bab iii revisi rahmat fix

26
BAB III PEMERIKSAAN SKIZOFRENIA POST MORTEM MENGGUNAKAN MRI DITINJAU DARI ISLAM III.1. Pandangan Islam tentang Penyakit Skizofrenia Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna dengan dilengkapi oleh akal, perasaan, kemauan dan kehendak. Sebagaimana Allah SWT berfirman: Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin (95): 4). Akal merupakan satu-satunya perbedaan yang sangat mendasar pada diri manusia terhadap mahluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Tetapi dengan kehendak-Nya pula akal seseorang dapat menjadi rusak atau hilang. Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang cerdas. (.Djazuli, 2010)

Upload: yovan

Post on 09-Jul-2016

222 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

b jhcfccugjxcguchv

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III Revisi Rahmat Fix

BAB III

PEMERIKSAAN SKIZOFRENIA POST MORTEM MENGGUNAKAN MRI

DITINJAU DARI ISLAM

III.1. Pandangan Islam tentang Penyakit Skizofrenia

Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna

dengan dilengkapi oleh akal, perasaan, kemauan dan kehendak. Sebagaimana Allah

SWT berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-

baiknya” (QS. At-Tin (95): 4).

Akal merupakan satu-satunya perbedaan yang sangat mendasar pada diri

manusia terhadap mahluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Tetapi dengan kehendak-

Nya pula akal seseorang dapat menjadi rusak atau hilang. Orang yang menggunakan

akalnya pada dasarnya adalah orang yang cerdas. (.Djazuli, 2010)

Secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-

hajr (menahan), al-nahyu (melarang), dan Man‘u (mencegah). Berdasarkan makna

bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal (al-aqil) adalah orang yang mampu

menahan dan mengikat hawa nafsu. Jika hawa nafsu terikat maka jiwa rasionalitasnya

mampu bereksistensi. Nama lain dari akal adalah hulm, nuha, hijir dan hujjah (

Djazuli, 2010).

Page 2: BAB III Revisi Rahmat Fix

Akal merupakan bagian dari daya nafsani manusia yang memiliki dua makna, yaitu:

1. Akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini

lazim disebut dengan otak (al-dimagh) yang bertempat di dalam kepala.

2. Akal ruhani, yaitu cahaya (al-nur) ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan

untuk memperoleh pengetahuan (al-marifah) dan kognisi (al-mudrikat) (Djazuli,

2010).

Akal diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan

mengeluarkan pengetahuan. Akal merupakan daya kekuatan untuk memperoleh segala

ilmu. Ilmu akal meliputi ilmu yang duniawi dan ukhrowi. Beberapa nash yang

mendukung eksistensi akal sebagai bagian dari diri manusia, disebutkan dalam hadits

Nabi SAW:

العقل من عليه اكرم خلق وجل الله عز ماخلق

Artinya: “Tidak dijadikan Allah suatu makhluk yang terlebih mulia pada-Nya

daripada akal” (H.R. Bukhari & Muslim).

Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekwensi

modernisasi dan industrilisasi ataupun kemajuan ilmu mempunyai dampak dalam

kehidupan masyarakat. Stres psikososial dapat merupakan salah satu faktor pencetus,

yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa

mengadakan adaptasi atau menanggulangi stresor yang timbul (Djazuli, 2010)

Page 3: BAB III Revisi Rahmat Fix

Sehingga hal-hal seperti ini dapat menyebabkan kesehatan fisik dan jiwa dari

seseorang dapat menurun dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari, Allah

SWT berfirman:

Artinya: “Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al

Quran dan As Sunah) kepada siapa yang dikehendak-Nya. Dan Barangsiapa yang

dianugrahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan

hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Al-

Baqarah (2): 269).

Suatu penyakit yang menutupi atau mengganggu akal, akan menyebabkan akal

tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai kebingungan dan

kekacauan pikiran. Orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat

membedakan antara yang benar dan yang salah, atau antara yang baik atau yang buruk

(Dyah Hastuti, 2009)

Secara psikologi akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah

suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan dalam berimajinasi,

memprediksi, berfikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai. Dalam Al-Quran

komponen nafsani yang mampu berakal adalah kalbu, Allah SWT berfirman:

Page 4: BAB III Revisi Rahmat Fix

Artinya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai

hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan

itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,

tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada” (QS. A1-Hajj (22): 46).

Orang yang hilang akal secara permanen, maka hal inilah yang biasa disebut

sebagai gila (Skizofrenia). Sedangkan orang yang rusak akal adalah orang yang tidak

mampu mempergunakan akalnya sehingga hawa nafsu dapat menguasai dirinya (buruk

akhlak), ia tidak mampu mengendalikan diri dan akan sulit memahami kebenaran,

karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk

memahami kebenaran (Dyah Hastuti, 2009).

Seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami

keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia merupakan sekelompok

gangguan psikotik, dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada

proses pikir. Gejala yang ditimbulkan mencakup banyak fungsi seperti pada gangguan

persepsi (halusinasi), keyakinan yang salah (waham), penurunan dari proses berpikir

dan berbicara (alogia), gangguan aktivitas motorik (katatonia), gangguan dari

pengungkapan emosi (afek tumpul), tidak mampu merasakan kesenangan (anhedonia)

(Dyah Hastuti, 2009).

Untuk membahas pandangan hukum Islam mengenai Skizofrenia, maka mesti

membahas dulu tentang Mukallaf. Mukallaf secara bahasa adalah orang yang

Page 5: BAB III Revisi Rahmat Fix

mendapat perintah yang mengandung kesulitan (masyaqqah). Dengan kata lain

Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi

larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Dari sisi

implementasi hukum seorang Mukallaf, dikenakan hukuman bila orang tersebut

tidak menjalankan kewajibannya (Rohayana, 2008).

Sanksi akan digugurkan dari mukallaf disebabkan alasan-alasan berikut:

1. Kehendaknya hilang karena dipaksa dengan paksaan yang mematikan atau yang

setara hukumnya.

2. Jika lupa dan benar-benar tidak ingat akan kewajibannya.

3. Jika perbuatan itu dilakukan dalam cakupan wilayah kekeliruan (khatha’)—tidak

disengaja—bukan karena kehendak (Rohayana, 2008).

Hal itu didasarkan pada sabda Rasul saw.:

عليه استكرهوا ما و سيان الن و الخطأ أمتي عن رفع

Artinya : ”Diangkat (sanksi) dari umatku karena kekeliruan, lupa dan dipaksa” (HR.

Thabarani, Daruquthni dan Hakim).

Hukum atas mukallaf dari sisi pelaksanaan perbuatan itu secara langsung

digugurkan dari anak yang belum balig, orang yang gila dan orang yang tidur lelap

hingga ia bangun. Ini di dasarkan pada sabda Rasul saw.:

: يفيق ى حت المجنون و يستيقظ، ى حت ائم الن و يبلغ، ى حت الصبي ثالث عن القلم رفع

Artinya : ”Pena (taklif hukum) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia

balig; dari orang tidur hingga ia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras” (HR

Abu Dawud).

Page 6: BAB III Revisi Rahmat Fix

Dari uraian diatas, maka pasien Skizofrenia tidak termasuk Mukallaf. Karena

perbuatan yang dilakukan oleh para pasien Skizofrenia tersebut dilakukan dalam

keadaan hilang akal dikarenakan kondisi penyakitnya.

Bilamana terdapat seseorang yang mengidap Skizofrenia melakukan suatu

tindak pidana atau kejahatan, orang tersebut juga tidak dapat dihukum. Menurut R.

Soesilo sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat

dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:

a.    Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di

sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang

dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, buta-tuli, dan

bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit,

tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai

kanak-kanak.

b.    Sakit berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini

misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita),

epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya (Soesilo,1991)

Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang  Pasal 44 ayat (1) KUHP yang

berbunyi “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau

sakit berubah akal.” Pasal 44 ayat (2) KUHP juga menyebutkan bahwa “Jika nyata

perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna

akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan

dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.” (Soesilo,1991)

Page 7: BAB III Revisi Rahmat Fix

Dalam hukum acara pidana, hakim berkewajiban untuk memperoleh bukti

yang cukup untk mampu membuktikan dengan apa yang dituduhkan kepada pelaku

jarimah. Oleh karena itu, sebelum menjatuhkan putusan bagi sanksi pelaku diharuskan

adanya pembuktian terlebih dahulu bahwa pelaku benar-benar bersalah atau tidak.

Pembuktian adalah suatu proses mempergunakan atau mengajukan alat-alat bukti guna

memberikan kecukupan putusan hakim yang benar dan adil. Alat bukti terdiri

beberapa macam. Di antaranya ada yang disepakati oleh mazhab-mazhab dan

sebagiannya lagi masih diperselisihkan. Di dalam kitab-kitab hukum Islam (fiqh)

kebanyakan para ahli hukum Islam menyebut alat bukti dengan Al-Bayyinah yang

berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang

hak (benar) (Rasyid, 2001)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat

digunakan di hadapan hakim. Namun tidak semuanya diterima oleh ahli fiqih. Adapun

alat bukti yang disepakati oleh ulama fiqih adalah sebagai berikut (Rasyid, 2001) :

a).     Iqrar  (Pengakuan)

Pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara’

adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui

kebenaran tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :

Page 8: BAB III Revisi Rahmat Fix

”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karna Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bpak dan kaum kerabatmu ...” (QS. an-Nisa : 135)

Ayat diatas menjelaskan penyaksian seorang atas dirinya sendiri ditafsirkan

sebagai suatu pengakuan atas perbuatan yang dilakukannya. Para ulama sepakat

tentang keabsahan pengakuan, karena pengakuan merupakan suatu pernyataan yang

dapat menghilangkan keraguan dari orang yang menyatakan pengakuan tersebut.

Alasan lain adalah bahwa seorang yang berakal sehat tidak akan melakukan

kebohongan yang akibatnya dapat merugikan dirinya (Rasyid, 2001).

b).      Syahadah (Kesaksian)

Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian persaksian adalah suatu

pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan

lafadz-lafadz syahadat didepan pengadilan. Pengakuan saksi sebagai alat pembuktian

untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karena persaksian

merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkap suatu jarimah

(Dahlan, 1996)

Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti tersebut disebutkan dalam

firman Allah SWT :

Artinya :“... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...”( QS. Ath-Thallaq : 2)

Page 9: BAB III Revisi Rahmat Fix

3)      Qasamah (Sumpah)

Qasamah dalam arti bahasa adalah al-yamin yang artinya sumpah. Menurut

istilah, qasamah didefinisikan sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan)

pembunuhan. Abu Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili juga membuat definisi dengan

menyatakan bahwa qasamah menurut istilah fuqaha adalah sumpah yang diulang-

ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si

pembunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh

tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan. Disyari’atkan

dalam rangka memelihara jiwa, sehingga dalam keadaan bagaimanapun pembunuhan

itu harus tetap diselesaikan, dibuktikan dan ditetapkan hukumannya. Dengan

demikian, qasamah merupakan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan suatu kasus

pembunuhan, dimana tidak terdapat bukti berupa saksi atau pengakuan (Dahlan, 1996)

4)      Qarinah

Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak

pidana pembunuhan dan penganiayaan. Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili

adalah sebagai berikut: qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas menyerai

sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjuk kepadanya (Dahlan, 1996).

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus

dipenuhi dua hal, yaitu:

a. Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan

dasar dan pegangan

Page 10: BAB III Revisi Rahmat Fix

b. Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan

yang jelas (zhahir) dan yamng samar (khafi) (Dahlan, 1996).

Dalam jarimah qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka

ihtiath (hati-hati) guna menyelesaikan kasus pembunuhan, dengan berpegang kepada

adanya korban ditempat tersangka menurut Hanafiyah, atau berpegang dengan adanya

lauts (petunjuk) menurut jumhur ulama’. Salah satu contoh kasus yang kemudian

menjadi petunjuk (qarina) adalah terdapatnya tersangka didekat kepala korban, badan

dan tangannya memegang pisau yang terhunus, serta badannya berlumuran darah.

Adanya tersangka didekat jasad korban dengan pisau terhunus dan badan serta pakaian

yang berlumuran darah merupakan petunjuk (qarinah) bahwa dialah orang yang

membunuh korban. Demikian pula ditemukanya korban di tempat (wilayah) tersangka

merupakan qarinah bahwa pembunuhan dilakukan oleh penduduk diwilayah tersebut

(Rasyid, 2001).

5. Alat Bukti Surat

Alat bukti surat atau tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda

bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Al-Qur’an telah

memerintahkan orang beriman untuk menuliskan transaksi yang terjadi di antara

manusia, sebagaimana termuat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282, firman Allah SWT :

Page 11: BAB III Revisi Rahmat Fix

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorangpenulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis engganmenuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, danhendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya....” (Q.S. Al-Baqarah : 282)

Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk

tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di antara manusia. Karena itu

sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti

(Rasyid, 2001).

6. Alat Bukti Keterangan Ahli

Bantuan dari orang ketiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk

memperoleh kejelasan objektif bagi hakim atas suatu peristiwa yang dipersengketakan

dalam suatu perkara, disebut “keterangan ahli” atau ada juga yang menyebutnya

dengan “saksi ahli”.Jika hakim menggunakan saksi ahli dalam pengusutan masalah

persidangan dan kemudian hakim setuju dengan pendapat ahli tersebut, maka pendapat

ahli itu diambil oper oleh hakim dan dianggap sebagai pendapatnya sendiri untuk

dapat dijadikan dasar pemutus (Dahlan, 1996).

Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni

berdasarkan pemahamannya secara langsung pada peristiwa tersebut. Dengan

demikian dapat diketahui bahwa salah satu syarat kesaksian adalah telah

mengetahui. (Ishak, 2014)

Page 12: BAB III Revisi Rahmat Fix

Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:

Artinya : “Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah.

Namun, jika tidak maka tinggalkanlah “ (H.R. Baihaqi dan Hakim).

Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa dalam pemeriksaan post

mortem untuk kepentingan peradilan dan sebagainya dibutuhkan alat-alat bukti yang

dianggap sah dalam syariat Islam. Dalam perihal alat bukti surat, bisa didapatkan

keterangan tertulis keterangan tertulis dari pihak berwajib mengenai jenazah.

Mengenai alat bukti saksi ahli, bisa dengan mendapatkan keterangan dari ahli

kedokteran Forensik. Serta mengenai alat bukti Qarinah, dapat melihat tanda-tanda

saat penemuan jenazah dan kondisi saat kematian dari pemeriksaan pihak berwajib.

Semua ini dilakukan untuk mendapatkan kejelasan yang akurat demi kepentingan

semua pihak dari pemeriksaan post mortem tersebut.

III.2. Pandangan Islam tentang pemeriksaan jenazah post mortem

Sejak lahir, umat manusia tidak dapat luput dari adanya musibah penyakit.

Penyakit ini berbagai macam, baik dari dalam tubuh atau pun dari luar tubuh manusia.

Penyakit ini dapat berakibat fatal sehingga menyebabkan hilangnya nyawa manusia.

Tapi tidak jarang juga kita jumpai penyebab dari penyakit yang mendasari kematian

tersebut tidak jelas, dikarenakan berbagai macam kondisi.

Berkembangnya ilmu kedokteran dan teknologi jaman sekarang

memungkinkan umat manusia untuk melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak

Page 13: BAB III Revisi Rahmat Fix

bisa dilakukan. Salah satu nya adalah teknik pemeriksaan jenazah. Metode yang bisa

dilakukan untuk pemeriksaan jenazah tersebut pun bermacam-macam, tergantung jenis

pemeriksaan yang dibutuhkan.

Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan

jenazah atau post mortem adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat

yang dilakukan oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau

kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian mayat.

Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan pemeriksaan mayat yang

digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan atau mencari penyebab

kematiannya dapat dengan menggunakan teori Qawa’id al-Fiqhiyah berikut :

a.      Kaidah Pertama

العام الضرر الجل الضرر يتحمل

Artinya : “kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan

yang bersifat umum” (Hasan, 1997).

Berdasarkan kaidah di atas, kemadharatan yang bersifat khusus boleh

dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah tindakan

pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan

publik atau mendatangkan mudaharat. Untuk menyelamatkan masyarakat dari

rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum

sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang

dilakukanya harus diperkuat agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam

proses pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan melakukan

pemeriksaan atau membedah mayat korban.

Page 14: BAB III Revisi Rahmat Fix

Didalam hukum Islam suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk

menjamin keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan

daripada orang yang sudah mati.

b.   Kaidah Kedua

المحظورات تبيح الضرورات

Artinya : “Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang” (Hasan, 1997).

Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan

sesuatu yang semula diharamkan. Berangkat dari fenomena di atas, maka pemeriksaan

jenaah sangat penting kedudukannya sebagai metode bantu pengungkapan kematian

yang diduga karena tindak pidana. Dengan melaksanakan pemeriksaan jenazah maka

dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab kematian, cara kematian, dan

saat kematian korban.

c.    Kaidah Ketiga

الحاجة مع والكراهة الضرورات مع الحرام

Artinya: “Tiada keharaman dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam

kondisi hajat” (Hasan, 1997).

Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi

darurat, seperti halnya tidak adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika

pemeriksaan jenazah (post mortem) di atas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat,

artinya satu-satunya cara membuktikan, maka pemeriksaan jenazah itu sudah

menempati level darurat, dan karena itu status hukumnya dibolehkan.

Page 15: BAB III Revisi Rahmat Fix

d.   Kaidah Keempat

الضرورة منزلة تنزل الحاجة

Artinya: “Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat” (Hasan, 1997).

Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya.

Maka kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun

hajat yang bersifat perorangan.

Pemeriksaan jenazanh yang dilaksanakan guna menyelamatkan manusia,

pendidikan dan penegakan hukum diperbolehkan dalam Islam, sepanjang hal itu tidak

melewati batas dan guna kemaslahatan manusia sebagai makhluk hidup

III.3. Pandangan Islam tentang Pemeriksaan MRI post mortem pasien

Skizofrenia

Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk

menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari

tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan

baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum

bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam nash tidak ditemukan

keterangan yang jelas tentang hukum melakukan pemeriksaan mayat, sebab

pemeriksaan jenazah seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu.

Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai

hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan

sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah

atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek yang dilakukan

Page 16: BAB III Revisi Rahmat Fix

oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup dengan teori-teori

yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka langsung diperlihatkan

berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah satu cara yang

telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah otopsi atau pemeriksaan jenazah sebagai

salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam mengetahui struktur

anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam penyakit yang terdapat

dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia tersebut

yang nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat bukti dan demi

majunya ilmu kedokteran.

Oleh karena itu pemeriksaan MRI post mortem pasien Skizofrenia merupakan

hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan

gambaran langsung dan nyata.

Dalam tinjauan Qawaid Fiqhiyah, status hukum pemeriksaan MRI post

mortem untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran pada pasien Skizofrenia dapat

ditentukan dengan menggunakan kaidah-kaidah berikut :

a.    Kaidah Pertama

الواجب فهو االبه الواجب مااليتم

Artinya: “Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu

hal, maka hal tersebut juga wajib” (Hasan, 1997).

Melalui kaidah pertama ini, dapat dipahami bahwa sebuah kewajiban yang

tidak sempurna pelaksanaanya tanpa adanya dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut

hukumnya wajib pula. Dalam kasus di atas, apabila seorang dokter tidak akan bisa

menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk

Page 17: BAB III Revisi Rahmat Fix

anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia

harus memahami seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan

melakukan pemeriksaan MRI terhadap mayat.

b.   Kaidah Kedua

صد المقا حكم للوسائل

Artinya: “Sebuah sarana sama hukumnya dengan tujuan”(Hasan, 1997).

Melalui kaidah ini dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana hukumnya sama

dengan tujuan. Misalnya agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara

kesehatan, maka mempelajari ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula.

Konsekuensi lanjutanya adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut

ilmu kesehatan, termasuk sarana pratikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia

melalui pemeriksaan seperti MRI.

Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pemeriksaan MRI

post mortem untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran pada pasien Skizofrenia

dapat dipahami melalui tinjauan Qawaid Fiqhiyah, dimana seorang dokter tidak akan

bisa menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk beluk

anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia

harus memahami seluk-beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan

melakukan pemeriksaan MRI terhadap mayat.