revisi ke-3 proposal skripsi rizal
TRANSCRIPT
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROPOSAL SKRIPSI (REVISI)
Disusun untuk memenuhi tugas Seminar Proposal Skripsi
Dosen Pengampu : Drs. Slamet Sumarto, M.Pd.
Diajukan Oleh:
Nama : Rizal Akhmad Prasetyo
NIM : 3301409100
Jurusan : Hukum dan Kewarganegaraan
Prodi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
I. JUDUL
POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL
PADA ANAK RETARDASI MENTAL (STUDI KASUS DI KEC. KOTA
KABUPATEN KUDUS)
II. LATAR BELAKANG
Tidak semua individu dilahirkan dalam kondisi yang “normal”.
Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis,
yang telah dialami sejak awal masa perkembangan. Keterbelakangan mental
adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai tempat,
dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah
rata-rata (IQ di bawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi
maupun melakukan berbagai aktivitas sosial di lingkungan. Individu dengan
keterbelakangan mental memiliki fungsi intelektual umum yang secara
signifikan berada di bawah rata-rata, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan
berkaitan serta memberikan pengaruh terhadap terjadinya gangguan perilaku
selama periode perkembangan (Hallahan & Kauffman, 1988). Prevalensi
penderita keterbelakangan mental di Indonesia saat ini diperkirakan telah
1
mencapai satu sampai dengan tiga persen dari jumlah penduduk seluruhnya,
dan jumlah tersebut dimungkinkan akan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Terlepas dari bagaimanapun kondisi yang dialami, pada dasarnya
setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaan
dalam hidupnya. Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang
mengalami keterbelakangan mental. Akan tetapi realita yang terjadi tidaklah
selalu demikian. Di banyak tempat, baik secara langsung maupun tidak,
individu berkebutuhan khusus ini cenderung ‘disisihkan’ dari lingkungannya.
Penolakan terhadap mereka tidak hanya dilakukan oleh individu lain di
sekitar tempat tinggalnya, namun beberapa bahkan tidak diterima dalam
keluarganya sendiri. Beragam perlakuan pun dirasakan oleh mereka. Mulai
dari penghindaran secara halus, penolakan secara langsung, sampai dengan
sikap-sikap dan perlakuan yang cenderung kurang manusiawi. Padahal apa
yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka hanyalah hambatan pada
perkembangan intelektualnya.
Anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental tetap
memiliki kemampuan lain yang masih dapat dikembangkan dan dioptimalkan
untuk membantunya beraktivitas seperti orang normal, dan memberikan peran
tertentu di masyarakat meskipun terbatas. Anak yang memiliki
keterbelakangan mental atau down syndrome seharusnya diperlakukan sama
dengan anak normal lainnya. Jika diberi kesempatan, mereka bisa percaya diri
dan berprestasi. Individu yang mengalami keterbelakangan mental masih
dapat mempelajari berbagai ketrampilan hidup apabila orang-orang di
sekitarnya memberikan kesempatan dan dukungan yang dibutuhkan. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Ismed Yusuf dalam Majalah Psikiatri Jiwa
(Sembiring, 2002) bahwa masih ada bagian intelektual anak dengan
keterbelakangan mental yang dapat dikembangkan dengan suatu tindakan
atau penanganan khusus. Penanganan khusus yang dimaksud ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan intelektualnya agar dapat mencapai
kemampuan adaptasi yang juga optimal.
2
Banyak wilayah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang jauh
dari pusat kota, di mana sebagian besar penduduknya mungkin belum
mengetahui banyak informasi mengenai Down Syndrome dan retardasi
mental, para penderita gangguan ini mendapat perlakuan yang tidak
selayaknya. Perlakuan yang tidak layak dalam konteks ini adalah mungkin
dianggap gila oleh masyarakat atau tidak mendapat perawatan yang tepat. Hal
ini lah yang menghambat proses pengoptimalisasian potensi yang dimiliki
anak-anak dengan gangguan mental dan Down Syndrome.
Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam
kehidupan mereka. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai
program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja
yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat tergantung pada peran
serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab pada dasarnya keberhasilan
program tersebut bukan hanya merupakan tanggung jawab dari lembaga
pendidikan yang terkait saja. Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari
setiap anggota keluarga terutama orang tua akan memberikan ‘energi’ dan
kepercayaan dalam diri anak dan remaja yang terbelakang mental untuk lebih
berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini
akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan
pada bantuan orang lain. Sebaliknya, penolakan yang diterima dari orang-
orang terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri
dan menarik diri dari lingkungan, selalu diliputi oleh ketakutan ketika
berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada
akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi
secara sosial serta tergantung pada orang lain, termasuk dalam merawat diri
sendiri.
Jamaris (2005) berpendapat bahwa karakter dan integritas
perkembangan anak terbentuk pertama-tama di lingkungan keluarga. Di
lingkungan kecil itulah individu mengenal dan belajar tentang berbagai tata
nilai melalui pendidikan yang diberikan, tata nilai akan ditumbuhkembangkan
agar yang bersangkutan siap memasuki dunia nyata di luar kehidupan
keluarga. Wall (1993) berpendapat bahwa anak atau individu yang
3
mengalami retardasi mental memerlukan bantuan orang lain untuk menunjang
hubungan dengan individu lain agar dapat berjalan lancar. Peran orang tua
sangat dibutuhkan oleh anak yang mengalami retardasi mental. Anak-anak
tersebut memerlukan bimbingan dan arahan yang bijaksana dari orang tua.
Sebagai contohnya orang tua dapat menanamkan pengertian pada anak,
bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Bisono
(2003) seorang psikolog di Jakarta mengatakan bahwa orang tua yang
mempunyai anak cacat fisik atau mental memerlukan kesabaran dalam
membimbing anak tersebut, selain itu juga diperlukan pemahaman yang
mendalam mengenai pribadi anak. Dengan kesabaran dan pemahaman pribadi
anak, orang tua dapat membantu anak memiliki kepercayaan diri sehingga
anak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hurlock (1991)
menambahkan bahwa sikap positif orang tua terhadap anak yang memiliki
keterbelakangan mental akan membantu anak mampu memandang dirinya
secara realistis serta menilai kekuatan dan kelemahannya secara objektif.
Bantuan-bantuan yang dapat diberikan oleh orang tua menurut Hallahan dan
Kauffman (Wall, 1993) adalah bimbingan dan dorongan agar anak yang
mengalami retardasi mental dapat hidup mandiri. Oleh sebab itu, diperlukan
penanganan khusus dan keterlibatan orang tua agar anak retardasi mental
dapat berkembang secara optimal. Dayakisni dan Hudaniyah (2003)
berpendapat bahwa sikap dan kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua
dalam keluarga menunjukkan adanya kecenderungan yang mengarah pada
pola pengelolaan dan perawatan terhadap anak, sebagai usaha mencapai
kebahagiaan keluarga.
Berkaca dari keadaan para penderita baik gangguan mental maupun
Down Syndrome di luar negeri, eksistensi mereka di Indonesia pun dapat
dioptimalkan. Jika di luar di negeri kita sering mendengar mereka dapat
bersekolah, bekerja, bahkan di Rusia ada yang berhasil menjadi aktor, di
Indonesia pun tak ada kata tidak mungkin untuk melakukannya. Itu semua
tidak terlepas dari hasil pendidikan yang menerapakan nilai-nilai moral yang
didalamnya mencakup kedisiplinan, ketaatan, kejujuran kerja keras tanpa
pamrih dan sebagainya, sehingga mampu menghasilkan karya yang tidak
4
kalah dengan manusia normal. Bahkan dalam hal tata pergaulan di dalam
lingkungan masyarakat yang harus menerapkan aturan sopan santun, unggah-
ungguh, tata krama sebagai cerminan nilai moral, anak-anak cacat menurut
pangamatan sementara penulis tidak kalah kualitasnya dengan anak-anak
normal lainnya.
Permasalahan yang terjadi adalah anak-anak penderita retardasi
mental tersebut tidak mendapat perlakuan yang baik dari masyarakat
dikarenakan mereka dianggap anak yang tak punya moral, berkelakuan nakal,
dan tak ada manfaatnya bagi masyarakat, hal seperti ini banyak terjadi di
berbagai lingkungan masyarakat kota Kudus. Padahal mereka yaitu anak-anak
penderita retardasi mental bukanlah tidak bermoral atau berkelakuan nakal,
mereka hanya tidak bisa berpikir seperti anak-anak normal lainnya, mereka
juga butuh pendidikan dan bimbingan yang lebih untuk nantinya bermanfaat
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peran orang tua
disini sangat penting sekali karena merupakan orang terdekat bagi anak
penderita retardasi mental tersebut untuk dapat membantu mereka mengerti
dan memahami segala hal menyangkut kehidupan bermasyarakat serta nilai-
nilai moral yang ada sehingga nantinya mampu berinteraksi secara baik
dalam masyarakat.
Atas dasar kenyataan itu penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana
pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral yang memiliki anak
retardasi mental studi kasus di kabupaten kudus agar anak penderita retardasi
mental tersebut mampu berkembang secara optimal dengan baik.
III. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan
yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral pada
anak retardasi mental di Kec. Kota Kabupaten Kudus?
2. Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi orangtua dalam menanamkan
nilai moral pada anak retardasi mental?
5
IV. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang penulis kemukakan di
atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui bagaimana pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral
pada anak retardasi mental di Kec. Kota Kabupaten Kudus.
2. Mengetahui kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi orangtua dalam
menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental.
V. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
yaitu :
a. Menambah data tentang pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai
moral pada anak retardasi mental.
b. Menambah wawasan tentang penanaman nilai moral.
2. Secara Praktis
Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis yaitu
sebagai salah satu sumber dan sebagai bahan perbandingan bagi keluarga
dan orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat
mengenai anak retardasi mental sehingga bersikap dan berperilaku baik
pada anak-anak retardasi mental sebagaimana yang diinginkan oleh kita
semua.
4. Bagi Pengembangan Ilmu
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam membantu memberikan
pengetahuan dan mengembangkan pemahaman suatu pihak yang
berkepentingan dengan penanaman nilai moral.
6
VI. PENEGASAN ISTILAH
Penelitian ini mengambil judul “POLA ASUH ORANGTUA
DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK RETARDASI
MENTAL (STUDI KASUS DI KEC. KOTA KABUPATEN KUDUS).”
Untuk menghindari adanya kesalah penafsiran terhadap judul proposal
skripsi, membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti, sehingga mudah
dibaca, dipahami, dimengerti juga sebagai pedoman dalam pelaksanaan
penelitian maka perlu penegasan sebagai berikut:
A. Pola Asuh
Secara etimologi, pola berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh
berarti menjaga, merawat dan mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk
atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik.
B. OrangTua
Orangtua adalah ayah dan ibu yang melahirkan manusia baru ( anak )
serta mempunyai kewajiban untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak
tersebut guna menjadi generasi yang baik.
C. Nilai Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto
dinyatakan bahwa nilai adalah harga, hal-hal yang berguna bagi manusia.
Menurut Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga.
Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah
nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah
nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku
kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (K.Prent,
et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya moral diartikan
sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila (Amin
Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian itu dikatakan bahwa
moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan
baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral
7
yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-
kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.
Nilai moral adalah sesuatu yang dianggap baik dan digunakan sebagai
pedoman yang konkrit untuk bersifat dan mengukur baik buruknya sikap
perilaku seseorang.
D. Retardasi Mental
Retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan dimana seseorang
memiliki kemampuan mental yang tidak mencukupi (WHO). Retardasi
mental adalah kelainan fungsi intelektual yang subnormal terjadi pada masa
perkembangan dan berhubungan dengan satu atau lebih gangguan dari
maturasi, proses belajar dan penyesuaian diri secara sosial. RM adalah suatu
keadaan yang di tandai dengan fungsi intelektual berada di bawah normal,
timbul pada masa perkembangan/dibawah usia 18 tahun, berakibat lemahnya
proses belajar dan adaptasi sosial.
Retardasi mental diartikan sebagai kelemahan/ketidakmampuan
kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum usia 18 tahun) ditandai
dengan fungsi kecerdasan di bawah normal (IQ 70 – 75 atau kurang), dan
disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut :berbicara dan
berbahasa;ketrampilan merawat diri, ADL; ketrampilan sosial; penggunaan
sarana masyarakat; kesehtan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja
dan rileks, dll.
VII.CARA PEMECAHAN MASALAH
Penerapan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini merupakan salah
satu solusi untuk memecahkan permasalahan pola asuh orang tua dalam hal
menanamkan nilai moral yang memiliki anak retardasi mental. Cara
pemecahan masalah melalui pendekatan kualitatif ditujukan untuk
mengetahui aktivitas serta mengumpulkan data berdasarkan pengamatan
situasi yang wajar (alamiah) sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi atau
dimanipulasi. Instrument yang digunakan untuk mengambil data aktivitas
siswa berupa lembar observasi.. Selain itu juga dilengkapi dengan data
8
sekunder yang berupa data keluarga, orang tua dan keterangan jenis retardasi
mental yang dialami anak serta dokumentasi penelitian.
VIII. LANDASAN TEORI
A. Pola Asuh OrangTua
1. Pengertian Pola Asuh Orangtua
Mussen berpendapat bahwa pola asuh orangtua adalah suatu cara
yang digunakan orangtua dalam mencoba berbagai strategi untuk
mendorong anak-anaknya mencapai tujuan yang diinginkan. Dimana
tujuan tersebut antara pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku
yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti (Mussen, 1994:395). Dari
pendapat Mussen tentang pola asuh orangtua, mengatakan bahwa pola
asuh merupakan cara orangtua yang diterapkan pada anak. Dalam hal ini
menyangkut berbagai macam cara orangtua dalam mendidik anak
menuju suatu tujuan tertentu.
Wahyuni menjelaskan, bahwa pola asuh adalah model dan cara
pemberian perlakuan seseorang kepada orang lain dalam suatu
lingkungan sosial, atau dengan kata lain pola asuh adalah model dan cara
dari orangtua memperlakukan anak dalam suatu lingkungan keluarganya
sehari-hari, baik perlakuan yang berupa fisik maupun psikis (Gunarsa,
1976:144). Pola asuh orangtua menurut Wahyuni merupakan suatu
pemberian model polaa asuh dalam lingkungan sehari-hari. Dimana
pemberian model itu juga terdapat perlakuan. Perlakuan fisik dan psikis.
Menurut Wahyuni, sikap orangtua dalam mengasuh dan mendidik
anak dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor diantaranya pengalaman
masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap
orangtua mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orangtua, tipe kepribadian
dari orangtua, kehidupan perkawinan oranhgtua dan alasan orangtua
mempunyai anak (Gunarsa, 1976:144).
Dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pola asuh orangtua
adalah pola interaksi antara orangtua dengan anak, yang mana pola asuh
orangtua tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
9
pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun
sikap orangtua mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orang tua, tipe
kepribadian dari orangtua, kehidupan perkawinan orangtua dan alasan
orangtua mempunyai anak, dengan tujuan untuk mendidik dengan cara
mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap
paling tepat oleh orangtua pada anak, agar anak dapat mandiri, tumbuh
serta berkembang secara sehat dan optimal dalam lingkungannya. Dalam
pola asuh orangtua tersebut terdapat pola asuh otoriter, pola asuh
demokratis, dan pola asuh permisif.
2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua
Bolsom menyatakan bahwa pola asuh dapat digolongkan dalam
tiga macam, yakni (Andri, Winarti dan Utami, 2001:71) :
a. Pola Asuh Otoriter
Orangtua berada pada posisi arsitek. Orangtua dengan cermat
memutuskan bagaimana individu harus berperilaku, memberikan
hadiah atau hukuman agar perintah orangtua ditaati. Tugas dan
kewajiban orangtua tidak sulit, tinggal menentukan apa yang
diinginkan dan harus dikerjakan atau yang tidak boleh dikerjakan oleh
anak-anak mereka.
Pada pola asuh otoriter ini anak hanya dianggap sebagi objek
pelaksana saja dan orangtua yang berkuasa menentukan segala sesuatu
untuk anak. Jika anak menentang atau membantah, maka orangtua
tidak segan memberikan hukuman. Dalam hal ini kebebasan anak
sangat dibatasi. Apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan
keinginan orangtua. Pada pola asuh ini akan terjadi komunikasi satu
arah. Orangtua yang memberikan tugas dan menentukan berbagai
aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah
yang diberikan berorientasi pada sikap keras orangtua. Karena
menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan
tugas dan kewajibannya.
10
b. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang
memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu
tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara
orangtua dan anak (Gunarsa, 1995:84). Bisa dikatakan bahwa, pola
asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk
mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan
tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan
orangtua.
Fromm berpendapat, bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga
yang bersuasana demokratis, perkembangannya lebih luwes dan dapat
menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan
dalam suasana otoriter, memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang
harus ditakuti dan bersifat magi (rahasia). Hal tersebut mungkin
menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau
justru sikap menentang kekuasaan (Ahmadi, 1991:180).
Pola asuh demokratis ini ditandai dengan adanya sikap terbuka
antara orangtua dan anak. Orangtua dan anak membuat aturan-aturan
yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan
pendapat, perasaan dan keinginannya. Pada pola asuh ini terdapat
komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. Orangtua bersikap
sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak.
Orangtua memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang
dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak. Sehingga pada
pola asuh demokratis ini dapat tercipta suasana komunikatif serta dapat
tercipta keharmonisan antara orangtua, anak, dan sesame keluarga.
Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol
terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh
masyarakat.
c. Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini ditandai dengan orangtua yang tidak pernah
memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Serta adanya kebebasan
11
pada anak tanpa batas untuk berperilaku sesuai dengan keinginan anak.
Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan
orangtua.
Pada pola asuh ini anak adalah subjek yang dapat bertindak dan
berbuat menurut hati nuraninya. Anak dipandang sebagai makhluk
hidup yang berpribadi bebas. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada
anak. Orangtua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri
apa yang diinginkannya. Orangtua yang seperti ini cenderung kurang
perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola asuh ini cenderung
membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, tergantung dan
bersifat kekanak-kanakan secara emosional.
3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua
Menurut Wahyuni, dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap
orangtua dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh
ataupun sikap orangtua mereka, tipe kepribadian orangtua, nilai-nilai
yang dianut orangtua, kehidupan perkawinan orangtua dan alasan
orangtua mempunyai anak (Gunarsa, 1976:144).
Mindel menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terbentuknya pola asuh orangtua, diantaranya :
a. Budaya Setempat
Lingkungan Masyarakat di sekitar tempat tinggal memiliki peran
yang cukup besar dalam membentuk pola pengasuhan orangtua
terhadap anak. Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma, adat,
dan budaya yang berkembang di dalamnya.
b. Ideologi yang berkembang dalam diri orangtua
Orangtua mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu cenderung
menurunkan pada ank-anaknya dengan harapan bahwa anantinya
nilai dan ideologi tersebut dapat tertanam dan dikembvangkan oleh
anak dikemudian hari.
12
c. Letak geografis norma etis
Dalam hal ini, letak suatu daerah serta norma etis yang
berkembang dalam masyarakat memiliki nperan yang cukup besar
dalam membentuk pola asuh yang nantinya diterapkan orangtua
terhadap anak. Penduduk pada dataran tinggi memiliki perbedaan
karakteristik dengan penduduk dataran rendah sesuai dengan
tuntutan serta tradisi yang berkembang pada tiap-tiap daerah.
d. Orientasi religius
Orientasi religius dapat menjadi pemicu diterapkannya pola asuh
dalam keluarga. Orangtua yang menganut agama dan keyakinan
religius tertentu senantiasa berusaha agar anak nantinya juga
mengikuti agama dan keyakinan religius tersebut.
e. Status ekonomi
Status ekonomi juga mempengaruhi pola asuh yang nantinya akan
diterapkan oleh orangtua pada anaknya. Dengan perekonomian
yang cukup, kesempatan dan fasilitas yang diberikan serta
lingkungan material yang mendukung cenderung mengarahkan
pola asuh orangtua menuju perlakuan tertentu yang dianggap
sesuai oleh orangtua.
f. Bakat dan kemampuan orangtua
Orangtua yang mempunyai kemampuan dalam komunikasi dan
berhubungan dengan tepat dengan anak, cenderung
mengembangkan pola asuh sesuai dengan diri anak tersebut.
g. Gaya hidup
Norma yang dianut dalam kehidupan sehari-hari sangat
dipengaruhi faktor lingkungan yang nantinya akan
mengembangkan suatu gaya hidup. Gaya hidup masyarakat di desa
dan di kota besar memiliki berbagai macam perbedaan dan cara
yang berbeda pula dalam interaksi serta hubungan orangtua dan
anak. Sehingga nantinya hal tersebut juga mempengaruhi pola asuh
yang diterapkan orangtua terhadap anak (Walker, 1992:3).
13
B. Nilai
Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia, karena
itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur
tingkah laku. Nilai itu sifatnya sama dengan ide, maka nilai itu abstrak,
bahwa nilai itu tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, yang dapat dilihat
adalah obyek yang mempunyai nilai atau tingkah laku yang mengandung
nilai. Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diinginkan oleh
manusia. Karena itu nilai tersebut bersifat normatif, merupakan
keharusan (das sollen) untuk diwujudkan dalam tingkah laku kehidupan
manusia.
Menurut Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu
yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai
aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang,
sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Kohlberg mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai
obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai
yang bersifat instrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa
secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat
kebenaran, keindahan dan keadilan. Adapaun nilai subyektif yaitu nilai
yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu,
tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Zubaidi (2005 : 4) diantara nilai-nilai yang perlu
ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lembut, beriman dan
bertaqwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang
rasa, jujur mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai
karya orang lain, kasih sayang, mempunyai rasa malu, rasa percaya diri,
rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat, kebersamaan, setia, sportif,
taat, takut bersalah, tawakkal, tega, tekun, tepat janji, terbuka dan ulet.
14
C. Moral
Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari
suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak
(K.Prent, et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya
moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik,
yang susila (Amin Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian
itu dikatakan bahwa moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang
individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku
sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku
individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan
dikatakan jelek secara moral.
Sedangkan Lickona dalam bukunya Educating for Character
(dalam Paul Suparno, Dkk. 2002) menekankan pentingnya
memperhatikan juga unsur dalam menanamkan nilai moral, yaitu :
1. Pengertian atau pemahaman moral
Yaitu kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa
orang harus melakukan suatu pengambilan keputusan yang
berdasarkan nilai-nilai moral.
2. Perasaan moral
Perasaan moral, lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik
dan tidak baik perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati
terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan moral.
Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat
baik. Oleh sebab itu, perasaan moral perlu diajarkan dan
dikembangkan dengaqn memupuk perkembangan hati nurani dan
sikap empati.
3. Tindakan moral
Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan
dan perasaan moral kedalam perilaku-perilaku nyata.
Dari Drs. D. A. Wila Huky B.A. mengatakan : kita dapat
memahami moral dengan tiga cara :
15
1) Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri
pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai
yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam
lingkungannya.
2) Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan
warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia
didalam lingkungan tertentu.
3) Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik
berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
Menurut Zubaidi (2005:10) proses penanaman nilai moral yang
dianggap cocok diterapkan untuk anak-anak adalah model pembelajaran
yang berdasarkan pada interaksi sosial (model interaksi) yang
berdasarkan pada prinsip-prinsip :
a) Dari mudah ke sukar
b) Dari sederhana ke rumit
c) Dari yang bersifat konkrit ke abstrak
d) Menekankan pada lingkungan yang paling dekat dengan anak
sampai pada lingkungan masyarakat yang lebih luas.
D. Retardasi Mental
Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of
Mental Disorder (DSM-IV-TRTM, 2000, h.41) ) Retadarsi mental
merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang secara
signifikan dibawah rata-rata ( IQ kira-kira 70 atau lebih rendah ) yang
bermula sebelum usia 18 tahun disertai penurunan fungsi adaptif. Fungsi
adaptif ialah kemampuan individu tersebut untuk secara efektif
menghadapi kebutuhan untuk mandiri yang dapat diterima oleh
lingkungan sosialnya.
Klasifikasi retardasi mental berdasarkan hasil pertemuan
American Psychiatric Accociation (APA) di Washinghton 1994
(Lumbantobing, 2001, h. 5-7) yaitu:
1) Retardasi mental ringan (IQ antara 50-55 sampai 70 skala Weschler)
16
Penderita retardasi mental ringan merupakan kelompok dari
penderita retardasi mental yang dapat di didik (educable).
2) Retardasi mental sedang (IQ antara 35-40 atau 50-55 skala
Weschsler)
Penderita retardasi mental sedang setara dengan kelompok
biasa disebut dapat dilatih (trainable). Kelompok ini terdiri dari
sekitar 10% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental.
3) Retardasi Mental berat (IQ antara 20-25 atau 35-40 skala Weschler)
Kelompok retardasi mental ini berjumlah sekitar 3-4 % dari
jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Kemampuan
berkomunikasi mereka dengan bahasa sangat sedikit.
4) Retardasi mental sangat berat (IQ kurang dari 20-25 skala Weschler)
Kelompok retardasi mental sangat berat berjumlah sekitar 1-
2% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Penderita
menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensori motor.
Perkembangan motorik dan mengurus diri serta kemampuan
komunikasi dapat dengan latihan-latihan yang kuat.
Aspek penyesuaian sosial meliputi perilaku nyata yang
ditampilkan, penyesuaian sosial terhadap berbagai kelompok, sikap
sosial dan kepuasan pribadi. Hal ini penting bagi individu usia dewasa
awal untuk berinteraksi dengan keadaan rumah, sekolah dan masyarakat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial, yaitu pola asuh
orang tua, teman, penerimaan diri, pendidikan anak, determinan
psikologi, kondisi lingkungan, wawasan sosial, dan budaya setempat.
American Association on Intellectual and Developmental
Disabilities (AAID) pada tahun 2007, mengategorikan penyesuaian diri
yang adaptif pada penyandang retardasi mental yaitu:
1. Aktivitas Sosial
a. Sosialisasi di dalam keluarga.
b. Dapat berekreasi dan mampu menjalani aktivitas untuk
kesenangan.
c. Pembuatan keputusan seksual yang sesuai.
17
d. Dapat bersosialisasi di luar keluarga.
e. Mencari dan memelihara pertemanan.
f. Dapat memberi tahu tentang kebutuhan pribadinya.
g. Dapat bekerja yang ringan dan mengisyaratkan hubungan dengan
lawan jenis.
h. Menawarkan bantuan dan membantu orang lain.
2. Aktivitas Tingkah laku
a.Mempelajari perilaku atau ketrampilan spesifik.
b. Mempelajari pembuatan keputusan yang sesuai dengan situasi.
c.Mendapat Akses dan memperoleh perawatan kesehatan mental.
d. Menentukan pilihan pribadinya (mandiri) ke dalam aktivitas
harian.
e.Perilaku yang sesuai dengan norma atau aturan di dalam
masyarakat.
f. Dapat mengendalikan kemarahan dan aggresi.
3. Aktivitas Keluarga
a.Dapat menggunakan toilet sendiri.
b. Dapat mencuci pakaian secara sendiri.
c.Dapat menyiapkan dan makan makanan secara mandiri.
d. Dapat menjalani pekerjaan rumah tangga seperti, membersihkan
membersihkan rumah.
e.Mandi dan menjaga kesehatan pribadi dan mengurus kebutuhan.
f. Dapat mengoperasikan peralatan rumah dan teknologi.
g. Ambil bagian dalam aktivitas kesenangan di dalam rumah.
E. Kendala Dalam Penanaman Nilai Moral
Permasalahan penyandang cacat menurut Pola Dasar
Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial adalah
adanya gangguan fisik dan mobilitas dalam melakukan kegiatan sehari-
hari, gangguan keterampilan kerja yang produktif, rawan kondisi sosial
ekonomi, gangguan mental psikologis, seperti rendah diri, terisolasi dan
kurang percaya diri, hambatan melaksanakan fungsi sosial, seperti tidak
18
mampu bergaul, berkomunikasi secara wajar, tidak mampu
berpartisipasi dan lebih banyak tergantung pada orang lain
(Mangunsong, 1998, h.111).
Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan
yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang
cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang. Hal ini sebagai
dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali
oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah
tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan
bertanggung jawab. (Sulis Styawan, 2007)
Melihat kondisi banyaknya penyimpangan moral di kalangan
anak-anak keterbelakangan mental ini, menjadikan tugas dan kewajiban
orang tua sebagai orang yang paling berpengaruh dalam keluarga dalam
menanamkan nilai moral menjadi sangat rumit.
Kesadaran dalam berperilaku atau bersikap moral dalam
kehidupan sehari-hari sudah jarang kita temui, itulah beberapa kendala
atau dampak yang tengah dialami oleh para orang tua dalam
menanamkan nilai moral pada anak-anaknya. Maka untuk itu perlu
untuk menentukan strategi menenamkan nilai moral yang optimal dan
mengetahui karakteristik anak.
IX. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus
merupakan metode penelitian kualitatif yang timbul dari keinginan untuk
dapat memahami beberapa fenomena yang bersifat kompleks, dalam
konteks yang sebenarnya (Hendriani, 2006). Metode studi kasus adalah
dengan mengamati secara mendalam pada subjek penelitian, digunakan
untuk keperluan psikologi klinis karena individu memiliki aspek unik
dari dirinya yang tidak dapat ditiru (individual differences).
19
Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif bukan data-data
yang berupa angka-angka melainkan kata-kata yang bersifat kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti mengumpulkan data berdasarkan
pengamatan situasi yang wajar (alamiah) sebagaimana adanya tanpa
dipengaruhi atau dimanipulasi. (Kaelan, 2005 : 18).
Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data deskriptif dan
bukan menggunakan angka-angka sebagai alat metode utamanya, data-
data yang dikumpulkan berupa teks, kata-kata, simbol gambar, walaupun
demikian juga dapat dimungkinkan terkumpulnya data-data yang bersifat
kuantitatif (Kaelan, 2005 : 20).
B. Subjek Penelitian dan Informan
Peneliti mencari subjek penelitian dengan menggunakan teknik
sampling purposif. Teknik sampling ini dapat langsung mengarahkan
peneliti pada karakteristik subjek penelitian secara lebih pasti, sehingga
informasi yang dikumpulkan benar-benar relevan dengan tujuan awal
penelitian. Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : subjek
kasus dan subjek informan. Adapun karakteristik subjek kasus dalam
penelitian ini adalah :
1. Subjek berumur 7-12 tahun untuk perempuan maupun untuk laki-laki.
Dengan pertimbangan bahwa individu dengan usia yang sudah bisa
dikatakan mampu berinteraksi dengan masyarakat luar.
2. Subjek adalah seorang penyandang retardasi mental ringan dan
sedang, yang memenuhi ketentuan-ketentuan diagnosis penyandang
retardasi mental ringan atau sedang, tidak memiliki gangguan
psikopatologis lainnya seperti autis.
Setelah mendapatkan subjek kasus, langkah berikutnya adalah
mencari beberapa subjek informan yang akan dijadikan sebagai sumber
informasi yang bersifat utama di dalam penelitian ini. Subjek penelitian
dengan syarat sebagai berikut:
20
1. Orangtua subjek, yaitu baik orangtua kandung maupun orangtua
angkat anak retardasi mental yang masih mengasuh secara langsung
anak tersebut
2. Mengenal subjek dalam kehidupan kesehariannya minimal selama dua
tahun. Yaitu saudara dan tetangga subjek kasus
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana seorang peneliti
melakukan penelitian atau tempat dimana penelitian tersebut dilakukan.
Lokasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah di daerah Kabupaten
Kudus.
D. Fokus penelitian
Fokus penelitian ini adalah bagaimana cara-cara yang dilakukan
di sebagian keluarga di daerah kabupaten kudus dalam menanamkan nilai
moral pada anaknya yang mengalami retardasi mental. Fokus berarti
penentuan keliasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Dalam
pemikiran fokus terliput didalamnya perumusan latar belakang studi dan
permasalahan (Maman Rahman : 1999).
Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :
1. Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam menanamkan nilai moral
pada anaknya penderita retardasi mental.
2. Kendala yang menghambat dalam penanaman nilai moral yang
diterapkan orangtua tersebut.
E. Sumber data penelitian
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subjek
dari mana data dapat diperoleh (Arikunto 1998 : 114). Yang menjadi
sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data Primer
Yaitu data-data yang bersumber dari hasil wawancara dengan
informen. Informen yaitu orang yang dimanfaatkan informasi tentang
21
situasi dan kondisi latar penelitian. (Moleong, 2004 : 157).
Sedangkan menurut Kaelan (2005 : 148) sumber data primer adalah
buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan objek material.
Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah :
a. Anak penderita retardasi mental
b. Orang tua
c. Saudara, Tetangga atau Masyarakat sekitar keluarga anak penderita
retardasi mental
2. Data Sekunder
Dilihat dari segi sumber data, sumber tertulis dibagi atas sumber
buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan
dokumen resmi (Moleong, 2006 : 159). Sumber data sekunder adalh
catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil (Kaelan,
2005 : 6).
Data-data yang merupakan sumber data sekunder yang
mendukung dalam penelitian ini yaitu :
a. Dokumentasi meliputi : sumber buku kepustakaan
b. Pengamatan observasi
c. Foto
F. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Observasi
Yaitu suatu usaha dasar untuk mengumpulkan data yang
dilakukan secara sistematis, dengan prosedur yang terstandar
(Moleong, 2004 : 197). Metode observasi ini menggunakan
pengamatan atau penginderaan secara langsung terhadap suatu benda,
kondisi, situasi atau perilaku obyek yang diteliti. Peneliti melakukan
observasi partisipasi dengan maksud untuk memperoleh data yang
lengkap dan rinci mengenai bagaimana upaya yang dilakukan
22
keluarga anak penderita retardasi mental dalam menanamkan nilai
moral pada anaknya.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,
percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang
mengajukan pertannyaan dan yang di wawancarai yang memberikan
jawaban atas pertannyaan itu (Moleong, 2004 : 186 :135).
Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah :
a. Penanaman nilai moral yang diterapkan keluarga pada anaknya
penyandang retardasi mental.
b. Kendala yang dihadapi keluarga dalam menanamkan nilai moral
pada anaknya penyandang retardasi mental.
3. Dokumentasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2002 : 206) yang dimaksud metode
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel-
variabel yang berupa catatan-catatan, transkip, buku surat kabar, dan
sebagainya. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sumber
data, karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data
dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.
(Moleong, 2004 : 217)
Dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data tambahan
sehingga diperoleh diskripsi yang komprehensif. Dalam penelitian ini
metode dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data
tertulis yang ada dalam keluarga kaitannya dengan penelitian ini, serta
literatur-literatur yang lain yang mendukung penelitian ini.
4. Metode Diskriptif
Metode diskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu
objek, baik berupa nilai-nilai budaya manusia, sistem pemikiran
filsafat, nilai-nilai etika, nilai-nilai karya seni sekelompok manusia,
23
peristiwa atau objek budaya lainnya (Kaelan, 2005 : 58). Menurut
Whitney dalam bukunya Kaelan (2995 : 58) metode diskriptif adalah
pencairan fakta dengan interpretasi yang tepat dan sistematis.
Tujuan dari penelitian dengan menggunakan metode diskriptif
adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sisitematis dan obyektif mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri,
serta hubungan diantara unsur-unsur yang ada atau fenomena tertentu.
(Kaelan, 2005 : 58).
Menurut Maman Rahman (1999 : 25) penelitian diskriptif
mempunyai tujuan untuk membuat pencandraan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat populasi atau
daerah tertentu.
G. Uji Validitas Data
Untuk memeriksa validitas data yang diperoleh dalam penelitian
ini menggunakan tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Denzin (dalam Moleong, 2004) membedakan empat macam
triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber,
metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini dari keempat macam
triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan
dengan memanfaatkan sumber.
Menurut Patton dalam Moleong (2006 : 178) trianggulasi dengan
sumber berarti membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan
sesuatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berada
dalam metode kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka
ditempuh langkah sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang secara umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
24
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
H. Metode Analisis Data
Metode analisis data menurut paton dalam Moleong (2006 ; 103)
adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu
pola, kategori dan satuan uraian dasar. Pekerjaan analisis data dalam hal
ini adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode,
dan mengkategorikannya. Analisis data yang baik dan urut
memungkinkan data hasil penelitian mudah dipahami oleh orang lain.
Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah
metode kualitatif.
Menurut Milles Huberman (1992 : 20) tahapan analisis data
adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan data
Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya
sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan.
2. Reduksi data
Yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.
Dimana reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi. Data-data yang telah direduksi memberikan
gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan.
3. Penyajian data
Merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam
25
bentuk matriks, networks, chart, atau grtafis. Sehingga peneliti dapat
menguasai data.
4. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang
diperoleh. Untuk itu, peneliti berusaha mencari pola, model, tema,
hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan
sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan
cara mengumpulkan data baru. Dalam mengambil keputusan,
didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan
jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Verifikasi
adalah berupa penarikan kembali yang melintas dalam pikiran
penganalisis selama penyimpulan, suatu tinjuan ulang pada catatan-
catatan lapangan, dan meminta responden yang telah dijaring datanya
untuk membaca kesimpulan yang telah disimpulkan oleh peneliti.
Maka makna-makna yang muncul sebagai kesimpulan data teruji
kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya.
26
X. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta.
Lawrence, Kohlberg. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Kanisius : Yogyakarta.
Lexy Moelong. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT remaja Rosdakarya Bandung
Milles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. UI PRESS. Jakarta.
Rahman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian Kualitatif. Semarang : IKIP PRESS Semarang.
27