bab ii revisi 291012

32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 2.1.1 Pengertian ISPA Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih di saluran napas mulai dari hidung (saluran atas), hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan selaput pleura yang kurang dari dua minggu (Depkes, 2009). ISPA merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan batuk, pilek, paling sedikit dua hari berturut-turut diikuti salah satu atau lebih gejala- gejala seperti Erythematous mucusa, tangisan atau suara parau, kesulitan bernafas, dengan atau tanpa demam (Lopez-Alarcon 1997 dalam Kusumawati 2005). Pada penelitian ini ISPA dilihat dari frekuensi kejadiannya pada balita dalam waktu satu bulan atau paling tidak pernah mengalami 1-2 kali periode ISPA dalam kurun waktu satu bulan. Dikatakan episode baru yaitu suatu

Upload: pipitanakmama

Post on 04-Aug-2015

101 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Revisi 291012

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

2.1.1 Pengertian ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut

yang menyerang salah satu bagian atau lebih di saluran napas mulai dari

hidung (saluran atas), hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan selaput pleura yang

kurang dari dua minggu (Depkes, 2009). ISPA merupakan suatu penyakit

yang ditandai dengan batuk, pilek, paling sedikit dua hari berturut-turut

diikuti salah satu atau lebih gejala-gejala seperti Erythematous mucusa,

tangisan atau suara parau, kesulitan bernafas, dengan atau tanpa demam

(Lopez-Alarcon 1997 dalam Kusumawati 2005). Pada penelitian ini ISPA

dilihat dari frekuensi kejadiannya pada balita dalam waktu satu bulan atau

paling tidak pernah mengalami 1-2 kali periode ISPA dalam kurun waktu

satu bulan. Dikatakan episode baru yaitu suatu keadaan terbebas

(dinyatakan sehat) dari gejala penyakit yang pernah diderita sekurang-

kurangnya dua hari (Lopez-Alarcon 1997 dalam kusumawati 2005) dan

tiga hari (Baqui et.al 1991, Alam et.al 2000, Thaha, 1995 dalam

Kusumawati 2005).

2.1.2 Etiologi ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut dapat disebabkan oleh infeksi jasad

renik bakteri, virus maupun riketsia, dan polutan udara (Alsagaff 1989

dalam Wijayanti 2007). Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah Genus

Page 2: BAB II Revisi 291012

Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella

dan Corynebacterium (Kusumawati, 2005). Virus penyebab ISPA paling

utama adalah Respiratory Synctial Virus (RSV). Agen lain melakukan

serangan pertama atau kedua melibatkan grup A β-Hemolytic Strepto-

coccus, Staphylococci, Haemophilus influenzae, Chlamydia trachomatis,

Mycoplasma, dan pneumococci (Hartono, 2012).

2.1.3 Faktor Risiko ISPA Berulang

1. Agen penginfeksi

Sistem pernafasan menjadi terpengaruh oleh bermacam-macam

organisme terinfeksi. Banyak infeksi disebabkan oleh virus, terutama

respiratory synctial virus (RSV). Agen lain melakukan serangan pertama

atau kedua melibatkan grup A β-Hemollytic Streptococcus, Staphylococci,

Haemophilus influenzae, Chlamydia trachomatis, mycoplasma, dan

pneumococci (Hartono, 2012).

2. Daya tahan

Kekurangan sistem kekebalan tubuh pada anak beresiko ter-

infeksi. Kondisi lain yang mengurangi daya tahan tubuh adalah malnutrisi,

anemia, dan kelelahan. Kondisi yang melemahkan pertahanan pada

sistem pernafasan dan cenderung yang menginfeksi melibatkan alergi

(seperti alergi rhinitis), asma, kelain-an jantung yang disebabkan

tersumbatnya paru-paru, dan cystic fibrosis (Hartono, 2012). Menurut

teori Depkes RI, imunisasi merupakan strategi spesifik untuk mengurangi

angka kesakitan ISPA pada balita. ISPA dapat dicegah dengan imunisasi

difteri, campak dan pertusis. Vaksin pertusis dalam imunisasi DPT akan

Page 3: BAB II Revisi 291012

mencegah batuk rejan dan imunisasi campak dapat melindungi anak dari

infeksi (Habel 1990 dalam Wijayanti 2007).

3. Variasi Musim

Banyaknya patogen pada sistem pernafasan yang muncul dalam

wabah selama bulan musim semi dan dingin, tetapi infeksi mycoplasma

sering muncul pada musim gugur dan awal musim semi. Infeksi yang

berkaitan asma (seperti asma bronchitis) frekuensi banyak muncul

selama cuaca dingin. Musim dingin dan semi adalah tipe “Musim RSV”

(Hartono, 2012).

4. Pengetahuan orang tua

Pendidikan sangat berperan dalam menentukan sikap dan

mengambil suatu keputusan yang cepat dan tepat apabila terdapat salah

satu keluarga yang menderita sakit pernafasan (Depkes RI 1996 dalam

Wijayanti 2007).

5. Gizi

Mempunyai arti penting dalam penentuan tingginya angka

morbiditas dan mortalitas, misalnya vitamin A berperan dalam daya tahan

tubuh lokal pada saluran pernafasan (Depkes RI, 2005).

6. Tempat Tinggal

Kondisi tempat tinggal mempengaruhi terjadinya penularan

penyakit, bibit penyakit mudah ditularkan karena kondisi tempat tinggal

yang tidak sehat, misalnya : TBC, penyakit-penyakit kulit dan penyakit

saluran pernafasan (Azwar 1990 dalam Wijayanti 2007).

7. Sanitasi Perumahan

Keadaan ventilasi yang kurang, kepadatan hunian dan jenis lantai

yang tidak sesuai bisa menimbulkan penyakit ISPA (Depkes RI, 2006).

Page 4: BAB II Revisi 291012

2.1.4 Gambaran Klinik ISPA

Menurut Alsagaff 1989 dalam Wijayanti 2007 gambaran klinik

secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Rinitis, nyeri

tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/kental, nyeri retrostrenal,

dan konjunktivitis. Suhu meningkat antara 4-7 hari lamanya. Malaise,

mialgia, nyeri kepala, anoreksia, nausea maupun muntah-muntah,

insomnia. Kadang-kadang juga terjadi diare. Di dalam klinik dikenal 6

gambaran sindroma ISPA :

1. Sindroma korisa (Coryzal/common cold syndrome).

Sekresi hidung yang meningkat, bersin-bersin, hidung buntu, kadang-

kadang terdapat sekresi air mata dan konjunktivitas ringan. Sekresi

hidung mula-mula cairan/mukoid dan selanjutnya purulen. Obstruksi

sinus paranasalis/tuba Eustachii karena sembab mukosa, sering

diawali dengan rasa nyeri dan serak pada tenggorokan.

2. Sindroma faring (Pharyngeal syndroma)

Terdapat keradangan faring dan pembesaran adenoid serta tonsil,

kadang-kadang begitu besar sehingga menimbulkan obstruksi saluran

hidung. Bercak-bercak serta eksudasi berwarna, didapatkan pada

tonsil dan disertai juga dengan pembesaran kelenjar limfe dileher.

Sering didaptkan batuk-batuk namun tanpa korisa.

3. Sindroma faringokonjunktiva (the pharyngoconjunctival syndrome)

Diawali dengan faringitis yang berat dan diikuti oelh konjunktivitis

yang umumnya bilateral. Dapat pula dimulai dengan konjunktivitis

yang berlangsung lebih lama 1-2 minggu daripada gejala faringitis itu

sendiri.

Page 5: BAB II Revisi 291012

4. Sindroma influensa

Gejala-gejalanya antara lain meriang, panas badan, lemah badan,

nyeri kepala, nyeri tubuh yang menyeluruh, malaise, dan anoreksia.

gejala lain adalah adanya rasa nyeri tenggorokan, batuk dan nyeri

retrostrenal.

5. Sindroma herpangina

Gambaran klinik terjadi secara singkat dan dengan cepat pula terjadi

kesembuhan. Didapatkan vesikel-vesikel pada faring dan mulut yang

kemudian mengalami ulserasi dengan tepi yang sembab. Umumnya

terdapat pada anak-anak.

6. Sindroma laringotrakeobronkitis obstruktif akuta (croup syndrome)

Pada anak-anak merupakan gambaran klinik yang gawat dan berupa

batuk-batuk, sesak napas dan stridor inspirasi yang disertai sianosis

dan gangguan-gangguan sistemik lainnya.

2.1.5 Klasifikasi ISPA

Menurut Depkes RI (2002) derajat klasifikasi ISPA dibagi dalam dua

kelompok umur yaitu : bayi umur kurang dari dua bulan dan umur dua

bulan sampai 5 tahun.

1. Bayi umur kurang dari 2 bulan

Untuk bayi umur kurang dari 2 bulan, tanda dan gejala penyakit

ISPA digolongkan menjadi dua klasifikasi penyakit :

- Pneumonia berat :

Batuk atau juga disertai kesulitan bernafas

Page 6: BAB II Revisi 291012

Nafas sesak/penarikan dinding dada sebelah bawah

kedalam (severe care indrowing)

Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.

- Bukan pneumonia (batuk pilek)

Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke-

dalam

Tidak ada nafas cepat. Batas nafas cepat adalah 60

kali permenit atau lebih pada usia kurang dari 2 bulan,

50 kali permenit atau lebih pada usai 2 bulan sampai

kurang dari 1 tahun, 40 kali permenit atau lebih pada

usia 1 sampai 5 tahun.

Kadang disertai demam.

2. Anak umur 2 bulan sampai umur 5 tahun

Tanda dan gejala ISPA untuk anak yang berumur 2 bulan sampai

5 tahun digolongkan menjadi 3 klasifikasi penyakit yaitu :

a. Pneumonia berat :

batuk atau juga disertai kesulitan bernafas

nafas sesak/penarikan dinding dada sebelah bawah

kedalam (severe care indrowing)

dahak berwarna kehijauan seperti karet.

b. Pneumonia :

Adanya retraksi (penarikan dinding dada bagian

bawah kedalam saat bernafas, bersama dengan

peningkatan frekwensi nafas) perkusi pekak

fremitur melemah

suara nafas melemah dan ronki.

c. Bukan pneumonia (batuk-pilek) :

Page 7: BAB II Revisi 291012

Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah

kedalam

Tidak ada nafas cepat. Batas nafas cepat adalah 60

kali permenit atau lebih pada usia kurang dari 2 bulan,

50 kali permenit atau lebih pada usai 2 bulan sampai

kurang dari 1 tahun, 40 kali permenit atau lebih pada

usia 1 sampai 5 tahun

Kadang disertai demam.

2.1.6 Patofisiologi ISPA

Ketahanan saluran pernafasan terhadap infeksi maupun partikel

dan gas yang ada di udara tergantung pada 3 faktor yaitu :

1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.

2. Makrofag alveoli.

3. Antibodi.

Sudah menjadi kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi

pada saluran nafas yang sel-sel mukosanya telah rusak, akibat infeksi

yang terdahulu. Selain itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan

lapisan mukosa dan gerak silia adalah :

1. Asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara.

2. Sindroma Imotil

3. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).

Makrofag banyak terdapat di alveoli dan akan dimobilisasi ketempat

lain bila terjadi infeksi. Gas (SO2, H2S) dapat menurunkan kemampuan

makrofag dalam membunuh bakteri dan bisa menurunkan mobilitas sel-

sel ini. Antibodi setempat yang ada pada saluran pernafasan adalah Ig A

Page 8: BAB II Revisi 291012

yang banyak di dapatkan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan

memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Alsagaff 1995 dalam

Wijayanti 2007).

2.1.7 Prevalensi ISPA

ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang menduduki

peringkat pertama dari sepuluh besar penyakit terbanyak di Indonesia

(Andarini, 2011). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2007, menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,5% (16 provinsi di

atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pada bayi 2,2%; balita

3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan balita 15,5%. Hasil

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyebab utama kematian bayi

adalah ISPA.

Di Jawa Timur pada tahun 2006 dilaporkan sebanyak 98.050 kasus

ISPA. Berdasarkan data BPS pada tahun 2004 menunjukkan kematian

balita akibat ISPA sebesar 28%, artinya 28 dari 100 anak dapat

meninggal akibat penyakit ISPA (Dinkes Provinsi Jatim, 2010). Di

Puskesmas porong sebelum terjadinya banjir lumpur Lapindo tahun 2005

pada balita sebanyak 1.630 kasus sedangkan pada tahun 2007 atau

setelah kejadian banjir lumpur Lapindo penderita ISPA yang berusia balita

(0-5 tahun) terdapat 3.326 kasus.

2.1.8 Komplikasi ISPA

Page 9: BAB II Revisi 291012

Menurut Alsagaff 1989 komplikasi yang sering terjadi antara lain :

1. Infeksi Bakterial

Otitis media, sinusitis, bronkitis, bronkopneumonia dan pleuritis. Juga

dapat diamati dari sputum yang semula berwarna kuning berubah

menjadi hijau

2. Pneumonia oleh karena virus

Sangat banyak terjadi. Banyak yang menyebut oelh karena perluasan

infeksi virus itu sendiri. Pendapat lain yang banyak dianut bahwa

sebenarnya pneumonia adalah oleh karena infeksi sekunder bakteri.

3. Induksi bronkokontriksi/peningkatan bronkokontriksi pada para

penderita P.P.O.M

Para penderita ini sering akan mengalami sesak napas dengan adanya

ISPA oleh karena virus. Pada ISPA oleh karena influensa, dapat terjadi

penyulit-penyulit infeksi bakterial dengan diplokokus pneumonia,

stafilokokus aureus, hemofilus influensa, dan neiseria kataralis.

Kelompok penderita yang selalu terancam dengan komplikasi-

komplikasi bakterial tersebut adalah :

- Penderita penyakit jantung kronis (stenosis mitral, pem-

bendungan paru menahun).

- Penderita penyakit paru menahun : P.P.O.M, TB paru,

silikosis, bronkiektasis, penderita-penderita pnemektomi.

- Penderita nerologis dengan gangguan faal paru.

- Penderita disbetes mellitus.

- Penderita ginjal dengan kegagalan faal ginjal menahun

- Penderita infeksi stafilokok (furunkulosis, panaratium) dan

para anggota keluarganya.

- Balita, orang-orang lanjut usia, dan para wanita hamil.

Page 10: BAB II Revisi 291012

Harus diperhatikan bahwa seorang muda dengan infeksi virus

influensa yang tampak sehat-sehat saja dapat dengan mendadak

menjadi sakit berat karena menderita bronkopneumonia terutama bila

orang dalam lingkungan/dia sendiri, ada yang terjangkit infeksi

stafilokok. Penyakit pneumonia stafilokok ini berjalan dengan cepat,

suhu badan dalam beberapa jam saja dapat meningkat lebih dari 40°C,

penderita tampak sakit berat dengan batuk-batuk dahak yang berdarah

serta bernanah. Kasus kematian dalam 24 jam sangat terkenal pada

komplikasi ini. Karenanya pengenalan adanya infeksi stafilokok sangat

penting dalam tindak pencegahan komplikasi-komplikasi yang dapat

terjadi.

2.2 Konsep Bencana Lumpur Lapindo

2.2.1 Sejarah Lumpur Lapindo

Peristiwa meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo terjadi sejak 29

sejak Mei 2006. Terjadinya musibah banjir lumpur Lapindo ini dikarena-

kan pihak PT. Lapindo tidak memasang casing pada saat pengeboran

gas alam. Bencana banjir lumpur Lapindo merupakan fenomena yang

khas, baik dari sisi penyebab kejadian, lama kejadian, penanganan atau

penghentian luepan lumpur yang hingga kini belum teratasi. Peristiwa ini

telah mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda, dan dampak terhadap psikologis dan kesehatan

pada warga disekitarnya.

2.2.2 Dampak Lumpur Lapindo Terhadap Kesehatan

Page 11: BAB II Revisi 291012

Berdasarkan investigasi yang dilakukan Wahana Lingkungan

Hidup (WALHI) Jawa Timur pada tanggal 31 Mei 2006 menemukan

bahwa gas warna putih campur air yang terkadung dalam lumpur Lapindo

merupakan zat kimia yang mengandung gas Hidrogen Sulfida (H2S),

Amonis (NH2), Nitrit Nitrat, Timbal (Tb), dan fenol (C6H5OH) serta

mengandung merkuri yang kadarnya lebih dari 2,465 mg/lt yang

semuanya itu beracun dan sangat berbahaya bagi manusia.

Musibah lumpur lapindo mengakibatkan warga mengalami sesak

nafas setelah menghirup hembusan H2S yang terkandung di dalam

lumpur. Menurut Prof. Dr. Dr Mukono., M.PH, gas asam sulfida (H2S)

pada awalnya hanya mengakibatkan iritasi, jika itu berlanjut maka

tenggorokan akan terasa panas dan tercekat. Selanjutnya, gas tersebut

bisa mengakibatkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dosis tinggi

dan pada manusia yang peka bisa mengakibatkan kematian (Jawa Pos,

2006). Tingginya kadar H2S berbanding lurus dengan kejadian ISPA pada

balita di kecamatan Porong dan sekitarnya.

2.3 Konsep Kecemasan

2.3.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan respon emosional (misalnya ketakutan,

ketegangan, kegelisahan) untuk mengantisipasi bahaya, yang sebagian

besar sumbernya tidak diketahui atau tidak dikenal. Kegelisahan dapat

dianggap sebagai patologis ketika hal itu mengganggu efektivitas dalam

hidup, pencapaian tujuan yang diinginkan atau kepuasan, atau

kenyamanan emosional yang wajar (Shahrokh & hales, 2003 dalam

Townsend, 2009). Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan

Page 12: BAB II Revisi 291012

tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak

nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka

padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut

terjadi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus

ansietas (Comer, 1992 dalam videbeck, 2008).

2.3.2 Tingkat Kecemasan

Kecemasan mempunyai berbagai tingkat, (Stuart & Sundeen 1998

dalam Townsend, 2009) menggolongkan sebagai berikut:

a. Kecemasan ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada

tingkat ini lahan perspsi melebar dan individu akan behati-hati serta

waspada. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan

menghasilkan pertumbuhan orang agar dapat mengatasi suatu

kejadian. Seseorang dengan kecemasan ringan dapat dijumpai

berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

1) Persepsi dan perhatian meningkat, waspada.

2) Mampu mengatasi situasi bermasalah.

3) Dapat mengatakan pengalaman masa lalu, saat ini dan masa

mendatang, menggunakan belajar, dapat memvalidasi secara

konsensual, merumuskan makna.

4) Intin tahu, megulang pertanyaan.

5) Kecenderungan untuk tidur.

b. Kecemasan sedang

Memungkinkan seseorang untuk memuaskan pada hal yang penting

dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami

Page 13: BAB II Revisi 291012

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih

terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukkan

keadaan seperti:

1) Persepsi agak menyempit, secara selektif tidak perhatian tetapi

dapat mengarahkan perhatian.

2) Sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, belajar menuntut upaya

lebih.

3) Memandang pengalaman ini dengan masa lalu.

4) Dapat gagal untuk mengenali sesuatu apa yang terjadi pada

situasi, akan mengalami beberapa kesulitan dalam beradaptasi

dan menganalisa.

5) Perubahan suara atau ketinggian suara.

6) Peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung.

7) Tremor, gemetar.

c. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi. Individu

cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan

mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat

lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Hal-hal dibawah ini

sering dijumpai pada seseorang dengan kecemasan berat, yaitu:

1) Persepsi sangat berkurang/berfokus pada hal-hal detail, tidak

dapat berkonsentrasi lebih bahkan ketika diinstrusikan untuk

melakukannya.

2) Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan perhatian,

tidak mampu untuk memahami situasi saat ini.

3) Memandang pengalaman memahami situasi ini.

4) Berfungsi secara buruk, komunikasi sulit dipahami.

Page 14: BAB II Revisi 291012

5) Hiperventilasi, takikardi, sakit kepala, pusing, mual.

d. Tingkat panik

Pada tingkat ini persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang

kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat

melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini

tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam

waktu lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

Seseorang dengan panik akan dapat dijumpai adanya:

1) Persepsi yang menyimpang, fokus pada hal yang tidak jelas

2) Belajar tidak dapat terjadi

3) Tidak mampu mengikuti, dapat berfokus hanya pada hal saat ini,

tidak mampu malihat atau memahami situasi, hilang kemampuan

mengingat.

4) Tidak mampu berpikir, biasanya aktivitas motorik meningkat atau

respon yang tidak dapat diperkirakan bahkan pada stimuli minor,

komunikasi yang tidak dapat dipahami

5) Muntah, perasaan mau pingsan.

2.3.3 Rentang Respon Kecemasan

Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualkan dalam

reantang respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon

adaptive sampai maladaptive. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat

konstruksi dan destruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk

belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama tentang

perubahan terhdapa perasaan tidak nyaman dan berfokus pada

kelangaungan hidup. Sedangkan reaksi destruktif adalah reaksi yang

Page 15: BAB II Revisi 291012

dapat menyangkut kecemasan berat atau panik (Stuart dan Sundeen,

1998 dalam Townsend, 2009). Rentang respon kecemasan dapat dilihat

pada gambar dibawah ini

Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan Stuart

2.3.4 Respon Terhadap Kecemasan

Menurut Stuart dan Sundeen 1998 dalam Townsend 2009 respon

terhadap kecemasan meliputi:

a) Respon fisiologis

1) Sistem kardiovaskular

Palpitasi, meningkat tekanan darah, rasa mau pingsan, pusing-

pusing tekanan darah munurun, nadi menurun.

2) Sistem respiratory

Nadi cepat dan pendek, rasa tertekan pada dada, perasaan

tercekik, terengah-engah, pembengkakan pada tenggorokan

3) Sistem neuromuskuler

Reflek meningkat, insomnia, tremor, rigid, gelisah, muka tercekik,

ketakutan, reaksi kejutan, wajah tegang, gerakan lambat,

kelemahan secara umum.

4) Sistem gastrointestinal

Page 16: BAB II Revisi 291012

Rasa tidak nyaman pada abdomen, nafsu makan menurun, mual,

diare, rasa penuh di perut, rasa terbakar pada epigastrum.

5) Sistem urinary

Tekanan pada sistem, frekuensi buang air kecil (BAK) menigkat.

6) Sistem integumen

Wajah merah, rasa panas, dingin pada kulit, kering setempat/

telapak tangan, wajah pucat dan berkeringat seluruh tubuh.

.

2.3.5 Cara Pengukuran Kecemasan

Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) adalah satu dari skala

penelitian utama yang dikembangkan untuk mengukur tingkat keseriusan

atau keparahan gejala anxiety. Sejak pertama kali dikenalkan Max

Hamilton pada tahun 1959, dan sudah digunakan secara meluas dan

diterima untuk evaluasi kecemasan pada uji coba klinik yang termasuk

dalam National institute of menthal health’s early clinical drug evaluation

program assesement manual yang dibentuk untuk menyediakan

sederetan penilaian standart yang digunakan dalam evaluasi obat

psikotropika.

Adapun gejala-gejala sebagai berikut:

a. Perasaan cemas

1) Firasat buruk

2) Takut akan pikiran sendiri

3) Mudah tersinggung

b. Ketegangan

1) Merasa tegang

2) Lesu

Page 17: BAB II Revisi 291012

3) Mudah terkejut

4) Tidak dapat istirahat dengan nyenyak

5) Mudah menangis

6) Gemetar

7) Gelisah

c. Ketakutan

1) Takut akan gelap

2) Ditinggal sendiri

3) Pada orang asing

4) Pada biantang besar

5) Pada keramaian lalu lintas

6) Pada kerumunan banyak orang

d. Gangguan tidur

1) Sukar memulai tidur

2) Terbangun pada malam hari

3) Tidak pulas

4) Mimpi buruk

5) Mimpi yang menakutkan

6) Bangun tidur yang pulas

e. Gangguan kecerdasan

1) Daya ingat buruk

2) Sulit berkonsentrasi

3) Sering bingung

f. Perasaan depresi

1) Kehilangan minat

2) Sedih

3) Bangun dini hari

Page 18: BAB II Revisi 291012

4) Berkurnagnya kesukaan pada hobi

5) Perasaan berubah-ubah pada hobi

g. Gejala somatik

1) Nyeri otot

2) Kaku

3) Kedutan otot

4) Gigi gemeretak

5) Suara tidak stabil

h. Gejala sensorik

1) Telingan berdengung

2) Pengelihatan kabur

3) Muke merah dan pucat

4) Merasa lemah

5) Perasaan ditusuk-tusuk

i. Gejala kardiovaskuler

1) Denyut nadi cepat

2) Berdebar-debar

3) Nyeri dada

4) Denyut nadi mengeras

5) Rasa lemas seperti mau pingsan

j. Gejala pernapasan

1) Rasa tertekan di dada

2) Perasaan tercekik

3) Merasa napas pendek/sesak

4) Sering menarik napas panjang

k. Gejala gastrointestinal

1) Sulit menelan

Page 19: BAB II Revisi 291012

2) Mual/muntah

3) Berat badan menurun

4) Sulit buang air besar

5) Perut melilit

6) Gangguan pencernaan misalnya diare

7) Nyeri lambung seseudah dan sebelum makan

8) Rasa panas diperut

9) Perut terasa penuh

l. Gejala urogenital

1) Sering kencing

2) Tidak dapat menahan kencing

3) Menstruasi tidak teratur

4) Firginitas menjadi dingin

m. Gejala vegetatif

1) Mulut kering

2) Muka kering

3) Mudah berkeringat

4) Pusing/sakit kepala

5) Bulu roma berdiri

n. Tingkah laku saat wawancara

1) Gelisah

2) Tidak tenang

3) Mengerutkan dahi, muka tegang

4) Tonus/ketegangan otot menigkat

5) Nafas pendek dan cepat

6) Muka merah

Page 20: BAB II Revisi 291012

Gejala kecemasan berdasarkan HARS diukur berdasarkan skala

yang bergerak 0 hingga 4. Skor 0 berarti tidak ada gejala atau keluhan,

skor 1 berarti ringan (1gejala dari pilihan yang ada), skor 2 berarti sedang

(separuh dari gejala yang ada), skor berat (lebih dari separuh yang ada)

dan skor 4 berarti sangat berat (semua gejala ada).

2.4 Hubungan Antara Frekuensi Kejadian ISPA Pada Balita Usia 0-5 Tahun

Dengan Tingkat Kecemasan Orang Tua

ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang menduduki peringkat

pertama dari sepuluh besar penyakit terbanyak di Indonesia (Andarini, 2011).

Penyakit ISPA ditentukan berdasarkan gejala batuk, pilek (ingus), batuk pilek,

sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam. ISPA

dikatakan berulang jika bayi mengalami episode baru apabila terbebas dari

gejala penyakit ISPA yang pernah di derita sekurang-kurangnya 3 hari (Baqui

et.al 1991, Alam et.al 2000, Thaha, 1995:98 dalam Kusumawati, 2005).

Di Jawa Timur pada tahun 2006 dilaporkan sebanyak 98.050 kasus ISPA

(Dinkes Provinsi Jatim, 2010). Di Puskesmas porong sebelum terjadinya banjir

lumpur Lapindo tahun 2005 pada balita sebanyak 1.630 kasus sedangkan pada

tahun 2007 atau setelah kejadian banjir lumpur Lapindo penderita ISPA yang

berusia balita (0-5 tahun) terdapat 3.326 kasus. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Radhyallah tahun 2009 ditemukan bahwa kejadian ISPA berulang

sebanyak 20 kasus (40,0%) dan yang tidak berulang hanya 3 kasus (6,0%).

Banyak faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya ISPA berulang

pada anak-anak, diantaranya umur, gizi, jumlah keluarga, pendidikan orang tua,

sosial ekonomi, lingkungan dan fasilitas kesehatan (Depkes RI 1993, Zain MS

1994 dalam Wantania 2006). Seperti yang terjadi pada warga di kecamatan

Page 21: BAB II Revisi 291012

Porong dan sekitarnya sejak kejadian bencana banjir lumpur Lapindo pada

tanggal 29 Mei 2006. Musibah lumpur lapindo mengakibatkan warga mengalami

sesak nafas setelah menghirup hembusan H2S yang terkandung di dalam

lumpur. Menurut Prof. Dr. Dr Mukono., M.PH, gas asam sulfida (H2S) pada

awalnya hanya mengakibatkan iritasi, jika itu berlanjut maka tenggorokan akan

terasa panas dan tercekat. Selanjutnya, gas tersebut bisa mengakibatkan Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dosis tinggi dan pada manusia yang peka bisa

mengakibatkan kematian (Jawa Pos, 2006).

Tingginya kadar H2S berbanding lurus dengan kejadian ISPA berulang pada

balita di kecamatan Porong dan sekitarnya. ISPA berulang dapat menyebabkan

anoreksia, malabsorbsi dan gangguan metabolisme. Anoreksia dan sesak nafas

dapat mengakibatkan problem makan pada anak-anak. Pada anak tidak

cukupnya konsumsi makanan akan menyebabkan turunnya berat badan,

pertumbuhan terhambat, menurunnya imunitas dan kerusakan mukosa.

Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem pernafasan

disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang memudahkan pasien

terserang infeksi saluran pernafasan berulang tersedia (Depkes RI 1993, Zain

MS 1994 dalam Wantania 2006).

ISPA yang terjadi berulang-ulang, khususnya pada balita dapat

mengakibatkan gangguan fungsi pernafasan. Akibatnya pada masa dewasa

anak tersebut akan menderita batuk dan sesak nafas yang menahun (kronis).

Selain itu apabila ISPA berulang tidak segera ditangani maka akan terjadi

komplikasi yaitu terjadi infeksi pada saluran nafas bagian bawah, sehingga anak

mengalami bronkitis, radang paru-paru ataupun asmatik bronkitis (Dinkes RI

1996 dalam Andarini, 2011)

Angka kejadian ISPA berulang pada balita yang semakin meningkat

memicu terjadinya kecemasan pada orang tua terutama ibu. Kecemasan

Page 22: BAB II Revisi 291012

merupakan perasaan yang paling umum dialami orang tua ketika ada masalah

kesehatan pada anaknya. Kecemasan adalah respon emosional (misalnya

ketakutan, ketegangan, kegelisahan) untuk mengantisipasi bahaya, yang

sebagian besar sumbernya tidak diketahui atau tidak dikenal (Shahrokh & hales,

2003 dalam Townsend, 2009).

Kondisi yang menegangkan bagi orang tua dapat dilihat dari respon fisik

dan psikologisnya. Respon fisik dan psikologis yang muncul merupakan tanda

dan gejala adanya kecemasan orang tua terhadap anaknya yang sedang

mengalami masalah kesehatan (Sukoco, 2002). Kecemasan yang bervariasi dari

ringan sampai panik, ekspresi cemas orang tua berupa berjalan mondar-mandir,

sering bertanya pada petugas kesehatan, bicara cepat, gelisah, ekspresi wajah

sedih, murung dan lain-lain.

Jika ditinjau dari teori-teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara frekuensi kejadian ISPA dengan tingkat kecemasan orang tua.

Kecemasan yang dirasakan setiap orang tua tersebut berbeda-beda tingkatan-

nya. Maka dari itu untuk mengetahui tingkat kecemasan pada orang tua dengan

terhadap kejadian ISPA berulang pada balita peneliti bermaksud untuk

melakukan penelitian tentang hubungan antara frekuensi kejadian ISPA pada

balita usia 0-5 tahun dengan tingkat kecemasan orang tua terkait dampak dari

ISPA berulang. Studi akan dilakukan di puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo

karena menurut hasil studi pendahuluan di puskesmas tersebut kejadian ISPA

pada balita mengalami kenaikan yang signifikan sejak kejadian lumpur Lapindo.