bab ii revisi 3

56
11 BAB II LANDASAN TEORI A. Akad Jual Beli Hukum Islam (syari’at Islam) menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan).Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin. 1 Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim. Salah satu cakupan dalam hukum islam adalah muamallah. Muamallah merupakan tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat dengan tata cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual beli. Dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang muamallah jual beli. 1 Ahmad Azhar Basjir, 1990, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Hal 1.

Upload: urfi-achyuta

Post on 30-Jul-2015

70 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Revisi 3

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Akad Jual Beli

Hukum Islam (syari’at Islam) menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi

dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian

syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah,

akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan).Syari’ah disebut juga syara’, millah

dan diin.1 Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah

Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim.

Salah satu cakupan dalam hukum islam adalah muamallah. Muamallah

merupakan tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat

dengan tata cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual

beli. Dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang muamallah jual beli.

1. Definisi Jual Beli

Jual beli atau dalam bahasa Arab al-bai’ menurut etimologi adalah:

Tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain2

Sayid Sabiq mengartikan jual beli (al-bai’) menurt bahasa sebagai berikut:

Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara

mutlak.3

1Ahmad Azhar Basjir, 1990, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Hal 1.2 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islâmiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm.344.

pengertian yang sama dikemukakan oleh Ali Fikri, Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, dan ulama-ulama yang lain. Lihat Ali Fikri, Al-Mu’âmalat Al-Mâddiyah wa Al-Adabiyah, Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir 1357, hlm.8; lihat juga: Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihâyah Al-Muhtaj, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beiru, 204, hlm.372

3Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, cet. III, 1981, hlm.126

Page 2: BAB II Revisi 3

12

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli menurut bahasa

adalah tukar menukar apa saja, baik antara barang dengan barang, barang

dengan uang, atau uang dengan uang. Pengertian ini diambil dari firman Allah

dalam surat AL-Baqarah (2) ayat 16:

Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.

2. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli merupakan akad yang dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah

dan ijma’ para ulama. Dilihat dari aspek hukum , jual beli hukumnya mubah

kecuali jual beli yang dilarang oleh syara’. Adapun hukum dari Al-Qur’an

antara lain:

a. Surat Al-Baqarah (2) ayat 275:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

b. Surat Al-Baqarah (2) ayat 282:

Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan dalam dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dasar hukum dari sunah antara lain :

a. Hadis Rifa’ah ibnu Rafi’

Dari Rifa’ah ibnu Rafi’ bahwa Nabi SAW ditanya usaha apakah yang paling baik? Nabi menjawab: usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Hakim)4

4 Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir, cet. IV, 1960, hlm. 4.

Page 3: BAB II Revisi 3

13

b. Hadis Abi Sa’id

Dari Abi sa’id dari Nabi SAW, beliau bersabda: pedagang yang jujur (benar), dan dapat dipercaya nanti bersama-sama dengan Nabi, shiddiqin, dan syuhada. (Hr. At-Tirmidzi. Berkata Abu ‘Isa: Hadis ini adalah hadis yang shahih)5

c. Hadis Ibnu ‘Umar

Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: Telah bersabda Rosulullah: Pedagang yang benar (jujur), dapat dipercaya dan muslim, berserta para syuhada pada hari kiamat. (HR. Ibnu Majah)6

Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis yang dikemukakan di atas dapat

dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang halal dan mulia.Apabila

pelakunya jujur, maka kedudukannya di akhirat nanti setara dengan para nabi,

syuhada, dan shiddiqin.

Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat tentang dibolehkannya jual

beli, karena hal ini sangat dibutuhkan oleh pada manusia pada umumnya.

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak semua orang memiliki apa yang

dibutuhkannya. Apa yang dibutuhkannya kadang-kadang berada ditangan

orang lain. Dengan jual beli, maka manusia saling tolong-menolong untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi

akan berjalan dengan positif karena apa yang mereka lakukan akan

menguntungkan kedua belah pihak.

3. Rukun Jual Beli

Rukun jual beli menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang menunjukan

5 At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz3, Nomor hadis 1209, CD Room, Maktabah Kutub Al- Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, Seri 4, Al-Isdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.515.

6 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Nomor hadis 2139, CD Room, Makabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, seri 4, Al Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.724.

Page 4: BAB II Revisi 3

14

sikap saling tukar-menukar atau saling memberi.Atau dengan redaksi yang

lain, ijab qabul adalah perbuatan yang menunujakan kesediaan dua pihak

untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain, dengan

menggunakan perkataan atau perbuatan.

Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada empat, yaitu penjual, pembeli,

shigat, ma’qud ‘alaih (objek akad).7

a. Ijab dan Qabul

1) Pengertian ijab dan qobul

Pengertian ijab menurut hanafiah adalah

Menetapkan perbuatan yang khusus yang menunjukan kerelaan,

yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad.8

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ijab adalah pernyataan

yang disampaikan pertama oleh atu pihak yang menunjukan

kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual, maupun si pembeli.

Adapun pengertian qabul adalah

Pernyataan yang disebutkan kedua dari pembiacaraan salah satu

pihak yang melakukan akad.9

2) Shighat Ijab dan Qabul

Shighat akad adalah bentuk ungkapan dari ijab dan qabul apabila

akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh dua pihak, atau ijab saja

apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh satu pihak. Ada

beberapa pendapat tentang shighat ijab dan qabul, namun hanya

7Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 4, hlm. 347.8Ibid.9 Ibid.

Page 5: BAB II Revisi 3

15

beberapa yang akan dijelaskan. Para ulama sepakat bahwa landasan

untuk terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang

menunjukan kerelaan atau persetujuan kedua belah pihak untuk

merealisasikan kewajiban diantara mereka, yang oleh para ulama

disebut sighat akad. Dalam sighat akad disyaratkan haru timbul dari

pihak-pihak yang melakukan akad menurut cara yang dianggap syah

oleh syara’. Cara tersebut adalah bahwa akad harus menggunakan

lafal yang menunjukam kerelaan dari masing-masing pihak untuk

saling tukar-menukar kepemilikan dala harta, sesuai dengan adat

kebiasaan yang berlaku. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan

Hanabilah, baik akad jual beli maupun akad nikah, hukumnya sah

dengan menggunakan lafal istid’a (amar atau istifham), karena yang

terpenting dalam akad jual beli itu adalah kerelaan (at-taradhi).10

3) Sifat Ijab dan Qabul

b. ‘Ăqid (Penjual dan Pembeli)

Rukun jual beli yang kedua adalah âqid atau orang yang melakukan

akad, yaitu penjual dan pembeli.

c. Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad Jual Beli)

Ma’qud ‘alaih atau objek akad jual beli adalah barang yang dijual

(mabi’) dan harga/uang (tsaman).

4. Syarat Sah Jual Beli11

10Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 250.11Abdullah Mushlih dan Shalah Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), halaman 92-93.

Page 6: BAB II Revisi 3

16

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang

tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini

terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan

pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.

Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki

kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah

akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual

beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang

yang dipaksa.

Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:

a. Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan

merupakan milik penuh salah satu pihak.

b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar

tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam

karung’ karena hal tersebut dilarang.

c. Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang

untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.

5. Klasifikasi Jual Beli12

Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang.

Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:

12Ibid, halaman 90-91

Page 7: BAB II Revisi 3

17

a. Berdasarkan Objeknya

1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.

2) Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan

uang.

3) Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan

barang.

b. Berdasarkan Standardisasi Harga

1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana

penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.

2) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan

modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi

menjadi tiga jenis:

a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan

keuntungan yang diketahui.

b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal

dan kerugian yang diketahui.

c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama

dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.

c. Cara Pembayaran

1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara

langsung (jual beli kontan).

2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).

3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.

Page 8: BAB II Revisi 3

18

4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama

tertunda.

6. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli13

Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:

a. Berkaitan dengan objek

1) Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak

ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan

(malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya

(madhamin).

2) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli,

seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.

3) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si

penjual, seperti jual beli fudhuly.

b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli

1) Jual beli yang mengandung riba.

2) Jual beli yang mengandung kecurangan.

Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di

atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang

menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata

saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan

karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan

adzan shalat Jum’at.Akan tetapi, kemungkinan yang paling banyak tersebar

13Ibid, halaman 95-97

Page 9: BAB II Revisi 3

19

dalam realitas kehidupan adalah objek jual beli yang haram, riba, kecurangan,

dan syarat-syarat yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.

7. Jual Beli yang Bermasalah

Jual beli yang bermasalah dikategorikan kedalam dua macam, diantaranya

adalah sebagai berikut :

a. Jual Beli yang Diharamkan

1) Menjual tanggungan dengan tanggungan

Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan

sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra14. Yaitu

menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang

ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada

tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang

pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah

bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali15.

2) Jual beli disertai syarat16

Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah

menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan

konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali

atau menggunakannya. Hambaliyah memahami syarat sebagai yang

14Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syahrul IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III: 71, juga oleh al-Hakim II: 57, oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. (Lihat catatan kaki Abdullah Mushlih dan Shalah Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, halaman 97).15Ibid, halaman 98.16Ibid, halaman 140.

Page 10: BAB II Revisi 3

20

bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual

beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli

menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan

ridha.”Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak

termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan

dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.

3) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli

Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi,

namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:

a) Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih

mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan

ketentuan, sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya

apakah kontan atau kredit17.

b) Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda,

lalu si penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang

lebih murah.18

4) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau

menawar barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih

mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam

hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan

transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah

seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain,

17Ibid, halaman 141.18Ibid, halaman 106.

Page 11: BAB II Revisi 3

21

kecuali bila mendapat ijin dari pelaku transaksi atau peminang yang

pertama.”19

5) ’Orang kota menjual barang orang dusun.’ Yang dimaksud dengan

istilah ini adalah orang kota yang menjadi calo bagi pedagang orang

dusun.20 Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah orang kota menjualkan

komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan

saling memberi keuntungan yang satu kepada yang lain.” (HR. Muslim)

6) Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang

mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun

(HR. Bukhari). Kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap

tidak sah menjual anjing apapun, baik dipelihara (untuk berburu)

maupun tidak. Sedangkan, Malikiyah membolehkan menjual anjing

kelompok yang pertama dengan hadits: ”Rasulullah mengharamkan

hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i).

7) Menjual alat-alat musik dan hiburan. Mayoritas ulama mengharamkan

semua lat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan.21

8) Jual beli saat adzan Jum’at dikumandangkan. Allah swt berfirman: ”Hai

orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at,

Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah

jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahu.”

(Alquran, 62: 9). Adzan yang dimaksud adalah adzan ketika khatib naik

mimbar. Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang

19Ibid, halaman 107 – 108.20Ibid, halaman 111.21Ibid, halaman 116.

Page 12: BAB II Revisi 3

22

yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at,

mengetahui larangan tersebut dan tidak dalam kondisi darurat. Jika

keduanya tidak wajib shalat Jum’at, maka tidak apa-apa. Namun jika

salah satunya wajib, keduanya berdosa.22

b. Jual Beli yang Diperdebatkan

1) Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar

dengan lebih banyak (riba). Mayoritas ulama mengharamkannya tanpa

pengecualian, sedangkan Imam as-Syafi’i membolehkannya jika tidak

disepakati sebelumnya.23

2) Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan

pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si

pembeli mengembalikan barang. Menurut pendapat ulama tujuan dari

jual beli ini adalah riba yang berupa manfaat barang.24

3) Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang

muka (urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya,

uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Jika tidak terjadi, urbun

menjadi milik penjual. Mayoritas ulama membolehkan jual beli seperti

ini, jika diberi batasan menunggu secara tegas.25

4) Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara

bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas

22Ibid, halaman 142.23Ibid, halaman 143.24Ibid, halaman 143.25Ibid, halaman 143.

Page 13: BAB II Revisi 3

23

ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi

pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.26

B. Jual Beli Istijrar

1. Definisi

Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara terminologis

ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu

membayarnya sesudah itu.27

Bai Istijrar adalah adalah perjanjian/kesepakatan penjualan/pembelian

normal yang berulang dimana penjual menyetujui menjual beragam

jumlah/unit komoditas dari waktu ke waktu.28

26Ibid, halaman 143.27Sumber : Tulisan Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi;http://www.alsofwah.or.id28Understanding Islamic Finance. Muhammad Ayub

Page 14: BAB II Revisi 3

24

2. Landasan Hukum29

Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu

perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang

ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda sampai

waktu penghitungannya.Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui

secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-

disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah,

sehingga termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang me-netapkan

disyariatkannya jual beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui,

inilah yang menjadi perdebatan di antara para ulama.

Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena tidak

diketahuinya harga pembayaran.Kalangan Hambaliyah dalam salah satu

riwayat dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan.Itulah pendapat

yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Hal itu menurut mereka

sama dengan sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah mahar. Jumlah mahar

itu dikembalikan dengan standar mahar secara umum. Dan harga barang dalam

jual beli ini pun dikem-balikan kepada harga standar. Kemungkinan di antara

dalil yang paling jelas yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini adalah

karena bentuk jual beli ini sudah demikian populer di berbagai negeri dan

belahan dunia, sampai di kalangan mereka yang melarangnya sekalipun. Dan

tak seorangpun di antara mereka yang berani menyatakan bahwa jual beli itu

batal.

29Ash-shawi, Op.cit.

Page 15: BAB II Revisi 3

25

Abu Daud menjelaskan dalam al-Masail bab: Membeli Tanpa Mengetahui

Harga, "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang seorang lelaki yang

mengirim orang ke tukang sayur dan mengambil kebutuhannya satu demi satu,

baru di kemudian hari ia menghitung semua pembeliannya. Beliau menjawab,

'Saya harap jual beli semacam itu tidak ada apa-apa.'Beliau ditanya, 'Apakah

saat itu juga disebut sebagai jual beli?'Beliau menjawab, 'Tidak'." Ibnul

Qayyim menyebutkan dalam I'lamul Muwaqqi'in: "Para ulama berbeda

pendapat tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga diputuskan tanpa

perkiraan harga barang sesungguhnya pada saat transaksi. Bentuk aplikatifnya:

Jual beli yang dilakukan dengan rekan bisnis, seperti tukang roti, tukang

daging atau penjual minyak samin, atau yang lainnya. Ia mengambil

kebutuhannya dari mereka dan menghitung seluruhnya di awal bulan atau awal

tahun, lalu membayarnya. Namun sebagian besar ulama melarangnya.Mereka

menganggap serah terima barang itu tidak memindahkan kepemilikan.Itu

adalah serah terima rusak seperti halnya serah terima barang rampasan. Karena

serah terima itu dilakukan dengan transaksi yang rusak. Namun mereka semua

juga melakukan jual beli tersebut, selain orang yang bersikap ekstrim. Karena

mereka tidak menemukan jalan lain, meskipun mereka menyebutkan fatwa

bahwa jual beli semacam itu batil, dan bahwa barang itu masih dalam

kepemilikan oleh si penjual. Ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu,

dalam arti mereka tidak mungkin menawar setiap kali ia membutuhkan sesuatu

yang diambil, murah atau mahal. Kalau serah terima barang harus dilakukan

Page 16: BAB II Revisi 3

26

dengan pelafalan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan

pelafalan ijab dan qabul (serah terima).

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan:

"Pendapat kedua: –dan inilah pendapat yang tepat– yakni yang selalu

diamalkan oleh umat Islam di segala masa dan di segala tempat, yakni

dibolehkannya jual beli itu sampai batas harga termahal. Itulah pendapat yang

dinyatakan oleh Ahmad dan dipilih oleh guru kami Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah.Aku pernah mendengarnya berkata, "Itu lebih menyenangkan hati

pembeli daripada tawar menawar. Dalam hal ini saya juga memi-liki

panutan.Saya hanya memilih pendapat yang telah diambil oleh ulama selain

saya. "Kemudian beliau melanjutkan, "Orang-orang yang melarang jual beli

semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut. Bahkan

mereka turut melakukan-nya juga. Sementara dalam Kitabullah maupun

Sunnah Rasulullah bahkan juga ijma' kaum muslimin, atau sekedar pendapat

seorang sahabat maupun qiyas yang sah, tidak ada yang menjelaskan

keharamannya. Di sisi lain umat Islam telah bersepakat mengang-gap sah nikah

tanpa mengetahui jumlah mahar dengan memberikan mahar standar. Bahkan

kebanyakan ulama juga membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan

pembayaran standar, seperti me-nyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan,

tukang membersihkan dan dapur. Namun setidaknya jual beli tersebut dengan

meng-gunakan harga standar. Jual beli semacam itu dibolehkan, sebagaimana

halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli ini ataupun jual

Page 17: BAB II Revisi 3

27

beli lainnya.Inilah qiyas yang tepat, yang hanya dengan analogi inilah

kepentingan umat dapat ditegakkan.

C. Letter of Credit (L/C)

Letter of Credit atau biasa disebut L/C adalah suatu instrumen perbankan yang

sangat penting khususnya dalam perdagangan ekspor-impor yang digunakan

sebagai sarana untuk memudahkan penyelesaian utang-piutang.

1. Definisi30

L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan

importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir di

luar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu menyatakan

30 Amir M.S, Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, halaman 1

Page 18: BAB II Revisi 3

28

bahwa eksportir penerima L/C diberi hak oleh importir untuk menarik wesel

(surat perintah untuk melunasi utang) atas importir bersangkutan untuk

sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan

menjamin untuk mengakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut

asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di dalam surat itu.

2. Isi Pokok L/C31

Isi pokok L/C antara lain :

a. Nomor dan tanggal L/C

b. Jenis dan sifat L/C yang dibuka

c. Nama dan alamat eksportir (penerima L/C) atau beneficiary.

d. Jumlah dana yang tersedia.

e. Uraian barang dan jumlahnya.

f. Perincian dokumen pengapalan yang disyaratkan seperti:

1) Bill of lading

2) Faktur perdagangan

3) Daftar pengepakan

4) Daftar kubikasi

5) Daftar timbangan

6) Keterangan negara asal

7) Sertifikat mutu

8) Laporan kebenaran pemeriksaan

9) Polis asuransi dan lain-lain.

31Ibid, halaman 2.

Page 19: BAB II Revisi 3

29

g. Batas waktu pengapalan terakhir.

h. Batas waktu berlakunya L/C.

i. Syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment dll.

j. Ketentuan negosiasi dokumen pengapalan.

Eksportir harus mempelajari dengan seksama semua keterangan yang

tercantum didalam L/C. Kalau semua ketentuan itu tidak dipenuhi secara

tepat dan cermat, maka bank dari importir yang membuka L/C berhak penuh

untuk menolak dokumen pengapalan yang diajukan dan menolak pembayaran

atas beban L/C itu.

3. Pihak-pihak Dalam L/C32

Pihak-pihak yang terlibat dalam pembukaan suatu L/C adalah:

a. Opener atau Applicant

Importir yang meminta bantuan bank devisanya untuk membuka L/C

guna keperluan penjual atau eksportir, disebut sebagai opener atau

applicant dari L/C itu.

b. Opening bank atau Issuing bank

Bank devisa yang diminta bantuannya oleh importir untuk membuka

suatu L/C untuk keperluan eksportir. Bank devisa inilah yang

memberikan jaminan kepada eksportir. Oleh karena itu, nilai L/C

sangat bergantung pada nama baik dan reputasi dari bank devisa yang

membuka L/C tersebut.

c. Advising

32Ibid, halaman 3.

Page 20: BAB II Revisi 3

30

Opening bank membuka L/C untuk eksportir melalui bank lain di

negara eksportir yang menjadi koresponden dari opening bank

tersebut. Bank korespondensi ini berkewajiban untuk menyampaikan

amanat yang terkandung dalam L/C kepada eksportir yang berhak.Oleh

karena itu, bank koresponden bersangkutan disebut advising bank, atau

bank penyampai amanat.

d. Beneficiary

Eksportir yang menerima pembukaan L/C dan diberi hak untuk

menarik uang dari dana L/C yang tersedia.

e. Negotiating Bank

Di dalam L/C biasanya disebutkan bahwa beneficiary boleh

menguangkan (menegosiasikan shipping document) melalui bank mana

saja yang disukainya asalkan memenuhi syarat L/C. Bank yang

membayar dokumen itu disebut sebagai negotiating bank.

4. Mekanisme dan Skema L/C33

Secara skematis pembukaan suatu L/C dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema pembukaan L/C

B C

33Ibid, halaman 4.

Advising/negotiating/ paying bank

Opening bank

13

2

Page 21: BAB II Revisi 3

31

A D

Dalam Negeri Luar Negeri

Keterangan :

1. Importir meminta banknya (bank devisa) membuka suatu L/C untuk

dan atas nama eksportir. Dalam hal ini importir bertindak sebagai

opener (A-B).

2. Bank bertindak sebagai opening bank pada saat melaksanakan

pembukaan L/C atas nama importir. Pembukaan L/C ini dilakukan

melalui salah satu koresponden bank diluar negeri atau yang disebut

dengan advising bank (B-C)

3. Advising bank memberitahukan kepada mengenai pembukaan L/C

tersebut. Eksportir yang menerima L/C disebut beneficiary (C-D).

jikaadvising juga dikuasakan untuk membeli wesel-wesel yang ditarik

oleh eksportir maka advising bank juga disebut negotiating bank.

5. Keuntungan L/C34

L/C adalah suatu alat (isntrumen) yang memudahkan transaksi dagang

antara eksportir dengan importir yang belum saling mengenal, atau yang tidak

mempunyai ikatan khusus tertentu.

a. Keuntungan bagi eksportir.

1) Kepastian pembayaran dan menghindari resiko.

34Ibid, halaman 5.

sellerbuyer

Page 22: BAB II Revisi 3

32

Sekalipun eksportir tidak mengenal importir, tetapi dengan adanya

L/C sudah merupakan jaminan bagi eksportir bahwa tagihanya

pasti dilunasi bank sesuai ketentuan.

2) Penguangan dokumen dapat langsung dilakukan.

Bila barang sudah dikapalkan, maka dengan adanya L/C shipping

documents dapat langsung diuangkan atau dinegosiasikan dengan

advising bank dan tidak perlu lagi menunggu pembayaran atau

kiriman uang dari importir.

3) Biaya yang dipungut bank untuk negosiasi dokumen relatif kecil

bila ada L/C.

4) Terhindar dari risiko pembatasan transfer valuta.

Di berbagai negara terdapat pembatasan transfer valuta asing dan

diperlukan izin impor sebelum dilakukan pembukaan L/C. bank

devisa di negara importir sudah mengetahui ketentuan ini dan

mereka baru bersedia membuka L/C bila semua ketentuan

pemerintah dipenuhi oleh importir. Oleh karena itu, setiap

pembukaan L/C opening bank sudah menyediakan valuta asing

untuk setiap tagihan yang didasarkan pada L/C tersebut.Dengan

demikian eksportir terhindar dari risiko non-payment yang

mungkin terjadi bila transaksi dilakukan tanpa L/C.

5) Kemungkinan memperoleh uang muka atau kredit tanpa bunga.

Bila importir bersedia membuka L/C dengan syarat “Red Clause”,

maka eksportir dapat memperoleh uang muka dari L/C yang

Page 23: BAB II Revisi 3

33

tersedia. Ini berarti eksportir mendapat kredit tanpa bunga atau

semacam uang panjar yang biasanya diperlukan untuk memulai

produksi barang yang akan diekspor itu.

b. Keuntungan bagi importir.

1) Pembukaan L/C dapat diartikan bahwa opening bank meminjam

nama baik dan reputasinya kepada importir sehingga dapat

dipercaya oleh eksportir. Eksportir yakin bahwa barang yang akan

dikirim pasti akan dibayar. Dengan pembukaan L/C

memungkinkan importir menyimpan barang. Tanpa pembukaan

L/C hampir mustahil bagi importir untuk mendapatkan barang

impor.

2) L/C merupakan jaminan bagi importir, bahwa dokumen atas barang

yang dipesan akan diterimanya dalam keadaan lengkap dan utuh,

karena akan diteliti oleh bank yang sudah mempunyai keahlian

dalam hal itu.

3) Importir dapat mencantumkan syarat-syarat untuk pengamanan

yang pasti akan dipatuhi oleh eksportir agar dapat menarik uang

dari L/C yang tersedia.

6. Jenis-jenis L/C35

a. Commercial Documentary L/C

35Ibid, halaman 7.

Page 24: BAB II Revisi 3

34

Adalah L/C yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk

menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan

barang serta dokumen penunjang lainnya sebagai syarat untuk

memperoleh pembayaran dari dana yang tersedia pada L/C tersebut.

b. Clean L/C

Adalah suatu L/C yang dapat dicairkan dananya dengan penyerahan

wesel atau hanya kuitansi biasa. L/C ini tidak membutuhkan

penyerahan dokumen pengapalan seperti bill of lading dan sebagainya.

c. Open L/C

Adalah L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima L/C untuk

menegosiasi dokumen pengapalan melalui bank mana saja yang

diinginkannya.

d. Restricted L/C

Adalah L/C yang membatasi hak eksportir penerima L/C untuk

menegosiasi dokumen pengapalan pada bank tertentu yang disebutkan

oleh opening bank didalam L/C tersebut dan biasanya terbatas pada

advising bank saja.

e. Straight L/C

Adalah L/C yang negosiasi atau pelunasan dokumen pengapalannya

hanya dapat dilakukan di kassa opening bank sendiri.

f. Revocable L/C

Adalah L/C yang dapat dibatalkan kembali kapan saja oleh importir

tanpe memerlukan persetujuan eksportir. L/C ini mengansung risiko

Page 25: BAB II Revisi 3

35

besar bagi eksportir, karena pelunasan atas barang yang dikirim bisa

mengalami kelambatan.

g. Irrevocable L/C

Adalah L/C yang dibuka oleh bank devisa untuk eksportir, dimana

opening bank mengikatkan diri untuk melunasi wesel-wesel yang

ditarik dalam jangka waktu berlakunya L/C. L/C tersebut tidak dapat

dibatalkan selama jangka waktu yang dimaksud, kecuali dengan

persetujuan semua pihak yang terlibat.

h. Irrevocable and Confirmed L/C

Adalah L/C yang:

1) Tidak dapat dibatalkan/ diubah selama jangka waktu berlakunya,

kecuali bila mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat

dengan L/C tersebut.

2) Mempunyai jaminan pelunasan berganda atas wesel dan atau

penyerahan doumen pengapalan yang diberikan oleh opening bank

bersama advising bank.

3) Merupakan cara pembayaran yang paling aman dipandang dari

sudut kepentingan eksportir penerima L/C.

i. Red Clause L/C

Red Clause L/C adalah L/C yang menguasakan advising, negotiating

atau confirming bank untuk memberikan pembayaran di muka kepada

beneficiary (eksportir) sebelum pengajuan dokumen-dokumen.Red

Clause tersebut dicantumkan pada L/C berdasarkan permintaan khusus

Page 26: BAB II Revisi 3

36

dari applicant (importir) dan redaksi kata-katanya tergantung kepada

permintaannya.

j. Back to Back L/C

Pada hakikatnya back to back L/C ini merupakan dua L/C yang

identik, kecuali harganya dan tanggal pengapalan serta tanggal

berlakunya L/C. Jenis L/C ini umumnya digunakan dalam kondisi

sebagai berikut :

1. eksportir bukanlah supplier barang-barang eksporr.

2. eksportir tidak mempunyai dana untuk membayar supplier.

3. eksportir tidak ingin supplier mengetahui nama importir asli dan

harga-harga barang yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, haruslah dibuat dua L/C yang terpisah tanpa ada

indikasi kepada importir asli bahwa kedua L/C tersebut berkaitan.L/C

yang pertama atau L/C induk (master L/C) dibuka oleh importir di luar

negeri kepada eksportir melalui bank di negara eksportir.

k. Revolving L/C

1) Kredit yang tersedia dapat dipakai ulang tanpa perlu mengadakan

perubahan syarat.

2) Pemakaian ulang dapat dilakukan untuk “waktu dan nilai”.

Misalnya kredit disediakan sebesar US$ 15.000 sebulan, dengan

jangka waktu 6 bulan. Ini berarti secara otomatis setiap bulan

tersedia kredit sebesar US$ 15.000 selama 6 bulan berturut-turut,

tidak peduli kredit itu dipakai atau tidak. Dengan sendirinya kredit

Page 27: BAB II Revisi 3

37

semacam ini bersifat cumulative atau non cumulative. Jika kredit

cumulative berarti setiap jumlah yang tidak terpakai dalam bulan

terdahulu masih dapat dipakai dalam bulan berikutnya. Jika kredit

non cumulative berarti setiap jumlah kredit yang tidak terpakai

dalam bulan terdahulu otomatis menjadi batal.

3) Pemakaian ulang juga dapat dilakukan untuk “nilai” saja. Misalnya

kredit disediakan sebesar US$ 100.000. Nilai kredit tersebut akan

diperbaharui secara otomatis setiap jumlah itu dipakai, asal saja

masih dalam jangka waktu berlakunya kredit (validity). Kredit

semacam ini sudah tentu sangat memudahkan penerima kredit

(L/C), namun bagi opener atau opening bank merupakan resiko

yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Kalau frekuensi

pengambilan kredit bertambah tinggi, berarti jumlah yang diambil

dari L/C juga semakin tinggi. Oleh karena itu, pada revolving

credit semacam ini biasanya ditetapkan batas maksimum nilai yang

dapat ditarik.

l. Transferable L/C

L/C yang member hak kepada eksportir penerima untukmenoperkan

atau menguasakan haknya atas L/C itu kepada pihak lain atau eksportir

lain yang menyanggupi.

m. Stand by L/C

Semacam bank garansi oleh yang dikeluarkan oleh mitra dagang asing,

untuk menjamin pinjaman yang dilakukan perusahaan lokal.

Page 28: BAB II Revisi 3

38

n. Merchant L/C

L/C yang dibuka oleh importir (bukan bank) kepada eksportir, yang

memberikan hak kepada eksportir penerima L/C untuk menarik wesel

terhadap importir, dan importir pembuka menjamin untuk melunasi

wesel-wesel tersebut pada saat jatuh temponya.

o. Usance L/C

L/C yang mengharuskan eksportir penerima L/C untuk menarik wesel

berjangka dan bukan wesel unjuk.

7. Penyelesaian L/C36

Negosiasi

Pada prinsipnya pembayaran kepada beneficiary dapat dilakukan setelah

negotiating bank menerima hasil pengkreditan dari Issuing Bank atau

Depository Correspondent.Agar beneficiary (eksportir) dapat menerima

hasil negosiasi saat diajukandokumen engkap kepada negotiating bank,

harus terlebih dahulu memperoleh fasilitas dari bank bersangkutan. Setelah

memperoleh fasilitas di atas, pembayaran dapat dilakukan apabila

negosiasi memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1) Didasarkan atas L/C yang merupakan operative credit instrument.

2) Tidak terdapat suatu penyimpangan.

3) Telah ada copy PEB/PEBT yang telah diregistrasi dan difiat muat

oleh Bea & Cukai.

4) Penilaian bank atas eksportir yang bersangkutan baik.

36Workshop : Transaksi Ekspor-Impor dengan Letter of Credit LPBP – LePMA, halaman 40.

Page 29: BAB II Revisi 3

39

5) Eksportir mempunyai kemampuan finansial untuk membayar

kembali kepada bank, bila terjadai penolakan pembayaran oleh

Issuing Bank (hak regres bagi bank atau “with recourse”)

Terhadap eksportir yang tergolong di atas perlakuan pembayaran

dilakukan :

1) Jika availability L/C : by Payment at Sightdan dibayarkan dalam

Rupiah dengan menggunakan Kurs Beli Devisa Umum, dengan

dikurangi Transit Time Interest atau dibayarkan dalam valuta asing

dengan membagi hasil rupiah di ats dibagi dengan kurs jual bank.

2) Jika availability L/C :by acceptance of draft at : x days after B/L

dapat dibayarkan dalam rupiah dengan Kurs Devisa Umum dengan

dikurangi Bunga Diskonto.

3) Jika availibility L/C :by Negotiation, dapat dibayarkan dalam rupiah

dengan Kurs Beli Devisa Umum Negotiating Bank, tanpa

pengurangan dengan Transit Time Interest.

Pengenaan hari bunga Transit Time Interest perbankan rata-rata

dikenakan 4 hari jika syarat remburs L/C TT dan 12 hari jika syarat

remburs L/C dengan mail. Apabila terjadi pengkreditan di atas 12 hari,

maka bank akan mengenakan tambahan hari bungan di aas 12 hari,

dinamakan Overdue Interest.

1) Biaya Komisi Negosiasi yang diperhitungkan dalam valuta asing

kepada eksportir (biasanya ¼ % dari nilai wesel).

Page 30: BAB II Revisi 3

40

2) Biaya Pajak Ekspor, apabila eksportir membayarkan PE melalui

bank untuk disetorkan kepada Kas Negara.

3) Overdue interest (bila ada)

D. Letter of Credit Syari’ah

1. L/C Impor Syari’ah37

Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan

membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan

Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip

syariah. L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad:

Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah,

Musyarakah, dan Hawalah.

Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan

beberapa bentuk:

a. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:

1) Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran

barang yang diimpor;

37FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 34/DSNMUI/IX/2002 Tentang LETTER OF CREDIT IMPOR SYARI’AH

Page 31: BAB II Revisi 3

41

2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk

pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;

3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk

nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

b. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:

1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran

harga barang yang diimpor;

2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk

pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;

3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk

nominal, bukan dalam bentuk prosentase;

4) Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk

pelunasan pembayaran barang impor.

c. Akad Murabahah dengan ketentuan:

1) Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir

untuk melakukan transaksi dengan eksportir;

2) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat

dokumen diterima (at sight) dan/atau tangguh sampai dengan jatuh

tempo (usance);

3) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik

dengan pembayaran tunai maupun cicilan.

4) Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan

sebagai harga perolehan barang.

Page 32: BAB II Revisi 3

42

d. Akad Salam/Istishna’dan Murabahah, dengan ketentuan:

1) Bank melakukan akad Salam atau Istishna’ dengan mewakilkan

kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut.

2) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank;

3) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik

dengan pembayaran tunai maupun cicilan.

4) Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan

sebagai harga perolehan barang.

e. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:

1) Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk

melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.

2) Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank

bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada

importir sebesar harga barang yang diimpor.

f. Akad Musyarakah dengan ketentuan:

Bank dan importir melakukan akad Musyarakah, dimana keduanya

menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.

g. Dalam hal pengiriman barang telah terjadi, sedangkan pembayaran

belum dilakukan, akad yang digunakan adalah:

Alternatif 1:

Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:

1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran

harga barang yang diimpor.

Page 33: BAB II Revisi 3

43

2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk

pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;

3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk

nominal, bukan dalam bentuk prosentase;

4) Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah untuk

pelunasan pembayaran barang impor

Alternatif 2:

Wakalah bil Ujrah dan Hawalah dengan ketentuan:

1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran

harga barang yang diimpor;

2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan

dokumen-dokumen transaksi impor;

3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk

nominal, bukan dalam bentuk prosentase;

4) Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang

kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir

senilai barang yang diimpor.

2. Penyelesaian Utang dalam Impor38

Penyelesaian Utang Impor adalah pengalihan utang dari pihak yang

berutang kepada LKS, kemudian LKS membayar utang tersebut kepada pihak

38FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 61/DSN MUI/V/2007 Tentang PENYELESAIAN UTANG DALAM IMPOR

Page 34: BAB II Revisi 3

44

yang berpiutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berpiutang.

Ketentuan akad :

a. Akad yang dapat digunakan dalam penyelesaian utang impor adalah

Hawalah bil Ujrah dengan mengacu pada Fatwa DSN No. 58/DSN-

MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah.

b. LKS sebagai muhal alaih menerima pengalihan utang dari pihak yang

berutang senilai utang impor.

c. Pengalihan utang harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak

yang terkait.

d. LKS sebagai muhal alaih boleh mengenakan ujrah/fee atas pengalihan

utang.

e. Besar ujrah harus disepakati secara jelas, tetap dan pasti pada saat

akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk

prosentase yang dihitung dari pokok utang.

f. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

g. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau

menggunakan cara-cara komunikasi modern.

h. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad

secara tegas.

i. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal

berpindah kepada muhal ‘alaih.

Page 35: BAB II Revisi 3

45

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui

Badan Arbitrasi Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.

E. KDPPLKS ( Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan

Keuangan Syariah)

1. Tujuan dan Peranan

Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan

penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Tujuan kerangka

dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi:

a. Penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan

tugasnya;

b. Penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi

syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah;

c. Auditor dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan

keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang

berlaku umum;

d. Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang

disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar

akuntansi keuangan syariah.

Page 36: BAB II Revisi 3

46

Pengertian transaksi syariah yang dimaksud dalam kerangka dasar ini adalah

transaksi yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Kerangka dasar ini

bukan standar akuntansi keuangan dan karenanya tidak mendefinisikan standar

untuk permasalahan pengukuran atau pengungkapan tertentu. Revisi kerangka

dasar ini akan dilakukan dari waktu ke waktu sesuai dengan pengalaman badan

penyusun standar akuntansi keuangan syariah dalam penggunaan kerangka

dasar tersebut.

2. Ruang Lingkup

Kerangka dasar ini membahas:

a. Tujuan laporan keuangan;

b. Karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasi dalam

laporan keuangan;

c. Definisi pengakuan dan pengukuran unsur-unsur yangmembentuk

laporan keuangan.

Kerangka dasar ini membahas laporan keuangan untuk tujuan umum

(general purpose financial statements, yang selanjutnya hanya disebut

“laporan keuangan”), termasuk laporan keuangan konsolidasi. Laporan

keuangan disusun dan disajikan sekurang-kurangnya setahun sekali untuk

memenuhi kebutuhan sejumlah besar pemakai. Beberapa di antara pemakai

ini memerlukan dan berhak untuk memperoleh informasi tambahan di

samping yang tercakup dalam laporankeuangan. Namun demikian, banyak

pemakai sangat tergantung pada laporan keuangan sebagai sumber utama

informasi keuangan dan karena itu laporan keuangan tersebut seharusnya

Page 37: BAB II Revisi 3

47

disusun dan disajikan dengan mempertimbangkankebutuhan mereka. Laporan

keuangan dengan tujuan khusus seperti prospektus dan perhitungan yang

dilakukan untuk tujuan perpajakan tidak termasuk dalam kerangka dasar ini.

Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan.

Laporan keuangan yang lengkap meliputi laporan keuangan atas kegiatan

komersial dan atau sosial. Laporan keuangan kegiatan komersial meliputi

neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat

disajikan dalam berbagai cara seperti, misalnya, sebagai laporan arus kas,

atau laporan perubahan ekuitas), catatan dan laporan lain serta materi

penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Laporan

keuangan atas kegiatan social meliputi laporan sumber dan penggunaan dana

zakat, dan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan. Di samping itu

juga termasuk, skedul dan informasi tambahan yang berkaitan.