriksaan uji serologis dapat dilakukan pada 2-3 minggu post vaksinasi aktif atau 3-4 minggu post vaksinasi inaktif. Pemetaan baseline titer Mengukur antibodi maternal

C. Metode Pemeriksaan Serologi1. Haemagglutination Inhibition (HI) testSecara bahasahaemagglutination inhibitiondapat diartikan sebagai hambatan haemaglutinasi. Zat haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus atau bakteri tersebut bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik. Antibodi yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan mengambat terjadinya aglutinasi darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus atau bakteri.

Hasil HI test ditunjukkan dari ada tidaknya proses aglutinasi. (A = terjadi aglutinasi dan B = tidak terjadi aglutinasi)

Prinsip kerja dari HI test ialah mereaksikan antigen dan serum dengan pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. HI test merupakan metode uji serologis yang mudah dilakukan dan hasilnya dapat diketahui dengan cepat.

2. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)ELISA sebagai salah satu metode uji serologis mempunyai satu kelebihan yaitu mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi dari 1 sampel serum (tergantung dari kit ELISA yang digunakan). ELISA juga memiliki tingkat spesifikasi (yaitu kemampuan mendeteksi ayam yang tidak terinfeksi atau ayam yang tidak terinfeksi dinyatakan negatif) yang tinggi.

3. Agar Gel Precipitation (AGP)Metode uji serologis ini termasuk metode yang sederhana untuk mendeteksi antibodi terhadap berbagai virus berdasarkan reaksi positif (+) atau negatif (-). Namun AGP akan mendeteksi semua strain virus tanpa memperhatikan serotipenya.

4. Rapid Plate Aglutination (RPA)Cara metode uji ini juga sangat mudah, hanya dengan mencampur satu tetes serum dengan satu tetes antigen kemudian dikocok selama 2 menit. Jika terjadi aglutinasi (penggumpalan) maka reaksi dinyatakan positif dan sebaliknya jika tidak terjadi aglutinasi hasil uji serologis dinyatakan negatif. Oleh karena itu, metode uji serologis ini hanya menunjukkan ada tidaknya titer antibodi, namun tidak bisa menentukan tinggi rendahnya (nilai) dari antibody.

5. Serum Neutralisation (SN) testSerum neutralisation(SN) test merupakan metode uji serologis yang paling mahal diantara ke-4 metode uji sebelumnya. Metode uji ini membutuhkan peralatan yang mahal. Selain itu, dalam metode ini diperlukan telurspesific pathogenic free(SPF) untuk persiapan kultur jaringan atau kultur organ.Metode uji ini paling tepat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap serotipe yang berbeda dari virus yang diuji. Titer antibodi yang dapat diuji dengan SN test antara lain IB dan FAV.

PCRA. Langkah-Langkah Siklus PCRAdapun langkah-langkah secara umum adalah sebagai berikut :

1. Denaturasi DNATahap Denaturasi Awal Denaturasi sempurna template DNA pada permulaan PCR merupakan salah satu hal penentu suksesnya reaksi PCR. Tidak sempurnanya denaturasi DNA menyebabkan penggunaan template yang tidak efisien pada permulaan siklus amplifikasi dan hasil PCR yang kurang baik. Denaturasi awal harus dilakukan sekitar 1-3 menit pada suhu 95C jika kandungan GC dari DNA target adalah 50% atau less. Interval ini dapat ditingkatkan hingga10 menit jika kandungan GC dari DNA templet sangat tinggi. Jika denaturasi awal kurang dari 3 menit pada suhu 95C,TaqDNA Polymerase dapat ditambahkan pada campuran saat reaksi awal. Jika waktu denaturasi awal yang diperlukan sangat lama atau suhu yang digunakan sangat tinggi, makaTaqDNA Polymerase harus ditambahkan setelah denaturasi awal untuk menjaga stabilitas enzim yang secara drastis turun pada suhu lebih dari 95C.

Tahap Denaturasi.Biasanya denaturasi selama 0.5 2 menit pada suhu 94-95C sudah cukup baik, ketika produk PCR yang disintesis pada siklus amplifikasi awal cukup pendek dari pada templet DNA dan telah terdenaturasi secara sempurna pada kondisi tersebut. Jika DNA yang diamplifikasi memiliki kandungan GC yang cukup tinggi, waktu denaturasi sebaiknya ditingkatkan mecapai 3-4 menit. Selain itu penambahan bahan untuk membantu proses denaturasi dapat dilakukan misalnya dengan gliserol (hingga 10-15 %), DMSO (hingga 10%) atau formamid (hingga 5%). Dengan adanya bahan tersebut, temperatur anealing harus diatur secara experimental, mengingat Tm dari primer-templat menurun secara signifikan ketika bahan-bahan tersebut digunakan. Jumlah enzim dalam reaksi harus ditingkatkan hingga 50%, mengingat DMSO dan formamid, pada konsentrasi tersebut menghambat aktivitasTaqDNA Polymerase. Selain itu, ada cara umum yang dapat dilakukan untuk mengurangi Tm dari produk PCR yaitu dengan mengganti dGTP dengan 7-deaza-dGTP dalam campuran reaksi.

2. Tahap Annealing Primer.Biasanya suhu optimal anealing adalah 5C lebih rendah dari temperatur melting (Tm) primer-template DNA duplex. Inkubasi selama 0.5-2 menit biasanya sudah cukup. Namun, jika diperoleh produk PCR yang tidak spesifik, maka suhu anealing dapat ditingkatkan pada tahap tersebut 1-2C.

3. Tahap Extending.Tahap Extending AwalBiasanya tahap pemanjangan (extending) ini dilakukan pada suhu 70-75C. Kecepatan sintesis DNA olehTaqDNA Polymerase pada suhu tersebut sangat tinggi. Periode dari tahap ini yang direkomendasikan adalah 1 menit untuk mensintesis fragmen PCR hingga 2 kb. Apabila fragmen DNA yang lebih besar yang akan diamplifikasi, maka waktu extensinya di tingkatkan menjadi 1 menit tiap 1 kb.

Tahap Extending Akhir.Setelah akhir siklus, sampel biasanya di inkubasikan pada suhu 72C selama 5-15 menit yang bertujuan untuk menyelesaikan penggandaan yang belum selesai dari produk PCR baru. Juga, pada tahapan ini, aktifitas akhir transferasi dariTaqDNA Polymerase akan menambahkan nukleotida A pada ujung 3 produk PCR. Selanjutnya, jika fragmen PCR ini akan digunakan untuk diklon pada vektor, biasanya diperlukan waktu sekitar 30 menit.

B. Optimasi Reaksi PCRProgram PCR asli biasanya menggunakan 1 menit untuk tahap denaturasi dan anealing. Kondisi ini memerlukan waktu yang cukup panjang dibandingkan dengan waktu asli yang diperlukan. Selain itu, jika produk PCR kita kurang dari 1 kb, maka 1 menit merupakan waktu ekstensi yang cukup lama. Jika memungkinkan, gunakan PCR 2-langkah:1. Denaturasi Awal, 2-3 menit pada suhu 94 C2. Denaturasi, 15 detik pada suhu 94 C3. Anealing dan ekstensi simultan, x menit pada suhu 68 Cx tergantung pada panjang produk yang diinginkan, 1 menit/kb4. Ulangi langkah 2 sebanyak 29-39 siklus.Jika Tm dari primer yang digunakan kurang dari 65 C, atau PCR 2-langkah ini tidak memberikan hasil yang diinginkan, maka gunakan, PCR 3-langkah:1. Denaturasi awal, 2-3 menit pada suhu 94 C2. Denaturasi, 15 detik pada suhu 94 C3. Annealing, 15 detik pada suhu x Cx tergantung pada Tm, biasanya 5 derajat dari Tm Primer terendah4. Ekstensi, x detikx tergantung pada ukuran Produk yang diinginkan, 1 menit/kb5. Ulangi langkah 2 sebanyak 29-39 siklus.

ZAT KARINOGENPotensi penyakit kanker terdapat pada diri manusia manapun, namun untuk membentuk dan menjadikan sel berpotensi kanker itu tumbuh, diperlukan suatu lingkungan khusus termasuk adanya bahan-bahan yang mengandung zat karsinogen.

Zat karsinogen adalah salah satu zat yang menyebabkan penyakit kanker. Zat-zat karsinogen menyebabkan kanker dengan mengubah asam deoksiribonukleat (DNA) dalam sel-sel tubuh dan mengganggu proses-proses biologis. Sedangkan karsinogenik adalah sifat yang mengendap dan merusak tubuh terutama pada organ paru-paru karena zat-zat yang terdapat pada rokok, sehingga paru-paru menjadi berlubang dan menyebabkan kanker

Karsinogen berada di sekeliling kita dan tanpa disadari tercampur dengan udara yang kita hirup, makanan dan minuman. Secara mendasar, karsinogen terbagi menjadi dua golongan, yaitu karsinogen yang berasal dari bahan pangan dan non-pangan.

Karsinogen dari bahan pangan terdapat pada sebagian besar lemak, hydrazine pada jamur, solanin pada kentang yang berwarna hijau, aflatoksin pada jagung, benzoapyrene pada makanan yang diawetkan dengan pengasapan, sakarin dan siklamat juga ditenggarai memicu kanker secara mutagen.

Sedangkan karsinogen dari bahan non-pangan yaitu pada asap rokok, polusi udara yang mengandung timbal atau karbon monoksida, kandungan merkuri pada kosmetika, pengaruh alkohol, penggunaan obat kimia yang tidak semestinya, dan sebagainya.

ANTIBODI

Tiap antibodi mengikat pada antigen spesifik.Antibodi (bahasa Inggris: antibody, gamma globulin) adalah glikoprotein dengan struktur tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi menjadi sel plasma, sebagai respon dari antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut. Sistem imunitas manusia ditentukan oleh kemampuan tubuh untuk memproduksi antibodi untuk melawan antigen. Antibodi dapat ditemukan pada darah atau kelenjar tubuh vertebrata lainnya, dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan dan menetralisasikan benda asing seperti bakteri dan virus. Molekul antibodi beredar di dalam pembuluh darah dan memasuki jaringan tubuh melalui proses peradangan. Mereka terbuat dari sedikit struktur dasar yang disebut rantai. Tiap antibodi memiliki dua rantai berat besar dan dua rantai ringan. Terdapat beberapa tipe berbeda dari rantai berat antibodi, dan beberapa tipe antibodi yang berbeda, yang dimasukan ke dalam kelas (en:isotype) yang berbeda berdasarkan pada tiap rantai berat. Lima isotype antibodi yang berbeda diketahui berada pada tubuh mamalia dan memainkan peran yang berbeda dan menolong mengarahkan respon imun yang tepat untuk tiap tipe benda asing berlainan yang masuk ke dalam tubuh,file:///D:/Documents and Settings/x/Desktop/Blok 9/tutorial b/Antibodi.htm - cite_note-Market-4 yaitu: IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE, yang mempunyai perbedaan area C.

VIII. KESIMPULANTn. Aam Syaroni menderita karsinoma nasofaring akibat infeksi EBV (Ebstein-Barr Virus) yang diaktivasi oleh nitrosamine didapat dari kebiasaan mengkonsumsi ikan asin, ikan bakar, terasi, dan produk awetan lainnya. Nitrosamine juga menyebabkan mutasi genetik yang mendukung terjadinya karsinoma nasofaring. Pembengkakkan kelenjar limfe menyebabkan munculnya tonjolan pada leher, pembengkkan di leher mengganggu vocal cord yang menyebabkan suara serak. Tumor yang timbul menekan pembuluh darah hingga pecah dan menyebabkan epistaksis atau mimisan, menutupi koana sehingga menyebabkan hidung tersumbat, dan menekan basis cranial sehingga menimbulkan tekanan intracranial yang menyebabkan sakit kepala.

IX. DAFTAR PUSTAKA Patologi Robbins Kumar Volume 2 http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2011/10/15/korelasi-zat-karsinogen-dengan-kanker/ http://daengbantang.blogspot.com/2010/05/karsinoma-nasofaring.html http://ardiannisworld.blogspot.com/2008_08_01_archive.html Brook, Geo F. ,dkk, 2005, Mikrobiologi Kedokteran jilid 2, Jakarta: Salemba Medika, p. 103-108 Budhy S. , Theresia Indah, 2005, Ekspresi Produk Gen Laten Virus Epstein-Barr pada. Karsinoma Sel Skuamosa Mulut, http://www.journal.unair.ac.id/, akses 2 Februari 2008 Budiyanto, Moch. Agus Krisno, 2002, Mikrobiologi Terapan, Malang: UMM Press, p.139-143