bab ii revisi new

47
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan teori 1. Cedera Kepala A. Definisi Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan serangan/ benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik(Brain Injury Assosiation of Amerika,2006). Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. (Morton, 2012). Cedera kepala berat atau cerebri contusio merupakan cedera kepala berata, dimana otak mengalami, memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami

Upload: ayuk-wkk

Post on 28-Jan-2016

39 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bab 2

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Revisi New

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

1. Cedera Kepala

A. Definisi

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan

bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan serangan/

benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah

kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fungsi fisik(Brain Injury Assosiation of Amerika,2006).

Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit

kepala, tengkorak, dan otak. (Morton, 2012). Cedera kepala berat atau

cerebri contusio merupakan cedera kepala berata, dimana otak

mengalami, memar dengan memungkinkan adanya daerah yang

mengalami perdarahan (hemoragik-hemorrhage) (Batticaca,2008).

Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpanan

bentuk atau penyimpanan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan

perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk

dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan

penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala

dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan

pencegahan. (Clevo, Margareth, 2013)

Page 2: BAB II Revisi New

B. Klasifikasi

a) Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi:

1) Cedera kepala primer

Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan

gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea

tersebut, yang menyebabkan kematian sel.

2) Cedera kepala sekunder

Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan

otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga

meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon

fisiologs cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan

biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia

serebral , hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemi.

b) Menurut jenis cedera

1. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang

tengkorak dan laserasi duameter. Trauma yang menembus

tengkorak dan jaringan otak.

2. Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada pasien dengan

gegar otak ringan dengan cedera cerebral yang luas.

c) Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Gaslown Coma Scale)

1. Cedera kepala ringan / minor

Page 3: BAB II Revisi New

a. GCS 14-15

b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang

dari 30 menit

c. Tidak ada fraktur tengkorak

d. Tidak ada kontusia serebral, hematoma

2. Cedera kepala sedang

a. GCS 9-13

b. Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30

menit tetapi kurang dari 24 jam

c. Dapat mengalami fraktur tengkorak

d. Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma

intrakranial

3. Cedera kepala berat

a. GSC 3-8

b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari

24 jam

c. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma

intra kranial

Page 4: BAB II Revisi New

C. Etiologi

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera kepala akselerasi, deselerasi,

akselerasi-deselerasi, coup-counture coup, dan cedera kepala

ratasional.

1. Cedera akselerasi terjadi jika ob jek bergerak menghantam kepala

yang tidak bergerak (misal, alat pemukul penghantam kepala atau

peluru yang ditembakkan ke kepala atau peluru yang ditembbakkan

kekepala)

2. Cedera deselerasi

Terjadi jika kepala yang bergerak membentuk obyek diam, seperti

pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur

kaca depan mobil.

3. cedera akselerasi-deselerasi

Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan

episode kekerasan fisik.

4. Cedera coup-counture coup

Terjadi jika kepela terbentur yang menyebabkan otak bergerak

dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang

tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali

terbentuk. Sebagian contoh pasien dipukul bagian belakang kepala.

Page 5: BAB II Revisi New

5. Cedera rotasional

Terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar dalam

rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya

neuron dalam substansia otak dengan bagian dalam rongga

tengkorak.

D. Gambaran klinis

Cedera kepala, terutama karena kecelakaan lalu lintas, sering terjadi

pada keadaan cedera multipel sehingga membutuhkan tata laksana

resusitasi segera:

a. Airway (jalan napas)-perhatikan khusus pada tulang servikal,

karena dapat terjadi fraktur dan atau dislokasi

b. Breathing (pernapasan)

c. Circulation (sirkulasi)

d. Cedera dada mayor (hemotoraks, pneumotoraks)

e. Perdarahan abdomen mayor

Setelah semua aspek diatas telah diperiksa dan ditangani, maka

baru dilakukan penilaian cedera kepala, tulang belakang, kemudian

anggota gerak.

Riwayat cedera kepala seringkali didapatkan dari saksi.

Pertimbangan yang penting meliputi:

Page 6: BAB II Revisi New

a. Keadaan cedera-pasien mungkin mengalami cedera akibat

hilangnya kesadaran sebelumnya, misalnya pada serangan

kejang.

b. Lamanya periode hilang kesadaran, dan amnesia pascatrauma.

Adanya ‘interval lusid’ antara periode awal hilangnya

kesadaran pada waktu impaksi, dan tingkat kesadaran pasien

yang kembali memburuk, menunjukkan adanya perkembangan

komplikasi sekunder yang dapat diatasi, yaitu hematoma

intrakranial.

c. Nyeri kepala dan muntah persisten-mungkin menunjukkan

adanya hematoma intrakranial.

E. Penatalaksanaan

1. Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan posisi

kepala dan leher sejajar.

2. Traksi ringan pada kepala

3. Kolar servikal

4. Terapi untuk mempertahankan homeostasis otak dan mencegah

kerusakan otak sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler

dan fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral

yang adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki hipovolemi, dan

evaluasi gas darah arteri.

Page 7: BAB II Revisi New

5. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan

pemantauan TIK. Bila terjadi peningkatan TIK, pertahankan

oksigenasi yang adekuat; pemberian manitol untuk mengurangi

edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi,

penggunaan steroid; meninggikan posisi kepala ditempat tidur;

kolaborasi bedah neuro untuk mengangkat bekuan darah; dan

jahitan terhadap laserasi dikepala. Pasang alat pemantau TIK

selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur.

Rawat klien di ICU.

6. Tindakan perawatan pendukung yang lain, yaitu pemantauan

ventilasi dan pencegahan kejang serta pemantauan cairan,

elektrolit, dan keseimbangan nutrisi. Lakukan intubasi dan ventilasi

mekanik (ventilator) bila klien koma berat untuk mengontrol jalan

napas. Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan

vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan

TIK. Pemberian terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang

setelah trauma kepala yang menyebabkan kerusakan otak sekunder

karena hipoksia (seperti klorpromazin tanpa tingkat kesadaran).

Pasang NGT bila terjadi penurunan motilitas lambung dan

peristaltik terbalik akibat cedera kepala.

F. Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan

glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf

hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai

Page 8: BAB II Revisi New

cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah keotak walaupun

sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan

kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh

kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan

glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga

bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala

permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi

kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat

menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia

atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat

metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normalcerebral bloodflow (CBF) adalah 50-60

ml/ menit/ 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac

output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung

sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler

dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah

perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan

vebtrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan

vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh

darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan

Page 9: BAB II Revisi New

parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu

besar.

Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:

1. Cedera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-

decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada

jaringan.

Pada cedera primer dapat terjadi:

- Gegar kepala ringan

- Memar otak

- Laserasi

2. Cedera kepala sekunder

Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:

- Hipotensi sistemik

- Hipoksia

- Hiperkapnea

- Udema otak

- Komplikasi pernapasan

- Infeksi/ komplikasi pada organ tubuh yang lain (Clevo,

Margaret, 2012)

Page 10: BAB II Revisi New

G. Komplikasi

a. Epilepsi pasca trauma

Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi

beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan

dikepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kamudian

setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita

yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di

kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus

di kepala.

cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang.

Pengobatan ini sering kali berlanjut selama beberapa tahun atau

sampai waktu yang tak terhingga.

b. Afasia

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa

karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak

mau memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang

mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri

dan bagian lobus frontalis disebelahnya. Kerusakan pada bagian

manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau

infeksi, akan mempengaruhi beberapa dari fungsi bahasa.

c. Apraksia

Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang

memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang

Page 11: BAB II Revisi New

terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis

atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang

mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.

d. Agnosis

Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat

dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya

dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak

dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik

atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun

mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.

Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan

temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya

disimpan. Agnosia sering kali terjadi segera setelah terjadinya

cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa

penderita mengalami perbaikan secara spontan.

e. Amnesia

Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk

mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang

sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya

dimengerti.

Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan

peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi

retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya

Page 12: BAB II Revisi New

kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung

beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung pada beratnya

cedera) dan akan menghilang pada sendirinya. Pada cedera ptak

yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.

Mekanisme otak untuk menerima informasi dan meningatnya

kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis,

lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap

merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang

terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu

kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita

kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut

sindroma Wernicke-korsakoff. Sindroma ini terjadi dari

kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang

berlangsung lama.

Amnesia korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati

Wernicke. Amnesia korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala

yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.

f. Fistel karotis- kavernosus

Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita,

dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi

perlu dilakukan untuk konfrimasi diagnosis dan terapi dengan oklusi

balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang

permanen.

Page 13: BAB II Revisi New

g. Diabetes insipidus

Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,

menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien

mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan

hipernatremia dan deplesi volum.

h. Kejang pasca trauma

Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)

atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan

predisposisi untuk kejang lanjut;kejang dini menunjukkan risiko

yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus

dipertahankan dengan antikonvulsan.

i. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya

leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala

tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala

setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase lumbal dapat

mempercepat proses ini. Walaupun pasien memiliki risiko

meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih

controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap

atau meningitis brulang merupakan indikasi untuk reparative.

j. Edema serebral dan herniasi

Penyebab umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi 72

jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak

teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan

Page 14: BAB II Revisi New

dikranum dikompensasi oleh tertekannya venosus dan cairan otak

bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran

darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi

dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan

menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak

kebawah / latetal dan menekan di enchepalon dan batang otak,

menekan pusat vesomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor,

jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD,

nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.

k. Defisit neurologis dan psikologis

Tanda awal penuruan fungsi neurologis: perubahan TK kesadaran,

nyeri kepala hebat, mual/ muntah proyektil (tanda dari penngkatan

TIK). (Andra, Yessi, 2013)

2. Ventilator Mekanik

a. Definisi

Ventilasi mekanik merupakan tindakan pemasangan alat pernapasan yang

digunakan untuk mempertahankan ventilasi dan memberikan suplay

oksigen dalam jangka waktu tertentu, sebagai terapi definitif pada klien

kritis yang mengalami kegagalan pernapasan (Smeltzer, et.al,2008).

Page 15: BAB II Revisi New

b. Klasifikasi

Ventilasi mekanik secara umum diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

a) Ventilator tekanan negatif, yang memberikan tekanan negatif

intrathorak selama inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam

paru. Ventilator ini digunakan pada kegagalan pernapasan kronik

dengan gangguan neurovascular seperti miastenia gravis poliomyelitis,

distrofi muscular dan sklerosis lateral amiotrifik.

b) Ventilasi tekanan positif yang meliputi pressure cycle ventilation, time

cycle ventilation dan volume cycle ventilation yang paling banyak

digunakan. Ventilator ini memberikan tekanan positif pada jalan nafas

sehingga mendorong alveoli untuk mengembang selam inspirasi,

sehingga memerlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator

ini digunakan pada penyakit/ gangguan paru primer (Ignatavicius &

Workman, 2008).

c. Indikasi Klinik

Mnurut Smeltzer, et.al (2008) dan Ignatavicus & Workman (2008)

indikasi klinik pemasangan ventilasi mekanik adalah:

a) Kegagalan ventilasi yaitu: depresi system saraf pusat, penyakit

neuromuscular, penyakit system saraf pusat, penyakit musculoskeletal,

ketidakmampuan thorak untuk melakukan ventilasi.

b) Kegagalan pertukaran gas yaitu: kegagalan pernapasan akut; kegagalan

pernapasan kronik; gagal jantung kiri; ketidakseimbangan ventilasi/

perfusi.

Page 16: BAB II Revisi New

d. Mode Operasional Ventilasi Mekanik

Mode operasioanal volume cycle ventilation pada klien dewasa meliputi:

respiratory rate (RR) permenit; tidal volume; konsentrasi oksigen (FiO2)

dan positive end respiratory pressure (PEEP). Konsentrasi oksigen

diberikan berdasarkan nilai prosentase O2 dalam AGD(analisa gas darah).

Frekuensi pernapasan antara 12-15 x/menit; tidal volume sekitar 10-15

ml/kg BB. Fraksi oksigen (FiO2) diatur pada level PaO2 dan saturasi

oksigen rendah untuk menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan

untuk mencegah alveolar kolaps dan meningkatkan alveolar capillary

diffusion (Ignatavicius & Workman, 2008).

Mode operasional ventilasi mekanik terdiri dari :

a) Controlled Mechanical Ventilation (CMV) mengontrol volume dan

frekuensi pernapasan dengan indikasi tidak dapat bernafas spontan,

untuk mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu

yang lama serta meningkatkan kerja pernapasan.

b) Assist Control Ventilation (ACV) biasanya digunakan pada tahap

pertama pemakaian ventilasi mekanik, untuk mengontrol ventilasi,

kecepatan dan volume tidal. Mode ini dapat melakukan fungsi

ventilasi secara otomatis.

c) Intermitten Mandatory Ventilation (IMV) digunakan untuk pernapasan

spontan yang tidak sinkron seperti hiperventilasi dan sewaktu-waktu

dapat mengambil alih peranan.

Page 17: BAB II Revisi New

d) Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) diberikan

pada pernapasan spontan dengan tidal volume dan RR yang kurang

adekuat untuk ventilasi dengan tekanan darah, efek barotrauma

minimal serta mencegah otot pernapasan tidak terlalu kelelahan.

e) Positive End Expiratory Pressure (PEEP) untuk menahan tekanan

akhir ekspirasi positif dengan tujuan untuk mencegah atelaktasis,

diberikan pada klien ADRS (adult respiratory distress sindroma)

daumonia diffuse.

f) Continous Positive Airway Pressure (CPAP) untuk meningkatkan

fungsional residual capacity (FRC), biasanya digunakan dalam proses

weaning / penyapihan ventilasi (Ignatavicius & Workman, 2006).

3. Nyeri

a. Definisi

International for Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri sebagai

situasi tidak menyenangkan yang bersumber dari area tertentu, yang

tergantung atau tidak tergantung pada kerusakan jaringan dan yang

berkaitan dengan pengalaman masa lalu dari orang yang bersangkutan

(Demir, 2012).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

c. Pemeriksaan nyeri

d. Klasifikasi nyeri

Page 18: BAB II Revisi New

e. Murrotal

Pelaksanaan manejemen nyerinonfarmakologi di klinis

belumsepenuhnya dilakukan oleh perawatdalam memanajemen nyeri,

karena perawat lebih sering melaksanakan terapi kolaboratif berupa

pemberian analgesik dari pada terapinonfarmakologi. Salah satu

tindakannonfarmakologis yang dapat diberikanuntuk mengatasi nyeri

pasien yaitu dengan terapi relaksasi, seperti: distraksi, guide imagery, dan

relaksasi progresif. Namun, dewasa ini telah dilakukan berbagai penelitian

dalambidang kedokteran. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ahmad

Al Qadhi tentang pengaruh Al-Qur’an bagiorgan tubuh. Ahmad Al Qadhi,

melaluipenelitiannya di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil

membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat AlQur’an,

seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat

merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar. Penurunan depresi,

kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam

penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang

menjadi objek penelitiannya. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan,

bacaan Al-Qur’an berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan

ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit. Ketenangan jiwa ini

menimbulkan relaksasi bagi tubuh. Relaksasi ini mempengaruhi

terbentuknya gelombang tetha pada otak dimana frekuensinya 5-8 Hz.

Gelombang ini mampu mempengaruhi produksi hormon endorfin yang

menghambat aktifitas trigger cell. Ketika aktifitas trigger cell dihambat,

gerbang pada Substansia Gelatinosa menutup dan impuls nyeri berkurang

Page 19: BAB II Revisi New

atau sedikit ditransmisikan ke otak (Purwanto, 2008; Anwar, 2010;

AlKaheel,2011).

f. Asuhan keperawatan kepada pasien cedera kepala

1. Pengkajian

Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan

sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada

bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital

lainnya. data yang perlu didapati adalah sebagai berikut:

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur,

jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,

golongan darah, penghasilan, hubungan klien dengan

penanggung jawab.

2. Riwayat kesehatan:

Tingkat kesadaran/ GCS (<15), konvulsi, muntah, dispnea/

takipnea, sakit kepala, wajah simetris/ tidak, lemah, luka di

kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya

liquor dari hidung dan telinga dan kejang.

3. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang

berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem

sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga

terutama yang mempunyai penyakit menular.

Page 20: BAB II Revisi New

4. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga

sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat

mempengaruhi prognosa klien.

5. Pemeriksaan fisik

- Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran,

biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu.

Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-

tanda vital kaku kuduk, hemiparase.

- Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas

sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak

juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII. (Clevo,

Margareth, 2012)

6. Pemeriksaan penunjang

a. Radiografi kranium, untuk mencari adanya fraktur, jika

pasien mengalami gangguan kesadaran sementara atau

persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang

menunjukkan fraktur pada basis kranii, fraktur fasialis, atau

tanda neurologis fokal lainnya. fraktur kranium pada regio

temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan

kemungkinan hematoma ekstradural, yang disebabkan oleh

robekan arteri meningea media.

Page 21: BAB II Revisi New

b. CT scan kranial segera dilakukan jika terjadi penurunan

tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang

disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal.

7. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan

a. Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,

diharapkan klien dapat mempertahankan potensi napas.

b. Kriteria hasil:

a) Bunyi napas vesikuler

b) Tidak ada sputum

c) Masukan cairan adekuat

c. Intervensi:

a) Kaji kepatenan jalan napas

Rasional : ronki, mengi menunjukkan aktivitas sekret

yang dapat menimbulkan penggunaan otot-otot

asesoris dan meningkatkan kerja pernapasan.

b) Beri posisi semi fowler

Rasional : membantu memaksimalkan ekspansi paru

dan menurunkan upaya pernapasan

c) Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama

10-15 menit. Catat sifat-sifat, warna dan bau sekret.

Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan

robekan dural.

Page 22: BAB II Revisi New

Raional : pengisapan dan membersihkan jalan napas

dan akumulasi dari sekret. Dilakukan dengan hati-hati

untuk menghindari terjadinya iritasi saluran dan

reflek vegal.

d) Berikan posisi semi pronerateral / miring atau

terlentang setiap dua jam.

Rasional : posisi semi prone dapat membantu

keluarnya sekret dan mencegah aspirasi. Mengubah

posisi untuk merangsang mobilisi sekret dari saluran

pernapaan.

e) Pertahankan masukan cairan sesuai kemampuan

klien.

Rasional:membantu mengencerkan sekret,

meningkatkan pengeluaran sekret.

f) Kolaborasi: berikan bronkodilator IV dan aerosol

sesuai indikasi.

Rasional : meningkatkan ventilasi dan membuang

sekret serta relaksasi otot halus/ spsponsne bronkus.

2. Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan

neurovaskuler, kerusakan persepsi, obstruksi trakeobronkial

a) Tujuan :

setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,

diharapkan klien mempunyai pola pernapasan yang

efektif.

b) Kriteria hasil:

Page 23: BAB II Revisi New

a. Pola napas normal (irama teratur, RR=16-24

x/menit).

b. Tidak ada pernapasan cuping hidung.

c. Pergerakan dada simetris.

d. Nilai GDA normal

PH darah=7,35-7,45.

PaO2 = 80-100 mmHg.

PaCO2 = 35-45 mmHg.

HCO3 = 22-26 m.Eq/L.

c) Intervensi:

a. Pantau frekuensi, irama dan ketidakaturan pernapasan

kedalaman pernapasan.

Rasional : perubahan dapat menandakan awitan

komplikasi pulmo atau menandakan luasnya

keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode aprea

dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.

b. Catat kompetensi reflek GAG dan kemampuan untuk

melindungi jalan napas sendiri.

Rasional : kemampuan mobilisasi penting untuk

pemeliharaan jalan napas. Kehilangan reflek batuk

menandakan perlunya jalan napas buatan/ intubasi.

c. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai indikasi.

Rasional : untuk memudahkan ekspansi paru dan

menurunkan kemungkinan adanya kemungkinan lidah

jatuh menutupi jalan napas.

Page 24: BAB II Revisi New

d.Anjurkan klien untuk bernapas dalam dan batuk efektif

Rasional : mencegah atau menurunkan atelektasis.

3. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran

darah oleh SOL (hemoragi, hematoma), edema serebral,

penurunan TD sistemik/ hipoksia.

a) Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,

diharapkan klien mempunyai perfusi jaringan adekuat.

b) Kriteria hasil :

a. Tingkat kesadaran normal (composmentis) .

b. TTV normal,

TD: 120/80 mmHg.

Suhu : 36,5-37,5 OC.

Nadi : 80-100 x/menit.

c) Intervensi :

a. Kaji status neurologis yang berhubungan dengan

tanda-tanda peningkatan TIK, terutama GCS.

Rasional : hasil dari pengkajian dapat diketahui

secara dini adanya tanda-tanda peningkatan TIK,

misalnya hilangnya autoregulasi dapat mengiluti

kerusakan vaskularisasi serenral lokal. Napas yang

tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya

gangguan serebral.

b. Monotor TTV: TD, denyut nadi, suhu, minimal setiap

jam sampai klien stabil.

Page 25: BAB II Revisi New

Rasional : dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda

peningkatan TIK, misalnya hilangnya autoregulasi

dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serenral

lokal. Napas yang tidak teratur dapat menunjukkan

lokasi adanya gangguan serebral.

c. Tinggikan posisi kepala dengan sudut 15-45o tanpa

bantal dan posisi netral.

Rasional : posisi kepala dengan sudut 15-45o dari

kaki akan meningkatkan dan memperlancar aliran

balik vena kepala sehingga mengurangi kongesti

serebrum, dan mencegah penekanan pada saraf

medula spinalsis yang menambah TIK.

d. Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai

indikasi. Batasi pemakaian selimut dan kompres bila

demam.

Rasional : demam menandakan adanya gangguan

hipotalamus: peningkatan kebutuhan metabolik akan

meningkatkan TIK.

e. Monitor asupan dan keluaran setiap delapan jam

sekali.

Rasional : mencegah kelebihan cairan yang dapat

menambah edema serebri sehingga terjadi

peningkatan TIK.

f. Kolaborasi : berikan O2 tambahan sesuai indikasi.

Page 26: BAB II Revisi New

Rasional : mengurangi hipokremia yang dapat

meningkatkan vasoditoksi cerebri, volume darah dan

TIK

g. Kolaborasi : berikan obat-obatan antiedema seperti

manitol, gliserol dan losix sesuai indikasi.

4. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan persepsi sensori,

transmisi dan/ atau integrasi (trauma atau deficit

neurologis)

a) Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24

jam, diharapkan klien mengalami perubahan persepsi

sensori

b) Kriteria hasil :

a. Tingkat kesadaran normal. E4 M6 V5.

b. Fungsi alat-alat indera baik.

c. Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi

pada orang, waktu dan tempat.

c) Intervensi :

a. Kaji respon sensori terhadap panas atau dingin, raba

atau sentuhan. Catat perubahan-perubahan yang

terjadi.

Rasional : informasi yang penting untuk keamanan

klien, semua sistem sensori dapat terpengaruh

dengan adanya perubahan yang melibatkan

Page 27: BAB II Revisi New

kemampuan untuk menerima dan berespon sesuai

stimulus.

b. Kaji persepsi klien, baik respon balik dan koneksi

kemampuan klien berorientasi terhadap orang,

tempat dan waktu.

Rasional : hasil pengkajian dapat menginformasikan

susunan fungsi otak yang terkena dan membantu

intervensi sempurna.

c. Berikan stimulus yang berarti saat penurunan

kesadaran.

Rasional : merangsang kembali kemampuan

persepsi sensori

d. Berikan keamanan klien dengan pengamanan sisi

tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari

cedera.

Rasional : gangguan persepai sensori dan buruknya

keseimbangan dapat meningkatkan resiko terjadinya

injury.

e. Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi deuposi, wicara,

terapi kognitif.

Rasioanal : pendekatan antar disiplin dapat

menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi

yang berfokus pada peningkatan evaluasi, dan

fungsi fisik,kognitif dan ketrmpilan perseptual.

5. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK

Page 28: BAB II Revisi New

a) Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam,

nyeri berkurang atau terkendali.

b) Kriteria hasil :

a. Pelaporan nyeri terkontrol.

b. Pasien tenang, tidak gelisah

c. Pasien dapat cukup istirahat.

c) Intervensi :

a. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, intensitas, keluhan

dan durasi.

Rasional : informasi akan memberikan data dasar

untuk membantu dalam menentukan pilihan/

keefektifan interfensi.

b. Monitor TTV

Rasional : perubahan TTV merupakan indikator

nyeri

c. Buat posisi kepala lebih tinggi (15-45o)

Rasional : meningkatkan dan melancarkan aliran

balik darah vena dari kepala sehingga dapat

megurangi edema dan TIK.

d. Ajarkan latihan teknik relaksasi seperti latihan

napas dalam.

Rasional : latihan napas dapat membantu

pemasukan O2 lebih banyak, terutama untuk

oksigenasi otot.

Page 29: BAB II Revisi New

e. Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari

luas dan berikan tindakan yang menyenangkan

seperti masase.

Rasional : respon yang tidak menyenangkan

menambah ketegangan saraf dan masase akan

mengalihkan rangsang terhadap nyeri.

6. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi atau

kognitif, pemurunan kekuatan/ tahanan, tetapi pembatasan/

kewaspadaan keamanan (tirah baring, imobilisasi)

a) Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24

jam, diharapkan klien mampu melakukan aktifitas fisik

dan ADL.

b) Kriteria hasil :

a. Klien mampu pulih kembali pasca akut dalam

mempertahankan fungsi gerak.

b. Tidak terjadi komplikasi, seperti dekubitus,

bronkopnemonia tromboplebitis dan kontraktur

sendi.

c. Mampu memoertahankan keseimbangan fungsi

tubuh

c) Intervensi :

a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara

fungsional pada kerusakan yang terjadi.

Page 30: BAB II Revisi New

Rasional : mengidentifikasi kemungkinan kerusakan

yang terjadi secara fungsional dan mempengaruhi

pilihan intervensi yang akan dilakukan.

b. Kaji tingkat kemampuan mobilitas dengan skal 0-4 :

0: klien tidak bergantung orang lain

1: klien butuh sedikit bantuan.

2: klien butuh bantuan sederhana.

3: klien butuh bantuan atau peralatan yang banyak.

4: klien butuh sangat bergantung pada orang lain.

Rasional : seseorang dalam setiap kategori

mempunyai resiko kecelakaan, namun dengan

kategori nilai 2-4 mempunyai resiko yang terbesar

untuk terjadinya bahaya.

c. teratur tiap dua jam sekali bila tidak ada kejang atau

setelah empat jam pertama.

Atur posisi klien dan ubah posisi secara Rasional :

dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan

mencegah adanya tekanan pada organ yang menonjol.

d. Bantu klien melakukan gerakan sendi secara teratur.

Rasional : mempertahankan fungsi sendi dan

mencegah resiko tromboplebitis.

e. Pertahankan linen tetap bersih dan bebas kerutan.

Rasional : meningkatkan sirkulasi dan meningkatkan

elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya

ekskariasi kulit.

Page 31: BAB II Revisi New

f. Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak aktif/

pasif.

Rasional : mempertahankan mobilisasi dan fungsi

sendi/ posisi normal ekstremitas dan menurunkan

terjadinya vena statis.

g. Anjurkan klien untuk tetap ikut serta dalam

pemenuhan kebutuhan ADL sesuai kemempuan.

Rasional : meningkatkan kesembuhan dan

membentuk kekuatan otot.