bab i - bab iii revisi 1

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb) merupakan tumbuhan yang termasuk suku Iridaceae. Tumbuhan ini berasal dari wilayah Amerika yang beriklim tropis, namun saat ini telah dibudidayakan di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Tumbuhan yang termasuk suku Iridaceae ini secara empiris diyakini dapat menyembuhkan penyakit antara lain kanker usus, kanker payudara, diabetes melitus, hipertensi, dan menurunkan kolesterol. Ciri spesifik tumbuhan ini adalah umbi berwarna merah menyala. Letak daun berpasangan dengan komposisi daun bersirip ganda dengan tipe pertulangan daun sejajar dan bentuk daun berbentuk pita. Bunga kecil berkelopak lima dan warnanya putih. Tumbuhan ini memiliki adaptasi yang baik, dapat tumbuh dalam berbagai tipe iklim dan jenis tanah. Selain itu, tumbuhan ini juga dapat diperbanyak dan di panen dalam waktu yang singkat, sehingga dapat dengan mudah dikembangkan untuk skala industri ( Ronny, 2013). Studi fitokimia menunjukkan adanya kandungan alkaloid, glikosida, flavanoid, fenolik, steroid dan tannin pada umbi bawang sabrang (Saleh, 2010). Potensi umbi bawang sabrang sebagai obat antikanker telah diyakini secara turun temurun oleh masyarakat di Kalimantan, termasuk di Kalimantan Tengah. Kanker adalah suatu penyakit yang dicirikan dengan adanya kegagalan pengendalian pembelahan sel, sehingga pertumbuhan sel-sel tersebut menekan jaringan

Upload: juwita-sopandi

Post on 30-Sep-2015

45 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

proposal penelitian biologi murni

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahBawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb) merupakan tumbuhan yang termasuk suku Iridaceae. Tumbuhan ini berasal dari wilayah Amerika yang beriklim tropis, namun saat ini telah dibudidayakan di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Tumbuhan yang termasuk suku Iridaceae ini secara empiris diyakini dapat menyembuhkan penyakit antara lain kanker usus, kanker payudara, diabetes melitus, hipertensi, dan menurunkan kolesterol. Ciri spesifik tumbuhan ini adalah umbi berwarna merah menyala. Letak daun berpasangan dengan komposisi daun bersirip ganda dengan tipe pertulangan daun sejajar dan bentuk daun berbentuk pita. Bunga kecil berkelopak lima dan warnanya putih. Tumbuhan ini memiliki adaptasi yang baik, dapat tumbuh dalam berbagai tipe iklim dan jenis tanah. Selain itu, tumbuhan ini juga dapat diperbanyak dan di panen dalam waktu yang singkat, sehingga dapat dengan mudah dikembangkan untuk skala industri ( Ronny, 2013). Studi fitokimia menunjukkan adanya kandungan alkaloid, glikosida, flavanoid, fenolik, steroid dan tannin pada umbi bawang sabrang (Saleh, 2010).Potensi umbi bawang sabrang sebagai obat antikanker telah diyakini secara turun temurun oleh masyarakat di Kalimantan, termasuk di Kalimantan Tengah. Kanker adalah suatu penyakit yang dicirikan dengan adanya kegagalan pengendalian pembelahan sel, sehingga pertumbuhan sel-sel tersebut menekan jaringan normal. Perubahan sel normal menjadi sel kanker merupakan akibat perubahan gen yang mengendalikan pembelahan sel. Sampai saat ini belum ditemukan obat antikanker yang dapat mengatasi penyakit tersebut hingga tuntas dan aman. Hal ini mendorong eksplorasi terhadap tumbuhan yang berpotensi mengandung senyawa antikanker. Salah satu syarat senyawa yang memiliki khasiat antikanker adalah bersifat sitotoksik (Ramdhini, 2010), yaitu senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan pertumbuhan sel kanker (Yusni, 2008). Salah satu cara untuk mendeteksi bioaktivitas suatu senyawa berkhasiat antikanker adalah dengan uji Brine Shrimp Lethality Test (Mutia, 2010; Muaja dkk, 2013). Metode ini digunakan untuk indikator umum untuk mendeteksi toksisitas dan panduan untuk mendeteksi senyawa yang berkhasiat antitumor. Keuntungan penggunaan uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah mudah, murah sederhana, cepat dan telur Artemia salina L. mudah diperoleh. Dalam uji tersebut yang digunakan adalah larva Artemia salina L. Hewan ini digunakan untuk uji karena memiliki kesamaan respon dengan mamalia.Ekstrak bawang sabrang mampu menekan pertumbuhan sel lini kanker kolon (Yusni, 2008) dan menghambat siklus sel pada sel lini kanker payudara (Fitri, dkk, 2014). Walaupun khasiat umbi bawang telah diteliti manfaatnya, namun perlu dilakukan uji Konsentrasi Letal 50%, sehingga dapat diketahui batas aman penggunaan esktrak bawang sabrang. Berdasarkan alasan tersebut, akan dilakukan penelitian Uji Sitotoksitas Ekstrak Etanol Umbi Bawang Sabrang (Eleutherine americana L. Merr.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).1.2 Identifikasi MasalahSalah satu tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional adalah umbi bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb). Potensi umbi bawang sabrang sebagai obat antikanker telah diyakini secara turun temurun oleh masyarakat di Kalimantan, termasuk di Kalimantan Tengah. Namun demikian batas aman penggunaan umbi bawang sabrang sebagai antikanker belum terbukti secara klinis. Oleh karena kandungan tanin, flavonoid dan polifenol yang ada pada umbi bawang sabrang memiliki sifat toksisitas tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan uji Konsentrasi Letal 50%, sehingga dapat diketahui batas aman penggunaan esktrak umbi bawang sabrang. Berdasarkan masalah tersebut, akan dilakukan penelitian Uji Sitotoksitas Ekstrak Etanol Umbi Bawang Sabrang (Eleutherine americana L. Merr.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).1.3 Batasan MasalahPenelitian ini hanya terbatas pada :1) Umbi bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb) yang diekstrak menggunakan pelarut etanol, di Laboratorium Farmasi Institut Teknologi Bandung.2) Hewan uji yang digunakan adalah Artemia salina Leach berumur 48 jam, dan secara anatomi tidak tampak cacat.3) Hasil penelitian adalah untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menggunakan Artemia salina Leach.

1.4 Rumusan MasalahRumusan masalah dalam penelitian ini adalah :1) Apakah ekstrak etanol umbi bawang sabrang meningkatkan angka kematian Artemia salina Leach?2) Berapakah Nilai LC50 ekstrak etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ?

1.5 Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk :1) Mengetahui pengaruh ekstrak etanol umbi bawang sabrang terhadap peningkatan kematian Artemia salina Leach.2) Mengetahui Nilai LC50 ekstrak etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).

1.6 Manfaat PenelitianManfaat yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini adalah :1) Mengetahui konsentrasi ekstrak bawang sabrang yang aman untuk digunakan sebagai obat.2) Mengetahui potensi ekstrak etanol bawang sabrang sebagai tanaman berkhasiat antikanker. 3) Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi akademis dibidang kesehatan serta masyarakat yang memanfaatkan bawang sabrang sebagai obat tradisional.

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis2.1.1 Deskripsi Bawang Sabrang Bawang sabrang dikenal dengan nama ilmiah Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb, dengan sinonim Eleutherine Palmifolia L.Merr. (Gambar 1), termasuk suku Iridaceae. Tumbuhan ini berasal dari Amerika pada kawasan yang beriklim tropik, dengan ciri-ciri herba menahun, dengan akar rimpang, umbi atau umbi lapis. Daun-daun semua atau sebagian berdesak-desakan pada pangkal batang, kerapkali dengan salah satu tepi menghadap batang (berbentuk pedang) dan satu sama lain memeluk dengan pangkalnya yang serupa pelepah. Bunga berkelamin 2, beraturan, terdapat dalam seludang bunga, tiap bunga memiliki daun pelindung bunga. Tenda bunga berwarna, melekat, taju 6 dalam dua lingkaran, mekar pada waktu sore hari dalam beberapa jam. Benangsari 3, kebanyakan bebas. Bakal buah tenggelam, beruang 3; bakal biji per ruang banyak. Tangkai putik bercabang 3. Buah kotak berbiji banyak (van Steenis, 2013). Bawang sabrang tumbuh di daerah pegunungan antara 600 - 1500 m dpl. Tanaman ini menyukai tempat-tempat terbuka yang tanahnya kaya dengan humus dan cukup lembab.

Gambar 1. Eleutherina bulbosa (Mill.) Urb.(diunduh dari situs http://ff.unair.ac.id/sito/)2.1.2 Tinjauan tentang KankerKanker adalah suatu penyakit dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengaturan multiplikasi pada organisme multiseluler sehingga terjadi perubahan yang tidak terkontrol. Perubahan sel (transformasi) ini disebabkan oleh perubahan gen di dalam sel. Sel-sel yang telah mengalami transformasi terus menerus berproliferasi dan menekan pertumbuhan sel normal. Pertumbuhan kanker yang tidak terkendali tersebut diikuti dengan invasi ke jaringan sekitar dan metastase ke bagian tubuh lain.Perubahan sel normal menjadi sel kanker melalui 3 tahap yaitu tahap inisiasi, promosi dan progresi. Pada tahap inisiasi, terdapat faktor inisiator yang memulai pertumbuhan sel yang abnormal seperti radiasi, bahan kimia mutagenic, virus, mutasi spontan. Pada tahap promosi dipicu oleh promotor seperti tumor promotor, gowth faktor, virus sehingga terbentuk sel- sel yang polimorfis dan anaplastik. Pada tahap progresi ditandai dengan adanya invasi sel ganas ke membrana basalis atau kapsul. Perubahan keganasan melibatkan beberapa gen yaitu onkogen, gen penekan tumor, gen yang berperan dalam perbaikan DNA (DNA repair gen), dan gen pengatur apoptosis.Onkogen adalah gen yang berkaitan dengan terjadinya transformasi neoplastik. Onkogen ini berasal dari protoonkogen yang mengalami mutasi. Protoonkogen adalah gen yang mengatur proliferasi normal. Perubahan yang dialami protoonkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu bersifat mengaktivasi, artinya mereka menstimuli suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Walau ada sel yang mengalami pembelahan diri secara tak terkendali, masih belum mengarah ke bentuk kanker, karena sel-sel sekitar akan bereaksi dengan mengeluarkan growth inhibitor (zat penghambat pertumbuhan). Zat penghambat pertumbuhan ini akan mengikat ke reseptor sel yang malfungsi, mengirimkan signal ke inti sel, mengaktifkan gen penekan tumor. Proses timbulnya keganasan pada tingkat molekuler dapat diamati dari produksi protein yang berlebihan yang dihasilkan oleh onkogen. Aktivasi onkogen merangsang produksi reseptor faktor pertumbuhan yang tidak sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus-menerus meskipun tidak ada rangsang dari luar. Proses proliferasi yang tidak terkendali tanpa diiringi maturasi sel dapat mengakibatkan gangguan diferensiasi sel. Pada tahap selanjutnya, gangguan diferensiasi sel akan mencerminkan progesifitas sel menjadi ganas.Gen penekan tumor berfungsi sebagi penghambat pertumbuhan sel, apabila diaktifkan maka akan menghentikan siklus pembelahan sel, sehingga dapat mencegah pembelahan sel selanjutnya. Tetapi apabila gen penekan tumor malfungsi disebabkan mutasi, maka sel abnormal yang terus membelah diri tidak menanggapi pesan growth inhibitor yang dikeluarkan oleh sel sekitarnya untuk menghentikan pembelahan sehingga terjadi proses malignansi.2.1.3 Mekanisme Kerja Senyawa AntikankerMekanisme flavonoid sebagai antikanker ada beberapa teori, yaitu :1) Flavonoid sebagai oksidan yakni melalui mekanisme pengaktifan jalur apoptosis sel kanker. merupakan akibat fragmentasi DNA. Mekanisme apoptosis sel pada teori ini diawali dengan dilepasnya rantai proksimal DNA oleh senyawa oksigen reaktif seperti radikal hidroksil. Senyawa ini terbentuk dari reaksi redoks Cu(II). Senyawa tembaga ini dimobilisasi oleh flavonoid baik dari ekstrasel maupun intrasel terutama dari kromatin. 2) Flavonoid sebagai antioksidan. antioksidan flavonoid terutama berupa proteksi terhadap Reactive Oxygen Species (ROS). 3) Flavonoid sebagai penghambat proliferasi tumor/kanker yang salah satunya dengan menginhibisi aktivitas protein kinase sehingga menghambat jalur tranduksi sinyal dari membran sel ke inti sel. 4) Dengan menghambat aktivitas reseptor tirosin kinase. Karena aktivitas reseptor tirosin kinase yang meningkat berperan dalam pertumbuhan keganasan.

2.1.4 Tinjauan tentang Uji ToksisitasToksisitas didefinisikan sebagai segala hal yang memiliki efek berbahaya dari zat kimia atau obat pada organisme target. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subakut/subkronis, kronis) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik). Pada awal mulanya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun. pada saat itu pengertian racun masih dipisahkan dengan makanan. Bahan pangan atau zat kimia yang dengan jelas berbahaya bagi tubuh disebut racun, sedangkan yang bermanfaat bagi tubuh disebut makanan. Untuk meneliti berbagai macam efek yang berhubungan dengan masa pemejanan, uji toksikologi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :1) Uji Toksisitas AkutUji ini dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam masa pemejanan dengan waktu yang singkat atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Uji ini dilakukan dengan cara pemberian konsentrasi tunggal senyawa uji pada hewan uji. Takaran konsentrasi yang dianjurkan paling tidak empat peringkat konsentrasi, berkisar dari konsentrasi terndah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan konsentrasi tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari.

2) Uji Toksisitas Subkronis atau SubakutUji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji tersebut secara berulang-ulang terhadap hewan uji selama kurang dari 3 bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji, serta untuk melihatkan apakah spectrum toksik itu berkaitan dengan takaran konsentrasi. 3) Uji Toksisitas KronisUji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia secara berulang-ulang pada hewan uji selama lebih dari 3 bulan atau sebagian besar dari hidupnya. Meskipun pada penelitian digunakan waktu lebih pendek, tetapi tetap lebih lambat dibandingkan Uji Toksisitas Akut maupun Uji Toksisitas Sub Akut.

2.1.5 Deskripsi Artemia salina Leach sebagai Hewan UjiArtemia salina masuk golongan udang-udangan yang kecil ukurannya. Bentuk dewasanya mencapai ukuran 1 cm. Hidup di perairan yang kadar garamnya tinggi sekali, dimana hanya beberapa jenis bakteri serta algae yang dapat bertahan hidup. Hewan ini makan plankton, detritus serta butiran halus dalam air yang dapat masuk ke dalam mulutnya, jadi termasuk "filter feeder". Dalam kondisi kadar garam tinggi Artemia akan menghasilkan kista yaitu telur yang diselimuti oleh selubung kuat untuk melindungi embryo dari perubahan lingkungan yang merugikan. Pada kadar garam yang tinggi, kista akan mengapung dan mudah dikumpulkan, dibersihkan, dikeringkan selanjutnya dikalengkan dan dijual. Bila akan digunakan sebagai makanan hidup, kista direndam dalam air laut dan akan menetas menjadi nauplius. Nauplius inilah yang digunakan untuk makanan larva udang atau ikan. Artemia yang baru menetas disebut nauplius, ini merupakan makanan hidup bagi larva udang dan benih ikan. Dengan makanan hidup ini, mutu air dalam bak pemeliharaan larva udang atau ikan akan tetap baik karena tidak ada sisa makanan yang membusuk. Lagi pula makanan ini mempunyai nilai gizi yang tinggi serta mudah dicerna. Nilai nutrisi nauplius yang baru menetas sebagai berikut : protein 40% - 50%, karbohidrat 15%-20%, lemak 15%-20%, abu 3%-4% sedangkan nilai kalori adalah 5000 5500 kalori per gram berat kering. Larva dapat makan (menangkap) nauplius kapan saja dia mau selama persediaan nauplius masih ada dalam tempat pemeliharaan larva itu. Dibandingkan dengan zooplankton yang lain penyediaan nauplius A. salina lebih mudah dan efisien. Kista-kista A. salina dapat disimpan beberapa tahun. Setiap saat diperlukan, kista-kista dapat diambil secukupnya untuk ditetaskan dan nauplius yang dihasilkan dapat segera dimanfaatkan sebagai makanan larva ikan (Maria, 1984).Artemia betina membentuk telur pada dua kantong telur kemudian kedua kantong telur tersebut akan bergabung yang mempunyai satu saluran telur. Dari satu ekor induk betina dihasilkan sekitar 20 - 50 butir telur. Sementara telur masih dalam kantong telur, induk telah mulai memproduksi calon telur dan begitu seterusnya. Telur dapat dikeluarkan dalam bentuk kista atau langsung menetas menjadi nauplius tergantung dari kondisi lingkungannya. Pada kondisi lingkungan yang baik perkembangan embryonal di dalam kantong telur akan berlanjut sehingga akhirnya terjadi penetasan. Hasil penetasan merupakan nauplius yang berenang bebas. Pada kondisi lingkungan yang buruk perkembangan embryonal akan terhenti pada stadium gastrula dan terbentuklah cangkang telur dari kitin. Dengan demikian terjadilah kista atau sering disebut "resting eggs". Sifat "diam" dari telur-telur Artemia salina ini amat bermanfaat bagi budidaya bahari yaitu sebagai makanan hidup. Setiap saat diperlukan, kista-kista dapat ditetaskan dan nauplius dapat dipanen untuk makanan larva udang atau ikan.Telur Artemia yang baru dibuka dari kaleng berbentuk bola kempes, jadi bukan seperti bola bundar, Hal ini disebabkan karena waktu pemrosesan telur tersebut didehidrasi sehingga kadar air tinggal sekitar 10 %. Telur yang dimasukkan dalam air dalam waktu satu sampai dua jam telah menyerap air dan bentuknya menjadi bulat. Sekitar 15 jam kemudian telur mulai menetas, dari dalam telur keluar bentuk bulat telur yang masih terbungkus dalam selaput tipis, bentuk ini disebut "umbrella stage". Setelah beberapa jam, maka lapisan tipis ini pecah dan keluarlah nauplius (Gambar 2).

Gambar 2. Nauplius Artemia salina Leach(Diunduh dari : https://www.flickr.com/photos/chenhowen/2209391548/ )Menurut Maria (1984) untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik, maka perlu diperhatikan beberapa faktor :1. Hidrasi dari kista-kista. Kista-kista yang dimasukkan ke dalam media air laut akan segera mengalami hidrasi dan terjadilah perkembangan embryonal di dalam kista. Hidrasi ini dapat terjadi pada kisaran salinitas antara 5 70.2. Erasi. Oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan embryonal A. salina. Oleh karena itu erasi harus diberikan terus sampai terjadi penetasan, Selain untuk mencukupi kebutuhan akan oksigen, erasi dapat mencegah terjadinya pengendapan kista-kista di dasar tangki. Pengendapan kista-kista dapat menimbul- kan kondisi "anaerob" pada kista-kista tersebut sehingga perkembangan embryo akan terhambat. Kandungan oksigen yang minimal untuk penetasan A. salina adalah 3 ppm.3. Penyinaran pada kista yang sudah mengalami hidrasi. Cahaya dapat merangsang pengaktifan kembali perkembangan embryo A. salina. Rangsangan cahaya ini hanya efektif pada hidrasi aerob. Dengan demikian kista-kista yang sudah mengalami hidrasi dapat dirangsang dengan penyinaran bersama-sama dengan erasi. 4. Suhu. Suhu yang optimum untuk memperoleh hasil penetasan yang baik adalah berbeda-beda menurut strain yang dipergunakan. Suhu optimum untuk strain California-USA adalah 28C, untuk strain Utah-USA adalah 30C dan untuk strain RRC adalah 35C. 5. pH (derajat keasaman). Proses pecahnya. lapisan tipis pada saat "umbrella stage" sangat dipengaruhi oleh enzym penetas, dimana enzym ini pada pH 8,0 9,0 mempunyai aktivitas yang optimum. Penetasan tidak terjadi bila pH kurang dari 7,0 terutama bila kepadatan telur yang tinggi. Untuk menaikkan pH air laut dapat ditambah dengan 1 2 g kapur per liter atau dengan NaOH 0,5 N sebanyak 1,5 per liter air.6. Kepadatan. Untuk penetasan yang efisien kepadatan 10 g/L memberi hasil yang memuaskan. Pada saat proses penetasan, telur menghasilkan enzym trehalose dan ini akan mempercepat penetasan telur di sekitarnya. Dengan kepadatan yang cukup maka trehalose ini cepat mempengaruhi telur di sekitarnya dan proses penetasan dapat berlangsung lebih serentak.

2.1.6 Uji Brine Shrimp Lethality TestBrine Shrimp Lethality test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu ekstrak dikatakan aktif sebagai antikanker berdasarkan metode BSLT jika harga LC < 1000 g/ml. Penelitian Carballo dkk menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara sitotoksisitas dan letalitas Brine shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BST dapat dipercaya untuk menguji aktivitas toksikologi dari bahan-bahan alami.2.2 Penelitian yang RelevanPenelitian yang relevan yang dijadikan acuan dalan pengajuan penelitan adalah :1) Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Anggur (Vitis vinifera) Terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) oleh Dita Mutia dan Suhardjono pada tahun 2010. Peneltian ini menggunakan hewan uji 250 ekor larva yang dibagi dalam 5 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 10 ekor, dengan replikasi 5 kali tiap kelompok. Kemudian ekstrak anggur diberikan ke dalam media dengan konsentrasi akhir, berturut-turut kelompok 1,2,3,4 dan 5 adalah 2000 g/ml, 1000 g/ml, 500 g/ml, 200 g/ml dan 0 g/ml sebagai kontrol negatif. Hasil pengamatan adalah terhadap larva yang mati 24 jam setelah pemberian bahan uji. Berdasarkan data, LC50 ekstrak etanol buah anggur ditentukan dengan analisis probit menggunakan SPSS 16.0 for windows. Hasil dari analisis probit menunjukkan harga LC50 dari ekstrak buah anggur adalah 648.004 g/ml. Sedangkan dari analisis regresi, akan didapatkan persamaan LC50 = 0.239log konsentrasi - 0.125. Pemberian ekstrak buah anggur pada penelitian ini, menunjukkan potensi toksisitas akut terhadap larva Artemia salina Leach menurut metode BST. Hal ini ditunjukkan dengan harga LC 50