bab i, ii, iii-revisi

17
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini industri tekstil telah berkembang pesat. Selain menimbulkan dampak positif, perkembangan industri tekstil juga menimbulkan dampak negatif. Satu diantara dampak negatif itu disebabkan oleh limbah sisa pewarnaan yang dibuang begitu saja tanpa pengolahan yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu zat warna tekstil yang digunakan pada proses pencelupan adalah congo red. Zat warna ini sering digunakan karena dapat terikat kuat pada kain dan tidak mudah luntur. Zat warna congo red merupakan zat warna senyawa organik diazo yang non- biodegradable. Nama IUPAC dari congo red adalah Natrium benzidindiazo- bis-1-naftilamin-4-sulfonat. Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi pada permukaan. Zat yang diserap disebut adsorbat sedangkan zat yang menyerap disebut adsorben. Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi, yaitu adsorpsi fisik atau adsorpsi Van der Walls dan adsorpsi kimia atau adsorpsi teraktifasi (Oscik, 1982 dalam dewi). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendegradasi senyawa organik dalam limbah cair industri tekstil. Manurung dkk, (2004) menyatakan bahwa limbah cair organik dapat diolah melalui teknologi biologi menggunakan mikroba. Akan tetapi, sulitnya memilih mikroorganisme yang selektif serta sifat zat warna yang mempunyai ketahanan terhadap degradasi biologi menyebabkan metode ini kurang efektif. Selain dengan teknologi biologi, pengolahan limbah juga dilakukan melalui koagulasi. Koagulasi ini memiliki kekurangan karena menghasilkan lumpur (sludge) dalam jumlah relatif besar. Teknologi fisika telah digunakan untuk pengolahan limbah organik yaitu dengan proses adsorpsi karbon aktif. Proses ini tidak dapat menguraikan limbah organik sehingga limbah masih tetap tertinggal pada bentuk awalnya (Manurung dkk, 2004).

Upload: gawang-pamungkas

Post on 30-Jul-2015

401 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I, II, III-revisi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini industri tekstil telah berkembang pesat. Selain

menimbulkan dampak positif, perkembangan industri tekstil juga

menimbulkan dampak negatif. Satu diantara dampak negatif itu disebabkan

oleh limbah sisa pewarnaan yang dibuang begitu saja tanpa pengolahan yang

menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu zat warna tekstil yang

digunakan pada proses pencelupan adalah congo red. Zat warna ini sering

digunakan karena dapat terikat kuat pada kain dan tidak mudah luntur. Zat

warna congo red merupakan zat warna senyawa organik diazo yang non-

biodegradable. Nama IUPAC dari congo red adalah Natrium benzidindiazo-

bis-1-naftilamin-4-sulfonat.

Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari

suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan

konsentrasi pada permukaan. Zat yang diserap disebut adsorbat sedangkan zat

yang menyerap disebut adsorben. Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi,

yaitu adsorpsi fisik atau adsorpsi Van der Walls dan adsorpsi kimia atau

adsorpsi teraktifasi (Oscik, 1982 dalam dewi).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendegradasi senyawa

organik dalam limbah cair industri tekstil. Manurung dkk, (2004) menyatakan

bahwa limbah cair organik dapat diolah melalui teknologi biologi

menggunakan mikroba. Akan tetapi, sulitnya memilih mikroorganisme yang

selektif serta sifat zat warna yang mempunyai ketahanan terhadap degradasi

biologi menyebabkan metode ini kurang efektif. Selain dengan teknologi

biologi, pengolahan limbah juga dilakukan melalui koagulasi. Koagulasi ini

memiliki kekurangan karena menghasilkan lumpur (sludge) dalam jumlah

relatif besar. Teknologi fisika telah digunakan untuk pengolahan limbah

organik yaitu dengan proses adsorpsi karbon aktif. Proses ini tidak dapat

menguraikan limbah organik sehingga limbah masih tetap tertinggal pada

bentuk awalnya (Manurung dkk, 2004).

Page 2: BAB I, II, III-revisi

2

Selulose seperti jerami, dan serbuk kayu dapat digunakan untuk

menyerap zat warna (Sutarso, 1998 dalam Diah Rahmawati ). Dari penelitian

diketahui bahwa enceng gondok terdiri dari sel-sel tanaman berupa serat yang

mengandung selulose. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi.

Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air

lainnya, sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma karena dapat merusak

lingkungan perairan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan memanfaatkan

enceng gondok untuk menyerap zat warna tekstil yaitu natrium benzidindiazo-

bis-1-naftilamin-4-sulfonat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok)

terhadap natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada limbah

zat warna tekstil yang teradsorpsi?

2. Bagaimana rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok dengan

serbuk enceng gondok pada limbah zat warna tekstil?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok)

terhadap adsorpsi natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada

limbah tekstil

2. Untuk mengetahui rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok

dengan serbuk enceng gondok pada limbah zat warna tekstil

1.4 Manfaat Penelitian

1. Mengurangi dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh

limbah zat warna tekstil congo red (natrium benzidindiazo-bis-1-

naftilamin-4-sulfonat)

2. Meningkatkan kualitas lingkungan di sekitar pabrik tekstil

Page 3: BAB I, II, III-revisi

3

1.5 Definisi Operasional, Asumsi, dan Batasan Masalah

a. Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya salah pengertian maka beberapa istilah

dalam penelitian ini perlu didefinisikan sebagai berikut:

1. Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari

suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan

konsentrasi pada permukaan.

2. Natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat (Congo red) adalah

suatu turunan asam azonaftalen dengan rumus molekul

C32H22N6Na2O6S2 yang terdapat pada limbah zat warna tekstil

3. Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan herba yang

mengapung, kadang-kadang berarak dalam tanah, menghasilkan tunas

merayap yang keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi menjadi

tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m. Kadar O2 yang terlarut dalam

air pada konsentrasi 3,5 – 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan

enceng gondok dapat berjalan dengan cepat (Moenandir,1990).

4. Arang eceng gondok merupakan partikel serbuk eceng gondok yang

telah melalui proses karbonisasi dan terbentuk pori-pori baru.

b. Asumsi

Untuk menghindari adanya kemungkinan hasil penelitian yang bias

maka perlu diasumsikan hal-hal sebagai berikut:

1. Sampel berupa tanaman enceng gondok (Eichornia crossipe) yang

diteliti mempunyai umur dan kondisi lingkungan yang sama.

2. Selama proses pengumpulan, pengeringan, dan penyimpanan

sampel dianggap tidak terkontaminasi oleh tumbuhnya jamur yang

dapat mengakibatkan proses biotransformasi pada senyawa

metabolit sekunder yang dikandungnya.

3. Limbah zat warna tekstil yang diambil pada kondisi lingkungan

dan waktu yang sama.

Page 4: BAB I, II, III-revisi

4

c. Batasan Masalah

Peneliti membatasi masalah yang ada dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Sampel berupa tanaman enceng gondok (Eichornia crossipe) yang

diperoleh dari daerah Dinoyo, Lamongan.

2. Limbah zat warna tekstil yang diambil berasal dari Maduran,

Lamongan.

Page 5: BAB I, II, III-revisi

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Enceng Gondok (Eichornia crossipe)

Enceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun

Raya Bogor pada tahun 1894, yang akhirnya berkembang di Sungai

Ciliwung sebagai tanaman pengganggu (Brij dan Sarma, 1981 dalam

Krystiyanti). Klasifikasi enceng gondok secara umum adalah (Moenandir,

1990 dalam Krystiyanti):

Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan herba yang

mengapung, kadang-kadang berarak dalam tanah, menghasilkan tunas

merayap yang keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi menjadi

tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m. Kadar O2 yang terlarut dalam air

pada konsentrasi 3,5 – 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan enceng

gondok dapat berjalan dengan cepat (Moenandir,1990 dalam Krystiyanti).

Page 6: BAB I, II, III-revisi

6

Gambar 1.1 Tumbuhan Enceng Gondok

Muramoto dan Oki dalam (Soedibyo, 1989 dalam Krystiyanti)

menjelaskan bahwa, enceng gondok dapat digunakan untuk

menghilangkan polutan karena fungsinya sebagai sistem filtrasi biologis,

menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti

cuprum, aurum, cobalt, strontium, merkuri, timah, cadmium dan nikel.

Winarno menyebutkan bahwa hasil analisis kimia dari enceng gondok

dalam keadaan segar diperoleh bahan organik 36,59%, C organik 21,23%

N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016% (Supriyanto dan

Muladi, 1999).

2.2 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan proses bergeraknya suatu komponen dari suatu

fasa menuju permukaan fasa yang lain sehingga terjadi perubahan

konsentrasi pada permukaan. Pada proses adsorpsi, adsorben merupakan

zat yang mempunyai sifat mengikat molekul pada permukaannya. Sifat ini

menonjol pada permukaan berpori (Dewi, 2006). Adsorpsi terjadi pada

permukaan zat padat dan disebabkan oleh gaya valensi (valence force) atau

gaya tarik menarik (attractive forces) dari atom atau molekul pada lapisan

paling luar dari zat padat tersebut (Respati, 1992 dalam Dewi ).

Adsorpsi senyawa terlarut oleh adsorben berlangsung terus menerus

dan berhenti pada saat sistem mencapai kesetimbangan, yaitu

kesetimbangan antara konsentrasi yang tinggal dalam larutan dengan

konsentrasi yang diadsorpsi oleh adsorben. Adsorben yang baik umumnya

mempunyai luas permukaan yang besar tiap unit partikelnya, berpori, aktif

dan murni, tidak bereaksi dengan adsorbat (Kirk and Othmer, 1981, dalam

Page 7: BAB I, II, III-revisi

7

Dewi).

Proses adsorpsi terjadi pada konsentrasi selektif dari satu atau lebih

komponen (adsorbat) dari fasa gas atau cairan pada permukaan pori-pori

zat padat (adsorben). Adsorbat dapat diserap kembali dengan menaikkan

temperature adsorben atau mereduksi tekanan parsial adsorbat (Rousseau,

1987, dalam Dewi).

2.2.1 Adsorpsi Fisika dan Kimia

Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan

adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang disebabkan oleh

interaksi antara adsorben dengan adsorbat pada permukaan karena

adanya gaya Van der Waals (Oscik and Cooper, 1991, dalam Dewi).

Adsorpsi ini berlangsung sangat cepat karena adsorbat tidak terikat

dengan kuat pada permukaan adsorben sehingga dapat bergerak dari

satu bagian adsorben ke bagian yang lain. Sifat adsorpsinya adalah

reversible, yaitu dapat balik atau dilepaskan kembali ke dalam larutan

dengan adanya penurunan konsentrasi larutan dengan panas reaksi 5 –

19 kkal/mol (Parker, 1984, dalam Dewi).

Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang melibatkan ikatan kovalen

sebagai hasil pemakaian bersama elektron oleh adsorben dan adsorbat

yang membutuhkan panas adsorpsi 20 – 100 kkal/mol. Adsorpsi kimia

berkaitan dengan pembentukan ikatan kimia yang melibatkan adsorben

dan permukaan zat yang diserap (Oscik and Cooper, 1991, dalam

Dewi). Adsorpsi ini biasanya tidak reversible dan adsorben harus

dipanaskan pada temperatur tinggi untuk memisahkan adsorbat (Dewi,

2006).

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi

Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

(Sawyer andMc Carty, 1987) dalam Dewi):

1. Sifat dan jenis adsorben

Sifat adsorben, seperti kemurnian adsorben dan luas

permukaannya. Kemurnian adsorben dapat ditingkatkan melalui

Page 8: BAB I, II, III-revisi

8

proses aktifasi. Makin besar luas permukaan, makin besar pula

adsorpsi yang terjadi. Kemampuan adsorben untuk terikat pada

adsorbat sangat bergantung pada jenis adsorben dan adsorbat yang

bereaksi. Jenis adsorben menyangkut cirri khas dari suatu adsorben

untuk menyerap adsorbat, apabila adsorbennya berupa tanah,

mineral yang terkandung dalam tanah tersebut yang menentukan

proses adsorpsi (Kusuma, 2002, dalam Dewi).

2. Temperatur

Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh

karena itu adsorpsi akan besar jika terjadi pada suhu rendah.

3. Sifat adsorbat

Jumlah yang teradsorpsi tergantung pada kelarutannya dalam

pelarut. Kenaikan kelarutan menunjukkan ikatan yang kuat antara

zat terlarut dengan pelarut dan aksi yang sebaliknya terhadap

adsorpsi oleh adsorben. Besarnya kelarutan, maka ikatan antara zat

terlarut dengan pelarut makin kuat sehingga adsorpsi akan makin

kecil karena sebelum adsorpsi terjadi diperlukan energi yang besar

untuk memecah ikatan zat terlarut dengan pelarut.

4. pH larutan

Pada umumnya adsorpsi bertambah pada kisaran pH dimana

suatu senyawa bermuatan netral, karena senyawa yang tidak

terionisasi akan lebih mudah diserap dari pada senyawa yang

terionisasi.

5. Waktu kontak

Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai

kesetimbangan adsorpsi, jika fase cair yang berisi adsorben diam

maka difusi adsorbat melalui permukaan adsorben akan lambat,

oleh karena itu diperlukan pengocokan untuk mempercepat proses

Page 9: BAB I, II, III-revisi

9

adsorpsi.

6. Konsentrasi adsorbat

Pada umumnya akan meningkat seiring dengan kenaikan

konsentrasi adsorbat tetapi tidak berbanding langsung. Adsorpsi

akan konstan jika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi

adsorbat yang diserap dengan konsentrasi yang tersisa dalam

larutan. Kapasitas adsorpsi ditentukan dengan adanya pengaruh

dari konsentrasi adsorbat. Penentuan kapasitas adsorpsi dapat

dihitung berdasarkan mol per gram adsorben dengan menggunakan

persamaan (Moret, 2005, dalam dewi):

2.3 Natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat

Congo red adalah suatu turunan asam azonaftalen dengan rumus

molekul C32H22N6Na2O6S2. Nama IUPAC dari congo red adalah natrium

benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat. Congo red dalam air

membentuk koloid berwarna merah. Kelarutan congo red sangat baik pada

pelarut organik seperti etanol. Senyawa ini memiliki berat molekul 696,67

g/mol (O’Neil, 2001).

Page 10: BAB I, II, III-revisi

10

SO3Na

NH2

N N

SO3Na

NH2

NN

Congo red biasanya digunakan dalam industri kain katun dan industri

kertas. Pada beberapa kasus, congo red dapat menyebabkan alergi, seperti

anaphylactic shock. Selain itu, senyawa benzidin berwarna ini diduga

dapat menyebabkan kanker pada manusia. Pada pH 3,0-5,2, congo red

mengalami perubahan warna dari biru menjadi merah sehingga dapat

digunakan sebagai indikator pH. (O’Neil, 2001). Congo red dapat

diidentifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan memberikan

warna merah. Spektra congo red menunjukkan pada puncak sekitar 498

nm (O’Neil, 2001).

Gambar 1.2 Struktur kimia congo red

Page 11: BAB I, II, III-revisi

11

2.4 Kerangka Konseptual Penelitian

Fakta :

1. Belum ada penelitian untuk mengkaji tentang

penggunaan arang enceng gondok (Eichornia

crossipe) sebagai adsorben Natrium benzidindiazo-

bis-1-naftilamin-4-sulfonat (congo red) pada

limbah zat warna tekstil

2. Enceng gondok yang melimpah di daerah Dinoyo,

Lamongan kurang termanfaatkan secara maksimal

3. Pada beberapa kasus, congo red dapat

menyebabkan alergi, seperti anaphylactic shock.

4. Senyawa benzidin yang berwarna menyebabkan

kanker pada manusia

Harapan :

Dapat mengurangi dampak pencemaran

lingkungan yang diakibatkan oleh limbah zat

warna tekstil congo red (natrium

benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat)

Rumusan Masalah :

1. Bagaimana pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok) terhadap natrium

benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada limbah zat warna tekstil yang teradsorpsi?

2. Bagaimana rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok dengan serbuk enceng gondok

pada limbah zat warna tekstil?

Page 12: BAB I, II, III-revisi

12

Teori :

1. Adsorpsi merupakan proses bergeraknya suatu

komponen dari suatu fasa menuju permukaan fasa

yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi

pada permukaan

2. Natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat

(Congo red) adalah suatu turunan asam azonaftalen

dengan rumus molekul C32H22N6Na2O6S2 yang

terdapat pada limbah zat warna tekstil

3. Arang eceng gondok merupakan partikel serbuk

eceng gondok yang telah melalui proses karbonisasi

dan terbentuk pori-pori baru.

4. Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan

herba yang mengapung, kadang-kadang berarak

dalam tanah, menghasilkan tunas merayap yang

keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi

menjadi tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m.

Kadar O2 yang terlarut dalam air pada konsentrasi

3,5 – 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan

enceng gondok dapat berjalan dengan cepat

(Moenandir,1990).

5.

Penelitian terdahulu :

1. Dewi Erina Sawitri, Tri Sutrisno,

dan Andri Cahyo Kumoro.

Adsorpsi khrom (VI) dari limbah

cair industri pelapisan logam

dengan arang eceng gondok

(Eichornia crossipes). Semarang:

Universitas Diponegoro.

2. Fitria rahmawati, Pranoto, dan N.

Ita Aryunani. Adsospsi zat warna

tekstil remazol yellow FG pada

limbah batik oleh enceng gondok

dengan aktivator NaOH. UNS

3. Mochamad Chalid Al Ayubi.

2007. Studi keseimbangan

adsorpsi merkuri(ii) pada

biomassa daun enceng gondok

(eichhornia crassipes). Skripsi.

Universitas Islam Negeri Malang.

ADSORPSI NATRIUM BENZIDINDIAZO-BIS-1-NAFTILAMIN-4-SULFONAT

DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL DENGAN ARANG ECENG GONDOK

(Eichornia crossipes)

Gambar 1.3 Kerangka konseptual penelitian

Page 13: BAB I, II, III-revisi

13

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium kimia anorganik dan laboratorium

penelitian Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Negeri Surabaya. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan

bulan Juli 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Alat :

Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi; gelas piala, pengaduk

bermagnet, corong, gelas pengaduk, gelas ukur, timbangan, kertas saring, SEM,

XRD, dan UV-VIS

Bahan :

Bahan-bahan penelitian yang digunakan antara lain; arang eceng gondok yang

di peroleh dari Sungai di daerah Dinoyo, Lamongan sebagai adsorbent, limbah

cair industri tekstil yang diperoleh dari Industri Batik Maduran, Lamongan dan

akuades.

3.3 Prosedur Penelitian

1. Pembuatan larutan induk congo red 1000 ppm

Sejumlah 1,0000 g congo red ditimbang dalam gelas beker dan

dilarutkan dengan akuadem, kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke

dalam labu ukur 1000 mL serta ditambahkan akuadem sampai tanda batas.

2. Pembuatan larutan standar congo red

Sebanyak 0,50; 1,00; 1,50; 2,00 dan 2,50 mL diambil dari larutan

induk congo red 1000 ppm dengan menggunakan buret. Masing-masing

Page 14: BAB I, II, III-revisi

14

volume tersebut dimasukkan dalam 5 buah labu ukur 100 mL dan ditambahkan

akuadem sampai tanda batas sehingga diperoleh larutan standar congo red

dengan konsentrasi berturut-turut 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm.

3. Pembuatan larutan sampel congo red

Larutan induk congo red 1000 ppm diambil sebanyak 12,50 mL

menggunakan buret, kemudian dimasukkan dalam labu ukur 500 mL dan

ditambahkan akuadem sampai tanda batas. Sehingga diperoleh larutan sampel

congo red dengan konsentrasi 25 ppm.

4. Penentuan panjang gelombang maksimum congo red

Larutan congo red dengan konsentrasi 25 ppm diukur absorbansinya

dengan alat spektrofotometer UV-Vis untuk mendapatkan panjang gelombang

maksimum dari larutan congo red. Panjang gelombang maksimum diperoleh

dari absorbansi tertinggi dari pembacaan alat pada larutan congo red.

Dilakukan blanko dengan akuadem pada spktrofotometer UV-Vis sebelum

dilakukan pengukuran sampel.

5. Pembuatan kurva standar congo red

Kurva standar congo red diperoleh dari pengukuran absorbansi larutan

standar congo red dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. Pada masing-

masing konsentrasi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-

Vis pada panjang gelombang maksimum. Pengukuran tersebut diperoleh data

absorbansi dari masing-masing larutan standar. Sehingga dapat dibuat kurva

standar hubungan antara absorbansi terhadap konsentrasi yang kemudian

ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Persamaan regresi linier secara

umum: y = a + bx , dengan sumbu y sebagai absorbansinya dan sumbu x

sebagai konsentrasi congo red (ppm).

6. Perlakuan awal Eceng gondok

Tanaman eceng gondok diletakkan di tempat yang bersih dan terbuka dan

dikeringkan dibawah terik sinar matahari. Setelah benar-benar kering eceng

gondok dihancurkan dengan menggunakan blender sampai menjadi serbuk.

Sebagian eceng gondok kering dibakar dan diambil arangnya untuk digunakan

sebagai adsorbent.

Page 15: BAB I, II, III-revisi

15

7. Proses adsorpsi

Sebanyak 250 ml air limbah industri tekstil dimasukkan ke dalam gelas

piala, kemudian ditambahkan adsorbent sebanyak 5 gram ke dalamnya. Sistem

ini diaduk secara terus menerus agar selalu homogen. Selanjutnya, arang

enceng gondok diambil setelah dimasukkan 5 jam Langkah ini diulangi

dengan rasio adsorbent yang berbeda yaitu 10 gram, 15 gram, 20 gram, 25

gram, dan 30 gram

8. Karakterisasi Adsorben

Karakterisasi XRD digunakan untuk mencari informasi mengenai derajat

kemurnian, kristalisasi dan kisi kristal (Kwayke-Awuah, 2008, dalam Fitria).

SEM (Scanning Electron Microscopy) digunakan untuk analisis topografi,

morfologi, dan komposisi adsorben

3.4 Teknik analisis data

Teknik analisis statistika yang digunakan adalah korelasi sederhana

mengenai pengaruh rasio adsorbent terhadap adsorpsi Natrium benzidindiazo-bis-

1-naftilamin-4-sulfonat (congo red), sedangkan fase statistika yang digunakan

adalah statistika inferensial.

3.5 Rancangan anggaran biaya penelitian

Rincian Biaya

Pembelian Bahan Rp. 800.000

Analisis Sampel Rp. 1.900.000

Peralatan Laboratorium Rp. 200.000

Penulisan laporan Rp. 50.000

Lain-lain Rp. 50.000

Total Rp. 3.000.000

Page 16: BAB I, II, III-revisi

16

DAFTAR RUJUKAN

1. Chalid Al Ayubi, Mochamad. 2007. Studi keseimbangan adsorpsi merkuri (II)

pada biomassa daun enceng gondok (eichhornia crassipes). Skripsi. Universitas

Islam Negeri Malang

2. Dewi Erina Sawitri, Tri Sutrisno, dan Andri Cahyo Kumoro. 2006. Adsorpsi

khrom (VI) dari limbah cair industri pelapisan logam dengan arang eceng gondok

(Eichornia crossipes). Semarang: Universitas Diponegoro.

3. Diah Rahmawati, Ika. 2011. Degradasi Congo red secara fotokatalitik

menggunakan Besi(III)-Tiosianat berpendukung Titanium Silikat-1. Skripsi.

Surabaya: UNAIR Surabaya

4. Fitria rahmawati, Pranoto, dan N. Ita Aryunani (2008). Adsospsi zat warna tekstil

remazol yellow FG pada limbah batik oleh enceng gondok dengan aktivator

NaOH. UNS

5. Ho,Y.S. (2006), “Review of second-order models for adsorption systems”,

Journal of Hazardous Materials B136, Hal. 681–689

6. Johar, A. 2010. Degradasi congo red dengan [Cu(SCN)]+/H2O2 secara

fotokatalitik. Skripsi. UNAIR Surabaya

7. Krystiyanti, Kartika. 2008. Adsorpsi merkuri(II) oleh biomassa enceng gondok

(eichornia crassipes) yang diimmobilisasi pada matriks polisilikat menggunakan

metode kolom. Skripsi. Universitas Islam Negeri Malang

8. Manurung, R., Hasibuan, R,. Irvan, 2004, Perombakan Zat Warna Azo Reaktif

secara Anaerob-Aerob, Jurnal e-USU Repository, Fakultas Teknik Universitas

Sumatra Utara, Hal. 1-19

9. Mohanty, K., Mousam Jha, B.C. Meikap, M.N. Biswas, (2006), Biosorption of

Cr(VI) from aqueous solutions by Eichhornia crassipe. Chemical Engineering

Journal 117, Hal. 71–77

10. O’Neil, M.J., 2001, The Merck Index : An Encyclopedia of Chemical, Drugs, and

Biological, 13th

ed., Merck & Co. Inc., New York

11. Shankera et al, (2005), ”Chromium toxicity in plants. Environment International”,

31, Hal. 739– 753 Ho, Y.S. and McKay, G., (1998), “Pseudo-second order model

for sorption processes”, Process Biochemistry 34, Hal. 451–465

12. Widati, A. A., Prasetyoko, D.. 2009. Sintesis, Karakterisasi, dan Aplikasi TS-1

Mesoporus, Seminar Nasional Kimia, jurusan kimia Institut Teknologi Sepuluh

Nopember. Surabaya. ISBN 978-979-95845-9-5

Page 17: BAB I, II, III-revisi

17

13. Widiarti, Nuni dan Prasetyoko, Didik. (2007). Sintesis dan Karakterisasi Katalis

Cu/Ts-1. Laporan Penelitian. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya

14. Wijaya, K., Sugiharto, E., Fatimah, I., Sudiono, S., Kurniaysih, D.. 2006. Utilisai

TiO2-Zeolit dan Sinar UV untuk Fotodegradasi Zat Warna Congo Red. Jurnal

TEKNOIN, Vol. 11, No.3, Hal. 199-209