revisi ke-3 proposal skripsi rizal

42
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG FAKULTAS ILMU SOSIAL PROPOSAL SKRIPSI (REVISI) Disusun untuk memenuhi tugas Seminar Proposal Skripsi Dosen Pengampu : Drs. Slamet Sumarto, M.Pd. Diajukan Oleh: Nama : Rizal Akhmad Prasetyo NIM : 3301409100 Jurusan : Hukum dan Kewarganegaraan Prodi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan I. JUDUL POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK RETARDASI MENTAL (STUDI KASUS DI KEC. KOTA KABUPATEN KUDUS) II. LATAR BELAKANG Tidak semua individu dilahirkan dalam kondisi yang “normal”. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa perkembangan. Keterbelakangan mental adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai tempat, dengan karakteristik penderitanya yang memiliki 1

Upload: rizals-akhmad

Post on 24-Jul-2015

341 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL

PROPOSAL SKRIPSI (REVISI)

Disusun untuk memenuhi tugas Seminar Proposal Skripsi

Dosen Pengampu : Drs. Slamet Sumarto, M.Pd.

Diajukan Oleh:

Nama : Rizal Akhmad Prasetyo

NIM : 3301409100

Jurusan : Hukum dan Kewarganegaraan

Prodi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

I. JUDUL

POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL

PADA ANAK RETARDASI MENTAL (STUDI KASUS DI KEC. KOTA

KABUPATEN KUDUS)

II. LATAR BELAKANG

Tidak semua individu dilahirkan dalam kondisi yang “normal”.

Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis,

yang telah dialami sejak awal masa perkembangan. Keterbelakangan mental

adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai tempat,

dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah

rata-rata (IQ di bawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi

maupun melakukan berbagai aktivitas sosial di lingkungan. Individu dengan

keterbelakangan mental memiliki fungsi intelektual umum yang secara

signifikan berada di bawah rata-rata, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan

berkaitan serta memberikan pengaruh terhadap terjadinya gangguan perilaku

selama periode perkembangan (Hallahan & Kauffman, 1988). Prevalensi

penderita keterbelakangan mental di Indonesia saat ini diperkirakan telah

1

Page 2: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

mencapai satu sampai dengan tiga persen dari jumlah penduduk seluruhnya,

dan jumlah tersebut dimungkinkan akan terus bertambah dari tahun ke tahun.

Terlepas dari bagaimanapun kondisi yang dialami, pada dasarnya

setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaan

dalam hidupnya. Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam

lingkungan yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang

mengalami keterbelakangan mental. Akan tetapi realita yang terjadi tidaklah

selalu demikian. Di banyak tempat, baik secara langsung maupun tidak,

individu berkebutuhan khusus ini cenderung ‘disisihkan’ dari lingkungannya.

Penolakan terhadap mereka tidak hanya dilakukan oleh individu lain di

sekitar tempat tinggalnya, namun beberapa bahkan tidak diterima dalam

keluarganya sendiri. Beragam perlakuan pun dirasakan oleh mereka. Mulai

dari penghindaran secara halus, penolakan secara langsung, sampai dengan

sikap-sikap dan perlakuan yang cenderung kurang manusiawi. Padahal apa

yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka hanyalah hambatan pada

perkembangan intelektualnya.

Anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental tetap

memiliki kemampuan lain yang masih dapat dikembangkan dan dioptimalkan

untuk membantunya beraktivitas seperti orang normal, dan memberikan peran

tertentu di masyarakat meskipun terbatas. Anak yang memiliki

keterbelakangan mental atau down syndrome seharusnya diperlakukan sama

dengan anak normal lainnya. Jika diberi kesempatan, mereka bisa percaya diri

dan berprestasi. Individu yang mengalami keterbelakangan mental masih

dapat mempelajari berbagai ketrampilan hidup apabila orang-orang di

sekitarnya memberikan kesempatan dan dukungan yang dibutuhkan. Hal ini

sejalan dengan pernyataan Ismed Yusuf dalam Majalah Psikiatri Jiwa

(Sembiring, 2002) bahwa masih ada bagian intelektual anak dengan

keterbelakangan mental yang dapat dikembangkan dengan suatu tindakan

atau penanganan khusus. Penanganan khusus yang dimaksud ditujukan untuk

mengembangkan kemampuan intelektualnya agar dapat mencapai

kemampuan adaptasi yang juga optimal.

2

Page 3: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

Banyak wilayah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang jauh

dari pusat kota, di mana sebagian besar penduduknya mungkin belum

mengetahui banyak informasi mengenai Down Syndrome dan retardasi

mental, para penderita gangguan ini mendapat perlakuan yang tidak

selayaknya. Perlakuan yang tidak layak dalam konteks ini adalah mungkin

dianggap gila oleh masyarakat atau tidak mendapat perawatan yang tepat. Hal

ini lah yang menghambat proses pengoptimalisasian potensi yang dimiliki

anak-anak dengan gangguan mental dan Down Syndrome.

Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam

kehidupan mereka. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai

program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja

yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat tergantung pada peran

serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab pada dasarnya keberhasilan

program tersebut bukan hanya merupakan tanggung jawab dari lembaga

pendidikan yang terkait saja. Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari

setiap anggota keluarga terutama orang tua akan memberikan ‘energi’ dan

kepercayaan dalam diri anak dan remaja yang terbelakang mental untuk lebih

berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini

akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan

pada bantuan orang lain. Sebaliknya, penolakan yang diterima dari orang-

orang terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri

dan menarik diri dari lingkungan, selalu diliputi oleh ketakutan ketika

berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada

akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi

secara sosial serta tergantung pada orang lain, termasuk dalam merawat diri

sendiri.

Jamaris (2005) berpendapat bahwa karakter dan integritas

perkembangan anak terbentuk pertama-tama di lingkungan keluarga. Di

lingkungan kecil itulah individu mengenal dan belajar tentang berbagai tata

nilai melalui pendidikan yang diberikan, tata nilai akan ditumbuhkembangkan

agar yang bersangkutan siap memasuki dunia nyata di luar kehidupan

keluarga. Wall (1993) berpendapat bahwa anak atau individu yang

3

Page 4: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

mengalami retardasi mental memerlukan bantuan orang lain untuk menunjang

hubungan dengan individu lain agar dapat berjalan lancar. Peran orang tua

sangat dibutuhkan oleh anak yang mengalami retardasi mental. Anak-anak

tersebut memerlukan bimbingan dan arahan yang bijaksana dari orang tua.

Sebagai contohnya orang tua dapat menanamkan pengertian pada anak,

bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Bisono

(2003) seorang psikolog di Jakarta mengatakan bahwa orang tua yang

mempunyai anak cacat fisik atau mental memerlukan kesabaran dalam

membimbing anak tersebut, selain itu juga diperlukan pemahaman yang

mendalam mengenai pribadi anak. Dengan kesabaran dan pemahaman pribadi

anak, orang tua dapat membantu anak memiliki kepercayaan diri sehingga

anak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hurlock (1991)

menambahkan bahwa sikap positif orang tua terhadap anak yang memiliki

keterbelakangan mental akan membantu anak mampu memandang dirinya

secara realistis serta menilai kekuatan dan kelemahannya secara objektif.

Bantuan-bantuan yang dapat diberikan oleh orang tua menurut Hallahan dan

Kauffman (Wall, 1993) adalah bimbingan dan dorongan agar anak yang

mengalami retardasi mental dapat hidup mandiri. Oleh sebab itu, diperlukan

penanganan khusus dan keterlibatan orang tua agar anak retardasi mental

dapat berkembang secara optimal. Dayakisni dan Hudaniyah (2003)

berpendapat bahwa sikap dan kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua

dalam keluarga menunjukkan adanya kecenderungan yang mengarah pada

pola pengelolaan dan perawatan terhadap anak, sebagai usaha mencapai

kebahagiaan keluarga.

Berkaca dari keadaan para penderita baik gangguan mental maupun

Down Syndrome di luar negeri, eksistensi mereka di Indonesia pun dapat

dioptimalkan. Jika di luar di negeri kita sering mendengar mereka dapat

bersekolah, bekerja, bahkan di Rusia ada yang berhasil menjadi aktor, di

Indonesia pun tak ada kata tidak mungkin untuk melakukannya. Itu semua

tidak terlepas dari hasil pendidikan yang menerapakan nilai-nilai moral yang

didalamnya mencakup kedisiplinan, ketaatan, kejujuran kerja keras tanpa

pamrih dan sebagainya, sehingga mampu menghasilkan karya yang tidak

4

Page 5: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

kalah dengan manusia normal. Bahkan dalam hal tata pergaulan di dalam

lingkungan masyarakat yang harus menerapkan aturan sopan santun, unggah-

ungguh, tata krama sebagai cerminan nilai moral, anak-anak cacat menurut

pangamatan sementara penulis tidak kalah kualitasnya dengan anak-anak

normal lainnya.

Permasalahan yang terjadi adalah anak-anak penderita retardasi

mental tersebut tidak mendapat perlakuan yang baik dari masyarakat

dikarenakan mereka dianggap anak yang tak punya moral, berkelakuan nakal,

dan tak ada manfaatnya bagi masyarakat, hal seperti ini banyak terjadi di

berbagai lingkungan masyarakat kota Kudus. Padahal mereka yaitu anak-anak

penderita retardasi mental bukanlah tidak bermoral atau berkelakuan nakal,

mereka hanya tidak bisa berpikir seperti anak-anak normal lainnya, mereka

juga butuh pendidikan dan bimbingan yang lebih untuk nantinya bermanfaat

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peran orang tua

disini sangat penting sekali karena merupakan orang terdekat bagi anak

penderita retardasi mental tersebut untuk dapat membantu mereka mengerti

dan memahami segala hal menyangkut kehidupan bermasyarakat serta nilai-

nilai moral yang ada sehingga nantinya mampu berinteraksi secara baik

dalam masyarakat.

Atas dasar kenyataan itu penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana

pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral yang memiliki anak

retardasi mental studi kasus di kabupaten kudus agar anak penderita retardasi

mental tersebut mampu berkembang secara optimal dengan baik.

III. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan

yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral pada

anak retardasi mental di Kec. Kota Kabupaten Kudus?

2. Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi orangtua dalam menanamkan

nilai moral pada anak retardasi mental?

5

Page 6: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

IV. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang penulis kemukakan di

atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui bagaimana pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral

pada anak retardasi mental di Kec. Kota Kabupaten Kudus.

2. Mengetahui kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi orangtua dalam

menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental.

V. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

yaitu :

a. Menambah data tentang pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai

moral pada anak retardasi mental.

b. Menambah wawasan tentang penanaman nilai moral.

2. Secara Praktis

Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis yaitu

sebagai salah satu sumber dan sebagai bahan perbandingan bagi keluarga

dan orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental.

3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat

mengenai anak retardasi mental sehingga bersikap dan berperilaku baik

pada anak-anak retardasi mental sebagaimana yang diinginkan oleh kita

semua.

4. Bagi Pengembangan Ilmu

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam membantu memberikan

pengetahuan dan mengembangkan pemahaman suatu pihak yang

berkepentingan dengan penanaman nilai moral.

6

Page 7: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

VI. PENEGASAN ISTILAH

Penelitian ini mengambil judul “POLA ASUH ORANGTUA

DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK RETARDASI

MENTAL (STUDI KASUS DI KEC. KOTA KABUPATEN KUDUS).”

Untuk menghindari adanya kesalah penafsiran terhadap judul proposal

skripsi, membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti, sehingga mudah

dibaca, dipahami, dimengerti juga sebagai pedoman dalam pelaksanaan

penelitian maka perlu penegasan sebagai berikut:

A. Pola Asuh

Secara etimologi, pola berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh

berarti menjaga, merawat dan mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk

atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik.

B. OrangTua

Orangtua adalah ayah dan ibu yang melahirkan manusia baru ( anak )

serta mempunyai kewajiban untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak

tersebut guna menjadi generasi yang baik.

C. Nilai Moral

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto

dinyatakan bahwa nilai adalah harga, hal-hal yang berguna bagi manusia.

Menurut Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga.

Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah

nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah

nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku

kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (K.Prent,

et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya moral diartikan

sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila (Amin

Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian itu dikatakan bahwa

moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan

baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral

7

Page 8: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-

kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.

Nilai moral adalah sesuatu yang dianggap baik dan digunakan sebagai

pedoman yang konkrit untuk bersifat dan mengukur baik buruknya sikap

perilaku seseorang.

D. Retardasi Mental

Retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan dimana seseorang

memiliki kemampuan mental yang tidak mencukupi (WHO). Retardasi

mental adalah kelainan fungsi intelektual yang subnormal terjadi pada masa

perkembangan dan berhubungan dengan satu atau lebih gangguan dari

maturasi, proses belajar dan penyesuaian diri secara sosial. RM adalah suatu

keadaan yang di tandai dengan fungsi intelektual berada di bawah normal,

timbul pada masa perkembangan/dibawah usia 18 tahun, berakibat lemahnya

proses belajar dan adaptasi sosial.

Retardasi mental diartikan sebagai kelemahan/ketidakmampuan

kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum usia 18 tahun) ditandai

dengan fungsi kecerdasan di bawah normal (IQ 70 – 75 atau kurang), dan

disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut :berbicara dan

berbahasa;ketrampilan merawat diri, ADL; ketrampilan sosial; penggunaan

sarana masyarakat; kesehtan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja

dan rileks, dll.

VII.CARA PEMECAHAN MASALAH

Penerapan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini merupakan salah

satu solusi untuk memecahkan permasalahan pola asuh orang tua dalam hal

menanamkan nilai moral yang memiliki anak retardasi mental. Cara

pemecahan masalah melalui pendekatan kualitatif ditujukan untuk

mengetahui aktivitas serta mengumpulkan data berdasarkan pengamatan

situasi yang wajar (alamiah) sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi atau

dimanipulasi. Instrument yang digunakan untuk mengambil data aktivitas

siswa berupa lembar observasi.. Selain itu juga dilengkapi dengan data

8

Page 9: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

sekunder yang berupa data keluarga, orang tua dan keterangan jenis retardasi

mental yang dialami anak serta dokumentasi penelitian.

VIII. LANDASAN TEORI

A. Pola Asuh OrangTua

1. Pengertian Pola Asuh Orangtua

Mussen berpendapat bahwa pola asuh orangtua adalah suatu cara

yang digunakan orangtua dalam mencoba berbagai strategi untuk

mendorong anak-anaknya mencapai tujuan yang diinginkan. Dimana

tujuan tersebut antara pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku

yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti (Mussen, 1994:395). Dari

pendapat Mussen tentang pola asuh orangtua, mengatakan bahwa pola

asuh merupakan cara orangtua yang diterapkan pada anak. Dalam hal ini

menyangkut berbagai macam cara orangtua dalam mendidik anak

menuju suatu tujuan tertentu.

Wahyuni menjelaskan, bahwa pola asuh adalah model dan cara

pemberian perlakuan seseorang kepada orang lain dalam suatu

lingkungan sosial, atau dengan kata lain pola asuh adalah model dan cara

dari orangtua memperlakukan anak dalam suatu lingkungan keluarganya

sehari-hari, baik perlakuan yang berupa fisik maupun psikis (Gunarsa,

1976:144). Pola asuh orangtua menurut Wahyuni merupakan suatu

pemberian model polaa asuh dalam lingkungan sehari-hari. Dimana

pemberian model itu juga terdapat perlakuan. Perlakuan fisik dan psikis.

Menurut Wahyuni, sikap orangtua dalam mengasuh dan mendidik

anak dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor diantaranya pengalaman

masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap

orangtua mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orangtua, tipe kepribadian

dari orangtua, kehidupan perkawinan oranhgtua dan alasan orangtua

mempunyai anak (Gunarsa, 1976:144).

Dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pola asuh orangtua

adalah pola interaksi antara orangtua dengan anak, yang mana pola asuh

orangtua tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

9

Page 10: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun

sikap orangtua mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orang tua, tipe

kepribadian dari orangtua, kehidupan perkawinan orangtua dan alasan

orangtua mempunyai anak, dengan tujuan untuk mendidik dengan cara

mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap

paling tepat oleh orangtua pada anak, agar anak dapat mandiri, tumbuh

serta berkembang secara sehat dan optimal dalam lingkungannya. Dalam

pola asuh orangtua tersebut terdapat pola asuh otoriter, pola asuh

demokratis, dan pola asuh permisif.

2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua

Bolsom menyatakan bahwa pola asuh dapat digolongkan dalam

tiga macam, yakni (Andri, Winarti dan Utami, 2001:71) :

a. Pola Asuh Otoriter

Orangtua berada pada posisi arsitek. Orangtua dengan cermat

memutuskan bagaimana individu harus berperilaku, memberikan

hadiah atau hukuman agar perintah orangtua ditaati. Tugas dan

kewajiban orangtua tidak sulit, tinggal menentukan apa yang

diinginkan dan harus dikerjakan atau yang tidak boleh dikerjakan oleh

anak-anak mereka.

Pada pola asuh otoriter ini anak hanya dianggap sebagi objek

pelaksana saja dan orangtua yang berkuasa menentukan segala sesuatu

untuk anak. Jika anak menentang atau membantah, maka orangtua

tidak segan memberikan hukuman. Dalam hal ini kebebasan anak

sangat dibatasi. Apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan

keinginan orangtua. Pada pola asuh ini akan terjadi komunikasi satu

arah. Orangtua yang memberikan tugas dan menentukan berbagai

aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah

yang diberikan berorientasi pada sikap keras orangtua. Karena

menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan

tugas dan kewajibannya.

10

Page 11: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang

memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu

tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara

orangtua dan anak (Gunarsa, 1995:84). Bisa dikatakan bahwa, pola

asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk

mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan

tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan

orangtua.

Fromm berpendapat, bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga

yang bersuasana demokratis, perkembangannya lebih luwes dan dapat

menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan

dalam suasana otoriter, memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang

harus ditakuti dan bersifat magi (rahasia). Hal tersebut mungkin

menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau

justru sikap menentang kekuasaan (Ahmadi, 1991:180).

Pola asuh demokratis ini ditandai dengan adanya sikap terbuka

antara orangtua dan anak. Orangtua dan anak membuat aturan-aturan

yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan

pendapat, perasaan dan keinginannya. Pada pola asuh ini terdapat

komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. Orangtua bersikap

sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak.

Orangtua memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang

dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak. Sehingga pada

pola asuh demokratis ini dapat tercipta suasana komunikatif serta dapat

tercipta keharmonisan antara orangtua, anak, dan sesame keluarga.

Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol

terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh

masyarakat.

c. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini ditandai dengan orangtua yang tidak pernah

memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Serta adanya kebebasan

11

Page 12: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

pada anak tanpa batas untuk berperilaku sesuai dengan keinginan anak.

Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan

orangtua.

Pada pola asuh ini anak adalah subjek yang dapat bertindak dan

berbuat menurut hati nuraninya. Anak dipandang sebagai makhluk

hidup yang berpribadi bebas. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada

anak. Orangtua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri

apa yang diinginkannya. Orangtua yang seperti ini cenderung kurang

perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola asuh ini cenderung

membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, tergantung dan

bersifat kekanak-kanakan secara emosional.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua

Menurut Wahyuni, dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap

orangtua dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah

pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh

ataupun sikap orangtua mereka, tipe kepribadian orangtua, nilai-nilai

yang dianut orangtua, kehidupan perkawinan orangtua dan alasan

orangtua mempunyai anak (Gunarsa, 1976:144).

Mindel menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi terbentuknya pola asuh orangtua, diantaranya :

a. Budaya Setempat

Lingkungan Masyarakat di sekitar tempat tinggal memiliki peran

yang cukup besar dalam membentuk pola pengasuhan orangtua

terhadap anak. Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma, adat,

dan budaya yang berkembang di dalamnya.

b. Ideologi yang berkembang dalam diri orangtua

Orangtua mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu cenderung

menurunkan pada ank-anaknya dengan harapan bahwa anantinya

nilai dan ideologi tersebut dapat tertanam dan dikembvangkan oleh

anak dikemudian hari.

12

Page 13: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

c. Letak geografis norma etis

Dalam hal ini, letak suatu daerah serta norma etis yang

berkembang dalam masyarakat memiliki nperan yang cukup besar

dalam membentuk pola asuh yang nantinya diterapkan orangtua

terhadap anak. Penduduk pada dataran tinggi memiliki perbedaan

karakteristik dengan penduduk dataran rendah sesuai dengan

tuntutan serta tradisi yang berkembang pada tiap-tiap daerah.

d. Orientasi religius

Orientasi religius dapat menjadi pemicu diterapkannya pola asuh

dalam keluarga. Orangtua yang menganut agama dan keyakinan

religius tertentu senantiasa berusaha agar anak nantinya juga

mengikuti agama dan keyakinan religius tersebut.

e. Status ekonomi

Status ekonomi juga mempengaruhi pola asuh yang nantinya akan

diterapkan oleh orangtua pada anaknya. Dengan perekonomian

yang cukup, kesempatan dan fasilitas yang diberikan serta

lingkungan material yang mendukung cenderung mengarahkan

pola asuh orangtua menuju perlakuan tertentu yang dianggap

sesuai oleh orangtua.

f. Bakat dan kemampuan orangtua

Orangtua yang mempunyai kemampuan dalam komunikasi dan

berhubungan dengan tepat dengan anak, cenderung

mengembangkan pola asuh sesuai dengan diri anak tersebut.

g. Gaya hidup

Norma yang dianut dalam kehidupan sehari-hari sangat

dipengaruhi faktor lingkungan yang nantinya akan

mengembangkan suatu gaya hidup. Gaya hidup masyarakat di desa

dan di kota besar memiliki berbagai macam perbedaan dan cara

yang berbeda pula dalam interaksi serta hubungan orangtua dan

anak. Sehingga nantinya hal tersebut juga mempengaruhi pola asuh

yang diterapkan orangtua terhadap anak (Walker, 1992:3).

13

Page 14: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

B. Nilai

Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia, karena

itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur

tingkah laku. Nilai itu sifatnya sama dengan ide, maka nilai itu abstrak,

bahwa nilai itu tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, yang dapat dilihat

adalah obyek yang mempunyai nilai atau tingkah laku yang mengandung

nilai. Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diinginkan oleh

manusia. Karena itu nilai tersebut bersifat normatif, merupakan

keharusan (das sollen) untuk diwujudkan dalam tingkah laku kehidupan

manusia.

Menurut Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu

yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai

aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang,

sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan

sehari-hari.

Kohlberg mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai

obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai

yang bersifat instrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa

secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat

kebenaran, keindahan dan keadilan. Adapaun nilai subyektif yaitu nilai

yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu,

tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu.

Menurut Zubaidi (2005 : 4) diantara nilai-nilai yang perlu

ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lembut, beriman dan

bertaqwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang

rasa, jujur mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai

karya orang lain, kasih sayang, mempunyai rasa malu, rasa percaya diri,

rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat, kebersamaan, setia, sportif,

taat, takut bersalah, tawakkal, tega, tekun, tepat janji, terbuka dan ulet.

14

Page 15: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

C. Moral

Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari

suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak

(K.Prent, et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya

moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik,

yang susila (Amin Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian

itu dikatakan bahwa moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang

individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku

sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku

individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan

dikatakan jelek secara moral.

Sedangkan Lickona dalam bukunya Educating for Character

(dalam Paul Suparno, Dkk. 2002) menekankan pentingnya

memperhatikan juga unsur dalam menanamkan nilai moral, yaitu :

1. Pengertian atau pemahaman moral

Yaitu kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa

orang harus melakukan suatu pengambilan keputusan yang

berdasarkan nilai-nilai moral.

2. Perasaan moral

Perasaan moral, lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik

dan tidak baik perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati

terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan moral.

Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat

baik. Oleh sebab itu, perasaan moral perlu diajarkan dan

dikembangkan dengaqn memupuk perkembangan hati nurani dan

sikap empati.

3. Tindakan moral

Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan

dan perasaan moral kedalam perilaku-perilaku nyata.

Dari Drs. D. A. Wila Huky B.A. mengatakan : kita dapat

memahami moral dengan tiga cara :

15

Page 16: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

1) Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri

pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai

yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam

lingkungannya.

2) Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan

warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia

didalam lingkungan tertentu.

3) Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik

berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.

Menurut Zubaidi (2005:10) proses penanaman nilai moral yang

dianggap cocok diterapkan untuk anak-anak adalah model pembelajaran

yang berdasarkan pada interaksi sosial (model interaksi) yang

berdasarkan pada prinsip-prinsip :

a) Dari mudah ke sukar

b) Dari sederhana ke rumit

c) Dari yang bersifat konkrit ke abstrak

d) Menekankan pada lingkungan yang paling dekat dengan anak

sampai pada lingkungan masyarakat yang lebih luas.

D. Retardasi Mental

Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of

Mental Disorder (DSM-IV-TRTM, 2000, h.41) ) Retadarsi mental

merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang secara

signifikan dibawah rata-rata ( IQ kira-kira 70 atau lebih rendah ) yang

bermula sebelum usia 18 tahun disertai penurunan fungsi adaptif. Fungsi

adaptif ialah kemampuan individu tersebut untuk secara efektif

menghadapi kebutuhan untuk mandiri yang dapat diterima oleh

lingkungan sosialnya.

Klasifikasi retardasi mental berdasarkan hasil pertemuan

American Psychiatric Accociation (APA) di Washinghton 1994

(Lumbantobing, 2001, h. 5-7) yaitu:

1) Retardasi mental ringan (IQ antara 50-55 sampai 70 skala Weschler)

16

Page 17: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

Penderita retardasi mental ringan merupakan kelompok dari

penderita retardasi mental yang dapat di didik (educable).

2) Retardasi mental sedang (IQ antara 35-40 atau 50-55 skala

Weschsler)

Penderita retardasi mental sedang setara dengan kelompok

biasa disebut dapat dilatih (trainable). Kelompok ini terdiri dari

sekitar 10% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental.

3) Retardasi Mental berat (IQ antara 20-25 atau 35-40 skala Weschler)

Kelompok retardasi mental ini berjumlah sekitar 3-4 % dari

jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Kemampuan

berkomunikasi mereka dengan bahasa sangat sedikit.

4) Retardasi mental sangat berat (IQ kurang dari 20-25 skala Weschler)

Kelompok retardasi mental sangat berat berjumlah sekitar 1-

2% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Penderita

menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensori motor.

Perkembangan motorik dan mengurus diri serta kemampuan

komunikasi dapat dengan latihan-latihan yang kuat.

Aspek penyesuaian sosial meliputi perilaku nyata yang

ditampilkan, penyesuaian sosial terhadap berbagai kelompok, sikap

sosial dan kepuasan pribadi. Hal ini penting bagi individu usia dewasa

awal untuk berinteraksi dengan keadaan rumah, sekolah dan masyarakat.

Beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial, yaitu pola asuh

orang tua, teman, penerimaan diri, pendidikan anak, determinan

psikologi, kondisi lingkungan, wawasan sosial, dan budaya setempat.

American Association on Intellectual and Developmental

Disabilities (AAID) pada tahun 2007, mengategorikan penyesuaian diri

yang adaptif pada penyandang retardasi mental yaitu:

1. Aktivitas Sosial

a. Sosialisasi di dalam keluarga.

b. Dapat berekreasi dan mampu menjalani aktivitas untuk

kesenangan.

c. Pembuatan keputusan seksual yang sesuai.

17

Page 18: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

d. Dapat bersosialisasi di luar keluarga.

e. Mencari dan memelihara pertemanan.

f. Dapat memberi tahu tentang kebutuhan pribadinya.

g. Dapat bekerja yang ringan dan mengisyaratkan hubungan dengan

lawan jenis.

h. Menawarkan bantuan dan membantu orang lain.

2. Aktivitas Tingkah laku

a.Mempelajari perilaku atau ketrampilan spesifik.

b. Mempelajari pembuatan keputusan yang sesuai dengan situasi.

c.Mendapat Akses dan memperoleh perawatan kesehatan mental.

d. Menentukan pilihan pribadinya (mandiri) ke dalam aktivitas

harian.

e.Perilaku yang sesuai dengan norma atau aturan di dalam

masyarakat.

f. Dapat mengendalikan kemarahan dan aggresi.

3. Aktivitas Keluarga

a.Dapat menggunakan toilet sendiri.

b. Dapat mencuci pakaian secara sendiri.

c.Dapat menyiapkan dan makan makanan secara mandiri.

d. Dapat menjalani pekerjaan rumah tangga seperti, membersihkan

membersihkan rumah.

e.Mandi dan menjaga kesehatan pribadi dan mengurus kebutuhan.

f. Dapat mengoperasikan peralatan rumah dan teknologi.

g. Ambil bagian dalam aktivitas kesenangan di dalam rumah.

E. Kendala Dalam Penanaman Nilai Moral

Permasalahan penyandang cacat menurut Pola Dasar

Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial adalah

adanya gangguan fisik dan mobilitas dalam melakukan kegiatan sehari-

hari, gangguan keterampilan kerja yang produktif, rawan kondisi sosial

ekonomi, gangguan mental psikologis, seperti rendah diri, terisolasi dan

kurang percaya diri, hambatan melaksanakan fungsi sosial, seperti tidak

18

Page 19: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

mampu bergaul, berkomunikasi secara wajar, tidak mampu

berpartisipasi dan lebih banyak tergantung pada orang lain

(Mangunsong, 1998, h.111).

Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan

yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang

cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang. Hal ini sebagai

dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali

oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah

tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan

bertanggung jawab. (Sulis Styawan, 2007)

Melihat kondisi banyaknya penyimpangan moral di kalangan

anak-anak keterbelakangan mental ini, menjadikan tugas dan kewajiban

orang tua sebagai orang yang paling berpengaruh dalam keluarga dalam

menanamkan nilai moral menjadi sangat rumit.

Kesadaran dalam berperilaku atau bersikap moral dalam

kehidupan sehari-hari sudah jarang kita temui, itulah beberapa kendala

atau dampak yang tengah dialami oleh para orang tua dalam

menanamkan nilai moral pada anak-anaknya. Maka untuk itu perlu

untuk menentukan strategi menenamkan nilai moral yang optimal dan

mengetahui karakteristik anak.

IX. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus

merupakan metode penelitian kualitatif yang timbul dari keinginan untuk

dapat memahami beberapa fenomena yang bersifat kompleks, dalam

konteks yang sebenarnya (Hendriani, 2006). Metode studi kasus adalah

dengan mengamati secara mendalam pada subjek penelitian, digunakan

untuk keperluan psikologi klinis karena individu memiliki aspek unik

dari dirinya yang tidak dapat ditiru (individual differences).

19

Page 20: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif bukan data-data

yang berupa angka-angka melainkan kata-kata yang bersifat kualitatif.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti mengumpulkan data berdasarkan

pengamatan situasi yang wajar (alamiah) sebagaimana adanya tanpa

dipengaruhi atau dimanipulasi. (Kaelan, 2005 : 18).

Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data deskriptif dan

bukan menggunakan angka-angka sebagai alat metode utamanya, data-

data yang dikumpulkan berupa teks, kata-kata, simbol gambar, walaupun

demikian juga dapat dimungkinkan terkumpulnya data-data yang bersifat

kuantitatif (Kaelan, 2005 : 20).

B. Subjek Penelitian dan Informan

Peneliti mencari subjek penelitian dengan menggunakan teknik

sampling purposif. Teknik sampling ini dapat langsung mengarahkan

peneliti pada karakteristik subjek penelitian secara lebih pasti, sehingga

informasi yang dikumpulkan benar-benar relevan dengan tujuan awal

penelitian. Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : subjek

kasus dan subjek informan. Adapun karakteristik subjek kasus dalam

penelitian ini adalah :

1. Subjek berumur 7-12 tahun untuk perempuan maupun untuk laki-laki.

Dengan pertimbangan bahwa individu dengan usia yang sudah bisa

dikatakan mampu berinteraksi dengan masyarakat luar.

2. Subjek adalah seorang penyandang retardasi mental ringan dan

sedang, yang memenuhi ketentuan-ketentuan diagnosis penyandang

retardasi mental ringan atau sedang, tidak memiliki gangguan

psikopatologis lainnya seperti autis.

Setelah mendapatkan subjek kasus, langkah berikutnya adalah

mencari beberapa subjek informan yang akan dijadikan sebagai sumber

informasi yang bersifat utama di dalam penelitian ini. Subjek penelitian

dengan syarat sebagai berikut:

20

Page 21: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

1. Orangtua subjek, yaitu baik orangtua kandung maupun orangtua

angkat anak retardasi mental yang masih mengasuh secara langsung

anak tersebut

2. Mengenal subjek dalam kehidupan kesehariannya minimal selama dua

tahun. Yaitu saudara dan tetangga subjek kasus

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana seorang peneliti

melakukan penelitian atau tempat dimana penelitian tersebut dilakukan.

Lokasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah di daerah Kabupaten

Kudus.

D. Fokus penelitian

Fokus penelitian ini adalah bagaimana cara-cara yang dilakukan

di sebagian keluarga di daerah kabupaten kudus dalam menanamkan nilai

moral pada anaknya yang mengalami retardasi mental. Fokus berarti

penentuan keliasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Dalam

pemikiran fokus terliput didalamnya perumusan latar belakang studi dan

permasalahan (Maman Rahman : 1999).

Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :

1. Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam menanamkan nilai moral

pada anaknya penderita retardasi mental.

2. Kendala yang menghambat dalam penanaman nilai moral yang

diterapkan orangtua tersebut.

E. Sumber data penelitian

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subjek

dari mana data dapat diperoleh (Arikunto 1998 : 114). Yang menjadi

sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data Primer

Yaitu data-data yang bersumber dari hasil wawancara dengan

informen. Informen yaitu orang yang dimanfaatkan informasi tentang

21

Page 22: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

situasi dan kondisi latar penelitian. (Moleong, 2004 : 157).

Sedangkan menurut Kaelan (2005 : 148) sumber data primer adalah

buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan objek material.

Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah :

a. Anak penderita retardasi mental

b. Orang tua

c. Saudara, Tetangga atau Masyarakat sekitar keluarga anak penderita

retardasi mental

2. Data Sekunder

Dilihat dari segi sumber data, sumber tertulis dibagi atas sumber

buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan

dokumen resmi (Moleong, 2006 : 159). Sumber data sekunder adalh

catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil (Kaelan,

2005 : 6).

Data-data yang merupakan sumber data sekunder yang

mendukung dalam penelitian ini yaitu :

a. Dokumentasi meliputi : sumber buku kepustakaan

b. Pengamatan observasi

c. Foto

F. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

1. Observasi

Yaitu suatu usaha dasar untuk mengumpulkan data yang

dilakukan secara sistematis, dengan prosedur yang terstandar

(Moleong, 2004 : 197). Metode observasi ini menggunakan

pengamatan atau penginderaan secara langsung terhadap suatu benda,

kondisi, situasi atau perilaku obyek yang diteliti. Peneliti melakukan

observasi partisipasi dengan maksud untuk memperoleh data yang

lengkap dan rinci mengenai bagaimana upaya yang dilakukan

22

Page 23: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

keluarga anak penderita retardasi mental dalam menanamkan nilai

moral pada anaknya.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,

percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang

mengajukan pertannyaan dan yang di wawancarai yang memberikan

jawaban atas pertannyaan itu (Moleong, 2004 : 186 :135).

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah :

a. Penanaman nilai moral yang diterapkan keluarga pada anaknya

penyandang retardasi mental.

b. Kendala yang dihadapi keluarga dalam menanamkan nilai moral

pada anaknya penyandang retardasi mental.

3. Dokumentasi

Menurut Suharsimi Arikunto (2002 : 206) yang dimaksud metode

dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel-

variabel yang berupa catatan-catatan, transkip, buku surat kabar, dan

sebagainya. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sumber

data, karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data

dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.

(Moleong, 2004 : 217)

Dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data tambahan

sehingga diperoleh diskripsi yang komprehensif. Dalam penelitian ini

metode dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data

tertulis yang ada dalam keluarga kaitannya dengan penelitian ini, serta

literatur-literatur yang lain yang mendukung penelitian ini.

4. Metode Diskriptif

Metode diskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu

objek, baik berupa nilai-nilai budaya manusia, sistem pemikiran

filsafat, nilai-nilai etika, nilai-nilai karya seni sekelompok manusia,

23

Page 24: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

peristiwa atau objek budaya lainnya (Kaelan, 2005 : 58). Menurut

Whitney dalam bukunya Kaelan (2995 : 58) metode diskriptif adalah

pencairan fakta dengan interpretasi yang tepat dan sistematis.

Tujuan dari penelitian dengan menggunakan metode diskriptif

adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

sisitematis dan obyektif mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri,

serta hubungan diantara unsur-unsur yang ada atau fenomena tertentu.

(Kaelan, 2005 : 58).

Menurut Maman Rahman (1999 : 25) penelitian diskriptif

mempunyai tujuan untuk membuat pencandraan secara sistematis,

faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat populasi atau

daerah tertentu.

G. Uji Validitas Data

Untuk memeriksa validitas data yang diperoleh dalam penelitian

ini menggunakan tehnik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Denzin (dalam Moleong, 2004) membedakan empat macam

triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber,

metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini dari keempat macam

triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan

dengan memanfaatkan sumber.

Menurut Patton dalam Moleong (2006 : 178) trianggulasi dengan

sumber berarti membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan

sesuatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berada

dalam metode kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka

ditempuh langkah sebagai berikut :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang secara umum dengan apa

yang dikatakan secara pribadi.

24

Page 25: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data menurut paton dalam Moleong (2006 ; 103)

adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu

pola, kategori dan satuan uraian dasar. Pekerjaan analisis data dalam hal

ini adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode,

dan mengkategorikannya. Analisis data yang baik dan urut

memungkinkan data hasil penelitian mudah dipahami oleh orang lain.

Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah

metode kualitatif.

Menurut Milles Huberman (1992 : 20) tahapan analisis data

adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan data

Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya

sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan.

2. Reduksi data

Yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.

Dimana reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang

menajamkan, menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasi. Data-data yang telah direduksi memberikan

gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan

mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan.

3. Penyajian data

Merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam

25

Page 26: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

bentuk matriks, networks, chart, atau grtafis. Sehingga peneliti dapat

menguasai data.

4. Penarikan kesimpulan atau verifikasi

Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang

diperoleh. Untuk itu, peneliti berusaha mencari pola, model, tema,

hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan

sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan

cara mengumpulkan data baru. Dalam mengambil keputusan,

didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan

jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Verifikasi

adalah berupa penarikan kembali yang melintas dalam pikiran

penganalisis selama penyimpulan, suatu tinjuan ulang pada catatan-

catatan lapangan, dan meminta responden yang telah dijaring datanya

untuk membaca kesimpulan yang telah disimpulkan oleh peneliti.

Maka makna-makna yang muncul sebagai kesimpulan data teruji

kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya.

26

Page 27: Revisi Ke-3 Proposal Skripsi Rizal

X. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta.

Lawrence, Kohlberg. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Kanisius : Yogyakarta.

Lexy Moelong. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT remaja Rosdakarya Bandung

Milles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. UI PRESS. Jakarta.

Rahman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian Kualitatif. Semarang : IKIP PRESS Semarang.

27