intoksikasi co - copy
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

INTOKSIKASI KARBON MONOKSIDA
I. PENDAHULUAN
Karbon monoksida (CO) adalah salah satu jenis gas yang paling umum dan
tersebar luas pada populasi udara. Karbon monoksida memiliki kepadatan yang sedikit
lebih rendah dari pada udara. Dalam tubuh manusia, gas ini dapat bereaksi dengan
hemoglobin yang akan membentuk karboksihemoglobin. Paparan karbon monoksida
merupakan salah satu penyebab utama keracunan baik yang tidak disengaja maupun
disengaja, dan hal itu menyebabkan beberapa kematian setiap tahunnya di Eropa dan
Amerika Serikat.1
Gas karbon monoksida (CO) tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak
mengiritasi namun merupakan gas yang sangat toksik bagi tubuh. Karena sifat dan gejala
klinis tersebut yang tidak khas, intoksikasi CO sulit dideteksi dan dapat menyerupai
penyakit lain. Oleh karena itu, kejadian yang sebenarnya dari kasus intoksikasi karbon
monoksida sering tidak diketahui dengan pasti. Suatu lingkungan dapat disebut telah
terpapar karbon monoksida ketika lebih dari satu orang dan binatang yang terkena, setalah
ada peristiwa kebakaran, adanya perapian atau alat-alat pembakaran, atau dengan paparan
kerja, dan timbulnya gejala-gejala intoksikasi CO.1
A. Epidemiologi
Karbon monoksida (CO) adalah penyebab utama kematian akibat intoksikasi di
Amerika Serikat dan lebih dari setengah penyebab intoksikasi fatal lainnya di seluruh
dunia. Sekitar 40.000 kunjungan pasien pertahun di unit gawat darurat di Amerika Serikat
1

yang berhubungan dengan kasus intoksikasi CO dengan angka kematian sekitar 500-600
orang pertahun yang terjadi pada tahun 1990an.1,2
Sekitar 25.000 kasus intoksikasi CO pertahun dilaporkan terjadi di Inggris.
Dengan angka kematian sekitar 50 orang pertahun dan 200 orang menderita cacat berat
akibat keracunan gas CO. Namun, di Singapura kasus intoksikasi gas CO jarang terjadi.1,2
Resiko kematian dapat terjadi pada pasien yang mengalami intoksikasi CO derajat
sedang sampai berat. Pada mereka yang menderita penyakit kardiovaskular, 37%
mengalami kerusakan miokard akut dan 38% meninggal dalam jangka waktu 7,6 tahun. Di
Amerika Serikat, angka kematian tiga kali lebih tinggi berdasarkan usia dan jenis
kelamin.1,2
Di Rumah Sakit Tan Tock Seng Singapura pernah dilaporkan terdapat 12 kasus
intoksikasi CO dalam 4 tahun (1999-2003). Di Indonesia belum didapatkan data laporan
kasus intoksikasi gas karbon monoksida yang terjadi setiap tahunnya.1
B. Sumber Karbon Monoksida
Karbon monoksida (CO) dapat ditemukan pada hasil pembakaran yang tidak
sempurna dari karbon dan bahan-bahan organik yang mengandung karbon. Dalam jumlah
yang kecil karbon monoksida juga diproduksi secara endogen.1,3
1. Sumber Endogen
Secara endogen karbon monoksida diproduksi dari hasil degradasi heme menjadi
pigmen empedu, hasil katalisasi dari oksigenasi heme. Jumlah karbon monoksida di dalam
darah berkisar 1-3% bagi yang bukan perokok dan 10-15% bagi perokok. Karbon
monoksida endogen yang dihasilkan ini berfungsi sebagai molekul yang terlibat dalam
beberapa fungsi seluler, seperti proses inflamasi, proliferasi, dan apoptosis. Gas ini juga
memiliki efek sitoprotektif termasuk induksi dari vasorelaksan, degradasi agregasi
trombosit, dan menghambat fenotip pro-inflamasi monosit dan makrofag. Karbon
2

monoksida, seperti nitrit oksida, juga berfungsi sebagai neurotransmitter dalam sistem
saraf pusat (SSP).1
2. Sumber Eksogen
Jumlah karbon monoksida setiap tahunnya di dunia diperkirakan sekitar 2600 juta
ton, dimana sekitar 60% berasal dari kegiatan manusia dan sekitar 40% dari proses alami.
Emisi antropogenik manusia terutama berasal dari pembakaran tidak sempurna bahan
karbon. Proporsi terbesar dari emisi ini diproduksi pada knalpot kendaraan, terutama oleh
kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin, karena campuran bahan yang terbakar
mengandung bahan bakar yang lebih banyak daripada udara sehingga gas yang
dikeluarkan mengandung 3-7% CO.1,3
Sumber lainnya berasal dari berbagai proses industri, pembangkit listrik yang
menggunakan batubara, dan insinerator limbah. Emisi yang berasal dari petroleum sangat
meningkat selama beberapa tahun terakhir. Beberapa sumber nonbiologik dan biologik
tersebar alami, seperti tanaman, lautan dan oksidasi hidrokarbon.1 Gas alam jarang sekali
mengandung CO, tetapi pembakaran gas alam yang tidak sempurna tetap akan
menghasilkan CO. Pada kebakaran juga akan terbentuk CO. Selain itu, asap rokok dalam
orofaring juga menyebabkan konsentrasi CO yang diinhalasi sebesar 500 ppm.1,4
Pada alat pemanas air berbahan bakar gas, jelaga yang tidak dibersihkan pada
pipa air yang dibakar akan memudahkan terbentuknya produksi gas CO yang berlebihan.4
II. PATOFISIOLOGI
Karbon monoksida (CO) cepat terikat dengan hemoglobin (Hb), yang kemudian
membentuk karboksihemoglobin (CO-Hb). Daya dukung oksigen darah menurun,
menyebabkan hipoksia jaringan. Senyawa CO-Hb berwarna merah muda terang, dan inilah
yang menjelaskan adanya gambaran "cherry-red" pada tubuh korban yang mengalami
intoksikasi CO.5
3

CO berdifusi dari alveoli ke darah dalam kapiler paru pada membran kapiler
alveolar yang tersusun atas epitel paru, endotel kapiler, dan membran basal. CO diikat oleh
Hb pada kecepatan tinggi sehingga tekanan parsial CO di kapiler tetap sangat rendah. Oleh
karena itu, transfer CO adalah difusi terbatas (diffusion-limited). Afinitas hemoglobin
terhadap CO 210 kali dari afinitasnya terhadap O2. CO dapat dengan mudah memindahkan
oksigen yang terikat pada hemoglobin. Di sisi lain, CO-Hb yang sudah berikatan, sangat
sulit dan lambat untuk melepaskan CO. Oleh karena itu, HbO2 yang tersisa akan berkurang
kadarnya sehingga tampak pada kurva disosiasi HbO2 bergeser ke kiri yang menunjukkan
bahwa jumlah oksigen yang dilepaskan ke jaringan berkurang.5
Jumlah CO-Hb yang terbentuk tergantung pada lamanya paparan CO, konsentrasi
CO pada udara yang dihirup saat inspirasi, dan ventilasi alveolar. Meskipun CO bersifat
toksik bagi sitokrom, secara klinis dampak yang ditimbulkan tidak terlalu signifikan. Hal
ini disebabkan karena jumlah CO yang dibutuhkan untuk sifat toksik pada sitokrom adalah
1000 kali lebih tinggi dari kadar CO-Hb yang mematikan.5
CO terikat pada mioglobin intraseluler dalam miokard dan mengganggu suplai
oksigen ke mitokondria. Hal ini menimbulkan dampak buruk pada fosforilasi oksidatif dan
sumber energi otot jantung. Pasien dengan penyakit jantung, beresiko mengalami kematian
akibat timbulnya aritmia dan serangan jantung. Namun, nyeri dada sebagai gejala iskemik
miokard dapat terjadi meskipun tidak terdapat penyakit arteri koroner. Sebagai contoh, 2
minggu setelah terpapar CO dengan kadar 34% akibat kecelakaan, sekelompok tentara di
Swiss mengalami nyeri dada.5
Setelah paparan CO, serangan angina, aritmia, dan peningkatan kadar enzim
jantung sering terjadi. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan morfologi terutama
karena miokard mengikat CO lebih banyak daripada yang diikat oleh otot rangka. Lesi
ultramikroskopik dapat timbul, tetapi hipoksia jaringan dan toksisitas CO spesifik belum
4

diketahui. Selain CO-Hb, ikatan CO terhadap sitokrom juga signifikan dan dianggap
berperan dalam menimbulkan toksisitas sel. Dari suatu gabungan penelitian ultra-struktural
dan sitokimia, telah didapatkan kemungkinan terjadinya diferensiasi antara keadaan toksik,
hipoksia, dan gabungan keduanya (toksik dan hipoksia). Hal ini ditandai dengan terjadinya
penurunan sitokrom oksidase dalam studi eksperimental yang menunjukkan adanya efek
toksik langsung akibat paparan CO. 5
Kerusakan miokard berupa iskemik yang ditunjukkan pada EKG dan
meningkatnya biomarker jantung ditemukan pada 37% dari 230 pasien dengan intoksikasi
CO derajat sedang sampai berat dengan 5% kematian yang terjadi di Rumah Sakit. Oleh
karena itu, pemeriksaan EKG dan enzim jantung serial harus dilakukan pada pasien yang
dirawat di rumah sakit karena intoksikasi CO. 5
Selain itu, terdapat mekanisme toksisitas lainnya akibat paparan CO. CO yang
menyebabkan hipoksia jaringan dapat diikuti oleh kegagalan reoksigenasi ke sistem saraf
pusat (SSP). Hiperoksigenasi memicu berkurangnya produksi oksigen, yang selanjutnya
dapat mengoksidasi protein esensial dan asam nukleat, yang mengakibatkan kegagalan
reperfusi. Selain itu, paparan CO telah terbukti menyebabkan peroksigenasi lipid, yaitu
degradasi asam lemak tak jenuh yang menyebabkan demielinasi lipid yang reversibel pada
SSP. Paparan CO juga menimbulkan stres oksidatif pada sel, dengan produksi oksigen
radikal yang dihasilkan dengan konversi dehidrogenase xanthine dari oksidase xanthine.
Nekrosis serat miokard digambarkan pada pasien berusia 26 tahun yang mengalami
intoksikasi CO akibat kecelakaan dan memiliki konsentrasi CO-Hb dalam darah sebesar
46,6%.5
Gangguan fungsi otak lebih banyak terjadi pada intoksikasi CO akut. Efek
neurologis lanjutan juga dapat terjadi. Hipoksia jaringan adalah hasil akhir dari intoksikasi
CO dengan berbagai agen fisik dan kimia yang menyertainya. Beberapa bagian otak peka
5

terhadap hipoksia seperti korteks serebral, terutama lapisan kedua dan ketiga, white matter,
inti basal, dan sel-sel Purkinje serebellum. 5
Sifat dan distribusi lesi tergantung pada tingkat keparahan, paparan yang tiba-tiba
atau tidak, dan lamanya waktu kekurangan oksigen, serta mekanisme yang terjadi
(hipoksemia atau iskemia) bukan pada penyebabnya. Daerah dengan vaskularisasi yang
rendah dan daerah "watershed" antara dua sumber suplai darah, seperti globus pallidus,
mungkin lebih rentan, khususnya selama keadaan hipotensi.5
Keadaan neuropatologi akibat toksisitas CO telah dijelaskan dalam penelitian
postmortem. Pada kasus akut, berupa perdarahan peteki pada white matter yang
melibatkan corpus callosum. Dalam kasus yang sudah lebih dari 48 jam, terdapat nekrosis
multifokal pada globus pallidus, hipokampus, pars retikularis dari substantia nigra,
nekrosis laminar pada korteks, dan hilangnya sel Purkinje di otak kecil bersamaan dengan
timbulnya lesi pada white matter. Lesi pallidum khas, terdapat gambaran infark
makroskopik bilateral pada globus pallidus, biasanya asimetris, dan meluas ke bagian
anterior, superior, atau ke kapsula interna. Kadang-kadang, hanya nekrosis fokus linear
kecil yang ditemukan di persimpangan dari kapsula interna dan inti globus pallidus interna.
Intoksikasi CO juga biasanya berdampak pada hipotalamus, dinding ventrikel ketiga,
talamus, striatum, dan batang otak. 5
Kerusakan mielin terjadi pada fokus perivaskular dalam korpus kallosum, kapsula
interna dan eksterna, serta optic tracts biasanya terlihat pada pasien koma yang meninggal
dalam waktu 1 minggu, dengan demielinasi periventrikular yang luas dan kerusakan
aksonal yang diamati pada keadaan koma yang lama menyebabkan pembentukan plak
demielinasi.5
6

Gambar 1. Di paru-paru, CO berdifusi dengan cepat ke dalam darah dan menyebabkan cedera dan respon adaptif yang berlanjut setelah kadar CO-Hb telah kembali normal. CO menyebabkan hipoksemia melalui pembentukan CO-Hb dan pergeseran kurva disosiasi O2Hb ke kiri. CO mengikat protein heme seperti sitokrom c oksidase (CCO), merusak fungsi mitokondria, sehingga menyebabkan hipoksia. Hipoksia otak merangsang peningkatan kadar asam amino, meningkatkan kadar nitrit otak, dan menyebabkan kerusakan berikutnya. Hipoksia otak menyebabkan stres oksidatif, nekrosis, dan apoptosis, berkontribusi terhadap inflamasi dan cedera. CO juga menyebabkan inflamasi oleh peningkatan kadar heme sitosol dan heme oxygenase-1 (HO-1), yang mengakibatkan stres oksidatif intraseluler. CO mengikat protein heme trombosit, menyebabkan pelepasan NO. Kelebihan NO menghasilkan peroksinitrit (ONOO-), merusak fungsi mitokondria, yang memberikan kontribusi terhadap hipoksia. CO menyebabkan agregasi platelet-neutrofil dan degranulasi neutrofil, yang melibatkan pelepasan atau produksi dari myeloperoxidase (MPO), protease, dan oksigen reaktif yang menyebabkan stres oksidatif, peroksidasi lipid, dan apoptosis. Protease berinteraksi dengan xanthine dehidrogenase (XD) dalam sel endotel, membentuk xanthine oxidase (XO), yang menghambat mekanisme endogen terhadap stres oksidatif. Produk peroksidasi lipid terbentuk acak dengan protein dasar mielin, mengubah strukturnya, memicu respon kekebalan limfositik, meningkatkan aktivasi dan aktivitas mikroglia, dan menyebabkan efek neuropatologik. Akhirnya, CO menginduksi respon stres seluler seperti aktivasi hipoksia-inducible factor 1α (HIF-1α), yang dapat menginduksi regulasi gen. Regulasi gen ini dapat menjadi pelindung atau dapat mengakibatkan cedera. NMDA menandakan N-metil-D- aspartat, dan nNOS (neuronal sintase oksida).
Dikutip dari kepustakaan 6
7

A. Ikatan dengan Hemoglobin
Patofisiologi dari keracunan karbon monoksida diawali dengan terjadinya
hipoksia jaringan akibat berubahnya oksihemoglobin menjadi karboksinhemoglobin yang
menghasilkan anemia relatif. Karbon monoksida berikatan dengan hemoglobin dengan
afinitas lebih dari 200 kali dibandingkan ikatan dengan oksigen. Hal ini menyebabkan
bergesernya kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri, berkurangnya suplai oksigen ke
jaringan, dan menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan.1,6
Jumlah CO-Hb yang terbentuk tergantung pada lamanya paparan CO, konsentrasi
CO di udara yang dihirup, dan ventilasi alveolar. Setelah ikatan karboksihemoglobin
terbentuk, maka dalam melepaskan ikatan heme dengan karbon monoksida membutuhkan
waktu yang lama.1,6
B. Toksisitas Seluler
Intoksikasi karbon monoksida lebih kompleks dan mekanisme toksisitasnya lebih
dari sekedar akibat terbentuknya CO-Hb. Hal ini didasarkan pada sebuah penelitian yang
menunjukkan bahwa anjing yang diberikan 13% gas CO meninggal dalam waktu 1 jam
setelah CO-Hb mencapai tingkat 54-90%. Sedangkan transfusi dengan darah yang
mengandung 80% CO-Hb pada anjing sehat tidak mengakibatkan efek toksik, meskipun
dihasilkan kadar CO-Hb 57-64%. Hal ini menunjukkan bahwa toksisitas CO tidak hanya
bergantung pada pembentukan senyawa CO-Hb.1,7
C. Ikatan Protein (Sitokrom, Mioglobin, Guanilil)
CO mengikat banyak heme yang mengandung protein selain hemoglobin,
termasuk sitokrom, mioglobin, dan adenilat guanilil. CO mengikat sitokrom secara in
vitro, dan pembongkaran metabolisme oksidatif melalui sitokrom oksidase yang dapat
menyebabkan terbentuknya radikal bebas.1
8

Respirasi seluler juga terganggu melalui inaktivasi enzim mitokondria dan gangguan
transpor elektron dari radikal oksigen (peroksinitrit) yang diproduksi setelah paparan CO.
Metabolisme sel dihambat bahkan setelah normalisasi kadar CO-Hb. Hal ini yang dapat
menjelaskan dampak klinis yang berkepanjangan setelah tingkat CO-Hb menurun. CO
juga merangsang guanil siklase, yang meningkatkan siklik guanosin monofosfat sehingga
mengakibatkan vasodilatasi serebral, yang dihubungkan dengan hilangnya kesadaran pada
hewan percobaan intoksikasi CO.1
D. Nitric Oxide
Peran nitric oxide (NO) dan radikal bebas lainnya telah diteliti secara ekstensif
dalam mekanisme intoksikasi CO. Banyak penelitian pada hewan telah menunjukkan
vasodilatasi serebral setelah terpapar CO, yang berhubungan dengan kehilangan kesadaran
dan peningkatkan kadar NO. Temuan ini telah menimbulkan spekulasi bahwa kejadian
sinkop berhubungan dengan NO yang memediasi relaksasi pembuluh darah di otak dan
penurunan aliran darah. NO juga merupakan vasodilator perifer dan dapat menyebabkan
hipotensi sistemik, meskipun hal ini belum diteliti dalam mekanisme intoksikasi CO.
Adanya hipotensi sistemik pada intoksikasi CO berhubungan dengan tingkat keparahan
kerusakan otak, terutama pada daerah yang kaya perfusi yaitu, ganglia basalis, white
matter, dan hipokampus.1
Nitric oxide juga berperan penting dalam urutan kejadian yang berpuncak pada
kerusakan oksidatif pada otak, yang menimbulkan gejala sisa neurologis (DNS). NO dapat
mempengaruhi sensitivitas neutrofil pada endotel. Invasi neutrofil ke mikrovaskuler
tampaknya menyebabkan aktivasi xanthine oxidase, pembentukan radikal oksidatif,
kerusakan oksidatif, dan peroksidasi lipid pada otak, yang dianggap bertanggung jawab
untuk kejadian DNS.1
9

Peroksidasi lipid pada otak setelah paparan CO tampaknya menjadi fenomena
reperfusi pasca iskemik yang dimediasi oleh perubahan dalam aliran darah otak dan
kerusakan radikal bebas oksidatif. Periode hipotensi dan penurunan kesadaran mungkin
berperan untuk terjadinya peroksidasi lipid. Meskipun urutan kejadian tidak diketahui,
penelitian pada sintesis NO inhibitor telah ditemukan sebagai penghambat vasodilatasi
serebral dan kerusakan oksidatif.1
Gambar 2. Skema patofisiologi intoksikasi karbon monoksida.
Dikutip dari kepustakaan 1
10

III. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari intoksikasi CO sangat tidak spesifik dan sama seperti
gejala-gejala penyakit pada umumnya, khususnya gejala pada sistem saraf pusat dan
kardiovaskuler, dan organ-organ yang sangat membutuhkan oksigen, karena pada
intoksikasi CO menunjukkan tanda-tanda hipoksia.5,6
Gambar 3. Dalam tubuh manusia, terdapat sejumlah kecil karbon monoksida dan berperan penting untuk berbagai fungsi fisiologis termasuk untuk proses neurotransmisi. Paparan eksogen untuk jumlah karbon monoksida diatas kadar normal dapat menyebabkan respon adaptasi atau respon proteksi, namun paparan kadar yang lebih tinggi dapat menyebabkan efek toksik. Paparan toksik dapat menyebabkan inflamasi, diikuti dengan hipoksia, meskipun masih terdapat hal yang masih belum dimengerti terkait dengan rentang paparan karbon monoksida dimana inflamasi dapat terjadi (seperti yang terindikasi dalam garis yang ditebalkan). Tanda-tanda dan gejala intoksikasi sangat bervariasi, tergantung tingkat paparan, durasi, dan akutnya paparan.
Dikutip dari kepustakaan 6
Sekitar 50% orang yang terpapar oleh karbon monoksida menunjukkan gejala
kelemahan badan, mual, muntah, bingung, dan takipneu. Gejala lain juga menunjukkan
seperti adanya nyeri perut, penglihatan kabur sampai hilangnya kesadaran. Namun gejala
klinis dari intoksikasi CO ini dapat dibagi berdasarkan gejala yang ditemukan pada pasien
setelah terpapar karbon monoksida tersebut.6,7
11

A. Intoksikasi Akut
Manifestasi klinik dari intoksikasi CO biasanya terjadi kebingungan, sakit kepala
ringan, dan gejala-gejala akibat kelainan kardiovaskuler dan susunan saraf pusat. Gejala
akut pada sistem saraf pusat akibat intoksikasi CO berupa nyeri kepala ringan dan
kebingungan, namun jika terjadi peningkatan konsentrasi dan lama paparan dari CO dapat
memperberat gejala, tergantung dari organ yang sangat membutuhkan oksigen. Gejala akut
yang menunjukkan adanya gangguan fungsi sistem kardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, iskemia, infark, dan cardiac arrest.1
Gejala klinis dari intoksikasi akut CO sendiri dibagi menjadi tiga gejala, yaitu
gejala yang ringan, sedang dan berat (Tabel 1).1
Tabel 1 . Manifestasi Klinis yang Berhubungan dengan Intoksikasi CO
Paparan CO Tanda dan gejala
Ringan(5-15%)
Sakit kepalaMualMuntahPusing
Sedang(15-25%)
Pandangan kaburKebingunganNyeri dadaDispnaeuTakipneauLemahTakikardi
Berat(> 25%)
RhabdomiolysisPalpitasiAritmiaHipotensiIskemik miokardCardiac arrestRespiratori arrestEdema pulmonum non cardiogenicKejangKoma
Dikutip dari kepustakaan 1 dan 8
12

Kematian tersering akibat intoksikasi CO adalah aritmia, sedangkan hipotensi
terjadi akibat kerusakan dari miokard akibat hipoksik-iskemia, vasodilatasi perifer dan atau
keduanya yang menetap setelah gangguan neurologi dan metabolisme.1
Intoksikasi CO juga menyebabkan rhabdomyolisis dan gagal ginjal akut sebagai
efek toksik langsung pada sel otot skelet. Lesi kulit berbentuk blister, edema paru non
kardiogenik dilaporkan pada paparan CO yang berat dan lama.1
B. Intoksikasi Lanjutan (Delayed)
Efek dari paparan karbon monoksida tidak selalu langsung terlihat atau juga dapat
terjadi gejala yang timbul setelah masa pemulihan berupa gejala sisa. Gejala sisa dari efek
neurologi sering dilaporkan berupa delayed neurogical sequele (DNS) berupa gangguan
pada sistem saraf pusat dan gangguan psikiatri dari pasien setelah paparan CO berupa
kehilangan memori, kebingungan, ataksia, kejang, inkontinensia urin/alvi, emosi yang
labil, disorientasi waktu dan tempat, halusinasi, perkinson, kebutaan akibat gangguan
sistem saraf pusat, psikosis, dan gangguan gerak maupun berjalan.1
Gejala dari DNS sendiri yang terjadi setelah masa pemulihan atau hilangnya gejala
akut dari intoksikasi CO yang biasa disebut lucid interval. Lucid interval sendiri tejadi
pada 2-40 hari. Dan pada pasien yang dirawat sekitar 75% terjadi pemulihan sampai 1
tahun. Frekuensi DNS tersering terjadi pada pasien yang berumur lebih dari 30 tahun dan
memberat pada umur yang lebih tua 50 – 79 tahun.1,7
Insidensi dari DNS sulit ditegakkan karena DNS memiliki gejala subklinis atau
gejala yang sama dengan penyakit yang lain sehingga sering salah terdiagnosis,
diperkirakan terdapat paling banyak 47% pasien yang terpapar oleh CO mendapat gejala
DNS melalui pemeriksaan neuropsiatrik. Selain untuk mendiagnosis, pemeriksaan
neuropsikiatrik juga dapat digunakan sebagai monitor atau pemantauan perjalanan
penyakit akibat intoksikasi CO.1
13

C. Intoksikasi Kronik
Gejala kronis dari paparan karbon monoksida terjadi akibat paparan CO yang
lama di tempat kerja. Biasanya memiliki gejala yang bervariasi namun sama seperti gejala
lainya berupa sakit kepala, anoreksia, apati, insomnia, dan gangguan sikap personal. Selain
itu, paparan CO yang lama juga dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis dan faktor
resiko lainnya seperti polisitimia vera dan juga cardiomegaly yang menyerupai gejala
hipoksia kronik sekunder.1
IV. DIAGNOSIS
Pada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan gejala winter flu like
syndrome harus dicurigai terpapar oleh karbon monoksida sekitar 3–24%. Riwayat dari
paparan CO juga harus dibuktikan dari riwayat lingkungan, aktivitas, atau penggunaan alat
yang menghasilkan CO sehingga dapat memberikan paparan CO kepada manusia.1
Untuk menegakkan diagnosis, selain gejala klinis yang ditimbulkan oleh paparan
CO, sangat perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan tingginya paparan
CO terhadap tubuh sehingga penanganan yang tepat dapat diberikan.1,2
A. Pemeriksaan Kadar Karboksi-Hemoglobin (CO-Hb)
Kadar serum CO-Hb dalam darah pasien yang dicurigai terpapar CO harus
diperiksa, pada orang yang tidak merokok kadar CO-Hb normalnya < 2% dan pada
perokok berkisar 5-13%. Kadar CO-Hb yang rendah < 15% menimbulkan gejala klinis
yang ringan. Dan jika kadar CO-Hb meningkat bahkan sampai > 60% dapat memberikan
prognosis yang buruk.1,2
Kadar CO-Hb tidak hanya tergantung pada banyaknya kadar CO namun juga
lamanya paparan CO terhadap tubuh. Tubuh dapat mentoleransi kadar CO-Hb sebesar
2,5%. Sebagaimana menurut WHO, paparan CO terhadap tubuh harus sesuai kadar dan
14

waktu paparannya agar aman bagi tubuh yaitu 87.1 ppm (100 mg/m3) selama 15 menit,
52,3 ppm (60mg/m3) selama 30 menit, 26,1 ppm (30 mg/m3) selama 60 menit, dan 8,7 ppm
(10 mg/m3) selama 8 menit. Paparan yang melebihi 100 ppm dan dalam waktu yang lama
sangat berbahaya bagi tubuh.1
B. Pemeriksaan Pulse Oksimetri
Saat ini para dokter sepakat dengan kewaspadaan menggunakan pulse oxymetry
pada pasien yang dicurigai keracunan karbon monoksida karena merupakan metode
kolometrik, metode ini tidak dapat diandalkan sebagai metode diagnosa intoksikasi CO
sebab tidak dapat membedakan oksihemoglobin dan CO-Hb.1,2
C. Pemeriksaan Neuropsikometrik
Neuropsikometrik tes merupakan perkembangan pemeriksaan yang dapat
menggambarkan kemampuan kogntif seseorang yang biasanya sangat buruk atau memiliki
nilai yang kurang pada pasien dengan intoksikasi CO. Namun demikian, buruk atau
kurangnya nilai hasil tes neuropsikometrik ini tidak bisa dipastikan bahwa orang tersebut
mengalami keracunan CO, karena intoksikasi CO hanya salah satu penyebab dari berbagai
penyebab penurunan fungsi kognitif.1
D. CT-SCAN
Gambaran pada CT scan orang yang terpapar CO berat menunjukkan gambaran
hipoksisa serebri sekunder, iskemia, dan hipotensi yang disebabkan oleh paparan CO.
Temuan gambaran hipodens pada globus pallidus (gambar 4), substansia nigra, ganglia
basalis, hipokampus, dan korteks serebri berhubungan dengan aliran darah lokal di tempat
yang mengalami lesi, asidosis metabolik, dan hipotensi akibat hipoksia setelah intoksikasi.
Namun lesi yang terjadi bukan merupakan gambaran patognomonis karena gejala ini sama
dengan gejala stroke ataupun gejala hipoksia lainnya akibat oklusi pembulu darah.1
15

Gambar 4. Lesi hipodens bilateral globus pallidus
pada pasien dengan intoksikasi CO
Dikutip dari kepustakaan 1
E. MRI
Pada gambaran MRI sama seperti tanda atau gambaran hipoksia pada jaringan
otak berupa lesi simetris pada white matter, lesi predominan pada paraventikuler, ganglia
basalis, hipokampus, dan dari jaringan yang hipoksia. Jika terjadi abnormalitas pada
neuroimaging dapat menjadi hasil yang buruk dan disfungsi neurologis yang irreversible.1
F. Tes Diagnostik Lainnya
Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosis intoksikasi CO tergantung dari gejala
klinisnya yang termasuk dari pemeriksaan analisa gas darah, elektrolit, cardiac marker,
kadar urea dan nitrogen dalam darah (BUN), kreatinin, kreatin fosfokinase, EKG, ECG
yang menunjukkkan tanda-tanda hipoksia, asidosis metabolik, metabolisme seluler yang
terhambat, dan ketergantungan metabolisme organ terhadap sel yang berhubungan dengan
16

paparan dan kadar CO pada pasien yang dicurigai intoksikasi CO. Walaupun gambaran ini
tidak pasti mengalami intoksikasi CO.1,2
V. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan susunan kimia dan patofisiologinya, antidotum natural dari CO
adalah oksigen. Prinsip dari penatalaksanaan dari keracunan CO adalah memberikan
suplementasi oksigen dan penanganan suportif yang agresif berupa airway management,
dan stabilisasi dari status kardiovaskuler.1,6
Terapi hiperbarik oksigen (HBTO) dianggap efektif untuk penanganan dari
intoksikasi karbon monoksida karena dapat mengeliminasi kadar CO dalam darah yang
berikatan kuat dengan hemoglobin. Selain mampu menurunkan ikatan CO dengan
hemoglobin HBOT juga dapat menurunkan ikatan CO dengan sitikrom yaitu hemeprotein
yang berpengaruh terhadap metabolisme intraseluler sehingga menimimalkan kerusakan
tingkat sel dan mengurangi pelepasan radikal bebas. Penggunaan HBOT juga dilaporkan
dapat menurunkan DNS. Namun HBOT tidak digunakan secara universal dan tidak bebas
dari resiko penggunaannya sebagai terapi intoksikasi CO, dan masih menjadi perdebatan.1,6
Adapun indikasi terapi hiperbarik oksigen pada kasus intoksikasi CO yaitu:8
1. Segera berikan O2 bertekanan tinggi jika:
a. Kadar CO-Hb > 25% (dari pemeriksaan dengan CO-oksimetri)
b. Kadar CO-Hb > 15% (pada ibu hamil)
2. Terjadi sinkop, kejang, koma, dan lateralisasi
3. Hasil pemeriksaan EKG ditemukan: Iskemik miokard, PVC/ setiap tachidisritmia.
4. Setelah penanganan awal (O2 100% diperlukan setiap 2-4 jam) terdapat gejala
neurologis yang menetap seperti sakit kepala, pusing, kebingungan, dan ataksia.8
VI. ASPEK KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
17

A. Kematian Akibat Intoksikasi CO dari Gas Buangan Kendaraan (Exhaust)
Setelah trauma inhalasi akibat kebakaran, sumber kedua intoksikasi karbon
monoksida dalam kematian adalah menghirup asap knalpot mobil. Sebagian besar
kematian tersebut merupakan kasus bunuh diri, tapi kematian akibat kecelakaan juga
sering terjadi. Hal ini terjadi khususnya pada kendaraan yang sudah tua, dimana
pengendara mengalami kematian ketika mobil telah terjebak dalam cuaca buruk seperti
terjebak dalam salju pada negara-negara maju.9
Kematian akibat kecelakaan jarang terjadi ketika mesin mobil dijalankan dan
dibiarkan berada dalam garasi untuk memanaskan mesin mobil sebelum digunakan,
sementara pada saat yang bersamaan pemilik mobil kembali masuk ke dalam rumah.
Kebocoran karbon monoksida dari knalpot dapat masuk ke dalam rumah dan dapat
menewaskan pemilik rumah jika berlangsung dalam waktu yang lama. Terdapat beberapa
kasus seseorang melakukan bunuh diri dengan mengurung diri di garasi dengan
menjalankan mesin mobil dan pada saat yang sama, secara tidak sengaja juga membunuh
penghuni rumah lainnya.9
Jumlah CO yang dihasilkan oleh mesin berbahan bakar bensin tergantung pada
beberapa faktor, termasuk mesin pengendali kecepatan, perbandingan udara dengan bahan
bakar, rasio kompresi, dan adanya konverter katalis. Sebelum pengenalan catalytic
converter, mesin bisa menghasilkan 7% CO, sedangkan mesin yang sama di dalam
kendaraan yang berjalan jauh dengan kecepatan 60 mph, dengan karburator yang dibuat
lebih efisien, menghasilkan kurang dari 0,5% CO.9
Waktu bertahan hidup dalam kondisi udara yang sangat jenuh akibat karbon
monoksida sangat pendek. Pada suatu kasus bunuh diri, korban meninggalkan tape
recorder yang merekam suara kematiannya. Atas dasar ini, dapat diketahui dalam jangka
waktu berapa lama orang itu dapat bertahan.9
18

Kasus di atas terjadi pada seorang laki-laki usia 36 tahun yang ditemukan duduk
di dalam mobil, dengan mesin yang sedang hidup dan selang karet yang berasal dari
knalpot melalui jendela belakang mobil. Kadar karboksihemoglobin dalam darah adalah
70%. Tape recorder berada di kursi bagian depan. Pada rekaman itu, almarhum terdengar
untuk memulai menyalakan mesin mobil. Selama 20 menit berbagai suara terdengar,
setelah itu terhenti, meskipun rekaman itu terus berjalan. Rekonstruksi adegan
memungkinkan pemantauan terus menerus dari penumpukan karbon monoksida di dalam
mobil. Setelah mesin telah berjalan 1 menit, persen saturasi karbon monoksida di atmosfer
adalah 0,2%. Pada 5 menit selajutnnya mencapai 1,5%, 6 menit 1,7% , 7 menit 2,2%, 9
menit 2,5%, 13 menit 3,7% , dan lebih dari 4% dalam jangka waktu 17 menit.9
B. Dekomposisi pada Intoksikasi CO
Kadar karbon monoksida dalam darah dan cairan tubuh rongga tubuh yang sudah
membusuk tergantung pada tingkat karbon monoksida darah sebelum terjadinya kematian.
Mereka tidak diproduksi pada pembentukan karbon monoksida post-mortem melalui
dekomposisi hemoglobin, mioglobin, dan zat lainnya.9
Kadar karboksihemoglobin dalam darah tidak nyata diubah selama dekomposisi
post-mortem, dengan nilai tidak lebih dari 6% ditentukan pada anjing yang terendam
dalam air laut selama empat hari. Mereka juga menemukan bahwa kadar
karboksihemoglobin dalam darah tidak berbeda secara signifikan dari COHb yang
terkadung dalam cairan pada rongga dada.9
C. Penentuan Kasus Bunuh Diri atau Kecelakaan Akibat Intoksikasi CO
Dalam kasus bunuh diri dengan memanfaatkan toksisitas CO, diagnosis sering
ditegakkan pada tempat kejadian. Korban biasanya akan ditemukan di garasi atau di dalam
mobil dengan kunci yang masih terpasang. Sumber CO biasanya berasal dari pipa atau
selang yang dihubungkan dari knalpot ke dalam ruang kendaraan.9
19

Sedangkan kematian yang disebabkan akibat kecelakaan oleh intoksikasi karbon
monoksida biasanya tidak diketahui di tempat kejadian. Seseorang mungkin akan
ditemukan tewas dalam mobil yang terparkir dengan kunci yang masih terpasang.6
Seorang penyidik, bagaimanapun, bisa keliru dan menganggap bahwa penyebab
kematian adalah karena penyakit jantung. Bila lebih dari satu orang ditemukan tewas
dalam sebuah mobil dengan mesin masih hidup, hampir pasti, kematian disebabkan oleh
CO. Jika lebih dari satu orang ditemukan tewas dalam sebuah rumah, atau satu orang
tewas dan lainnya koma, tanpa bukti adanya trauma, penyebab utama yang harus dicurigai
adalah akibat intoksikasi karbon monoksida yang disebabkan oleh rusaknya alat pemanas
ruangan.9
Kadang-kadang orang akan mencoba untuk membuat tampilan kasus bunuh diri
seperti kecelakaan. Mereka akan ditemukan di garasi, dengan pintu tertutup, kunci masih
terpasang, kap terbuka, dan terdapat alat-alat mobil di sekitarnya agar diharapkan bahwa
korban tersebut meninggal oleh asap knalpot sewaktu memperbaiki kendaraan. Kasus
seperti itu, bagaimanapun merupakan kasus bunuh diri. Hal ini karena, jika seseorang
menghidupkan mobil di garasi dengan keadaan tertutup, maka dalam waktu 2-3 menit
udara dalam garasi akan sangat berbahaya, sehingga dapat dengan cepat mengiritasi sistem
pernapasan.9
D. Kadar CO yang Berbahaya Dalam Tubuh
Kadar karboksihemoglobin orang yang meninggal karena keracunan CO dapat
sangat bervariasi, tergantung pada sumber CO, keadaan sekitar di tempat kejadian, dan
tingkat kesehatan seseorang (ada tidaknya penyakit bawaan yang diderita). Pada orang tua,
dan orang-orang yang menderita penyakit berat, seperti penyakit arteri koroner atau
penyakit paru obstruktif kronik, saturasi serendah 20-30% bisa berakibat fatal.9
20

Tingkat karboksihemoglobin dalam kebakaran rumah rata-rata 57%, dengan kadar
karbon monoksida dari 30 atau 40%. Sebaliknya, pada orang meninggal akibat menghirup
asap knalpot, memiliki kadar CO-Hb tertinggi >70% dan kadar CO-Hb rata-rata 79%.
Kadar CO-Hb rendah pada orang yang meninggal akibat menghirup asap knalpot dapat
ditemukan jika mobil berhenti berjalan setelah korban berada dalam koma tetapi terus
bernapas, dimana secara bertahap akan menurunkan konsentrasi karboksihemoglobin.9
Tabel 2. Gejala Intoksikasi CO yang berkaitan dengan Kadar COHb dalam darah
%COHb Gejala-gejala
0-10 Tidak ada keluhan maupun gejala.
10-20Rasa berat di kepala, sakit kepala, pelebaran pembuluh darah subkutan, dispneu, dan gangguan koordinasi.
20-30 Sakit kepala, berdenyut pada pelipis, dan emosional.
30-40Sakit kepala hebat, lemah, dizziness, pandangan jadi kabur, mausea, muntah-muntah.
40-50 Sinkop, nadi dan pernapasan menjadi cepat.
50-60Sinkop, nadi dan pernapasan menjadi cepat, koma, kejang yang intermitten.
60-70 Koma, kejang yang intermitten, depresi jantung, dan pernapasan.
70-80Nadi lemah, pernapasan lambat, kegagalan pernapasan, dan meninggal dalam beberapa jam.
80-90 Meninggal dalam waktu kurang dari satu jam.>90 Meninggal dalam beberapa menit.
Dikutip dari kepustakaan 9
Waktu paruh karbon monoksida, menghirup udara ruangan di permukaan laut,
adalah sekitar 4-6 jam. Terapi oksigen akan mengurangi eliminasi waktu paruh, tergantung
pada konsentrasi oksigen yang diberikan. Waktu paruh eliminasi dengan terapi oksigen
disingkat menjadi 40-80 menit pernapasan oksigen 100% pada 1 atm, dan 15-30 menit
pernapasan oksigen hiperbarik. Jika seseorang mencapai ruang gawat darurat dalam
keadaan hidup, pulse oksimetri tidak dapat diandalkan untuk menilai secara akurat
21

oksigenasi, karena tidak dapat membedakan karboksihemoglobin dari oksihemoglobin
pada panjang gelombang yang biasa digunakan.9
E. Tanda-Tanda Intoksikasi CO Pada Autopsi
Temuan otopsi pada kematian akibat intoksikasi CO cukup khas. Pada ras
Kaukasoid, gambaran pertama yang dapat dilihat pada tubuh korban adalah bahwa orang
tersebut terlihat sangat sehat. Warna merah muda pada kulit disebabkan oleh pewarnaan
jaringan oleh karboksihemoglobin, yang memiliki penampilan cherry-red atau merah
muda terang. Cherry-red livor mortis menunjukkan diagnosis intoksikasi CO bahkan
sebelum proses otopsi dimulai. Namun demikian, harus diketahui bahwa warna ini dapat
disamarkan atau dibiaskan oleh paparan tubuh yang lama terhadap lingkungan dingin (baik
di tempat kejadian atau dalam pendingan kamar mayat) atau pada kasus-kasus keracunan
sianida. Pada orang-orang berkulit hitam, warna merah muda terang menonjol pada
konjungtiva, nailbeds, dan mukosa bibir.9
Gambar 5. Warna merah muda (cherry-red) pada kulit disebabkan oleh pewarnaan jaringan oleh karboksihemoglobin, yang memiliki penampilan cherry-red atau merah muda terang.
Dikutip dari kepustakaan 10
22

Pada pemeriksaan organ dalam, otot-otot dan organ dalam akan berwarna merah
cerah. Warna pada organ tersebut tetap bertahan meskipun jaringan dipindahkan dan
ditempatkan dalam larutan formalin (formaldehida). Begitupun dengan pengawetan juga
tidak akan mengubah warna organ tersebut. Darah yang diambil dari pembuluh darah juga
akan memiliki warna yang khas seperti ini.9
Pada beberapa orang, intoksikasi karboksihemoglobin tidak langsung
menyebabkan kematian. Dalam kasus tersebut, jika produksi karbon monoksida berhenti
setelah timbulnya koma, individu akan secara bertahap menghilangkan karbon monoksida
dari tubuh, meskipun kerusakan irreversibel telah terjadi. Dengan demikian, dapat
ditemukan orang-orang yang meninggal akibat keracunan karboksihemoglobin memiliki
kadar karboksihemoglobin yang rendah atau bahkan negatif pada otopsi. Diagnosis
tersebut dibuat atas dasar penyelidikan. Sebagai contoh, seorang pria ditemukan tewas di
sebuah mobil yang diparkir. Tidak ada kunci mobil yang masih terpasang dan tangki
bensin kosong. Sebuah otopsi dan analisis toksikologi lengkap gagal untuk
mengungkapkan penyebab kematian.9
Karbon monoksida dapat masuk dari ibu ke darah janin. Konsentrasi
karboksihemoglobin (COHb) pada janin tergantung pada kadar hemoglobin dan CO ibu.
CO-Hb akhir janin adalah 10% lebih tinggi dari kadar CO-Hb ibu. Karbon monoksida
dapat menghasilkan kematian intrauterin meskipun ibu mungkin tetap bertahan hidup.9
Otak adalah organ yang paling sensitif terhadap karbon monoksida. Jika kematian
tidak terjadi segera, kerusakan bagian-bagian otak dapat meningkat dalam hitungan jam
dan hari. Karbon monoksida menghasilkan kerusakan selektif pada gray matter. Nekrosis
bilateral dari globus pallidus merupakan lesi paling khas, meskipun bagian lain yang
terkena dampak termasuk korteks serebral, hippokampus, otak kecil, dan substantia nigra.9
23

Lesi dalam globus pallidus, sebenarnya tidak spesifik dan dapat dilihat juga pada overdosis
narkoba.9
Gejala sisa neurologis yang disebabkan oleh intoksikasi CO dapat berkembang
selama fase akut. Dalam situasi ini, setelah jangka waktu asimtomatik, pasien dapat
mengalami sakit kepala parah, demam, kaku kuduk, dan gejala neuropsikiatri. Kebutaan
kortikal sementara dan cacat memori yang umum. Selain itu, bisa ada afasia, apati,
disorientasi, halusinasi, inkontinensia, gerakan lambat, dan kekakuan otot. Gejala sisa
permanen intoksikasi CO seperti demensia, sindrom amnestik, psikosis, kelumpuhan,
korea, kebutaan kortikal, neuropati perifer, dan inkontinensia.9
Dalam sebuah penelitian, 11,8 % dari individu yang membutuhkan rawat inap
akibat intoksikasi karbon monoksida memiliki gejala sisa berupa kerusakan dan gangguan
neurologis. Hampir semua menunjukkan gangguan mental, dengan mayoritas memiliki
inkontinensia dan gangguan gaya berjalan. Usia rata-rata dari orang-orang yang
menunjukkan gejala sisa lebih tua daripada kelompok rumah sakit secara keseluruhan.
Sebuah lucid interval 2-4 minggu biasanya mendahului terjadinya gejala sisa neurologis.
Tiga-perempat dari pasien sembuh dalam waktu satu tahun, meskipun beberapa orang
menunjukkan kerusakan neurologis ringan yang menetap.9
Telah ditunjukkan bahwa beberapa sel, misalnya, sel piramidal CAI di
hippokampus, dapat berfungsi kembali setelah terpapar karbon monoksida. Hipotesis yang
dianut bahwa timbulnya gejala sisa disebabkan oleh terjadinya kegagalam reperfusi pasca
iskemik dan efek CO pada endotel pembuluh darah dan oksigen radikal yang dimediasi
oleh oksigen otak dari proses reoksigenasi.9
24

1. Intoksikasi Akut
Gambaran makroskopik yang khas adalah darah dan bagian otak yang berwarna
merah terang pada otopsi (Gambar 6-a), bahkan setelah difiksasi dalam formalin (Gambar
6-b dan c).11
Dalam kasus kongesti masif, ekstravasasi juga dapat terjadi. Jika intoksikasi akut
tetap berlangsung, perubahan yang terjadi mirip dengan yang terlihat dalam iskemia yang
luas berupa nekrosis laminar kortikal, hilangnya sel saraf dalam pembentukan
hippocampus, hilangnya sel Purkinje, dan nekrosis white matter. Nekrosis globus pallidus
bilateral (Gambar 6-d) dan pars reticulata dari substantsia nigra merupakan perubahan non-
spesifik. White matter deterioration dalam leukoensefalopati multifokal adalah sekuele
morfologi pada gambaran lanjutan pada intoksikasi CO.11
Gambar 6. Intoksikasi karbon monoksida. Intoksikasi akut: gambaran bright redness (merah terang) pada duramater. (a) Gambaran pada autopsi permukaan otak setelah fiksasi dengan formalin. (b) Tampak edema pada otak; dan (c) gambaran merah muda pada potongan frontal. (d) Pada intoksikasi kronik: tampak nekrosis globus pallidus bilateral yang ditunjukkan dengan lingkaran hitam.
Dikutip dari kepustakaan 11
25

2. Paparan Lanjutan (Intermittent Exposure)
Gambaran morfologi ditandai dengan fokus konfluens pada demielinasi dengan
pembengkakan oligodendrosit dan proliferasi astrosit. Demielinasi dengan distribusi
merata dan batas yang tidak jelas menyerupai pola leukoensefalopati multifokal; dimana
terdapat spektrum yang kontinyu sampai berakhirnya proses demielinasi ("Grinker’s
disease" atau “Grinker’s myelinopathy"). Edema white matter terjadi disertai dengan
penurunan tekanan darah dan peningkatan asidosis.11
3. Intoksikasi Kronik
Paparan CO dengan kadar yang rendah dapat menyebabkan sakit kepala dan mual.
Tanda afinitas CO terhadap Hb ditambah dengan resultan menurunkan ekspirasi CO yang
dihasilkan pada akumulasi dari CO-Hb dalam darah, yang dapat dihasilkan selama berhari-
hari sampai berminggu-minggu yang tidak terdeteksi sampai timbul keluhan dan akhirnya
menyebabkan kematian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya hipoksia-hipotensi dan
iskemik akibat nekrosis dan kerusakan pada white matter lebih mendominasi pada fase
ini.11
F. Aspek Medikolegal Pada Kasus Intoksikasi CO
Berdasarkan tujuannya, pemeriksaan forensik pada kasus keracunan dapat dibagi
dalam dua kelompok, yaitu untuk mencari penyebab kematian dan untuk mengetahui
bagaimana suatu peristiwa dapat terjadi. Dengan demikian pada tujuan pertama dari
pemeriksaan atas diri korban diharapkan dapat ditemukan racun atau obat dalam dosis
mematikan.12
Sedangkan pada tujuan kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan rekonstruksi
atas peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana racun atau obat tersebut berperan sehingga
suatu peristiwa dapat terjadi. Mengenai racun diatur dalam Pasal 133 (1) KUHAP yang
berbunyi: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
26

baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; pengertian atau batasan dari racun itu sendiri
tidak dijelaskan, dengan demikian dipakai pengertian racun yang telah disepakati oleh para
ahli.12
27

DAFTAR PUSTAKA
1. Kao, L., et al. 2004. Carbon Monoxide Poisoning. Emerg. Med Clin N Am. Department of Emergency Medicine, Indiana University School of Medicine. Indiana: USA. Elsevier: Saunders.
2. Rajiah, K., et al. 2011. Clinical Manifestation, Effects, Diagnosis, Monitoring of Carbon Monoxide Poisoning and Toxicity. African Journal of Pharmacy and Pharmacology Vol. 5 (2). Page: 259-264.
3. Cope, W.G. 2004. Exposure Classes, Toxicants in Air, Water, Soil, Domestic and Occupational Settings in: A Textbook of Modern Toxicology. Third Edition. Edited By Ernest Hodgson. Department of Environmental and Biochemical Toxicology North Carolina State University. Page: 34-7; 287.
4. Budiyanto, A., dkk. 1997. Keracunan Karbon Monoksida, dalam buku: Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI Press.
5. Prockop, L.D., et al. 2007. Carbon Monoxide Intoxication. An Update Review. Department of Neurology, College of Medicine, University of South Florida, USA. Journal of Neurological Sciences 262 (2007) 122-130: Elsevier.
6. Weaver, L.K., et al. 2009. Carbon Monoxide Poisoning. Department of Hyperbaric Medicine, University of Utah, School of Medicine and Department of Hyperbaric Medicine, Intermountain Medical Center, Murray, Utah. N Engl J Med 2009; 360: 1217-25.
7. Iqbal, S., et al. 2012. A Review of Disaster-Related Carbon Monoxide Poisoning: Surveillance, Epidemiology, and Oppurtinities for Prevention. American Journal of Public Health. Vol. 102, No.10: Oktober 2012.
8. Diaz, J. 2006. Carbon Monoxide (CO) Poisoning in Chapter 22: Industrial Exposure;
in Text Book: Color Atlas and Human Poisoning and Envenoming. USA: CRC Press.
Page: 405-406.
9. DiMaio, V.J., et al. 2001. Forensic Pathology – 2end ed. Practical Aspects of Criminal and Forensic Investigation. USA: CRC Press LLC. Page: 385-394.
10. Dix, J., et al. 2000. Thermal Injuries in Text Book: Color Atlas of Forensic Pathology. USA: CRC Press LLC. Page: 115-123.
11. Oehmichen, M., et al. 2006. Forensic Neuropathology and Associated Neurology. Germany: Springer-Verlag Berlin Heldelberg. Page: 347-351.
12. Idries, A.M. 1997. Keracunan dalam Buku: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, edisi
1. Jakarta: Binarupa Aksara. Halaman: 329-331.
28

LAMPIRAN REFERENSI
29