bab ii revisi
DESCRIPTION
revisiTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diri
2.1.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan
kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan
memengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berbentuk waktu
lahir; tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya
sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia (Stuart, 2006).
Secara umum, konsep diri adalah semua tanda, keyakinan, dan pendirian
yang merupakan suatu pengetahuan individu tentang dirinya yang dapat
memengaruhi hubungannya dengan orang lain, termasuk karakter, kemampuan,
nilai, ide dan tujuan (Hidayat, 2009).
Menurut Riyadi dan Purwanto (2009), penilaian tentang konsep diri dapat
dilihat berdasarkan rentang respon konsep diri yaitu:
Rentang respon kosep diri
Respon adaptif Respon maladaptif
Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi diri positif rendah identitas
6
7
2.1.2 Komponen Konsep Diri
Menurut Riyadi & Purwanto (2009), konsep diri terdiri dari 5 komponen
yaitu :
1. Gambaran diri (Body image);
Gambaran diri adalah kumpulan sikap individu terhadap tubuhnya
yang disadari atau tidak disadari. Termasuk persepsi dan perasaan masa
lalu dan sekarang tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan
potensi. Gambaran diri dapat dimodifikasi atau diubah secara
berkesinambungan dengan persepsi dan pengalaman baru.
2. Ideal diri (self ideal);
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dia
seharusnya berperilaku berdasarkan standar pribadi, aspirasi, tujuan atau
nilai personal tertentu.
3. Harga diri (self esteem);
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri rendah atau
tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga diri tinggi tetapi
apabila individu sering gagal maka kecenderungan memiliki harga diri
rendah.
4. Peran (role);
Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh
lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi fungsi individu di berbagai
kelompok sosial.
8
5. Identitas diri (identity);
Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber
dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek
konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh. Individu yang memiliki
perasaan kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik
dan tak ada duanya.
2.1.2.1 Pengertian Harga Diri
Menurut Myers (2012), harga diri adalah keseluruhan rasa akan nilai diri
yang digunakan untuk menilai sifat dan kemampuan seseorang. Ermawati dkk
(2009) menyatakan harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian
ideal diri atau cita-cita langsung menghasilkan perasaan berharga.
Sedangkan menurut Hidayat (2009), harga diri (self esteem) adalah
penilaian individu tentang dirinya dengan menganalisis kesesuaian antara perilaku
dan ideal diri yang lain. Harga diri dapat diperoleh melalui penghargaan dari diri
sendiri maupun orang lain. Perkembangan harga diri juga ditentukan oleh
perasaan diterima, dicintai, dihormati oleh orang lain, serta keberhasilan yang
pernah dicapai individu dalam hidupnya.
Menurut Yosep & Sutini (2014) harga diri seseorang diperoleh dari diri
sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan
kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal
yang buruk. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai
rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara
aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa
9
aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara
negatif dan menganggap sebagai ancaman.
Menurut Vaughan & Hogg (2002) dalam Sarwono & Meinarno (2011)
mengatakan bahwa setiap orang menginginkan harga diri positif dengan alasan
harga diri positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan
penolakan sosial. Harga diri menjadi alat ukur atau parameter untuk melihat
sejauh mana seseorang merasa diterima dan menyatu dengan lingkungan
sosialnya. Dengan demikian, semakin positif harga diri yang dimiliki, semakin
menunjukkan bahwa ia semakin merasa diterima dan menyatu dengan orang-
orang disekitarnya.
2.1.2.2 Faktor Predisposisi Harga Diri
Menurut Stuart (2006) harga diri seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor di bawah ini :
1. Penolakan;
Penolakan ini dapat diartikan sebagai kurang diterimanya seseorang di
lingkungan sekitarnya karena suatu hal yang menyebabkan seseorang tersebut
tidak disukai atau tidak diterima di lingkungannya tersebut
2. Harapan yang tidak realistis;
Memiliki harapan yang tidak realistik dapat mempengaruhi kondisi harga
diri. Seseorang yang tidak dapat memenuhi harapannya atau gagal mencapai
apa yang dia inginkan selama ini karena tidak dapat mewujudkannya dapat
membuat terjadinya penurunan harga diri.
10
3. Kegagalan berulang;
Terlalu banyak kegagalan akan membuat seseorang menjadi enggan
bahkan takut untuk memulai suatu hal yang baru. Kepercayaan dirinya turun
karena terlalu sering mengalami kegagalan.
4. Ketergantungan pada orang lain;
Seseorang yang sering menggantungkan dirinya pada orang lain akan
mengalami perubahan harga diri, merasa dirinya tidak memiliki kepercayaan
diri untuk melakukan suatu hal dengan dirinya sendiri karena terbiasa
bergantung dengan orang lain.
5. Ideal diri yang tidak realistis;
Seseorang yang tidak mampu mencapai standar yang di tentukan sendiri
oleh dirinya, tidak mampu mencapai sebuah target akan menyebabkan
kurangnya kepercayaan diri karena individu tersebut berangapan bahwa
dirinya tidak mampu untuk mencapai hal tersebut.
2.1.2.3 Macam Macam Harga Diri
1. Harga diri tinggi
Maulana (2013) menjelaskan harga diri tinggi adalah suatu tingkat
dimana seseorang menghormati dirinya dan menganggap dirinya penting,
yang sangat berharga. Seseorang dinilai memiliki harga diri tinggi ketika
ia selalu memberikan nilai tambah dalam dirinya.
Ia juga menjelaskan orang yang memiliki harga diri tinggi benar-
benar menghormati dirinya dan hidupnya. Ia benar-benar merasa dirinya
baik dan mampu berusaha menjadi orang yang paling baik sebisa
mungkin. Seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan cenderung
11
positif, lebih disukai, dan lebih efektif dalam setiap bagian dari hidupnya.
Ciri-ciri orang yang memiliki harga diri tinggi menurut
Coopersmith (1967) dalam Ermanza (2008) adalah sebagai berikut:
a. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik;
b. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial;
c. Dapat menerima kritik dengan baik;
d. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri;
e. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan
kesulitannya sendiri;
f. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karna
mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas yang tinggi;
g. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang
kepribadiannya;
h. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang
menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan
memiliki ketahanan diri yang seimbang.
2. Harga diri rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti
dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif
terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang
percaya diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan
sesuai ideal diri (Keliat, 1998 dalam Yosep & Sutini, 2014)
Ciri-ciri orang yang memiliki harga diri rendah menurut Yosep &
Sutini (2014) adalah sebagai berikut:
12
a. Mengejek dan mengkritik diri
b. Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri
sendiri
c. Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi, gangguan
penggunaan zat
d. Menunda keputusan
e. Sulit bergaul
f. Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas
g. Menarik diri dari realitas, cemas, panik, cemburu, curiga,
halusinasi
h. Merusak diri: harga diri rendah menyokong dirinya untuk
mengakhiri hidup
i. Merusak/melukai orang lain
j. Perasaan tidak mampu
k. Pandangan hidup yang pesimistis
l. Tidak menerima pujian
m. Penurunan produktivitas
n. Penolakan terhadap kemampuan diri
o. Kurang memerhatikan perawatan diri
p. Berpakaian tidak rapi
q. Berkurang selera makan
r. Tidak berani menatap lawan bicara
s. Lebih banyak menunduk
t. Bicara lambat dengan nada suara lemah
13
2.1.2.4. Komponen harga diri
Menurut Felker (1974) dalam Ermanza (2008), komponen harga diri
adalah:
a. Feeling of belonging, yaitu perasaan individu bahwa dirinya
merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh
anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya
jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan
menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok
tersebut.
b. Feeling of competence, yaitu perasaan individu bahwa ia mampu
melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil
mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap
dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku
yang berhubungan dengan kehidupannya.
c. Feeling of worth, yaitu perasaan individu bahwa dirinya berharga.
Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif,
merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri atau self respect.
2.1.2.5 Alat Ukur Harga Diri
Menurut Sarwono & Meinarno (2011), sebagai alat ukur sosial, harga diri
juga seseorang juga dapat diukur. Harga diri dapat diukur secara eksplisit maupun
implisit. Pengukuran secara eksplisit dilakukan dengan meminta orang untuk
memberikan rating (mulai dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai) terhadap
sejumlah pernyataan tentang diri, misalnya “Saya merasa berguna bagi orang
lain”. Pengukuran secara implisit dilakukan dengan mengukur kecepatan reaksi
14
orang terhadap sejumlah stimulus yang diasosiasikan dengan diri. Stimulus
diberikan secara subliminal (ditampilkan dengan cepat untuk dapat dikenali secara
sadar) dengan harapan mengurangi kemungkinan orang memberikan respons tidak
apa adanya untuk menampilkan kesan tertentu tentang dirinya. Kecepatan reaksi
muncul menunjukkan kekuatan hubungan antara diri dengan stimulus yang
ditampilkan, misalnya kata hangat atau gambar yang berhubungan dengan sifat
hangat.
Salah satu alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur harga diri
secara eksplisit adalah skala Rosenberg (Baron, Byrne, Branscombe, 2006 dalam
Sarwono & Meinarno, 2011). Skala ini terdiri dari 10 pernyataan tentang diri.
Berikut adalah kesepuluh pernyataan skala Rosenberg yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia:
1. saya merasa sebagai orang yang berguna, paling tidak sama seperti orang
lain;
2. saya merasa memiliki sejumlah kualitas yang baik;
3. secara umum, saya cenderung merasa sebagai orang yang gagal;
4. saya mampu melakukan hal-hal sebaik yang kebanyakan orang lakuakan;
5. saya merasa tidak memiliki sikap positif terhadap diri sendiri;
6. saya memiliki sikap positif terhadap diri sendiri;
7. secara umum, saya puas dengan diri saya;
8. saya berharap saya lebih menghargai diri saya sendiri;
9. saya sering kali merasa tak berguna;
10. saya sering kali berpikir saya sama sekali bukan orang yang baik.
15
Responden diminta untuk memberikan rating menyangkut kesesuaian
pernyataan-pernyataan tersebut dengan dirinya (1 = sangat tidak sesuai dengan
diri saya; 2 = tidak sesuai dengan diri saya; 3 = agak sesuai dengan diri saya; 4 =
sesuai dengan diri saya, dan 5 = sangat sesuai dengan diri saya).
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1 Pengertian Keluarga
Menurut Duvall dan Logan (1986) menguraikan definisi keluarga adalah
sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang
bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga
(dikutip Setyowati & Murwani, 2008).
2.2.2 Tujuan Dasar Keluarga
Andarmoyo (2012) mengungkapkan tujuan dasar pembentukan keluarga
adalah:
1. Keluarga merupakan unit dasar yang memiliki pengaruh kuat terhadap
perkembangan individu;
2. Keluarga sebagai perantara bagi kebutuhan dan harapan anggota
keluarga dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat;
3. Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota
keluarga dengan menstabilkan kebutuhan kasih sayang, sosio-ekonomi
dan kebutuhan seksual;
4. Keluarga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan
identitas seorang individu dan perasaan harga diri.
16
2.2.3 Tipe Keluarga
Setyowati & Murwani (2008) menjelaskan beberapa tipe keluaraga
sebagaimana berikut:
1. Keluarga tradisional;
a. Keluarga inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami,
istri, dan anak (kandung atau angkat)
b. Keluarga besar, yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain
yang mempunyai hubungan darah, misalnya: kakek, nenek,
keponakan, paman, bibi
c. Keluarga “Dyad”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami
dan istri tanpa anak
d. “Single Parent”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu
orang tua (ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini
dapat disebabkan oleh perceraian atau kematian.
2. Keluarga non tradisioonal;
a. The unmerriedteenege mather;
Keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak
dari hubungan tanpa nikah
b. The stepparent family;
Keluarga dengan orang tua tiri
c. Commune family;
Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada
hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan
fasilitas yang sama, pengalaman yang sama : sosialisasi anak
17
dengan melalui aktivitas kelompok atau membesarkan anak
bersama
d. The non marital heterosexual cohibiting family;
Keluarga yang hidup bersama dan berganti-ganti pasangan tanpa
melalui pernikahan
Di Indonesia menganut UU Nomor 10 tahun 1992 yang menyatakan
bahwa keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari suami-istri
ataupun suami-istri dan anak. Kemudian pada pasal 1 undang-undang tersebut
menyatakan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasar
atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan
material yang layak, bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan
yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan. Dengan demikian, keluarga Indonesia adalah keluarga yang dimulai
dengan perkawinan sah dari seorang laki dan perempuan yang menghasilkan
keturunan atau tidak (Andarmoyo, 2012).
2.2.4 Fungsi Keluarga
Friendmann (1986) dalam Setyowati & Murwani (2008) mengidentifikasi
lima fungsi dasar keluarga, sebagai berikut:
1. Fungsi afektif;
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fngsi internal keluarga, yang
merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk
pemenuhan kebutuhan psiko sosial. Keberhasilan melaksanakan fungsi
afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota
keluarga. Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam
18
melaksanakan fungsi afektif adalah:
a. Saling mengasuh; cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling
mendukung antar anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan
dukungan dari anggota yang lain.
b. Saling menghargai; bila anggota keluarga saling menghargai dan
mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu
mempertahankan iklim yang positif, maka fungsi afektif akan
tercapai.
c. Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan
sepakat memulai hidup baru. Ikatan antar anggota keluarga
dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada
berbagai aspek kehidupan anggota keluarga
2. Fungsi sosialisasi;
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui
individu, yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam
lingkungan sosial (Friedmann, 1986 dalam Setyowati & Murwani, 2008).
Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui interaksi
atau hubungan antar anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi
3. Fungsi reproduksi;
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber
daya manusia. Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk
memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk
keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.
19
4. Fungsi ekonomi;
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan,
pakaian dan tempat tinggal.
5. Fungsi perawatan kesehatan;
Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan
kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau
merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam
memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga.
2.2.5 Peran Keluarga
Peran menunjuk kepada beberapa set perilaku yang kurang lebih bersifat
homogen, yang didefinisikan dan diharapkan secara normatif dari seorang
okupan dalam situasi sosial tertentu. Peran didasarkan pada preskripsi dan
harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan
dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka
sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut (Andarmoyo,
2012).
Berbagai peran yang terdapat di dalam keluarga menurut Effendy (1995)
dalam Wintoro (2011) adalah sebagai berikut:
1. Peran ayah; sebagai suami, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai
anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya.
20
2. Peran ibu; sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mengurus peranan
untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-
anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan
sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping
itu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga.
3. Peran anak; anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan
tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.
2.2.6 Tugas-Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para
anggotanya dan saling memelihara. Effendy (1995) dalam Wintoro (2011)
membagi tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga, yaitu:
1. mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga;
2. mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat;
3. memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan
tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu
muda;
4. mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-
lembaga kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-
fasilitas kesehatan yang ada.
21
2.2.7 Mekanisme Koping Keluarga Terkait dengan Harga Diri
Keluarga secara konstan berhadapan dengan perlunya mengubah persepsi
dan hidup mereka. Stimulus untuk perubahan ini datangnya dari dalam dan dari
luar. Yang terpenting, strategi dan proses koping keluarga berfungsi sebagai
proses dan mekanisme yang vital dimana melalui proses dan mekanisme tersebut
fungsi-fungsi keluarga menjadi nyata. Tanpa koping yang efektif, fungsi afektif,
sosialisasi, ekonomi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara adekuat
(Andarmoyo, 2012).
Andarmoyo (2012) menjelaskan bahwa stresor keluarga merujuk pada
agen-agen penyebab stres pada keluarga meliputi kejadian-kejadian dalam hidup
cukup serius yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam sistem keluarga. Ia
menambahkan bahwa stresor keluarga bisa berupa kejadian atau pengalaman
antarpribadi (dari dalam maupun dari luar keluarga), lingkungan, ekonomi, atau
sosial budaya yang akan menyebabkan seseorang atau keluarga menjadi stres.
Stres adalah respon atau keadaan tegang yang dihasilkan oleh stresor atau oleh
tuntutan-tuntutan nyata yang belum ditangani. Stres tersebut juga merupakan
suatu reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan.
Apabila koping yang digunakan tidak efektif atau tidak dapat mengatasi
situasi yang menghasilkan tekanan tersebut sehingga individu atau keluarga
tersebut sering dipersalahkan, ditekan sehingga perasaan aman tidak terpenuhi dan
merasa ditolak oleh lingkungan maka akan dapat menimbulkan harga diri rendah
(Yosep & Sutini, 2014).
22
2.3 Retardasi Mental
2.3.1 Pengertian Retardasi Mental
Menurut DSM IV dalam Lumbantobing 2001, retardasi mental merupakan
gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang berfungsi secara bermakna di
bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau lebih rendah) yang bermula sebelum usia 18
tahun disertai defisit atau rendahnya fungsi adaptif.
Retardasi mental merupakan gangguan dalam perkembangan dimana
terjadi gangguan dalam fungsi intelektual yang sub normal adanya perilaku
adaptif sosial dan timbul pada masa perkembangan yaitu di bawah umur 18 tahun
(Hidayat, 2009).
Yang dimaksud fungsi intelektual dibawah normal, yaitu apabila IQ
dibawah 70. Anak ini tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara
berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah,
demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah.
Sedangkan yang dimaksud dengan perilaku adaptif sosial adalah kemampuan
seseorang untuk mandiri, menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab
sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya. Pada penderita
retardasi mental gangguan perilaku adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan
menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya. Biasanya tingkahnya kekanak-
kanakan dan tidak sesuai dengan umurnya (Soetjiningsih, 1995).
2.3.2 Klasifikasi Retardasi Mental
Klasifikasi menurut DSM IV dalam Lumbangtobing (2001), didapatkan 4
tingkat gangguan intelektual, yaitu:
23
1. Retardasi mental ringan (tingkat IQ 50-55 sampai sekitar 70);
Retardasi mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok
retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk
sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia
prasekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan
sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit kendala dalam bidang
sensorimotor, dan sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa
retardasi mental, sampai pada usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja,
mereka dapat memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira
tingkat enam (kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya
dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional, namun mungkin
membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama bila
mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi. Dengan bantuan yang
wajar, orang penyandang retardasi mental ringan biasanya dapat hidup
sukses di dalam masyarakat, baik secara berdikari atau dengan
pengawasan.
2. Retardasi mental sedang (tingkat IQ 35-40 sampai 50-55);
Retardasi mental sedang secara kasar setara dengan kelompok yang
biasa disebut: dapat dilatih (trainable). Sebaiknya penggunaan dapat
dilatih ini tidak digunakan, karena memberi kesan mereka dari
kelompok ini tidak dapat dididik (educable). Kelompok ini
membentuk sekitar 10 % dari kelompok retardasi mental. Kelompok
individu dari tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi
selama masa anak dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan
24
vokasional, dan dengan pengawasan yang sedang dapat mengurus atau
merawat diri sendiri. Mereka dapat memperoleh manfaat dari latihan
kecakapan sosial dan okupasional namun mungkin tidak dapat
melampaui pendidikan akademik lebih dari tingkat 2 (kelas 2 SD).
Mereka dapat berpergian di lingkungan yang sudah dikenal.
Semasa remaja, hubungan persaudaraan mungkin terganggu karena
mereka sukar mengenal norma-norma pergaulan lingkungan. Pada
masa dewasa sebagian besar dapat melakukan kerja yang kasar
(unskilled) atau setengah kasar (semi skilled) dibawah pengawasan di
workshop yang dilindungi/diawasi. Mereka dapat menyesuaikan diri
pada komunitas lingkungan dengan pengawasan (supervisi).
3. Retardasi mental berat (tingkat IQ 20-25 sampai 35-40);
Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok
retardasi mental. Selama masa anak mereka sedikit saja atau tidak
mampu berkomunikasi bahasa. Sewaktu usia sekolah mereka dapat
belajar bicara dan dapat dilatih dalam kecakapan mengurus diri yang
sederhana bila diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan
diri pada kehidupan di masyarakat, bersama keluarganya, jika tidak
didapatkan hambatan yang menyertai yang membutuhkan perawatan
khusus.
4. Retardasi mental sangat berat (tingkat IQ di bawah 20-25);
Kelompok retardasi mental sangat berat membentuk sekitar 1-2%
dari kelompok retardasi mental. Pada sebagian besar individu dengan
diagnosis ini dapat diidentifikasi kelainan neurologik, yang
25
mengakibatkan retardasi mentalnya. Sewaktu masa anak, mereka
menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor.
Perkembangan motorik dan mengurus diri dan kemampuan
komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang adekuat.
Beberapa diantaranya dapat melakukan tugas sederhana ditempat yang
disupervisi dan dilindungi.
2.3.3 Etiologi Retardasi Mental
Menurut Wahab (2000), sebab-sebab neurobiologis retardasi mental
terdapat pada berbagai faktor seperti malformasi struktural otak, kelainan
metabolik dan difisit sistem saraf sentral yang terkait dengan infeksi, malnutrisi
atau jejas hipoksik-iskemik. Berdasarkan pengalaman, tanda-tanda retardasi dapat
dikenali dengan adanya riwayat disfungsi penyedia perawatan yang terkait dengan
psikopatologi orang tua, disorganisasi keluarga yang ekstrim, atau kesulitan
ekonomi. Anak yang hidup dalam kemiskinan biasanya rentan terhadap beban
stress sosial yang kumulatif maupun kerentanan biologis yang lebih besar yang
terkait dengan faktor-faktor resiko lebih tinggi seperti komplikasi perinatal dan
defesiensi nutrisi.
2.3.4 Penyebab Retardasi Mental yang dapat Dicegah atau Dioabati
Menurut Lumbantobing (2001), cukup banyak penyebab retardasi mental
yang dapat dicegah dan diobati dan cukup banyak pula yang penyebabnya sampai
saat ini belum dapat diobati. Di antara penyebab yang dapat dicegah yaitu:
1. Asfiksia lahir dan trauma lahir;
Di negara sedang berkembang asfiksia lahir dan trauma lahir menduduki
26
tempat utama sebagia penyebab kerusakan otak dan retardasi mental.
Kehamilan yang tidak dikontrol, bimbingan persalinan yang tidak adekuat,
misalnya yang dilakukan oleh dukun beranak, dan fasilitas persalinan yang
tidak memadai banyak mengakibatkan jejas otak dan retardasi mental.
Insiden asfiksia lahir di rumah sakit berkisar antara 1,3% dan 6,6% dari
jumlah kelahiran. Dari beberapa survei di negara maju di dapatkan angka
kejadian asfiksia lahir antara 0,4% dan 5% dari kelahiran hidup.
Meningkatkan kemampuan membimbing persalinan serta pengelolaan
semasa hamil dapat mengurangi kemungkinan asfiksia lahir serta trauma
lahir dan retardasi mental.
2. Infeksi;
Penyakit infeksi yang sering ditemukan pada bayi dan anak, seperti mobil
(tampak) dan pertusis (batuk rejan) dapat mengakibatkan ensepalopati
yang kemudian mengakibatkan retardasi mental. Kedua jenis penyakit ini
dapat dicegah. Meningitis tuberculosis dan meningitis purulenta sering
dijumpai pada kelompok masyarakat yang kurang mampu. Sekitar 30-50%
dari mereka yang hidup setelah infeksi ini menderita defisit neurologik dan
retardasi mental.
3. Malnutrisi berat;
Malnutrisi berat pada masa dini bayi memainkan peranan yang negatif
terhadap perkembangan sistem syaraf. Banyak penelitian telah
membuktikan bahwa malnutrisi semasa bayi atau anak usia muda
mengganggu atau merusak pertumbuhan dan fungsi susunan syaraf.
Malnutrisi protein merupakan masalah gizi yang perlu dipecahkan pada
27
kelompok ekonomi lemah.
4. Defisiensi yodium;
Pada daerah yang endemik defisiensi yodium dapat mempengaruhi
perkembangan mental anak, kadang juga mengakibatkan retardasi mental
yang berat. Bila disamping itu terdapat pula malnutrisi protein, hal ini akan
memperbesar akibat malnutrisi yodium.
5. Defisiensi besi;
Dari penelitian didapatkan bahwa anemia defisiensi besi, walau pun
ringan, dapat mengakibatkan terlambatnya perkembangan psikososial.
6. Ikterus neonatorum;
Ikterus yang berat pada bayi baru lahir dapat mengakibatkan kerusakan
otak dan retardasi mental.
7. Jejas lahir;
Ini juga penting. Dari penelitian terdahulu didapatkan bahwa jejas lahir
yang dapat diidentifikasi merupakan penyebab dari sekitar 10% penderita
retardasi mental.
2.3.5 Gejala Klinis Retardasi Mental
Menurut Lumbantobing (2001), retardasi mental sering disertai kerusakan
otak yang fokal atau yang luas, dan sering disertai gangguan susunan saraf pusat
lainnya. Lumpuh otak (cerebral palsy), epilepsi, gangguan visus dan
pendengaran, lebih sering dijumpai pada penyandang retardasi mental daripada
populasi umum.
Autisme dan gangguan sosial berat lainnya lebih dari seratus kali lebih
sering dijumpai pada anak dengan retardasi mental dibanding anak dengan
28
intelegensi normal. Tingkah laku lain yang sering dijumpai pada retardasi mental
termasuk gerak motorik stereotip, hiperaktivitas yang berat. Kebiasaan
memasukkan benda ke dalam mulut dapat menimbulkan bahaya, seperti
memasukkan bunga, surat kabar, pisau silet, atau tanah ke dalam mulut dan
kemudian menelannya (pica). Pica dapat mengakibatkan obstruksi
gastrointestinal, diare dan nyeri lambung, dan kadang-kadang membutuhkan
intervensi bedah. Gejala tersebut diatas lebih sering dijumpai pada retardasi
mental yang berat (Lumbantobing, 2001).
2.3.6 Perawatan Penderita Retardasi Mental
Perawatan umum pada retardasi mental ialah masalah pendidikan, edukasi,
dan latihan. Tim yang memberikan layanan ini dapat terdiri atas dokter keluarga,
pskiater, neurolog, psikolog, guru, terapis okupasi, terapi wicara serta perawat.
Dokter keluarga, pediater, dan neurolog mempunyai tanggung jawab lebih besar
dalam mendeteksi dini adanya retardasi mental, menentukan penyebabnya serta
gejala lain yang menyertai (Lumbantobing, 2001).
Pada orang tuanya perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan
anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-
kadang diperlukan waktu lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaan
anaknya. Bila orang tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka perlu
konsultasi pula dengan psikolog. Disamping itu diperlukan adanya kerjasama
yang baik antara guru dengan orangtuanya, agar tidak terjadi kesimpang siuran
dalam strategi penanganan anak di sekolah dan di rumah. Anggota keluarga
lainnya juga harus diberi pengertian, agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Di
samping itu masyarakat perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental, agar
29
mereka dapat menerima anak tersebut dengan wajar (Soetjiningsih, 1995).
2.3.7 Kaitan Antara Retardasi Mental dengan Harga Diri Keluarga
Anak dengan retardasi mental mengalami gangguan dalam perkembangan
dimana terjadi gangguan dalam intelektualnya yang mengalami sub normal serta
adanya perilaku adaptif sosial. Hal ini membuat anak retardasi mental bereda
dengan anak lainnya. Munculnya tanggapan negatif masyarakat tentang retardasi
mental memicu berbagai reaksi orangtua yang memiliki anak retardasi mental,
seperti: orangtua mengucilkan anak atau tidak mengakui sebagai anak yang
retardasi mental. Anak yang retardasi mental disembunyikan dari masyarakat
karena orang tua merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental. Timbul
pula reaksi orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya,
shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. (Puspita, 2004 dalam
Sukur, 2012).
Diketahui salah satu faktor yang dapat mempengaruhi harga diri adalah
adanya penolakan dan harapan yang tidak realistis (Stuart, 2006). Dengan adanya
reaksi orang tua seperti penjelasan diatas, yaitu seperti tidak dapat menerima
kondisi anaknya, menolak, bahkan malu memiliki anak dengan retardasi mental
dapat dikatakan dalam keluarga tersebut mengalami penurunan harga diri.