bab ii rei 12 oktober (revisi) 3

Upload: sriadhinugroho

Post on 11-Jul-2015

101 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

(REINARDUS BUDI/2007200100)

HAK KELUARGA UNTUK MENENTUKAN PENGHENTIAN/PENUNDAAN KEHIDUPAN PASIEN BERDASARKAN ASAS KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB (Penelitian Yuridis Normatif Terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Dan Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran)

BAB II HAK KELUARGA DALAM SITUASI KHUSUS

A. PENGANTAR

Manusia pada dasarnya adalah makhluk gregariousness, yakni makhluk hidup yang tidak dapat hidup seorang diri dan membutuhkan adanya manusia lain untuk bertahan hidup. Kedudukan manusia lain dalam diri individu manusia itu sendiri amatlah penting, sebab kadang kala seorang manusia dalam membuat suatu keputusan dipengaruhi oleh adanya pendapat dari manusia lainnya. Di mana semakin dekat hubungan kekerabatan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain,

1

maka semakin kuat pula pengaruh pandangan manusia lainnya pada diri individu manusia tersebut. Hubungan saling melengkapi antara pribadi/individu manusia itu dengan manusia lainnya dalam lingkup kecil dapat dilihat dalam kehidupan keluarga. Di mana sosok keluarga dalam diri individu manusia berpengaruh besar terhadap putusan yang akan diambil dalam menentukan suatu pilihan hidupnya. Sejalan dengan hal tersebut, di dalam dunia kesehatan, keluarga memiliki peran yang cukup besar dalam menentukan putusan serta tindakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien. Dalam melakukan tindakan medis, seorang dokter memerlukan adanya Persetujuan Tindakan Kedokteran terlebih dahulu kepada pasien. Pasien yang berhak memberikan Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah pasien dewasa dalam keadaan sadar dan sehat mental (21 tahun atau sudah menikah). Sedangkan pasien yang berada di bawah pengampuan memerlukan peretujuan tindakan dari pengampu dan pasien yang berada dibawah 21 tahun memerlukan persetujuan dari orang tua/ wali/ keluarga terdekat/ induk semang. Walaupun Persetujuan Tindakan Kedokteran yang memerlukan adanya persetujuan dari pihak keluarga hanya terhadap pasien yang berada di bawah pengampuan dan pasien yang berada di bawah 21 tahun, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pendapat dan putusan keluarga bepengaruh terhadap pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mental (21 tahun dan sudah melangsungkan perkawinan) yang berhak memberikan persetujuan tindakan kedokteran secara mandiri dan memiliki hak untuk menentukan diri sendiri.

2

Namun bagaimana halnya dengan pasien dewasa yang berada dalam keadaan vegetatif yang memerlukan bantuan alat bantu hidup (respirator dan ventilator) untuk menunjang kehidupannya. Walaupun pada dasarnya setiap pasien memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri akan tetapi dalam hal ini keluarga kembali memiliki andil dalam menentukan penghentian ataupun penundaan kehidupan pasien Untuk mendapatkan gambaran tentang adanya hak keluarga dalam situasi khusus, maka akan diuraikan di dalam bab ini. Bab ini berisi 4 Subbab, yaitu Subbab A yang berisi Pengantar, Subbab B yang akan menguraikan tentang Aspek Hukum Tentang Pasien, kemudian dilanjutkan dengan Subbab C yang akan menjelaskan mengenai Hak Keluarga Dalam Situasi Khusus, lalu kemudian diakhiri dengan subbab D adalah Subbab Penutup yang berisi rangkuman dari seluruh Bab II ini.

B. PELAYANAN KESEHATAN

1.

Pengertian Pelayanan Kesehatan Salah satu tujuan hukum kesehatan adalah melindungi kepentingan-

kepentingan pasien, di samping tujuan-tujuan lain seperti mengembangkan kualitas profesi tenaga kesehatan.1 Namun, bukan berarti kepentingan pasien saja yang harus selalu diutamakan melainkan keserasian antara kepentingan pasien dan tenaga kesehatan yang harusnya diprioritaskan, dijaga dan dipelihara.

1

Kutip, Soerjono Soekanto, Segi-Segi Hukum Hak Dan Kewajiban Hukum, Penerbit CV. Mandar Maju, Jakarta, 1990, hlm 1.

3

Berdasarkan terminology atau asal katanya asas hukum pelayanan kesehatan dapat dibedakan menjadi pelayanan dan kesehatan. Pelayanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki pengertian yaitu: 1. Perihal atau cara melayani; 2. Usaha melayani kebutuhan orang lain dengan imbalan (uang), jasa; 3. Kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa.2

Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesehatan memiliki pengertian sebagai berikut: 1. Keadaan (hal) sehat;2. Kebaikan keadaan badan.3

Hal yang sama tentang pengertian kesehatan juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diatur sebagai berikut: (1) Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secra sosial dan ekonomis.

Sebagaimana pengertian yang menjelaskan terminology pelayanan dan kesehatan, pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan tentang melayani seseorang (pasien) yang mengalami kondisi badan yang kurang baik secara

2

Kutip, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta , hlm 499.3

Ibid, hlm 1011.

4

fisik, mental, spiritual maupun sosial yang tidak memungkinkan seseorang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut pendapat beberapa penulis yang dalam berbagai literatur kesehatan, di antaranya yakni Benjamin Lumenta, menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah suatu kegiatan makro sosial yang berlaku antara pranata atau lembaga dengan suatu populasi tertentu, masyarakat atau komunitas yang mempunyai tujuan, yakni memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat untuk mengatasi, menetralisasi atau menormalisasi semua masalah atau semua penyimpangan terhadap keadaan kesehatan atau semua masalah, semua penyimpangan terhadap keadaan medis yang normatif.4 Sedangkan Soerjono Soekanto dalam literatur yang ditulisnya menjelaskan bahwa hak atas pelayanan kesehatan yaitu perawatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan atas dasar kemampuan dan kecakapannya menerapkan ilmu dan teknologi kesehatan.5 Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan kesehatan adalah suatu upaya kesehatan berupa upaya pencegahan, penyembuhan, peningkatan dan upaya perbaikan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atas dasar kemampuan dan kecakapannya menenerapkan ilmu dan teknologi kesehatan untuk tercapainya kesehatan dan melindungi kepentingan-kepentingan pasien. Oleh karenanya pelayanan kesehatan yang merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan system kesehatan, haruslah menciptakan keserasian4

Lihat, Bunyamin Lumenta, Pelayanan Medis Citra: Konflik dan Harapan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1989, hlm 15.5

Lihat, Soerjono Soekanto, Segi-Segi Hukum Hak Dan Kewajiban Pasien, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm 1.

5

antara kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga kesehatan sehingga dapat tercapai peningkatan kualitas hidup untuk pasien pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Sebagai salah satu penunjang keberhasilan pembangunan system kesehatan, pelayanan kesehatan sebagaimana diatur menurut Pasal 1 ayat (12), Pasal 1 ayat (13), Pasal 1 ayat (14), Pasal 1 ayat (15), Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menentukan sebagai berikut:

(12) Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

(13) Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

(14) Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

(15) Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk irinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

Kemudian lebih lanjut, menurut Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menentukan sebagai berikut:6

(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:

a. Pelayanan kesehatan perseorangan; dan b. Pelayanan kesehatan masyarakat.

(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Mengenai tujuan pelayanan kesehatan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) menentukan sebagai berikut: (1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.

(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.

(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang dimaksud dengan: (4) Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

7

Oleh karena itu, maka hak atas pelayanan kesehatan dalam hukum kesehatan dapat dikatakan sebagai salah satu hak asasi individual (pribadi) atau hak untuk menentukan nasib sendiri.6 Hak atas pelayanan kesehatan ini meliputi pelayanan kesehatan kuratif, promotif, preventif dan rehabilitatif yang dimana dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatannya, terdapat hubungan antara tenaga kesehatan dan sarana kesehatan dengan diri pasien. Sehingga menimbulkan hubungan hukum antara diri pasien dengan tenaga kesehatan dan sarana kesehatan. Hubungan hukum yang timbul tersebut menyebabkan terciptanya hubungan hukum perikatan (verbintenis). Berdasarkan hal tersebut, maka tenaga kesehatan dan sarana kesehatan wajib menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya berdasarkan peraturan-peraturan serta etika yang berlaku dalam bidang kesehatan dan kedokteran. Pelayanan kesehatan merupakan suatu profesi yang didasarkan atas kerahasiaan dan kepercayaan seperti halnya profesi pengacara. Menurut Van der Mijn ciri-ciri pokok dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:1) Setiap orang yang memintakan pertolongan professional, pada

umumnya berada pada posisi ketergantungan, artinya bahwa ia harus meminta semacam pertolongan tertentu dengan maksud mencapai suatu tujuan khusus; umpamanya untuk meningkatkan kesehatannya, melakukan suatu tuntutan hukum atau menyatakan kehendaknya (membuat wasiat) 2) Setiap orang yang meminta pertolongan dari orang yang mempunyai profesi yang bersifat rahasia, tidak dapat menilai keahlian professional itu; sekali lagi ini secara umum. 3) Hubungan antara orang yang meminta pertolongan dan orang yang member pertolongan bersifat rahasia dalam arti bahwa pihak yang pertama bersedia member keterangan-keterangan yang tidak akan ia ungkapkan kepada orang lain.

6

Ibid., hlm 9.

8

4) Setiap orang yang menjalankan suatu profesi yang bersifat rahasia

hamper selalu memegang posisi yang tdak bergantung (bebas), juga apabila ia tidak berpraktek swasta. Bahkan dalam kasus demikian terdapat otonomi profesi dan hanya beberapa kemungkinan saja bagi pihak majikan untuk melakukan tindakan-tindakan korektif.5) Sifat pekerjaan ini membawa konsekuensi pula bahwa hasilnya tidak

selalu dapat dijamin, melainkan hanya ada kewajiban untuk melakukan yang terbaik dan kewajiban itu tidak mudah untuk diuji. 7

Dari ciri-ciri pokok pelayanan kesehatan itu dapat disimpulkan bahwa syarat utama memperoleh hasil yang baik dalam merawat pasien adalah kepercayaan pasien kepada dokternya dan hal tersebut merupakan konsekunsi dari sifat pelayanan kesehatan yang timbul dari adanya hubungan antara pasien dengan dokter sebagai tenaga kesehatan. 2. Hak Pasien Hak adalah peranan yang fakultatif, oleh karena sifatnya boleh tidak dilaksanakan (atau dilaksanakan). Sedangkan pasien sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (10) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran menentukan sebagai berikut: (10) pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

Pengertian pasien juga diatur dalam pasal 1 ayat (4) UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menentukan sebagai berikut:

7

Kutip, Veronica Komalawati, Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm. 15.

9

(4) Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit.

Oleh karena itu apabila kita berbicara tentang Hak Pasien yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu,yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.8 Sebagaimana pembahasan di atas, hak pasien yang diatur pasal 56 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menentukan sebagai berikut:

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

Kemudian Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menentukan sebagai berikut:(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang

telah dikemukakan kepada penyelenggara kesehatan.

Selanjutnya Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menetukan sebagai berikut:8

Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm12.

10

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Begitu halnya dengan hak pasien sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menentukan sebagai berikut: Setiap pasien mempunyai hak: (a) Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit; (b) Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; (c) Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi; (d) Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; (e) Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; (f) Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; (g) Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di rumah sakit; (h) Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalm maupun di luar rumah sakit; (i) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;(j) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk

data-data medisnya;mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternative tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;11

(k) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; (l) Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; (m)Menjalankan ibadah sesuai agama tau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak menganggu pasien lainnya; (n) Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; (o) Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; (p) Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; (q) Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan (r) Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuaidengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana halnya yang telah dibahas tentang hak pasien, pada dasarnya hak pasien yang berkaitan dengan hak asasi pasien, beberapa Hak Pasien yang penting akan diuraikan di bawah ini. a) Hak Atas Informasi Bahwa inti dari hak atas informasi ini adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya, dalam hal terjadi hubungan dokter pasien. Hak ini kemudian digabungkan dengan hak untuk menentukan atas diri sendiri, dilembagakan menjadi lembaga yang dikenal dengan

12

nama informed consent (persetujuan atas dasar informasi).9 Dimana menurut Leenen, idealnya isi minimal informasi yang harus disampaikan dokter adalah: 1. diagnose;2. resiko dari tindakan medik; 3. alternative terapi; termasuk keuntungan dan kerugian dari setiap

alternative terapi;4. prognose.10

Apabila ingin diperluas isi informasi yang harus ditambahkan: 1. cara kerja dokter dalam proses tindakan medic; 2. keuntungan dan kerugian tiap alternative terapi secara luas; 3. semua resiko yang mungkin terjadi:4. kemungkinan rasa sakit setelah tindakan medik11

Bandingkan dengan hak pasien atas informasi dalam Pasal 7 ayat (3) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang menyatakan sebagai berikut:(3) penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup: a. Diagnosis dan tata cara kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain, dan resikonya; d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan;9

Ibid, hlm 16.

10

Kutip, F. Ameln, Kapita Selekta Hukum Kesehatan, Penerbit Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991, hlm 45.11

Ibid, hlm 45.

13

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;f. Perkiraan pembiayaan.

Hak pasien atas informasi dalam Pasal 7 ayat (3) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran telah memenuhi suatu syarat idealnya isi minimal informasi yang harus disampaikan dokter kepada pasiennya sebagaimana idealnya isi minimal informasi yang disampaikan dokter kepada pasien menurut Leenen. Namun dalam Pasal 7 ayat (3) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, pasien berhak atas informasi mengenai perkiraan pembiayaan atas pelayanan kesehatan dan tindakan kedokteran yang dilakukannya, dimana sebelum berlakunya Permenkes ini, idealnya isi minimal informasi yang diperoleh oleh pasien tidak mengatur mengenai perkiraan pembiayaan. Oleh karena itu, dengan berlakunya Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran ini, maka pasien memiliki hak atas informasi yang lebih luas termasuk adanya hak atas informasi untuk mengetahui perkiraan pembiayaan, sehingga pasien dapat memperkirakan berapa besar biaya yang dibutuhkan atau yang dikeluarkan apabila hendak melakukan pelayanan kesehatan dan atau tindakan kedokteran. b) Hak Atas Persetujuan Hak persetujuan atas dasar informasi (informed consent), adalah hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan medic yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi. Bentuk persetujuan ini bisa tertulis maupun lisan. Persetujuan tertulis diperlukan untuk setiap tindakan medic yang mengandung14

resiko tinggi, ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Apabila pasien dibawah umur (belum dewasa)/ tidak sadar/tidak cakap melaksanakan perbuatan hukum, maka persetujuan diberikan oleh wali. Namun, dalam hal pasien tidak sadar/pingsan, tidak didampingi keluarga terdekat, secara medik berada dalam keadaan gawat dan darurat yang segera memerlukan tindakan medic, maka tidak diperlukan persetujuan siapapun.12 c) Hak Atas Rahasia Kedokteran Bahwa pemikiran tentang rahasia kedokteran, timbul pertama-tama dari kewajiban professional untuk merahasiakan keterangan yang diperoleh dalam melaksanakan profesi yang dikenal dengan nama rahasia jabatan. Atas dasar tersebut dokter berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang pasien, penyakit pasien. Kewajiban dokter ini menjadi hak pasien. Hak atas rahasia kedokteran ini merupakan hak individu dari pasien. Hak individu ini akan dikesampingkan dalam hal hak masyarakat menuntut, misalnya penyakit pasien yang membahayakan masyarakat (penyakit menular).13d) Hak Atas Pendapat Kedua (Second Opinion)

Yang dimaksud pendapat kedua adalah adanya kerjasama antara dokter pertama dengan dokter kedua. Dimana dalam hal ini, dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama tetapi atas inisiataif pasien. Dalam hak atas pendapat kedua, dokter kedua akan mempelajari hasil kerja dokter pertama dan bila terjadi perbedaan pendapat, maka ia akan menghubungi dokter pertama dan12

Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju,Bandung, 2001, hlm 18. Lihat Ibid, hlm 19.

13

15

membicarakan tentang perbedaan diagnose yang dibuat keduanya. Keuntungan yang diperoleh pasien yakni pertama, pasien tidak perlu tidak perlu mengulangi pemeriksaan rutin lagi. Kedua, dokter pertama dapat berkomunikasi dengan dokter kedua, sehingga dengan keterbukaan dari para pakar yang setingkat kemampuannya menghasilkan pendapat yang lebih baik.14e) Hak Untuk Melihat Rekam Medis

Tenaga kesehatan yang seringkali membuat catatan tentang pasien dikenal dalam istilah kedokteran: status pasien, kini telah menjadi kewajiban dari setiap tenaga kesehatan yang bekerja dalam sarana kesehatan, untuk membuatnya yang kini dikenal dengan nama rekam medis (medical record).15 Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang pasien. Rekam medis biasanya berisi mengenai identitas, pemeriksaan

pengobatan,tindakan medis lain dan sarana pelayanan kesehatan. Dalam pemilikan dan pemanfaatannya, berkas rekam medis milik sarana kesehatan sedangkan isi rekam medis milik pasien dan atas berkas serta isi rekam medis tersebut wajib dijaga kerahasiaannya. Serta pemamparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari pasien.

3. Hak untuk Menentukan Diri Sendiri

14

Lihat Ibid., hlm. 21. Lihat Ibid., hlm. 22.

15

16

Dalam hukum kedokteran terdapat 2 (dua) hak dasar yang berkaitan dengan hak pasien yakni hak dasar sosial dan hak dasar individu.16 Hak dasar individual diarahkan pada suasana kebebasan individu terhadap desakan dan ancaman penguasa dan masyarakat, sedangkan hak dasar sosial bermaksud memberikan ruang dan peluang kepada anggota masyarakat untuk mengembangkan dirinya.17 Hak dasar individu yang sangat menonjol adalah hak untuk menentukan diri sendiri yang meliputi aspek rohani dan jasmani individu sebagai suatu kesatuan. Dalam pelayanan kesehatan, hak menentukan diri sendiri memegang peranan penting, sebab hak ini merupakan hak alas (basis recht) hak-hak lain dalam pelayanan kesehatan.18 Hak untuk menentukan diri, adalah hak yang melekat dalam diri manusia, dalam arti seseorang berhak menentukan apa yang akan/ perlu/ harus dilakukan atas dirinya (tubuhnya). Hak untuk menentukan diri sendiri ini terdapat dalam segala bidang dan salah satunya dalam bidang kesehatan.19 Pada awalnya pengakuan terhadap hak untuk menentukan diri sendiri diakui secara internasional dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menentukan sebagai berikut: setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang.

16

Lihat Freddy Tengker, Hak Pasien, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 34. Ibid., hlm. 34. Ibid., hlm. 54.

17

18

19

Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju,Bandung, 2001, hlm. 104.

17

Kemudian terdapat juga dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menentukan sebagai berikut: tidak seorang pun dapat diganggu gugat dengan sewenang-wenang dalam urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, juga tidak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya.

Begitu pun dalam Pasal 1 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik (International Convenant On Civil and Political Rights) yang menyatakan:

setiap manusia mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Seperti halnya pengaturan internasional mengenai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, pengaturan yang serupa mengenai hak untuk menentukan nasibn sendiri terdapat juga di Indonesia yang diatur dalam pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Selain itu pula hak untuk menentukan diri sendiri ini pun termuat dalam konstitusi, pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan: setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pembangunan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

18

Atas dasar peraturan-peraturan yang berlaku tersebut, hak untuk menentukan diri sendiri dapat mencakup dalam berbagai bidang. Serta apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia dan pengamalan UUD 1945, maka hak untuk menentukan diri sendiri ini merupakan salah satu hak dasar individual yang paling fundamental. Hak untuk menentukan diri sendiri yang terdapat dalam berbagai bidang, mencakup juga bidang kesehatan. Dalam bidang kesehatan, hak untuk menentukan diri sendiri mencakup antara lain: hak untuk menetukan mendapatkan/menolak pertolongan di bidang pelayanan kesehatan, hak untuk memilih sarana

kesehatan/dokter, hak untuk mendapatkan second opinion (pendapat kedua), hak untuk dirahasiakan penyakitnya, serta hak untuk melihat rekam medis.204. Pelayanan Kesehatan Dikaitkan Dengan Hak Untuk Menentukan Diri

Sendiri Dalam hukum kesehatan dikenal adanya upaya kesehatan dan sumber daya kesehatan. Kemudian di dalam sumber daya kesehatan terbagi lagi dalam 2 hal, yakni tenaga kesehatan dan sarana kesehatan. Sumber daya kesehatan memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan pasien disamping tujuan lainnya seperti mengembangkan kualitas profesi tenaga kesehatan. Atas dasar tujuan inilah baik tenaga kesehatan dan sarana kesehatan menyelenggarakan suatu kegiatan untuk dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya, yang biasa dikenal dengan istilah pelayanan kesehatan (Yankes).

20

Lihat Ibid., hlm 104.

19

Di Indonesia dewasa ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang semula di titik beratkan pada upaya penyembuhan penderita (kuratif) secara berangsur-angsur berkembang kea rah keterpauduan upaya kesehatan yang menyeluruh, yang menyangkut upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratfi), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Hal ini menunjukan bahwa pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental, maupun sosial ekonomi.21 Namun hal ini tampaknya menjadi kendala bagi pasien yang mengalami kehidupan vegetative dimana batang otaknya masih hidup namun seluruh tubuhnya bagian dalam maupun luarnya tidak dapat bergerak dan berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga harus dipasangkan padanya alat bantu hidup yakni respirator dan ventilator. Sebagaimana kasus yang terjadi di Rhode Island yakni terdapat pasien yang bernama Marcia Gray dimana akibat penyakit yang dideritanya, ia mengalami hidup vegetative dalam jangka waktu yang lama. Suami Marcia gray yang tidak tahan melihat penderitaan istrinya tersebut memutuskan untuk meminta dokter yang merawat menghentikan/mencabut segala bantuan hidup yang diterima oleh istrinya namun dokter tersebut menolaknya, sehingga akhirnya suami Marcia gray memutuskan untuk meminta kepada pengadilan untuk mengabulkan permintaannya menghentikan alat bantu hidup yang diterima isterinya. Akhirnya pengadilan pun mengabulkan permintaan tersebut dengan alasan bahwa walaupun Marcia gray dalam

21

Lihat, Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 5.

20

keadaan tidak sadar, namun ia mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri dimana apabila ia berada dalam keadaan sadar, maka ia akan memilih untuk mati.22 Walaupun kasus tersebut telah menjadi suatu putusan yang preseden di rhode island, namun tetap saja hal tersebut belum memecahkan persoalan dari berbagai situasi dilematis yang dihadapi para dokter dalam memutuskan akankah tidak

memulai atau lebih baik menghentikan pemberian bantuan kehidupan kepada pasien yang berada dalam keadaan vegetative atau kondisi situasi khusus. 23 Oleh karenanya, dalam hal ini pelayanan kesehatan memiliki keterkaitan erat dengan hak untuk menetukan diri sendiri (TROS) yang merupakan salah satu hak individual yang fundamental bagi setiap diri pasien, sebab dalam hak menentukan diri sendiri ini pasien berhak untuk tidak melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara utuh, seperi misalnya hak pasien untuk menolak atau menghentikan perawatan atau pengobatan dalam kaitannya dengan hak untuk menentukan diri sendiri. Hal ini merupakan salah satu privacy atau hak individual yang oleh tenaga kesehatan dan sarana kesehatan wajib dihargai. Dalam kaitannya dengan hak untuk menentukan diri sendiri (TROS), pasien yang berada dalam kehidupan vegetative pada dasarnya tidak dapat dikesampingkan hak-hak dasar/individualnya. Walaupun ia berada dalam keadaan tidak sadar, ia tetap manusia yang memiliki harkat dan martabat yang harus disamakan dengan manusia lainnya yang berada dalam keadaan sehat dan sadar.

22

Lihat J.Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hlm 5.23

Lihat Ibid., hlm 5.

21

C. HAK KELUARGA DALAM SITUASI KHUSUS 1.

Pengertian Hak Keluarga

Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang hak keluarga perlu dijabarkan pengertian hak dan keluarga terlebih dulu. Secara gramatikal, hak keluarga dapat dipisahkan dalam dua kata yakni, hak dan keluarga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian sebagai berikut:1) benar;

2) milik; kepunyaan; 3) kewenangan; 4) kekuasaan berbuat sesuatu; 5) kekuasaan yang besar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu;6) derajat atau martabat. 24

Sedangkan menurut kamus hukum, hak dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah rights, yang dapat diartikan sebagai berikut:

Kebebasan untuk berbuat sesuatu berdasarkan hukum, hak perdata untuk berbuat sesuatu yang didalamnya selalu mengandung suatu hak untuk tidak melakukan perbuatan itu; jika tidak demikian halnya, hak itu ingkar akan

24

Kutip, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hlm 381.

22

dirinya. Dalam pada itu, hak public untuk melakukan tindakan sesuatu berartilah kewajiban untuk melakukan tindakan itu. 25

Berdasarkan definisi tersebut terdapat 2 hak, yakni hak perdata dan hak publik. Black Law Dictionary mengartikan right sebagai berikut:

1) That which is proper under the law, morality or ethics (know right

from wrong);2) Something that is due to a person by just claim, legal guarantee, or

moral principle (the right of liberty);3) A power, priviledge, or immunity secureil to a person by a law (the

right to dispose of ones state); 4) A legally enforceable claim that another will do or not do a given act; a recognized and protected interest the violation that which is a wrong (a branch of duty that infringes ones right); 5) (often pl,) the interest, claim or ownership that one has in tangiable or intangiable property (a debitor right in collateral) (publishing right); 6) The priviledge of corporate share holders to purchase newly issued securities in amount proportionate to their holdings;7) The negotiable certificate granting such a priviledge to a corporate

shareholders.26

Berdasarkan pengertian di atas, maka hak dapat secara bebas diterjemahkan sebagai berikut:25

Kutip, Subekti, Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1976, hlm 64.

26

Kutip, Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Thomson West Group, United State of America, 1999, hlm. 1347.

23

1) apa yang pantas menurut hukum, moral atau etik (mengetahui yang benar dan

yang salah); 2) sesuatu yang dimiliki seseorang melalui gugatan, jaminan hukum atau prinsip moral (hak atas kebebasan); 3) kekuatan, hak istimewa atau kekebalan seseorang yang diatur oleh hukum (hak yang diberikan oleh Negara);4) gugatan hukum yang dapat dipaksakan, yang mana pihak lain akan melakukan

atau tidak melakukan suatu tindakan; 5) kepentingan, klaim kepemilikan yang nyata atau yang tidak nyata (hak-hak debitor yang sejajar) (hak-hak penerbitan) 6) hak istimewa dari para pemegang saham untuk memperoleh hasil dari suratsurat berharga dalam jumlah yang proporsional dengan saham mereka.7) Pemberian surat yang dapat dinegosiasikan seperti hak istimewa untuk

pemegang saham. Sedangkan pengertian keluarga menurut kamus besar bahasa indonesia sebagai berikut: 1) Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah; 2) Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih; 3) Sanak saudara; kaum kerabat;4) Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.27

27

Kutip, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hlm 536.

24

Pengertian keluarga tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan individu, baik karena hubungan darah maupun karena hubungan perkawinan. Hubungan kekerabatan yang terjalin karena hubungan darah dengan pasien yakni anak, ibu, bapak, dan saudara kandung. Sedangkan hubungan kekerabatan yang terjalin karena hubungan perkawinan yakni istri. Hal ini juga diatur dalam pasal 832 (1) KUHPdt tentang golongan ahli waris secara ab intestato yakni: Golongan I: anak sah, suami/istri yang hidup paling lama termasuk istri kedua atau suami kedua dan seterusnya (pasal 852 jo pasal 852a KUHPdt). Golongan II: orang tua dan sudara-saudara sekandung, seayah atau seibu (pasal 854 jo pasal 857 KUHPdt).28

Kemudian pengertian keluarga ditegaskan juga menurut pasal 1ayat (2) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008, diatur sebagai berikut: (2) Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya. Bahwa hak keluarga terdiri atas kata hak dan keluarga. Hak merupakan suatu kekuasaan atau kewenangan atau kebebasan untuk menuntut sesuatu hal. Sedangkan keluarga sebagaimana yang dijelaskan dalam kamus besar bahasa indonesia yakni Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah; Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih; Sanak saudara; kaum kerabat; Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Hak keluarga tidak bisa kita lepaskan dalam pergaulan hidup sehari-hari terutama yang berasal dari dalam lingkungan28

Kutip, Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm 123.

25

keluarga. Untuk lebih memahami mengenai hak keluarga, dapat kita mengambil contoh pemahaman dari berbagai sumber hukum, beberapa diantaranya yaitu: 1. Hak keluarga dalam deklarasi hak asasi manusia Dalam deklarasi hak asasi manusia yang diterima dan diumumkan oleh majelis umum PBB pada tanggal 10 desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) dalam mukadimah yang menyatakan bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Oleh karenanya dalam hak keluarga diakui adanya hak dari setiap anggota keluarga bahwa mereka berhak atas semua hak dan kebebasan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun. Beberapa hak keluarga tersebut antara lain adanya hak keluarga atas hak kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu; adanya hak keluarga untuk tidak boleh disiksa dan diperlakukan dengan kejam serta diperlakukan dengan tidak manusiawi. 2. Hak keluarga dalam hukum islam Dalam Surah An-Nisa (4:34) menyatakan bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Alla telah melebihkan sebagian kepada mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.... Berdasarkan hal itu, terdapat pengertian bahwa adanya kewajiban bagi suami untuk menafkahi istrinya sesuai dengan kekuatan hasil usahanya. Ini merupakan wujud dari tanggung jawab suami terhadap istri dan keluarganya. Namun dibalik dibalik adanya kewajiban yang tersirat dalam Surah tersebut, terkandung pula adanya hak yang diperoleh suami terhadap istri dan anaknya, yakni bahwa suami

26

berhak dihargai dan dihormati oleh isterinya, berhak dilayani lahir batin oleh isterinya dan memiliki hak untuk menjadi kepala rumah tangga. Sedangkan terhadap anaknya, ia berhak dihargai dan dihormati oleh anaknya, memiliki hak untuk dijaga dan dirawat oleh anaknya, dan memiliki hak untuk didengarkan dan dipatuhi perintahnya oleh anaknya. Inilah yang merupakan hak keluarga dari seorang suami atau ayah dalam suatu keluarga dalam hukum Islam.3.

Hak keluarga dalam Burgerlijke Wetboek Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, terdapat adanya

kewajiban keluarga yang diatur dalam pasal 105 KUHPdt mengenai hubungan suami istri yaitu bahwa harus memberi bantuan kepada isterinya, suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga yang baik, suami tidak diperkenankan memindah tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan isterinya, dan suami adalah kepala dari persatuan suami-istri. Dari berbagai macam kewajiban yang timbul dalam pasal 105 KUHPdt tersebut maka hal tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari adanya hak, terutama dalam hal ini hak keluarga yakni bahwa seorang suami berhak dihargai dan dihormati oleh istrinya, seorang suami berhak mendapatkan pelayanan lahir batin dari istrinya, kemudian hak suami lainnya yakni istri berkewajiban melaksanakan tugasnya dengan baik yakni berupa tugas mengurus urusan rumah tangga, mendidik anak. 4. Hak Keluarga dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dalam pasal 33 UU Nomor 1 Tahun1974 diatur mengenai hak keluarga (hak suami dan istri) yakni bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup27

bersama dalam masyarakat, terdapat juga hak dari masing-masing pihak untuk melakukan perbuatan hukum, adanya hak bagi suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian yang dimaksud hak keluarga ialah kewenangan ataupun kebebasan untuk berbuat atau menuntut sesuatu yang dilakukan oleh anak kandung, suami/istri, ayah atau ibu kandung maupun saudara kandung serta pengampunya untuk berbuat sesuatu terhadap hal yang menyangkut kepentingan diri individu tersebut. Dalam hal ini keluarga memainkan pengaruh yang besar terhadap keputusan yang akan dibuat oleh diri individu tersebut. Seperti halnya yang biasa dialami dalam kehidupan sehari-hari di mana keluarga merupakan tempat awal bersosialisasi dan berinteraksi sebelum seorang manusia/individu berhadapan langsung dengan komunitas masyarakat yang luas. Maka dari itu keluarga dalam hak keluarga memiliki peranan penting dalam pembuatan suatu keputusan yang akan diambil oleh individu tersebut. Semakin dekat hubungan kekerabatan yang terjalin dengan suatu individu dalam keluarga, maka semakin besar pula pengaruh yang akan ditimbulkannya terhadap diri individu tersebut sehingga terhadapnya muncul yangdinamakan hak keluarga.

2. Pengertian Situasi Khusus a. Dalam Bidang Medis Bahwa situasi khusus memiliki pengertian yakni pasien yang berada dalam keadaan koma (tidak sadar) secara berkepanjangan, tetapi belum juga dapat

28

dikategorikan sebagai telah mati karena aktivitas elektrik di otaknya masih ada meskipun minimal.29 Dalam literatur yang ditulisnya Kartono Mohamad, menyatakan bahwa seorang pasien belum dapat dinyatakan telah mati (mati batang otak) karena tubuhnya adakalanya masih menunjukan reaksi terhadap beberapa rangsangan tertentu. Tetapi, kemampuan kognitifnya sudah tidak ada lagi (awake but unaware). Jika hal ini berlangsung selama lebih dari sebulan, maka bolehlah pasien tersebut dikatakan memasuki tahap persistent vegetative state, atau keadaan vegetative yang persisten (KVP), karena tubuh penderita masih menjalankan fungsinya sekedar untuk mempertahankan kehidupan vegetatifnya (kehidupan tanpa kemampuan kognitif dan afektif, apalagi motorik).30 Persatuan dokter sedunia (world medical association) menyatakan bahwa ketidaksadaran yang mencapai lebih dari 6 (enam) bulan akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah di otak penderita. Tetapi WMA sendiri menganjurkan untuk mengambil batas 12 bulan perawatan sebelum pasien dinyatakan sebagai mengalami KVP yang tidak dapat dipulihkan kembali.31 Berbeda dengan mereka yang sudah dinyatakan mati batang otak yang secara resmi dianggap mati, sehingga penghentian alat bantu kehidupan tidak dapat

29

Lihat Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran Dan Tantangannya Terhadap Bioetika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 27.30

Ibid, hlm. 28.

31

Lihat, World Medical Association Statement On Persistent Vegetative State, Adopted By The 41st World Medical Assembly, Hongkong, September 1989.

29

disebut sebagai membunuh atau melakukan euthanasia, dalam KVP ini penghentian dilakukan sebelum pasien dinyatakan mati.32 Atas dasar tersebut dapat diuraikan bahwa dalam hal situasi khusus ini, J. Guwandi membedakan pasien atas 3 (dua) kategori, yakni pasien yang kompeten untuk menyatakan apa yang dikehendaki, pasisen yang tidak kompeten, namun yang sudah menyatakan kehendaknya secara tertulis (living will, advanced medical directive), dan pasien yang tidak kompeten yang tidak pernah menyatakan kehendaknya secara tertulis. Pasien yang kompeten berdasarkan Rhode Island Health Care Power Of Attorney Act Dan Right Of The Terminally Ill Act menyatakan bahwa, orang dewasa mempunyai hak fundamental untuk mengontrol keputusan yang menyangkut pemberian pengobatan terhadap dirinya, termasuk keputusan terhadap prosedur pemberian bantuan kehidupan untuk tidak memulai diberikan atau sudah diberikan dihentikan dalam keadaan suatu kondisi yang terminal. Hak fundamental pasien untuk menolak pemberian bantuan pengobatan didasarkan atas suatu konsep fundamental bahwa setiap orang dewasa yang berpikiran sehat, berhak untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri.33 Sedangkan pasien yang tidak kompeten namun yang sudah menyatakan kehendaknya secara tertulis (living will, advanced medical directive), dalam mengambil keputusan menurut The Health Care Power of Attorney Act, haruslah membuat suatu surat kuasa yang member suatu wewenang kepada seorang lain untuk membuat keputusan yang menyangkut bidang kesehatannya. Dengan surat kuasa

32

Lihat Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran Dan Tantangannya Terhadap Bioetika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 27, hlm. 29.33

Lihat, J.Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hlm 6.

30

tersebut, maka ia boleh menolak atau minta diakhiri setiap pemberian pengobatan, termasuk bantuan pemberian kehidupan.34 Kemudian pasien yang tidak kompeten yang tidak pernah menyatakan kehendaknya secara tertulis, tidak kehilangan haknya yang melekat untuk menolak pemberian bantuan kehidupan, namun pengadilan menciptakan lembaga penilaian pengganti (substituted judgement) dimana anggota keluarga pasien,wali yang diangkat oleh pengadilan ataupun dokternya harus mencari tahu apa yang akan dipilih pasien yang sekarang dalam keadaan tidak kompeten ini. Berdasarkan hal tersebut terdapat 5 (lima) factor yang menjadi pertimbangan, yakni: 1. Pernyataan dari pasien yang pernah diucapkan kepada angota keluarga, teman-teman atau petugas kesehatan. 2. Agama dan kepercayaan pasien yang dianutnya. 3. Pengaruh terhadap anggota keluarga pasien. 4. Kemungkinan akibat-akibat sampingan yang tidak dikehendaki. 5. Prognosis dengan atau tanpa pengobatan.

Apabila seorang pasien yang tidak kompeten yang tidak pernah menyatakan kehendaknya secara tertulis tidak pernah menyatakan hal ini, maka pandangan dari orang tua pasien mungkin member cerminan kehendak pasien yang terbaik.35 b. Dalam Bidang Hukum Bahwa pengertian situasi khusus dapat dalam bidang hukum meliputi 2 (dua) hal, yakni kecakapan berhak ( Rechtsbevoegd) dan kecakapan bertindak

34

Ibid., hlm. 9. Ibid, hlm 10.

35

31

(handelingsbekwaam). Kemudian akan dijelaskan mengenai pengertian 2 (dua) hal tersebut.1) Kecakapan Berhak (Rechtsbevoegd)

Bahwa manusia sebagai pembawa hak, memulainya sejak saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Menurut hukum setiap manusia adalah pembawa hak tanpa terkecuali, namun ada pembatasan-pembatasan,yakni: a) Kewarganegaraan Bahwa hanya warga negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik (pasal 21 (1) UUPA). b) Tempat tinggal Hanya orang yang bertempat tinggal di kecamatan yang sama dengan letak tanah pertanian itulah yang menjadi pemiliknya (pasal 10 (2) UUPA). c) Kedudukan atau jabatan Bagi seorang hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara. d) Tingkah laku dan perbuatan Sebagaimana diatur dalam pasal 49 dan 53 UU Nomor 1/1974, yang berisi kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/wali atau berkelakuan buruk sekali. e) Jenis kelamin Misalnya pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Batas Usia Kawin dan pasal 11 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang waktu tungguf) Keadaan tidak hadir (pasal 463 KUHPdt). 36

2) Kecakapan Bertindak (Handelingsbekwaam)

36

Kutip, Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, 2006, hlm 39.

32

Orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, adalah sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1330 KUHPdt yakni:a) Orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 21

tahun dan belum pernah kawin (pasal 330 KUHPdt). Sekarang usia dewasa ini ditentukan 18 tahun (pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.b) Orang yang berada di bawah pengampuan (pasal 433 KUHPdt)

c) Perempuan bersuami Sekarang ini perempuan bersuamitidak termasuk lagi, maksudnya seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan sudah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri (SEMA Nomor 3 Tahun 1963 jo pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.37

c. Hak Keluarga Dalam situasi Khusus

Menurut C.T. Kansil, hak keluarga terdapat di dalam hak mutlak yakni hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan sebaliknya setiap orang haruslah menghormati hak tersebut. Hak keluarga ini terdapat dalam hak keperdataan yang mengatur mengenai hak marital, yakni hak seorang suami untuk menguasai istrinya dan harta benda istrinya, kemudian hak atau kekuasaan orang tua, hak perwalian, dan hak pengampuan.38 Hak keluarga untuk menentukan penghentian atau penundaan kehidupan pasien, merupakan suatu kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga37

Ibid, hlm 40.

38

Lihat, C.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Cetakan Kedua Belas, hlm 120-121.

33

terdekat yakni suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudarasaudara kandung atau pengampunya untuk membuat suatu keputusan atas tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien yang mengalami hidup vegetatif. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 14 ayat (1) Permenkes 290 Tahun 2008 tentang tindakan persetujuan medik yakni:(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding

life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien. Dari rumusan pasal tersebut, secara tersirat mengandung makna bahwa keluarga memliki hak keluarga terhadap pasien yang berada dalam keadaan vegetatif/tidak sadar dan menggunakan alat bantu hidup. Kemudian dari rumusan pasal tersebut juga mengandung adanya hak keluarga untuk menerima informasi dari pihak rumah sakit mengenai keadaan pasien yang berada dalam keadaan vegetatif tersebut. Berdasarkan sistematisasinya, hak keluarga untuk memberi persetujuan mengenai penghentian atau penundaan kehidupan pasien berada dalam bab yang mengatur tentang situasi khusus. Akibat dari adanya situasi khusus inilah timbul adanya hak keluarga. Namun perlu kita sadari bahwa hak keluarga dalam situasi khusus ini bersifat fakultatif, yakni baru memunculkan hak keluarga apabila terhadapnya terdapat pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar. Sehingga hak pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut ditentukan atau dipenuhi dari adanya hak keluarga sebagaimana yang diatur dalam (pasal 14) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 mengenai persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh pihak keluarga. Sedangkan pasien yang berada dalam keadaan sadar atau tidak berada dalam keadaan vegetatif, maka hak keluarga tersebut tidak diperlukan karena pasien

34

dapat menentukan sendiri apakah memberi persetujuan atau tidak terhadap tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya. Hak untuk menentukan atas diri sendiri atau The right of self-determination ini dapat dipergunakan pasien, apabila pasien tersebut berada dalam keadaan sadar dan memiliki kewenangan berhak (bekwaam) dan kemampuan bertindak (bevoeg). Sedangkan terhadap pasien yang sadar, namun tidak memilki kewenangan berhak dan kemampuan bertindak, maka hak keluarga tetap dapat muncul dan berlaku terhadap pasien dengan kriteria seperti itu. Menurut J. Guwandi, keluarga dapat mengambil keputusan atas diri pasien yang mengalami hidup vegetative atau memiliki hak keluarga, apabila pasien tersebut merupakan pasien yang tidak kompeten namun sudah mengambil kehendaknya secara tertulis yakni bahwa pasien yang tidak kompeten tersebut sebelumnya telah membuat surat kuasa yang memberi wewenang kepada orang lain untuk membuat keputusan yang menyangkut kesehatannya. Sedangkan maksud dari pasien tidak kompeten serta tidak pernah menyatakan kehendaknya secara tertulis yakni bahwa pihak anggota keluarga pasien, wali yang diangkat oleh pengadilan, ataupun juga dokternya berusaha mencari tahu tindakan apa yang akan dipilih oleh pasien yang berada dalam kondisi yang tidak kompeten untuk menolak atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan, dimana terdapat lima factor yang menjadi pertimbangannya yakni: 1. pernyataan dari pasien yang pernah diucapkan kepada anggota keluarga, teman-teman atau petugas kesehatan; 2. agama dan kepercayaan pasien yang dianutnya; 3. pengaruh terhadap anggota keluarga pasien; 4. kemungkinan akibat-akibat sampingan yang tidak dikehendaki;

35

5. prognosis dengan atau tanpa pengobatan. 39

Atas dasar tersebut apabila pasien yang tidak kompeten ini tidak pernah mengatakan apapun mengenai pemberian pengobatan maka pandangan dari pihak orang tua pasien kemungkinan member cerminan kehendak pasien yang terbaik.

D. PENUTUP Bahwa setiap manusia memiliki keinginan untuk dapat berkarya dan membaktikan dirinya agar dapat berguna bagi orang lain. Atas dasar itu setiap manusia pasti akan selalu berusaha untuk selalu dapat hidup sehat dan terhindar dari segala penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Namun tekadang sekeras apapun usaha manusia untuk dapat hidup sehat baik dengan berolahraga maupun dengan memakan makanan dan meminum minuman yang bergizi, manusia tersebut pasti akan mengalami yang namanya sakit atau gangguan kesehatan. Apabila seorang manusia mengalami penyakit atau gangguan kesehatan maka individu tersebut pastilah akan menuju tempat yang menyediakan upaya pelayanan kesehatan, yakni rumah sakit sebagai sarana kesehatan dan melakukan konsultasi kesehatan kepada dokter sebagai tenaga kesehatan. Upaya pelayanan kesehatan yang terjadi akibat adanya hubungan pasien dan sumber daya kesehatan ini dapat berupa upaya pelayanan kesehatan dalam rangka peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratfi), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).39

Lihat, J.Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hlm 10.

36

Bahwa didalam upaya pelayanan kesehatan, individu tersebut dalam hal ini akan disebut sebagai pasien, memiliki hak-hak dasar yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan serta deklarasi internasional yang berkaitan dengan hak pasien. Namun, diantara semua hak pasien yang diatur dalam peraturan perundangundangan dan deklarasi internasional tersebut, terdapat adanya hak pasien yang fundamental yakni hak untuk menentukan diri sendiri atau sering dikenal dengan istilah the right of self-determination (TROS). Hak menentukan diri sendiri inilah yang akan selalu menjadi pedoman dasar terhadap hak-hak lainnya, sebab di dalam hak untuk menentukan diri sendiri (TROS) pasien memiliki hak untuk menentukan diri sendiri dan hak untuk menolak atau menghentikan bantuan pengobatan yang akan dilakukan terhadapnya sehingga berdasarkan hak tersebut, pasien dapat menentukan hal-hal apa saja yang akan dilakukan terhadap tubuhnya dan dokter berkewajiban untuk menghormati hak pasien atas hak menentukan diri sendiri imenentukan tindakan medis kedokteran yang akan dilakukan kepadanya atau tubuhnya, kemudian Inilah yang menjadi keunikan hak pasien berkaitan dengan hak untuk menentukan diri sendiri dalam bidang huk Hak untuk menentukan diri sendiri tetap melekat terhadap pasien sepanjang pasien tersebut dalam keadaan sadar dan tidak berada dalam keadaan vegetatifal. Oleh karena itu walaupun terhadapnya berlaku peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak keluarga untuk menentukan penghentian atau penundaan kehidupan pasien vegetative/ situasi khusus, namun terhadapnya tetap berlaku hak menentukan diri sendiri (TROS). Sebagaimana hasil yurisprudensi atas kasus rhode island, pengadilan berpendapat bahwa hak konstitusional untuk menolak pemberian bantuan kehidupan37

pasien, termasuk makanan dan minuman (nutrition and hydration) dan hak ini merupakan hak yang paling utama di atas kepentingan lainnya. 40 Dari contoh kasus tersebut sebenarnya keluarga, baru dapat memiliki hak keluarga apabila pasien berada dalam keadaan sadar. Tetapi dalam hal kompetensi seorang pasien dalam keadaan sadar diatur secara lebih rinci dalam KUHPdt yang membahas mengenai pasien yang dalam keadaan sadar merupakan pasien yang dewasa berumur 21 tahun, tidak berada dalam pengampuan/curatele, dan apabila ia wanita maka ia bukan merupakan perempuan yang telah menikah. Oleh karena itu apabila memenuhi rumusan pasien yang berada dalam keadaan kompeten, maka ia tidak memerlukan adanya hak keluarga sebab pasien yang kompeten dapat menentukan hak atas dirinya sendiri.

40

Ibid, hlm 5.

38