skripsi revisi 3
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Hepatitis virus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dimana
organ hati merupakan sasaran utama (Chatar, 2001). Hepatitis sudah dikenal sejak
lama. Kitab suci Babilonia pada abad ke-5 SM sudah menyebut suatu ikhterus
yang sering terjadi. Hipokrates juga menyebut adanya epidemic jaundice. Tetapi
McDonald (1908-1918) merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa virus
yang menjadi penyebab hepatitis. Penyakit ini juga dikenal dalam bidang
kemiliteran, sebab sering timbul pada waktu perang misalnya sewaktu perang
melawan Rusia (1904-1905), Perang Dunia pertama, dan Perang Dunia kedua,
sekitar 5 juta tentara Jerman dan orang sipil meninggal akibat hepatitis B.
(Purnama dan Tjokronegoro, 1984, cit. Darmawan, 1994).
Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah kesehatan dunia
yang serius pada masa kini. WHO memperkirakan bahwa lebih dari sepertiga
populasi dunia memiliki bukti serogical infeksi hepatitis B (Sande dkk, 2006).
Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi untuk hepatitis terutama di Asia,
misalnya daratan Cina, Vietnam, Korea dimana 50 - 70% dari penduduk berusia
antara 30 sampai 40 tahun pernah kontak dengan virus hepatitis B (HBV) dan
sekitar 10 - 15% menjadi pengidap Hepatitis B surface Antigen (HBsAg).
Pengidap HBsAg terbagi dalam 2 golongan: tanpa adanya tanda-tanda hepatitis
kronik (pengidap asimtomatik) dan disertai tanda-tanda hepatitis kronik.
Golongan terakhir ini yang berjumlah sekitar 10 – 30% dari pengidap, harus
berhati-hati karena adanya peluang untuk menjadi sirosis hepatis dan kemudian
hepatoma (Kosasih dan Sukiman, 1992).
Di Indonesia, prevalensi infeksi VHB pada donor darah sekitar 2,4% - 9,1%,
tetapi di beberapa daerah seperti Nusa Tenggara, prevalensinya setinggi 17%.
Meskipun banyak terkumpul data epidemiologi-serologi dari hepatitis B,
kebanyakan penelitian menggunakan pertanda serologi terbatas untuk mendeteksi
infeksi VHB sehingga mereka tidak dapat menentukan populasi pasti dari karier,
1
karena adanya mutasi virus atau variasi pada respons imun pejamu (Budihusodo
dkk, 1991, cit. Widjaja dkk, 1998).
Hingga kini kekuatiran tertular hepatitis B masih menghantui banyak anggota
masyarakat. Dasar kekuatiran tersebut dalah sosok menyedihkan penderita sirosis
hati ataupun karsinoma hepato-seluler yang tidak tersembuhkan yang terjadinya
hampir selalu dikaitkan dengan hepatitis B. Hampir 80% dari karsinoma hepato-
seluler disebabkan oleh virus hepatitis B. Hal ini akan berdampak luas terhadap
banyak aspek kehidupan rumah tangga penderita. Karsinoma hepato-seluler
terjadi setelah infeksi dan kanker ini paling sering ditemukan pada daerah yang
endemi hepatitis B (Lubis, 1991, cit. Darmawan 1994).
Sekitar 5 - 10% penderita dewasa yang terinfeksi virus hepatitis B
berkembang menjadi infeksi kronis dan angka ini akan menjadi lebih tinggi bila
inffeksi terjadi pada masa yang lebih dini atau bayi dan anak-anak (Habie dkk,
2000).
Tertularnya dokter gigi akibat luasnya penyebaran hepatitis B di masyarakat
tentunya tidak bisa dihindari. Penelitian adanya HBsAg dan antibodinya,
menunjukkan bahwa profesi dokter gigi mempunyai resiko tertular infeksi ini
yang cukup tinggi dibandingkan dengan penduduk biasa. Dengan sendirinya
dokter gigi juga dapat menularkan infeksi ini kepada pasiennya. Salah satu
penelitian di Amerika menunjukkan bahwa prevalensi penyakit ini pada dokter
gigi sebesar 13%, sedangkan pada penduduk biasa hanyalah 4%. Prosentasi ini
ternyata bertambah tinggi pada ahli bedah mulut. Hal yang sama juga ditemukan
pada ahli bedah dan ahli patologi (Darmawan, 1994).
Penularan VHB dalam kedokteran gigi dapat terjadi antara pasien dengan
dokter gigi secara timbal-balik atau antara pasien dengan pasien yaitu melalui
alat-alat yang digunakan, kontak dengan darah, dan pertukaran cairan tubuh.
Selain dokter gigi, yang termasuk golongan berisiko tinggi tertular adalah petugas
kesehatan lainnya : dokter, paramedik, petugas laboratorium (Lesmana, 1993).
Penularan horizontal pada bayi dan anak diduga memegang peran yang penting
dalam penyebaran infeksi VHB di Indonesia, walaupun penularan perinatal
2
(vertikal) juga penting sebagai sumber penyebaran yang sangat infeksius bagi
lingkungan sekitarnya (Widjaja, 1999).
Berdasarkan latar belakang diatas timbul masalah yaitu bagaimana penularan
penyakit hepatitis B dalam praktek kedokteran gigi dan cara pencegahannya.
Pembuatan skripsi ini bertujuan untuk memberi informasi tentang cara
penularan penyakit hepatitis B dalam praktek kedokteran gigi serta cara
pencegahannya.
Manfaat pembuatan skripsi ini diharapkan dapat membuka wawasan dokter
gigi dalam mendeteksi hepatitis B sehingga bisa mengurangi kemungkinan
terinfeksi hepatitis B pada praktek kedokteran gigi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi
1. Virus dan Hepatitis B
Virus adalah suatu mikroorganisme hidup yang dapat menyebabkan penyakit
infeksi baik pada manusia, binatang, maupun tumbuhan. Virus hanya dapat dilihat
melalui mikroskop elektron, karena hanya memiliki ukuran yang sangat kecil,
yaitu atara 25 sampai 250 nm. Virus tumbuh dan berkembang di dalam sel hidup,
sedangkan di luar sel virus tidak berubah (Lesmana, 1993).
Sebuah virus terdiri dari molekul asam nukleat yang merupakan inti virus,
salah satunya DNA (Deoxy Ribonucleic Acid) atau RNA (Ribonucleic Acid).
Hampir semua bentuk virus adalah Icosahedral dan dibungkus oleh suatu
selubung protein yang disebut Nucleocapsid. Capsid berfungsi melindungi asam
nukleat dan memfasilitasi perlekatan dan penetrasi sel host dari virus (Jawetz
dkk, 2007).
Adapun sifat-sifat khusus virus (Syahrurachman, 1993):
a. Virus mengadakan reproduksi hanya dalam sel hidup, yaitu di dalam sel
nukleus, sitoplasma atau di dalam kedua-duanya dan tidak mengadakan kegiatan
metabolisme jika berada di luar sel hidup.
b. Virus tidak mempunyai informasi genetik sistem Lipman untuk sintesis energi
berpotensi tinggi.
c. Virus tidak membelah diri dengan cara pembelahan binner (binary fission).
Partikel virus baru dibentuk dengan suatu proses biosintesis majemuk yang
dimulai dengan pemecahan suatu partikel virus infektif menjadi lapisan protein
pelindung dan komponen asam nukleat infektif.
d. Virus yang menginfeksi sel mempergunakan ribosom sel hospes untuk
keperluan metabolismenya.
e. Komponen-komponen utama virus dibentuk secara terpisah dan baru digabung
di dalam sel hospes tidak lama sebelum dibebaskan.
4
Hampir semua virus memiliki faktor untuk mengaktifkan proses biosintesis sel
hospes sendiri dan kemudian mengubahnya dengan tujuan untuk membentuk sel
virus yang baru. Akibat dari proses ini maka sebagian besar sel-sel hospes
menjadi mati dan terjadilah gejala-gejala infeksi klinis. Dengan kata lain, asam
nukleat virus mempunyai informasi yang dibutuhkan untuk memerintahkan sel
host yang sudah terinfeksi guna mensistesis sejumlah makromolekul khusus yang
dibutuhkan untuk pembentukan turunan virus atau virus-virus baru. Selama siklus
replikatif itu akan dihasilkan banyak salinan asam nukleat dan lapisan protein
virus. Lapisan protein ini pada akhirnya akan membentuk kapsid yang befungsi
membungkus dan melindungi asam nukleat virus dari lingkungan ekstra selnya
(McCullough, 2005).
Ada empat tipe dari genom-genom asam nukleat yang ditemukan pada virus
yang biasa beraplikasi di dalam tubuh manusia yaitu (McCullough, 2005):
a. Single-stranded DNA (ssDNA)
b. Double-stranded DNA (dsDNA)
c. Single-stranded RNA (ssRNA)
d. Double-stranded RNA (dsRNA)
Contoh virus yang mengandung DNA misalnya Parvovirus, Papovavirus,
Adenovirus, Herpesvirus, Poxvirus, Hepadnavirus. Sedangkan contoh virus yang
mengandung RNA antara lain Picornavirus, Kalisivirus, Reovirus, Arbovirus,
Togavirus, Arenavirus, Koronavirus, Retrovirus, Bunyavirus, Ortomiksovirus,
Paramiksovirus, Rabdovirus, dan Flavivirus.
2. Hepatitis B Virus
Virus hepatitis B sekarang lebih dikenal dengan nama antigen permukaan
VHB (HBsAg) karena terdapat di permukaan VHB. Dalam bidang kedokteran
gigi yang paling memegang peranan adalah penularan VHB dalam praktek
kedokteran gigi melalui darah dan saliva. Cara penularan VHB adalah secara
parenteral, sedangkan lukanya sendiri merupakan “port of entry” dari VHB.
Potensi saliva dalam penyebaran VHB telah ditunjukkan secara eksperimental
pada binatang percobaan (Lesmana, 1998).
5
Virus hepatits B atau partikel Dane merupakan partikel bulat berukuran 42
nanometer (nm) dengan selubung fosfolipid (HBsAg) dengan ketebalan sekitar 7
nm. Virus hepatitis B ini mengandung inti nukleokapsid bagian dalam DNA yang
panjangnya 27 nm, yang berikatan kuat dengan antigen inti 19 kD (Widjaja,
1997).
Inti virus juga mengandung DNA polymerase dan memiliki aktivitas protein
kinase. Genom virus hepatitis B berbentuk sirkuler dengan molekul DNA yang
sebagian berantai ganda dengan bagian yang memiliki rantai tunggal yang
panjangnya variable. Rantai DNA yang panjang disebut minus sempurna atau
bagian rantai DNA L (-) yang komplementer terhadap mRNA virus kurang lebih
epanjang 3200 nukleotida, sedangkan rantai yang pendek atau S (+) memiliki
panjang yang beragam (sekitar 50-70% dari rantai yang panjang). Karenanya,
genom sirkuler hanya merupakan dupleks yang bersifat sebagian (Widjaja, 1997).
Partikel Dane adalah partikel virus hepatitis B yang lengkap, terdiri atas
bungkus luar yang disebut dengan Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg), sebuah
partikel inti yang disebut dengan Hepatitis B core antigen (HBcAg), dan genom,
sebuah bentuk yang tidak biasa dari lingkaran DNA yang disebut dengan antigen e
(HBeAg) (Darmono, 1993).
Virus hepatitis B pada manusia merupakan prototip famili virus Hepadna
(Hepatitis Associated DNA Viruses). Penemuan struktur dan organisasi virus
hepatitis B mengarah pada penemuan berbagai virus lain yang mempunyai
hubungan erat, seperti : virus hepatitis pada woodchuck, virus hepatitis pada
ground squirell, virus hepatitis pada bebek, virus hepatitis pada tree squirrel, virus
hepatitis pada heron (Widjaja, 1997).
6
Gambar 1. Virus Hepatitis B dengan rantai tunggal RNA (Newark, 2009)
Protein nukleokapsid juga bersifat antigenik, terdiri dari HBcAg yang disandi
oleh gen core dan HBeAg yang disandi oleh gen pencore. Secara imunologik
terdapat 4 subtipe utama yaitu HBV, yaitu atas dasar tipe dari HBsAg. Subtipe
tersebut adalah adw, adr, ayw, dan ayr yang semuanya mengandung grup antigen
a yang sama (Sastrosoewignjo dan Triyanti, 1993).
Stabilitas VHB terhadap desinfektan dan suhu tidak selalu sama dengan
stabilitas HBsAg. VHB dapat diinaktivasi dengan otoklaf, formalin 4% selama
minimum 1 jam, dan sodium hipoklorit 0,5% minimum 1 jam (Sastrosoewignjo
dan Triyanti, 1993). The Center of Disease Control di Phoenix menunjukkan
bahwa air mendidih atau larutan sodium hypochloride 1% untuk waktu 10 menit
akan membuat virus hepatitis B menjadi tidak aktif (Lesmana, 1998).
Hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarkat yang serius baik di dunia
maupun di Indonesia karena jumlah penderitanya yang semakin meningkat.
Indonesia merupakan salah satu wilayah besar yang terdiri dari ribuan pulau
7
dengan berbagai rasdan kebudayaan, dengan variasi endemik yang besar.
Prevalensi HBsAg ditemukan sekitar 3,5% sampai 9,1% di Indonesia, dengan
rata-rata 5,1%. Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara dengan tingkat
endemik menengah keatas (Hasan, 2005).
Adanya infeksi virus hepatitis B dapat dideteksi dengan penemuan HBsAg
dalam darah yang diproduksi jutaan kali lebih banyak dari virusnya sendiri. Bila
HBsAg ini menetap lebi dari 6 bulan, berarti kasus ini bersifat menetap (kronik).
Anti HBsAg baru muncul sesudah proses penyembuhan, sehingga penderita
menjadi imun terhadap infeksi berikutnya. HBsAg biasanya akan ada selama
serangan akut, dan segera menghilang setelah penyembuhan. HBeAg akan
menetap keberadaannya pada kasus kronik (Lesamana, 1993).
B. Patogenesis
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran
darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus.
Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh,
partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk
pertikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali
dirangsang adalah respons imun nonspesifik (innate immune response) karena
dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa
jam (Soemohardjo dan Gunawan, 2006).
Seperti virus-virus lainnya, virus hepatitis B tidak dapat bereplikasi tanpa
bantuan sel hospes. Sel hati yang terinfeksi akan membuat partikel virus B, yaitu:
1) HBsAg dibuat di sitoplasma sel hati
2) Partikel inti dibuat di inti sel hati
Kemudian kedua partikel tersebut akan bergabung dan membentuk partikel
virus hepatitis B yang utuh, dimana:
1) Pada fase replikatif banyak dibentuk partikel utuh
2) Pada fase non replikatif sedikit dibentuk partikel utuh
Virus hepatitis B dan antigen virusnya tidak bersifat sitopatik secara
langsung. Kerusakan hati yang timbul disebabkan oleh kelainan imunologi yang
8
disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap virus yang masuk. Penyakit ini dapat
ditularkan dari ibu pengidap terutama dengan HBeAg positif (+) kepada bayi yang
dilahirkannya. Walaupun penyakit ini dapat sembuh sendiri (self limiting disease),
tetapi sekitar 95% dari infeksi yang terjadi pada masa ini akan berkembang
menjadi pengidap (carrier) virus hepatitis B. Tingginya persentasi pengidap VHB
akibat terinfeksi sesama bayi, dihubungkan dengan imunotoleransi sel T, yang
umumnya timbul bila infeksi terjadi pada saat sistem kekebalan tubuh belum
berkembang sempurna (Widjaja, 1997).
Pada penyakit hepatitis B akut ternyata yang berperan adalah sel T sitotoksik.
Proses penyembuhan terjadi bila sel tersebut berhasil membersihkan semua sel
hati yang terinfeksi. Bila sel T sitotoksik tidak berhasil menghancurkan seluruh
sel hati yang terinfeksi maka proses ini akan berkepanjangan sehingga menjadi
kasus kronis. Namun, jika proses penghancuran sel hati tidak terjadi maka akan
terjadi kasus pengidap sehat. Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut
maka tubuh akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3
kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus
hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan
tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika
tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier
inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (diantara dua hal
tersebut) maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis (Suharjo
dan Cahyono, 2006).
1) Pada hepatitis B akut
Terjadi peradangan sel hati sebagai akibat respon imun yang normal. Tapi bila
sistem imunitas tubuh normal, maka akan terjadi suatu mekanisme untuk menekan
sintesa virus B oleh sel hati sehingga berangsur-angsur virus tersebut akan hilang
dari tubuh.
2) Pada hepatitis B fulminan
Terjadi kerusakan sel-sel hati yang hebat sebagai akibat respon imun yang
berlebihan.
3) Tidak terdapat respon imun sehingga tidak terjadi kelainan sel hati
9
Namun sintesa partikel virus B tetap berlangsung dan infeksi menjadi
persisten. Disini terdapat gangguan faal sel limfosit, yang dapat ditemukan pada
pasien leukemia, keadaan gagal ginjal, bayi, pasien yang mendapat terapi
imunosupresif.
4) Pada hepatitis B kronis persisten
Bila respon imun ada tetapi tidak sempurna maka akan terjadi peradangan sel
hati, tapi sintesa partikel virus B juga tidak dapat ditekan secara efektif sehingga
infeksi virus B menjadi persisten.
5) Pada hepatitis B kronis aktif
DNA virus B menyatu dengan DNA sel hati, merupakan tahap penting bagi
kemungkinan timbulnya hepatoma.
C. Penularan
Penyabaran virus hepatitis B melalui darah, saliva, semen, secret nasofaring,
keringat, urin, air susu ibu, dan tinja. Penyebarannya bisa berlangsung melewati
sejumlah cara seperti melalui (Little & Falace, 1988, cit. Darmawan, 1994):
1) Kulit, misalnya serum atau plasma yang terinfeksi tersalur melalui alat suntik
yang disuntikkan menembus kulit.
2) Kulit yang rusak yang kemudian terkontaminasi dengan serum atau plasma
yang terinfeksi.
3) Absorpsi serum atau plasma yang terinfeksi melalui mukosa mulut atau mata.
4) Absorpsi cairan sekresi yang terinfeksi, misalnya saliva yang mengenai kulit
yang terluka atau semen sewaktu berhubungan intim.
5) Transfer serum, plasma, dan saliva yang sudah terinfeksi melalui permukaan
benda mati.
Virus hepatitis tidak dapat disebarkan melalui fekal-oral. Begitu juga
penyebaran melalui udara tidak menimbulkan epidemik, sebab virus ini tidak bisa
mengudara meskipun berada dalam buangan ludah (National Health and Medical
Research Council, 1985, cit. Darmawan, 1994).
Meskipun belum ada konfirmasi tentang penyebaran virus hepatitis B melalui
pernafasan dan makanan, tetapi transmisi melalui percikan yang mengudara dari
10
dengan kecepatan tinggi atau penyemprot air dengan tekanan kuat. Semua
penyebaran ini merupakan penyebaran yang transversal. Ada lagi penyebaran
terjadi secara vertikal yaitu penyebaran dari ibu yang sedang hamil dan menderita
hepatitis kepada anaknya. Maka anak tersebut nantinya juga akan menderita
hepatitis B. Biasanya anaknya berumur pendek karena adanya kerusakan hati yang
kronis atau terjadi karsinoma (Darmawan, 1994).
D. Gejala Klinis
Setiap proses peradangan akan menimbulkan gejala. Berat ringannya gejala
yang timbul tergantung dari ganasnya penyebab penyakit dan daya tahan tubuh
penderita. Oleh karena penyebab terbanyak penyakit hepatitis disebabkan oleh
virus maka pembahasan selanjutnya lebih ditekankan pada hepatitis virus.
Keluhan dan gejala klinis penyakit hepatitis virus umumnya sama. yang berbeda
hanyalah perkembangan penyakitnya. Gejala hepatitis terbagi dalam empat tahap
(Sanityoso, 2006).
1) Fase inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus.
Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini
tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar
dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.
2) Fase prodomal ( pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Fase ini berlangsung beberapa hari. Timbul gejala dan keluhan pada
penderita seperti badan terasa lemas, cepat lelah, lesu, tidak nafsu makan
(anorexia), mual, muntah, perasaan tidak enak dan nyeri di perut, demam kadang-
kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada persendian (arthralgia), pegal-pegal di
seluruh badan terutama di pinggang dan bahu (mialgia), dan diare. Kadang-
kadang penderita seperti akan pilek dan batuk, dengan atau tanpa disertai sakit
tenggorokan. Karena keluhan di atas seperti flu, maka keadaan di atas disebut
sindroma flu.
3) Fase ikterus
11
Biasanya setelah suhu badan menurun, warna urin penderita berubah menjadi
kuning pekat seperti air teh. Bagian putih dari bola mata (sclera), selaput lendir
langit-langit mulut, dan kulit berubah warna menjadi kuning-kuning yang disebut
juga ikterik. Bila terjadi hambatan aliran empedu yang masuk ke dalam usus maka
tinja akan berwarna pucat seperti dempul, yang disebut faeceacholis. Ikterik akan
timbul bila kadar bilirubin dalam serum melebihi 2mg/dl. Pada saat ini penderita
baru menyadari bahwa ia menderita sakit kuning atau hepatitis. Selama minggu
pertama dari fase ikterik, warna kuningnya akan terus meningkat, selanjutnya
menetap. Setelah 7-10 hari secara perlahan-lahan warna kuning pada mata dan
kulit akan berkurang. Pada saat ini, keluhan yang ada umumnya mulai berkurang
dan penderita merasa lebih enak. Fase ikterik ini berlangsung sekitar 2-3 minggu.
Pada usia lebih lanjut, sering terjadi gejala hambatan aliran empedu (cholestasis)
yang lebih berat sehingga menimbulkan warna kuning yang lebih hebat dan
berlangsung lebih lama.
4) Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali
dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Umumnya penyembuhan sempurna secara klinis dan
laboratoris memerlukan waktu sekitar 6 bulan setelah timbulnya penyakit.
E. Penatalaksanaan
1. Diagnosis
a. Anamsesis
Anamnesis adalah suatu tanya jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pasien. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat obstetric dan ginekologi
(khusus perempuan), riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem
dan anamnesis anamnesis pribadi (Setyohadi, 2006).
Anamnesis sangat penting agar kita dapat menjaga diri dari kemungkinan
tertular penyakit dari pasien. Dalam hal ini kita bisa bertanya tentang riwayat
kesehatan pasien bilamana dia pernah atau sedang menderita suatu penyakit
12
seperti hepatitis. Kita juga harus berhati-hati apabila dalam anamnesis
menemukan penggunaan obat-obatan terlarang, penggunaan jarum suntik,
penderita AIDS, dan pasien pernah mengalami cuci darah dalam waktu yang
lama.
b. Gambaran Klinis
Penyakit ini sering ditandai dengan perubahan warna pada kulit dan bagian
putih mata (sklera) yang menjadi kekuningan karena adanya pengendapan pigmen
bilirubin. Gambaran klinis yang biasa didapatkan pada penderita hepatitis B dalam
masa 45-160 hari adalah ikterus, Jaundice (gambar 2), hepatomegali, suhu diatas
normal. Orang dewasa cenderung untuk mengalaminya dibandingkan anak-anak.
Gambar 2. Penderita Jaundice, tampak matanya berwarna agak kekuningan
(Simon, 1998)
c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam upaya mendeteksi kasus-
kasus yang tidak tampak secara klinis sedini mungkin sehingga kemungkinan
13
penularan dapat diperkecil. Pemeriksaan HBsAg mempunyai sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi sangat diperlukan dalam upaya untuk mendeteksi penderita
yang sakit atau pengidap sehat, pemantauan secara berkala, tes saring terhadap
donor darah serta pemeriksaan sebelum vaksinasi (Habie, 2000).
Saat ini telah dikenal tes ELISA (Enzime Linked Iunosorbent Assay) dan
RPHA (Reserved Passive Hemaglutination Assay) untuk mendeteksi HBsAg.
Kedua tes tersebut yang paling sering digunakan oleh laboratorium-laboratorium.
Tes ELISA yang telah dikembangkan dengan sensitivitas dan spesifitas mendekati
100% adalah tes diagnosa yang sangat akurat saat ini (Habie, 2000).
Tes RPHA adalah yang paling mudah terutama tes tunggal. Cara kerjanya
cepat, tidak mahal, dan praktis cocok untuk negara berkembang, karena itu
metode ini banyak dipakai di laboratorium-laboratorium untuk membantu
diagnosis dan tes saring hepatitis B, tetapi ada kelemahannya yaitu sering terjadi
fenomena prozone dan relative kurang spesifik (Habie, 2000).
2. Prognosis
Sekelompok kecil penderita (sekitar 1% dari orang yang terinfeksi)
mengalami perkembangan yang cepat dari penyakit yang dideritanya pada tahap
akut dan mengembangkan kerusakan hati yang parah. Hal ini dapat terjadi selama
berhari-hari, berminggu-minggu dan mungkin berakibat fatal. Infeksi VHB bisa
diderita oleh semua orang tetapi biasanya jika sudah berumur 15 tahun keatas.
Dibandingkan dengan jenis hepatitis lain, hepatitis B lebih banyak mengakibatkan
penderitaan dan kematian (Darmawan, 1994).
3. Patokan Tata Laksana Umum Perawatan Gigi dan Mulut
Yang menyulitkan adalah apabila penderita mengidap hepatitis B yang
gejalanya tidak nyata. Untuk itu, sebaiknya dokter gigi mengikuti patokan tata-
laksana umum perawatan gigi dan mulut untuk menghindari tertular serta
menularkan hepatitis B. patokan tata-laksana umum ini, sebaiknya dilaksanakan
pada setiap pasien tidak peduli apakah dia penderita hepatitis atau tidak.
Pelaksanaan patokan tata-laksana umum ini tetap belum menjamin untuk tidak
tertular hepatitis B, namun jelas mengurangi kemungkinan tertular. Patokan
sebagai berikut (Darmawan, 1994):
14
a. Riwayat perawatan
Yang dimaksud dengan riwayat perawatan adalah semua perawatan kesehatan
yang sudah pernah diperoleh atau yang sedang dilaksanakan. Sejumlah pertanyaan
perlu dikemukakan dalam hal ini seperti penyakit yang sedang diderita, pernah
menderita hepatitis atau tidak, apakah ada penyakit lain yang sering kambuh,
apakah mengalami penurunan berat badan drastis, dan lain-lainnya. Sayangnya,
meskipun pasien sudah menjawab sejumlah pertanyaan, seringkali tetap saja
keadaan penderita tidak dapat diketahui seluruhnya. Keadaan ini akan lebih rumit
apabila penderita hanya sebagai pembawa (carrier) atau yang menderita hepatitis
kronis aktif. Pada penderita ini tidak tampak adanya gejala, bahkan tidak
merasakan adanya kelainan, padahal produksi virus tetap berlanjut begitu juga
dengan kerusakan hatinya.
b. Memakai bahan atau alat pelindung lengkap serta tindakan perlindungan
(gambar 3)
1) Sarung tangan
Pemakaian sarung tangan akan melindungi tangan dokter gigi yang sedang
luka dari kemungkinan terkontaminasi darah atau saliva penderita. Selain itu,
sarung tangan juga akan melindungi tangan dari kemungkinan tertusuk atau teriris
dengan pisau, karena sarung tangan yang akan tertusuk atau teriris terlebih dahulu.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa satu sarung tangan untuk semua pasien
sebab sarung tangan mudah dibersihkan dan didesinfeksi sesudah dipakai.
Pembersihan sarung tangan akan lebih mudah daripada pembersihan tangan.
Tetapi sebetulnya yang paling baik tetap satu sarung tangan untuk setiap pasien,
sebab bisa saja sesudaha merawat seorang pasein sarung tangan itu mengalami
bocor kecil.
2) Pakaian pelindung
Pakaian pelindung dapat dipakai untuk menghindari kontak badan dengan
cairan tubuh. Contoh dari pakaian pelindung seperti pakaian operasi, apron, jas
klinik, dan jas lab. Pakaian pelindung ini harus diganti saat terkena saliva atau
darah. Pakaian ini juga selayaknya tidak digunakan di luar area kerja.
3) Masker dan pelindung mata
15
Pemakaian masker dan pelindung mata selain melindungi dokter dari percikan
darah dan saliva pasien, juga melindungi pasien dari percikan saliva dokter yang
merawatnya.
4) Penutup yang disposable
Yang dimaksud penutup adalah penutup yang menutupi permukaan yang
kemungkinan terkontaminasi seperti pemegang lampu unit, kepala alat roentgen,
atau alat lain yang susah dicuci dan didesinfeksi. Dengan memakai penutup yang
disposable ini maka penutup tersebut dapat dibuang setiap selesai perawatan
pasien.
5) Hand piece atau contra angle
Pada pemakaian alat dengan kecepatan tinggi akan menimbulkan banyak
percikan saliva atau darah yang akan beterbangan di udara sehingga bisa
mengakibatkan terjadinya kontaminasi. Jika dapat bekerja dengan rubber dam
tentu keadaan ini akan bisa teratasi. Selain jenis handpiece atau contra angle yang
bukan kecepatan tinggi, sebaiknya dipilih yang autoclaveable.
6) Pencucian tangan
Pencucian tangan in harus betul-betul bersih sesudah melakukan perawatan
pada penderita. Hal yang sama juga dilakukan sesudah terkontaminasi dan
sebelum meninggalkan ruang praktek. Pencucian tangan dimulai dari siku ke
bawah.
7) Pembersihan percikan darah
Semua percikan darah yang mengenai dental unit, peralatan gigi, dan alat-alat
yang dipakai harus dibersihkan. Pembersihan ini mula-mula dapat dilakukan
dengan air dan sabun kemudian dilakukan desinfeksi, misalnya dengan larutan
hipoklorida. Oleh sebab itu, harus diusahakan agar selama perawatan hanya tejadi
sedikit perdarahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam 1 mL darah terdapat
1x10⁷ virus.
8) Hati-hati dengan alat tajam dan jarum suntik
Semua alat tajam dan runcing yang kemungkinan bisa melukai tangan harus
dipakai dengan hati-hati. Jarum suntik yang sudah dipakai sebaiknya jangan
disarungi lagi tetapi langsung saja dibengkokkan dan dibuang. Pembuangannya
16
bersama alat atau bahan disposable lain serta tampon pada tempat yang
berdinding kaku.
Gambar 3. Operator yang menggunakan peralatan lengkap ketika melakukan
tindakan pembedahan (Bonnie, 2011)
4. Pencegahan Penularan
Suatu kenyataan bahwa penularan virus hepatitis anatara dokter gigi dengan
pasien serta antara pasien dengan pasien terjadi karena kelalaian dalam tindakan
pencegahan.Berpegangan pada standar perawatan dari suatu profesi saja tidak
merupakan jaminan terhadap pertanggung-jawaban pencegahan penularan.
Kadang-kadang dituntut suatu standar yang lebih tinggi misalnya pemeriksaan
darah secara rutin dari kelompok pengidap virus hepatitis B (Sachs, cit. Lesmana,
1993).
17
Berbagai cara yang dibuat untuk mencegah berkontak dengan VHB. Sebagai
contoh yang spesifik dari tindakan pencegahan yaitu dengan mengikuti langkah-
langkah: sarung tangan harus digunakan ketika sedang melakukan semua tindakan
yang berpotensi terdapat bahan-bahan yang terinfeksi; pakaian pelindung harus
dipakai dan dilepas sebelum meninggalkan area kerja; masker dan pelindung mata
harus dipakai untuk mencegah dari cipratan atau materi terlepas yang beresiko
menular; hanya menggunakan jarum sekali pakai; jarum harus langsung dibuang
kedalam tempat khusus; permukaan meja harus dibersihkan menggunakan bahan-
bahan kimia seperti kombinasi phenol sintesis dengan iodofor, kombinasi phenol
dengan alcohol, chlorine compound, atau sodium hipoklorit (Jawetz dkk, 2007) .
Untuk perawatan pasien pengidap khususnya, yaitu (Lesmana, 1993):
a. Gunakan low speed bur untuk menghindari menyemprotnya cairan dari dalam
mulut,
b. Hindari tertusuknya tangan dalam sarung tangan oleh alat-alat tajam,
c. Bila sudah ada luka, bungkus dahulu dengan plaster anti air, sebelum
memakai sarung tangan,
d. Bila mungkin pasien pengidap dirawat yang terakhir, dan
e. Masukkan segera semua sampah ke dalam kantung plastik sebelum
membuangnya ke tempat sampah.
Pada kelompok penduduk yang mempunyai resiko tinggi terhadap penularan
infeksi virus hepatitis B juga dapat dilakukan pencegahan melalui progam
penyuluhan kesehatan. Sebagai contoh, orang yang sering menyalahgunakan obat-
obatan tertentu seperti orang kecanduan obat bius dengan cara menyuntikkan obat
tersebut melalui intravena harus diberikan penyuluhan akan bahaya penularan
infeksi virus hepatitis B melalui satu jarum suntik untuk beberapa orang tanpa
disterilkan terlebih dahulu (Darmono, 1993).
Pencegahan infeksi virus Hepatitis B dapat dilakukan melalui non imunisasi
dan imunisasi. Pencegahan non imunisasi dapat dilakukan dengan cara,
menghindari kontak dengan darah maupun cairan tubuh pasien yang terinfeksi
virus Hepatitis B, tidak menggunakan jarum suntik dan alat kedokteran yang tidak
steril, dan cara-cara pencegahan umum lainnya (Murdiyati, 2011). Sedangkan
18
pencegahan dengan melalui imunisasi terdiri dari 2 cara yaitu imunisasi pasif,
dengan memberikan suntikan Hepatitis B Imuno Globilin (HBIG) yang digunakan
untuk melindungi pasien dari infeksi Hepatitis B rekuren setelah transplantasi hati,
sedangkan imunisasi aktif dengan memberi suntikan vaksin hepatitis B (Lesmana,
1993).
Pemberian HBIG dianggap kurang efektif karena hanya akan menunda infeksi
selama 6 bulan, sedangkan pemberian vaksin ternyata sangat bermanfaat, karena
tubuh akan membentuk zat anti yang dapat bertahan cukup lama dengan titer yang
lebih tinggi. Pada penderita hepatitis B yang telah sembuh, akan terdapat zat anti
dalam darah yang dapat bertahan seumur hidup (Lesamana, 1993).
Vaksinasi aktif perlu diberikan kepada mereka yang belum atau kurang
memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (HBsAb negatif atau positif dengan titer
kurang dari 10 IU/I) yang dianggap kurang protektif, sedangkan resiko akan
kontak dengan virus hepatitis B adalah tinggi atau sedang. Mereka yang perlu
divaksinasi (Kosasih dan Sukiman, 1992) :
a. Pekerja bidang kesehatan atau kedokteran, terutama bila ada peluang bagian
tubuhnya tertusuk oleh jarum atau benda tajam : dokter spesialis bedah, spesialis
THT, dokter umum, dokter beserta semua pegawai yang bekerja di laboratorium,
unit hemoliadisis, dinas transfusi darah dan unit bedah mayat. Pegawai paramedik
: perawat, bidan, teknisi. Pegawai non medik, misalnya dibagian binatu,
pembersihan dan lain-lain.
b. Pasien yang sering mendapatkan transfusi darah atau komponen darah seperti
penderita hemophilia, talasemia, anemia aplastik dan sebagainya.
c. Mereka yang bepergian ke daerah endemik dan atau mereka yang sering ada
kontak seksual ekstra-marital dengan partner yang berganti-ganti.
d. Kontak dalam keluarga dengan penderita hepatitis B akut atau kronik atau
pengidap, terutama bila merupakan suami atau istri.
e. Bayi lahir dari ibu yang mengidap HBsAg.
Pemakaian secara luas masih jauh dari yang diharapkan karena mahalnya
harga vaksin yang ada.
5. Terapi
19
Pengobatan terhadap infeksi VHB masih jauh dari harapan, karena tidak
adanya pengobatan yang efektif sampai saat ini, meskipun banyak penemuan baru
serta kemajuan dibidang tersebut. Selain itu, pengobatan penyakit itu masih sangat
mahal sehingga hanya sebagian kecil penderita yang dapat diobati (Widjaja,
2001).
Interferon alfa adalah obat yang diakui oleh FDA untuk pengobatan hepatitis
B. Hasil pengobatan dengan interferon pada penderita dari suku bangsa asia hanya
menghasilkan kurang dari 5% penderita yang hilang HBsAg nya dan sekitar 10-
15% hilang HBeAg nya. Akhir-akhir ini, analog nukleosida, seperti lamivudin (3-
thiacytidine), menunjukkan efek yang lebih kuat dalam menekan replikasi VHB.
Keuntungan lamivudin adalah dapat diberikan secara peroral dan efek sampingnya
minimal (Widjaja, 2001).
Perkembangan analog nukleosida yang baru seperti adefoir, entecavir,
lobucavir, dan FTC sedang dalam taraf penelitian uji klinis taraf akhir.
Diharapkan obat tersebut atau kombinasinya dapat mencegah timbulnya mutasi
dan memberi penekanan maksimal terhadap replikasi VHB ( Widjaja, 2001).
6. Sterilisasi
Semua peralatan medis maupun non medis yang ada dalam ruangan praktek
harus diusahakan sesteril mungkin (Darmono, 1993).
a. Peralatan medis harus:
1) Direbus paling sedikit 30 menit dalam air yang mendidih setiap kali akan
digunakan untuk melakukan perawatan atau tindakan medis. Sebelum alat itu
direbus harus direndam dalam antiseptik beberapa menit dan dicuci dulu
dengan air sabun. Untuk melakukan tindakan ini harus menggunakan sarung
tangan.
2) Diulas dengan alkohol 70%, setiap sehabis digunakan dalam rongga mulut
atau kontak dengan darah dan ludah.
3) Menggunakan jarum dan syringe yang steril pada waktu melakukan
injeksi. Sebaiknya digunakan disposable injection yang masih dijamin
sterilitasnya dan setelah selesai digunakan jarum tersebut harus dirusak agar
tidak digunakan untuk kepentingan yang lain.
20
b. Peralatan non medis
1) Tempat untuk meletakkan alat selama melakukan perawatan dan tindakan
medis harus sesering mungkin diulas dengan alkohol 70%.
2) Gelas, yang digunakan untuk kumur-kumur selama perawatan juga harus
segera disterilkan setelah dipakai.
3) Meja, kursi gigi, dan sputum yang diperkirakan kontak dengan darah dan
ludah, tempat meletakkan, alat yang telah disterilkan harus sesering mungkin
diulas dengan alkohol atau antiseptik yang lain.
4) Cone x ray, pengatur focus lampu harus sering diulas dengan alkohol 70%
atau antiseptik yang lain.
21
BAB III
PEMBAHASAN
Tertularnya dokter gigi akibat ketika praktek dapat bisa dihindari. Penelitian
adanya HbsAg dan antibodinya, menunjukkan bahwa profesi dokter gigi
mempunyai resiko tinggi tertular infeksi ini yang cukup tinggi dibandingkan
dengan penduduk biasa. Dengan sendirinya dokter gigi juga dapat menularkan
infeksi ini kepada pasiennya. Salah satu penelitian di Amerika menunjukkan
bahwa prevalensi penyakit ini pada dokter gigi sebesar 13%, sedangkan pada
penduduk biasa hanya 4% (Darmawan, 1994).
Masalah yang menyulitkan bagi dokter gigi adalah bila penderita mengidap
hepatitis B yang gejalanya tidak nyata. Untuk itu, sebaiknya dokter gigi mengikuti
prosedur yang berlaku. Prosedur perawatan gigi dan mulut yang biasanya
dilaksanakan untuk menghindari tertular serta menularkan hepatitis B. Prosedur
perawatan umum ini tetap belum menjamin untuk tidak tertular hepatitis B, namun
dapat mengurangi resiko kemungkinan tetular.
Setiap pasien yang datang ke tempat praktek harus diperlakukan sesuai
dengan prosedur yang berlaku. Prosedur yang pertama kali dilakukan adalah
anamnesis. Anamnesis sangat penting karena kita bisa mengetahui apabila pasien
tersebut menderita suatu penyakit menular atau tidak. Pertanyaan yang dapat kita
tanyakan antara lain nama, alamat, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat kesehatan diri
sendiri, riwayat kesehatan keluarga, dan sebagainya.
22
Setelah itu dilakukan pemeriksaan inra oral dan ekstra oral. Kemudian
dilakukan tindakan sesuai dengan diagnosis yang sudah ditetapkan. Semua itu
merupakan tindakan yang dilakukan jika pasien tidak menderita suatu penyakit
menular, seperti hepatitis B.
Prosedur penanganan pasien dengan penyakit menular berbeda dengan
penanganan pasien yang tidak memiliki penyakit menular, sehingga dalam
keadaan ini pemeriksaan sesuai prosedur merupakan suatu kontroversi. Di satu sisi
pasien ingin segera mendapatkan pengobatan secepat mungkin karena sakit gigi
yang tidak tertahankan lagi, namun disisi lainnya dokter gigi merasa takut tertular
penyakit dari pasiennya. Maka diperlukan suatu tindakan yang tidak berbahaya
bagi dokter maupun pasiennya.
Perlu diperhatikan agar dokter gigi memakai barrier selengkap mungkin
dalam menangani pasien. Sarung tangan, masker, apron, kacamata, dan penutup
kepala dapat memperkecil kemungkinan kita tertular penyakit dari pasien.
Sterilisasi alat-alat juga perlu dilakukan agar virus, bakteri, maupun fungi yang ada
bisa mati.
Bila perawatan sudah selesai dilakukan, dimana pasien dengan penyakit
menular itu bukan merupakan pasien terakhir, kita harus melakukan tindakan
untuk mencegah penularan penyakit terhadap pasien selanjutnya yang sedang
berada di ruang tunggu. Contoh tindakan yang bisa dilakukan adalah pengamanan
dan pembuangan limbah tercemar. Sarung tangan yang sudah digunakan dan kapas
atau cotton roll yang digunakan oleh pasien yang menderita penyakit menular
perlu mendapatkan penanganan khusus. Sampah yang berasal dari praktek
kedokteran gigi ini disebut sampah tercemar. Sampah tersebut dapat dimasukkan
kedalam kantong khusus yang diberi label BIOHAZARD. Selanjutnya sampah
tercemar ini dapat diserahkan ke Rumah Sakit untuk kemudian dimusnahkan atau
dibuang ke incinerator.
Pada saat dilakukan tindakan pada pasien dengan penyakit menular sangat
mungkin timbul percikan saliva, aerosol, maupun debris yang tercecer ke
lingkungan kerja kita, seperti ke karpet atau dental unit. Maka dalam hal ini perlu
segera dilakukan dekontaminasi atau pencegahan penularan dengan cara
23
menggunakan bahan desinfektan pada benda-benda tersebut agar pasien
berikutnya akan lebih aman dari penularan penyakit.
Spitton atau tempat pembuangan air kumuran pasien juga perlu mendapatkan
penanganan khusus sebab kalau tidak, ada kemungkinan pasien sesudahnya atau
bahkan kita dapat tertular penyakit. Penularan mungkin juga terjadi karena salah
satu media penularan hepatitis B melalui saliva, darah, dan sputum box ini menjadi
tempat yang menampung saliva pasien. Cara menanganinya adalah dengan
melakukan dekontaminasi dengan natrium hipoklorit 0,5%-1% selama 10 sampai
15 detik dan kemudian dicuci dengan menggunakan H₂0₂. Apabila masih terdapat
sisa jaringan yang tertinggal maka akan timbul buih. Kemudian selanjutnya
dilakukan desinfeksi pada spitton tersebut misalnya dengan menggunakan
Glutaraldehid 2% atau etanol 70%.
Semua hal diatas memiliki keuntungan dan kerugian. Salah satu
keuntungannya adalah semua hal yang dilakukan dapat mencegah penularan
penyakit dari pasien kedokter gigi maupun sebaliknya sehingga kita dapat bekerja
dengan tenang. Sedangkan kerugiannya adalah peralatan untuk desinfeksi dan
sterilisasi tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
24
DAFTAR PUSTAKA
Bonnie. 2011. Operasi Bedah – Perkembangan Teknologi Kedokteran.
http://www.rumahsakitmitrakemayoran.com/operasi-bedah-
perkembangan-tekonologi-kedokteran/. on-line.
Darmawan, A. 1994. Penatalaksanaan perawatan gigi dan mulut penderita hepatitis
B dalam kedokteran gigi. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Usakti
26: 91-99.
Darmono, M. 1993. Pencegahan infeksi virus hepatitis B (VHB) dalam praktek
kedokteran gigi. Jurnal PDGI 3: 36-41.
Habie, M.Z., Pakasi, R.D., Arif, M. 2000. Studi Tes Reversed Passive
Hemaglutination Assay (RPHA) Pada Penderita Tersangka Hepatitis
Virus B. Jurnal Medika Nusantara 21: 165- 169.
Hasan, I. 2005. Epidemiology of Hepatitis B. The Indonesian Journal of Internal
Medicine 37: 231-234.
Jawetz., Melnick., Adelberg’s. 2007. Hepatitis Viruses. Medical Microbiology. Ed.
ke-24. Hlm 466-485.
Lesmana, R. 1993. Risiko penularan virus hepatitis B dalam kedokteran gigi.
Jurnal PDGI 3: 30-34.
Lobb, W.K., McGrath, P.J., dan Zakariasen, K.L. 1996. Infection Control
recommended for the dental office and the dental laboratories. The
Journal of the American Medical Association 127: 672-679.
Lubis, N.U. 1996. Progam imunisasi masal hepatitis B di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran 110: 19-20.
McCullough, M.J. dan Savage., N.W. 2005. Oral viral infections and the
therapeutics use of antiviral agents in dentistry. Australian Dental
Journal. 50: S31.
25
Misnadiarly. 1993. Situasi penyakit hepatitis B dan C hepatomikobakterialis di
Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia XXI. Hlm. 224-
228.
Murdiyanti, S. 2011. Imunisasi hepatitis.
http://www.citty-notes.co.cc/2011/03/imunisasi-hepatitis.html. on-
line.
Newark,J. 2009. Hepatitis B. Microbiology.
http://microbiology2009.wikispaces.com/hepatitis+B. on-line.
Setiyohadi, B. 2006. Anamnesis. Ilmu Penyakit Dalam. Ed. ke-4. Hlm 20-21.
Sande, V.D., Waight, P., Mendy, M., Solon, P.R., Hutt, P., Fulford, T., dkk. 2006.
Long Term Protection againts Carriage of Hepatitis B Virus after Infant
Vacctination. The Journal of Infectious Diseasess 193: 1528-1535.
Widjaja, S. 1997. Perkembangan terbaru virus hepatitis B. Majalah Kedokteran
Indonesia 47: 573-579.
Widjaja, S., Simon, S., Ali, S., Listiawan, I., Yap, SH. 1998. Beberapa aspek
epidemiologi hepatitis B dan hepatitis C di kelurahan Kalianyar,
Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia 48: 241-248.
Widjaja, S., Magdalena, M., Salim, Z. 1999. Efek Imunopotensiasi Levamisol
Terhadap Sintesis Zat Anti Pada Mahasiswa yang diimunisasi Hepatitis
B. Majalah ilmu Fakultas Kedokteran USAKTI 18: 69-76.
Widjaja, S. 2001. Berbagai aspek infeksi virus hepatitis B dan C di Jakarta.
Majalah Kedokteran Indonesia 51: 147-152.
26