bab ii proposal revisi ii

31

Click here to load reader

Upload: aprilianiristia

Post on 24-Dec-2015

228 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

free

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Proposal Revisi II

BAB II

TINJAUAN TEORETIK, KERANGKA ANALISIS, DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Teoretis

1. Eksperimentasi

Ekperimentasi berasal dari kata dasar eksperimen. Dalam Kamus

Bahasa Indonesia (2008: 187) kata eksperimen mempunyai arti percobaan

yang bersistem dan berencana. Dalam istilah penelitian, eksperimen

merupakan kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh peneliti

untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada hubungannya dengan hipotesis.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa eksperimen adalah

Suatu percobaan yang terencana sehingga informasi yang berhubungan

dengan persoalan yang sedang diteliti dapat dikumpulkan. Eksperimen

digunakan untuk membuktikan kebenaran suatu teori.

2. Belajar

Belajar bukan menghafal dan bukan pula mengingat, belajar

sebenarnya merupakan kegiatan mental, yaitu proses penyesuaian susunan

yang telah ada pada otak seseorang, yang digoncangkan oleh masuknya

informasi baru. Kegiatan mental ini dipicu oleh kegiatan fisik seseorang

berinteraksi dengan sumber belajar yang memuat berbagai informasi.

Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada

diri seseorang (Nana Sudjana, 2008:28).

11

Page 2: BAB II Proposal Revisi II

12

Menurut Oemar Hamalik (2003 : 27) memberikan penjelasan tentang

pengertian belajar adalah (a) modifikasi atau memperteguh kelakuan

melalui pengalaman, (b) suatu proses perubahan tingkah laku individu

melalui interaksi dengan lingkungan. Sedangkan menurut Wina Sanjaya,

belajar adalah suatu aktivitas mental seseorang dalam berinteraksi dengan

lingkungannya, sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku yang

bersifat positif, baik perubahan dalam aspek pengetahuan, afeksi, maupun

psikomotorik.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses

perubahan pada diri seseorang salah satunya pada perubahan tingkah laku

yang bersifat positif. Dikatakan positif karena perubahan perilaku

disebabkan adanya penambahan dari perilaku sebelumnya yang cenderung

menetap.

Tujuan belajar perlu diketahui oleh siswa, agar siswa siap menerima

materi pelajaran, seperti apa yang dijelaskan Winarno Surachman

(1994:99) bahwa: “Tujuan itu penting anda ketahui terlebih dahulu, sebab

jika anda sudah mengetahui tujuan itu maka mental anda pun akan siap

menerima, mengolah dan mengatur semua mata pelajaran sesuai dengan

tujuan itu.”

Perubahan sebagai hasil proses belajar ditunjukkan dalam berbagai

bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah

lakunya. Pendapat tentang belajar juga diberikan yang mengemukakan

bahwa belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan persepsi dan

Page 3: BAB II Proposal Revisi II

13

perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan

masyarakat dan pribadi secara lengkap.

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam belajar meliputi ( Kokom Komalasari, 2011 : 3 ) :a. Prinsip Kesiapan, siap dalam mengonsentrasikan pikiran untuk belajar.b. Prinsip Asosiasi, keberhasilan belajar tergantung pada kemampuan

pelajar dalam mengasosiasikan atau menghubung-hubungkan. c. Prinsip Latihan, mempelajari sesuatu perlu berulang-ulang karena

makin sering diulang maka makin baik hasil belajarnya.d. Prinsip Efek (Akibat), perasaan senang atau tidaknya selama belajar.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proses

belajar mengandung prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip itu digunakan untuk

memperlancar jalannya belajar dan dapat memperoleh hasil yang baik.

Mulai dari tahap kesiapan, baik pikiran maupun kondisi fisik sampai tahap

efek (akibat) yang merupakan perasaan siswa senang atau tidaknya selama

belajar. Disamping itu, memperbanyak latihan juga perlu untuk menunjang

keberhasilan dalam belajar. Sehingga apa yang telah kita pelajari dapat

diselesaikan dengan baik dan benar.

3. Model Pembelajaran

Model Pembelajaran merupakan acuan pembelajaran yang secara

sistematis dilaksanakan berdasarkan pola-pola pembelajaran tertentu.

Model pembelajaran pada umumnya memiliki ciri-ciri yaitu memiliki

prosedur yang sistematis, hasil belajar diterapkan secara khusus, penetapan

lingkungan secara khusus, memiliki ukuran keberhasilan tertentu, dan

suatu model mengajar menetapkan cara yang memungkinkan siswa

melakukan interaksi dan bereaksi dengan lingkungan. Model pembelajaran

yang dilakukan oleh guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam

Page 4: BAB II Proposal Revisi II

14

mendukung keberhasilan pendidikan. Selain itu, model pembelajaran

harus dianggap sebagai kerangka kerja struktural yang juga dapat

digunakan sebagai pemandu untuk mengembangkan lingkungan dan

aktivitas belajar yang kondusif.

Menurut Joyce dan Weil, model pembelajaran adalah suatu rencana

atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum dan

pembelajaran jangka panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan

membimbing pembelajaran didalam atau luar kelas.

Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan. Artinya, para guru

boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk

mencapai tujuan pembelajaran.

4. Model Problem Based Learning (PBL)

Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bahasa inggrisnya

diistilahkan Problem-based learning (PBL) adalah metode mengajar

dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, proses dimana peserta didik

melaksanakan kerja kelompok, umpan balik, diskusi, yang dapat berfungsi

sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan dan laporan

akhir. Menurut Bern dan Erickson (2001:5) menegaskan bahwa

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) merupakan

strategi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah

dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai

disiplin ilmu. Dengan demikian peserta didik didorong untuk lebih aktif

Page 5: BAB II Proposal Revisi II

15

terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berpikir

kritis.

PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut

( Halimsimatupang. 2011. Pembelajaran-berbasis-masalah-problem.

Online ) :

(1) Belajar dimulai dengan suatu permasalahan,

(2) Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan

dunia nyata pebelajar,

(3) Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di

seputar disiplin ilmu,

(4) Memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam

mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,

(5) Menggunakan kelompok kecil, dan

(6) Menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka

pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).

Problem Based Learning (PBL)/ Model Pembelajaran Berbasis

Masalah mengorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah

yang penting secara sosial dan bermakna secara personal bagi siswa.

Masalah yang diinvestigasi dipilih karena solusinya menuntut siswa untuk

menggali banyak subjek. Investigasi autentik yang berusaha menemukan

solusi riil untuk masalah riil. Peserta didik harus menganalisis dan

menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat

prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan

Page 6: BAB II Proposal Revisi II

16

eksperimen (bilamana mungkin), membuat inferensi, dan menarik

kesimpulan. Hasil investigasi berbentuk produksi artefak dan exhibit dari

mengkonstruksi yang menjelaskan atau merepresentasikan solusi mereka.

Produk itu bisa berbentuk debat bohong-bohongan, bisa berbentuk laporan,

model fisik, video, atau program komputer. Artefak dan exhibit yang nanti

akan dideskripsikan, dirancang oleh siswa untuk mendemonstrasikan

kepada orang lain apa yang telah mereka pelajari dan memberikan

alternatif yang menyegarkan untuk makalah wajib atau ujian tradisional.

Kolaborasi atau kerja sama memberikan motivasi untuk keterlibatan

secara berkelanjutan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan

kesempatan untuk berdialog bersama, dan untuk mengembangkan berbagai

keterampilan sosial.

Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar

konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual

dengan pendekatan problem-based learning. Model tersebut memuat

komponen-komponen esensial yang meliputi:(1) pertanyaan-pertanyaan,

kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama

lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang

dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, (7) dukungan kontekstual/sosial.

Masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen

konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi

ruang permasalahan.

Page 7: BAB II Proposal Revisi II

17

Belajar dengan problem-based learning dapat mengembangkan

kemampuan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan

masalah sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-

hari. Belajar dengan pendekatan problem based-learning berangkat dari

permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan pemecahan

masalah secara matematis.

Pembelajaran dengan problem-based learning memuat langkah-

langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Dwiyogo

(2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang dilakukan

oleh pebelajar mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi

masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan

jawaban. Dari pernyataan yang telah diungkapkan dapat disimpulkan

bahwa proses pemecaham masalah mencangkup bagaimana dalam

memahami permasalahan yang ada, sehingga dapat menyusun rencana

atau cara untuk menyelesaikan dengan baik dan menyimpulkannya.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama

pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada

masalah atau pertanyaan yang autentik, multidisiplin, menuntut kerjasama

dalam penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran

berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran

untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan

memecahkan masalah.

Page 8: BAB II Proposal Revisi II

18

Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar

yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih

strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk

belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk

menyelesaikan belajarnya itu. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa

memahami konsep suatu materi dimulai dari belajar dan bekerja pada

situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) atau open ended yang

disajikan pada awal pembelajaran, sehingga siswa diberi kebebasan

berpikir dalam mencari solusi dari situasi masalah yang diberikan.

a. Menurut Arends (2009:401), sintaks PBL dan Perilaku Guru yang relevan sebagai berikut :

FASE-FASE PERILAKU GURU

Fase 1

Orientasi peserta didik

kepada masalah.

Menjelaskan tujuan pembelajaran,

menjelaskan logistik yg dibutuhkan.

Memotivasi peserta didik untuk

terlibat aktif dalam pemecahan

masalah yang dipilih.

Fase 2

Mengorganisasikan

peserta didik.

Membantu peserta didik mendefinisikan

danmengorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah tersebut.

Fase 3

Membimbing

penyelidikan individu

Mendorong peserta didik untuk

mengumpulkan informasi yang sesuai,

melaksanakan eksperimen untuk

Page 9: BAB II Proposal Revisi II

19

FASE-FASE PERILAKU GURU

dan kelompok. mendapatkan penjelasan dan pemecahan

masalah.

Fase 4

Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya.

Membantu peserta didik dalam

merencanakan dan menyiapkan karya yang

sesuai seperti laporan, model dan berbagi

tugas dengan teman.

Fase 5

Menganalisa dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah.

Mengevaluasi hasil belajar tentang materi

yang telah dipelajari /meminta kelompok

presentasi hasil kerja.

(Warsono & Hariyanto, 2013 : 151)

b. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based Learning

Kelebihan PBL dibandingkan dengan model pengajaran lainnya

adalah :

1) Mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas,

2) Melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri,

3) Membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri,

4) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta

didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu

masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang

Page 10: BAB II Proposal Revisi II

20

dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang

diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas

ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep

diterapkan.

5) Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan

dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya

dalam konteks yang relevan.

6) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,

menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja,

motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan

hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Kelemahan/hambatan dalam penerapannya (Ricard I Arends dan

Ibrahim dalam Rusmiyati, 2007: 17). Kelemahan dari pelaksanaan

PBL adalah sebagai berikut:

1) Kondisi kebanyakan sekolah tidak kondusif untuk pendekatan

PBL. Dalam pelaksanaannya, PBL memerlukan sarana dan

prasarana yang tidak semua sekolah memilikinya.

2) Pelaksanaan PBL memerlukan waktu yang cukup lama.

3) Model PBL tidak mencakup semua informasi atau pengetahuan

dasar.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kelebihan dan kelemahan dalam PBL

adalah sebagai penunjang keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran.

Page 11: BAB II Proposal Revisi II

21

Terutama kelemahan dalam PBL yang mencangkup kondisi sekolah yang

meliputi sarana dan prasarana, waktu yang cukup lama dalam

pelaksanaannya, sedangkan untuk satu jam pelajaran yang banyak

dijumpai di berbagai sekolah standar 40-50 menit tidak mencukupi waktu

pelaksanaan PBL yang melibatkan aktivitas siswa di luar sekolah dan PBL

tidak mencakup semua informasi. Dari kelemahan ini, dapat dijadikan

suatu patokan untuk memperbaikinya. Sehingga kelemahan-kelemahan

tersebut dapat berkurang.

5. Pendekatan Scientific

Pendekatan Scientific merupakan pendekatan yang digunakan dalam

penerapan kurikulum 2013. Penerapan kurikulum 2013 ini didasarinya

bahwa guru-guru perlu memperkuat kemampuannya dalam memfasilitasi

siswa agar terlatih berpikir logis, sistematis, dan ilmiah. Tantangan ini

memerlukan peningkatan keterampilan guru dalam melaksanakan

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific).

Skenario untuk memacu keterampilan guru menerapkan strategi ini di

Indonesia telah melalui sejarah yang panjang, namun hingga saat ini

harapan baik ini belum terwujudkan juga. Karenanya, dalam perancangan

kurikulum baru ini pemerintah menggunakan pendekatan scientific.

Dimana pendekatan ini dianggap lebih efektif hasilnya dibandingkan

pendekatan tradisional.

Pendekatan Scientific adalah konsep dasar yang menginspirasi atau

melatarbelakangi perumusan metode mengajar dengan menerapkan

Page 12: BAB II Proposal Revisi II

22

karakteristik yang ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika

memenuhi kriteria seperti berikut ini (Kemendikbud, 2013 : 185-186) :

1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat

dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-

kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.

2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-

peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran

subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.

3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis,

analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan

masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.

4. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotik

dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain

dari materi pembelajaran.

5. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,

menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan

objektif dalam merespon materi pembelajaran.

6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat

dipertanggung-jawabkan.

7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun

menarik sistem penyajiannya.

Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan

bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam

Page 13: BAB II Proposal Revisi II

23

kelas yang melandasi penerapan metode ilmiah. Pendekatan ilmiah

(scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi

( Yusrina Fitriani Ns. 2013. Pendekatan-scientific. Online) :

a) Mengamati

Kegiatan mengidentifikasi ciri-ciri objek tertentu dengan alat

inderanya secara teliti, menggunakan fakta yang relevan dan memadai

dari hasil pengamatan.

b) Menanya

Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari

apa yang diamati.

c) Menalar

Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik dari hasil kegiatan

mengumpulkan atau dari kegiatan mengamati.

d) Mencoba kegiatan yang dilakukan

Melakuakan eksperimen dari data-data yang sudah dikumpulkan.

e) Membentuk jejaring

Dari penjelasan yang telah disampaikan, bahwa pendekatan ilmiah

merupakan bagian dari pendekatan pedagogis yang meliputi mengamati,

menanya, menalar, mencoba kegiatan yang dilakukan, dan membentuk

jejaring untuk semua mata pelajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pendekatan ilmiah ini, siswa mengamati dengan alat inderanya kemudian

dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan yang tidak difahami atau

pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan. Selain itu, mengolah

Page 14: BAB II Proposal Revisi II

24

informasi yang sudah diperoleh sampai mendapatkan sebuah solusi.

Sehingga hasil yang diperoleh siswa akan dilakukan eksperimen atau

percobaan dan membentuk jejaring. Kegiatan ini dilakukan untuk semua

mata pelajaran.

6. Prestasi Belajar

Prestasi belajar sebagai hasil belajar yang meliputi segenap ranah

psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar

siswa. Prestasi belajar merupakan hasil dari kegiatan belajar mengajar

yang berupa pencapaian tujuan belajar, yang sering diwujudkan ke dalam

nilai-nilai tertentu.

Muhibbin Syah yang menggolongkan faktor-faktor yang

mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik di sekolah secara

garis besar dapat dibagi tiga bagian yaitu:

a. Faktor internal (faktor dari dalam diri peserta didik), yakni

keadaan/kondisi jasmani atau rohani peserta dididk. Yang termasuk

faktor-faktor internal antara lain adalah :

1) Faktor fisiologis merupakan keadaan fisik pada siswa yang akan

berpengaruh dalam belajar.

2) Faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat,

bakat.

b. Faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), yakni kondisi

lingkungan sekitar peserta didik yang meliputi faktor sosial dan faktor

non sosial.

Page 15: BAB II Proposal Revisi II

25

c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya

belajar peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang

digunakan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran

(Muhibbin Syah, 2008: 139).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik yaitu faktor internal,

faktor eksternal serta faktor pendekatan belajar. Untuk faktor eksternal

meliputi faktor sosial dan non sosial. Faktor sosial disini meliputi

lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Sedangkan faktor non sosial meliputi keadaan sekolah, tempat tinggal

keluarga, alat-alat sumber belajar, keadaan cuaca dan waktu belajaryang

digunakan siswa. Serta faktor pendekatan belajar yang merupakan strategi

dan metode dalam kegiatan pembelajaran.

7. Keaktifan

Keaktifan adalah kegiatan atau kesibukan peserta didik dalam

kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah yang

menunjang keberhasilan belajar siswa. Keaktifan peserta didik dalam

proses belajar merupakan upaya peserta didik dalam memperoleh

pengalaman belajar, yang mana keaktifan belajar peserta didik dapat

ditempuh dengan upaya kegiatan belajar kelompok maupun belajar secara

perseorangan. Keaktifan belajar dapat dilihat dari aktifitas siswa selama

proses pembelajaran. Jika siswa sudah terlibat di dalam proses

Page 16: BAB II Proposal Revisi II

26

pembelajaran, maka siswa akan merasakan suasana belajar yang

menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan.

Dalam proses pembelajaran siswa mengaktifan berbagai macam

inderanya untuk dapat menyerap dan mencapai hasil belajar yang

maksimal. Keaktifan belajar siswa ini akan mempengaruhi hasil belajar

yang ia peroleh. Semakin tinggi tingkat keaktifan diharapkan semakin

besar hasil yang diperoleh. Sebenarnya terdapat berbagai macam aktivitas

siswa yang dilakukan ketika kegiatan pembelajaran berlangsung, tetapi

dapat dikelompokkan mengingat banyak aktivitas yang sejenis.

Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal turut serta dalam

melaksanakan tugas belajarnya, terlibat dalam pemecahan masalah,

bertanya kepada siswa lain atau kepada guru jika tidak memahami

persoalan yang dihadapinya, selain itu, kaktifan siswa ditandai pula

dengan berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk

pemecahan masalah, melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan

petunjuk guru, menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang sejenis,

kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperoleh

dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapi.

. Dalam Kurniawati (2010), Sagala (2006:124-134) menyatakan

bahwa keaktifan jasmani maupun rohani ini meliputi antara lain:

1) Keaktifan indera: pendengaran, penglihatan, peraba dan lain-lain.

Murid harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya

sebaik mungkin.

Page 17: BAB II Proposal Revisi II

27

2) Keaktifan akal: akal anak-anak harus aktif atau diaktifkan untuk

memecahakan masalah, menimbang-nimbang,menyusun pendapat

dan mengambil keputusan.

3) Keaktifan ingatan: pada waktu mengajar, anak aktif menerima

bahan pengajaran yang disampaikan guru dan menyimpannnya

dalam otak, kemudian pada suatu saat ia siap mengutarakan

kembali.

4) Keaktifan emosi: dalam hal ini murid hendaklah senantiasa

berusaha mencintai pelajarannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

keaktifan jasmani dan rohani meliputi keaktifan indera, akal, ingatan, dan

emosi. Dimana keempat keaktifan tersebut ada dalam diri siswa yang akan

merangsang alat inderanya agar dapat digunakan dalam memecahkan suatu

permasalahan yang ada. Semua proses belajar mengajar peserta didik

mengandung unsur keaktifan, tetapi antara peserta didik yang satu dengan

yang lainnya tidak sama.

B. Kerangka Analisis

Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pembangunan bahwa

pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafalkan. Belajar

masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan. Untuk itu

diperlukan cara belajar yang lebih memperdayakan siswa. Dengan penerapan

Page 18: BAB II Proposal Revisi II

28

konsep belajar yang tepat, siswa akan mampu mengubah cara belajar dalam

mengikuti materi pelajaran.

Pembelajaran matematika sangat menuntut keaktifan dan penalaran

peserta didik dan guru sebagai fasilitator dituntut untuk membantu peserta

didik dalam proses pembelajaran. Dalam keseluruhan proses pendidikan di

sekolah kegiatan belajar merupakan kegiatan paling pokok. Oleh karena itu,

berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan bergantung kepada

bagaimana proses belajar yang dialami siswa sebagai peserta didik.

Penerapan model pembelajaran yang tepat berpengaruh pada keberhasilan

proses pembelajaran.

Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru

dalam mengembangkan model pembelajaran yang berorientasi pada

peningkatan intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses

pembelajaran. Pengembangan model yang tepat pada dasarnya bertujuan

untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat

belajar secara aktif dan menyenangkan sehingga siswa dapat meraih prestasi

yang optimal.

Kegiatan penelitian dimulai dengan pemberian pembelajaran dengan

model Problem Based Learning (PBL) melalui pendekatan scientific pada

kelas eksperimen dan pendekatan scientific pada kelas kontrol. Selanjutnya

pada kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi materi pelajaran matematika

dengan materi pokok yang sama maka dari proses pembelajaran dengan

metode yang tepat akan tercapai prestasi belajar yang optimal. Dengan

Page 19: BAB II Proposal Revisi II

29

menggunakan keaktifan siswa sebagai penunjang proses pembelajaran baik

dalam kelas eksperimen maupun kelas kontrol.

C. Hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan atau dugaan mengenai keadaan populasi

yang sifatnya masih sementara atau lemah kebenarannya. Hipotesis harus

diuji karena itu harus berbentuk kuantitas untuk dapat diterima atau ditolak.

Hipotesis akan diterima jika hasil pengujian membenarkan pernyataannya dan

akan ditolak jika terjadi penyangkalan dari pernyataannya.

Berdasarkan uraian diatas, hipotesis dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1) Ha : Ada perbedaan prestasi belajar matematika peserta didik yang

diajar menggunakan model Problem Based Learning (PBL)

melalui pendekatan scientific dan yang diajar hanya

menggunakan pendekatan scientific ditinjau dari keaktifan siswa.

2) Ha : Prestasi belajar matematika peserta didik yang mempunyai

keaktifan tinggi diajar menggunakan model Problem Based

Learning (PBL) melalui pendekatan scientific lebih baik daripada

yang diajar hanya menggunakan pendekatan scientific.

3) Ha : Prestasi belajar matematika peserta didik yang mempunyai

keaktifan rendah diajar menggunakan model Problem Based

Learning (PBL) melalui pendekatan scientific tidak lebih baik

daripada yang diajar hanya menggunakan pendekatan scientific.

Page 20: BAB II Proposal Revisi II

30