bab i,ii,iii total revisi 2
DESCRIPTION
Proposal SkripsiTRANSCRIPT
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan arsitektur di dunia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya
akan selalu mengalami perubahan berdasarkan dimensi waktu yang mempengaruhinya, baik
dari segi langgam bangunan, pola penataan bangunan, ataupun dari aspek fungsional
bangunan. Namun, esensi dari karya-karya arsitektur tersebut masih mengambil contoh atau
menduplikasi dari penerapan arsitektur pada karya bangunan kuno atau masa terdahulu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa lampau, arsitektur bangunan tampil sebagai sebuah
masterpiece yang didesain dengan penuh dedikasi tinggi dan mampu mempengaruhi kondisi
arsitektur di kawasan sekitarnya. Selain itu, terdapat ciri khas khusus pada kondisi bangunan
kuno ini untuk lebih dihargai eksistensinya, yaitu dari aspek historis bangunan tersebut,
dimana semakin lama usia bangunan tersebut berdiri maka akan semakin tinggi pula nilai
sejarah yang terkandung dari bangunan tersebut. Demikian pula yang terjadi di Indonesia,
dimana perkembangan arsitektur kolonial Belanda telah berlangsung selama 350 tahun dan
telah terintegrasi dengan sejarah berdirinya bangsa ini.
Bangunan peninggalan kolonial Belanda ini menjadi saksi bisu tentang bagaimana
kehidupan pada masa lampau dijalankan serta pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan
masyarakat pada masa itu. Salah satu nilai penting dari keberadaan bangunan Kolonial
Belanda ini adalah posisinya sebagai landmark kawasan dan dengan sengaja diposisikan
sebagai simbol dominasi kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang mengikat secara erat
kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu. Karakteristik yang muncul pada bangunan
peninggalan kolonial Belanda ini apabila ditinjau secara arsitektural memiliki ciri khas yang
membedakannya dari karakteristik bangunan asli masyarakat Indonesia pada era tersebut dan
secara fungsional memiliki maksud serta tujuan khusus yang mempengaruhi proses
didirikannya bangunan tersebut.
1.1.1 Gedung Balai Kota Madiun sebagai bangunan berarsitektur kolonial Belanda di
Madiun
Sejarah berdirinya suatu kota dapat diidentifikasi dari berbagai narasumber yang
relevan, diantaranya adalah referensi yang bersumber dari riset sejarah, ataupun dari
pengamatan terhadap kondisi berbagai bangunan bersejarah yang melingkupi kawasan kota
2
tersebut. Sangat disayangkan sekali bahwasanya keberadaan bangunan bersejarah dengan
arsitektur kolonial Belanda dikesampingkan keberadaannya oleh Pemerintah Daerah pada
saat ini sehingga berdampak pada rusak dan tidak terawatnya kondisi bangunan bersejarah
ataupun dalam suatu kondisi tertentu telah mengalami renovasi yang berakibat pada
perubahan total fasad bangunannya akibat modernisasi bangunan tua tersebut.
Menurut Handinoto (2010), identitas kota-kota kolonial di Jawa antara tahun 1800
sampai tahun 1900 memiliki ciri khas khusus, yaitu alun-alun kota sebagai pusatnya dengan
bentuk kota yang disesuaikan dengan kepentingan ekonomi pihak Kolonial Belanda dimana
produksi pertanian dengan sistem distribusi produksinya memegang peranan penting, semua
bangunan pemerintahan seperti kantor Asisten Residen, kantor Bupati, penjara, serta
bangunan keagamaan, seperti masjid dan gereja diletakkan menyesuaikan dengan posisi alun-
alun kota. Penataan ini difungsikan untuk mempermudah kontrol pemerintahan dari
pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi.
Pada tahun 1920-an, Indonesia mengalami proses transformasi menjadi wilayah
perkembangan pembangunan yang pesat dari berbagai versi bangunan arsitektural Belanda
kontemporer dan berbagai tema perencanaan kota yang diantaranya ada perpaduan dengan
elemen tradisi regional wilayah tersebut (Groll, 1988).
Dalam periode perkembangan ini, dipengaruhi juga oleh perubahan terhadap sistem
administratif pemerintahan kota, yaitu dengan adanya undang-undang desentralisasi
(desentralisasiewet) yang awal mulanya dilaksanakan pada tahun 1905. Undang-undang ini
pada prinsipnya ingin memberikan hak kuasa pada kota-kota yang telah ditentukan untuk
memerintah kotanya sendiri di bawah pimpinan seorang Walikota (Handinoto, 2010). Banyak
kotamadya (Gemeente) yang mendirikan pusat pemerintahan baru, dengan mendirikan
gedung-gedung dengan gaya arsitektur kolonial modern sebagai pusat kotanya. Pemerintah
kolonial Belanda ingin menunjukkan suatu citra modern yang terlepas dari pengaruh
tradisional Jawa, yang identik dengan posisi alun-alun sebagai pusat kota dan bangunan
pemerintahan aparatur daerah di sekelilingnya (kantor kabupaten, masjid, dan sebagainya).
Pengaruh perubahan ini juga terjadi di wilayah kota Madiun, dimana pembangunan
aset pemerintahan seperti kantor Asisten Residen, Balai Kota, penjara Kolonial, ataupun
stasiun KA mulai dikembangkan sesuai dengan apa yang disebut sebagai sistem penataan
pada kota Indisch, setelah undang-undang desentralisasi ini ditetapkan.
Gill (1995), membagi morfologi kota Indisch tersebut menjadi 2 bagian, yang pertama
adalah “Oud Indische Stad”, yaitu sebuah kota di mana pada pusat kotanya (daerah alun-
alun), terdapat pemisahan antara pemerintahan kolonial Belanda (yang diwakili oleh Residen
3
atau Asisten Residen) dengan gedung pemerintahan Pribumi (yang diwakili oleh Bupati). Jadi
pada hakekatnya gedung pemerintahan yang mengatur kota dalam satu kota terpisah satu
sama lain. Pola penempatan pada morfologi ini biasanya ditandai dengan penempatan gedung
pemerintahan Pribumi di sisi selatan alun-alun, sedangkan kantor Asisten Residen ada di
bagian lain dari kota tersebut. Sedangkan tipe morfologi “Nieuwe Indische Stad” adalah
sebuah tatanan kota Indisch dimana pusat pemerintahan Pribumi (Kabupaten) dengan pusat
pemerintahan kolonial Belanda (kantor Asisten Residen) ataupun fasilitas pendukung lainnya
seperti halnya penjara, tempat ibadah, gedung Societiet (hiburan), serta pemukiman etnis
tertentu ada di sekitar kawasan alun-alun kota.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pola peletakan dari bangunan pemerintahan pada tata
perkotaan di Kota Madiun ataupun kota-kota lainnya di Jawa sangat dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah kolonial Belanda tersebut. Posisi penempatan dari kantor Asisten
Residen ataupun kantor Balai Kota dan penempatan kantor Kabupaten terhadap alun-alun di
Kota Madiun lebih mencerminkan pola “Nieuwe Indische Stad”, adapun kediaman Asisten
Residen Madiun (Asistent Resident Huis) dan Balai Kota Madiun (RaadHuis te Madioen)
merupakan dua contoh tipe bangunan pusat pemerintahan yang memegang peranan penting
bagi pemerintah kolonial Belanda untuk memusatkan kontrol pemerintahan terhadap
masyarakat Madiun terlepas dari peranan Bupati.
Bangunan Balai Kota Madiun sendiri merupakan tipe bangunan pemerintahan baru
pada tahun 1920-an yang dibangun setelah ditetapkannya undang-undang desentralisasi yang
menetapkan status berdirinya Pemerintah Kotapraja Madiun (Staadsgementee Madioen) pada
tanggal 20 Juni 1918. Undang-undang Inlandsche Gementee Ordonantie ini ditetapkan oleh
Departemen Binnenlandsch yang berimbas pada segregasi sosial antara masyarakat pribumi
dan masyarakat Eropa yang tinggal di kota Madiun pada masa itu. Gementee Madioen yang
didirikan ini bertujuan supaya masyarakat Belanda ataupun Eropa yang bekerja di Madiun
tidak lagi diperintah oleh Bupati (yang notabene adalah orang Jawa) melainkan oleh orang
Belanda yang menjabat secara langsung di pusat pemerintahan. Dengan demikian, dengan
adanya aplikasi undang-undang tersebut, pemerintahan Kotapraja secara resmi terpisah
dengan pemerintahan Kabupaten serta status jabatan Walikota pada pemerintahan Kotapraja
Madiun tidak lagi dirangkap oleh Asisten Residen melainkan dijabat secara langsung oleh
Walikota. Lokasi bangunan ini berada pada jalan Residentlaan yang sekarang berubah nama
menjadi Jalan Pahlawan dan bangunan ini merupakan karya rancangan dari biro konsultan
arsitektur Hulswit, Fermont, dan Eduard Cuypers yang pembangunannya dimulai pada tahun
1928 dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1930. Bangunan Balai Kota Madiun ini
4
dibangun dan diresmikan pada masa pemerintahan Burgemeester/Walikota Mr. K.A.
Schotman, serta merupakan salah satu bagian dari mega proyek BOW/Burgelijke Openbare
Werken (Dinas PU) pada masa itu. Adapun karakteristik secara umum dari bangunan ini
adalah pengaplikasian langgam arsitektur kolonial Belanda era 1920-1940-an pada detail
bangunannya, penempatan tower pada area bangunan yang berdekatan dengan pintu masuk
dan difungsikan sebagai area pengawasan atau pertahanan, mirip dengan ciri arsitektur tipe
peralihan pada masa kolonial Belanda di Indonesia, denah yang menerapkan posisi koridor
jalan/Galerij di sekeliling bangunan, menara pengawas dengan hiasan khas pada bagian
puncak tower tersebut, dan peletakan susunan massa bangunan yang masif secara simetris.
Dengan adanya ciri-ciri tersebut maka perlu ada suatu pengkajian yang komprehensif
terhadap bangunan ini dikarenakan bangunan ini tampil sebagai salah satu landmark dan
memiliki karakter visual yang unik, berbeda, apabila dibandingkan dengan bangunan lainnya
yang berada pada kawasan tersebut. Selain itu, selama ini belum pernah dilakukan sebuah
kajian penelitian mengenai analisis strategi pelestarian maupun kajian detail karakteristik
arsitektur bangunan dari Balai Kota Madiun ini sehingga diharapkan nantinya dengan
penelitian mengenai Balai Kota Madiun ini mampu menambah khasanah pengembangan ilmu
pengetahuan bagi masyarakat Kota Madiun pada umumnya dan bagi civitas academica pada
khususnya, mengenai kondisi bangunan bersejarah di Kota Madiun, dan dengan
diterapkannya sebuah strategi pelestarian bangunan bersejarah yang dapat menjaga kondisi
asli arsitektur bangunannya dengan baik.
1.1.2 Pelestarian Gedung Balai Kota Madiun
Ketika Kota Madiun telah mengalami perkembangan dari segi infrastruktur bangunan
dan kawasan yang semakin menyesuaikan diri sebagai kota dengan identitas kota modern,
lambat laun kondisi bangunan kuno dan bersejarah di Kota Madiun semakin diabaikan dan
kurang mendapat perhatian serta perawatan oleh Pemerintah Daerah Kota Madiun. Bangunan
bersejarah tersebut banyak mengalami kerusakan dan penurunan kualitas visual bangunan.
Tidak menutup kemungkinan hal tersebut terjadi pada bangunan Balai Kota Madiun,
mengingat berdasarkan data dinas Pendidikan, kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga
(Dikbudpora) Kota Madiun, di kota ini objek bernilai sejarah yang diakui sebagai cagar
budaya dan dilindungi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan hanya
empat saja, yaitu makam dan Masjid Kuno Kuncen serta makam dan Masjid Kuno Taman.
Hal tersebut cukup ironis mengingat banyak sekali bangunan kuno dan bersejarah
yang terdapat di Kota Madiun yang tidak dikategorikan ke dalam cagar budaya yang
5
dilindungi. Balai Kota Madiun sebagai pusat pemerintahan di Kota Madiun pun tidak masuk
ke dalam kategori bangunan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
(BP3) Trowulan, sehingga cukup membahayakan kondisi bangunan apabila mengalami
kerusakan mengingat tidak ada upaya untuk menjaga dan mempertahankan kualitas visual
bangunan seperti kondisi aslinya pada masa kekuasaan kolonial Belanda di Kota Madiun.
Pada saat ini, bangunan Balai Kota Madiun difungsikan sebagai kantor Walikota Madiun
sesuai dengan fungsi awal ketika dipergunakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mengingat
kepemilikan berada di tangan pemerintah, kondisi bangunan ini cukup terawat dengan
beberapa perbaikan pada arsitektur bangunan dan penambahan kompleks perkantoran
menjadi 2 lantai pada sisi timur dari bangunan asli. Walaupun perubahan yang dialami masih
berada dalam batas yang wajar tetapi cukup mempengaruhi dan merusak kualitas visual dan
spasial yang sangat berpengaruh terhadap citra bangunan pada kawasan tersebut. Perubahan
itu diantaranya tidak seimbangnya fasade dan tidak adanya kesatuan (unity) fasade bangunan
antara bangunan utama dengan bangunan yang telah mengalami renovasi tersebut.
Secara garis besar terdapat beberapa alasan penting mengapa bangunan Balai Kota Madiun
perlu diberlakukan tindakan pelestarian pada kompleks bangunan ini, alasan tersebut antara
lain sebagai berikut:
1. Bangunan pemerintahan Balai Kota Madiun merupakan bangunan beresejarah
peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang dibangun oleh biro konsultan
arsitektur Hulswit, Fermont, dan Eduard Cuypers yang proses pembangunannya
dimulai pada tahun 1928 dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1930. Sehingga
diperlukan upaya pelestarian untuk menjaga kelestarian dan keaslian bangunan.
2. Fungsi bangunan yang masih sama sebagai kantor pusat pemerintahan Kotamadya
Madiun, sesuai dengan peruntukan awalnya pada masa pemerintahan kolonial
Belanda.
3. Sebagai upaya pendongkrak wisata dengan tujuan objek bangunan bersejarah di
Kota Madiun sehingga mampu meningkatkan kualitas visual kawasan dan
meningkatkan devisa daerah Kota Madiun.
4. Bangunan bersejarah terutama bangunan kolonial ini dapat menjadi landmark
Kota Madiun mengingat berada di kawasan Jalan Pahlawan yang strategis di pusat
kota dan terdapat banyak sekali bangunan bersejarah peninggalan kolonial
Belanda dengan skala besar dan bisa dimaksimalkan untuk menciptakan image
tersendiri bagi kawasan Kota Madiun.
6
Banyak sekali ditemui bangunan bersejarah peninggalan pemerintahan kolonial
Belanda di koridor Jalan Pahlawan ini, hal tersebut dikarenakan Jalan Pahlawan/Residentlaan
merupakan salah satu koridor jalan utama yang berkembang pada masa kolonial dan koridor
jalan ini juga merupakan landmark bersejarah yang memerlukan tindakan penyelamatan
terutama bagi aset-aset bersejarah yang ada di kawasan ini. Menurut RTRW Kota Madiun
tahun 2010-2030 terdapat beberapa bangunan bersejarah era kolonial Belanda yang masih
bertahan dan terdapat di koridor jalan Pahlawan ini selain Balai Kota Madiun, diantaranya
adalah:
1. Kompleks Gereja Katolik Santo Cornelius;
2. Kantor Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah Jawa Timur;
3. Kantor Kodim 0803 Kota Madiun;
Kegiatan pelestarian ini sebenarnya telah menjadi pembahasan penting terutama
dalam kongres Internasional Arsitektur Modern yang memfokuskan pembahasan pada
kondisi arsitektur di seluruh dunia, termasuk juga wilayah Hindia Belanda untuk
mengidentifikasi ragam bangunan bersejarah yang masuk dalam potensi pelestarian, pada
akhirnya kongres ini menghasilkan statement berupa Piagam Athena 1933 (the functional
city) yang menghasilkan pernyataan mengenai konservasi lingkungan beserta kondisi
bangunan bersejarah di dalamnya. Pernyataan tersebut berisi tentang:
1. Nilai arsitektur dari suatu objek arsitektur (fabric) ataupun kawasan kota
(ensemble) yang memiliki nilai signifikan khusus wajib dilindungi.
2. Warisan bersejarah akan mendapat perlindungan apabila dinilai objek/benda
tersebut merupakan pencerminan budaya pada masa lampau dan selama masih
memenuhi kepentingan umum.
Selain itu, kegiatan pelestarian juga menjadi perhatian pemerintah terutama dalam
lingkup nasional, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Cagar Benda Cagar Budaya
no. 11 tahun 2010 pasal 5 yang berisikan tentang “yang termasuk dalam kategori klasifikasi
benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-
kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi perkembangan sejarah,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.”
Berbagai macam upaya pelestarian ataupun konservasi cukup sering mendapatkan
perhatian terutama dalam lingkup nasional dan internasional, tetapi tetap ada beberapa faktor
yang menghambat progress pelestarian tersebut. Hal tersebut menjadi pertimbangan yang
7
harus diselesaikan mengingat hal tersebut sangat menghambat kinerja pemerintah dalam
mengupayakan pelestarian bangunan dan kawasan. Hambatan-hambatan tersebut adalah:
1. Faktor biaya
Biaya terkadang menjadi major point yang menghambat proses pelestarian
bangunan bersejarah, hal tersebut dikarenakan pemerintah tidak memiliki
anggaran yang khusus untuk dibebankan pada upaya perawatan dan pemeliharaan
operasional bangunan, faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya
perhatian pemerintah dalam upaya pelestarian dan konservasi bangunan serta
menganggap mengeluarkan biaya mahal untuk perawatan hal tersebut tidak
memberikan keuntungan yang signifikan bagi pemerintah, sehingga terkadang
biaya dibebankan kepada wisatawan yang datang. Hal tersebut tentunya bisa
berdampak pada berkurangnya minat wisatawan untuk berkunjung dikarenakan
harus dibebani dengan pembiayaan.
2. Faktor politik
Faktor politik selalu menjadi penghambat dalam upaya pelestarian di Indonesia,
kebijakan pemerintah yang terlalu berpegang terhadap proses pengembangan
perkotaan berdampak pada rendahnya upaya untuk pelestarian kawasan.
Sebaiknya, antar pemerintah dan masyarakat mengerti tentang pentingnya upaya
pengembangan yang selaras dengan strategi pelestarian.
3. Faktor sosial
Strategi pelestarian seringkali terhambat oleh masyarakat yang mendiami
bangunan ataupun kawasan yang menjadi objek pelestarian tersebut, hal tersebut
dikarenakan kurangnya sosialisasi pemerintah sehingga masyarakat seringkali
mengira jika upaya pelestarian ini mencabut hak tinggal ataupun hak kepemilikan
mereka pada bangunan atau suatu kawasan tersebut. Sehingga pemerintah perlu
mempertimbangkan strategi pelestarian bangunan bersejarah yang tidak
berdampak negatif bagi sosial kemasyarakatan dan mendapat dukungan penuh
dari masyarakat.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa
identifikasi permasalahan pada penelitian bangunan kolonial Balai Kota Madiun yang
menjadi sorotan utama dalam pembahasan, yaitu:
8
1. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perkembangan arsitektur kolonial
Belanda sangat pesat di pusat Kota Madiun, terutama pada area sekitar alun-alun
kota, atau tepatnya di jalan Residentlaan sebagai pusat pemerintahan
desentralisasi Kotapraja Madiun pada masa itu. Banyak sekali peninggalan
bersejarah dengan berbagai fungsi bangunan yang beragam, tetapi kurang
mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
2. Pemerintah Kota Madiun telah mencanangkan obyek bangunan Balai Kota
Madiun sebagai cagar budaya yang wajib dilindungi dan dilestarikan berdasarkan
ketetapan RTRW Kota Madiun untuk periode waktu 2010-2030, tetapi hanya
sebatas wacana dan hingga saat ini belum ada realisasi tentang penanganan
bangunan bersejarah ini.
3. Telah terjadi penurunan kualitas arsitektural ataupun renovasi yang
mengakibatkan perubahan fisik bangunan secara menyeluruh di sisi timur
bangunan Balai Kota Madiun dengan penambahan lantai 2 untuk menyesuaikan
fungsi bangunan tersebut, menandakan belum adanya upaya serius untuk
mempertahankan kondisi asli arsitektur kolonial Belanda bangunan Balai Kota
Madiun dikarenakan kurangnya kepedulian atau ketidaktahuan pemerintah
terhadap cara penanganan bangunan tersebut.
4. Bangunan utama dari Balai Kota Madiun memiliki potensi untuk dilakukan upaya
konservasi sehingga diperlukan strategi pelestarian bangunan untuk menjaga
keaslian kondisi bangunan tersebut.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah, maka fokus rumusan
permasalahan yang diteliti adalah:
1. Bagaimana karakter visual dan karakter spasial bangunan Balai Kota Madiun?
2. Bagaimana strategi pelestarian yang sesuai dalam mempertahankan karakteristik
arsitektur bangunan kolonial Balai Kota Madiun?
1.4 Batasan Masalah
Upaya pelestarian bangunan kolonial Belanda Balai Kota Madiun mempunyai
beberapa batasan permasalahan yang harus dikaji, yaitu:
1. Penelitian ini melingkupi aspek identifikasi dan analisis karakteristik bangunan
pada kompleks Kantor Walikota Madiun (Eks Raadhuis te Madioen) yang ditinjau
9
dari aspek karakter spasial dan karakter visual bangunan pada tiga massa
bangunan ini. Karakter spasial secara garis besar memfokuskan pembahasan pada
detail denah dari tiap massa bangunan, sedangkan karakter visual lebih
memfokuskan pada pembahasan elemen pembentuk fasade bangunan secara
keseluruhan.
a) Karakter spasial bangunan dibagi menjadi enam aspek yang dibahas, yaitu:
Fungsi ruang.
Hubungan ruang.
Organisasi ruang.
Sirkulasi.
Orientasi ruang.
Orientasi bangunan.
b) Karakter visual bangunan yang terbagi menjadi berbagai aspek, yaitu:
Elemen pembentuk fasade yang terdiri atas atap, dinding eksterior, pintu,
jendela, pintu-jendela, ventilasi, dan kolom bangunan.
Elemen ruang dalam bangunan yang terdiri atas dinding interior, pintu,
lantai, kolom, dan plafond.
Elemen bentuk dan keseimbangan pada denah di tiap massa bangunan.
2. Menentukan arah pendekatan pelestarian arsitektur bangunan kolonial Belanda
Balai Kota Madiun dengan mendahulukan proses analisis karakteristik bangunan
untuk memperoleh hasil yang maksimal demi mempertahankan kondisi arsitektur
bangunan yang baik dari segi orisinalitas.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelestarian bangunan kolonial Balai Kota Madiun adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis karakter spasial dan karakter visual bangunan pada Balai Kota
Madiun.
2. Menganalisis dan menentukan strategi dalam upaya pelestarian arsitektur
bangunan kolonial Balai Kota Madiun dengan acuan berdasarkan data yang
diperoleh dari proses identifikasi dan proses analisis karakteristik bangunan.
10
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian mengenai pelestarian bangunan kolonial Balai Kota Madiun
adalah sebagai berikut:
1.6.1 Terhadap Akademisi
Menambah referensi dalam melakukan proses identifikasi dan analisis karakteristik
bangunan bersejarah ditinjau dari karakter spasial dan karakter visual bangunan beserta
strategi pelestarian yang tepat.
1.6.2 Terhadap Masyarakat
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan dan pemberi informasi bagi
masyarakat Kota Madiun mengenai pelestarian nilai sejarah dari bangunan kolonial Belanda
dan mampu menambah citra kawasan serta membangun kesadaran masyarakat akan
berharganya nilai historis dari sebuah bangunan peninggalan kolonial Belanda, sehingga
memunculkan keinginan dan motivasi bagi masyarakat untuk berinisiatif menjaga dan
melestarikan.
1.6.3 Terhadap Pemerintah
Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai arsip, dokumentasi, ataupun catatan tertulis
yang memberi sedikit informasi terhadap kondisi dan karakter arsitektural bangunan kolonial
Belanda untuk dipublikasikan secara luas kepada masyarakat umum ataupun mampu
memberikan kontribusi terhadap Pemerintah Daerah untuk menjadikan bangunan kolonial
Belanda sebagai salah satu bangunan yang berpotensi menjadi aset wisata bersejarah yang
bermanfaat bagi Pemerintah Daerah.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi dengan judul “Pelestarian Bangunan Kolonial Belanda
Balai Kota Madiun” adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan memaparkan latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian bagi bidang keilmuan, masyarakat, pemerintah,
serta bagi peneliti lainnya.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisikan panduan/referensi yang menjadi dasar teori dalam proses analisis dan
evaluasi penulisan skripsi. Teori berupa identifikasi karakteristik arsitektur secara umum,
karakteristik arsitektur kolonial Belanda beserta perkembangannya pada era 1920-1940-an,
pembahasan mengenai studi terdahulu tentang pelestarian arsitektur dan kajian penelitian
mengenai arsitektur pada Balai Kota yang dibangun pada era yang identik dengan
pembangunan Balai Kota Madiun.
BAB III METODE KAJIAN PERANCANGAN
Bab ini berisi tentang tahapan-tahapan yang diaplikasikan sebagai langkah untuk
menyelesaikan prosedur penelitian beserta dengan bagan alir tahapan penyelesaian penelitian.
Pada tahap ini, urutan proses yang dilakukan adalah mengumpulkan data, menganalisis dan
mensintesis data, metode perancangan, pembahasan, serta kesimpulan. Yang kemudian
diakhiri dengan bagan alir penyelesaian penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi tentang berbagai referensi teori yang digunakan dalam penyusunan skripsi.
12
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran
1.8 Kerangka Pemikiran
Identifikasi karakteristik bangunan Balai Kota Madiun (Eks Stadhuis te Madioen).
1. Kehadiran pemerintah kolonial Belanda mengokohkan diri sebagai pusat pemerintahanbagi masyarakat Madiun yang mempengaruhi kemunculan bangunan-bangunan dengangaya arsitektur kolonial Belanda.
2. Posisi kota Madiun sebagai kota transit penghubung kota-kota besar di Jawa Tengah danJawa Timur strategis bagi perkembangan industri masyarakat Eropa.
3. Terjadinya penurunan kualitas arsitektural bangunan kolonial Belanda dan penurunankuantitas bangunan bersejarah akibat ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat.
1. Menurunnya kualitas arsitektural dan belum adanya upaya untuk mempertahankan sesuaikondisi asli arsitektur kolonial Belanda pada bangunan Balai Kota Madiun.
2. Menjaga dan mempertahankan kondisi arsitektur bangunan secara optimal sesuai fungsiaslinya dan meningkatkan potensi bangunan sebagai aset wisata sejarah.
1. Bangunan pemerintahan Balai Kota Madiun merupakan produk bangunan dengan arsitekturkolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1928 oleh biro konsultan arsitektur Hulswit,Fermont and Ed Cuypers.
2. Bangunan memenuhi kriteria klasifikasi cagar budaya.3. Belum adanya penelitian yang komprehensif tentang kondisi bangunan Balai Kota Madiun.
1. Bagaimana karakter arsitektural bangunan Balai Kota Madiun ditinjau dari aspek spasialdan visual bangunan?
2. Bagaimana strategi pelestarian arsitektur yang tepat dalam mempertahankan originalitaskarakteristik bangunan pada bangunan Balai Kota Madiun?
Strategi pelestarian bangunan Balai Kota Madiun.
13
BAB IITINJAUAN TEORI
2.1 Karakteristik Arsitektur
2.1.1 Karakteristik Spasial Bangunan
Salah satu elemen karakteristik arsitektur yang identik dengan karakteristik spasial
bangunan menurut Krier (2001) adalah ruang yang membentuk karakter suatu bangunan.
Sistem spasial sangat dipengaruhi oleh adanya organisasi ruang yang terbentuk didalamnya.
Sistem spasial selalu berkaitan dengan unsur organisasi ruang lainnya, yang terdiri atas pola
ruang, alur sirkulasi, dan orientasi bangunan. Pola ruang merupakan sifat yang dibentuk
melalui bentuk ruang serta elemen-elemen pembatasnya. Alur sirkulasi dalam ruang
merupakan rute atau arah perjalanan untuk mencapai ruang dalam bangunan. Alur sirkulasi
dalam ruang erat kaitannya dengan pola ruang yang terbentuk, orientasi ruang erat kaitannya
dengan pola hubungan yang terbentuk antara ruang-ruang di dalamnya.
Keterkaitan antara karakter spasial arsitektur dengan bangunan peninggalan kolonial
teridentifikasi dengan unsur orientasi bangunan sebagai penghubung antara ruang dengan
lingkungannya. Salah satu bentuk adaptasi tampilan orientasi bangunan kolonial terhadap
iklim tropis Indonesia adalah penetapan perancangan dengan mengutamakan arah sisi utara
dan selatan sebagai wajah bangunan utama. Orientasi bangunan pada bangunan kolonial juga
bisa ditentukan melalui peletakan tower pada fasad bangunan tersebut. Penentuan karakter
spasial pada bangunan kolonial dapat terlihat melalui komposisi ruang yang terbentuk dan
terdiri atas unsur simetris, irama, dan sumbu.
a. Fungsi ruang
Dalam hubungannya dengan pembangunan sebuah bangunan, fungsi merupakan dasar
dari dibangunnya suatu objek arsitektur dan menegaskan ekspresi bangunan yang
dinnaungi oleh fungsi tersebut (Krier, 2001).
b. Hubungan ruang
Hubungan ruang didefinisikan oleh Ching (2008) sebagai ruang-ruang dalam
bangunan yang dihubungkan satu sama lain dan diatur menjadi pola-pola bentuk
tertentu.
Ruang-ruang yang dihubungkan oleh sebuah jalur ruang bersama
Ruang perantara atau ruang transisi bisa diaplikasikan sebagai penghubung
antara dua ruang.
Ruang-ruang yang saling berdekatan
13
14
Dua buah ruang bisa saling bersentuhan dan saling berdekatan satu sama lain
serta membagi garis batas secara bersamaan.
Ruang-ruang saling mengunci satu sama lain
Area sebuah ruang bisa menumpuk pada volume ruang lainnya.
Ruang dalam ruang
Ruang yang bisa ditampung dalam volume ruang-ruang lainnya yang lebih
besar.
c. Organisasi bentuk dan ruang
Berkumpulnya ruang-ruang dalam suatu bangunan akan menciptakan suatu organisasi
ruang yang sistematis (Ching, 2008).
Organisasi grid
Ruang-ruang yang terorganisir di dalam area sebuah grid struktur.
Organisasi terklaster
Ruang-ruang yang dikelompokkan melalui kedekatan atau pembagian suatu
tanda pengenal atau hubungan visual bersama.
Organisasi linier
Sekuen linier ruang-ruang yang berulang secara sistematis.
Organisasi radial
Sebuah ruang terpuast ynang menjadi sentral organisasi organisasi linier ruang
yang memanjang dengan cara radial.
Organisasi terpusat
Suatu ruang sentral yang dominan dikelilingi oleh sejumlah ruang sekunder
yang dikelompokkan dengan komposisi yang stabil.
d. Sirkulasi ruang/bangunan
Jalur yang digunakan dari satu tempat untuk mencapai tempat lainnya, secara
signifikan diklasifikasikan menjadi konfigurasi jalur dan hubungan jalur-ruang.
e. Orientasi ruang/bangunan
Orientasi adalah posisi ruang/bangunan berkaitan dengan kawasan sekitarnya yang
banyak dipengaruhi oleh faktor iklim atau faktor kepercayaan pada wilayah tertentu.
2.1.2 Karakteristik Visual Bangunan
Karakter visual bangunan diidentifikasi melalui massa bangunan secara utuh maupun
melalui perpaduan komposisi elemen arsitekturalnya. Massa bangunan secara arsitektural
15
adalah keseluruhan bentuk volumetrik bangunan. Hubungan pemasaan suatu bangunan terdiri
atas denah dasar dan bentuk bangunan (Krier, 2001). Denah dasar bangunan terdiri atas
denah berbentuk T, L, dan U yang disertai dengan fragmentasi dan superimposisi dari
bentukan tersebut. Bentuk bangunan dibagi atas bentuk bujur sangkar dan bentuk persegi
panjang serta superimposisi maupun fragmentasi dengan bentuk lainnya.
Massa bangunan secara utuh lebih menonjolkan karakter visualnya melalui bentuk
dasar serta sifat-sifat yang dibawa dari bentuk bangunan. Elemen arsitektural pada bangunan
terbagi atas elemen pada ruang dalam dan elemen pada fasad bangunan. Unsur yang
mempertegas karakter visual arsitektur pada ruang dalam ditunjukkan oleh sifat dasar
pembaginya yang diklasifikasikan ke dalam elemen pembagi vertikal dan elemen pembagi
horisontal, tekstur lantai, ornamentasi, dan ukiran elemen dekoratif pada langit dan dinding,
sayap bangunan, pintu, warna, bahan material, dan lain sebagainya. Elemen fasad bangunan
merupakan elemen komposisi arsitektur yang mampu mengekspresikan fungsi dan makna
dari wajah bangunan. Sebagai suatu gabungan dari keseluruhan yang membentuk kesatuan
tunggal, fasad tersusun dari berbagai elemen tunggal, suatu kesatuan tersendiri dengan
kemampuan mengekspresikan diri sendiri. Menurut Krier (2001), elemen fungsional yang
mendukung terhadap proporsi horisontal dan vertikal arsitektur pada bangunan adalah
sebagai berikut:
1. Atap
Peran utama dari elemen bangunan ini adalah sebagai mahkota dan pelindung fasad
bangunan. Secara visual, atap adalah akhiran dari fasad / titik akhir dari sebuah
bangunan.
2. Pelindung Matahari
Elemen ini bertindak sebagai pelindung fasad bangunan dari pengaruh iklim dan
meminimalisir radiasi panas matahari.
3. Dinding
Selubung bangunan yang berperan penting dalam mengekspresikan identitas
bangunan dan sebagai salah satu elemen pembentuk fasad bangunan yang bisa
meningkatkan nilai estetika wajah bangunan.
4. Pintu
Pintu berperan sebagai penentu arah sirkulasi bangunan dan berfungsi sebagai elemen
transisi yang menghubungkan area bagian luar bangunan dengan bagian dalam
bangunan.
5. Jendela
16
Difungsikan sebagai area transisi untuk jalan masuknya cahaya, posisi jendela sangat
berpengaruh terhadap pola visual pemandangan yang dihasilkan dari view luar ke
dalam bangunan, mampu meningkatkan persepsi estetika terhadap ruangan melalui
area gelap terang yang dihasilkan oleh permainan pencahayaan dari posisi jendela
terhadap orientasi matahari.
6. Denah
Proses perencanaan denah pada awal proses pembangunan hingga penentuan tipe
ruang-ruang dalam suatu bangunan bersifat relatif dan tidak tergantung pada fungsi
awal yang dikehendaki sebelumnya, begitu pula penentuan bentuk bangunan
mengikuti tipe ruang yang difungsikan oleh bangunan.
7. Ventilasi
Merupakan kisi-kisi berupa bukaan pada fasade bangunan yang berfungsi untuk
mengontrol kualitas sirkulasi udara di dalam ruangan. Ventilasi mampu berperan
sebagai alternatif material pengganti untuk jendela dengan bentuknya yang kecil dan
efisien.
Komposisi suatu fasad bangunan dengan mempertimbangkan segala persyaratan
fungsional (jendela, bukaan pintu, pelindung matahari, atap, denah dasar) pada dasarnya
berkaitan dengan penciptaan kesatuan yang harmonis antara proporsi arsitektural yang baik,
pola penyusunan struktur vertikal dan horisontal yang baik, bahan, warna, dan elemen
dekoratif fasad bangunan. Selain itu pada bangunan dengan arsitektur kolonial Belanda,
karakter fisik yang secara jelas tergambar dalam mengekspresikan wajah bangunan tersebut
adalah selubung bangunan atau fasad, komposisi dari berbagai elemen baik struktural
maupun elemen dekoratif yang membentuk karakteristik suatu fasad bangunan dapat
menunjukkan kepada publik mengenai tingkat kreativitas estetika dalam ornamentasi ataupun
dekorasi pada fasad bangunan itu sendiri.
2.2 Karakter Arsitektur Kolonial Belanda
Menurut Handinoto (1996: 165-179) karakter arsitektur kolonial Belanda mengadopsi
aplikasi elemen vernakular arsitektur Belanda yang diimplementasikan pada karakter
arsitektur di wilayah jajahannya, termasuk Indonesia. Elemen vernakular yang digunakan
pada arsitektur kolonial Belanda lebih banyak diaplikasikan pada periode waktu antara tahun
1900 sampai 1920-an setelah banyaknya arsitek Belanda yang datang ke Indonesia dan
17
Gambar 2.1 Gevel (Gable)
(Sumber: Handinoto, 1996)
Gambar 2.2 Geveltoppen
(Sumber: Soekiman, 2000)
mendirikan biro konsultan arsitektur. Elemen-elemen tersebut memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Penggunaan Gevel pada Tampak Depan Bangunan
Aplikasi gevel menurut Handinoto (1996) pada bangunan kolonial Belanda di Hindia
Belanda diletakkan pada bagian depan atau tampak bangunan. Bisa diartikan juga sebagai
hiasan berbentuk segitiga yang terletak di samping dan di bawah cerobong atap.
Topgevel merupakan hiasan pada gevel yang berbentuk mahkota. Geveltoppen atau
hiasan kemuncak tampak depan terletak di atas gevel. Biasanya mengandung makna tertentu
bagi bangunan kolonial Belanda yang dinaungi.
2. Peletakan Tower pada Bangunan
Aplikasi tower pada bangunan kolonial Belanda mengadopsi bentuk bangunan gereja
Calvinist abad pertengahan di Eropa dan Belanda. Model tower pada bangunan biasanya
digunakan sebagai penanda orientasi lingkungan kolonial Belanda antara tahun 1900-an
hingga tahun 1920-an. Tower pada bangunan kolonial Belanda banyak diaplikasikan pada
bangunan kantor pemerintahan, dan tower pada tipe bangunan tersebut seringkali
diaplikasikan dengan fungsi sebagai klokkentoren (menara jam) ataupun sebagai menara
pengawas untuk menjaga keamanan bangunan.
3. Nok Acroteire (Hiasan pada Puncak Atap)
18
Gambar 2.3 Nok Acroterie
(Sumber: Soekiman, 2000)
Gambar 2.4 Dormer
(Sumber: Handinoto, 1996)
Gambar 2.5 Windwijzer
(Sumber: Soekiman, 2000)
Hiasan puncak pada atap rumah sering diaplikasikan pada atap rumah-rumah petani
yang ada di Belanda, biasanya menggunakan atap ilalang tetapi setelah mengikuti
perkembangan zaman maka penggunaan material perkerasan permanen seperti semen dan
beton cor digunakan.
4. Penggunaan Dormer pada Bangunan
Dormer adalah jendela atau hanya sekedar bukaan yang diposisikan menembus
melalui kemiringan atap bangunan dan memiliki atap penutup tersendiri, berfungsi untuk
memaksimalkan pencahayaan dan penghawaan secara maksimal ke dalam bangunan. Di
Eropa biasa difungsikan sebagai ruang atau sebagai sirkulasi bagi cerobong asap perapian.
5. Peletakan Windwijzer (Penunjuk Arah Angin)
Posisi peletakan ada di atas nok dan dapat berputar mengikuti arah angin yang
berhembus melalui alat ini.
19
Gambar 2.6 Kolom Doric, Iconic, Corinthians
(Sumber: Soekiman, 2000)
6. Balustrade pada Bangunan
Berfungsi sebagai pagar pembatas balkon atau pagar pembatas pada dek bangunan
dengan material berupa hasil dari cor beton ataupun tiang logam.
7. Pilar Kolom pada Bangunan
Bentukan kolom yang sering digunakan pada bangunan kolonial Belanda adalah
kolom dengan gaya Doric, Iconic, dan Corinthians. Gaya Doric banyak digunakan pada
bangunan pemerintahan yang menghendaki peletakan kolom yang kuat dengan bentuk
sederhana dengan detail ornamentasi yang minim, sedangkan pada gaya Iconic dan
Corinthians lebih mengutamakan detail ornamentasi untuk menunjukkan kesan glamor dan
mewah pada bentukan kolomnya.
2.2.1 Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda
Periode perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia yang mempengaruhi
langgam bangunan Balai Kota Madiun sesuai klasifikasi oleh Hellen Jessup dalam Handinoto
(1996:129-130) dalam “Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya
(1870-1940)” adalah:
1. Pengaruh Arsitektur Tahun 1902 sampai Tahun 1920-an
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak agar disetujuinya
penerapan kebijakan politik Etis yang diterapkan di tanah jajahan dari kolonial
Belanda. Sejak saat itu permukiman orang Belanda di Indonesia tumbuh dengan
cepat. Dengan adanya suasana tersebut maka Indische Architectuur menjadi terdesak
dan hilang digantikan oleh gaya arsitektur baru yang lebih mencirikan karakteristik
Eropa. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern pertama yang
berorientasi kepada negeri Belanda.
Karakteristik secara umum fasad bangunan pada periode ini menurut Handinoto
(1996: 165-180) adalah:
a. Penggunaan Dormer pada bangunan.
20
b. Menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan.
Bentukan gevel sangat bervariasi yaitu berupa curvilinear gable, stepped gable,
gambrel gable, ataupun pediment (dengan entablature).
c. Penerapan Tower pada bangunan.
Apilkasi penggunaan tower pada awalnya digunakan pada bangunan gereja
Calvinist di Belanda yang kemudian ditiru oleh bangunan umum dan menjadi
model umum dari arsitektur kolonial Belanda pada abad ke-20 terutama di Hindia
Belanda. Variasi bentukan bermacam-macam, ada yang berbentuk bulat, segi
empat ramping, ada pula yang dikombinasikan dengan gevel depan pada serambi
bangunan.
d. Penyesuaian kondisi bangunan terhadap iklim tropis basah, dengan menerapkan
ciri khas sebagai berikut:
1) Ventilasi dengan bukaan lebar dan tinggi, untuk memaksimalkan aliran udara
desain bangunan berbentuk ramping.
2) Membuat Galerij yang berupa serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi
hujan dan perlindungan terhadap sinar matahari ke dalam bangunan.
3) Layout bangunan diusahakan untuk menghadap ke arah utara atau selatan
untuk menghindari paparan sinar matahari secara langsung.
2. Pengaruh Arsitektur Tahun 1920-1940-an
Pada periode ini muncul sebuah langgam baru yang memberikan dampak
signifikan terhadap perkembangan arsitektur bangunan kolonial di Hindia Belanda.
Pencampuran gaya atau “eklektisisme” yang menggabungkan unsur-unsur arsitektur
lokal/tradisional dengan langgam arsitektur modern Eropa yang banyak berkembang
di level internasional pada akhirnya menghasilkan ciri khas yang unik pada bangunan
kolonial yang berkembang di Hindia Belanda pada masa itu (Jessup,1984:2 dalam
Handinoto,1996:129-130). Langgam arsitektur ini juga disebut sebagai arsitektur
Indis (Indische Architectuur) atau arsitektur Indo-Eropa (Handinoto,1998:1).
Beberapa karakteristik arsitektur modern Eropa yang turut mempengaruhi dan turut
dikombinasikan dalam Indische Architectuur antara lain:
a. Gaya Art and Craft, berkembang pada periode 1860-1915 di Inggris, dengan
karakteristik secara umum adalah:
1) Mengutamakan penggunaan kerajinan tangan dan penolakan olahan kerajinan
dari mesin/industri.
21
2) Penerapan bata merah, ukiran kayu berbentuk flora pada fasade dinding
bangunan dan bentukan kombinasi antara pintu dan jendela yang disatukan.
b. Gaya Art Nouveau, berkembang pada periode 1880-1910 di Perancis, dengan
karakteristik secara umum adalah:
1) Penerapan stained glass/kaca patri dengan hiasan warna-warni pada berbagai
variasi bentukan jendela dan pintu.
2) Bentukan hiasan berupa motif flora, motif sulur-suluran, motif daun berbentuk
hati, dan motif bulu burung merak yang diterapkan pada berbagai variasi
dinding, pintu, dan jendela.
3) Menampilkan bentuk lekukan garis-garis melingkar dan garis-garis vertikal
pada langit-langit bangunan.
c. Gaya De Stijl, berkembang pada periode 1917-1920 di Belanda, dengan
karakteristik secara umum adalah:
1) Massa bangunan berbentuk kubistik dan penggunaan atap datar.
2) Penyatuan antara dinding luar bangunan dengan dinding bagian dalam
bangunan.
3) Lebih mengutamakan prinsip simplisitas dalam mendesain bangunan.
d. Gaya Art Deco, berkembang pada periode 1930-an di Eropa, dengan karakteristik
secara umum adalah:
1) Bentuk massa bangunan yang geometris
2) Penekanan pada elemen-elemen dekoratif interior bangunan secara vertikal
dan horisontal maupun bentukan zigzag dan kerucut yang bertingkat-tingkat.
e. Gaya Amsterdam School, berkembang pada periode 1910-1930 di Belanda,
dengan karakteristik secara umum adalah:
1) Pengaplikasian plesteran atau pahatan dekoratif yang menggunakan bahan
material alami, misal batu bata.
2) Aplikasi ornamentasi pada bangunan berupa pahatan pada elemen fasade
bangunan atau patung yang diolah melalui proses handycraft/kerajinan tangan.
Hal yang serupa diutarakan oleh Handinoto (1996:148-168) dalam “Perkembangan
Kota Malang pada Zaman Kolonial (1914-1940)”, perkembangan arsitektur kolonial Belanda
digolongkan menurut periodisasi waktu yang signifikan, yaitu pada abad 19 (tahun 1850-
1900), awal abad ke-20 (tahun 1900-1915), dan pada periode tahun 1916-1940. Berikut ini
22
adalah arsitektur kolonial Belanda yang identik dengan masa pembangunan Balai Kota
Madiun:
1. Arsitektur Kolonial periode tahun 1900-1915
Arsitektur ini disebut juga periode arsitektur Awal Modern dengan karakteristik
sebagai berikut:
a. Denah berbentuk simetri;
b. Penyelesaian detail dengan teliti dan rinci;
c. Terdapat tower yang posisinya dekat pintu masuk utama bangunan.
2. Arsitektur Kolonial periode tahun 1916-1940
Arsitektur yang berkembang pada periode waktu ini lebih mengutamakan aspek
fungsional bangunan dengan langgam International Style dan terdapat penyesuaian
dengan kondisi iklim di Hindia Belanda, karakter utama sebagai berikut:
a. Volume bangunan kubistik dan dominasi warna putih pada fasad bangunan;
b. Penggunaan atap datar;
c. Desain dan detail bangunan lebih mengutamakan fungsi bangunan.
2.3 Pelestarian Lingkungan Binaan
2.3.1 Pelestarian dan Konservasi Bangunan Lama Bersejarah
Pada mulanya gagasan pelestarian hanya muncul sebagai upaya untuk melestarikan
dan melindungi sumber daya alam yang bersifat tidak dapat diperbarui. Konsep pelestarian
lingkungan binaan, baru muncul ketika diperlukannya suatu keputusan mengenai
pertimbangan kepentingan untuk suatu nilai yang tidak tergantikan bagi kepentingan generasi
mendatang.
Pelestarian pada awalnya hanya merupakan suatu kegiatan pemeliharaan saja, tetapi
sekarang telah berkembang metode pelestarian yang melingkupi kegiatan guna mengaktifkan
fungsi-fungsi baru yang tidak merusak nilai ataupun kondisi fisik objek.
Menurut Budihardjo (1997) pelestarian atau konservasi arsitektur bukan berarti
mengawetkan objek bangunan seperti kondisi aslinya, melainkan juga mewadahi kegiatan
dan membangun baru pada kompleks tersebut, asalkan tidak bertentangan secara frontal
terhadap kondisi bangunan lama. Begitu pula, dengan yang dikemukakan oleh Danisworo
(1997) bahwa pelestarian arsitektur sebagai konservasi dengan definisi bahwa konservasi
adalah upaya untuk melestarikan, melindungi, serta memanfaatkan sumber daya suatu
tempat. Konservasi bisa dimanfaatkan sebagai wadah preservasi namun tetap memberikan
23
kesempatan suatu tempat untuk menunjang kegiatan yang sama sekali baru sehingga mampu
membiayai keberadaannya maupun bagi tindakan pelestarian tersebut.
Kegiatan pelestarian arsitektur secara garis besar juga dijelaskan pada Piagam Athena
yang dideklarasikan pada tahun 1993 (the functional city), sebagai berikut:
1) Nilai arsitektur dari sebuah objek arsitektur (fabric) atau kawasan kota
(ensemble) yang memiliki nilai signifikan khusus harus dilindungi; dan
2) Warisan bersejarah akan dilindungi apabila dinilai objek/benda tersebut
merupakan pencerminan budaya masa lalu selama masih memenuhi
kepentingan umum.
Pelestarian atau konservasi arsitektur juga harus memiliki strategi yang pintar dalam
pemilihan objek bangunan yang akan dilestarikan seperti yang diungkapkan oleh Budihardjo
(1997) yang menyebutkan bahwa motivasi tunggal dalam konservasi arsitektur adalah
patriotisme untuk mengenang kejayaan pahlawan, baru setelah itu muncul motivasi baru yang
melatarbelakangi hal tersebut, seperti pendidikan, lingkungan, estetika, dan profit. Hal
tersebut perlu diperhatikan mengingat bahwa memori buruk pada masa penjajahan Belanda
tidak lagi terulang apabila objek bangunan kolonial Belanda menjadi kajian pelestarian.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelestarian bangunan atau
konservasi tidak hanya sebatas perawatan yang intensif terhadap kondisi bangunan
bersejarah, melainkan juga sebagai upaya untuk menghidupkan kembali fungsi objek tersebut
atau menciptakan fungsi bangunan baru yang selaras dan tidak merusak keberadaan objek
bangunan tersebut.
2.3.2 Konsep Pelestarian
Pelestarian dalam lingkup bangunan dan lingkungan sekitar memiliki arti sebagai
sebuah proses untuk memelihara bangunan ataupun lingkungan sedemikian rupa sehingga
makna kulturalnya yang meliputi nilai estetika, sejarah, keilmuan, nilai sosial untuk generasi
masa lampau, kini, dan generasi mendatang. Pelestarian merupakan kegiatan untuk
melestarikan atau melindungi dan menjaga bangunan, monumen, lingkungan, dari kerusakan
dan mencegah proses kerusakan (demolition).
2.3.3 Strategi Pelestarian
Berdasarkan undang-undang no. 11 tahun 2010 yang berisikan tentang Benda Cagar
Budaya menjelaskan bahwa “yang termasuk dalam kategori benda cagar budaya adalah
benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok,
atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.” Hal
24
tersebut menjelaskan bahwa strategi pelestarian yang tepat harus diaplikasikan pada
bangunan yang memiliki kapasitas sebagai benda cagar budaya.
Menurut Budihardjo (1997) kegiatan konservasi arsitektur saat ini bukanlah sekedar
sebagai pemeliharaan bangunan yang tanpa arti, tetapi konservasi dan revitalisasi sekarang ini
memiliki tiga keuntungan bagi penataan kota, yaitu keuntungan budaya, keuntungan
ekonomi, dan keuntungan sosial.
Budihardjo (1997) juga menjelaskan bahwa konsep pelestarian yang digunakan bisa
berupa konsep konservasi “latar depan” dan konsep “latar belakang” dimana strategi
melestarikan bangunan kuno bersejarah dilakukan pada latar depan, sedangkan bangunan
infrastruktur baru dengan penerapan teknologi terkini yang mendukung eksistensi bangunan
lama berada di posisi belakang (background).
Budihardjo (1997) mengutarakan bahwa ada beberapa strategi pelestarian dan
konservasi yang lebih ditekankan pada aspek preservasi, pelestarian, atau pengawetan
bangunan monumen kuno. Setelah semakin mendapatkan perhatian khusus maka muncullah
Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance (Burra Charter) yang secara
eksplisit menerangkan batasan pengertian konservasi mulai dari preservasi, restorasi,
rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, hingga revitalisasi.
1. Preservasi: Tindakan pelestarian yang bersifat statis, pasif/museal. Preservasi
merupakan upaya melindungi bangunan, monumen, dan lingkungan dari
kerusakan serta mencegah proses kerusakan yang terjadi.
2. Konservasi: Tindakan pelestarian yang berupa pemugaran dan mempunyai sifat aktif.
Konservasi juga memiliki arti sebagai upaya untuk melestarikan suatu lingkungan
binaan yang sedemikian rupa, sehingga makna lingkungan mampu dipertahankan,
pemanfaatan fungsi yang efisien, serta pengaturan arah pengembangan objek
pelestarian bangunan ke masa depan.
3. Restorasi: Tindakan memulihkan/mengembalikan kondisi suatu objek pelestarian
kepada kondisi asli, sejauh yang diketahui, dengan jalan menghilangkan
penambahan fungsi baru kepada objek bangunan lama, atau dengan cara merakit
elemen eksisting tanpa adanya penggunaan bahan/material baru. Selain itu, juga
memliki pengertian sebagai sebuah tindakan untuk mengembalikan keadaannya
seperti kondisi awal dengan membuang elemen baru dan memasang kembali
bagian aslinya yang hilang.
4. Rehabilitasi: Tindakan untuk mengembalikan kondisi bangunan/artefak yang telah
mengalami penurunan/kerusakan untuk dikembalikan kepada kondisi semula agar
25
dapat berfungsi dengan baik. Rehabilitasi juga merupakan upaya mengembalikan
kondisi bangunan yang telah rusak, sehingga dapat berfungsi kembali seperti
semula.
5. Renovasi: Tindakan untuk merubah interior bangunan, baik sebagian ataupun secara
keseluruhan sehubungan dengan adaptasi bangunan tersebut terhadap bangunan
baru. Renovasi juga mengandung arti sebagai upaya untuk mengubah sebagian
atau beberapa interior bangunan tua supaya dapat diadaptasikan untuk
menyesuaikan fungsi baru tanpa menimbulkan perubahan yang berarti.
6. Adisi: Tindakan untuk menempatkan suatu bangunan baru pada kawasan yang
dilestarikan untuk menunjang karakter kawasan tersebut tanpa merusak tatanan
dan fungsi kawasan.
7. Rekonstruksi: Tindakan untuk mengembalikan keadaan sebuah objek yang telah
hilang atau hancur sebagian, sehingga dapat kembali ke kondisi awal dengan
penggunaan bahan material lama ataupun penggunaan material baru.
8. Adaptasi/Revitalisasi: Tindakan untuk menghidupkan kembali kawasan yang telah
mengalami degradasi dengan dilakukannya intervensi fisik atau non fisik. Dapat
pula disebut sebagai upaya untuk mengubah suatu lingkungan binaan agar bisa
dimanfaatkan untuk ditempatkan fungsi bangunan baru dengan memberikan
dampak perubahan minimal bagi kondisi bangunan lama.
9. Demolisi: Tindakan berupa penghancuran secara permanen untuk perombakan suatu
lingkungan binaan yang telah mengalami kerusakan parah dan berisiko
membahayakan manusia.
2.3.4 Penilaian Bangunan Berdasarkan Kriteria Makna Kultural
Pada dasarnya seperangkat konsep dan langkah-langkah untuk melakukan pekerjaan
konservasi yang telah dirangkum dalam rencana pelestarian berdasarkan konsep makna
kultural (Kerr, 1982) dalam Burra Charter yang memiliki makna penggabungan kepentingan
pelestarian sejarah dengan menggabungkan kepentingan pelestarian sejarah dengan penilaian-
penilaian arsitektural dari suatu bangunan lama tersusun atas dua pokok pembahasan, yaitu:
1. Stating Cultural Significance, merupakan kebijakan untuk memahami dan menilai
makna kultural bangunan beserta nilai tempatnya dengan kriteria tertentu, sebagai
berikut:
a. Keindahan/estetika;
b. Keaslian bangunan;
c. Sejarah;
26
d. Keterawatan;
e. Keilmuan;
f. Kelangkaan;
g. Keluarbiasaan;
h. Kualitas formal.
2. Conservation Policy, merupakan langkah terbaik dalam mempertahankan nilai-nilai
konservasi untuk dikembangkan di masa depan.
2.4 Pemilihan Objek Preservasi dan Konservasi
Kriteria dalam menentukan objek preservasi dan konservasi menurut Catanese (1979),
dibagi menjadi kriteria berikut:
1. Kriteria keindahan (aesthetic), yaitu berkaitan dengan keindahan arsitektural dari
berbagai masa;
2. Kriteria kekhasan (typical), yaitu bangunan yang memiliki karakteristik yang
mewakili kelas atau tipe bangunan tertentu;
3. Kriteria kelangkaan (scarcity), yaitu bangunan tersebut merupakan bangunan terakhir
yang tunggal atau merupakan objek peninggalan terakhir dari gaya arsitektur yang
mewakili masanya;
4. Kriteria keluarbiasaan (superlative), yaitu bangunan yang memiliki tampilan yang
paling menonjol, besar, tinggi, dan sebagainya;
5. Kriteria peranan sejarahnya (historical role), yaitu bangunan-bangunan ataupun
lingkungan yang memiliki peranan dalam peristiwa bersejarah, sebagai kaitan
simbolis antara peristiwa masa lalu dengan peristiwa masa kini;
6. Kriteria pemaknaan (meaning) bangunan.
Apabila bangunan preservasi dan konservasi dilihat dalam skala yang luas (kota/wilayah),
maka dapat dibagi menjadi lima kriteria (Pamungkas, 1990), sebagai berikut:
1. Kriteria arsitektural;
2. Kriteria historis;
3. Kriteria simbolis;
Objek-objek preservasi dan konservasi dapat dipilih melalui berbagai macam kriteria
yang ditawarkan. Dari berbagai objek preservasi dan konservasi Attoe (1986:409)
memberikan kriteria tersendiri, yaitu:
1. Kota dan pedesaan (town and village);
2. Garis langit dan koridor panjang (skylines and view corridors);
27
3. Kawasan (district);
4. Wajah jalan (streetscapes);
5. Fasade bangunan (building facades);
6. Benda dan penggalan (objects and fragments).
Faktor lain yang ikut berpengaruh dalam pemilihan objek preservasi dan konservasi
bangunan selain kriteria yang telah disebutkan tersebut adalah faktor usia bangunan dan
fungsi bangunan.
1. Usia bangunan
Objek pelestarian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Budiharjo,1996):
Undang-undang Benda Cagar Budaya no. 11 tahun 2010, pasal 5, menerangkan
bahwa:
a. Benda cagar budaya adalah:
1) Benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa kesatuan
atau kelompok, atau berupa bagian-bagian, atau sisa-sisa peninggalan, yang
berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, beserta
kebudayaan.
2) Benda alam yang dianggap memiliki nilai penting bagi ilmu sejarah,
pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan.
b. Situs bersejarah adalah lokasi yang memiliki atau diduga memiliki benda cagar
budaya beserta lingkungan sekitarnya sebagai sarana yang diperlukan untuk
pengamanan objek bersejarah tersebut.
c. Benda-benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya merupakan benda
kekayaan alam yang memiliki nilai ekonomis/intrinsik tinggi yang tersembunyi
atau terpendam di bawah permukaan tanah serta di wilayah perairan Republik
Indonesia (PP no.10/1993 tentang pelaksanaan UU no.11/2010).
2. Fungsi bangunan
Berdasarkan fungsi yang dikemukakan oleh para ahli tata perencanaan kota, arsitek,
maupun pengamat bangunan bersejarah, bangunan yang dikatakan memiliki peran
penting dalam mengupayakan proses pelestarian bangunan antara lain:
1) Fungsi bangunan kuno berdasarkan isi dari Undang-Undang Benda Cagar Budaya
no.11 tahun 2010, untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/atau kebudayaan melalui prosedur penetapan.
28
2) Fungsi yang diutamakan pada bangunan kuno harus fleksibel, tidak harus
memiliki keterkaitan dengan fungsi bangunan asli. Dalam proses
pengembangannya fungsi bisnis bisa diaplikasikan untuk mendukung proses
pelestarian ataupun sebagai upaya pengembangan dan dimanfaatkan sebagai biaya
administrasi perawatan bangunan kuno tersebut. Fungsi bangunan tersebut
sebaiknya mengikuti fungsi bangunan saat ini, namun tetap mengikuti kaidah
pelestarian bangunan bersejarah.
3) Fungsi dapat menjamin bangunan kuno tersebut sebagai identitas kawasan,
sehingga bangunan tidak memiliki fungsi yang identik dengan fungsi bangunan
terdahulu pada awal peruntukan bangunan. Supaya fungsi bangunan dapat lebih
optimal, maka fungsi bangunan yang diaplikasikan pada bangunan kuno tersebut
harus memiliki nilai produktif/memiliki andil dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan ataupun kegiatan perekonomian yang dapat menjadikan
bangunan tersebut sebagai pusat perhatian.
2.5 Tinjauan Riset Terdahulu
Tinjauan riset terdahulu merupakan kajian mengenai riset-riset yang telah pernah
dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan objek kajian dan memiliki kontribusi terhadap
penelitian yang akan dilakukan mengenai penentuan karakteristik bangunan kolonial
Belanda.
29
Tabel 2.2. Studi-studi terdahulu yang pernah dilakukan
No. Peneliti dan ObyekPenelitian
Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Faktor Pembeda
1.
2.
3.
Widyanti, (2011) denganjudulPelestarian StasiunKereta Api Kota BaruMalang.
Fajarwati, (2011) denganjudul PelestarianBangunan Utama EksRumah Dinas ResidenKediri
Risdyaningsih, (2014)dengan judulPelestarian GedungPertemuan KompleksAsrama Inggrisan.
Menurut Widyanti, (2011) tujuan daristudi ini adalah untuk menganalisa danmenemukan karakter arsitektur bangunanStasiun Kereta Api Kota Baru Malangdan untuk selanjutnya menentukanstrategi pelestarian yang tepat untukditerapkan pada objek bangunan kolonialBelanda tersebut.
Menurut Fajarwati, (2011) tujuan daristudi ini adalah untuk menganalisa danmenemukan karakter arsitektur spasialdan visual bangunan utama eks rumahdinas Residen Kediri dan untukselanjutnya menentukan strategipelestarian yang tepat untuk diterapkanpada objek bangunan kolonial Belandatersebut.
Menurut Risdyaningsih, (2014) tujuanpenelitian ini adalah menganalisa danmengidntifikasi karakter arsitektur spasialdan visual bangunan Asrama Inggrisanuntuk selnajutnya dilakukan proses
Metode dalam kajianpenelitian ini adalahmetode kualitatifdengan pendekatanmengaplikasikanmetode deskriptifanalisis, metodeevauatif, dan metodedevelopment.
Metode yangdiaplikasikan padapenelitian ini adalahmetode deskriptifanalisis, metodeevaluatif, dan metodedevelopment.
Metode kualitatifyang menggunakanpendekatan melaluikajian deskriptifanalisis, metode
Mengidentifikasikarakteristikbangunan danmenentukan arahanpelestarian yang tepatbagi objek bangunan
Kompleks bangunanlebih banyakmencerminkanIndische Empire Styledan arahanpelestariandifokuskan pada tigaelemen yaitupotensial rendah,potensial sedang, danpotensial tinggi
Karakter spasialdiklasifikasikan(kajian fungsi,organisasiruang,orientasi ruang,
Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian
Indische Empire Style yangmenjadi ciri khas bangunanpelestarian ini merupakanpeninggalan dari awal abad19. Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian
Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian
30
4.
5.
Sukarno, (2013) denganjudul PelestarianBangunan KolonialBelanda Rumah DinasBakorwil Kota Madiun
Permata, (2013) denganjudul PelestarianGedung PT PerkebunanNusantara XI Surabaya
pelestarian.
Menurut Sukarno, (2013) tujuanpenelitian ini adalah memnentukanarahan tindakan pelestarian bagi aspekfisik bangunan
Kajian penelitian Permata (2013),bertujuan untuk mengkaji danmenganalisa karakter arsitektur bangunanPT Perkebunan Nusantara XI Surabayadan untuk selanjutnya menentukanstrategi pelestarian yang tepat untukditerapkan pada objek bangunan kolonialBelanda tersebut
evaluatif dan metodedevelopment.
Metode kualitatifdengan pendekatanmetode deskriptifanalisis, metodeevaluative, danmetode development.
Metode yangdiaplikasikan dalamkajian penelitian inidiantaranya adalahmetode deskriptifanalisis, metodeevaluative, danmetode development.
dan sirkulasibangunan), karaktervisual (denah,jendela, ventilasi,pintu, lantai, dinding,atap, kolom, danfasade). Selanjutnyaadalah prosespenilaian maknakultural sebagaiarahan pelestarianbangunan.
Pendalamandeskriptif bagikarakteristik visualbangunan danmenentukan arahanpelsetarian yang tepatbagi bangunan.
Karakter spasial yangdikaji meliputi tatamassa, karakteristikvisual bangunan yangdiamati meliputidinding, jendela,pintu, pintu-jendela,bouvenlicht, atap,fasade, kolom, danlantai untukselanjutnya diarahkanpada pelestarianbangunan.
Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian
Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian
31
6. Adysti, (2011) denganjudul PelestarianGedung merah PutihBalai Pemuda Surabaya
Mengidentifikasi dan menganalisiskarakteristik bangunan serta menentukanarah pelestarian bangunan
Metode yangdigunakan adalahmetode deskriptifanalisis, metodeevaluative, danmetode development.
Karakter visualbangunan meliputidenah dan fasadebangunan, prinsipkomposisi meliputidominasi,perulangan, dankesinambungan,karakter spasialmeliputi organisasiruang dan orientasibangunan, arahanpelestarian diarahkanpada potensi tinggi,sedang, dan rendah
Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian
32
2.7 Kerangka Teori
Pelestarian Bangunan Balai Kota Madiun (eks Raadhuis te Madioen)
Karakter Arsitektural Pelestarian Arsitektur
Karakteristik Visual
(Krier, 2001) (Handinoto,1996)
- Denah
- Jendela
- Ventilasi
- Pintu
- Dinding Eksterior
- Atap
- Kolom
- Fasade
Karakteristik Spasial
(Ching, 2008)
- Organisasi Ruang
- OrientasiRuang/Bangunan
- Sirkulasi
Konsep Pelestarian Makna KulturalBangunan
Konsep MaknaKultural
Kriteria PenilaianMakna Bangunan
Strategi PelestarianKlasifikasi Pelestarian Kriteria Pemilhan ObjekPreservasi Konservasi
(UU no, 11 tahun 2010)
34
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Metode Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk memberikan penggambaran
terhadap objek dan permasalahan yang diteliti yang bersifat komparatif serta korelatif, yaitu
karakter arsitektur kolonial Belanda dari Balai Kota Madiun. Dalam proses menganalisis
karakter bangunan Balai Kota Madiun diawali dengan langkah mengidentifikasi tiap elemen
bangunan Balai Kota dan mencocokkannya dengan ciri atau karakter pada pembahasan
tinjauan pusataka. Hasil analisis tersebut dijadikan acuan pertimbangan dalam pelaksanaan
pelestarian bangunan Balai Kota Madiun. Variabel penelitian yang diamati adalah
pengamatan terhadap kondisi bangunan untuk disesuaikan dengan teori yang digunakan
untuk mengidentifikasi presentase bangunan asli yang masih bertahan dibandingkan dengan
kondisi bangunan yang masih baru.
3.1.2 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat analisa dan deskripsi mengenai fakta-fakta yang terjadi di
lapangan dengan cara mencatat, mengumpulkan informasi terkait dengan masalah yang
diteliti. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap karakteristik arsitektur yang selama
ini sangat jarang sekali ditemukan informasinya. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis kualitatif, dengan metode pendekatan dengan deskriptif
analisis, yaitu dengan memaparkan kondisi yang terjadi di lapangan. Metode ini dilakukan
melalui observasi lapangan dan wawancara.
Metode deskriptif analisis yaitu dengan menggambarkan keadaan di lapangan dan
melakukan analisa melalui studi kasus terhadap objek yang diteliti. Dalam hal ini studi kasus
yang dilakukan adalah pada objek bangunan kolonial Balai Kota Madiun untuk dijadikan
sampel dalam mengidentifikasi tipe-tipe elemen arsitektural. Metode pendekatan yang
diaplikasikan pada penelitian ini adalah metode deskriptif analisis (pemaparan kondisi),
metode evaluatif (pembobotan) dan metode development. Metode evaluatif dan development
digunakan untuk mengkaji kondisi objek bangunan saat ini dan menentukan arahan dalam
upaya konservasi.
Pada tahap ini ditentukan oleh berbagai langkah dalam mengkaji objek penelitian,
diantaranya:
33
34
Gambar 3.1 Peta Lokasi Balai Kota Madiun
1. Mengkaji kondisi fisik bangunan dengan melakukan pengamatan kondisi bangunan
pada saat ini.
2. Mengumpulkan informasi dan memahami kondisi historis ataupun non fisik yang
menjadi latar belakang pembangunan Balai Kota Madiun.
3. Setelah diperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi bangunan beserta aspek
historis yang melingkupinya, dibuat suatu kesimpulan tentang karakter yang terdapat
pada bangunan serta menetapkan atau menentukan upaya pelestarian yang sesuai.
3.2 Objek dan Lokasi Penelitian
3.2.1 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah bangunan kolonial Balai Kota Madiun (RaadHuis te
Madioen) yang masih dipergunakan dan dipertahankan fungsinya oleh Pemerintah Daerah
sebagai kantor Walikota dan pusat pemerintahan Kotapraja Madiun, dengan meneliti elemen
arsitekturnya untuk mengetahui tipe serta karakteristik arsitektur kolonial Belanda yang
mempengaruhi desain bangunan ini sekaligus menentukan arahan pelestarian bangunan.
U
U
35
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen merupakan media yang digunakan untuk mempermudah pengumpulan data
selama melakukan observasi di lapangan. Adapun instrumen pengumpulan data adalah
sebagai berikut:
1. Kamera
Mengambil gambar dan video pada eksisting dan detail elemen pada bangunan.
2. Perekam suara
Merekam proses wawancara oleh sumber terkait.
3. Lembar catatan dan sketsa
Untuk mencatat hasil wawancara dan keterangan serta menggambarkan objek
penelitian.
4. Lembar observasi
Berupa form penilaian terkait terhadap elemen-elemen bangunan yang diteliti dengan
agar lebih terstruktur dengan parameter yang sama.
5. Layout Plan
Untuk mengetahui tata peletakan massa bangunan sebagai langkah identifikasi
kondisi bangunan saat ini.
6. Denah
Untuk mengetahui letak elemen dalam peninjauan karakter arsitektur bangunan
kolonial Belanda ini.
3.4 Metode Analisis Data
3.4.1 Metode Deskriptif Analisis
Variabel merupakan acuan dalam meneliti dan menemukan karakteristik arsitektur
kolonial Belanda pada Balai Kota Madiun. Adapun variabel tersebut antara lain:
36
Tabel 3.1 Variabel PenelitianNo. Kriteria Pengamatan Variabel Indikator
1.
2.
Karakter Visual
Karakter Spasial
Fasade bangunan
- Atap
- Dinding
- Pintu
- Jendela
- Ventilasi
- Kolom
Ruang dalam bangunan
- Dinding Interior
- Plafond
- Lantai
Massa bangunan
Organisasi ruang
- Pola ruang
- Alur sirkulasi
- Orientasi ruang
- Orientasi bangunan
Komposisi
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk, material, ornamen, warna,
perubahan
Bentuk bangunan, perubahan
Komposisi
Pola perubahan
Pola sirkulasi, perubahan
Pola ruang, perubahan
Pola bangunan, fungsi, peletakan,
perubahan
Dominasi, perulangan,
kesinambungan, proporsi, simetri,
pusat perhatian
37
Tabel 3.2 Kriteria Estetika Bangunan
Masing-masing kriteria tersebut dibagi kedalam tiga tingkatan yang berbeda, yaitu
klasifikasi tinggi, sedang, dan rendah yang disesuaikan dengan kondisi bangunan dari aspek
makna kultural elemen bangunan. Setiap klasifikasi memiliki bobot nilai tersendiri,
penentuan bobot tiap-tiap kriteria mengacu pada perhitungan scoring Oppenheim (1973)
yaitu “the ratings may run from 1-5, or from 1-10, or any other intervals”. Kriteria penetapan
tingkatan klasifikasi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tingkatan tinggi
dengan nilai 1, 2, dan 3.
Berikut ini adalah penjelasan yang signifikan mengenai bobot dan penilaian makna
kultural bangunan beserta batasan yang digunakan pada tipe tingkatan sebagai berikut:
1. Estetika
Estetika bangunan memliki keterkaitan dengan variabel konsep dan struktural
bangunan. Penilaian estetika didasarkan atas keterpeliharaan elemen-elemen
bangunan dari suatu perubahan, sehingga bentuk dan gaya serta elemen-elemen
bangunan masih sama dan relevan dengan bentuk bangunan aslinya.
2. Kejamakan
Prosedur penilaian terhadap aspek ini mengacu pada variabel konsep yang mewakili
gaya dan karakter bangunan asli, yaitu bangunan yang mengadopsi gaya arsitektur
kolonial Belanda pada periode 1920-1940-an.
No Klasifikasi Nilai Keterangan
1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiunmengalami perubahan sehingga bangunan Balai Kota Madiunkehilangan karakter bangunan asli dari era kolonial Belanda.
2 Sedang 2 Apabila terjadi perubahan pada variabel konsep dan strukturelemen bangunan pada bangunan Balai Kota Madiun tanpamenghilangkan karakter asli bangunan tersebut.
3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan tidak mengalamiperubahan yang berarti atau karakter asli peningglan kolonialBelanda masih bisa diidentifikasi dari Balai Kota Madiun.
38
Tabel 3.3 Kriteria Kejamakan Bangunan
Tabel 3.4 Kriteria Kelangkaan Bangunan
3. Kelangkaan
Prosedur penilaian kelangkaan bangunan serta elemen-elemen bangunan erat
kaitannya dengan aspek bentuk, gaya, dan struktur yang tidak dimiliki oleh bangunan
lain pada kawasan yang sama sehingga menjadikan bangunan ini memiliki
karakteristik yang berciri khas tersendiri.
No Klasifikasi Nilai Keterangan
1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak mewakili karakter bangunan asli atau sudah banyak tejadiperubahan.
2 Sedang 2 Apabila terjadi perubahan pada variabel konsep dan strukturelemen bangunan yang merupakan perpaduan antara bangunankolonial asli dengan bangunan yang lebih baru.
3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili karakterbangunan asli dari karakter arsitektur kolonial Belanda.
No Klasifikasi Nilai Keterangan
1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiunumum dan banyak ditemukan pada kawasan Jalan Pahlawan danKota Madiun.
2 Sedang 2 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili salahsatu gaya bangunan yang pernah ada pada kawasan Kota Madiunpada masa pemerintahan kolonial Belanda dan mendukungkarakter asli bangunan.
3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili karakterbangunan asli dari karakter arsitektur kolonial Belanda. Dan tidak
39
Tabel 3.5 Kriteria Peranan Sejarah Bangunan
Tabel 3.6 Kriteria Keluarbiasaan Bangunan
4. Peranan Sejarah
Peranan Sejarah berkaitan dengan peristiwa sejarah atau perkembangan Kota Madiun
yang bisa ditinjau dari gaya dan karakter bangunan beserta elemen arsitektural yang
mewakili masa tersebut.
5. Keluarbiasaan
Kriteria ini memiliki keterkaitan dengan bentuk dan struktur bangunan serta elemen-
elemen yang berhubungan dengan ukuran sehingga menjadikan bangunan ini faktor
pembentuk karakter bangunan.
terdapat pada daerah lainnya.
No Klasifikasi Nilai Keterangan
1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak mempunyai fungsi yang terkait dengan peristiwa bersejarah.
2 Sedang 2 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mempunyai fungsiyang terkait dengan peristiwa bersejarah yang berhubungandengan kawasan Jalan Pahlawan dan Kota Madiun.
3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan memilikiketerkaitan dengan sejarah pengembangan kawasan dan memilikibukti fisik perkembangan kawasan Jalan Pahlawan dan KotaMadiun.
No Klasifikasi Nilai Keterangan
1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak memperkuat karakter bangunan asli atau sudah banyak tejadiperubahan.
40
Tabel 3.7 Kriteria Memperkuat Citra Bangunan
6. Memperkuat Karakter Bangunan
Penilaian terhadap kriteria memperkuat karakter bangunan dengan elemen-elemen
bangunan yang mempengaruhi bangunan dan difungsikan sebagai pembentuk dan
pendukung karakter bangunan asli.
Nilai pada masing-masing elemen bangunan untuk tiap kriteria selanjutnya akan
dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total yang dimiliki elemen bangunan. Nilai dalam
penentuan itulah yang menjadi patokan dalam klasifikasi elemen yang menjadi dasar
penentuan arahan pelestariannya. Langkah-langkah dalam penilaian maknakultural bangunan
sebagai berikut:
- Menjumlahkan hasil dari masing-masing kriteria
- Menentukan total nilai tertinggi dan terendah
2 Sedang 2 Apabila terjadi perubahan pada variabel konsep dan strukturelemen bangunan yang sudah berubah atau mengalami kerusakan.
3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili ataumemperkuat karakter bangunan asli dari karakter arsitekturkolonial Belanda Balai Kota Madiun.
No Klasifikasi Nilai Keterangan
1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak memiliki satupun nilai tinggi pada kelima aspek sebelumnyadan bukan merupakan pembentuk karakter bangunan yang utama.
2 Sedang 2 Apabila pada variabel konsep dan struktur memiliki minimal 1nilai tinggi pada kelima aspek terdahulu dan merupakan elemenpembentuk karakter bangunan asli.
3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan memilki minimal 2nilai tinggi pada kelima aspek terdahulu dan sebagai bagian utamapembentuk karakter bangunan asli.
41
Tabel 3.8 Interval Arahan Pelestarian
- Mengelompokkan elemen bangunan ke dua kelompok besar, yaitu elemen potensial dan
elemen kurang potensial yang dilakukan dengan rumusan Sturgess:
k = 1 + 3,322 log k = £ kelas
n = £ angka yang ada dalam data
Menentukan pembagian jarak interval dengan mencari selisih antara total nilai tertinggi dan
nilai terendah untuk kemudian dibagi dengan jumlah kelas, seperti:
i = jarak i = interval kelas
k jarak = rentang nilai tertinggi dan terendah
k = 1 + 3,322 log n
Rentang Nilai Kategori
Rentang nilai dari 6-10 Rendah
Rentang nilai dari 11-15 Sedang
Rentang nilai dari 16-18 Tinggi
3.4.2 Metode Development
Metode ini dilaksanakan sebagai cara untuk menentukan arahan fisik pelestarian yang
sesuai terhadap kondisi bangunan. Dalam metode ini data dibandingkan dengan standar yang
telah ditetapkan. Standar tersebut ditetapkan dengan cara menyesuaikan hasil analisis
terhadap bangunan dengan mengaplikasikan teori-teori pelestarian dan kasus-kasus
pelestarian yang memiliki kondisi yang sama dengan objek studi. Metode ini menerapkan
suatu tahapan berupa tindakan fisik yang didasarkan pada hasil metode evaluatif yang
sebelumnya telah dilaksanakan.
Tahapan ini berfungsi untuk menentukan batasan fisik yang diperbolehkan bagi setiap
elemen bangunan untuk diterapkan perubahan-perubahan. Pada metode evaluatif diperoleh
elemen-elemen bangunan yang membentuk karakteristik bangunan yang diklasifikasikan ke
dalam potensial tinggi, sedang, dan rendah, sedangkan pada aplikasi metode ini hasil tersebut
kemudian diklasifikasikan kembali secara lebih spesifik ke dalam tiga kelas arahan
pelestarian, yaitu preservasi, konservasi, dan restorasi/rehabilitasi.
42
Tabel 3.9 Teknik Pelestarian Fisik
Potensi Arahan Pelestarian Tingkat Perubahan Fisik yangDiperbolehkan
1.
2.
3.
Potensi Tinggi
Potensi Sedang
Potensi Rendah
PreservasiKonservasiKonservasiRehabilitasiRehabilitasiRekonstruksi
Sangat KecilKecilKecilSedang-BesarSedang-BesarBesar
Arahan pelestarian fisik ini berfungsi untuk menentukan batasan perubahan fisik yang
diperbolehkan untuk setiap elemen bangunan. Setelah batasan perubahan fisik ditentukan dan
disusul dengan tindakan teknis pelestarian berdasarkan tingkat perubahan yang diperbolehkan
bagi tiap elemen pembentuk karakter pada bangunan tersebut. Perbedaan penentuan kategori
tinggi, sedang, dan rendah berpengaruh terhadap arahan pelestariannya. Bangunan yang
memiliki potensi tinggi disarankan dilakukan preservasi dan restorasi dengan cara
mengaplikasikan bahan dan material yang sama dalam menjaga keaslian bangunannya.
Bangunan dengan tingkat potensi sedang dilakukan usaha konservasi untuk melestarikan
kondisi bangunannya, dan elemen bangunan dengan potensi rendah dilakukan upaya
rehabilitasi berupa penggantian bagian yang rusak agar dapat berfungsi kembali.
3.5 Tahapan Penelitian
Tahap penelitian merupakan rangkaian proses penelitian yang mencakup sistematika
langkah-langkah yang akan ditempuh dan cara-cara yang dilakukan yang dilakukan pada
setiap tahapan tersebut. Berikut merupakan tahapan yang dilakukan dalam metode ini:
3.5.1 Persiapan dan Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah bertujuan untuk memunculkan dugaan sementara atau hipotesis.
Tahap ini bertujuan untuk mengemukakan fakta sehingga didapatkan latar belakang sebagai
dasar penentuan pokok permasalahan. Permasalahan yang ada adalah minimnya informasi
mengenai tinjauan karakter arsitektur kolonial Belanda pada Balai Kota Madiun. Hipotesis
pada penelitian ini adalah adanya ciri khas karakteristik arsitektur kolonial Belanda Art Deco
pada bangunan pemerintahan ini.
3.5.2 Pengumpulan Data
43
Pengumpulan data merupakan tahapan untuk menemukan data yang dituju dan
dibutuhkan dalam meneliti. Adapun dalam pengumpulan data dilakukan metode deskriptif
evaluatif dengan adanya pengumpulan data primer langsung di lapangan dan data sekunder
berupa peninjauan objek literatur.
1. Data Primer
Data primer sebagai data yang didapatkan langsung di lapangan, dalam hal ini
penelitian dilakukan di Balai Kota Madiun, sehingga data yang didapatkan berhubungan
dengan lokasi serta objek dan pendekatan yang akan ditinjau. Adapun data primer yang
dibutuhkan adalah:
No Jenis Data Kegunaan Data Sumber Bentuk Data
1 Data tentang sejarahberdirinyapemerintahan HindiaBelanda pada kotaMadiun dan sejarahpembentukanKotapraja Madiun
Untuk menelusurisejarah dan kondisieksisting yangmempengaruhiberdirinya pemerintahanHindia Belanda di kotaMadiun.
Wawancara denganNarasumber
Rekaman suara,catatan pribadihasil wawancara.
2 Data tentang kondisieksisting lokasipenelitian
Untuk mengetahuikondisi geografis lokasipenelitian.
Observasi lapangan Foto, video,catatan pribadiobservasi.
3 Data tentang karakterarsitektural bangunankolonial Balai KotaMadiun
Untuk mengetahui polaaktivitas yangmempengaruhi tipeelemen arsitektur padaBalai Kota Madiun.
Wawancara denganNarasumber
Oservasi lapangan
Rekaman suara,catatan hasilobservasi lokasipenelitian.
Tabel 3.10 Data Primer
44
2. Data Sekunder
Data sekunder meliputi data yang menunjang data primer untuk memperkuat survey
serta wawancara yang telah dilakukan.
Tabel 3.11 Data Sekunder
No Jenis Data Kegunaan Data Sumber Bentuk Data
1. Arahan konservasibangunan
Untuk mengetahui datakonservasi dari dinasterkait setempat terhadapkondisi bangunanbersejarah.
Data Instansiterkait
Buku bacaan
Logbook
2. Perubahan fisikbangunan
Untuk mengetahui datamengenai perubahan fisikbangunan bersejarah.
Arsip Instansiterkait
Buku bacaan
Logbook
3. Data sejarah bangunan Untuk mengetahui sejarahdidirikannya bangunan danaspek yang mendasarinya.
InstansiPerpustakaanDaerah terkait
Buku bacaanterkait
Logbook
4. Literatur elemen fisikdan karakteristikbangunan
Mengetahui berbagaiklasifikasi darikarakteristik bangunan.
Jurnal terkait Buku bacaan
Logbook
Tinjauan literatur berupa penelusuran terhadap teori-teori yang berhubungan
dengan objek penelitian, dalam hal ini dilakukan peninjauan terhadap objek literatur
yang berhubungan dengan karakter arsitektur, sejarah pemerintahan Hindia Belanda
di Kota Madiun, arsitektur kolonial Belanda, sejarah Balai Kota Madiun, dan elemen
arsitektur pada Balai Kota Madiun. Tinjauan literatur ini dibutuhkan sebelum
melakukan peninjauan langsung di lapangan, sehingga tinjauan literatur dijadikan
sebagai suatu penggambaran sebelum terjun langsung ke lapangan, dan menemukan
kebenaran mengenai sejarah objek terkait.
Adapun tinjauan literatur yang digunakan adalah:
a. Jurnal mengenai karakter arsitektur kolonial Belanda, beserta detail periode
perkembangannya.
b. Buku bacaan mengenai arsitektur kolonial Belanda, beserta elemen
arsitekturnya.
45
c. Serta beberapa jurnal lainnya yang mendukung penelitian.
3.5.3 Tahapan Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data dilakukan setelah melakukan survei di lapangan dengan
menemukan data primer, dan peninjauan terhadap literatur terkait yang menunjang penelitian
melalui data sekunder. Adapun tahapan pengolahan data dikelompokkan ke dalam analisis
data dan sintesa data.
1. Analisis Data
Setelah didapatkan data primer berupa peninjauan langsung di lapangan serta
data sekunder berupa studi literatur dan penelitian sebelumnya, selanjutnya dilakukan
pengolahan data penelitian yang akan menjadi materi analisa dan pembahasan sebagai
hasil dari penelitian.
Analisis kondisi eksisting bangunan dilakukan dengan meninjau elemen
pembentuk bangunan yang erat kaitannya dengan karakter arsitektural Balai Kota
Madiun, serta potensi yang terdapat pada lokasi penelitian.
2. Identifikasi karakter arsitektur Balai Kota Madiun melalui peninjauan terhadap
elemen-elemen arsitektural colonial Belanda pada bangunan ikonik ini.
Analisis elemen pada bangunan ini dilakukan setelah meninjau secara
langsung terhadap elemen-elemen yang terdapat pada Balai Kota Madiun, serta
melakukan studi literatur yang sesuai topik pembahasan. Selanjutnya data diolah
dengan cara menganalisa tipe-tipe elemen pada Balai Kota tersebut yang dikaitkan
dengan karakter arsitektur kolonial Belanda, dan dijelaskan mengenai hal-hal yang
mempengaruhi karakter tersebut beserta perubahan pada desain bangunan
berdasarkan pengamatan peneliti.
3.5.4 Sintesa Data
Sintesa merupakan tahapan dalam menyimpulkan hasil dari penelitian yang telah
dilakukan, baik dengan melakukan tinjauan studi literatur maupun tinjauan langsung di
lapangan. Adapun sintesa data dilakukan setelah melakukan analisis terhadap hasil penelitian
yang telah dilakukan. Sintesa berupa pemaparan mengenai simpulan dari karakter arsitektur
pada Balai Kota Madiun berdasarkan elemen-elemen arsitektural bangunan, yang
mempengaruhi terbentuknya karakter bangunan Balai Kota Madiun.
46
Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian
Studi Referensi Studi Pendahuluan Observasi Awal
Penyusunan Proposal
Latar BelakangPenelitian
Teori Penelitian
Metodologi Penelitian
Pengumpulan DataSecara Riil
Data Sekunder
Peta Persil, TranskripSejarah Bangunan
(Arsip danWawancara)
Data Primer
Data Fisik Bangunan(Survei Lapangan)
KarakteristikBangunan
Analisis Pelestarian
Aplikasi metode developmentmenentukan strategi
pelestarian dari potensipelestarian yang telah
diperoleh setelah melaluiidentifikasi dan analisis
Kesimpulan dan Saran
KarakteristikArsitektural
Karakter Visual
- Atap
- Dinding Eksterior
- Dinding Interior
- Pintu
- Jendela
- Plafond
- Gaya
- Massa Bangunan
Karakter Spasial
- Organisasi Ruang
- Pola Raang
- Orientasi Ruang/Bangunan
Penilaian MaknaKultural
Estetika
Keterawatan
Kelangkaan
Keaslian
Peranan Sejarah
Keluarbiasaan
47Tabel 3.12 Desain Survey
No. Tujuan Variabel Sub variabel Analisis Jenis data Sumber data
Cara
memperoleh
data
Output
1. Analisa karakter
Balai Kota Madiun
Karakter spasial
bangunan
Organisasi ruang dalam,
sirkulasi
Orientasi ruang dan
bangunan
Analisis
Kualitatif
Analisis
Kualitatif
Perkembangan
dan perubahan
yang ada pada
karakter
bangunan
Perkembangan
dan perubahan
yang ada pada
karakter
bangunan
Studi literatur
Observasi
Lapangan
Wawancara
Studi Data
Primer
Studi Data
Sekunder
Perkembangan
dan perubahan
yang ada pada
setiap elemen
karakteristik
bangunan
48
No. Tujuan Variabel Sub variabel Analisis Jenis data Sumber data
Cara
memperoleh
data
Output
Analisa karakter
Balai Kota Madiun
Karakter visual
bangunan
Massa bangunan
Elemen fasade bangunan
- Pintu
- Jendela
- Kolom
- Dinding
- Atap
Elemen dalam bangunan
- Dinding interior
- Pintu
- Jendela
- Plafond
- Lantai
Analisis
Kualitatif
Analisis
Kualitatif
Analisis
Kualitatif
Perkembangan
arsitektur
kolonial
Belanda di
Indonesia
Perkembangan
dan perubahan
yang ada pada
karakter
bangunan
Perkembangan
dan perubahan
yang ada pada
karakter
bangunan
Studi literatur
Studi literatur
Observasi
Lapangan
Wawancara
Studi literatur
Observasi
Lapangan
Wawancara
Studi Data
Sekunder
Studi Data
Primer
Studi Data
Sekunder
Studi Data
Primer
Studi Data
Sekunder
Karakter
bangunan Balai
Kota Madiun
meliputi karakter
fisik yang berupa
visual dan spasial
Perkembangan
dan perubahan
yang ada pada
setiap elemen
karakteristik
bangunan
Perkembangan
dan perubahan
yang ada pada
setiap elemen
karakteristik
bangunan
49
No. Tujuan Variabel Sub variabel Analisis Jenis data Sumber data
Cara
memperoleh
data
Output
2. Menganalisis dan
menentukan
strategi arah
pelestarian Balai
Kota Madiun
Analisis fisik
bangunan
Pendekatan
pelestarian
berdasarkan arahan
fisik
Perkembangan dan
perubahan pada
Balai Kota Madiun
Pendekatan arahan
pelestarian pada
objek penelitian
Metode deskriptif
analisis (pemaparan
kondisi objek), metode
evaluative (metode
pembobotan), dan
metode development
Preservasi,
konservasi,rehabilitasi,
rekonstruksi
Karakter
bangunan untuk
mendapatkan
nilai makna
kultural
berdasarkan
kriteria-kriteria
makna kultural
Perkembangan
dan perubahan
pada bangunan
serta kendala
dalam upaya
pelestarian
Observasi
lingkungan
Pengelolaan
bangunan,
studi literature,
UU no. 11
tahun 2010
tentang cagar
budaya
Studi Data
Primer
Survey Data
Sekunder dan
Analisis Data
Faktor kendala
yang ada dalam
proses
pelestarian
ditinjau dari
faktor fisik
Pendekatan dan
arahan
pelestarian yang
tepat, kendala
saat pelestarian
50
DAFTAR PUSTAKA
Ching, DK (2008), Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Gill, Ronald (1988), The Morphology of Indonesian Cities, An Introduction to the
Morphology of Colonial Settlements and Town of Java, makalah pada seminar
Change and Heritage in Indonesia City di Jakarta, September, 28-29, 1988.
Groll, Tenminck CL., Historical Overview of Dutch Overseas Architecture and Town
Planning (up to 1990), makalah pada seminar Change and Heritage in Indonesian
City di Jakarta, 28-29 September 1988.
Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Penerbit
Andi Offset, Yogyakarta.
Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya,
Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Jessup, Helen (1985), Dutch Architectural Visions of the Indonesian Tradition, dalam
majalah MUQARNAS vol. 3, Leiden 1985, Hal 138-161.
Krier, Rob (2001), Komposisi Arsitektur, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Sumalyo, Yulianto (1995), Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Penerbit Gajahmada
Press, Yogyakarta.