bab ii revisi

38
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan memengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berbentuk waktu lahir; tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia (Stuart, 2006). Secara umum, konsep diri adalah semua tanda, keyakinan, dan pendirian yang merupakan suatu pengetahuan individu tentang dirinya yang dapat memengaruhi hubungannya dengan orang lain, termasuk karakter, kemampuan, nilai, ide dan tujuan (Hidayat, 2009). Menurut Riyadi dan Purwanto (2009), penilaian tentang konsep diri dapat dilihat berdasarkan rentang respon konsep diri yaitu: 6

Upload: aldiapalma

Post on 04-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

revisi

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Revisi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diri

2.1.1 Pengertian Konsep Diri

Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan

kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan

memengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berbentuk waktu

lahir; tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya

sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia (Stuart, 2006).

Secara umum, konsep diri adalah semua tanda, keyakinan, dan pendirian

yang merupakan suatu pengetahuan individu tentang dirinya yang dapat

memengaruhi hubungannya dengan orang lain, termasuk karakter, kemampuan,

nilai, ide dan tujuan (Hidayat, 2009).

Menurut Riyadi dan Purwanto (2009), penilaian tentang konsep diri dapat

dilihat berdasarkan rentang respon konsep diri yaitu:

Rentang respon kosep diri

Respon adaptif Respon maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi diri positif rendah identitas

6

Page 2: BAB II Revisi

7

2.1.2 Komponen Konsep Diri

Menurut Riyadi & Purwanto (2009), konsep diri terdiri dari 5 komponen

yaitu :

1. Gambaran diri (Body image);

Gambaran diri adalah kumpulan sikap individu terhadap tubuhnya

yang disadari atau tidak disadari. Termasuk persepsi dan perasaan masa

lalu dan sekarang tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan

potensi. Gambaran diri dapat dimodifikasi atau diubah secara

berkesinambungan dengan persepsi dan pengalaman baru.

2. Ideal diri (self ideal);

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dia

seharusnya berperilaku berdasarkan standar pribadi, aspirasi, tujuan atau

nilai personal tertentu.

3. Harga diri (self esteem);

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai

dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.

Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri rendah atau

tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga diri tinggi tetapi

apabila individu sering gagal maka kecenderungan memiliki harga diri

rendah.

4. Peran (role);

Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh

lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi fungsi individu di berbagai

kelompok sosial.

Page 3: BAB II Revisi

8

5. Identitas diri (identity);

Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber

dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek

konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh. Individu yang memiliki

perasaan kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik

dan tak ada duanya.

2.1.2.1 Pengertian Harga Diri

Menurut Myers (2012), harga diri adalah keseluruhan rasa akan nilai diri

yang digunakan untuk menilai sifat dan kemampuan seseorang. Ermawati dkk

(2009) menyatakan harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri

dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian

ideal diri atau cita-cita langsung menghasilkan perasaan berharga.

Sedangkan menurut Hidayat (2009), harga diri (self esteem) adalah

penilaian individu tentang dirinya dengan menganalisis kesesuaian antara perilaku

dan ideal diri yang lain. Harga diri dapat diperoleh melalui penghargaan dari diri

sendiri maupun orang lain. Perkembangan harga diri juga ditentukan oleh

perasaan diterima, dicintai, dihormati oleh orang lain, serta keberhasilan yang

pernah dicapai individu dalam hidupnya.

Menurut Yosep & Sutini (2014) harga diri seseorang diperoleh dari diri

sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan

kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal

yang buruk. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai

rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara

aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa

Page 4: BAB II Revisi

9

aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara

negatif dan menganggap sebagai ancaman.

Menurut Vaughan & Hogg (2002) dalam Sarwono & Meinarno (2011)

mengatakan bahwa setiap orang menginginkan harga diri positif dengan alasan

harga diri positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan

penolakan sosial. Harga diri menjadi alat ukur atau parameter untuk melihat

sejauh mana seseorang merasa diterima dan menyatu dengan lingkungan

sosialnya. Dengan demikian, semakin positif harga diri yang dimiliki, semakin

menunjukkan bahwa ia semakin merasa diterima dan menyatu dengan orang-

orang disekitarnya.

2.1.2.2 Faktor Predisposisi Harga Diri

Menurut Stuart (2006) harga diri seseorang dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor di bawah ini :

1. Penolakan;

Penolakan ini dapat diartikan sebagai kurang diterimanya seseorang di

lingkungan sekitarnya karena suatu hal yang menyebabkan seseorang tersebut

tidak disukai atau tidak diterima di lingkungannya tersebut

2. Harapan yang tidak realistis;

Memiliki harapan yang tidak realistik dapat mempengaruhi kondisi harga

diri. Seseorang yang tidak dapat memenuhi harapannya atau gagal mencapai

apa yang dia inginkan selama ini karena tidak dapat mewujudkannya dapat

membuat terjadinya penurunan harga diri.

Page 5: BAB II Revisi

10

3. Kegagalan berulang;

Terlalu banyak kegagalan akan membuat seseorang menjadi enggan

bahkan takut untuk memulai suatu hal yang baru. Kepercayaan dirinya turun

karena terlalu sering mengalami kegagalan.

4. Ketergantungan pada orang lain;

Seseorang yang sering menggantungkan dirinya pada orang lain akan

mengalami perubahan harga diri, merasa dirinya tidak memiliki kepercayaan

diri untuk melakukan suatu hal dengan dirinya sendiri karena terbiasa

bergantung dengan orang lain.

5. Ideal diri yang tidak realistis;

Seseorang yang tidak mampu mencapai standar yang di tentukan sendiri

oleh dirinya, tidak mampu mencapai sebuah target akan menyebabkan

kurangnya kepercayaan diri karena individu tersebut berangapan bahwa

dirinya tidak mampu untuk mencapai hal tersebut.

2.1.2.3 Macam Macam Harga Diri

1. Harga diri tinggi

Maulana (2013) menjelaskan harga diri tinggi adalah suatu tingkat

dimana seseorang menghormati dirinya dan menganggap dirinya penting,

yang sangat berharga. Seseorang dinilai memiliki harga diri tinggi ketika

ia selalu memberikan nilai tambah dalam dirinya.

Ia juga menjelaskan orang yang memiliki harga diri tinggi benar-

benar menghormati dirinya dan hidupnya. Ia benar-benar merasa dirinya

baik dan mampu berusaha menjadi orang yang paling baik sebisa

mungkin. Seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan cenderung

Page 6: BAB II Revisi

11

positif, lebih disukai, dan lebih efektif dalam setiap bagian dari hidupnya.

Ciri-ciri orang yang memiliki harga diri tinggi menurut

Coopersmith (1967) dalam Ermanza (2008) adalah sebagai berikut:

a. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik;

b. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial;

c. Dapat menerima kritik dengan baik;

d. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri;

e. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan

kesulitannya sendiri;

f. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karna

mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas yang tinggi;

g. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang

kepribadiannya;

h. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang

menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan

memiliki ketahanan diri yang seimbang.

2. Harga diri rendah

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti

dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif

terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang

percaya diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan

sesuai ideal diri (Keliat, 1998 dalam Yosep & Sutini, 2014)

Ciri-ciri orang yang memiliki harga diri rendah menurut Yosep &

Sutini (2014) adalah sebagai berikut:

Page 7: BAB II Revisi

12

a. Mengejek dan mengkritik diri

b. Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri

sendiri

c. Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi, gangguan

penggunaan zat

d. Menunda keputusan

e. Sulit bergaul

f. Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas

g. Menarik diri dari realitas, cemas, panik, cemburu, curiga,

halusinasi

h. Merusak diri: harga diri rendah menyokong dirinya untuk

mengakhiri hidup

i. Merusak/melukai orang lain

j. Perasaan tidak mampu

k. Pandangan hidup yang pesimistis

l. Tidak menerima pujian

m. Penurunan produktivitas

n. Penolakan terhadap kemampuan diri

o. Kurang memerhatikan perawatan diri

p. Berpakaian tidak rapi

q. Berkurang selera makan

r. Tidak berani menatap lawan bicara

s. Lebih banyak menunduk

t. Bicara lambat dengan nada suara lemah

Page 8: BAB II Revisi

13

2.1.2.4. Komponen harga diri

Menurut Felker (1974) dalam Ermanza (2008), komponen harga diri

adalah:

a. Feeling of belonging, yaitu perasaan individu bahwa dirinya

merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh

anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya

jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan

menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok

tersebut.

b. Feeling of competence, yaitu perasaan individu bahwa ia mampu

melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil

mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap

dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku

yang berhubungan dengan kehidupannya.

c. Feeling of worth, yaitu perasaan individu bahwa dirinya berharga.

Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif,

merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri atau self respect.

2.1.2.5 Alat Ukur Harga Diri

Menurut Sarwono & Meinarno (2011), sebagai alat ukur sosial, harga diri

juga seseorang juga dapat diukur. Harga diri dapat diukur secara eksplisit maupun

implisit. Pengukuran secara eksplisit dilakukan dengan meminta orang untuk

memberikan rating (mulai dari sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai) terhadap

sejumlah pernyataan tentang diri, misalnya “Saya merasa berguna bagi orang

lain”. Pengukuran secara implisit dilakukan dengan mengukur kecepatan reaksi

Page 9: BAB II Revisi

14

orang terhadap sejumlah stimulus yang diasosiasikan dengan diri. Stimulus

diberikan secara subliminal (ditampilkan dengan cepat untuk dapat dikenali secara

sadar) dengan harapan mengurangi kemungkinan orang memberikan respons tidak

apa adanya untuk menampilkan kesan tertentu tentang dirinya. Kecepatan reaksi

muncul menunjukkan kekuatan hubungan antara diri dengan stimulus yang

ditampilkan, misalnya kata hangat atau gambar yang berhubungan dengan sifat

hangat.

Salah satu alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur harga diri

secara eksplisit adalah skala Rosenberg (Baron, Byrne, Branscombe, 2006 dalam

Sarwono & Meinarno, 2011). Skala ini terdiri dari 10 pernyataan tentang diri.

Berikut adalah kesepuluh pernyataan skala Rosenberg yang telah diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia:

1. saya merasa sebagai orang yang berguna, paling tidak sama seperti orang

lain;

2. saya merasa memiliki sejumlah kualitas yang baik;

3. secara umum, saya cenderung merasa sebagai orang yang gagal;

4. saya mampu melakukan hal-hal sebaik yang kebanyakan orang lakuakan;

5. saya merasa tidak memiliki sikap positif terhadap diri sendiri;

6. saya memiliki sikap positif terhadap diri sendiri;

7. secara umum, saya puas dengan diri saya;

8. saya berharap saya lebih menghargai diri saya sendiri;

9. saya sering kali merasa tak berguna;

10. saya sering kali berpikir saya sama sekali bukan orang yang baik.

Page 10: BAB II Revisi

15

Responden diminta untuk memberikan rating menyangkut kesesuaian

pernyataan-pernyataan tersebut dengan dirinya (1 = sangat tidak sesuai dengan

diri saya; 2 = tidak sesuai dengan diri saya; 3 = agak sesuai dengan diri saya; 4 =

sesuai dengan diri saya, dan 5 = sangat sesuai dengan diri saya).

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Pengertian Keluarga

Menurut Duvall dan Logan (1986) menguraikan definisi keluarga adalah

sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang

bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan

perkembangan fisik, mental emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga

(dikutip Setyowati & Murwani, 2008).

2.2.2 Tujuan Dasar Keluarga

Andarmoyo (2012) mengungkapkan tujuan dasar pembentukan keluarga

adalah:

1. Keluarga merupakan unit dasar yang memiliki pengaruh kuat terhadap

perkembangan individu;

2. Keluarga sebagai perantara bagi kebutuhan dan harapan anggota

keluarga dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat;

3. Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota

keluarga dengan menstabilkan kebutuhan kasih sayang, sosio-ekonomi

dan kebutuhan seksual;

4. Keluarga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan

identitas seorang individu dan perasaan harga diri.

Page 11: BAB II Revisi

16

2.2.3 Tipe Keluarga

Setyowati & Murwani (2008) menjelaskan beberapa tipe keluaraga

sebagaimana berikut:

1. Keluarga tradisional;

a. Keluarga inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami,

istri, dan anak (kandung atau angkat)

b. Keluarga besar, yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain

yang mempunyai hubungan darah, misalnya: kakek, nenek,

keponakan, paman, bibi

c. Keluarga “Dyad”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami

dan istri tanpa anak

d. “Single Parent”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu

orang tua (ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini

dapat disebabkan oleh perceraian atau kematian.

2. Keluarga non tradisioonal;

a. The unmerriedteenege mather;

Keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak

dari hubungan tanpa nikah

b. The stepparent family;

Keluarga dengan orang tua tiri

c. Commune family;

Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada

hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan

fasilitas yang sama, pengalaman yang sama : sosialisasi anak

Page 12: BAB II Revisi

17

dengan melalui aktivitas kelompok atau membesarkan anak

bersama

d. The non marital heterosexual cohibiting family;

Keluarga yang hidup bersama dan berganti-ganti pasangan tanpa

melalui pernikahan

Di Indonesia menganut UU Nomor 10 tahun 1992 yang menyatakan

bahwa keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari suami-istri

ataupun suami-istri dan anak. Kemudian pada pasal 1 undang-undang tersebut

menyatakan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasar

atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan

material yang layak, bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan

yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota keluarga dengan masyarakat dan

lingkungan. Dengan demikian, keluarga Indonesia adalah keluarga yang dimulai

dengan perkawinan sah dari seorang laki dan perempuan yang menghasilkan

keturunan atau tidak (Andarmoyo, 2012).

2.2.4 Fungsi Keluarga

Friendmann (1986) dalam Setyowati & Murwani (2008) mengidentifikasi

lima fungsi dasar keluarga, sebagai berikut:

1. Fungsi afektif;

Fungsi afektif berhubungan erat dengan fngsi internal keluarga, yang

merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk

pemenuhan kebutuhan psiko sosial. Keberhasilan melaksanakan fungsi

afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota

keluarga. Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam

Page 13: BAB II Revisi

18

melaksanakan fungsi afektif adalah:

a. Saling mengasuh; cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling

mendukung antar anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan

dukungan dari anggota yang lain.

b. Saling menghargai; bila anggota keluarga saling menghargai dan

mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu

mempertahankan iklim yang positif, maka fungsi afektif akan

tercapai.

c. Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan

sepakat memulai hidup baru. Ikatan antar anggota keluarga

dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada

berbagai aspek kehidupan anggota keluarga

2. Fungsi sosialisasi;

Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui

individu, yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam

lingkungan sosial (Friedmann, 1986 dalam Setyowati & Murwani, 2008).

Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui interaksi

atau hubungan antar anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi

3. Fungsi reproduksi;

Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber

daya manusia. Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk

memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk

keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.

Page 14: BAB II Revisi

19

4. Fungsi ekonomi;

Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan

seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan,

pakaian dan tempat tinggal.

5. Fungsi perawatan kesehatan;

Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan

kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau

merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam

memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga.

2.2.5 Peran Keluarga

Peran menunjuk kepada beberapa set perilaku yang kurang lebih bersifat

homogen, yang didefinisikan dan diharapkan secara normatif dari seorang

okupan dalam situasi sosial tertentu. Peran didasarkan pada preskripsi dan

harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan

dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka

sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut (Andarmoyo,

2012).

Berbagai peran yang terdapat di dalam keluarga menurut Effendy (1995)

dalam Wintoro (2011) adalah sebagai berikut:

1. Peran ayah; sebagai suami, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,

pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai

anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari

lingkungannya.

Page 15: BAB II Revisi

20

2. Peran ibu; sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mengurus peranan

untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-

anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan

sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping

itu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga.

3. Peran anak; anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan

tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

2.2.6 Tugas-Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para

anggotanya dan saling memelihara. Effendy (1995) dalam Wintoro (2011)

membagi tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga, yaitu:

1. mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga;

2. mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat;

3. memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan

tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu

muda;

4. mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarga

5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-

lembaga kesehatan, yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-

fasilitas kesehatan yang ada.

Page 16: BAB II Revisi

21

2.2.7 Mekanisme Koping Keluarga Terkait dengan Harga Diri

Keluarga secara konstan berhadapan dengan perlunya mengubah persepsi

dan hidup mereka. Stimulus untuk perubahan ini datangnya dari dalam dan dari

luar. Yang terpenting, strategi dan proses koping keluarga berfungsi sebagai

proses dan mekanisme yang vital dimana melalui proses dan mekanisme tersebut

fungsi-fungsi keluarga menjadi nyata. Tanpa koping yang efektif, fungsi afektif,

sosialisasi, ekonomi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara adekuat

(Andarmoyo, 2012).

Andarmoyo (2012) menjelaskan bahwa stresor keluarga merujuk pada

agen-agen penyebab stres pada keluarga meliputi kejadian-kejadian dalam hidup

cukup serius yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam sistem keluarga. Ia

menambahkan bahwa stresor keluarga bisa berupa kejadian atau pengalaman

antarpribadi (dari dalam maupun dari luar keluarga), lingkungan, ekonomi, atau

sosial budaya yang akan menyebabkan seseorang atau keluarga menjadi stres.

Stres adalah respon atau keadaan tegang yang dihasilkan oleh stresor atau oleh

tuntutan-tuntutan nyata yang belum ditangani. Stres tersebut juga merupakan

suatu reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan.

Apabila koping yang digunakan tidak efektif atau tidak dapat mengatasi

situasi yang menghasilkan tekanan tersebut sehingga individu atau keluarga

tersebut sering dipersalahkan, ditekan sehingga perasaan aman tidak terpenuhi dan

merasa ditolak oleh lingkungan maka akan dapat menimbulkan harga diri rendah

(Yosep & Sutini, 2014).

Page 17: BAB II Revisi

22

2.3 Retardasi Mental

2.3.1 Pengertian Retardasi Mental

Menurut DSM IV dalam Lumbantobing 2001, retardasi mental merupakan

gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang berfungsi secara bermakna di

bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau lebih rendah) yang bermula sebelum usia 18

tahun disertai defisit atau rendahnya fungsi adaptif.

Retardasi mental merupakan gangguan dalam perkembangan dimana

terjadi gangguan dalam fungsi intelektual yang sub normal adanya perilaku

adaptif sosial dan timbul pada masa perkembangan yaitu di bawah umur 18 tahun

(Hidayat, 2009).

Yang dimaksud fungsi intelektual dibawah normal, yaitu apabila IQ

dibawah 70. Anak ini tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara

berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah,

demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah.

Sedangkan yang dimaksud dengan perilaku adaptif sosial adalah kemampuan

seseorang untuk mandiri, menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab

sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya. Pada penderita

retardasi mental gangguan perilaku adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan

menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya. Biasanya tingkahnya kekanak-

kanakan dan tidak sesuai dengan umurnya (Soetjiningsih, 1995).

2.3.2 Klasifikasi Retardasi Mental

Klasifikasi menurut DSM IV dalam Lumbangtobing (2001), didapatkan 4

tingkat gangguan intelektual, yaitu:

Page 18: BAB II Revisi

23

1. Retardasi mental ringan (tingkat IQ 50-55 sampai sekitar 70);

Retardasi mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok

retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk

sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia

prasekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan

sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit kendala dalam bidang

sensorimotor, dan sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa

retardasi mental, sampai pada usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja,

mereka dapat memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira

tingkat enam (kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya

dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional, namun mungkin

membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama bila

mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi. Dengan bantuan yang

wajar, orang penyandang retardasi mental ringan biasanya dapat hidup

sukses di dalam masyarakat, baik secara berdikari atau dengan

pengawasan.

2. Retardasi mental sedang (tingkat IQ 35-40 sampai 50-55);

Retardasi mental sedang secara kasar setara dengan kelompok yang

biasa disebut: dapat dilatih (trainable). Sebaiknya penggunaan dapat

dilatih ini tidak digunakan, karena memberi kesan mereka dari

kelompok ini tidak dapat dididik (educable). Kelompok ini

membentuk sekitar 10 % dari kelompok retardasi mental. Kelompok

individu dari tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi

selama masa anak dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan

Page 19: BAB II Revisi

24

vokasional, dan dengan pengawasan yang sedang dapat mengurus atau

merawat diri sendiri. Mereka dapat memperoleh manfaat dari latihan

kecakapan sosial dan okupasional namun mungkin tidak dapat

melampaui pendidikan akademik lebih dari tingkat 2 (kelas 2 SD).

Mereka dapat berpergian di lingkungan yang sudah dikenal.

Semasa remaja, hubungan persaudaraan mungkin terganggu karena

mereka sukar mengenal norma-norma pergaulan lingkungan. Pada

masa dewasa sebagian besar dapat melakukan kerja yang kasar

(unskilled) atau setengah kasar (semi skilled) dibawah pengawasan di

workshop yang dilindungi/diawasi. Mereka dapat menyesuaikan diri

pada komunitas lingkungan dengan pengawasan (supervisi).

3. Retardasi mental berat (tingkat IQ 20-25 sampai 35-40);

Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok

retardasi mental. Selama masa anak mereka sedikit saja atau tidak

mampu berkomunikasi bahasa. Sewaktu usia sekolah mereka dapat

belajar bicara dan dapat dilatih dalam kecakapan mengurus diri yang

sederhana bila diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan

diri pada kehidupan di masyarakat, bersama keluarganya, jika tidak

didapatkan hambatan yang menyertai yang membutuhkan perawatan

khusus.

4. Retardasi mental sangat berat (tingkat IQ di bawah 20-25);

Kelompok retardasi mental sangat berat membentuk sekitar 1-2%

dari kelompok retardasi mental. Pada sebagian besar individu dengan

diagnosis ini dapat diidentifikasi kelainan neurologik, yang

Page 20: BAB II Revisi

25

mengakibatkan retardasi mentalnya. Sewaktu masa anak, mereka

menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor.

Perkembangan motorik dan mengurus diri dan kemampuan

komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang adekuat.

Beberapa diantaranya dapat melakukan tugas sederhana ditempat yang

disupervisi dan dilindungi.

2.3.3 Etiologi Retardasi Mental

Menurut Wahab (2000), sebab-sebab neurobiologis retardasi mental

terdapat pada berbagai faktor seperti malformasi struktural otak, kelainan

metabolik dan difisit sistem saraf sentral yang terkait dengan infeksi, malnutrisi

atau jejas hipoksik-iskemik. Berdasarkan pengalaman, tanda-tanda retardasi dapat

dikenali dengan adanya riwayat disfungsi penyedia perawatan yang terkait dengan

psikopatologi orang tua, disorganisasi keluarga yang ekstrim, atau kesulitan

ekonomi. Anak yang hidup dalam kemiskinan biasanya rentan terhadap beban

stress sosial yang kumulatif maupun kerentanan biologis yang lebih besar yang

terkait dengan faktor-faktor resiko lebih tinggi seperti komplikasi perinatal dan

defesiensi nutrisi.

2.3.4 Penyebab Retardasi Mental yang dapat Dicegah atau Dioabati

Menurut Lumbantobing (2001), cukup banyak penyebab retardasi mental

yang dapat dicegah dan diobati dan cukup banyak pula yang penyebabnya sampai

saat ini belum dapat diobati. Di antara penyebab yang dapat dicegah yaitu:

1. Asfiksia lahir dan trauma lahir;

Di negara sedang berkembang asfiksia lahir dan trauma lahir menduduki

Page 21: BAB II Revisi

26

tempat utama sebagia penyebab kerusakan otak dan retardasi mental.

Kehamilan yang tidak dikontrol, bimbingan persalinan yang tidak adekuat,

misalnya yang dilakukan oleh dukun beranak, dan fasilitas persalinan yang

tidak memadai banyak mengakibatkan jejas otak dan retardasi mental.

Insiden asfiksia lahir di rumah sakit berkisar antara 1,3% dan 6,6% dari

jumlah kelahiran. Dari beberapa survei di negara maju di dapatkan angka

kejadian asfiksia lahir antara 0,4% dan 5% dari kelahiran hidup.

Meningkatkan kemampuan membimbing persalinan serta pengelolaan

semasa hamil dapat mengurangi kemungkinan asfiksia lahir serta trauma

lahir dan retardasi mental.

2. Infeksi;

Penyakit infeksi yang sering ditemukan pada bayi dan anak, seperti mobil

(tampak) dan pertusis (batuk rejan) dapat mengakibatkan ensepalopati

yang kemudian mengakibatkan retardasi mental. Kedua jenis penyakit ini

dapat dicegah. Meningitis tuberculosis dan meningitis purulenta sering

dijumpai pada kelompok masyarakat yang kurang mampu. Sekitar 30-50%

dari mereka yang hidup setelah infeksi ini menderita defisit neurologik dan

retardasi mental.

3. Malnutrisi berat;

Malnutrisi berat pada masa dini bayi memainkan peranan yang negatif

terhadap perkembangan sistem syaraf. Banyak penelitian telah

membuktikan bahwa malnutrisi semasa bayi atau anak usia muda

mengganggu atau merusak pertumbuhan dan fungsi susunan syaraf.

Malnutrisi protein merupakan masalah gizi yang perlu dipecahkan pada

Page 22: BAB II Revisi

27

kelompok ekonomi lemah.

4. Defisiensi yodium;

Pada daerah yang endemik defisiensi yodium dapat mempengaruhi

perkembangan mental anak, kadang juga mengakibatkan retardasi mental

yang berat. Bila disamping itu terdapat pula malnutrisi protein, hal ini akan

memperbesar akibat malnutrisi yodium.

5. Defisiensi besi;

Dari penelitian didapatkan bahwa anemia defisiensi besi, walau pun

ringan, dapat mengakibatkan terlambatnya perkembangan psikososial.

6. Ikterus neonatorum;

Ikterus yang berat pada bayi baru lahir dapat mengakibatkan kerusakan

otak dan retardasi mental.

7. Jejas lahir;

Ini juga penting. Dari penelitian terdahulu didapatkan bahwa jejas lahir

yang dapat diidentifikasi merupakan penyebab dari sekitar 10% penderita

retardasi mental.

2.3.5 Gejala Klinis Retardasi Mental

Menurut Lumbantobing (2001), retardasi mental sering disertai kerusakan

otak yang fokal atau yang luas, dan sering disertai gangguan susunan saraf pusat

lainnya. Lumpuh otak (cerebral palsy), epilepsi, gangguan visus dan

pendengaran, lebih sering dijumpai pada penyandang retardasi mental daripada

populasi umum.

Autisme dan gangguan sosial berat lainnya lebih dari seratus kali lebih

sering dijumpai pada anak dengan retardasi mental dibanding anak dengan

Page 23: BAB II Revisi

28

intelegensi normal. Tingkah laku lain yang sering dijumpai pada retardasi mental

termasuk gerak motorik stereotip, hiperaktivitas yang berat. Kebiasaan

memasukkan benda ke dalam mulut dapat menimbulkan bahaya, seperti

memasukkan bunga, surat kabar, pisau silet, atau tanah ke dalam mulut dan

kemudian menelannya (pica). Pica dapat mengakibatkan obstruksi

gastrointestinal, diare dan nyeri lambung, dan kadang-kadang membutuhkan

intervensi bedah. Gejala tersebut diatas lebih sering dijumpai pada retardasi

mental yang berat (Lumbantobing, 2001).

2.3.6 Perawatan Penderita Retardasi Mental

Perawatan umum pada retardasi mental ialah masalah pendidikan, edukasi,

dan latihan. Tim yang memberikan layanan ini dapat terdiri atas dokter keluarga,

pskiater, neurolog, psikolog, guru, terapis okupasi, terapi wicara serta perawat.

Dokter keluarga, pediater, dan neurolog mempunyai tanggung jawab lebih besar

dalam mendeteksi dini adanya retardasi mental, menentukan penyebabnya serta

gejala lain yang menyertai (Lumbantobing, 2001).

Pada orang tuanya perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan

anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-

kadang diperlukan waktu lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaan

anaknya. Bila orang tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka perlu

konsultasi pula dengan psikolog. Disamping itu diperlukan adanya kerjasama

yang baik antara guru dengan orangtuanya, agar tidak terjadi kesimpang siuran

dalam strategi penanganan anak di sekolah dan di rumah. Anggota keluarga

lainnya juga harus diberi pengertian, agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Di

samping itu masyarakat perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental, agar

Page 24: BAB II Revisi

29

mereka dapat menerima anak tersebut dengan wajar (Soetjiningsih, 1995).

2.3.7 Kaitan Antara Retardasi Mental dengan Harga Diri Keluarga

Anak dengan retardasi mental mengalami gangguan dalam perkembangan

dimana terjadi gangguan dalam intelektualnya yang mengalami sub normal serta

adanya perilaku adaptif sosial. Hal ini membuat anak retardasi mental bereda

dengan anak lainnya. Munculnya tanggapan negatif masyarakat tentang retardasi

mental memicu berbagai reaksi orangtua yang memiliki anak retardasi mental,

seperti: orangtua mengucilkan anak atau tidak mengakui sebagai anak yang

retardasi mental. Anak yang retardasi mental disembunyikan dari masyarakat

karena orang tua merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental. Timbul

pula reaksi orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya,

shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. (Puspita, 2004 dalam

Sukur, 2012).

Diketahui salah satu faktor yang dapat mempengaruhi harga diri adalah

adanya penolakan dan harapan yang tidak realistis (Stuart, 2006). Dengan adanya

reaksi orang tua seperti penjelasan diatas, yaitu seperti tidak dapat menerima

kondisi anaknya, menolak, bahkan malu memiliki anak dengan retardasi mental

dapat dikatakan dalam keluarga tersebut mengalami penurunan harga diri.