bab ii revisi new
DESCRIPTION
bab 2TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori
1. Cedera Kepala
A. Definisi
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan serangan/
benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik(Brain Injury Assosiation of Amerika,2006).
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak. (Morton, 2012). Cedera kepala berat atau
cerebri contusio merupakan cedera kepala berata, dimana otak
mengalami, memar dengan memungkinkan adanya daerah yang
mengalami perdarahan (hemoragik-hemorrhage) (Batticaca,2008).
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpanan
bentuk atau penyimpanan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan. (Clevo, Margareth, 2013)
B. Klasifikasi
a) Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi:
1) Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea
tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
2) Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan
otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga
meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon
fisiologs cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan
biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia
serebral , hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemi.
b) Menurut jenis cedera
1. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang
tengkorak dan laserasi duameter. Trauma yang menembus
tengkorak dan jaringan otak.
2. Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada pasien dengan
gegar otak ringan dengan cedera cerebral yang luas.
c) Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Gaslown Coma Scale)
1. Cedera kepala ringan / minor
a. GCS 14-15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang
dari 30 menit
c. Tidak ada fraktur tengkorak
d. Tidak ada kontusia serebral, hematoma
2. Cedera kepala sedang
a. GCS 9-13
b. Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
d. Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma
intrakranial
3. Cedera kepala berat
a. GSC 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam
c. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma
intra kranial
C. Etiologi
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera kepala akselerasi, deselerasi,
akselerasi-deselerasi, coup-counture coup, dan cedera kepala
ratasional.
1. Cedera akselerasi terjadi jika ob jek bergerak menghantam kepala
yang tidak bergerak (misal, alat pemukul penghantam kepala atau
peluru yang ditembakkan ke kepala atau peluru yang ditembbakkan
kekepala)
2. Cedera deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentuk obyek diam, seperti
pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur
kaca depan mobil.
3. cedera akselerasi-deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan
episode kekerasan fisik.
4. Cedera coup-counture coup
Terjadi jika kepela terbentur yang menyebabkan otak bergerak
dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali
terbentuk. Sebagian contoh pasien dipukul bagian belakang kepala.
5. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak.
D. Gambaran klinis
Cedera kepala, terutama karena kecelakaan lalu lintas, sering terjadi
pada keadaan cedera multipel sehingga membutuhkan tata laksana
resusitasi segera:
a. Airway (jalan napas)-perhatikan khusus pada tulang servikal,
karena dapat terjadi fraktur dan atau dislokasi
b. Breathing (pernapasan)
c. Circulation (sirkulasi)
d. Cedera dada mayor (hemotoraks, pneumotoraks)
e. Perdarahan abdomen mayor
Setelah semua aspek diatas telah diperiksa dan ditangani, maka
baru dilakukan penilaian cedera kepala, tulang belakang, kemudian
anggota gerak.
Riwayat cedera kepala seringkali didapatkan dari saksi.
Pertimbangan yang penting meliputi:
a. Keadaan cedera-pasien mungkin mengalami cedera akibat
hilangnya kesadaran sebelumnya, misalnya pada serangan
kejang.
b. Lamanya periode hilang kesadaran, dan amnesia pascatrauma.
Adanya ‘interval lusid’ antara periode awal hilangnya
kesadaran pada waktu impaksi, dan tingkat kesadaran pasien
yang kembali memburuk, menunjukkan adanya perkembangan
komplikasi sekunder yang dapat diatasi, yaitu hematoma
intrakranial.
c. Nyeri kepala dan muntah persisten-mungkin menunjukkan
adanya hematoma intrakranial.
E. Penatalaksanaan
1. Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan posisi
kepala dan leher sejajar.
2. Traksi ringan pada kepala
3. Kolar servikal
4. Terapi untuk mempertahankan homeostasis otak dan mencegah
kerusakan otak sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler
dan fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral
yang adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki hipovolemi, dan
evaluasi gas darah arteri.
5. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan
pemantauan TIK. Bila terjadi peningkatan TIK, pertahankan
oksigenasi yang adekuat; pemberian manitol untuk mengurangi
edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi,
penggunaan steroid; meninggikan posisi kepala ditempat tidur;
kolaborasi bedah neuro untuk mengangkat bekuan darah; dan
jahitan terhadap laserasi dikepala. Pasang alat pemantau TIK
selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur.
Rawat klien di ICU.
6. Tindakan perawatan pendukung yang lain, yaitu pemantauan
ventilasi dan pencegahan kejang serta pemantauan cairan,
elektrolit, dan keseimbangan nutrisi. Lakukan intubasi dan ventilasi
mekanik (ventilator) bila klien koma berat untuk mengontrol jalan
napas. Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan
vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan
TIK. Pemberian terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang
setelah trauma kepala yang menyebabkan kerusakan otak sekunder
karena hipoksia (seperti klorpromazin tanpa tingkat kesadaran).
Pasang NGT bila terjadi penurunan motilitas lambung dan
peristaltik terbalik akibat cedera kepala.
F. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah keotak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normalcerebral bloodflow (CBF) adalah 50-60
ml/ menit/ 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac
output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler
dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan
parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:
1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-
decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada
jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi:
- Gegar kepala ringan
- Memar otak
- Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:
- Hipotensi sistemik
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Udema otak
- Komplikasi pernapasan
- Infeksi/ komplikasi pada organ tubuh yang lain (Clevo,
Margaret, 2012)
G. Komplikasi
a. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan
dikepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kamudian
setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita
yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di
kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus
di kepala.
cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang.
Pengobatan ini sering kali berlanjut selama beberapa tahun atau
sampai waktu yang tak terhingga.
b. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak
mau memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri
dan bagian lobus frontalis disebelahnya. Kerusakan pada bagian
manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau
infeksi, akan mempengaruhi beberapa dari fungsi bahasa.
c. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang
terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis
atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang
mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
d. Agnosis
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat
dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya
dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak
dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik
atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun
mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan
temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya
disimpan. Agnosia sering kali terjadi segera setelah terjadinya
cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa
penderita mengalami perbaikan secara spontan.
e. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang
sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya
dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan
peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi
retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya
kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung
beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung pada beratnya
cedera) dan akan menghilang pada sendirinya. Pada cedera ptak
yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan meningatnya
kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis,
lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap
merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang
terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu
kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita
kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut
sindroma Wernicke-korsakoff. Sindroma ini terjadi dari
kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang
berlangsung lama.
Amnesia korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati
Wernicke. Amnesia korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala
yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
f. Fistel karotis- kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita,
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi
perlu dilakukan untuk konfrimasi diagnosis dan terapi dengan oklusi
balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang
permanen.
g. Diabetes insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia dan deplesi volum.
h. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut;kejang dini menunjukkan risiko
yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan.
i. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala
tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala
setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase lumbal dapat
mempercepat proses ini. Walaupun pasien memiliki risiko
meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih
controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap
atau meningitis brulang merupakan indikasi untuk reparative.
j. Edema serebral dan herniasi
Penyebab umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi 72
jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak
teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan
dikranum dikompensasi oleh tertekannya venosus dan cairan otak
bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran
darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi
dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan
menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak
kebawah / latetal dan menekan di enchepalon dan batang otak,
menekan pusat vesomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor,
jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD,
nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
k. Defisit neurologis dan psikologis
Tanda awal penuruan fungsi neurologis: perubahan TK kesadaran,
nyeri kepala hebat, mual/ muntah proyektil (tanda dari penngkatan
TIK). (Andra, Yessi, 2013)
2. Ventilator Mekanik
a. Definisi
Ventilasi mekanik merupakan tindakan pemasangan alat pernapasan yang
digunakan untuk mempertahankan ventilasi dan memberikan suplay
oksigen dalam jangka waktu tertentu, sebagai terapi definitif pada klien
kritis yang mengalami kegagalan pernapasan (Smeltzer, et.al,2008).
b. Klasifikasi
Ventilasi mekanik secara umum diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a) Ventilator tekanan negatif, yang memberikan tekanan negatif
intrathorak selama inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam
paru. Ventilator ini digunakan pada kegagalan pernapasan kronik
dengan gangguan neurovascular seperti miastenia gravis poliomyelitis,
distrofi muscular dan sklerosis lateral amiotrifik.
b) Ventilasi tekanan positif yang meliputi pressure cycle ventilation, time
cycle ventilation dan volume cycle ventilation yang paling banyak
digunakan. Ventilator ini memberikan tekanan positif pada jalan nafas
sehingga mendorong alveoli untuk mengembang selam inspirasi,
sehingga memerlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator
ini digunakan pada penyakit/ gangguan paru primer (Ignatavicius &
Workman, 2008).
c. Indikasi Klinik
Mnurut Smeltzer, et.al (2008) dan Ignatavicus & Workman (2008)
indikasi klinik pemasangan ventilasi mekanik adalah:
a) Kegagalan ventilasi yaitu: depresi system saraf pusat, penyakit
neuromuscular, penyakit system saraf pusat, penyakit musculoskeletal,
ketidakmampuan thorak untuk melakukan ventilasi.
b) Kegagalan pertukaran gas yaitu: kegagalan pernapasan akut; kegagalan
pernapasan kronik; gagal jantung kiri; ketidakseimbangan ventilasi/
perfusi.
d. Mode Operasional Ventilasi Mekanik
Mode operasioanal volume cycle ventilation pada klien dewasa meliputi:
respiratory rate (RR) permenit; tidal volume; konsentrasi oksigen (FiO2)
dan positive end respiratory pressure (PEEP). Konsentrasi oksigen
diberikan berdasarkan nilai prosentase O2 dalam AGD(analisa gas darah).
Frekuensi pernapasan antara 12-15 x/menit; tidal volume sekitar 10-15
ml/kg BB. Fraksi oksigen (FiO2) diatur pada level PaO2 dan saturasi
oksigen rendah untuk menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan
untuk mencegah alveolar kolaps dan meningkatkan alveolar capillary
diffusion (Ignatavicius & Workman, 2008).
Mode operasional ventilasi mekanik terdiri dari :
a) Controlled Mechanical Ventilation (CMV) mengontrol volume dan
frekuensi pernapasan dengan indikasi tidak dapat bernafas spontan,
untuk mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu
yang lama serta meningkatkan kerja pernapasan.
b) Assist Control Ventilation (ACV) biasanya digunakan pada tahap
pertama pemakaian ventilasi mekanik, untuk mengontrol ventilasi,
kecepatan dan volume tidal. Mode ini dapat melakukan fungsi
ventilasi secara otomatis.
c) Intermitten Mandatory Ventilation (IMV) digunakan untuk pernapasan
spontan yang tidak sinkron seperti hiperventilasi dan sewaktu-waktu
dapat mengambil alih peranan.
d) Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) diberikan
pada pernapasan spontan dengan tidal volume dan RR yang kurang
adekuat untuk ventilasi dengan tekanan darah, efek barotrauma
minimal serta mencegah otot pernapasan tidak terlalu kelelahan.
e) Positive End Expiratory Pressure (PEEP) untuk menahan tekanan
akhir ekspirasi positif dengan tujuan untuk mencegah atelaktasis,
diberikan pada klien ADRS (adult respiratory distress sindroma)
daumonia diffuse.
f) Continous Positive Airway Pressure (CPAP) untuk meningkatkan
fungsional residual capacity (FRC), biasanya digunakan dalam proses
weaning / penyapihan ventilasi (Ignatavicius & Workman, 2006).
3. Nyeri
a. Definisi
International for Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri sebagai
situasi tidak menyenangkan yang bersumber dari area tertentu, yang
tergantung atau tidak tergantung pada kerusakan jaringan dan yang
berkaitan dengan pengalaman masa lalu dari orang yang bersangkutan
(Demir, 2012).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
c. Pemeriksaan nyeri
d. Klasifikasi nyeri
e. Murrotal
Pelaksanaan manejemen nyerinonfarmakologi di klinis
belumsepenuhnya dilakukan oleh perawatdalam memanajemen nyeri,
karena perawat lebih sering melaksanakan terapi kolaboratif berupa
pemberian analgesik dari pada terapinonfarmakologi. Salah satu
tindakannonfarmakologis yang dapat diberikanuntuk mengatasi nyeri
pasien yaitu dengan terapi relaksasi, seperti: distraksi, guide imagery, dan
relaksasi progresif. Namun, dewasa ini telah dilakukan berbagai penelitian
dalambidang kedokteran. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ahmad
Al Qadhi tentang pengaruh Al-Qur’an bagiorgan tubuh. Ahmad Al Qadhi,
melaluipenelitiannya di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil
membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat AlQur’an,
seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat
merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar. Penurunan depresi,
kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam
penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang
menjadi objek penelitiannya. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan,
bacaan Al-Qur’an berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan
ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit. Ketenangan jiwa ini
menimbulkan relaksasi bagi tubuh. Relaksasi ini mempengaruhi
terbentuknya gelombang tetha pada otak dimana frekuensinya 5-8 Hz.
Gelombang ini mampu mempengaruhi produksi hormon endorfin yang
menghambat aktifitas trigger cell. Ketika aktifitas trigger cell dihambat,
gerbang pada Substansia Gelatinosa menutup dan impuls nyeri berkurang
atau sedikit ditransmisikan ke otak (Purwanto, 2008; Anwar, 2010;
AlKaheel,2011).
f. Asuhan keperawatan kepada pasien cedera kepala
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. data yang perlu didapati adalah sebagai berikut:
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur,
jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, penghasilan, hubungan klien dengan
penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan:
Tingkat kesadaran/ GCS (<15), konvulsi, muntah, dispnea/
takipnea, sakit kepala, wajah simetris/ tidak, lemah, luka di
kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya
liquor dari hidung dan telinga dan kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang
berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem
sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga
terutama yang mempunyai penyakit menular.
4. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
5. Pemeriksaan fisik
- Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran,
biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu.
Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-
tanda vital kaku kuduk, hemiparase.
- Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas
sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak
juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII. (Clevo,
Margareth, 2012)
6. Pemeriksaan penunjang
a. Radiografi kranium, untuk mencari adanya fraktur, jika
pasien mengalami gangguan kesadaran sementara atau
persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang
menunjukkan fraktur pada basis kranii, fraktur fasialis, atau
tanda neurologis fokal lainnya. fraktur kranium pada regio
temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan
kemungkinan hematoma ekstradural, yang disebabkan oleh
robekan arteri meningea media.
b. CT scan kranial segera dilakukan jika terjadi penurunan
tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang
disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal.
7. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan
a. Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan klien dapat mempertahankan potensi napas.
b. Kriteria hasil:
a) Bunyi napas vesikuler
b) Tidak ada sputum
c) Masukan cairan adekuat
c. Intervensi:
a) Kaji kepatenan jalan napas
Rasional : ronki, mengi menunjukkan aktivitas sekret
yang dapat menimbulkan penggunaan otot-otot
asesoris dan meningkatkan kerja pernapasan.
b) Beri posisi semi fowler
Rasional : membantu memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya pernapasan
c) Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama
10-15 menit. Catat sifat-sifat, warna dan bau sekret.
Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan
robekan dural.
Raional : pengisapan dan membersihkan jalan napas
dan akumulasi dari sekret. Dilakukan dengan hati-hati
untuk menghindari terjadinya iritasi saluran dan
reflek vegal.
d) Berikan posisi semi pronerateral / miring atau
terlentang setiap dua jam.
Rasional : posisi semi prone dapat membantu
keluarnya sekret dan mencegah aspirasi. Mengubah
posisi untuk merangsang mobilisi sekret dari saluran
pernapaan.
e) Pertahankan masukan cairan sesuai kemampuan
klien.
Rasional:membantu mengencerkan sekret,
meningkatkan pengeluaran sekret.
f) Kolaborasi: berikan bronkodilator IV dan aerosol
sesuai indikasi.
Rasional : meningkatkan ventilasi dan membuang
sekret serta relaksasi otot halus/ spsponsne bronkus.
2. Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan
neurovaskuler, kerusakan persepsi, obstruksi trakeobronkial
a) Tujuan :
setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan klien mempunyai pola pernapasan yang
efektif.
b) Kriteria hasil:
a. Pola napas normal (irama teratur, RR=16-24
x/menit).
b. Tidak ada pernapasan cuping hidung.
c. Pergerakan dada simetris.
d. Nilai GDA normal
PH darah=7,35-7,45.
PaO2 = 80-100 mmHg.
PaCO2 = 35-45 mmHg.
HCO3 = 22-26 m.Eq/L.
c) Intervensi:
a. Pantau frekuensi, irama dan ketidakaturan pernapasan
kedalaman pernapasan.
Rasional : perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmo atau menandakan luasnya
keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode aprea
dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
b. Catat kompetensi reflek GAG dan kemampuan untuk
melindungi jalan napas sendiri.
Rasional : kemampuan mobilisasi penting untuk
pemeliharaan jalan napas. Kehilangan reflek batuk
menandakan perlunya jalan napas buatan/ intubasi.
c. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional : untuk memudahkan ekspansi paru dan
menurunkan kemungkinan adanya kemungkinan lidah
jatuh menutupi jalan napas.
d.Anjurkan klien untuk bernapas dalam dan batuk efektif
Rasional : mencegah atau menurunkan atelektasis.
3. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran
darah oleh SOL (hemoragi, hematoma), edema serebral,
penurunan TD sistemik/ hipoksia.
a) Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan klien mempunyai perfusi jaringan adekuat.
b) Kriteria hasil :
a. Tingkat kesadaran normal (composmentis) .
b. TTV normal,
TD: 120/80 mmHg.
Suhu : 36,5-37,5 OC.
Nadi : 80-100 x/menit.
c) Intervensi :
a. Kaji status neurologis yang berhubungan dengan
tanda-tanda peningkatan TIK, terutama GCS.
Rasional : hasil dari pengkajian dapat diketahui
secara dini adanya tanda-tanda peningkatan TIK,
misalnya hilangnya autoregulasi dapat mengiluti
kerusakan vaskularisasi serenral lokal. Napas yang
tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya
gangguan serebral.
b. Monotor TTV: TD, denyut nadi, suhu, minimal setiap
jam sampai klien stabil.
Rasional : dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda
peningkatan TIK, misalnya hilangnya autoregulasi
dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serenral
lokal. Napas yang tidak teratur dapat menunjukkan
lokasi adanya gangguan serebral.
c. Tinggikan posisi kepala dengan sudut 15-45o tanpa
bantal dan posisi netral.
Rasional : posisi kepala dengan sudut 15-45o dari
kaki akan meningkatkan dan memperlancar aliran
balik vena kepala sehingga mengurangi kongesti
serebrum, dan mencegah penekanan pada saraf
medula spinalsis yang menambah TIK.
d. Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai
indikasi. Batasi pemakaian selimut dan kompres bila
demam.
Rasional : demam menandakan adanya gangguan
hipotalamus: peningkatan kebutuhan metabolik akan
meningkatkan TIK.
e. Monitor asupan dan keluaran setiap delapan jam
sekali.
Rasional : mencegah kelebihan cairan yang dapat
menambah edema serebri sehingga terjadi
peningkatan TIK.
f. Kolaborasi : berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
Rasional : mengurangi hipokremia yang dapat
meningkatkan vasoditoksi cerebri, volume darah dan
TIK
g. Kolaborasi : berikan obat-obatan antiedema seperti
manitol, gliserol dan losix sesuai indikasi.
4. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan persepsi sensori,
transmisi dan/ atau integrasi (trauma atau deficit
neurologis)
a) Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam, diharapkan klien mengalami perubahan persepsi
sensori
b) Kriteria hasil :
a. Tingkat kesadaran normal. E4 M6 V5.
b. Fungsi alat-alat indera baik.
c. Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi
pada orang, waktu dan tempat.
c) Intervensi :
a. Kaji respon sensori terhadap panas atau dingin, raba
atau sentuhan. Catat perubahan-perubahan yang
terjadi.
Rasional : informasi yang penting untuk keamanan
klien, semua sistem sensori dapat terpengaruh
dengan adanya perubahan yang melibatkan
kemampuan untuk menerima dan berespon sesuai
stimulus.
b. Kaji persepsi klien, baik respon balik dan koneksi
kemampuan klien berorientasi terhadap orang,
tempat dan waktu.
Rasional : hasil pengkajian dapat menginformasikan
susunan fungsi otak yang terkena dan membantu
intervensi sempurna.
c. Berikan stimulus yang berarti saat penurunan
kesadaran.
Rasional : merangsang kembali kemampuan
persepsi sensori
d. Berikan keamanan klien dengan pengamanan sisi
tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari
cedera.
Rasional : gangguan persepai sensori dan buruknya
keseimbangan dapat meningkatkan resiko terjadinya
injury.
e. Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi deuposi, wicara,
terapi kognitif.
Rasioanal : pendekatan antar disiplin dapat
menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi
yang berfokus pada peningkatan evaluasi, dan
fungsi fisik,kognitif dan ketrmpilan perseptual.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK
a) Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,
nyeri berkurang atau terkendali.
b) Kriteria hasil :
a. Pelaporan nyeri terkontrol.
b. Pasien tenang, tidak gelisah
c. Pasien dapat cukup istirahat.
c) Intervensi :
a. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, intensitas, keluhan
dan durasi.
Rasional : informasi akan memberikan data dasar
untuk membantu dalam menentukan pilihan/
keefektifan interfensi.
b. Monitor TTV
Rasional : perubahan TTV merupakan indikator
nyeri
c. Buat posisi kepala lebih tinggi (15-45o)
Rasional : meningkatkan dan melancarkan aliran
balik darah vena dari kepala sehingga dapat
megurangi edema dan TIK.
d. Ajarkan latihan teknik relaksasi seperti latihan
napas dalam.
Rasional : latihan napas dapat membantu
pemasukan O2 lebih banyak, terutama untuk
oksigenasi otot.
e. Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari
luas dan berikan tindakan yang menyenangkan
seperti masase.
Rasional : respon yang tidak menyenangkan
menambah ketegangan saraf dan masase akan
mengalihkan rangsang terhadap nyeri.
6. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi atau
kognitif, pemurunan kekuatan/ tahanan, tetapi pembatasan/
kewaspadaan keamanan (tirah baring, imobilisasi)
a) Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam, diharapkan klien mampu melakukan aktifitas fisik
dan ADL.
b) Kriteria hasil :
a. Klien mampu pulih kembali pasca akut dalam
mempertahankan fungsi gerak.
b. Tidak terjadi komplikasi, seperti dekubitus,
bronkopnemonia tromboplebitis dan kontraktur
sendi.
c. Mampu memoertahankan keseimbangan fungsi
tubuh
c) Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara
fungsional pada kerusakan yang terjadi.
Rasional : mengidentifikasi kemungkinan kerusakan
yang terjadi secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Kaji tingkat kemampuan mobilitas dengan skal 0-4 :
0: klien tidak bergantung orang lain
1: klien butuh sedikit bantuan.
2: klien butuh bantuan sederhana.
3: klien butuh bantuan atau peralatan yang banyak.
4: klien butuh sangat bergantung pada orang lain.
Rasional : seseorang dalam setiap kategori
mempunyai resiko kecelakaan, namun dengan
kategori nilai 2-4 mempunyai resiko yang terbesar
untuk terjadinya bahaya.
c. teratur tiap dua jam sekali bila tidak ada kejang atau
setelah empat jam pertama.
Atur posisi klien dan ubah posisi secara Rasional :
dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan
mencegah adanya tekanan pada organ yang menonjol.
d. Bantu klien melakukan gerakan sendi secara teratur.
Rasional : mempertahankan fungsi sendi dan
mencegah resiko tromboplebitis.
e. Pertahankan linen tetap bersih dan bebas kerutan.
Rasional : meningkatkan sirkulasi dan meningkatkan
elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya
ekskariasi kulit.
f. Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak aktif/
pasif.
Rasional : mempertahankan mobilisasi dan fungsi
sendi/ posisi normal ekstremitas dan menurunkan
terjadinya vena statis.
g. Anjurkan klien untuk tetap ikut serta dalam
pemenuhan kebutuhan ADL sesuai kemempuan.
Rasional : meningkatkan kesembuhan dan
membentuk kekuatan otot.