bab ii (revisi proposal_2012_oke)

100
27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bagian pertama tinjauan pustaka ini adalah perspektif empirikal dengan menampilkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu baik yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri maupun dilakukan peneliti dibeberapa negara lain. Kemudian bagian kedua yakni perspektif teorikal dengan menguraikan sejumlah teori dan konsep dalam kajian ilmu administrasi publik menurut berbagai perspektif, model, dan paradigma. Selanjutnya meninjau beragam pandangan mengenai teori desentralisasi, local government, birokrasi, dan teori inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai perspektif. 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang ditampilkan pada bagian ini bertujuan untuk membandingkan penelitian yang akan dilakukan dengan sejumlah penelitian pernah dilaksanakan oleh orang atau pihak lain. Hal-hal yang ditekankan pada penelitian terdahulu, meliputi: konsep yang digunakan; pendekatan dan metode penelitian; hasil penelitian dan relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan. 1. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2006), melakukan kajian terhadap inovasi pro masyarakat miskin melalui program bebas iuran sekolah sebagai bentuk inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Jembrana. Penelitiannya berjudul: Bebas Iuran Sekolah dan Jaminan Kesehatan Jembrana: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi wawancara mendalam, FGD dan kajian dokumentasi. Konsep-konsep yang digunakan meliputi inovasi program, best

Upload: bushido-kenji

Post on 21-Dec-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Just Share

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian pertama tinjauan pustaka ini adalah perspektif empirikal dengan

menampilkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu

baik yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri maupun dilakukan peneliti

dibeberapa negara lain. Kemudian bagian kedua yakni perspektif teorikal dengan

menguraikan sejumlah teori dan konsep dalam kajian ilmu administrasi publik

menurut berbagai perspektif, model, dan paradigma. Selanjutnya meninjau

beragam pandangan mengenai teori desentralisasi, local government, birokrasi,

dan teori inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai perspektif.

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang ditampilkan pada bagian ini bertujuan untuk

membandingkan penelitian yang akan dilakukan dengan sejumlah penelitian

pernah dilaksanakan oleh orang atau pihak lain. Hal-hal yang ditekankan pada

penelitian terdahulu, meliputi: konsep yang digunakan; pendekatan dan metode

penelitian; hasil penelitian dan relevansinya dengan penelitian yang akan

dilakukan.

1. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2006), melakukan kajian terhadap

inovasi pro masyarakat miskin melalui program bebas iuran sekolah sebagai

bentuk inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Jembrana. Penelitiannya

berjudul: Bebas Iuran Sekolah dan Jaminan Kesehatan Jembrana: Inovasi

Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif dengan strategi wawancara mendalam, FGD dan kajian

dokumentasi. Konsep-konsep yang digunakan meliputi inovasi program, best

Page 2: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

28

practices, kepemimpinan, keberlanjutan, dan kesetaraan gender. Hasil kajian

ini menunjukkan adanya dominasi peran bupati dalam program inovasi,

karena memiliki politicall will dan commitment yang tinggi. Melibatkan

organisasi lokal, program efisiensi dan efektivitas di semua sektor dan

memunculkan perubahan budaya birokrasi.

2. Fadel Muhammad (2007), penelitian disertasi tentang Signifikansi Peran

Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemerintah Daerah:

Studi Kasus Gorontalo, yang kemudian dikembangkan dalam sebuah buku

berjudul “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”. Fokus

penelitian ini adalah pentingnya penguatan kapasitas manajemen pemerintah

daerah dan pemanfaatan faktor endowment daerah. Melalui metode

penelitian kualitatif dan kuantitatif, serta penerapan konsep New Public

Mamanagent, Reinventing Government, dan Entrepreneurship Government

mengungkap bahwa inovasi pemerintah daerah harus berbasis penguatan

kapasitas manajemen pemerintah daerah. Penguatan kapasitas manajemen

ini dilakukan melalui reformasi tata kelola keuangan, pengembangan

organisasi matriks, penerapan model mobile government, kebijakan

tunjangan kinerja daerah, dan penilaian kinerja individu. Inovasi yang

berkaitan dengan pemanfaatn faktor endowment daerah dan kaitan dengan

lingkungan makro didorong memalui kebijakan yang memudahkan investasi.

3. Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, dan Rana Tassabehji (2007)

melakukan penelitian tentang inovasi pemerintahan daerah dalam kaitannya

dengan pengembangan nilai publik (public values). Penelitian ini dituangkan

dalam artikel berjudul Local Government and Social or Innovation Values.

Melalui metode penelitian berbasis pustaka dan dokumentasi, penelitian ini

mengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar

Page 3: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

29

tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut

meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension.

Sehingga dalam mengukur nilai publik suatu inovasi pemerintahan daerah

harus didasarkan pada ketiga dimensi secara terintegrasi dan holistik.

4. M.A. Ajibola (2008), melakukan penelitian mengenai inovasi kebijakan sistem

pendidikan di Nigeria. Inovasi kebijakan sistem pendidikan ini fokus pada

kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan tingkat dasar. Rangkuman

penelitian telah dituangkan dalam artikel berjudul: Innovation and Curriculum

Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges

of Practice and Implementation. Kajian penelitian mengungkap pentingnya

renovasi kurikulum yang realistik dan berpusat pada anak (child-centered).

Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality dan relevance. Prinsip

quality berkaitan dengan kapasitas kurikulum dalam mendorong munculnya

kepercayaan diri dan kemampuan anak didik dalam menyelesaikan masalah.

Prinsip relevance berkaitan dengan model sistem kurikulum sekolah yang

fleksibel dan adaptif terhadap perubahan global. Merekomendasikan agar

pemerintah Nigeria mengembangkan kebijakan pendidikan berparadigma

inter-disciplinary courses, openended systems, inter-generational and inter-

professional relationships, multi-culturalism and sustainability pada semua

tingkatan dan satuan pendidikan.

5. Pan Suk Kim (2009) berjudul: Quality as a Reflection of Innovation? Quality

Management in the Korean Government. Menggunakan konsep inovasi,

Quality Management, Reform, dan Total Quality Management serta metode

penelitian pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian yaitu bahwa kualitas

manajerial menjadi unsur utama dari inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan

walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi

Page 4: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

30

oleh praktek di Jepang dan Amerika dan pengaruh manajemen Eropa tidak

begitu nampak dalam praktek.

6. Mark Evans (2010), melakukan kajian tentang kapasitas inovasi

pemerintahan daerah terhadap delapan studi kasus yang berbeda. Hasil

kajian Evans kemudian dirangkum dalam tulisan “Building the Capacity for

Local Government Innovationm: Case studies from the Australian, New

Zaeland, and British contexts”. Kedelapan kasus tersebut menerapkan

tipologi inovasi meliputi strategic innovation, product innovation, service

innovation, dan governance innovation dan derajat inovasi yang dibedakan

berdasarkan tujuh perspektif yaitu place, novelty, significance, utility,

effectiveness, longevity, dan transferability. Melalui metode FGD dengan

manajer senior pemerintah daerah terungkap beberapa pelajaran penting

bagi pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) kapasitas

mengetahui adanya kesenjangan metode dan pemberian pelayanan; (b)

kapasitas membangun kemitraan dengan stakeholders yang memiliki

sumberdaya; (c) kapasitas bertindak dalam kerangka kebijakan legislatif dan

memanfaatkan situasi politik secara tepat; (d) munculnya pemimpin yang

memiliki agenda reformasi untuk inovasi; (e) dukungan dari pemimpin politik

dan menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan

melalui komunikasi yang efektif; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h)

tersedianya teknologi baru yang mendukung pelaksanaan program inovasi.

7. Joseph J. Capuno (2010), mengkaji pentingnya posisi para pemimpin daerah

sebagai penggerak utama inovasi pemerintahan di daerahnya masing-

masing. Hasil kajiannya dimuat dalam artikel berjudul: Leadership and

Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local

Governments in the Philippines. Melalui metode observasi dan survei

Page 5: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

31

terhadap 209 program inovatif serta FGD terhadap 48 manajer pemerintahan

daerah di Filipina dirumuskan beberapa kesimpulan, antara lain: (a) di era

desentralisasi yang sudah berlangsung 20 tahun, pemerintah daerah berhasil

melakukan inovasi dalam berbagai sektor; (b) pemimpin daerah yang masih

berkuasa (incumbent mayors) menjadi pendorong utama lahirnya ide dan

suksesnya pelaksanaan program inovasi di daerahnya; (c) pemimpin yang

berhasil mengembangkan inovasi sangat tergantung pada situasi lingkungan

(sumber daya alam), pengetahuan, pengalaman, dan insentif yang diterima;

(d) jangkauan inovasi daerah yang luas dan bervariasi bermanfaat langsung

pada konstituen; (e) faktor kritis lain selain faktor kepemimpinan adalah faktor

kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah,

aparatur yang profesional, dan pelibatan sektor swasta.

8. Comfort Olufunke Akomolafe (2011), topik penelitian tentang manajemen

inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria yang dituangkan dalam artikel

berjudul: Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on

Creating and Sustenance of Culture in Innovation. Oleh karena terdapat

kebutuhan sistem pendidikan sekolah yang harus memiliki budaya dinamis

dan berorientasi kedepan, maka fokus kajian pada proses penciptaan dan

pengembangan budaya inovasi sekolah. Melalui metode studi literatur dan

observasi langsung, Akomolafe menyimpulkan bahwa (a) pengembangan

budaya inovasi sekolah adalah upaya meningkatkan kualitas sekolah dan

mempertahankan produktivitas dan efisiensi yang sudah dicapai; (b) inovasi

membutuhkan pembangunan tidak hanya untuk membentuk individu yang

kreatif saja tetapi juga menciptakan lingkungan inovatif yang berkelanjutan;

(c) pemimpin di sekolah harus menciptakan budaya inovasi; dan (d) budaya

inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang transformatif.

Page 6: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

32

9. Lea Hennala, Satu Parjanen dan Tuomo Uotila (2011), meneliti tentang

proses inovasi pelayanan publik yang melibatkan multi-aktor. Penelitiannya

berjudul: Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector Front-

End Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for

Developing Well-Being Services. Menggunakan konsep inovasi, organisasi

sektor publik dan stakeholders dengan constructive research approach dan

kombinasi analisis kuantitatif dan kualitatif menghasilkan suatu model inovasi

terbuka (the open innovation model). Model inovasi terbuka ini mengakui

terutama masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna

layanan yang berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah

terhadap proses pengembangan inovasi.

10. Satu Pekkarinen, Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011.

Berjudul: Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform.

Menggunakan konsep inovasi dan reformasi sektor publik dengan metode

penelitian kualitatif (studi kasus dan konten analisis). Hasil penelitiannya

adalah mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi tingkatan inovasi

dan diwujudkan sebagai benturan (clashes) dan menjadi saling bertolak

belakang (controversies) antara cara berfikir yang lama dan cara yang baru.

Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat (platform) bagi

inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka.

11. Daniel Adetoritse Tonwe (2011), melakukan kajian terhadap institusi

pemerintahan daerah. Hasil kajian ini kemudian dituangkan dalam tulisan

berjudul: Conceptualizing Local Government from a Multi-Dimensional

Perspective. Melalui studi pustaka, dalam kajian tersebut menjelaskan bahwa

pemahaman yang mendalam terhadap local government sebagai institusi

harus dimaknai dari multi-dimensional perspective. Makna multi-dimensional

Page 7: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

33

perspective dari institusi local government meliputi social dimension,

economic dimension, geographic dimension, legal dimension, dan

administrative dimension.

Berikut ini disajikan matriks ringkasan kajian dan penelitian terdahulu.

Pada Tabel 1 berikut berisi sumber penelitian (penulis, tahun, dan judul), hasil-

hasil penelitian, metode dan konsep-konsep yang digunakan setiap kajian.

Tabel 1. Matriks Ringkasan Penelitian Terdahulu

No. Penulis, Tahun & Judul Penelitian

Hasil Kajian Metode & Konsep

1 2 3 4

1. Eko Prasojo & Teguh Kurniawan (2006), “Bebas Iuran Sekolah dan JKJ: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana”.

Dominasi peran bupati dalam program inovasi, krn memiliki politicall will dan commitment yang tinggi. Operasional program inovatif melibatkan organisasi lokal, program efisiensi & efektivitas di semua sektor, dan memunculkan perubahan budaya birokrasi. Program inovatif yang berkelanjutan.

Kualitatif & FGD, wawancara & kajian dokumen Inovasi program, best practices, kepemimpinan, keberlanjutan.

2. Fadel Muhammad (2007) Signifikansi Peran Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemda: Studi Kasus Gorontalo

Inovasi penguatan kapasitas manajemen pemerintahan yakni reformasi tatakelola keuangan, organisasi matriks, mobile government, TKD, penilaian kinerja individu. Inovasi relasi faktor endowment daerah dengan lingkungan makro melalui kebijakan kemudahan investasi

Kuantitatif & Kualitatif NPM, Reinventing Government, Entrepreneurship Government

3. Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, & Rana Tassabehji (2007) Local Government and Social or Innovation Values

Pengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension. Ketiga dimensi judi ukuran nilai publik (social values) inovasi.

Studi pustaka & Dokumentasi Inovasi; Local government; Value analysis

4. M.A. Ajibola (2008) Innovation and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and Implementation

Renovasi kurikulum realistik & berpusat child-centered. Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality (mendorong kepercayaan diri & kemampuan anak didik menyelesaikan masalah dan prinsip relevance (model sistem kurikulum sekolah fleksibel & adaptif. Paradigma inter-disciplinary, openended, inter-generational and inter-professional, multi-culturalism & sustainability.

Studi pustaka Kurikulum pendidikan dasar; Inovasi; Policy implementation

Page 8: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

34

1 2 3 4

5. Pan Suk Kim (2009) Quality as a Reflection of Innovation? Quality of Management in the Korean Government.

Fokus pada kualitas manajemen sebagai refleksi dari inovasi. Kualitas manajerial adalah unsur utama inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi oleh praktek di Jepang dan Amerika dan pengaruh manajemen Eropa tidak begitu nampak dalam praktek.

Studi pustaka (comparative perspective) Inovasi, Quality Management Reform, TQM

6. Mark Evans (2010) Building the Capacity for Local Government Innovation: Case Studies from the Australian, New Zaeland, and British Context.

Pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) mengetahui kesenjangan pelayanan; (b) kemitraan stakeholders pemilik sumberdaya; (c) bertindak dalam kerangka legislatif & situasi politik yg tepat; (d) pemimpin dgm agenda reformasi utk inovasi; (e) dukungan pemimpin politik & menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h) tersedianya teknologi baru.

Studi Kasus & dokumentasi Inovasi; Local government; Public value managemenet

7. Joseph J. Capuno (2010) Leadership and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the Philippines

Hasil kajian yaitu: (a) di era desentralisasi, pemerintah daerah berhasil berinovasi; (b) pemimpin (incumbent mayors) pendorong utama ide dan sukses program inovasi; (c) pemimpin berhasil tergantung lingkungan, pengetahuan, pengalaman, & insentif; (d) jangkauan inovasi luas & variasi bermanfaat langsung pada konstituen; (e) faktor kritis lain, adalah kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur profesional, & stakeholers.

Kualitatif & regresi (statistik) Leadership; Inovasi pemerintah daerah

8. Comfort Olufunke Akomolafe (2011) Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustenance of Culture in Innovation

Sistem pendidikan sekolah harus berbudaya dinamis & berorientasi kedepan, maka perlu proses penciptaan & pengembangan: (a) upaya meningkatkan kualitas & produktivitas & efisiensi yg dicapai; (b) inovasi butuh pembangunan tidak hanya membentuk individu kreatif saja tetapi menciptakan inovasi berkelanjutan; (c) pemimpin di sekolah pencipta budaya inovasi; dan (d) budaya inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang transformatif.

Studi pustaka & observasi Inovasi; Budaya inovasi; Kepemimpinan; Pendidikan transformasi; Individu yg kreatif

9. Lea Hennala, Satu Parjanen & Tuomo Uotila (2011) Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector Front-End Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for Developing Well-Being Services

Fokus pada keterlibatan multi-aktor dalam proses inovasi sektor publik. Hasil kajian melahirkan model inovasi yg disebut Model Inovasi Terbuka (the open innovation model). Masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna layanan berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah dalam proses pengembangan inovasi.

Constructive Research pproach (Kuantitatif & Kualitatif) Konsep Inovasi; Organisasi Sektor Publik; Stakeholders

Page 9: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

35

1 2 3 4

10. Tomi Tura, Satu Pekkarinen, Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi (2011) Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform

Fokus pada potensi konflik dalam inovasi pelayanan publik. Mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi derajat inovasi & diwujudkan sebagai benturan (clashes) & menjadi saling bertolak belakang (controversies) antara berfikir cara lama & cara baru. Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat (platform) bagi inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka.

Kualitatif (studi kasus dan konten analisis) Inovasi Sektor Publik; Potensi konflik

11. Daniel Adetoritse Tonwe (2011) Conceptualizing Local Government from a Multi-Dimensional Perspective

Pemahaman local government sebagai institusi harus dimaknai dari multi-dimensional perspective. Makna multi-dimensional perspective dari institusi local government meliputi social dimension, economic dimension, geographic dimension, legal dimension, dan administrative dimension.

Studi literatur Local Government; Multi-dimensional perspektif

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu

sebagaimana yang ditampilkan, maka diperoleh beberapa kesimpulan penting

yang dianggap relevan dengan kajian yang akan dilakukan. Beberapa

kesimpulan penting dari kajian terdahulu meliputi: pertama, bahwa kajian inovasi

pemerintahan daerah pada umumnya bisa dikaji dari beragam perspektif.

Beragam perspektif dimaksud yang terdapat pada penelitian terdahulu yaitu (a)

tipologi dan derajat inovasi; (b) nilai dan budaya inovasi; (c) kapasitas inovasi; (d)

kelembagaan; (e) kepemimpinan dan dukungan politik; dan (f) pelibatan aktor

selain pemerintah (swasta dan masyarakat) dalam pengembangan inovasi.

Kedua, kajian inovasi penyelenggaran pemerintahan yang berkaitan

dengan bidang pendidikan masih lebih ditekankan pada inovasi manajemen

sekolah, inovasi proses pembelajaran, dan inovasi kurikulum. Ketiga, kajian

terdahulu juga menunjukkan bahwa penelitian inovasi di sektor publik pada

umumnya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan metode analisis

kuantitatif tetapi juga dapat menggunakan metode analisis kualitatif.

Page 10: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

36

2.2. Teori dan Perkembangan Administrasi Publik

Salah satu asumsi dasar dalam mengkaji administrasi publik adalah

”administration is a unitary process that can be studied uniformly, at the

municipal administration, state administration, and federal administration”.

Asumsi dasar ini ditulis oleh Leonard D. White (1926) dalam artikelnya yang

berjudul ”Introduction to the Study of Public Administration” sebagaimana

disunting oleh Shafritz, at al (2004:56). Makna yang terkandung dalam asumsi

dasar tersebut adalah bahwa mempelajari disiplin ilmu administrasi publik berarti

mengkaji administrasi publik sebagai kesatuan proses, tidak hanya pada level

federal dan level negara tetapi juga menyangkut administrasi pada level lokal

(municipal).

Oleh karena itu, dalam konteks kajian tentang inovasi pemerintahan

daerah penting diawali dengan memahami perkembangan teori dan konsep

administrasi publik dan pemerintahan daerah. Perkembangan pemikiran

administrasi publik disajikan mulai dari pemahaman administrasi publik dalam

berbagai perspektif, model, dan paradigma yang dikembangkan oleh para

ilmuwan administrasi publik.

Menurut Shafritz & Russel (1999) dalam bukunya ”Introducing Public

Administration” bahwa memahami administrasi publik (public administration)

tidak bisa hanya melalui satu definisi saja, karena masing-masing peminat

administrasi publik memiliki perspektif yang berbeda sehingga menyimpulkan

definisi yang berbeda pula. Oleh karena itu, Shafritz & Russel (1999:5-28)

mengembangkan pemahaman terhadap administrasi publik dalam empat

kategorisasi atau perspektif yang meliputi: political, legal, managerial, dan

occupational perspective, seperti pada Tabel 2 bagian berikut ini.

Page 11: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

37

Tabel 2. Category of the definition of public administration

No. Category/Perspective Definitions of Public Administration

1. Political As what government does?; Both direct and indirect; A phase in the public policy; Implementing the public interest; and Doing collectively that which cannot be so well done.

2. Legal As law in action; Regulation; The King’s largesse; and Theft.

3. Managerial As the executive function in government; Management specialty; Mickey mouse; Art, not science-or-Vice versa.

4. Occupational As an occupational category; An essay contest; Idealism in action; An academic field; and a profession.

Sumber: adaptasi dari Shafritz & Russel (1999:5-30)

Pada Tabel 2 diperlihatkan kategorisasi definisi administrasi publik yang

dapat dipahami dalam empat perspektif yakni: pertama, dari perspektif politik

melihat administrasi publik sebagai ”what government does” baik langsung

maupun tidak langsung, suatu tahapan siklus pembuatan kebijakan publik,

implementasi kepentingan publik, dan sebagai kegiatan yang dilakukan secara

kolektif karena tidak dapat dikerjakan secara individual.

Kedua, perspektif legal (hukum), administrasi publik dipandang sebagai

penerapan hukum (law in action), regulasi, kegiatan pemberian sesuatu dari

penguasa atau ”raja” kepada rakyatnya (King’s Largesse), dan sebagai bentuk

”theft” yakni tindakan mengambil sebagian harta orang kaya untuk dibagikan ke

yang miskin secara legal dalam bentuk UU perpajakan (tax regulation), dimana

pihak-pihak yang dirugikan harus tunduk dan mentaatinya.

Ketiga, perspektif manajerial, administrasi publik adalah fungsi eksekutif

dalam pemerintahan, sebagai bentuk spesialisasi dalam manajemen (bagaimana

mencapai hasil melalui orang lain), sebagai ”mikey mouse” simbol dari mal-

administrative seperti perilaku red tape, inefficiency, korupsi, kolusi, dll, sebagai

Page 12: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

38

seni misalnya judgement dan common sense seorang administrator kadang lebih

menentukan dibanding ilmu yang dimilikinya.

Keempat, perspektif okupasi atau jabatan, bahwa administrasi publik

dapat dipahami sebagai bentuk profesi tertentu, gambaran tentang program atau

proyek tertentu yang dibiayai dan dilaksanakan pemerintah, sebagai penerapan

idealisme dimana orang-orang ingin mewujudkan impiannya, dan sebagai bidang

akademik yang akan terus mempelajari seni dan ilmu manajemen untuk

diterapkan di sektor publik.

Tabel 3. Perspective on Public Administration

Characteristic Perspective

Traditional Management

NPM Politics Law

Values Economy, efficiency, effectiveness

Cost-effectiveness, responsiveness to cutomers

Representation, responsiveness, accountability

Constitutional integrity, procedural due process, robust substantive rights, equel protection, equity

Organizational structure

Ideal-typical bureaucracy

Competitive, firmlike

Organizational pluralism

Adjudicatory (adversary)

View of individual Impersonal case, rational actor

Customer Member of group Individual and/or member of class, reasonable person

Cognitive approach Rational-scientific Theory, observation, measurement, experimentation

Agreement and public opinion, debate

Inductive case analysis, deductive legal analysis, normative reasoning, adversary process

Budgeting Rational (cost-benefit)

Performance-based market-driven

Incremental (distribution of benefit and burdens

Rights funding

Decision making Rational-comprehensive

Decentralized, cost-minimizing

Incremental mudding trough

Precedential incrementalism

Govermental function characterized by

Executin Executin Legislation Adjudication

Sumber: Rosembloom & Kravchuk (2005:37)

Page 13: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

39

Sementara Rosembloom dan Kravchuk (2005:14) memandang bahwa

administrasi publik dapat dipahami dalam tiga pendekatan, sebagaimana tertera

pada Tabel 3 mengenai tiga perspektif dalam memahami administrasi publik.

Ketiga perspektif dan pendekatan tersebut adalah (a) pendekatan manajemen;

(b) pendekatan politik; (c) pendekatan hukum. Masing-masing pendekatan ini

memiliki karakteristik dan penekanan yang berbeda-beda berdasarkan aspek

values, organizational structure, view of individual, cognitive approach,

budgeting, decision making, dan governmental function.

Kajian dan pemahaman terhadap administrasi publik dapat pula dilihat

dari eksistensi model yang dikembangkan oleh para ahli administrasi publik.

Dalam konteks perkembangan administrasi publik, terdapat model ”administrasi

negara baru” atau ”new public administration” yang dikembangkan oleh H.

George Frederickson pada tahun 1980an. Kelima model administrasi negara

baru menurut Frederickson (1988:28-30) meliputi: bureaucracy (classic), neo-

bureaucracy, institution, human relation, dan public choice model, yang dapat

disimak pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Lima Model Administrasi Negara Baru

Teori & Teoritisi

Fokus Empiris (Unit Analisis)

Ciri-ciri Nilai yang akan Dimaksimumkan

1 2 3 4

Model Birokrasi Klasik Taylor Wilson Weber Gulick, Urwick

Organisasi Kelompok Produksi Instansi Pemerintah Biro (bureau) Kelompok Kerja

Struktur, hirarki, pengendalian, otoritas, dikotomi, kebijakan-administrasi, rantai perintah, kesatuan perintah, rentangan pengendalian, pengangkatan atas kemampuan, sentralisasi

Efisiensi Ekonomi Efektivitas

Model Neobirokrasi Simon, Cyert March, Gore

Keputusan Positivis-logis, penelitian operasi, analisa sistem, sibernetika, ilmu manajemen, produktivitas

Rasionalitas Efisiensi Ekonomi

Page 14: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

40

1 2 3 4

Model Institusi Limbloom J. Tompson Crozier Downs Mosher Etzioni Blau Riggs V. Thompson Selznick

Keputusan (rasional) Keputusan (tambahan) Perilaku organisasi (sistem terbuka) Perilaku organisasi Perilaku individu dan organisasi Biro dan profesi Perbandingan perilaku organisasi (kekuasaan) Perilaku organisasi (pertukaran) Organisasi dan kebudayaan Perilaku organisasi Perilaku organisasi (organismis)

Empiris, positivis, birokrasi adalah cerminan kebudayaan, pola-pola perilaku birokrasi yang memusatkan perhatian pada kelangsungan, kompetisi, teknologi, rasionalitas, inkrementalisme, kekuasaan

Ilmu “Analisa yang netral tentang perilaku organisasi” Inkrementalisme Pluralisme Kritik

Model Hubungan Kemanusiaan McGregor Likert Bennis Argyris

Individu dan kelompok kerja Hubungan pengawas/pekerja Daya guna pengawas/pekerja Perubahan perilaku Perubahan perilaku

Hubungan antar pribadi dan antar kelompok, komunikasi, sanksi, motivasi, perubahan, latihan, pembagian otoritas, kebenaran prosedur, konsensus

Kepuasan pekerja Perkembangan pribadi Harga diri individu

Model Pilihan Publik Ostrom Buchanan, Tullock Olson Mitchell Froclich, Oppenheimer, Young Niskanan

Hubungan organisasi/klien dan distribusi barang-barang masyarakat umum Desentralisasi struktur yang tumpang tindih Sektor publik sebagai pasar Besarnya kelompok klien dan distribusi pelayanan publik Distribusi Kepemimpinan dan distribusi barang Perjanjian pelaksanaan

Antibirokrasi, penerapan logika ekonomi pada masalah-masalah distribusi pelayanan publik, amat analisis, pengibaratan pasar, kontrak-kontrak, kekecilan, desentralisasi, tawar-menawar

Pilihan atau kehendak warga negara Kesempatan mempergunakan pelayanan yang sama persaingan

Sumber: Frederickson (1988:28-30)

Sementara itu Frederickson dan Smith (2003) dalam bukunya yang

berjudul: The Public Administration Theory Primer memperkenalkan paradigma

terkait dengan teori politik birokrasi dalam kajian administrasi publik, yaitu

Allison’s Paradigm of Bureaucraticy Politics. Paradigma Allison ini berangkat dari

pemikiran bahwa teori politik birokrasi berusaha menjelaskan peranan dari

administrasi dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan. Kerangka ini secara

Page 15: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

41

khusus menolak adanya dikotomi politik-administrasi yang mendasari lahirnya

teori kontrol birokrasi. Beragam studi telah menegaskan bahwa birokrasi dan

para birokrat secara rutin mengalokasikan nilai-nilai dan memutuskan siapa

memperoleh apa, bahwa birokrasi secara logis melakukan apa yang disebut

Meier (1993) sebagai “politics of the first order”. Dengan demikian teori politik

birokrasi jika diamati secara empiris (praktek) sebagaimana telah lama dikatakan

oleh Dwight Waldo (1948) dalam karyanya “The Administrative State”,

administrasi bukanlah aktivitas teknis semata dan netral nilai dimana dapat

dipisahkan dari politik, namun administrasi adalah politik sebagaimana dikutip

oleh Frederickson dan Smith (2003:43).

Paradigma politik birokrasi dituangkan oleh Graham Allison (1971) dalam

karyanya “Essence of decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin (1972),

fokusnya pada essence of decision yang menjadi usaha pertama secara serius

dan komprehensif membangun kerangka kerja tawar-menawar dan negosiasi

dalam pengambilan keputusan. Melalui pertanyaan besar tentang pemicu utama

dari kebijakan demokratis yakni why do governments do what they do? In other

words, how is policy made, and who determines or influence it? Allison

memberikan jawaban melalui tiga model teoritisasi sebagaimana dikutip oleh

Frederickson dan Smith (2003:49). Ketiga model teoritisasi Allison meliputi:

pertama, model the actor rational (model aktor rasional) atau Model I (the

classical model). Model I ini menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dipahami

sebagai hasil dari single actor dalam membuat keputusan untuk kepentingan

strategis mereka sendiri.

Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses organisasional (the

organizational process paradigm) atau Model II. Model II ini mengakui bahwa

terdapat berbagai aktor yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan, dan

Page 16: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

42

proses pengambilan keputusan sangat terstrukutur melalui standart operational

procedural (SOP) yang disepakati.

Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics paradigm) atau

Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik birokrasi Allison ini

didasari oleh beberapa asumsi, antara lain: (1) Cabang eksekutif terbentuk dari

bermacam-macam organisasi dan individu, yang masing-masing memiliki

sasaran dan agenda yang berbeda-beda, serta aktor-aktor tersebut membawa

isu-isu tertentu yang menarik perhatian dengan motivasi dan kepentingan

masing-masing; (2) Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang

mampu bertindak sendiri-sendiri atau sepihak; (3) Keputusan akhir adalah akibat

dari politik (political resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah

adalah hasil dari proses tawar-menawar atau kompromi dari proses politik; (4)

Terdapat perbedaan antara policy-making dengan pelaksanaannya.

Perkembangan pemikiran administrasi publik dapat juga dipahami melalui

berbagai paradigma yang dipelopori oleh para ahli administrasi publik. Misalnya

Barzelay & Armajani (1992:533) mengungkapkan mengenai paradigma post-

bureaucratic sebagai antitesa dari paradigma bureaucratic. Pada paradigma

birokrasi menekankan kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol,

sementara paradigma post-birokratik menekankan hasil yang berguna pada

masyarakat, kualitas dan nilai, produk, keterikatan terhadap norma. Jika

paradigma birokratik mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur, maka

paradigma post-birokratik menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir

(outcome). Bila paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggungjawab

(reponsibility), maka paradigma post-birokratik menekankan pemberian nilai

(bagi masyarakat), membangun akutabilitas dan memperkuat hubungan kerja.

Page 17: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

43

Jika paradigma birokratik mengutamakan ketaatan pada aturan dan

prosedur, maka paradigma post-birokratik menekankan pemahaman dan

penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah, serta proses

perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir, apabila paradigma birokratik

mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi, maka paradigma post-

birokratik menekankan pemisahan antara pelayanan dengan kontrol,

membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,

mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis

hasil, dan memperkaya umpan balik.

Tabel 5. Perbandingan Paradigma Bureaucratic dan Post-Bureaucratic

Bureaucratic Paradigm Post-Bureaucratic Paradigm

Public interest Results citizens value

Efficiency Quality and value

Administration Product

Control Winning adherence to norms

Specify functions, authority, and structure

Identify mission, services, customers, and outcomes

Justify costs Deliver value

Enforce responsibility Building accountability Strengthen working relationship

Follow rules and procedures Understand and apply norms Identify and solve problems Continuously improve processes

Operate administrative systems Separate service from control Built support for norms Expand customers choice Encourage collective action Provide incentives Measure and analysis results Enrich feedback

Sumber: Barzelay & Armajani (1992:538)

Pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) dalam bukunya ”The New

Public Services: Serving Not Steering” mengungkapkan bahwa terdapat tiga

Page 18: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

44

paradigma atau perspektif dalam memahami pemikiran administrasi publik.

Ketiga perspektif yang dimaksud yakni old public administration, new public

management, dan new public services. Demikian halnya Bovaird dan Loffler

(2003), juga mengemukakan pandangan yang mirip dengan padangan Denhardt

dan Denhardt tersebut. Oleh Bovaird dan Loffler menyimpulkan bahwa public

administration, public management, dan public governance adalah tiga

pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian-kajian administrasi publik.

Dalam pandangan Denhard dan Denhard, perspektif awal adalah old

public administration, yang merupakan perspektif klasik yang berkembang

sejak munculnya tulisan Woodrow Wilson di tahun 1887 yang berjudul “the study

of administration”. Terdapat dua gagasan utama dalam perspektif ini, yakni (1)

menyangkut pemisahan politik dan administrasi, dan (2) administrasi publik

seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi dalam

pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi

yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui para

pakar seperti Frederick Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”,

Leonard D. White (1926) dan W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan

struktur organisasi yang sangat efisien, dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat

terkenal dengan akronimnya POSDCORB (Saleh & Muluk, 2006:231).

Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini

menaruh perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara

langsung kepada masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini

berpandangan bahwa organisasi publik beroperasi paling efisien sebagai suatu

sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara dalam pemerintahan

dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama administrator

publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian,

Page 19: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

45

pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, dan

penganggaran.

Perspektif administrasi publik kedua adalah new public management,

yang pada dasarnya berusaha menggunakan pendekatan sektor swasta dan

bisnis ke dalam sektor publik. Perspektif new public management sering

disingkat dengan NPM ini, berbasis pada teori pilihan publik (public choice

theory), dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari aliran kebijakan

publik (public policy schools) dan gerakan manajerialis (managerialism

movement). Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade memiliki akar yang

cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analisis kebijakan dan para ahli yang

menggeluti evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs

and benefit, dan rational models of choice. Selanjutnya aliran ini mulai

mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya

mereka sebut public management, yang sebenarnya sinonim dengan public

administration (Denhardt & Denhardt 2003:12-23).

Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari

pandangan bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada

kualitas dan profesionalisme para manajernya. Kemudian dapat dicapai melalui

produktivitas yang lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui

disiplin yan ditegakkan oleh para manajer yang berorientasi efisiensi dan

produktivitas. Untuk memainkan peran penting ini, manajer harus diberi ”the

freedom to manage” dan bahkan ”the right to manage” (Denhardt & Denhardt,

2003).

Menurut Sumartono (2007:10), perspektif NPM dalam prakteknya,

sebagai gerakan manajerialis mempunyai pengaruh besar dalam reformasi

administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia,

Page 20: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

46

Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan

sejak masa PM Margaret Thatcher. Di Amerika Serikat, gerakan ini mendapat

dukungan dan komitmen dari Al Gore, wakil presiden Amerika Serikat pada

tahun 1993, dengan konsepnya “work better and cost less” (Al Gore, 1993:22).

Kemudian dipopulerkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) melalui

karyanya ”reinventing government”. Gerakan ini menyebar keseluruh dunia

sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi

administrasi publik baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris ataupun

gerakan mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat.

Perspektif NPM ini menekankan pada penggunaan mekanisme dan

terminologi pasar (market based) yang memandang hubungan antara badan-

badan publik (pusat dan daerah) dengan pelanggannya (masyarakat) sebagai

layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Warga masyarakata

sebagai penerima manfaat ditempatkan sebagai costumer atau consumen.

Peran manajer publik berubah karena ditantang untuk selalu menemukan cara-

cara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan atau menswastakan berbagai

fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah termasuk penyediaan barang

publik (public goods) dan pelayanan publik (public services).

Fungsi manajer publik untuk mengarahkan bukannya mengayuh (steering

not rowing), yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan

sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui

mekanisme pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada

akuntabilitas pada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan

publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi,

dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.

Page 21: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

47

Tabel 6. Matriks Paradigma Administrasi Publik Menurut Denhardt dan Denhardt

Aspek Old Public Administration

New Public Management

New Public Service

Dasar teoritis & fondasi epistimologi

Teori politik Teori ekonomi Teori demokrasi

Rasionalitas & model perilaku manusia

Rasionalitas synoptic (administrative man)

Teknis & rasionalitas ekonomi (economic man)

Rasionalitas strategis atau rasional formal (politik, ekonomi, & organisasi)

Konsep kepentingan publik

Kepentingan publik secara politis dijelaskan & diekspresikan dalam aturan hukum

Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu

Kepentingan publik adalah hasil dialog berbagai nilai

Responsivitas birokrasi publik

Clients & constituents Customer Citizen’s

Peran pemerintah Rowing Steering Serving

Pencapaian tujuan Badan pemerintah Organisasi privat & nonprofit

Koalisi antarorganisasi publik, nonprofit & privat

Akuntabilitas Hierarki administratif dengan jenjang yang tegas

Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)

Multiaspek akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional

Diskresi Diskresi terbatas Diskresi diberikan secara luas

Diskresi dibutuhkan tapi dibatasi & bertanggungjawab

Struktur organisasi Birokratik yang ditandai dengan otoritas top-down

Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen

Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal & eksternal

Asumsi terhadap motivasi pegawai & administrator

Gaji & keuntungan, proteksi

Semangat entrepreneur Pelayanan publik dengan keinginan melayani masyarakat

Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003:28-29)

Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif NPM ini dapat dilihat dari

pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip

reinventing government, karya Osborne dan Gaebler (1992). Inti dari prinsip-

prinsip tersebut sebagai berikut:

Page 22: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

48

a) Catalystic government: steering rather than rowing. Pemerintahan

entrepreneur berfungsi memisahkan pembuatan/penetapan keputusan

(steering) dengan peran pemberian pelayanan (rowing). Tugas-tugas

operasional harus dilakukan oleh staf pelaksana yang diberi kewenangan

untuk itu dan para pimpinan yang tidak dibebani tugas-tugas operasional

agar mereka dapat menjalankan tugas utamanya membuat keptusan.

b) Community-owned government: empowering rather than serving.

Pemeritahan entrepreneur harus bekerjasama dengan atau melalu

masyarakat yaitu dengan memberdayakan masyarakat untuk

mengendalikan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri

dantidak lagi menggantungkan pemberian pelayanan kepada birokrat atau

petugas profesional.

c) Competitive government: injecting competition into service delivery.

Pemerintahan entrepreneur di dalam berperan sebagai penyedia pelayanan

harus dilakukan secara konpetetif misalnya harus lebih murah dan lebih

cepat agar pelanggan merasa puas. Monopoli pemerintah tidak lagi tepat

dan hanya dengan pemberian pelayanan yang kompetetif maka

pemerintahan akan lebih efisien, mendorong inovasi (innovation) dan

merevitalisasi lembaga-lembaga publik.

d) Mission-driven government: transforming rule-driven organizatitions.

Pemerintah lebih mengutamakan perwujudan misi atau tujuan daripada

peran pengaturan, yang memiliki beberapa keunggulan yaitu lebih efisien,

lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih bersemangat tinggi untuk

mewujudkan misi dan tujuannya.

e) Result oriented government: funding outcome, not inputs. Pemerintahan

lebih berorientasi pada hasil. Semua peningkatan dan penambahan

Page 23: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

49

sumber-sumber harus diperhitungkan lebih matang agar hasil benar-benar

dapat dicapai, tidak sekedar memboroskan sumber-sumber secara

membabi buta.

f) Customer-driven: meeting the needs of customer, not the bureaucracy.

Pemerintahan menciptakan sistem pelayanan yang ”ramah pelanggan” dan

sesuai dengan sebesar mungkin keinginan pelanggan secara holistik.

Sehingga pemerintah sebagai pemberi pelayanan selalu peka terhadap

kebutuhan dan keinginan pengguna pelayanan.

g) Enterprising government: earning rather than spending. Pemerintahan

didorong untuk menggunakan prinsip-prinsip kewirausahawan yang

condong berusaha meningkatkan terus pendapatan yang kemudian bisa

ditabung untuk menambah investasi dengan cara lebih berorintasi pada

keuntungan melalui penggunaan teknik-teknik manajemen yang lebih

rasional.

h) Anticipatory government: prevention rather than cure. Pemerintahan

diharuskan lebih preventif daripada kuratif antisipatif dan proaktif daripada

reaktif, berpandangan kedepan dalam proses pembuatan keptusan,

mengembangkan arah dan tujuan yang lebih strategis dan dinilai sangat

urgen.

i) Decentralized government: from hierarchy to participation and team work.

Pemerintahan lebih mengedepankan desentralisasi karena lebih

memberikan kesempatan atau pemberdayaan yang dibawah untuk

mengembangkan kemampuannya, meningkatkan semangat kerja, lebih

mempunyai komitmen yang tinggi terhadap tugas dan organisasinya

daripada pemerintahan yang sentralistik.

Page 24: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

50

j) Market oriented government: leveraging change through the market.

Pemerintahan entrepreneur lebih berorientasi pada pasar daripada strategi

birokrasi yang bergaya komando. Sasarannya adalah menyusun dan

menstruktur pasar sedemikian rupa dengan mendesain ulang peraturan-

peraturan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan publik.

Walaupun kesepuluh prinsip pemerintahan entrepreneur tersebut telah

diterapkan secara luas diberbagai negara, tetapi pandangan (Islamy, 2003:53)

menganggap konsep tersebut mempunyai dua kelemahan besar, yaitu (1)

hubungan transaksional antara penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan di

organisasi publik cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi

oleh pelanggan di pasar biasa atau normal; dan (2) para pelanggan di organisasi

publik tidak hanya sebagai ”konsumen” tetapi mereka juga adalah warga negara

yang tentu saja memiliki implikasi yang unik dalam proses transaksi tersebut.

Mengacu pada sepuluh prinsip tersebut, dimana diantaranya adalah

bahwa dalam perspektif new public management dianjurkan agar mengadopsi

nilai kompetisi dari sektor bisnis ke dalam manajemen sektor publik. Salah satu

konsep yang berbasis keunggulan berkompetisi adalah konsep inovasi, di mana

konsep ini lebih akrab dibahas dan dikembangkan di sektor bisnis.

Perspektif NPM, seperti halnya perspektif old public administration, tidak

hanya membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu.

Masalahnya terletak pada nilai-nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi,

rasionalitas, produktivitas dan bisnis karena dapat bertentangan dengan nilai-

nilai kepentingan publik dan demokrasi. Jika pemerintahan dijalankan seperti

halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik

maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan

publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt dan

Page 25: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

51

Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management

sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are

forgetting who owns the boat.” (Denhardt dan Denhardt, 2003:23).

Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa pemilik kepentingan publik yang

sebenarnya adalah masyarakat maka para administrator publik seharusnya

memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan

warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan

publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang

dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru

administrasi publik yang disebut sebagai new public service. Warga negara

seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya

membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana

membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas.

Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public

administration in the governance system that place public service, democratic

governance, and civic engagement at the center.” (Denhardt dan denhardt,

2003:24).

Pemahaman lebih jauh mengenai perspektif new public service ini dapat

disimak dari tujuh dasar pengembangan pelayanan publik (Denhardt dan

Denhardt, 2003:42-43), yakni:

1. Serve rather than steer. Meningkatnya peran birokrat yang dapat

membantu dan mengarahkan masyarakat untuk mengartikulasikan dan

saling membagi nilai daripada melakukan kontrol terhadap masyarakat.

Peran pemerintah bukan hanya sekedar membuat ketentuan dan

kebijakan, lebih dari itu bertindak dan melakukan negosiasi, fasilitasi dan

menjadi jembatan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam

Page 26: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

52

masyarakat (jika perlu bahkan melalui kerjasama antara sektor privat,

masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat).

2. Kepentingan publik adalah tujuan, bukan hanya sekedar produk.

Administrator publik harus dapat membangun kepentingan publik.

Tujuannya bukan untuk menemukan solusi yang cepat melalui pilihan dan

preferensi individu, tetapi lebih dari itu harus menghasilkan shared interest

dan shared responsibility dalam masyarakat.

3. Berfikir strategik dan bertindak demokratik. Kebijakan dan program akan

mencapai hasil yang efektif dan bertanggung jawab apabila dilakukan

melalui usaha-usaha kolektif dan proses yang kolaboratif antara pemerintah

dan masyarakat.

4. Melayani masyarakat bukan pelanggan. Kepentingan publik merupakan

hasil dialog tentang shared values, bukan hanya merupakan agregasi

kepentingan individu. Karena itu, administrator publik bukan hanya bekerja

dalam rangka memberikan pelayanan kepada pelanggan, tetapi lebih

banyak berfokus pada upaya untuk membangun kepercayaan dan relasi

yang kolaboratif dengan dan diantara masyarakat.

5. Akuntabilitas tidaklah sederhana. Administrator publik haruslah

memberikan perhatian lebih kepada masyarakat bukan hanya sebagai

pelanggan dalam sebuah pasar. Administrator publik harus berorientasi

pada hukum dan konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik,

standar profesional dan kepentingan masyarakat.

6. Menghargai masyarakat dan bukan hanya produktivitas. Organisasi publik

dan jaringannya akan bekerja dalam jangka waktu yang panjang, jika ada

penghargaan yang tinggi terhadap proses yang kolaboratif dan nilai

Page 27: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

53

kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada

semua orang.

7. Menghargai masyarakat dan pelayanan publik yang lebih tinggi daripada

kewirausahaan. Kepentingan publik dapat dikembangkan secara lebih baik

oleh administrator publik dan masyarakat daripada dilakukan oleh seorang

wirausaha. Karena sesungguhnya uang publik yang digunakan untuk

melayani masyarakat berasal dari uang yang dipungut dari masyarakat.

Pergeseran paradigma administrasi publik sebagaimana dipahami yakni

old public administration, new public management, dan new public service yang

dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2003), dapat juga dipahami melalui

pendapat Benington dan Hartley (2001) seperti dikutip Meehan (2003:6), bahwa

pemikiran administrasi publik telah bergeser dari traditional public administration

dan new public management ke model citizen-centered governance. Dimana

model citizen-centered governance oleh Denhardt dan Denhardt (2003)

disamakan dengan perspektif new public service dan networked governance oleh

Hartley (2005) serta post-managerial avenues oleh Vigoda-Gadot (2005). Baik

perspektif citizen-centered governance, new public service, networked

governance maupun perspektif post-managerial avenues pada prinsipnya

menempatkan masyarakat sipil (citizens) sebagai penentu strategi dari kebijakan

publik, serta penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan dengan

mengoptimalkan jejaring (network) dan kemitraan (partnership) dengan pihak di

luar pemerintah.

Pemahaman administrasi publik melalui citizen-centered model lebih

khusus dapat dipahami melalui kajian teori governance. Menurut Gerry Stoker

pemikir administrasi publik, dalam salah satu papernya yang dipublikasi oleh

Page 28: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

54

Unesco berjudul ”Governance as Theory: Five Propositions” (1998) menguraikan

lima proposisi governance sebagai sebuah teori yaitu:

1. Governance refers to a set of institutions and actors that are drawn from but

also beyond governance;

2. Governance identifies the blurring of boundaries and responsibilities for

tackling social and economic issues;

3. Governance identifies the power dependence involved in the relationships

between institutions involved in collective action;

4. Governance is about autonomus self-governing networks of actors;

5. Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest

on the power of government to command or use its authority. It sees

government as able to use new tools and techniques to steer and guide.

Melalui proposisi tersebut dapat dipahami bahwa makna governance

itu merujuk pada institusi dan aktor yang tidak hanya pemerintah, kaburnya

batas-batas dan tanggung jawab dalam mengatasi isu sosial dan ekonomi, dan

adanya ketergantungan dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam aksi

kolektif. Governance juga berkaitan dengan self-governing yang otonom dari

aktor-aktor lainnya dan memperbaiki sesuatu tidak perlu tergantung kekuasaan

pemerintah melalui perintah dan kewenangannya (Stoker, 1998:18).

Pandangan governance dari Stoker memiliki substansi yang relatif

sama dengan pendapat Rhodes (2007:3), bahwa ciri dari governance adalah

organisasi networks yang mana di dalamnya ada tuntutan pasar untuk saling

bertukar sumber daya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. Lebih lanjut

diuraikan karakteristik organisasi networks dalam teori governance, antara lain:

a. Interdependensi antara organisasi. Konsep governance mencakup lingkup

yang lebih luas daripada konsep government, yang meliputi aktor-aktor

Page 29: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

55

selain pemerintah seperti sektor swasta (private sector) dan masyarakat

madani (civil society);

b. Interaksi terus-menerus antar organisasi yang terlibat dalam networks

dalam rangka pertukaran sumber daya dan negosiasi dalam berbagi

sumber daya;

c. Interaksi seperti halnya permainan yang diikat dalam kepercayaan dan

negosiasi yang ditetapkan dan disetujui oleh masing-masing organisasi;

d. Tidak ada kewenangan yang mutlak, networks mempunyai derajat yang

signifikan dengan otonomi setiap organisasi. Networks tidak bertanggung

jawab langsung (accountable) kepada pemerintah (negara) mereka

mengatur dirinya sendiri tetapi negara dapat mengaturnya secara tidak

langsung dan tidak sepenuhnya.

2.3. Teori tentang Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah

Menurut Bank Dunia seperti yang dikutip oleh Wasistiono (2010:32)

bahwa dari dua puluh negara yang menjadi mitrakerja dalam desentralisasi,

Indonesia termasuk negara yang melaksanakan ”dentuman besar desentralisasi”

atau ”big bang decentralization”. Dikatakan melaksanakan dentuman besar atau

bahkan revolusi desentralisasi, karena melakukan transfer kewenangan dan

tanggung jawab publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan

dimensi yang sangat luas. Ini tampak dari luasnya urusan pemerintahan yang

dilaksanakan oleh daerah otonom sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti melalui PP No. 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Page 30: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

56

Secara teoritis dan empiris, setiap organisasi termasuk negara, selalu

menganut asas sentralisasi sejak kelahirannya sampai akhir hayatnya. Namun,

organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan

dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya

penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak

sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, diperlukan juga asas desentralisasi.

Menurut Hoessein (2009: 102) kedua asas tersebut (sentralisasi dan

desentralisasi) tidak dikotomis, tetapi berupa kontinuum. Organisasi yang besar

dapat memilih salah satu diantara dua alternatif tersebut. Tetapi organisasi

negara yang besar harus memilih alternatif yang ketiga: sentralisasi dan

desentralisasi bagi organisasi negara. Sentralisasi berperan untuk menciptakan

keseragaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi, sedangkan

desentralisasi berperan menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan

berbagai fungsi sesuai dengan keberagaman kondisi masyarakat.

Selanjutnya, disebutkan bahwa penyelenggaraan asas desentralisasi

selalu oleh asas sentralisasi. Dalam tataran organisasi negara dibedakan

penyelenggara desentralisasi dalam negara kesatuan dan negara federal. Dalam

negara kesatuan, desentralisasi diselenggarakan oleh pemerintah (pusat),

sedangkan dalam negara federal, desentralisasi diselenggarakan oleh

(pemerintah) negara bagian.

Mengkaji desentralisasi pada dasarnya harus dipahami bahwa tidak ada

teori tunggal tentang desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Smith

(1985:18) yang menggunakan istilah decentralization in theory dan bukan theory

of decentralization yang menjadi judul bab dua dalam salah satu bukunya. Bab

ini lebih pada penafsiran teori-teori sosial terhadap desentralisasi, bukan

membahas secara khusus mengenai teori desentralisasi. Perspektif teori-teori

Page 31: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

57

sosial yang dibahas oleh Smith meliputi liberal democracy theory, public choice

theory (economic interpretation), dan Marxist theory.

Teori demokrasi liberal (liberal democracy theory) memberikan dukungan

bagi desentralisasi karena mampu mendukung demokrasi pada dua tingkatan.

Pertama, memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional

karena local government itu mampu menjadi sarana pendidikan politik rakyat dan

memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan

stabilitas politik. Lebih jelasnya pendapat Hoessein yang dikutip oleh Muluk

(2007:2), mengungkapkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan

untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat

yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat.

Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangatlah erat.

Kedua, konsep local government mampu memberikan manfaat bagi

masyarakat setempat (locality). Penjelasan Hoessein seperti yang dikutip oleh

Muluk (2007:2), mengingatkan bahwa local government dan local autonomy tidak

dicerna sebagai daerah atau pemerintah setempat tetapi merupakan masyarakat

setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat

lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas bukan bangsa.

Penafsiran teori pilihan publik (public choice theory) tentang

desentralisasi menunjukkan adanya dukungan ahli ekonomi. Dalam teori ini, para

ahli menganggap bahwa desentralisasi merupakan media yang penting guna

meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dalam economic interpretation mengenai

teori pilihan publik, desentralisasi dimaknai secara instrumental atau medium

penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik.

Menurut perspektif ini, manfaat yang dapat dipetik dari local government,

yaitu pertama, adanya daya tanggap publik (pemerintah daerah) terhadap

Page 32: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

58

preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Kedua,

local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan

barang-barang publik (demand for public goods). Desentralisasi meningkatkan

unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan

kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Hal ini untuk

mengatasi kesulitan dalam mengetahui preferensi masyarakat, karena adanya

relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik,

partisipasi, dan kepemimpinan.

Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik

dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (supply of public goods).

Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik

diselenggarakan secara tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka

semakin besar pula kecenderungan untuk memberi pelayanan. Semakin

monopolistis suatu pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya.

Berdasarkan teori, yurisdiksi yang terfragmentasi akan memberikan kepuasan

kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi

akan memberikan peluang antaryurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam

memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanan.

Desentralisasi dalam perspektif Marxist, ditafsirkan bahwa desentralisasi

mengakibatkan adanya negara pada tingkat lokal. Para pendukung perspektif ini,

menempatkan desentralisasi sebagai objek dialektika hubungan antarsusunan

pemerintahan dan menuduh bahwa desentralisasi tidak mampu menciptakan

kondisi demokratis di tingkat lokal karena terhambat oleh faktor ekonomi, politik,

dan ekologi. Pandangan Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara

sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antarwilayah geografisnya.

Page 33: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

59

Adapun alasan-alasan ketidakpercayaan kelompak Marxist terhadap

desentralisasi, antara lain karena (1) desentralisasi akan melahirkan akumulasi

modal pada tingkat lokal; (2) desentralisasi akan memengaruhi konsumsi kolektif

sehingga akan dipolitisasi; (3) lembaga perwakilan dalam demokrasi lokal tetap

dikuasai oleh kaum kapitalis; (4) pemerintah lokal hanya menjadi perpenjangan

tangan pemerintah pusat dalam menjaga kepentingan monopoly capital; (5)

adanya rintangan politik, ekonomi, dan ekologis yang menyebabkan kegagalan

demokrasi lokal. Untuk itu kelima rintangan atau kelemahan desentralisasi ini,

hanya dapat diatasi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistribusi dan

keadilan.

Desentralisasi dalam konteks penataan organisasi perangkat daerah,

tampaknya harus dimaknai dalam perspektif liberal democracy dan economic

interpretation. Di mana dalam menata organisasi perangkat daerah harus

berbasis locality. Menurut perspektif demokrasi liberal, upaya-upaya dalam

mengatur kelembagaan pemerintah daerah harus didasari oleh prakarsa atas

aspirasi masyarakat lokal (local choice dan local voice). Sehingga pengaturan

terhadap kelembagaan pemerintah daerah tetap dalam kerangka membangun

local democracy.

Kemudian dalam perspektif economic interpretation, individu senantiasa

berusaha meningkatkan kesejahteraan pribadinya melalui pilihan yang rasional.

Olehnya itu, penataan organisasi perangkat daerah harus diarahkan dalam

rangka menciptakan local government yang memiliki daya tanggap terhadap

preferensi individu, memiliki kemampuan dalam memenuhi permintaan akan

barang dan pelayanan, dan juga diarahkan pada penciptaan local government

yang mampu memberikan kepuasan yang lebih dalam menyediakan penawaran

barang-barang publik dan pelayanan.

Page 34: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

60

Secara konseptual, desentralisasi dipandang oleh pakar administrasi

publik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Fesler

dan Leemans seperti dikutip dalam Hoessein (2000:12), memaparkan bahwa

tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari

komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa (national unity),

pemerintahan demokrasi (democratic government), kemandirian sebagai

penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial

ekonomi. Tujuan tersebut biasanya tercantum dalam kebijakan nasional,

peraturan perundang-undangan dan/atau pernyataan politik para elit nasional

mengenai desentralisasi dan otonomi daerah.

Mengingat beragamnya tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi,

maka tiap negara kerapkali membuat skala prioritas tujuan desentralisasi. Oleh

karena itu, terdapat variasi mengenai skala prioritas antarnegara dan bahkan

antar kurun waktu dalam suatu negara sebagai hasil kekuatan-kekuatan yang

berpengaruh. Hasil kajian lintas negara oleh Hoessein (2000:14) dijelaskan

bahwa pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi di berbagai

negara acapkali berpasangan dengan kesatuan bangsa, sedangkan pemilihan

skala prioritas tujuan desentralisasi pada demokrasi berpasangan dengan

kemandirian.

Demikian hanya, Halligan dan Aulich seperti dikutip Hoessein (2000:12)

mengajukan dua model pemerintahan daerah, yakni: (1) model local democracy

yang menekankan pada nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai lokal (democratic and

locallity values); (2) model efisiensi struktural (structural efficiency) yang

menekankan pentingnya pemberian pelayanan secara efisien kepada

masyarakat lokal (efficient distribution of services to local communities).

Page 35: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

61

Kedua model pemerintahan tersebut, dijelaskan oleh Hoessein (2000:13)

model demokrasi yang menurutnya mempunyai sejumlah nilai, yakni:

1. Pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam

penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambil keputusan

didaerah;

2. Pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman sebagai tanggap

terhadap kemajemukan tuntutan;

3. Pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan

tanggap masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat

dengan masyarakat;

4. Penyebaran kekuasaan merupakan nilai yang fundamental dan

pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan

atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah

dalam masyarakat.

Demikian halnya model efisiensi struktural, Hoessein (2000:14)

mengungkap analisisnya terhadap konsekuensi yang lebih rinci dari pemilihan

skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi terhadap struktur dan proses

pemerintahan daerah, yakni:

1. Terjadi kecenderungan untuk memangkas susunan daerah otonom;

2. Terjadi kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi

peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga

pembuat kebijakan dan lembaga kontrol;

3. Kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan

diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom;

4. Kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi;

Page 36: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

62

5. Terjadi semacam paradoks, di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari

daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumber daya

yang lebih mendukung bagi roda pemerintahan daerah, namun pada sisi

lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan berpotensi menjadi

gerakan separatisme.

Pendapat yang sejalan dengan dua model pemerintahan daerah di atas,

dikemukakan oleh James Manor seperti dikutip oleh Ratnawati (2003:79). James

Manor berpendapat bahwa ada dua perbedaan besar cara pandang terhadap

desentralisasi, yakni: Pertama cara pandang administratif yang lebih

mengedepankan persepsi ”pusat” memiliki asumsi antara lain: (1) kemajemukan

ditingkat lokal menuntut pendekatan yang fleksibel terhadap wilayah yang

berbeda dan desentralisasi yang demokratik dapat menfasilitasi perencanaan

yang efektif dan sekaligus implementasinya ditingkat lokal; (2) desentralisasi

yang demokratik merupakan saluran patronase untuk mendapatkan dukungan

politik kepada rejim yang berkuasa di tingkat pusat maupun lokal; (3) untuk

mencegah ketidakpuasan regional dan gerakan separatis, pemberian otonomi

perlu dilakukan; (4) tanggung jawab pemberian pelayanan (sumber-sumber

pendapatan) dapat dialihkan ke bawah melalui desentralisasi untuk meringankan

beban pemerintah pusat.

Kedua, cara pandang demokratik yang melihat kekuatan lokal sebagai

positive resources untuk pencapaian tujuan bersama. Rincian cara pandang

kedua ini, antara lain: (1) masyarakat grass roots yang memahami kekhususan

daerahnya seharusnya memiliki kontrol nyata atas bagaimana kebijakan negara

diformulasikan dan dilaksanakan; (2) dukungan kepada rejim dari grass roots

paling baik digerakkan melalui mekanisme pertanggungjawaban dan pemerintah

seharusnya bertanggung jawab atau dekat pada masyarakat lokal; (3)

Page 37: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

63

kemajemukan geografis budaya dapat diakomodasi melalui desentralisasi

demokratik; (4) jasa pelayanan yang dibiayai lokal lebih efektif disediakan ketika

masyarakat lokal dapat mempengaruhi proses.

Adapun bentuk-bentuk desentralisasi menurut Turner, M dan Hulme, D.

(1997:153), dapat dibedakan atas dasar pelimpahan (basis of delegation) dan

sifat pelimpahan (nature of delegation) suatu kewenangan. Secara lengkap,

bentuk desentralisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 di bagian berikut ini.

Tabel 7. Bentuk-Bentuk Desentralisasi versi Turner dan Hulme

Nature of Delegation Basis for Delegation

Territorial Functional

Within formal political structures

Devolution (political decentralization, local government, democratic decentralization)

Interest group Representation

Within public administrative or parastatal structures

Deconcentration (administrative decentralization, field administration)

Establishment of parastatals and guangos

From state sector to private sector

Privatization of devolved functions (deregulation, contracting out, voucher schemes)

Privatization of national functions (divestiture, deregulation, economic liberalization)

Sumber: Turner, M. & Hulme, D. (1997:153)

Dalam perspektif Rondinelli dan Cheema (1983:13-16) menguraikan

dasar pemikiran (rationale) atau alasan-alasan rasional lahirnya pilihan atas

kebijakan desentralisasi, antara lain:

Desentralisasi dapat mengatasi keterbatasan pemerintah pusat dalam hal

menyusun dan menyesuaikan rencana serta program pembangunan

dengan kebutuhan-kebutuhan wilayah lokal dan kelompok yang

heterogen.

Page 38: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

64

Mampu memotong sejumlah besar red tape dan prosedur yang rumit

sebagai karakteristik perencanaan dan manajemen yang terpusat dan

adanya over concentration kekuasaan serta sumber-sumber di pusat.

Hubungan yang lebih dekat antara pejabat pemerintahan lokal dan

masyarakat setempat, memungkinkan keduanya untuk mendapatkan

informasi yang lebih baik guna memformulasi perencanaan atau program

yang lebih realistik dan efektif.

Desentralisasi menjadi penetrasi politik dan administrasi, karena dukungan

elit lokal dan masyarakat seringkali lemah terhadap rencana pembangunan

nasional.

Dalam pembuatan keputusan dan alokasi sumber-sumber, desentralisasi

memungkinkan keterwakilan yang lebih besar dari bermacam-macam

kelompok politik, agama, etnis, dan suku.

Desentralisasi memberikan kesempatan kepada pejabat-pejabat setempat

untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan manajerial dan teknis.

Dengan desentralisasi juga dapat meningkatkan kemampuan pejabat-

pejabat tersebut untuk menangani urusan-urusan yang biasanya tidak

ditangani secara baik oleh departemen pusat, seperti pemeliharaan jalan

dan infrastruktur yang jauh dari ibukota negara.

Efisiensi dari pemerintah pusat meningkat karena membebaskan pejabat-

pejabat pusat dari tugas-tugas rutin, di mana tugas-tugas tersebut bisa

dilaksanakan secara lebih efektif oleh petugas lapangan atau pejabat-

pejabat lokal.

Desentralisasi memungkinkan koordinasi yang lebih efektif antara

pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan organisasi nonpemerintah (NGO)

untuk lebih fleksibel, inovatif dan kreatif dalam membuat kebijakan-

Page 39: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

65

kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada tempat-

tempat tertentu.

Desentralisasi dapat melembagakan partisipasi masyarakat dalam

perencanaan dan manajemen pembangunan secara umum, serta struktur

pemerintahan yang terdesentralisasi memfasilitasi pertukaran informasi

tentang kebutuhan-kebutuhan lokal.

Menjadi alternatif pembuatan keputusan, karena pemerintah pusat

seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan kelompok masyarakat miskin.

Menghasilkan fleksibel, inovatif dan kreatif dalam pemerintahan. Unit-unit

pemerintahan dapat secara leluasa melakukan inovasi dan bereksperimen

dalam berbagai kebijakan dan program.

Desentralisasi memungkinkan fungsi-fungsi manajemen dan perencanaan

pembangunan dapat lebih efektif dilakukan oleh masyarakat lokal sendiri.

Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik, karena kelompok-

kelompok masyarakat (stakeholders) yang berbeda-beda dapat terlibat

secara langsung dalam pembuatan keputusan.

Desentralisasi dapat meningkatkan sejumlah efisiensi dalam penyediaan

pelayanan dan barang publik (public goods and services).

Kemudian Rondinelli dan Cheema (1983:18-25) juga mengidentifikasi

adanya empat jenis desentralisasi sebagai berikut:

1. Dekonsentrasi (deconsentration), yaitu penyerahan sejumlah kewenangan

atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah

dalam kementerian atau badan pemerintah;

2. Delegasi (delegation to semi-autonomous or parastatal organizations), yaitu

transfer tanggung jawab untuk fungsi-fungsi secara rinci yang digambarkan

Page 40: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

66

pada organisasi-organisasi di luar struktur birokratis yang reguler dan

hanya secara tidak langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat;

3. Devolusi (devolution), yaitu pembentukan dan penguatan unit-unit

pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial

berada di luar kontrol pemerintah pusat; dan

4. Privatisasi (transfer of functions from government to non-government

institutions), yaitu memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi

kepada organisasi non pemerintah (NGO) atau perusahaan swasta yang

independen dari pemerintah.

Pandangan lainnya menurut Rondinelli dan Cheema (1983:22), bahwa

desentralisasi dalam bentuk yang murni (devolution) mempunyai karakteristik

mendasar, sebagai berikut:

1. Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas

sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat

melakukan sedikit atau tanpa kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit

tersebut;

2. Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui

secara hukum di mana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan

fungsi-fungsi publik;

3. Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan

sumber-sumber untuk menjalankan fungsi-fungsinya;

4. Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan

lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang

memberikan pelayanan dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai

pengaruh;

Page 41: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

67

5. Dengan desetralisasi berarti ada hubungan timbal balik, saling

menguntungkan dan hubungan yang terkoordinasikan antara pemerintah

pusat dengan pemerintahan daerah.

Pemerintahan daerah (local government) menurut United Nations yang

dikutip oleh Meenakshisundaram dalam Jha dan Mathur (1999:58) adalah suatu

sub-devisi politik pada suatu bangsa (dalam suatu negara federal di AS), yang

dibentuk atas hukum dan memiliki kewenangan penuh atas urusan lokal

termasuk dalam menarik pajak dan penggunaan tenaga kerja lokal untuk tujuan

tertentu dan pejabat pemerintahan ditentukan melalui pemilihan.

Muthalib dan Ali Khan (1982:2-18), menjelaskan secara komprehensif

pemahaman tentang arti dari konsep local government. Dinyatakan bahwa

secara konseptual local government harus dimaknai secara multi-dimensional.

Makna multi-dimensional tersebut meliputi: (1) dimensi sosial (social dimension);

(2) dimensi ekonomi (economic dimension); (3) dimensi geografis (geografic

dimension); (4) dimensi hukum (legal dimension); (5) dimensi politik (political

dimension); dan (6) dimensi administasi (administrative dimension).

Terkait dengan hal tersebut, Muthalib dan Ali Khan (1982:29-51) juga

mengemukakan kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi (need for

decentralised development). Kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi

bersinggunngan dengan adanya empat fungsi yang dimilikinya, yakni (1)

pembangunan desentralisasi akan meningkatkan partisipasi warga lokal; (2)

mempercepat pembangunan ekonomi lokal; (3) terjadinya transformasi sosial di

tingkat lokal; dan (4) pembangunan desentralisasi menciptakan pemerataan

hasil-hasil pembangunan.

Selanjutnya, menurut Meenakshisundaram seperti dikutip oleh Jha dan

Mathur (1999:60) menguraikan beberapa peran pemerintahan daerah (the role of

Page 42: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

68

local government) yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan yang

terdesentralisasi. Peran pemerintahan daerah yang dimaksud, sebagai berikut:

a. Menjadi senjata efektif dalam menghadapi tekanan lokal dengan

menampung dan mengartikulasikan kepentingan lokal, menjadi media

pendidikan politik bagi masyarakat yang merasakan langsung pelaksanaan

fungsi pemerintahan;

b. Karena kedekatannya secara lokasi, dalam hal penyediaan pelayanan jasa

dapat berlangsung lebih efisien;

c. Perencanaan dapat lebih baik karena lebih mengetahui kondisi lokalnya,

dengan penggunaan tenaga lokal yang lebih efisien pula;

d. Pejabat pemerintah bertanggung jawab lebih baik karena hubungan

dengan publik lebih dekat;

e. Pemerintah daerah dapat menjadi medium komunikasi efektif antara pusat

dengan masyarakat lokal terkait dengan program pemerintah pusat di

daerah.

Pada hakekatnya desentralisasi adalah mengotonomikan suatu

masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan arahan

konstitusi pengotonomian tersebut dilakukan dengan menjadikan masyarakat

tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota. Di samping itu desentralisasi juga

merupakan penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan bagi provinsi,

kebupaten dan kota. Dalam kerangka hukum selama ini pengertian

desentralisasi hanya menonjolkan aspek penyerahan urusan pemerintahan saja

(Hoessein, 2005:66).

Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa desentralisasi yang terjadi hanya

berupa penyerahan wewenang yang menjadi kompetensi pemerintah (presiden

dan para menteri). Jadi pada dasarnya desentralisasi hanya bersumber dari

Page 43: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

69

presiden dan para menteri. Tidak ada penyerahan wewenang dari lembaga-

lembaga tinggi negara lain. Tidak ada yang bersumber dari institusi MA, kecuali

untuk kasus provinsi Nangruh Aceh Darussalam, tidak ada penyerahan

wewenang dari DPR apalagi MPR.

Gambar 1. Jalur Penyerahan Urusan Pemerintahan

Bahwasanya selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang

sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya

dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan yang

diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang

Sumber: Hoessein, et al. (2005:66)

BPK DPR

MPR

MK MA

DESENTRALISASI

DPRD ELECTED

OFFICIALS

POLICY

MAKER

KDH PENGATURAN

PENGAWASAN APPOINTED

OFFICIALS

POLICY EXECUTIVE PENGURUSAN

PEMERINTAH

DAERAH

OTONOM

BIROKRASI DAERAH (PERANGKAT

DAERAH)

MENTERI

P

Page 44: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

70

menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara

lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan yang

mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas)

diselenggarakan secara desentralisasi.

Pembagian urusan pemerintahan, berangkat dari sebuah diktum tidak

mungkin urusan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%

desentralisasi dalam satu negara bangsa. Terdapat urusan pemerintahan yang

sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah

yakni: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5)

moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Di luar urusan-urusan pemerintahan

tersebut, pada prinsipnya urusan pemerintahan terpola menjadi dua bagian

yakni: (1) urusan yang dapat didesentralisasikan; dan (2) urusan pemerintahan

yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi.

Urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan terbagi atas: (1)

urusan yang 100 persen memungkinkan didesentralisasikan yang terbagi atas:

(a) menurut prakarsa sendiri; dan (b) yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan. Keduanya atas dasar local needs; (2) urusan yang dapat

didesentralisasikan masih terdapat kemungkinan dilakukan oleh pemerintah

karena berbagai hal tidak memungkinkan 100 persen didesentralisasikan. Oleh

karena itu, terdapat kemungkinan sentralisasi pada urusan seperti ini sehingga

dapat dilakukan melalui (a) medebewind (tugas pembantuan); (b) sentralisasi

murni; dan (c) dekonsentrasi tergantung pada skala ekonomi (efisiensi),

eksternalitas, lokalitas, dan catchment area.

Penjelasan terhadap kriteria-kriteria dalam distribusi urusan pemerintahan

yang disebutkan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ekternalitas (spill-

over) yaitu siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Pendekatan

Page 45: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

71

dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak

atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Apabila

dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut

menjadi kewenangan kabupaten/kota. Bila dampaknya bersifat regional menjadi

kewenangan provinsi dan bila bersifat nasional menjadi kewenangan pusat.

Kedua, akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan

pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang

menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih

langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani

tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan

pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Ketiga, efisiensi yakni otonomi daerah harus mampu menciptakan

pelayanan publik yang efisien dan mencegah high cost economy. Efisiensi

dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik. Skala

ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan yang optimal. Pendekatan ini

dengan pertimbangan bahwa apabila suatu urusan dalam penanganannya

dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh suatu

strata pemerintahan, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk

menangani urusan pemerintahan dimaksud. Daya guna dan hasil guna dapat

diukur dari proses yang lebih cepat, tepat, dan murah, serta hasil dan

manfaatnya lebih besar, luas, dan banyak dengan resiko yang minimal.

Berkaitan dengan sistematika distribusi fungsi atau wewenang dalam

rangka desentralisasi dapat dilacak dalam tulisan Diana Conyers (1986:88-100)

yang berjudul Decentralization and Development: a Framework for Analysis.

dalam tulisan tersebut Conyers mengungkap beberapa hal yang perlu

dipertimbangkan dalam distribusi fungsi atau kewenangan.

Page 46: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

72

Pertimbangan-pertimbangan dalam distribusi fungsi atau kewenangan

menurut Conyers tersebut, meliputi:

1. The functional activities over which authority is transferred;

2. The type of authority or powers which are transferred with respect of each

functional activity;

3. The levels or areas to which such authority is transferred;

4. The individual, organisation or agency to which authority is transferred at

each level; dan

5. The legal or administrative means by which authority is transferred.

Pemahaman lebih lengkap tentang distribusi fungsi atau wewenang dapat

dilihat penjelasan Muluk (2007:19) sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama,

menyangkut aktivitas fungsional apa yang perlu di desentralisasi. Komponen ini

meliputi keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi kesatuan nasional,

beberapa kategori fungsi, atau fungsi tunggal saja. Dalam hal ini, tampaknya

distribusi fungsi yang terjadi di Indonesia menurut UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah adalah mengikuti cara yang pertama, yakni

menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali aktivitas yang penting bagi kesatuan

nasional. Fungsi atau wewenang yang dikecualikan tersebut seperti yang tertera

dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3, yaitu: (1) politik luar negeri; (2)

pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6)

agama.

Kedua, tentang kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas

atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasan yakni:

(1) kekuasaan dalam pembuatan kebijakan yang dibagi lagi dalam kekuasaan

mengatur (policy making) dan mengurus (policy executing); (2) kekuasaan

keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran; dan (3)

Page 47: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

73

kekuasaan dalam bidang kepegawaian yang berhubungan dengan kekuasaan

menentukan prasyarat, penetapan, penunjukan, pemindahan, pengawasan dan

penegakan disiplin.

Ketiga, menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu yang

mencakup tiga tingkatan, yakni: (1) pada tingkatan wilayah (regions), provinsi

atau negara bagian; (2) tingkatan distrik atau kabupaten dan kota; (3) tingkatan

desa atau masyarakat. Kebijakan desentraliisasi di Indonesia yang mengacu

pada UU No. 32 Tahun 2004, kelihatannya tidak lagi merujuk pada istilah

tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah lainnya kini bersifat

coordinate dan independent.

Keempat, terkait dengan kepada siapa distribusi fungsi diberikan, ada

dua pilihan mendistribusikan kekuasaan, yakni: (1) kepada badan fungsional

khusus yang biasanya menjalankan fungsi tertentu saja (specialized functional

agency); dan (2) kepada badan berbasis wilayah yang menjalankan beragam

fungsi (multi-purpose territorially agency). Di Indonesia kebijakan desentralisasi

yang dianut mengacu pada distribusi fungsi jenis yang kedua, yaitu multi-purpose

territorially agency ketika daerah menjalankan banyak fungsi dan berupa badan

yang berbasis teritorial.

Kelima, menyangkut cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan.

Dalam hal bagaimana cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan, terdapat

dua cara yakni: (1) legislasi; dan (2) delegasi administrasi. Cara pertama yaitu

legislasi dibagi menjadi constitutional legislation berlaku di negara federal seperti

Amerika Serikat dan ordinary legislation berlaku di negara kesatuan seperti

Indonesia. Ilustrasi alur pembagian dan distribusi urusan-urusan pemerintahan

sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 38 Tahun 2007

dapat disimak pada Gambar 2 di bagian berikut ini.

Page 48: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

74

Gambar 2. Bagan Pembagian Urusan-urusan Pemerintahan Sumber: Hoessein, et al (2005:71) 2.4. Manajemen Pemerintahan Daerah

Memahami berbagai isu dalam menajemen pemerintahan daerah menjadi

sangat penting dalam mengkaji lebih dalam tentang inovasi yang dipraktekkan

oleh suatu pemerintahan daerah. Douglas J. Watson dan Wendy L. Hasset

(2003) menyunting sebuah buku berjudul Local Government Management:

Current Issues and Best Practices. Dalam buku ini, Watson dan Hasset

menampilkan beragam tulisan dari banyak ahli administrasi publik. Beragam

tulisan tersebut diklasifikasi dalam beberapa bagian yang merupakan aspek

penting yang harus dipahami dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Page 49: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

75

Berbagai aspek yang dimaksud meliputi: (1) hubungan antara pejabat yang

dipilih (elected officials) dan pegawai profesional (professional staff); (2)

manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management); (3)

manajemen aparatur publik (public personnel management); (4) pemerintahan

daerah yang lebih produktif dan responsif (local government more productive and

responsive); dan (5) partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen

involvement for participation).

Bagian pertama berkaitan dengan aspek hubungan pejabat yang dipilih

(elected officials) dan pegawai profesional (proffesional staff) dalam

pemerintahan daerah, pada dasarnya masih kental dengan pemikiran dikotomi

antara politik-administrasi (policy-administration dichotomy) lihat Watson dan

Hassett (2003:1-3). Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, yang

disebut sebagai elected officials adalah anggota DPRD dan Kepala Daerah dan

professional staff adalah para pegawai yang diseleksi (selected staff) yang

mengisi organisasi perangkat daerah (local bureaucracy).

Pada bagian pertama ini terdapat beragam pandangan terhadap relasi

pejabat yang dipilih dan pegawai profesional dalam pemerintahan daerah. Karl A.

Bosworth’s (1958) dengan tegas menyatakan bahwa ”the manager is a

politician”, karena peran utama yang dimainkannya sebagai pemimpin politik dan

pemimpin masyarakat. Juga memiliki pengaruh kuat dalam masalah-masalah

anggaran, keputusan-keputusan aparatur, dan kemampuan menasehati badan

perwakilan kota (city councils). Richard J. Stillman II (1977) berpandangan lain,

managers tidak dapat secara total berperan sebagai politician atau professional,

karena mereka harus hati-hati dan secara terus menerus berada diantara dua

kutub (poles of politics and expertise). Nelson Wikstrom (1979) menganggap

council-manager mayors hanya sebagai gelar-jabatan saja, perannya masih

Page 50: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

76

terbatasi dan seringkali hanya simbol seremonial sebagai representasi

pemerintahan daerah. Untuk itu peran mayors sebagai policy leadership and

direction, juga memiliki rasa tanggung jawab politik yang kuat dalam mengatasi

masalah-masalah sosial dan isu-isu kontroversial yang dihadapi masyarakat.

Sementara itu, James H. Svara (1985) menyatakan bahwa konsep

tradisional mengenai dikotomi politik-administrasi tidak cukup untuk menjelaskan

adanya hubungan kompleks antara elected officials dan city-managers. Sehingga

peran yang dimainkan oleh keduanya harus digambarkan dalam empat dimensi

proses pemerintahan yakni mission, policy, administration, dan management.

James M. Banovetz (1994), meramalkan bahwa city managers kembali memiliki

peran manajerial lebih kuat dan mengurangi peran kebijakan yang didasarkan

pada perubahan kenyataan politik. Robert S. Montjoy dan Douglas J. Watson

(1995) setelah mereviu beberapa tulisan yang terbaru menyimpulkan adanya dua

dikotomi yaitu the policy-administration dichotomy dan the politics-administation

dichotomy. Dalam literatur banyak dicatat peran city-managers dalam pembuatan

kebijakan. Padahal peran yang sama pentingnya bagi city-managers adalah

membatasi merasuknya politik tertentu dalam keputusan-keputusan manajemen

pemerintahan daerah. Pelayanan city-managers sebagai gatekeeper terhadap

kepala-kepala departemen/dinas yang melakukan pekerjaan atas dasar praktek

profesionalisme yang baik dan tidak merespon permintaan politik dari elected

officials. Terakhir dari James H. Svara (1999) menyimpulkan bahwa city-

managers harus memiliki peran sebagai penggagas sekaligus pelaksananya

(activist-inisiator), sementara itu elected officials lebih berperan sebagai

ombudsmen, current problem solvers, dan overseers of the manager’s work.

Bagian penting kedua dalam manajemen pemerintahan daerah adalah

manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management).

Page 51: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

77

Dalam Watson dan Hassett (2003:87-89) menyatakan bahwa jika managers

pemerintahan daerah tidak sukses menggunakan dan mengendalikan sumber-

sumber keuangan yang mereka miliki akan mengalami kegagalan. Kegagalan ini

kemudian berakibat terhadap berkurangnya kepercayaan publik terhadap

pemerintahan dan berdampak negatif pada elected official terhadap siapa

mereka bekerja. Untuk itulah, menjadi alasan mendasar betapa manajemen

keuangan menjadi penting bagi managers pemerintahan daerah. Dinyatakan

pula bahwa kemampuan pemerintahan daerah menyelesaikan misinya adalah

cerminan dari kualitas manajemen anggaran dan praktek manajemen keuangan

lainnya. Hal ini telah banyak diamati oleh para ahli bahwa anggaran

mencerminkan nilai-nilai dan pilihan kebijakan dari publik (policy choices of the

public), para politisi, dan administrator publik profesional.

Bagian penting ketiga dari manajemen pemerintahan daerah menurut

Watson dan Hassett (2003:185-187) adalah perubahan dalam manajemen

aparatur publik (public personnel management). Diasumsikan bahwa

pemerintahan pada semua tingkatan mengalami perubahan besar yang

dipengaruhi oleh kekuatan luar yang berlangsung secara terus menerus.

Misalnya, gerakan politik anti pemerintahan yang sudah berlangsung lebih dari

dua dekade menimbulkan tekanan terhadap pemerintahan untuk menjadi lebih

kecil dan efisien. Kemajuan teknologi telah menciptakan banyak jenis pekerjaan

di sektor publik menjadi usang dan dibutuhkan sejumlah hal baru. Gerakan

privatisasi menyebakan beberapa fungsi di sektor publik dialihkan ke sektor

swasta. Isu-isu hukum dan konstitusi merubah manajemen aparatur publik

secara drastis sepanjang lebih dari tiga dekade. Berbagai pengaruh dalam

manajemen aparatur publik menciptakan banyak tantangan yang harus dihadapi

oleh pemerintahan daerah, misalnya peluang yang sama bagi semua klas warga

Page 52: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

78

masyarakat dalam dunia kerja, perlindungan kecelakaan ditempat kerja,

pengaruh minuman dan obat terlarang, pelecehan seksual, dan sebagainya.

Menjadikan pemerintahan daerah lebih produktif dan responsif (making

local government more productive and responsive) merupakan bagian penting

selanjutnya dalam manajemen pemerintahan daerah. Menurut Watson dan

Hassett (2003:279-281) tuntutan agar pemerintahan daerah lebih produktif dan

responsif telah berlangsung lama. Warga masyarakat menolak meningkatkan

pembayaran pajaknya jika secara terus menerus permintaan pelayanan yang

lebih baik tidak diwujudkan oleh pemerintahan daerah. Sementara itu,

pemerintah daerah menghadapi keterbatasan fiskal yang disebabkan oleh inflasi

yang sangat tinggi, berkurangnya bantuan federal, dan krisis ekonomi nasional.

Sehingga para pejabat lokal harus mencari pendekatan baru (new approachs)

untuk meningkatkan penyediaan pelayanan, mengurangi biaya, dan persiapan

dimasa yang datang.

Beberapa pendekatan baru sebagai instrumen meningkatkan efektivitas

pemerintahan daerah di antaranya menurut Louise G. White (1982) adalah

melalui pendekatan management by objectives. Melalui instrumen pendekatan

management by objectives, White mengusulkan kepada councilors melakukan

tiga hal, yakni to set long-term goals; to function effectively as group; dan to work

more effectively with the administrative staff. Bagi Richard G. Higgins (1984)

menyarankan pemerintah menggunakan pendekatan ”cutback management”

atau ”doing more with less” melalui tiga hal yakni: mencari sumber penghasilan

baru; meningkatkan produktivitas program dengan memaksimalkan sumberdaya

yang tersedia (to maximize existing resources); dan secara selektif memangkas

rantai layanan (across-the-board cut in services). Sementara itu, Gregory Streib

(1992) memperkenalkan konsep perencanaan strategis sebagai cara efektif

Page 53: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

79

menghadapai lingkungan yang tidak stabil. Demikian juga fungsi-fungsi

manajemen pemerintahan daerah yang meliputi leadership, human resources,

management skills, dan external support mengalami disassociation sehingga

seringkali berjalan tidak efektif dalam proses pembuatan keputusan.

Pendekatan ”total quality management (TQM)” merupakan salah satu

instrumen manajemen yang dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kepada konsumen dan konstituen. Setelah sukses diterapkan di organisasi

sektor swasta, pendekatan TQM ini diperkenalkan pada organisasi pemerintahan

di akhir tahun 1980an. Menurut West, at al (1993), seperti dikutip Watson dan

Hassett (2003:280) bahwa satu di antara empat council-manager cities yang

disurvei telah menerapkan teknik manajemen ini. Terdapat tiga tugas utama

seorang pemimpin dalam penerapan TQM, antara lain: (1) transformational,

yakni tugas pemimpin untuk ”formulating and communicating new, visionary

goals” dan menanamkan dalam organisasi mengenai komitmen terhadap

pelanggan atau konstituen; (2) transactional, yakni tugas pemimpin untuk

membangun komitmen anggota terhadap program dan kebijakan baru, baik

sukarela maupun paksaan; dan (3) representational, yakni berkaitan dengan

proses mendapatkan dukungan dari stakeholders utama, misalnya anggota dari

the city council dan tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat.

Tawaran konsep berbeda ditemukan dalam tulisan Marlowe, at al (1994)

sebagaimana dikutip oleh Watson dan Hasset (2003:281) menyatakan bahwa

untuk merespon kekuatan-kekuatan perubahan dalam pemerintahan daerah dan

masyarakat yang sudah bersifat nyata dan berjangka panjang, diperlukan tiga

strategi yang disebut sebagai re-movement. Strategi re-movement yang

dimaksud adalah gerakan reinvention, reengineering, dan restructuring. Ketiga

Page 54: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

80

strategi re-movement diyakini mampu mengatasi ketidaktepatan desain struktur

organisasi pemerintahan daerah dalam mengatasi masalah krusial masyarakat.

Pelibatan dan partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen

involvement for participation). Dalam Watson dan Hassett (2003:353) disebutkan

bahwa pentingnya pelibatan warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan

daerah didasari oleh asumsi-asumsi paradigma democratic governance. Salah

satu asumsi dasar dalam democratic governance menyatakan bahwa individu-

individu yang dipilih oleh warga sebagai pejabat politik (political office),

seharusnya merepresentasikan sejumlah masalah dan kepentingan dari

diperintah. Mereka yang terpilih dianggap representasi karena mereka memiliki

kedekatan baik secara fisik maupun emosional.

Salah satu tulisan yang sangat menarik dan relevan dengan penelitian ini

adalah artikel Paul Teske dan Mark Schneider (1994), berjudul The Bureaucratic

Entrepreneur: the Case of City Managers. Dalam tulisan Teske dan Schneider

(1994) seperti dikutip oleh Watson dan Hassett (2003) menyebutkan bahwa

pendekatan entrepreneurial innovation dan creative leadership sering muncul

sebagai tekanan dari warga municipalities untuk menyelesaikan masalah yang

sedang dihadapi masyarakat. Berkaitan dengan pendekatan entrepreneurial

managers berhadapan dengan dua kondisi berbeda, yakni (1) kondisi internal (an

internal world) yang terbatas pada kebutuhan manajemen local bureaucracy; dan

(2) kondisi eksternal (a complex external world) yang berhadapan dengan

lingkungan politik, hukum, dan lingkungan ekonomi dimana suatu daerah berada.

Isu-isu internal biasanya terkait dengan kemampuan managers memotivasi

pegawai sektor publik untuk bekerja lebih efisien. Bagi entrepreneurial managers

selalu mencari perubahan, sehingga membutuhkan pegawai yang mau

mengatasi kelambanan (inertia) dan menjadi lebih produktif. Isu-isu eksternal

Page 55: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

81

berkaitan dengan kendala-kendala dan peluang-peluang ditengah perubahan

lingkungan masyarakat. Juga terkait dengan kebutuhan managers berinteraksi

dengan politisi lokal dan konstituen pendukung kebijakan yang baru.

Hal menarik lainnya ditemukan dalam tulisan Evan M. Berman (1997)

berjudul Dealing with Cynical Citizens, yang menganjurkan agar memasukkan

unsur sentimen ketika membahas keterlibatan dan partisipasi warga dalam

pemerintahan daerah. Berman (1997) sebagaimana dikutip oleh Watson dan

Hasset (2003:355) menyarankan supaya masalah sentimental warga juga

menjadi perhatian dan diminati para akademisi dan praktisi administrasi publik,

terutama dalam membentuk sikap publik. Konsep tentang sentimen warga ini

dapat dipahami melalui teori yang disebut sebagai teori sinisisme (theory of

cynicism). Konsep sinisisme sering ditemui dalam kajian-kajian tentang trust dan

social capital.

Manajemen pemerintahan daerah dapat pula dipahami dari pandangan

John Stewart (1995) dalam bukunya berjudul Understanding the Management of

Local Government: Its Special Purposes, Conditions and Tasks. Menurut Stewart

(1995) manajemen dalam pemerintahan daerah seharusnya dipahami berbeda

dengan manajemen pada umumnya. Mengapa demikian, karena manajemen

dalam pemerintahan daerah adalah bagian dari teori domain publik (public

domain theory) yang memiliki karakterisitik dari segi tujuan (purposes), kondisi

(conditions) dan tugas-tugas (tasks) tertentu.

Kemudian Stewart (1995) menjelaskan bahwa manajemen dalam teori

domain publik ini akan menemui resiko-resiko, baik yang disadari atau tidak

disadari, jika manajemen dalam domain publik menggunakan konsep-konsep

yang ”tidak jelas” yang berasal dari luar teori domain publik tersebut. Namun

tidak berarti bahwa manajemen dalam konteks ini tidak dapat belajar manajemen

Page 56: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

82

dari sektor swasta, ataupun sebaliknya. Apa yang tidak dapat dialihkan adalah

model manajemen yang berkaitan dengan tujuan (purposes), kondisi (conditions)

dan tugas-tugas (tasks) tertentu tersebut.

Pemahaman terhadap karakteristik tertentu dari aspek tujuan (purposes),

kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) dalam manajemen pemerintahan

daerah tercerminkan oleh beberapa asumsi antara lain: (1) pemerintahan daerah

sebagai institusi politik (political institution); (2) pemerintahan daerah selalu

dilandasi oleh pilihan lokal (local choice); (3) organisasi pemerintahan daerah

tidak bertujuan tunggal tapi multi-purposes, sehingga dalam inti manajemennya

menganut multi-valued choice; (4) legitimasi otoritas lokal didapat melalui

election, karena proses election merupakan metode rekrutmen dalam institusi

kekuasaan dan proses politik yang diikuti oleh partai-partai politik.

Stewart (1995) juga menjelaskan tentang adanya kondisi dan tugas-tugas

tertentu yang harus dipahami dalam manajemen pemerintahan daerah.

Karakteristik dari kondisi yang dimaksud bahwa pada dasarnya otoritas lokal

memiliki area (wilayah), yang mana menunjukkan nama dan identitasnya, area

tempat melaksanakan fungsi-fungsinya secara fokus, area memberi batasan

agar tercapai efektivitas dan efisiensi. Otoritas lokal terkait dengan lingkungan

eksternal, melaksanakan tugas dalam organisasi yang terbuka, sehingga

manajemen bersifat multi-kontak. Tugas pokok otoritas lokal adalah menjalankan

kekuasaan pemerintahan publik, sehingga harus memiliki akuntabilitas, yang

biasanya dinilai memalui prosedur tertentu yang disebut elections. Otoritas lokal

diberi tugas dan kewajiban oleh undang-undang (statutory) dan kekuasaaan

discretionary. Dalam fungsinya sebagai penyedia pelayanan publik, pemerintah

daerah tidak hanya dituntut agar memenuhi prinsip ekonomis, efektif, dan efisien

(3Es) tetapi prinsip equity dan equality harus pula diperhatikan.

Page 57: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

83

2.5. Birokrasi Pemerintahan Daerah

Memahami eksistensi birokrasi dalam pemerintahan daerah, dapat dilihat

dari beragam perspektif dan pendekatan. Pemahaman terhadap eksistensi

birokrasi pemerintahan daerah ini terasa penting, mengingat posisi dan peran

birokrasi yang sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Termasuk dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang inovatif. Oleh karena itu, pada bagian ini disajikan beberapa pandangan

dari para pemikir administrasi publik terkait dengan perspektif dan pendekatan

dalam memahami birokrasi pemerintahan daerah tersebut. Selain itu, juga akan

diungkapkan konsep birokrasi pemerintahan daerah yang lazim digunakan dalam

sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni Perangkat Daerah.

Dalam paradigma pemikiran tentang bagaimana birokrasi lahir, para ahli

administrasi publik berpendapat bahwa pada umumnya terdapat dua mainstream

pemikiran (Setiono, 2002:23). Kedua mainstream pemikiran tentang eksistensi

birokrasi tersebut yakni pertama, birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan.

Mainstream pertama ini menyebutkan penguasa yang kuat harus dilayani oleh

para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal). Konsep

pemikiran ini menyarankan bahwa apabila ingin kekuasaannya berjalan efektif,

maka harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional, dan kokoh.

Birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan

kekuasaan dan kepentingannya dalam mengatur masyarakat.

Kedua, birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk

dilayani. Mainstream kedua ini menyebutkan bahwa birokrasi itu ada karena

memang rakyat menghendaki eksistensi mereka untuk membantu mencapai

tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama. Birokrasi lahir karena

Page 58: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

84

adanya kebutuhan lembaga (institutions) yang bertugas menyelenggarakan

pelayanan publik (public services). Kebutuhan terhadap pelayanan publik yang

dijalankan birokrasi, berjalan seiring dengan kebutuhan kolektif (collective needs)

anggota masyarakat terhadap jenis pelayanan tertentu. Dengan demikian

masyarakat perkotaan (urban society), kebutuhan kolektifnya berbeda dengan

masyarakat pedesaan (rural society). Sehingga jenis-jenis organ birokrasi yang

melayani masyarakat desa tentu saja berbeda dengan masyarakat perkotaan.

Kedua mainstream tersebut dalam kenyataan tidaklah berjalan secara

murni. Pada setiap negara pembentukan institusi-institusi birokrasi biasanya

merupakan hasil perpaduan antara kebutuhan penguasa sekaligus kebutuhan

masyarakat. Hanya sedikit institusi birokrasi lahir karena kebutuahn penguasa

saja atau tuntutan masyarakat saja.

Eksistensi birokrasi pemerintahan daerah sebagai obyek kajian, dapat

pula dilihat dari perspektif teoritik mengenai birokrasi. Dalam perspektif teori

birokrasi pada umumnya di awali dengan mereviu prinsip-prinsip birokrasi Max

Weber (1922). Prinsip-prinsip birokrasi Weber yang identik dengan teori birokrasi

klasik ini adalah salah satu teori utama yang berpengaruh terhadap semua organ

birokrasi di hampir setiap negara saat ini. Gagasan-gagasan Weber mengenai

birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang

demokratis maupun otoriter.

Birokrasi rasional adalah sebuah konsepsi birokrasi yang muncul atas

dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas

tradisional ataupun otoritas kharismatik. Oleh karena itu, Weber menyusun lima

kayakinan dasar agar tercipta otoritas hukum yang menjadi dasar adanya

birokrasi rasional. Kelima keyakinan dasar otoritas hukum Weber seperti dikutip

oleh Albrow (2004:42) adalah sebagai berikut:

Page 59: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

85

1. Undang-undang (code) dapat diciptakan dan menuntut kepatuhan dari

para anggota organisasi

2. Hukum adalah sistem aturan yang abstrak yang diterapkan pada kasus

tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang

ada dalam batas-batas hukum.

3. Orang yang menjalankan otoritas itu harus mentaati tatanan inpersonal

(memisahkan kepentingan tugas dan pribadi).

4. Orang menaati hukum adalah karena mereka sebagai anggota organisasi

bukan karena sebab lain.

5. Kepatuhan seharusnya tidak ditujukan pada individu yang memegang

otoritas, tetapi kepada tatanan hukum impersonal yang telah memberikan

wewenang kepada orang itu.

Berdasarkan kelima konsepsi keabsahan birokrasi itu, selanjutnya Weber

menyusun sebuah model birokrasi ideal yang berisi ciri-ciri khusus yaitu hirarki

kewenangan yang jelas, pembagian kerja atas dasar spesialisasi fungsional,

sistem pengaturan hak dan kewajiban pada pejabat, hubungan pribadi yang

bersifat impersonal, dan seleksi pegawai atas dasar kompetensi teknis. Menurut

Zauhar (2005), karakterisitik birokrasi legal rasional inilah yang dimaksudkan

untuk mencapai dan menerapkan nilai-nilai yang dianggap baik. Birokrasi yang

mempunyai ciri-ciri di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi

organisasi, karena itu dinamakan birorasionalitas dan biroefisiensi. Sedangkan

yang lain, yang tidak dapat menimbulkan efisiensi alias pemborosan disebut

sebagai biropatologi.

Menurut Albrow (2004:59) dan Setiono (2002:46) walaupun teori birokrasi

rasional Weber ini menjadi salah satu referensi utama teori birokrasi, namun

beberapa bagian pemikiran tersebut mendapat kritikan yang cukup mendasar

Page 60: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

86

dari beberapa pihak. Beberapa bagian pemikiran birokrasi Weber yang dikritik

dan pengkritiknya, antara lain (1) struktur yang berjenjang, dikritik oleh Robert K.

Merton (1940) dan Reinhard Bendix (1940); (2) adanya pemusatan perhatian

yang spesifik pada spesialisasi unit, dikritik oleh Robert K. Merton (1940) dan

Philip Selznick (1949); (3) bentuk birokrasi yang mirip militer, dikritik oleh Carl

Friedrich (1940); dan (4) penekanan pada aspek legalitas, mendapat kritikan dari

Rudolf Smed (1928).

Terhadap berbagai kritikan atas kelemahan dalam konsep dan praktek

birokrasi Weber tersebut, Zauhar (2005) mengusulkan pemikiran-pemikiran

alternatif. Bahwa diperlukan organisasi di mana setiap orang bertanggung jawab

atas keberhasilan keseluruhan (the whole). Untuk itu, pemisahan orang berdasar

fungsi secara apriori harus dihapuskan. Hubungan antaranggota lebih

didasarkan pada hakekat permasalahan ketimbang struktur organisasi, dan

kerangka kerja lebih didasarkan pada kesepakatan terbuka ketimbang pada

hirarki dan otoritas. Ini semua merupakan ciri dasar organisasi pasca-birokrasi

yang memandang setiap anggota organisasi sebagai manusia yang utuh, dan

karenanya dianggap lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang.

Birokrasi dapat juga dilihat dari perspektif peran dan fungsi spesifik

birokrasi dalam sistem politik pemerintahan. Menurut Setiono (2002:59) bahwa

peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan dapat

dilihat dalam beberapa aspek, meliputi: petama, birokrasi berperan dalam proses

input. Artinya birokrasi dapat berperan memberikan usulan dan pendapat

(menyampaikan aspirasi) kepada lembaga legislatif (DPR dan DPRD) untuk

diproses menjadi sebuah kebijakan (policy) atau peraturan (regulation). Dalam

proses ini birokrasi berperan seperti interest group dan pressure group.

Page 61: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

87

Kedua, birokrasi berperan dalam proses legislatif. Birokrasi memiliki

berbagai aset informasi yang sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan

pada lembaga legislatif, maka institusi birokrasi yang terkait dengan suatu

rancangan keputusan biasanya dipanggil untuk memberikan pendapat sebelum

kebijakan dan peraturan tersebut ditetapkan.

Ketiga, birokrasi berperan sebagai interpreter (penerjemah) produk

legislatif. Birokrasi melakukan penafsiran, penjabaran, dan penjelasan atas

sebuah kebijakan dan peraturan yang telah ditetapkan. Peran ini sangat

signifikan mempengaruhi implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh insititusi

legislatif. Birokrasi membuat tafsiran dan perincian kebijakan secara teknis,

karena apa yang dihasilkan oleh institusi legislatif masih bersifat global.

Keempat, peran spesifik terakhir birokrasi adalah birokrasi bertindak

sebagai eksekutor dari sebuah keputusan politik. Agar keputusan politik yang

dikeluarkan oleh lembaga legislatif dapat berjalan efektif di tengah masyarakat,

maka birokrasi bertugas mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut.

Setelah memahami paradigma pemikiran mengenai mengapa birokrasi itu

lahir, teori dan konsep awal birokrasi, peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam

sistem politik pemerintahan, maka selanjutnya disajikan teori dan konsep yang

menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa birokrasi itu bekerja dalam sebuah

sistem pemerintah daerah.

Bagaimana peran dan fungsi birokrasi yang begitu strategis dijalankan

dalam suatu sistem pemerintahan (daerah)? Jawaban atas pertanyaan ini, salah

satunya dapat dimengerti dengan memahami birokrasi dari perspektif organisasi.

Menurut James Q. Wilson (1989) dalam bukunya berjudul: Bureaucracy: What

Government Agencies Do and Why They Do It, bahwa melalui perspektif

organisasi, maka birokrasi (bureaucracy) dapat dianalisis dalam tiga tingkatan.

Page 62: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

88

Ketiga tingkatan dalam birokrasi pemerintahan tersebut, yaitu (1) tingkatan

operasional (operators level); (2) tingkatan manajerial (managers level); dan (3)

tingkatan eksekutif (executives level).

Ketiga tingkatan birokrasi pemerintahan tersebut dijelaskan oleh Wilson

(1989 :27) secara berurutan, bahwa menganalisis birokrasi pada tingkatan

operasional (operators level or rank-and-file employees) adalah memahami

budaya birokrasi dari sudut pandang apa tindakan dan mengapa tindakan

tersebut dilakukan oleh para “operator” (street level bureaucracy). Dalam analisis

ini disebutkan terdapat alasan-alasan yang melatari tindakan yang diambil oleh

para pegawai pada tingkatan ini. Alasan-alasan yang melatari tindakan yang

dimaksud meliputi terkait dengan tujuan formal organisasi, situasi yang dihadapi

(masalah lingkungan), pengalaman yang pernah dilalui, kepercayaan individu

yang dianut, harapan dari kolega, kepentingan dimana organisasi tersebut

berada, dan alasan pendirian suatu organisasi. Kombinasi dari alasan (faktor-

faktor) itulah yang membentuk budaya organisasi yang membedakan operator

dalam melihat dan bereaksi terhadap dunia birokrasi. Budaya organisasi ini pula

yang memberikan otoritas diskresi yang dimiliki oleh para operator.

Analisis birokrasi pemerintahan pada tingkatan manajerial (managers

level) berbeda dengan analisis pada tingkatan operasional. Pada tingkatan

manajerial, para manajer bertugas untuk mengalokasikan seluruh sumber daya

yang dimiliki organisasi, mengarahkan para pegawai, dan berusaha mencapai

tujuan organisasi. Budaya manajerial terbentuk oleh sejauh mana mereka

mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya. Budaya

manajerial tidak dibentuk oleh keharusan dalam bertindak secara rutin sepanjang

hari sebagaimana tindakan para operator. Lalu bagaimana cara para manajer

mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya? Hal ini sangat

Page 63: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

89

dipengaruhi tergantung pada jenis organisasi (production, procedural, craft, and

coping organizations) di mana para manajer bekerja.

Menurut Wilson (1989:28) analisis pada tingkatan eksekutif (executives

level) birokrasi pemerintahan, para pejabat organisasi yang ada pada tingkatan

eksekutif seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap organisasinya secara

keseluruhan. Pejabat yang ada pada tingkatan eksekutif memiliki otonomi dan

kewenangan untuk selalu memperhatikan jaminan terhadap posisi dan jabatan

politik yang mereka miliki. Melakukan pengawasan terhadap wilayah kerjanya.

Sehingga pejabat pada tingkatan eksekutif pada dasarnya memiliki tujuan ganda

yakni menjaga organisasi agar tetap eksis dan selalu menjamin posisi dan

jabatan yang dipegangnya. Untuk itu, pejabat eksekutif selalu mencoba dan

melakukan berbagai strategi dan menganjurkan untuk melakukan inovasi.

Hal menarik selain analisis birokrasi pemerintahan dalam tiga tingkatan

sebagaimana diuraikan adalah adanya tipologi organisasi pemerintahan yang

terbagi empat kelompok. Empat kelompok tipologi organisasi pemerintahan

menurut Wilson (1989:158), yakni (1) Production organizations; (2) Procedural

organizations; (3) Craft organizations; dan (4) Coping organizations.

Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi pertama

production organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri

measurable processes and visible or understandable outputs. Di mana kinerja

pada proses kerjanya jelas terukur dan memiliki kinerja hasil (output) yang jelas

dan terukur pula. Contoh tipe organisasi ini adalah organisasi perbankan dan

Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah.

Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi kedua

procedural organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri

measurable processes but they have no visible or easily measurable outputs,

Page 64: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

90

yakni organisasi di mana kinerja prosesnya dapat terukur tetapi kinerja outpunya

tidak mudah diukur. Organisasi pemerintahan yang termasuk tipe ini misalnya

organisasi TNI dan organisasi kepolisian.

Tipe organisasi pemerintahan yang ketiga adalah craft organization, yakni

organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri kinerja prosesnya yang jelas dan

terukur, tetapi outpunya tidak jelas dan juga tidak terukur. Contoh organisasi

pemerintahan yang termasuk tipe organisasi ini adalah organisasi perguruan

tinggi (universitas) dan organisasi sekolah. Tipologi organisasi pemerintahan

yang terakhir adalah coping organizations, yakni tipe organisasi yang memiliki

ciri-ciri kinerja prosesnya tidak jelas dan sulit untuk diukur tetapi hasil dan

dampaknya jelas serta terukur. Organisasi yang termasuk dalam kelompok tipe

organisasi ini adalah organisasi intelejen.

Perspektif yang berbeda dalam memahami birokrasi pemerintahan

daerah dikemukakan oleh M. A. Muttalib dan Mohd. Akbar Ali Khan (1982).

Dalam bukunya berjudul: Theory of Local Government, kedua pakar ini

mengemukakan pandangannya tentang birokrasi pemerintahan daerah dalam

perspektif local bureaucracy. Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:204)

dikebanyakan negara, termasuk juga beberapa negara maju, beranggapan

bahwa local bureaucracy tidak terlalu penting, bahkan cenderung diabaikan.

Padahal peran local bureaucracy sangat strategis dalam pencapaian tujuan

utama dari pemerintahan daerah, khususnya dalam memberikan pelayanan yang

efektif dan efisien.

Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982), isu-isu yang terkait dengan local

bureaucracy menjadi faktor krusial dalam upaya perbaikan performa

pemerintahan daerah. Oleh sebab itu tuntutan agenda reformasi local

bureaucracy dalam pemerintahan daerah semakin meningkat. Tuntutan agenda

Page 65: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

91

reformasi local bureaucracy ini terutama isu-isu yang berhubungan dengan

pelayanan publik di tingkat lokal, yang disebut dengan local civil service. Hal ini

yang menyebabkan posisi pegawai sipil lokal (local civil servants) menjadi sangat

vital. Dengan kata lain local civil servants dapat diibaratkan sebagai spinal cord

dari keseluruhan organisasi.

Berkaitan dengan pemahaman local civil service tersebut, Muthalib dan

Ali Khan (1982) memandang bahwa terdapat beberapa isu krusial dalam

perbaikan performa local bureaucracy. Namun demikian, dalam konteks

penelitian ini hanya mengungkap isu-isu yang menyangkut: (1) status and image

public; (2) pattern of local civil service; (3) elite of local bureaucracy; dan (4)

bureaucracy and democracy.

Isu tentang status and image public dari pelayanan sipil lokal menurut

Muthalib dan Ali Khan (1982:205) dapat dilihat dari tiga dimensi, yakni pertama,

dimensi power yaitu masalah yang berhubungan dengan kurangnya kebebasan

operasional dan terbatasnya kekuasan dalam pemberian pelayanan. Solusinya

adalah menyamakan status pegawai tingkat lokal dan nasional, miningkatkan

status hukum, serta memberi kebebasan seperti yang dilakukan di Perancis,

Mesir dan India. Kedua, dimensi money yakni berhubungan dengan masalah

ketidakcukupan anggaran (inadequated financial). Pendapatan pemerintah

daerah tidak memadai dan anggaran perdepartemen rendah. Solusi yang

ditawarkan adalah pemerintah pusat harus ikut terlibat seperti yang dialami di

Perancis, India dan Mesir.

Dimensi ketiga menyangkut service yaitu berhubungan dengan masalah

terjadinya kompetisi antar sektor publik, semipublik, dan swasta. Daya tarik yang

rendah, gaji pegawai yang kecil, dan jalur karir yang terbatas. Masalah-masalah

tersebut dapat diatasi dengan melakukan standarisasi inter-local government,

Page 66: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

92

melakukan menyamaan eselonering, kegiatan pelatihan pegawai, penyediaan

tenaga teknis dan memperbanyak fasilitas pelatihan, serta memanfaatkan

kemajuan teknologi

Isu mengenai pola pelayanan sipil daerah (pattern of local civil service)

menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:206) terbagi dua pendekatan yaitu pola

pendekatan legalitas hukum dan pola pendekatan profesionalisme. Pola

pendekatan legalitas hukum ini terdiri tiga jenis yaitu (1) berdasarkan Undang-

Undang Dasar seperti di Perancis, Jepang, Srilanka, dan Amerika Serikat; (2)

berdasarkan hukum sekunder seperti di Inggris dan Amerika Serikat; dan (3)

melakukan Joint Responsibility Regulation seperti di Mesir dan India. Sementara

itu pola pendekatan profesionalisme meliputi tiga jenis pula yaitu (1) berdasarkan

klasifikasi keahlian profesionalisme seperti Inggris; (2) melakukan standarisasi

pelayanan, kompetensi dan esprit de corp; dan (3) pembentukan komite atau

komisi kepegawaian seperti di Amerika Serikat.

Isu berikutnya adalah isu elite of local bureaucracy dalam pelayanan sipil

daerah. Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:216), bahwa isu elite of local

bureaucracy terdiri atas dua pola yang dianut. Pola pertama adalah pola

eksekutif lokal yang independen dari pengaruh politik dimana elit birokrasi lokal

diangkat dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Contoh yang menerapkan pola

pertama ini adalah di Perancis dan India dengan model Chief Executive Officer

(CEO). Pola kedua adalah pola eksekutif lokal yang merupakan elit birokrasi

yang dipilih oleh local council. Contoh penerapan pola kedua ini dapat dilihat di

Amerika Serikat, Jerman, Inggris dengan City Manager dan Chief Executive.

Hubungan antara bureaucracy dan democracy menjadi isu terakhir dalam

perspektif local bureaucracy ini. Gagasan mengenai hubungan antara birokrasi

dan demokrasi, menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:224) tiada lain adalah

Page 67: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

93

menyangkut hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pejabat

karir (permanent functionaries). Pola hubungan antara pejabat politik yang dipilih

dengan pejabat karir profesional yang diseleksi saling terkait dengan tradisi

demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Bagi negara-negara yang menganut

tradisi demokrasi yang kuat atau memiliki legislatif lokal yang kuat (strong local

council) dan menjadi dominan terhadap proses administrasi, maka akan

memperlemah birokrasi lokal (weak local bureaucracy). Akibatnya kinerja

birokrasi menjadi lambat. Untuk mengatasi agar terjadi keseimbangan antara

birokrasi dan demokrasi pada pola ini, disarankan memperkuat kepemimpinan

administrasi dan menyatukan pintu pertanggungjawaban eksekutif kepada

dewan. Negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang kuat ini adalah

Amerika Serikat, Swedia, dan Inggris.

Pada negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang lemah (weak

local council), biokrasi menjadi lebih dominan dan badan legislatif lemah

sehingga mengakibatkan kompetisi menjadi tidak sehat dan merusak nilai-nilai

demokrasi. Dampak positif pola tradisi demokrasi yang lemah ini karena

menyebabkan kinerja birokrasi menjadi tinggi. Namun, sisi negatifnya karena

ketergantungan pada pemerintah pusat sangat tinggi dan kuat dalam mengontrol

birokrasi. India adalah salah satu negara penganut tradisi demokrasi yang lemah.

Dalam perspektif anatomi organisasi menurut Said (2007:91), bahwa

birokrasi pemerintahan daerah memiliki unsur-unsur pokok yang mana setiap

unsur pokok tersebut memiliki fungsi yang khas. Unsur-unsur pokok yang

dimaksud meliputi: (1) struktur organisasi; (2) visi dan misi organisasi; (3)

personil atau pejabat organisasi; (4) fasilitas pendukung; dan (5) kepemimpinan

birokrasi.

Page 68: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

94

Pada Gambar 3 mencerminkan anatomi birokrasi yang menunjukkan

bahwa pada organisasi perangkat daerah juga memiliki struktur organisasi yang

berfungsi mengejawantahkan tujuan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah

juga memiliki visi dan misi yang menjadi rangkaian tujuan yang lebih konkrit yang

akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Personel atau pegawai yang mengisi

ini disebut aparatur organisasi. Mereka inilah yang memiliki peran vital dalam

menentukan apakah visi dan misi organisasi bisa terwujud. Oleh karena itu

aparatur yang mengisi bangunan organisasi itu harus melalui sebuah proses

seleksi (selected). Pemilihan dan seleksi dilakukan untuk menjamin kualitas

aparatur yang sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan dalam

mewujudkan visi dan misi organisasi.

Gambar 3. Tingkatan Unsur-Unsur Pokok (Anatomi) Birokrasi Sumber: Rohdewohld dikutip oleh Said (2007:92)

Selanjutnya menyediakan fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh para

aparatur agar membantu atau memudahkan mereka dalam menjalankan tugas

Page 69: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

95

kerjanya secara ril. Fasilitas pendukung yang dimaksud di antaranya adalah

anggaran, bahan dan alat, insentif, serta fasilitas lainnya yang dibutuhkan.

Tahapan yang terakhir, namun tak kalah pentingnya dan sangat vital adalah

unsur leadership. Kepemimpinan inilah yang akan mengorganisir bagaimana

kinerja secara keseluruhan bisa selaras dan mendukung tercapainya tujuan

birokrasi pemerintahan. Pemimpin harus mengarahkan para aparatur agar dapat

melakukan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan ekonomis, serta

terarah. Tanpa kepemimpinan bisa jadi yang tercipta ialah kerja yang saling

bertabrakan atau mungkin tidak saling berhubungan satu sama lain atau malah

saling menghambat satu dengan yang lainnya.

Pemaparan mengenai anatomi birokrasi akhirnya disimpulkan oleh Said

(2007:134), bahwa birokrasi tak akan bisa sempurna sehingga birokrasi harus

selalu dibenahi. Birokrasi selalu mengikuti dinamika kehidupan manusia yang

melingkupinya dan merespon tuntutan masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi

harus secara kontinyu menyelaraskan dirinya sesuai dengan konteks dinamika

disekelilingnya dan tak boleh puas dalam keangkuhan hidup di atas menara

gading. Birokrasi bukanlah institusi absolut yang sakral dan tak boleh

diperbaharui dan disempurnakan. Birokrasi ada bukan untuk melayani dirinya

sendiri. Dengan kata lain, bahwa birokrasi harus fleksibel dan kontekstual sesuai

dengan perkembangan dan tuntutan realitas yang dhadapinya.

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia memiliki bentuk pemerintah

daerah seragam dan cenderung demikian sepanjang proses pertumbuhannya.

Jika ada perubahan bentuk pemerintah daerah, hal itu terjadi karena fase

pemerintahan daerahnya bukan karena kemajemukan dalam fase yang sama.

Simak misalnya dalam masa UU No. 22 Tahun 1999, terdapat keseragaman

Page 70: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

96

bentuk pemerintah daerah di Indonesia, baik untuk daerah provinsi maupun

daerah kabupaten/kota.

Demikian halnya, dalam UU mengenai pemerintahan daerah sebelum UU

No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah (local authority) sebagai organ

pelaksana pemerintahan di daerah selalu tepat asas dengan mencakup DPRD

(council) dan Kepala Daerah (mayor). Namun, pada UU No. 22 Tahun 1999,

istilah pemerintah daerah hanya diperuntukkan bagi Kepala Daerah beserta

perangkat daerah dan tidak mencakup DPRD yang disebut sebagai Badan

Legislatif Daerah. Kondisi ini disebut sebagai tidak taat asas, karena hanya DPR

yang mempunyai fungsi legislatif dan menjadi bagian dari Badan Legislatif

bersama Presiden dalam tata hukum kita. Padahal DPRD sebenarnya

merupakan bagian dari Badan Eksekutif daerah yang memiliki fungsi pengaturan,

penganggaran, dan pengawasan.

Untuk mengakomodasi persoalan tersebut di atas, para pembuat UU No.

32 Tahun 2004 menghilangkan penggunaan istilah badan legislatif daerah bagi

DPRD dan badan eksekutif daerah bagi Kepala Daerah dan perangkat daerah.

Kini DPRD dan pemerintah daerah disebut sebagai penyelenggara pemerintahan

daerah sebagai terjemahan dari local government atau local authority dalam

khazanah Inggris dan Amerika Serikat.

Dalam kerangka ini, maka organ pemerintah daerah kabupaten/kota

terdiri atas DPRD kabupaten/kota dan Kepala Daerah beserta perangkat daerah

lainnya. Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah hanya menjalankan tugas

desentralisasi secara bulat dan tidak menerima tugas dekonsentrasi. Baik Bupati

atau Walikota dan DPRD kabupaten/kota adalah lembaga politik karena proses

pengisiannya melalui cara dipilih (elected) secara demokratis dan terbuka bagi

partai politik.

Page 71: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

97

Dalam pandangan yang aplikatif, dapat dilihat dari pandangan Supriyono

(2007:730), yang menyatakan bahwa mengkaji pembangunan struktur dan fungsi

institusi pemerintahan daerah dapat diawali dengan memahami local government

dalam pengertian organ dan fungsi. Di mana dijelaskan dalam Muluk (2009:10)

bahwa dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah,

yakni council (DPRD) dan mayor (gubernur, bupati atau walikota), di mana

rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan. Sedangkan dalam pengertian

fungsi, local govenment berarti pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh

pemerintah daerah.

Berkaitan dengan pengertian organ, maka jenis-jenis pemerintah daerah

meliputi: (1) the strong mayor-council form; (2) the weak mayor-council form; (3)

the council-manager plan; (4) the commission form. Kemudian Norton yang

dikutip oleh Supriyono (2007:730) juga menambahkan bentuk the strong mayor-

council with chief administrative or chief executive officer plan. Chief executive

plan dan semua institusi di bawahnya merupakan birokrasi lokal. Institusi

pemerintahan daerah tersebut dapat menjalankan beragam fungsi pemerintahan

(multi atau general puspose local authority) ataupun melaksanakan suatu fungsi

pemerintahan (single atau special purpose local authority).

Dalam pengertian organ dan fungsi tersebut di atas, maka institusi

pemerintahan daerah di Indonesia dapat dimaknai sebagai organ dan cenderung

termasuk dalam the strong mayor-council form, atau bahkan cenderung

berbentuk the strong mayor-council with chief executive officer. Hal ini tampak

dari keberadaan Kepala Daerah (gubernur, bupati atau walikota) sebagai

padanan mayor dan DPRD sebagai perwujudan dari council. Mengenai fungsi

pemerintahan yang dilaksanakan adalah bersifat multi atau general puspose

Page 72: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

98

local authority karena institusi pemerintahan daerah melaksanakan beragam

fungsi pemerintahan.

Perangkat daerah merupakan birokrasi daerah otonom yang proses

pengisiannya atas dasar pengangkatan (appointed) dan tertutup bagi partai

politik. Melalui penjelasan Hoessein (2009:113) dipahami bahwa proses

pengisian seperti ini untuk birokrat daerah otonom dimaksudkan untuk menjamin

netralitas birokrasi. Perangkat daerah ini terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas

Daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya yang dibentuk sesuai dengan

kebutuhan daerah. Lembaga teknis daerah bisa berupa Badan, Kantor,

Kecamatan, Kelurahan, dan sebagainya.

Sumber: UU No. 32 Tahun 2004 dan Kaloh (2007:178)

Terkait dengan kedudukan organisasi perangkat daerah ini, Salomo

(2006:2) memberikan penjelasan bahwa organisasi perangkat daerah sebagai

instrumen penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia merupakan salah

Gambar 4. Struktur Perangkat Daerah Kabupaten

Page 73: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

99

satu elemen pemerintahan daerah yang sangat penting dengan sejumlah alasan,

sebagai berikut:

1. Organisasi perangkat daerah merupakan “rumah” atau wadah yang

menampung berbagai aspek penting lainnya dalam sistem pemerintahan

daerah, yang menjadi wadah maupun kerangka kerja sistem keuangan,

sistem kepegawaian, sistem perencanaan, sistem pelayanan publik dan

berbagai sistem atau sub-sistem lainnya.

2. Organisasi perangkat daerah adalah wadah di mana pemerintah daerah

menjalankan berbagai kewenangan atau urusan-urusan pemerintahan yang

diembannya.

3. Organisasi perangkat daerah adalah wadah bagi pemerintah daerah untuk

mengemban visi dan misi daerah, tujuan daerah, dan mengemban

pelayanan publik yang menjadi tugas dan tanggung-jawab daerah.

Oleh karena itu, organisasi perangkat daerah mempunyai arti yang

sangat penting bagi pencapaian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Bahkan Salomo (2006:2), menegaskan bahwa keberhasilan sebuah daerah

dalam menjalankan misinya antara lain tergantung dari struktur organisasi

perangkat daerah yang dibuat. Apakah perangkat daerah telah mengakomodasi

berbagai aspek seperti visi, misi, tujuan, tugas pokok dan fungsi, serta beban

pelayanan?

2.6. Kajian Inovasi Pemerintahan Daerah

Kajian terhadap inovasi pemerintahan, terutama kaitannya dengan

masalah-masalah pemerintahan di tingkat lokal (local problems) dapat ditemui

dalam salah satu karya dari Douglas J. Watson, yang berjudul “Innovative

Government: Creatives Approach to Local Problems” (1999). Dalam karyanya,

Page 74: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

100

Watson (1999:130) menerangkan bahwa pemerintahan daerah (local

government) memiliki beberapa alasan yang khas untuk mengembangkan

kemampuan inovasi. Hal ini diungkapkan oleh Watson sebagai berikut:

“.....Local governments have a unique opportunity to be innovative for several reasons. One is that local governments are very close to the problems in their communities. ....., local officials have the chance to see and hear the problems as they develop. A second reason local governments can be innovative is that there are so many of them doing basically the same things. Each community serves as a laboratory for innovation. ....., local governments to solve problems and develop solutions in different ways. A third reason is that most elected officials on the local level run for office because they care about their communities and believe that they can improve them. The last reason is that the level of competence and expertise found among local public administrators has greatly increased over the past several decades. Local public administrators are better trained than they have ever been and are anxious to work for organizations that allow them to use their talents.” (1999:130-131)

Relevansi pentingnya inovasi diselenggarakan pada tingkat pemerintahan

daerah dengan jelas diungkapkan bahwa unit organisasi pemerintahan daerah

sangat dekat dengan masyarakatnya, sehingga dianggap mengetahui secara

pasti masalah-masalah pada aras lokal. Demikian halnya masalah yang dihadapi

masyarakat sudah barang tentu berbeda sehingga harus pula ditangani dengan

cara yang berbeda pula.

Dalam hal ini Supriyono (2007), menjelaskan bahwa otonomi yang luas

telah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah daerah

(kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus pemberian pelayanan publik

sesuai dengan local choice dan local voice masyarakatnya. Pemerintah daerah

memiliki peran besar (strong public sector) di bidang pelayanan publik, termasuk

dalam mengatur berperannya kelompok masyarakat dan pihak swasta. Oleh

karena itu, kondisi ini kiranya mendorong pemerintah daerah untuk selalu

mencari teknik dan strategi yang efektif untuk menjalankan fungsi pelayanan

publik memalui kebijakan dan program yang inovatif.

Page 75: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

101

Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan

pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin.

Brown (2008) seperti dikutip oleh Supriyono (2011:2) mengemukakan adanya

dua konsep inovasi yaitu Expansive Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural

Theory (SCT). Konsep perluasan pembelajaran mengandung pemahaman

bahwa inovasi terjadi ketika pandangan tradisional menyediakan suatu pedoman

pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak cukup dalam menghadapi tantangan

dan situasi yang baru, karenanya diperlukan pengembangan dan praktek yang

baru melalui alih teknologi (technology transfer). Bagian penting dari pandangan

ini adalah memadukan antara pandangan lama dan baru dalam melaksanakan

sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan pembaharuan.

Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan

dan pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara

difersifikasi organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran

organisasi. Di samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem,

diperlukan pula pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat

transformasi sosial budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas

masyarakat yang lebih luas.

Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan

perlu dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus

pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau

lebih komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal.

Sebagaimana dikemukakan Brown (2008:9)

“National governments have develoved much of the responsibility for innovation policies to regions. Consequently, it is possible to compare the implementation of local experiments to transform an industrial and manufacturing region into a knowledge economy. Different types of policies

Page 76: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

102

are affected by different contextual conditions and carry with them different possibilities for implementation”.

Mencermati skema pada Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa inovasi

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik,

inovasi pemerintahan yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling

berkaitan dengan inovasi di tingkat regional ataupun di tingkat lokal. Pemahaman

ini terasa semakin penting untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu

negara yang menganut paham negara kesatuan (unitary state), karena

hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah bersifat coordinate dan

sekaligus subordinate. Keberadaan pemerintah daerah adalah merupakan

bagian dari pemerintah pusat, sehingga inovasi pemerintahan yang ada di tingkat

lokal kendati memiliki kemandirian seharusnya tidak menyimpang dari desain

inovasi pemerintahan yang telah ditetapkan di tingkat nasional.

Gambar 5. The Transformation of Policy during Implementation

Sumber: Browm (2008:10)

Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal desain konsep inovasi

kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat

Page 77: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

103

dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai

tingkatan pemerintahan agar tujuan inovasi dipahami dan diimplementasikan

dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan adalah dalam hal

melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy

implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam pemanfaatan

teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua tingkatan pemerintahan.

Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di tingkat

regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan kegiatan

pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi kebijakan ini

adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan fungsi

pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal.

Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih

melaksanakan fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah

(Perda) dan perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan

kebutuhan masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah

(local bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi

pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara

profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan

oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan

Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat

Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan

layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas,

ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam

mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya

Page 78: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

104

untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal

ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan

efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal

pengelolaan dana dan pemberian insentif.

Proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya

memperhatikan keterkaitan inovasi penyelenggaraan dalam ranah tiga tingkatan,

yakni nasional (macro), regional (meso) dan lokal (micro). Namun menurut

Roberts (1999:99-101) proses inovasi dalam struktur penyelenggaraan

pemerintahan suatu negara, juga mendapat pengaruh dari tiga arena institusi

yang berbeda, yakni (1) innovation by legislative design; (2) innovation by

yudicial design; dan (3) innovation by management design.

Terdapat reaksi yang cukup kuat dari individu ataupun kelompok dari

dalam arena institusi legislatif terkait dengan perumusan kebijakan yang inovatif.

Hal ini terjadi terutama pada negara-negara dengan sistem pemerintahan yang

demokratis. Institusi pengadilan juga dapat memberi pengaruh pada keputusan-

keputusan pemerintah daerah dari aspek legalitasnya. Pada tingkatan

oprasional, secara teknis suatu kebijakan dan program yang inovatif juga sangat

ditentukan oleh kemampuan institusi perangkat daerah dalam implementasinya.

Menerapkan inovasi di sektor publik tidak dapat sukses begitu saja.

Inovasi di sektor publik membutuhkan beberapa persyaratan yang harus

mendukung. Watson (1999:2-3) menawarkan tiga kondisi persyaratan utama

yang semestinya tersedia jika ingin inovasi di sektor publik berlangsung sukses.

Ketiga persyaratan tersebut, meliputi: (1) budaya organisasi (organizational

culture) yang mendukung dan mendorong lahirnya inovasi; (2) dukungan politik

(political support), para administrator membutuhkan dukungan pejabat politik;

Page 79: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

105

dan (3) kompetensi administrasi (administrative competence), inovasi yang

sukses harus dilakukan melalui kecakapan administratif dalam suatu organisasi.

Selain ketiga persyaratan utama tersebut, Watson (1999:4) menyatakan

bahwa lahirnya suatu inovasi dalam pemerintahan biasanya melalui tiga

skenario. Pertama, munculnya tindakan inovatif karena adanya respon atau

tanggapan terhadap krisis yang terjadi dalam organisasi. Kedua, menghadirkan

manajer-manajer publik yang luar biasa dan memiliki dukungan politik yang kuat

di dalam organisasi. Ketiga, inovasi lahir hanya dari organisasi yang menyadari

dan menangkap adanya peluang untuk melakukannya.

2.6.1 Konsep dan Posisi Inovasi dalam Administrasi Publik

Dalam salah satu rilis United Nations melalui Department of Economic

and Social Affairs (UNDESA) pada tahun 2006, menyatakan bahwa umumnya

inovasi dalam pemerintahan adalah ide kreatif yang di mana jika dilaksanakan

dengan sukses akan membantu memecahkan masalah publik yang bersifat

mendesak. Inovasi adalah pelaksanaan ide baru dan cara baru untuk mencapai

suatu hasil dalam melakukan pekerjaan. Inovasi dapat juga sebagai

penggabungan elemen-elemen baru sehingga terjadi kombinasi baru dari unsur

yang sudah ada atau mengubah secara signifikan atau meninggalkan cara-cara

tradisional dalam melakukan sesuatu. Prinsipnya inovasi dalam konteks ini terdiri

atas new products, new policies and programs, new approaches, and new

processes.

Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa inovasi manajemen di sektor publik

dapat didefinisikan sebagai pengembangan desain baru suatu kebijakan dan

SOP yang baru oleh organisasi publik dimaksudkan untuk mengatasi masalah

kebijakan publik. Sehingga suatu inovasi dalam administrasi negara merupakan

Page 80: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

106

jawaban atau solusi yang efektif, kreatif dan unik untuk menjawab masalah-

masalah baru atau solusi baru untuk masalah-masalah lama. UNDESA (2006:6)

mengungkapkan dalam kalimat sebagai berikut:

“An innovation in public administration is an effective, creative and unique answer to new problems or a new answer to old problems”.

Menurut UNDESA (2006) inovasi dalam kajian administrasi publik dapat

dibedakan dalam beberapa tipe atau jenis, meliputi:

1. Institutional innovations, yaitu inovasi kelembagaan yang fokus pada

pembaruan lembaga-lembaga yang sudah dibangun atau menciptakan

lembaga-lembaga yang benar-benar baru (focus on the renewal of

established institutions and/or the creation of new institutions);

2. Organizational innovation, yakni inovasi organisasi berkaitan dengan

memperkernalkan prosedur atau teknik-teknik manajemen yang baru dalam

Administrasi Publik (the introduction of new working procedures or

management techniques in public administration);

3. Process innovation, yaitu inovasi proses di mana fokus pada peningkatan

kualitas penyediaan pelayanan publik (focuses on the improvement of the

quality of public service delivery); dan

4. Conceptual innovation, yaitu inovasi konseptual yang diarahkan pada

pengenalan bentuk-bentuk baru pemerintahan (the introduction of new

forms of governance) misalnya interactive policy-making, engaged

governance, people’s budget reforms, horizontal networks.

Konsep inovasi dalam sektor publik rupanya belum sepopuler di sektor

bisnis. Padahal kajian inovasi dikembangkan seiring dengan upaya menjaga dan

bahkan mengembangkan kemampuan berkompetisi (bersaing) atau competitive

advantage sebuah organisasi. Kemampuan ini dianggap penting untuk menjaga

Page 81: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

107

kelangsungan hidup organisasi. Dalam situasi organisasi yang hidup dengan

mengandalkan semata comparative advantage dan pada saat yang sama situasi

kompetisi kurang tampak maka konsep inovasi kurang berkembang dengan baik.

Hal yang sama juga terjadi pada organisasi publik yang tidak mengkhawatirkan

sama sekali masalah kelangsungan hidupnya (Muluk, 2008:37). Kebanyakan

organisasi sektor publik kurang tertantang karena berada dalam iklim yang

nonkompetitif dan bahkan tidak merasa bermasalah dalam hal kelangsungan

hidupnya. Maka wajar jika konsep inovasi kurang berkembang dalam sektor

administrasi publik.

Walaupun konsep inovasi belum lama populer dikalangan ilmuwan

maupun dalam prakteknya di organisasi sektor publik, namun dapat dilacak

posisi dan relevansi konsep inovasi, baik sebagai nilai maupun sebagai strategi

dalam evolusi pemikiran adminisrasi publik. Salah satu sumber dari artikel yang

ditulis bersama oleh Eran Vigoda-Gadot, Aviv Shoham, Nitza Schwabsky, dan

Ayalla Ruvi, berjudul Public Sector Innovation for the Managerial and Post-

Managerial Era: Promises and Realities in a Globalizing Public Administration

(2005). Artikel ini mengulas dan menganalisis bagaimana keterkaitan inovasi

(innovation) dengan evolusi pemikiran administrasi publik.

Dalam artikel tersebut, Vigoda-Gadot, et al (2005:70) menganalisis

kerterkaitan inovasi dan pemikiran administrasi publik. Ada sepuluh pertanyaan

diajukan yang mencerminkan posisi konsep inovasi dalam perkembangan

pemikiran administrasi publik. Kesepuluh pertanyaan mendasar tersebut dapat

dilihat pada Tabel 8 yang disajikan pada halaman berikut. Kemudian Vigoda-

Gadot, et al (2005) membagi tiga perspektif evolusi perkembangan pemikiran

administrasi publik yakni (1) classic public administration canon; (2) new public

management doctrine; dan (3) post-managerial avenues.

Page 82: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

108

Tabel 8. An Evolutionary Analysis of Innovation in Public Administration

Essential Questions

Evolution

Classic Public Administration Canons

New Public Management Doctrine

Post-managerial Avenues

1 2 3 4

Q1. What is innovation?

A threat to old, reliable mechanisms

New ways to respond to citizens as client and produce public goods

New ways to create social and psychological well-being, economic surpluses, and political stability combined

Q2. Why do we need innovation?

Do we need at all? Improving managerial qualities in state-owned bureaucracies to stabilize the welfare state

A good combination of managerial, social, and democratic values

Q3. What are the disciplinary origins of innovation?

Engineering/law/political sciences

Organizational and managerial sciences/economic and business

A holistic view: organizational and managerial sciences/ political sciences/ social welfare/information and technology system

Q4. What are the primary goals of innovation?

Maintaining the power of bureaucracy and its centrality in policymaking and implementing process

Improving the operative power of bureaucracy through better managerial skills and the triumph of professionalism over politicization

Transforming the cultural sphere of public organizations, increasing global policy and management learning and emulation

Q5. Who are the key beneficiaries of innovation?

The private sector and social elites

Citizens as clients/customers

Citizens as owners and the global bank of policy and managerial knowledge, the community as a whole

Q6. How to portray the flow of innovation ideas?

Ultimately top down, and only when innovation serves political interests

First, top down by professional managers who the empower a bottom-up channel

Top down, bottom-up, and reliance on extra-organizational source, learning, and emulation process

Q7. Primary players in the innovation process?

Top managers, if at all Managers and employees who improve their understanding of the needs of citizens as clients

Managers, employees, and extra-organizational players (i.e., the private sector, the third sector, transnational policy makers and academics)

Page 83: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

109

1 2 3 4

Q8. How to achieve innovation?

Almost no need; classic-style bureaucracies don’t really need innovation and see themselves as islands of stability and conservatism

Intensive contacts whit the private sector and improved learning from successful innovators in business firms (PPPs-public private partnership)

Intensive global contacts whit international innovators, benchmarking, learning and emulation of policy programs

Q9. How the evaluate innovation?

Lack of formal tools and absence of standard criteria

Output and outcome measure and the development of performance indicators (PIs)

Output and outcome measures as well as input and process measures in a comparative international view

Q10. What are the moral justifications for innovation?

Higher standard of living to vast population and better services to the less able

Encouraging competition according to liberal ideological economy, increased efficiency and the saving of public money

Global human progress, policy learning, and more equal distribution of knowledge, practices, and goods across nations

Sumber: Diadaptasi dari Vigoda-Gadot, et al (2005:70-71)

Apa yang digambarkan oleh Vigoda-Gadot, et al (2005) sebagaimana

tercermin pada Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya konsep

inovasi sudah ada diera berkembangnya pemikiran classic public administration.

Pemahaman inovasi di era administrasi publik klasik tersebut masih dalam

pengertian yang terbatas. Inovasi hanya dipahami sebatas mekanisme internal

organisasi. Inovasi didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat

top down dan hanya bertujuan mempertahankan kekuasan.

Sumber lainnya yang juga membahas bagaimana keterkaitan inovasi

dengan perkembangan pemikiran administrasi publik, dapat ditemukan pada

artikel yang ditulis oleh Jean Hartley berjudul “Innovation in Governance and

Public Services: Past and Present” (2005). Dalam tulisan ini Hartley (2005:29)

menggambarkan hubungan inovasi (innovation) dan perbaikan (improvement)

proses pelayanan publik dengan konsep governance dan public management

dalam pendekatan administrasi publik.

Page 84: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

110

Tabel 9. Innovation dan Improvement in Different Conceptions of Governance and Public Management

Traditional Public Administration

New Public Management

Networked Governance

Innovation Some large-scale, national and universal innovations

Innovations in organizational form more than content

Innovation at both central and local levels

Improvement Large step-change improvements initially, but less capability for continuous improvement

Improvement in managerial process and system. Customer focus produces quality improvement in some services

Aiming for both transformational and continuous improvement in front-line services

Role of policy-makers

Commanders Announcers/commissioners Leaders and interpreters

Role of public managers

“Clerks and martyrs” Efficiency and market maximizes

“Explorers”

Role of the population

Client Customers Co-producers

Sumber: Hartley (2005:29)

2.6.2. Inovasi Dalam Perspektif Teori Organisasi

Kajian inovasi pemerintahan daerah berada dalam lingkup organisasi.

Oleh karena itu penting untuk memahami hubungan antara inovasi dan

perspektif teori organisasi. Van de Van et al (1999) seperti dikutip oleh Lam

(2004:3) mengungkapkan bahwa ”organizational creation is fundamental to the

process of innovation”. Penciptaan organisasi merupakan dasar utama bagi

proses inovasi. Kemampuan dari suatu organisasi untuk berinovasi adalah pra-

kondisi keberhasilan dalam memanfaatkan penemuan sumberdaya dan teknologi

baru. Sebaliknya, pengenalan teknologi baru sering menyajikan peluang yang

kompleks dan tantangan bagi organisasi, yang mengarah ke perubahan dalam

praktek manajerial dan munculnya bentuk-bentuk organisasi baru (Lam, 2004:4).

Page 85: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

111

Tabel 10. Mintzberg's Structural Archetypes and Their Innovative Potentials

Organization Archetype

Key Features Innovative Potential

Simple structure

An organic type centrally controlled by one person but can respond quickly to changes in the environment, e.g. small start-ups in high-technology.

Entrepreneurial and often highly innovative, continually searching for high-risk environments. Weaknesses are the vulnerability to individual misjudgment and resource limits on growth.

Machine bureaucracy

A mechanistic organization characterized by high level of specialization, standardization and centralized control. A continuous effort to routinize tasks through formalization of worker skills and experiences, e.g. mass production firms.

Designed for efficiency and stability. Good at dealing with routine problems, but highly rigid and unable to cope with novelty and change.

Professional bureaucracy

A decentralised mechanistic form which accords a high degree of autonomy to individual professionals Characterized by individual and functional specialization, with a concentration of power and status in the 'authorized experts'. Universities, hospitals, law and accounting firms are typical examples

The individual experts may be highly innovative within a specialist domain, but the difficulties of coordination across functions and disciplines impose severe limits on the innovative capability of the organization as a whole

Divisionalized form

A decentralized organic form in which quasi-autonomous entities are loosely coupled together by a central administrative structure. Typically associated with larger organizations designed to meet local environmental challenges.

An ability to concentrate on developing competency in specific niches. Weaknesses include the 'centrifugal pull' away from central R&D towards local efforts, and competition between divisions which inhibit knowledge sharing.

Adhocracy

A highly flexible project-based organization designed to deal with instability and complexity. Problem-solving teams can be rapidly reconfigured in response to external changes and market demands. Typical examples are professional partnerships and software engineering firms.

Capable of fast learning and unlearning; highly adaptive and innovative. However, the unstable structure is prone to short life, and may be driven over time toward the bureaucracy. .

Sumber: Mintzberg (1979); Tidd, et al (1997) dikutip oleh Lam (2004:9).

Page 86: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

112

Teori desain organisasi seharusnya fokus pada bentuk struktural

organisasi dan kecenderungan untuk berinovasi. Burns dan Stalker (1961) dan

Mintzberg (1979) seperti dikutip Lam (2004:4) mengungkapkan bahwa

”organizational design theories focus predominantly on the link between

structural forms and the propensity of an organization to innovation”. Dalam

pandangan Mintzberg, sebagaimana disajikan pada Tabel 10, bahwa model

struktur suatu organisasi dapat dibedakan dalam lima tipe organisasi. Kelima tipe

organisasi tersebut meliputi; (1) simple structure; (2) machine bureaucracy; (3)

proffesional bureaucracy; (4) devisionalized form; dan (5) adhocracy. Untuk

memahami lebih komprehensif keterkaitan potensi melakukan inovasi dan bentuk

atau jenis organisasi (organization archetypes).

Perspektif inovasi dalam organisasi salah satunya dapat dipahami melalui

artikel yang dibuat oleh Carol Slappendel yang berjudul Perspectives on

Innovation in Organizations (1996). Dalam pandangan Slappendel (1996:3)

kajian inovasi dalam teori organisasi dapat dilihat dalam tiga perspektif yaitu the

individualist perspective, the structuralist perspective, dan the interactive process

perspective. Perspektif individu, inovasi dikaitkan dengan individu dan aktor-aktor

yang terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi. Perspektif struktural, inovasi

bertumpu pada pandangan bahwa inovasi hanya bisa dilakukan jika

organisasinya berubah, baik prosedur, struktur dan kulturnya. Sedangkan pada

perspektif adalah perpaduan antara perspektif individu dan struktural yang

bersifat interaktif. Pemahaman yang lebih lengkap dapat disimak pada Tabel 11

pada halaman selanjutnya.

Menurut Said (2010:5) bahwa secara operasional, ketiga perspektif

inovasi dalam organisasi yakni individu, struktural dan interaktif sebagaimana

yang digambarkan pada Tabel 11 dapat diuraikan kedalam beberapa komponen.

Page 87: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

113

Beberapa komponen yang berhubungan dengan ketiga perspektif tersebut dapat

dilihat pada Gambar 6 setelah Tabel 11 pada bagian ini.

Tabel 11. The Main Feature of the Three Perspectives of Innovation

Individualist Structuralist Interactive process

Basic assumption Individuals cause innovation

Innovation determined by structural characteristics

Innovation produced by the interaction of structural influences and the actions of individuals

Conceptualization of an innovation

State and objectively defined objects of practices

State and objectively defined objects of practices

Innovations are subject to reinventions and reconfigurations. Innovations are perceived

Conceptualization of the innovative process

Simple linear with focus on the adoptions stage

Simple linear with focus on the adoptions stage

Complex process

Core concepts Champions Leader Entrepreneurs

Environment Size Complexity Differentiation Formalization Centralization Strategic type

Shocks Proliferation Innovative capability Context

Research methodology

Cross-sectional survey

Cross-sectional survey Case studies Case histories

Main authors Rogers March and Simon

Zaltman, et al. Van de Ven, et al.

Sumber: Slappendel (1996:3) & Styhre (2007:15)

Pada tataran individu, komponen yang harus dimiliki meliputi

pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability), dan kompetensi (competence).

Pada tataran kelembagaan, komponennya meliputi kepemimpinan (leadership),

sumberdaya (resource), pengambilan keputusan (decition making), dan sistem

imformasi manajemen (SIM). Pada tataran proses interaktif (sistem), yang harus

dipahami adalah mengenai kerangka aturan yang tersedia dan kebijakan

pendukung lainnya.

Page 88: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

114

Gambar 6. Wilayah Inovasi Birokrasi Pemerintah

Sumber: Slappendel (1996) dimodifikasi oleh Said (2010)

2.6.3 Karakteristik Inovasi dan Tipologi Inovasi

Secara historis sebetulnya, konsep inovasi (innovation) sebagai strategi

untuk meningkatkan keunggulan dalam bersaing, telah ada kajian yang cukup

panjang yang dimulai sejak berdirinya administrasi sebagai ilmu. Hal ini telah

diungkap oleh Muluk (2008:41), bahwa era 1990-2000an ditandai dengan

berkembangnya kajian knowledge management yang mengedepankan

pengelolaan pengetahuan sebagai dasar pembentukan core competence

(kompetensi inti) sehingga organisasi dapat mengembangkan daya inovasinya

yang sulit ditiru oleh organisasi lainnya. Jika ini terjadi maka bisa dipastikan

bahwa organisasi tersebut memiliki keunggulan bersaing. Tokoh-tokoh utama

dalam gerakan ini adalah Peter M. Senge (1990) dengan bukunya (the fifth

Page 89: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

115

discipline), Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (1995) dengan bukunya

(knowledge creating company), dan masih banyak lainnya.

Konsep inovasi secara umum dapat dipahami dalam konteks perubahan

perilaku. Inovasi biasanya erat kaitannya dengan lingkungan yang

berkarakteristik dinamis dan berkembang. Pengertian inovasi sendiri sangat

beragam, dan dari banyak perspektif. Menurut Rogers (2003:12), salah satu

penulis buku inovasi terkemuka, menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide,

praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu (satu unit) tertentu dan

diadopsi oleh yang lainnya.

Inovasi sebagai salah satu ciri nilai fleksibilitas organisasi bukan hanya

sekedar melakukan sesuatu yang baru, menemukan sesuatu yang baru, atau

membawa suatu gagasan yang baru sebagaimana definisi inovasi pada

umumnya. Namun menurut Sherwood (2002:2), inovasi sebagai suatu proses

memerlukan empat tahapan yakni: (1) tahap pengajuan gagasan yaitu

mempunyai ide lebih dahulu; (2) tahap evaluasi terhadap gagasan yang akan

ditindaklanjuti; (3) tahap pengembangan yaitu memperbaiki gagasan tersebut

dari konsep menjadi realitas yang menghasilkan sesuatu; dan (4) tahap

implementasi yaitu mengupayakan gagasan tersebut sungguh-sungguh terwujud.

Pengertian lain menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang

meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik

yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang

tersedia sebelumnya. Dapat pula dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa

produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur

dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi.

Pengertian inovasi dapat pula dipahami dalam konteks manajemen sektor

publik. Pemahaman ini dikemukakan oleh Cohen dan Elmicke (1998:2-3) yang

Page 90: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

116

mengemukakan bahwa inovasi manajemen sektor publik selalu berkaitan dengan

aspek design dan management terhadap suatu kebijakan dan program.

Rancangan kebijakan berhubungan perumusan kebijakan (policy formulation).

Sedangkan manajemen suatu program terkait dengan pelaksanaan kebijakan

(policy implementation). Pemahamn tersebut diungkapkan oleh Cohen dan

Elmicke, dalam kalimat sebagai berikut:

“The development and implementation of new policy designs and new standard operating prosedures by public organizations to address public policy problems”.

Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebuah

inovasi tidak akan bisa berkembang dalam kondisi status quo. Walaupun tidak

ada satu kesepahaman definisi mengenai inovasi, namun secara umum

disimpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) seperti dikutip oleh Osborne

dan Brown (2005:127) bahwa inovasi mempunyai beberapa atribut sebagai

berikut:

1. Relative Advantage atau keuntungan relatif, yakni sebuah inovasi harus

mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi

sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi

yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain.

2. Compatibility atau kesesuaian, yakni inovasi juga sebaiknya mempunyai

sifat kompatibel atau kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini

dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak serta merta dibuang begitu saja,

selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, namun juga inovasi

yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi terbaru.

3. Complexity atau kerumitan, artinya dengan sifatnya yang baru, maka

inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi

dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena

Page 91: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

117

sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka

tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting.

4. Triability atau kemungkinan dicoba, artinya inovasi hanya bisa diterima

apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih

dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi

harus melewati fase “uji publik”, dimana setap orang atau pihak mempunyai

kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah inovasi.

5. Observability atau kemudahan diamati, artinya bahwa sebuah inovasi harus

juga dapat diamati, dari segi bagaimana ia bekerja dan menghasilkan

sesuatu yang lebih baik.

Sementara itu, harus pula dipahami bahwa terdapat perbedaan-

perbedaan antara inovasi di sektor publik dan di sektor swasta. Perbedaan ini

dikarenakan adanya nilia-nilai yang dimiliki oleh masing-masing sektor. Nilai-nilai

yang dimiliki oleh sebuah organisasi dan dapat dibandingkan meliputi dimensi

prinsip keorganisasian, struktur organisasi, ukuran kinerja, isu manajemen,

hubungan dengan pengguna akhir, sumber daya manusia, sumber pengetahuan

dan horizon waktu masing-masing organisasi.

Pada dimensi prinsip pengorganisasian sektor bisnis, berupaya untuk

dalam rangka memperoleh profit dan pertumbuhan pendapatan sebanyak-

banyaknya, sementara sektor publik lebih pada upaya penegakan kebijakan

publik yang telah ditetapkan. Sektor bisnis pada dimensi struktur organisasi lebih

bervariasi, sementara sektor publik memiliki struktur yang kompleks dan

seringkali terjadi konflik. Dari aspek isu manajemen, pada sektor bisnis beberapa

manajer mempunyai otonomi dan beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder,

corporate goverance dan atau keuangan. Sedangkan pada sektor publik

kebanyakan manajer berada pada posisi tertekan secara politik.

Page 92: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

118

Tabel 12. Karakteristik Inovasi Sektor Bisnis dan Sektor Publik

Dimensi Inovasi Sektor Bisnis Inovasi Sektor Publik

Prinsip Pengorganisasian

Upaya memperoleh profit, stabilitas atau pertumbuhan pendapatan Pasar yang terus berubah

Penegakan kebijakan publik Kebijakan baru dan atau yang berubah karena siklus politik

Struktur Pengorganisasian

Ukuran organisasi yang Bervariasi Perubahan besar biasanya mengalokasikan dana khusus untuk inovasi

Sistem organisasi yang kompleks, kadang konflik satu sama lain Inovasi harus disesuaikan dengan situasi kompleks, termasuk isu social equity dan efisiensi ekonomi

Ukuran kinerja

Return of Investment (RoI) Inovasi memakan biaya besar, dihitung dari selisih keuntungan penjualan

Indikator dan target kinerja yang banyak Keuntungan dari inovasi sangat sulit diukur

Isu manajemen

Beberapa manajer mempunyai otonomi, beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder, corporate goverance dan atau keuangan Inovasi berhubungan dengan pengambilan resiko

Kebanyakan manajer berada dalam situasi tekanan politik Inovasi memerlukan persetujuan politik

Hubungan dengan end-users

Pasar adalah sebagai konsumen dan juga industri. Feedback dari pasar mendorong ide/inovasi Inovasi dimotivasi oleh kebutuhan menjaga hubungan dengan pasar

End-users adalah masyarakat, secara tradisional adalah warga negara Customer relation tidak terbangun dengan baik. Inovasi biasanya tidak didorong oleh faktor end-users

Rantai supplay Kebanyakan perusahaan merupakan bagian dari rantai supply yang lebih besar Inovasi yang dihasilkanperusahaan kecil biasanyakalah oleh perusahaan besar, karena kalah dalam hal dukungan dana

Sektor publik tergantung pada sektor bisnis dalam pengadaan barang dan jasa Sektor publik menentukan standar, sektor bisnis menawarkan inovasi

SDM Motif ekonomi Pegawai didorong untuk membuat perbaikan atas produk yang dihasilkan

Motif idealis Inovasi kadang dilihat sebagai ancaman, juga sebagai diadopsi untuk perbaikan pelayanan publik

Sumber pengetahuan

Fleksibel dan luas mulai dari konsultan, asosiasi perdagangan, dan peneliti sektor publik Inovasi bervariasi

Sumber pengetahuan sangat banyak. Relatif kaku, hanya beberapa bagian dari sektor publik yang emanfaatkan universitas Jenis inovasi di beberapa bagian berbeda

Horizon waktu Kebanyakan Short-term Inovasi memerlukan pembayaran secepatnya

Kebanyakan Long-term Kesulitan dalam mengetahui konsekuensi dari sebuah inovasi

Sumber: dimodifikasi dari Koch, Per & Johan Hauknes (2005:24-26)

Page 93: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

119

Jenis inovasi di sektor publik dapat juga dilihat menurut Halvorsen

(2005:5), yang membagi tipologi inovasi di sektor publik seperti berikut ini:

1. A new or improved service (pelayanan baru atau pelayanan yang

diperbaiki), misalnya pelayanan kesehatan di rumah.

2. Process innovation (inovasi proses), misalnya perubahan dalam proses

penyediaan pelayanan atau produk.

3. Administrative innovation (inovasi bersifat administratif), misalnya

penggunaan instrumen kebijakan baru sebagai hasil dari perubahan

kebijakan.

4. System innovation (inovasi sistem), adalah sistem baru atau perubahan

mendasar dari sistem yang ada dengan mendirikan organisasi baru atau

bentuk baru kerjasama dan interaksi.

5. Conceptual innovation (inovasi konseptual), adalah perubahan dalam

outlook, seperti misalnya manajemen air terpadu atau mobility leasing.

6. Radical change of rationality (perubahan radikal), yang dimaksud adalah

pergeseran pandangan umum atau mental matriks dari pegawai instansi

pemerintah.

Lebih lanjut Halvorsen menjelaskan pula bahwa inovasi itu sendiri dapat

dikategorikan menjadi seperti berikut ini:

1. Incremental innovations and radical innovations. Inovasi ini berhubungan

dengan tingkat keaslian (novelty) dari inovasi itu sendiri. Khususnya di

sektor industri, kebanyakan inovasi bersifat perbaikan secara inkremental

2. Top-down innovations and bottom-up innovations. Ini untuk menjelaskan

siapa yang memimpin proses perubahan perilaku. Makan top-down berarti

manajemen atau organisasi atau hirarkhi yang lebih tinggi, sedangkan

Page 94: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

120

bottom-up merujuk pada pekerja atau pegawai pemerintah dan pengambil

keputusan pada tingkat unit (mid-level policy makers).

3. Needs-led innovations and efficiency-led innovation. Proses inovasi yang

diinisiasi telah menyelesaikan permasalahan dalam rangka untuk

meningkatkan efisiensi pelayanan, produk dan prosedur.

Gambar 7. Tipologi Inovasi Sektor Publik

Sumber: Muluk (2008:45)

Mulgan dan Albury (2003:3), menyatakan bahwa inovasi yang sukses

adalah merupakan kreasi dan implementasi dari proses, produk, layanan, dan

metode pelayanan baru yang merupakan hasil pengembangan nyata dalam

efisiensi, efektivitas atau kualitas hasil. Oleh karena itu inovasi telah berkembang

jauh dari pemahaman awal yang hanya mencakup inovasi dalam produk

(products & services) dan proses semata. Inovasi produk atau layanan berasal

INOVASI

SEKTOR PUBLIK

INOVASI PRODUK LAYANAN

INOVASI PROSES

PELAYANAN

INOVASI SISTEM

INOVASI KEBIJAKAN

INOVASI METODE

PELAYANAN

Page 95: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

121

dari perubahan bentuk dan desain produk atau layanan, sementara inovasi

proses berasal dari gerakan pembaruan kualitas yang berkelanjutan dan

mengacu pada kombinasi perubahan organisasi, prosedur, dan kebijakan yang

dibutuhkan untuk berinovasi.

Selain itu Windrum (2008:8) juga dalam karyanya berjudul: Innovation in

Public Sector Services: Entrepreneurship, Creativity and Management,

mengungkapkan adanya taksonomi inovasi yang terdiri dari enam jenis inovasi.

Keenam inovasi sektor publik menurut Windrum yaitu:

a. Service innovation is the introduction of a new service product or an improvement in the quality of an existing service product.

b. Service delivery innovation involves new or altered ways of delivering to clients or otherwise interacting with them, for the purpose of supplying specific public services.

c. Administrative and organizational innovation changes the

organizational structures and routines by which front office staff produces services in a particular way and/or back office staff support front office services.

d. Conceptual innovation is the development of new world views that

challenge assumptions that underpin existing service products, processes and organizational. It can occur at all levels and involve the introduction of new missions, new world views, objectives, strategies and rationales.

e. Policy innovations change the thought or behavioural intentions

associated with a policy belief system (Sabatier, 1987, 1999). Policy innovations are associated with three types of learning (Glasbergen, 1994). First, there is learning of how policy instruments can be improved to achieve a set of goals. Second, there is conceptual learning that follows changes in shared understanding of a problem and appropriate courses of action. Third, there is social learning based on shared understanding of the appropriate roles of policy actors.

f. Systemic innovation involves new or improved ways of interacting

withother organizations and knowledge bases. As a consequence of deregulation and increasing competition, partly as the result of budgetary constraints in public administration and the increasing role of service outsourcing.

Berdasarkan pembagian jenis inovasi tersebut, oleh Windrum dalam buku

yang sama, memberi penjelasan bahwa jenis inovasi yang pertama sampai

Page 96: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

122

dengan ketiga yakni service innovation (inovasi pelayanan), delivery innovation

(inovasi pemberian pelayanan), dan organizational innovation (inovasi

organisasi), merupakan jenis inovasi yang telah lama dikenal dan diujikan pada

studi-studi sektor swasta. Namun selanjutnya dalam rangka pengembangan

analisis terhadap inovasi dalam suatu organisasi, terutama organisasi sektor

publik, maka digunakan jenis atau kategori berikutnya, yakni conceptual

innovation (inovasi konseptual), policy innovation (inovasi kebijakan), dan

systemic innovation (inovasi sistemik).

2.6.4 Strategi dan Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Inovasi

Strategi dalam proses inovasi menjadi amat penting untuk memastikan

kesuksesan suatu inovasi dijalankan dalam organisasi publik. Untuk itulah, pada

bagian ini diuraikan beberapa pandangan tentang strategi dan faktor-faktor yang

menghambat dalam proses inovasi. Terkait dengan proses inovasi ini, Behn

(2008:142), menyatakan bahwa terdapat empat jenis proses yang berbeda

dalam penerapan inovasi yang kerap dikembangkan, antara lain:

1. Diffusion, yakni proses inovasi yang sifatnya tidak disengaja

(unintentional), berlangsung spontan (spontaneous), proses yang tidak

tampak (hidden-hand) dilakukan oleh seseorang ketika mendengar tentang

inovasi dan menyimpulkan bermanfaat untuk di coba. Sering disebut

dengan “the somehow people will learn how to get better approach”.

2. Transfer, yakni pertukaran ide-ide secara informal dan diparaktekkan oleh

suatu jaringan antara individu-individu, biasanya jaringan pertemanan dan

kolega dalam suatu profesi (pekerjaan) yang sama atau area kebijakan,

meskipun berbeda organisasi atau wilayah kerja. Biasanya disebut “the

friends will tell friends about how they are getting better approach”.

Page 97: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

123

3. Propagation, yakni suatu upaya berupa pemikiran atau perencanaan yang

telah disiapkan terlebih dahulu (mungkin oleh inovator-inovator, individu

diluar organisasi, atau level pemerintahan yang lebih tinggi) untuk membuat

strategi dialog terhadap pendidikan dan bantuan untuk mentransfer inovasi

dari orang (pihak) lain. Hal ini seringkali disebut sebagai “the we ought to

help people learn how to get better approach”.

4. Replication, yakni suatu usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi

(individu di dalam organisasi) yang bekerja keras untuk memperbaiki,

dengan mencari secara aktif terhadap ide-ide, kebijakan, program, dan

praktek yang telah sukses dan dapat diadopsi. Jenis sering disebut dengan

ungkapan “the we want to learn from others who know how to get better

approach”.

Dalam salah satu makalah yang diliris oleh NESTA (2008: 11), mereviu

faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi sejauh mana pemerintah dan

organisasi sektor publik lainnya, secara mandiri menghasilkan inovasi. Faktor-

faktor kunci tersebut mencakup:

a. Jenis organisasi atau rantai penyediaan pelayanan (the type of agency or

service delivery chain);

b. Misi utama organisasi (the agency’s fundamental mission);

c. Cakupan fungsional di mana organisasi beroperasi (the functional area in

which the organization operates);

d. Ukuran dan hirarki organisasi (the size and hierarchy of the organization);

e. Lingkup organisasi (the organization’s national, regional, urban or rural

location);

f. Kebijakan organsasi yang berkaiatn dengan manusia secara umum (the

organization’s general human relations policies);

Page 98: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

124

g. Apakah organisasi memiliki kebijakan khusus dan program yang

mendorong inovasi (whether the organization has specific policies and

programmes encouraging innovation).

Dalam proses implementasi inovasi terdapat tiga perspektif yang saling

melengkapi, yakni (1) the individual perspective, menekankan pada aktor individu

sebagai pihak utama dengan prinsip the principal agents dalam melakukan

inovasi; (2) the structural perspective, menganggap bahwa inovasi sangat

tententukan oleh karakteristik organisasi (Slappendel, 1996: 109); dan (3) the

interactive perspective, keberhasilan suatu inovasi merupakan dampak dari

kolaborasi antara kelompok individu, organisasi dan sumber daya yang relevan

(Styhre, 2007: 14)

Inovasi tidak terjadi secara mulus atau tanpa resistensi. Banyak dari

kasus inovasi diantaranya justru terkendala oleh berbagai faktor. Biasanya

budaya organisasi menjadi faktor penghambat terbesar dalam mempromosikan

sebuah inovasi. Selain faktor budaya organisasi, banyak lagi faktor yang dapat

menghambat tumbuhnya inovasi dalam suatu organisasi.

Gambar 8 pada bagian berikut ini memberikan ilustrasi sejumlah

hambatan dalam pengembangan inovasi yang dapat diidentifkasi menjadi

delapan jenis penghambat. Diantaranya yang disebut dengan budaya risk

aversion adalah budaya yang tidak menyukai resiko. Hal ini berkenaan dengan

sifat inovasi yang memiliki segala resiko, termasuk resiko kegagalan. Sektor

publik, khususnya pegawai cenderung enggan berhubungan dengan resiko, dan

memilih untuk melaksanakan pekerjaan secara prosedural-administratif dengan

resiko minimal. Selain itu, secara kelembagaan pun, biasanya karakter unit kerja

di sektor publik pada umumnya tidak memiliki kemampuan dalam menangani

resiko yang muncul sebagai akibat dari pekerjaanya.

Page 99: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

125

Gambar 8. Faktor-faktor Penghambat Inovasi

Sumber: dimodifikasi dari Mulgan & Albury (2003:31)

Hambatan-hambatan lainnya yang dapat ditemukan pada Gambar 8

adalah adanya ketergantungan terhadap figur atau pemimpin tertentu yang

memiliki kinerja tinggi, sehingga kecenderungan kebanyakan pegawai di sektor

publik hanya menjadi pengikut (followers). Ketika figur atau pemimpin tersebut

hilang dan digantikan oleh figur lainnya, maka yang terjadi adalah stagnasi dan

kemacetan kerja. Selain itu, hambatan anggaran yang periodenya terlalu pendek,

serta hambatan administratif yang membuat sistem dalam berinovasi menjadi

tidak fleksibel. Sejalan dengan itu juga, biasanya penghargaan atas karya-karya

inovatif masih sangat sedikit. Sangat disayangkan hanya sedikit apresiasi yang

layak atas prestasi pegawai atau unit yang berinovasi.

Faktor-faktor inovasi yang disampaikan oleh Mulgan dan Albury pada

Gambar 8, pada dasarnya menyangkut dua hal, yakni (1) faktor-faktor inovasi

NO

INNOVATION

Reluctance to close

down failing

programmes or

organisation Over-reliance on

high performers as

sources of

innovation

Technologies available

but constraing culture

or organizational

arrangements

No rewards or

incentives to

innovate or adopt

innovations

Poor skills in active

risk or change

management

Short-term budgets

and planning

horizons

Delivery

pressures and

administrative

burders

Culture

of risk aversion

Page 100: Bab II (Revisi Proposal_2012_oke)

126

yang bersumber dari individu, baik pegawai maupun pemimpinnya; dan (2)

faktor-faktor inovasi yang bersumber atau berkaitan dengan karakter organisasi.

Terkait dengan faktor-faktor inovasi ini, pengembangan inovasi sektor publik

perlu pula dipahami bahwasanya terdapat faktor-faktor kritis yang lain. Faktor-

faktor kritis pengembangan inovasi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh

Muluk (2008:49) bahwa inovasi sektor publik bukanlah sebuah kondisi yang

dapat sukses dijalankan dengan sebatas niat saja apalagi terjadi dengan

sendirinya.

Oleh sebab itu dibutuhkan beberapa faktor untuk menjamin keberhasilan

pengembangan sebuah inovasi pemerintahan daerah. Beberapa faktor kritis

tersebut antara lain: (1) kepemimpinan yang mendukung inovasi; (2) pegawai

yang terdidik dan terlatih; (3) budaya organisasi; (4) pengembangan tim dan

kemitraan; dan (5) orientasi kinerja yang terukur. Tanpa kehadiran faktor-faktor

ini maka terjadinya inovasi pemerintahan akan menjadi sulit terealisasi. Dengan

demikian, perlu terus diidentifikasi faktor-faktor kritis tersebut tersebut dan perlu

pula dijamin ketersediaannya.