bab 2 landasan teori dan kerangka...
TRANSCRIPT
11
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Manajemen Pemasaran
Dalam menciptakan kepuasan konsumen perusahaan harus bisa menjalankan
pemasaran dengan baik. Menurut Philip Kothler dan Kevin Lene Keller (2009: 5),
“Manajemen pemasaran sebagai seni dan ilmu dalam memilih target pasar dan
mendapatkan, mempertahankan, dan meningkatkan konsumen dengan membuat,
memberikan, dan mengkomunikasikan nilai konsumen yang superior”.
Penelitian lainnya yang dikemukakan oleh Amstrong dan Kothler (2012: 29)
yang menyatakan bahwa, “Manajemen pemasaran adalah serangkaian proses yang
dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan suatu nilai bagi para pelanggan dan
membangun hubungan yang kuat dengan mereka agar tercipta suatu nilai dari para
pelanggan tersebut”.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen pemasaran
adalah sebuah seni dan ilmu berupa rangkaian proses untuk menciptakan suatu nilai
yang berguna untuk membantu pencapaian dalam sebuah organisasi atau perusahaan.
Kegiatan pemasaran ini dilakukan melalui serangkaian proses, pengarahan,
pengendalian, dan penetapan harga, pemetaan distribusi, hingga kegiatan promosi.
2.1.1 Bauran Pemasaran (Marketing Mix)
Kegiatan pemasaran ditentutakan oleh konsep pemasaran yang disebut
dengan bauran pemasaran atau yang biasa dikenal dengan sebutan marketing mix.
Elemen-elemen bauran pemasaran terdiri dari semua variabel yang dapat dikontrol
organisasi atau perusahaan dalam kegiatan pengkomunikasian untuk memuaskan
konsumen yang menjadi sasarannya.
Pengertian bauran pemasaran menurut Philip Kothler dan Garry Amstrong
dalam bukunya yang berjudul Principle of Marketing (2012: 75) adalah
“Seperangkat alat pemasaran terkontrol yang dipadukan oleh perusahaan untuk
menghasilkan respon yang diinginkan pasar sasaran”.
Adapun pengertian bauran pemasaran menurut Zeithmal dan Bitner yang
dikutip oleh Ratih Hurriyati (2010: 48), “Marketing mix defined as the element an
12
organizations controls that can be used to satisfy or commucate with customer.
These elements appear as core decision variable in any marketing text or marketing
plan”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa bauran pemasaran adalah suatu perangkat
atau unsur-unsur pemasaran yang saling terkait satu sama lain, dibaurkan,
diorganisir, dan digunakan dengan tepat oleh organisasi atau perusahaan untuk
mempengaruhi permintaan terhadap produknya dan elemen-eleman tersebut akan
menentukan tingkat keberhasilan pemasaran bagi organisasi atau perusahaan itu
sendiri sekaligus dapet memuaskan kebutuhan dan kenginan konsumen.
Sedangkan menurut Philip Kotler dan Kevin Keller dalam bukunya
Marketing Management (2012: 47), mendefinisikan bahwa “Bauran pemasaran
sebagai seperangkat alat pemasaran perusahaan menggunakan untuk mengejar tujuan
pemasarannya di pasar sasaran”. Bauran pemasaran terdiri dari 4 (empat) elemen,
yaitu produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion).
1. Produk (Product)
Suatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, agar
produk yang dijual mau dibeli, digunakan atau dikonsumsi yang dapat
memenuhi suatu keinginan atau kebutuhan dari konsumen.
2. Harga (Price)
Sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau
menggunakan produk atau jasa yang nilainya ditetapkan oleh pembeli dan
penjual melalui tawar menawar, atau ditetapkan oleh penjual untuk satu harga
yang sama terhadap semua pembeli.
3. Tempat (Place)
Tempat diasosiasikan sebagai saluran distribusi yang ditujukan untuk
mencapai taget konsumen. Sistem distribusi ini mencakup lokasi,
transportasi, pergudangan, dan sebagainya.
4. Promosi (Promotion)
Promotion adalah aktivitas mengkomunikasikan dan menyampaikan
informasi mengenai produk kepada konsumen, dan membujuk target
konsumen untuk membeli produk.
13
2.2 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen pada hakikatnya untuk memahami “Mengapa konsumen
melakukan dan apa yang mereka lakukan”. Kotler dan Keller (2009: 213)
mengatakan bahwa, “Perilaku konsumen merupakan studi tentang cara individu,
kelompok, dan organisasi menyeleksi, membeli, menggunakan, dan mendisposisikan
barang, jasa, gagasan, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan
mereka”.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2010: 23), “Perilaku konsumen (consumer
behavior) dapat didefinisikan sebagai perilaku dimana konsumen menunjukkan
dalam hal mencari (searching for), membeli (purchasing), menggunakan (using),
mengevaluasi (evaluating), dan membuang produk dan jasa yang diharapkan akan
memuaskan kebutuhan (disposing of products and services that they will satisfy their
needs)”.
Sedangkan menurut Rangkuti (2010: 92) mengutip Engel, Blackwell, dan
Miniard yang mengatakan bahwa, “Perilaku konsumen adalah tindakan yang
langsung terlibat dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk dan
jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini”.
Dari dua pengertian tentang perilaku konsumen di atas depat diperoleh dua
hal yang penting, yaitu: (1) sebagai kegiatan fisik dan (2) sebagai proses
pengambilan keputusan. Berdasarkan berdasarkan definisi tersebut, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan
oleh konsumen dalam mencari, memilih, membeli, memakai, serta memanfaatkan
produk, jasa, gagasan, atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan dan
keinginan mereka. Menurut Schiffman dan Kanuk (2010: 23), perihal perilaku
konsumen menggambarkan dua perbedaan jenis entitas konsumsi, yaitu:
1. Konsumen personal (personal consumer)
Konsumen membeli barang dan jasa untuk pemakaian sendiri, untuk
pemakaian rumah tangga, atau sebagai hadiah pemberian kepada teman.
Dalam setiap konteks ini, produk yang dibeli adalah pemakaian terakhir oleh
individu, dimana yang dimaksud sebagai pemakai akhir atau konsumen akhir.
2. Konsumen organisasi (organizational consumer)
Bisnis laba dan nirlaba, agen pemerintahan (lokal, provinsi, dan nasional),
dan institusi (seperti sekolah, rumah sakit, dan lain-lain) dimana semua harus
14
membeli produk, perlengkapan, dan jasa dengan tujuan menjalankan
organisasinya.
2.2.1 Country Of Origin
Hanya dalam waktu 30 tahun, perdagangan internasional dan pengembangan
pasar global telah berkembang jauh. Perusahaan dan pemasar internasional juga
mencari lebih banyak kesempatan di pasar global dan perusahaan multinasional,
yang menyebabkan persaingan internasional antara perusahaan. Ada banyak faktor
yang berdampak pada pertumbuhan ini serta produk konsumen dan evaluasi layanan,
seperti nama merek dan persepsi negara. Negara asal telah menjadi fenomena yang
signifikan dalam studi perilaku konsumen. Oleh karena itu, meningkatkan
pengetahuan pelanggan tentang produk membuat penelitian tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan mereka lebih berharga dari sebelumnya.
Saat ini, di era modern dan kompetitif, di mana pemasaran global
berkembang dari hari ke hari, negara asal (country of origin), sebagai parameter yang
signifikan, telah dipelajari dalam banyak penelitian, dan itu menunjukkan bahwa
faktor ini mempengaruhi perilaku konsumen dan juga pembelian mereka. Titik lain
yang menunjukkan penelitian adalah bahwa orang yang peduli pada produk tersebut
datang dari dan dimana mereka dibuat dan mempertimbangkan faktor-faktor ini
ketika mengevalusi kualitas produk (Parkvithee & Miranda, 2012).
Mengutip dari jurnal yang berjudul “Pengaruh Country of Origin dan
Persepsi Kualitas Terhadap Persepsi Nilai Pada Produk Telepon Seluler” (2013),
“COO (Country of Origin) ialah sama dengan manufactured in atau made in”
(Agarwal dan Kamakura, 1999). Namun menurut Pisharodi (1992, P. 706) (dalam
jurnal yang berjudul “Pengaruh Country of Origin dan Persepsi Kualitas Terhadap
Persepsi Nilai Pada Produk Telepon Seluler”, 2013), “Merek negara asal bermakna
lebih dari label “made in”. Negara asal pembuat produk membentuk bagian dari
merek itu sendiri dalam beberapa kasus, dapat sangat berpengaruh dalam
membangun reputasi merek lainnya”, yang berarti bahwa menurut kedua teori diatas
kendati suatu merek memiliki basis negara induk perusahaan di suatu negara namun
produk tersebut diproduksi di suatu atau banyak negara lain, maka dasar untuk
melihat petunjuk asal negara produk tersebut ialah negara yang memproduksi
tersebut, bukan negara induk perusahaan.
15
Hal tersebut dapat dijawab oleh teori yang dikemukakan oleh Assael (1998)
bahwa, “Ini dikarenakan konsumen telah memiliki pandangan atas penilaian atas
suatu produk berdasarkan negara pembuatnya dan sebaliknya suatu negara telah
diasosiasikan memiliki kemampuan yang baik dalam hal pembuatan atau produksi
suatu kategori produk tertentu”.
Menurut Yassin et al. (2008), terdapat 7 dimensi country of origin seperti
yang dipaparkan berikut ini yaitu:
1. Negara produk berasal dikenal sebagai negara manufaktur yang inovatif
2. Negara produk berasal dikenal sebagai negara yang bagus dalam desain,
3. Tenaga kerja dimana negara produk berasal dikenal sebagai tenaga kerja yang
kreatif
4. Tenaga kerja dimana negara produk berasal dikenal sebagai tenaga kerja yang
berkualitas
5. Produk dari negara tersebut berasal merupakan produk yang prestisius
6. Citra negara asal produk dipandang sebagai negara maju, dan tingkat
kemajuan teknologi negara asal produk.
Roth dan Romeo (1992) (dalam jurnal yang berjudul “Dimensions of the
Country of Origin Effect and their Measurement”, 2015) terdapat model country of
origin yang terdiri dari 4 (empat) dimensi, yaitu:
1. Innovativeness – Penggunaan teknologi baru.
2. Diversity – Daya tarik tawaran.
3. Design – Penampilan dan variety.
4. Workmanship – Kualitas manufaktur.
Selain itu berdasarkan jurnal yang berjudul “A Conceptual Study on the
Country of Origin Effect on Consumer Purchase Intention” (2012), ada berbagai
faktor yang berdampak pada negara isyarat asal seperti:
1. Pengetahuan produk
2. Citra negara
Sedangkan menurut jurnal yang berjudul “Study Of Perceived Image Of
Origin Country on Perceived Value And Repurchase Intention Among Korean
Appliances” (2015), bahwa “Consumer’s mental image of country of origin have
three dimensions of cognitive, emotional and behavioral. Cognitive dimension of
consumer’s beliefs are related to technological advance and countries’ development,
emotional dimension refers to emotional reaction of consumer towards the people of
16
the country. Behavioral dimension refers to the level of tendency for interaction with
country of origin (Laoche, 2005). Consumer uses outer assessment clues of a product
such as price, brand, and county of origin in two forms in own cognitive process that
are Halo effect and concept of summary (Ahmed et al, 2014) when a customer is not
familiar with products of a country the image that he has from a country will be in
form of halo and it directly impacts on his assessment”.
2.2.2 Persepsi Harga (Perceived Price)
Berdasarkan perspektif dari konsumen, harga merupakan salah satu faktor
utama yang menjadi pertimbangan dalam membeli suatu barang maupun jasa.
Menurut Kotler dan Amstrong (2010), “Harga digambarkan sebagai sejumlah uang
yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa; jumlah nilai yang pelanggan
tukarkan untuk mendapatkan manfaat memiliki atau menggunakan sebuah produk
atau jasa”. Harga riil suatu produk atau layanan akan menjadi masuk akal setelah
adanya interpretasi subjek dari pelanggan (Oh, 2000) (dalam jurnal “A Review on
Customer Perceived Value and Its Main Components”, 2015).
Mengutip dari jurnal yang berjudul “A Review on Customer Perceived Value
and Its Main Components” (2015), Jacoby dan Olson (1977) membedakan antara
harga objektif (harga sebenarnya dari sebuah produk) dan persepsi harga (harga
seperti dikodekan oleh konsumen. Harga objektif secara moneter sering tidak
menjadi harga yang dikodekan oleh konsumen. Beberapa konsumen mungkin
memperhatikan harga yang tepat, tetapi yang lain mungkin mengkodekan dan
mengingat harga hanya sebagai “mahal” dan “murah”. Yang lain mungkin tidak
mengkodekan harga sama sekali. Sebuah studi mengungkapkan bahwa konsumen
tidak selalu mengetahui atau mengingat harga yang sebenarnya dari produk tersebut.
Sebaliknya, mereka mengkodekan harga dengan cara yang bermakna bagi mereka
(Dickson & Sawyer, 1990).
Selain itu berdasarkan jurnal “A Review on Customer Perceived Value and Its
Main Components” (2015), dalam mengevalusai keseluruhan keadilan harga (price
fairness), pelanggan menganggap baik dalam segi biaya moneter dan non-moneter
untuk memperoleh produk atau jasa (Cronin et al., 2000; Homburg et al., 2005). Hal
ini diukur dengan indikator yang mewakili presepsi konsumen secara moneter dan
non-moneter dari harga terkait dengan mengakuisisi dan pembelian produk atau jasa.
Harga moneter yang dirasakan biasanya dinilai langsung dari harga yang dibayarkan
17
untuk produk atau jasa, sementara harga non-moneter dapat dinilai dengan langkah-
langkah waktu dan usaha yang terkait dengan produk atau jasa tersebut (Cronin,
Brady, & Hult, 2000).
Menurut Freddy Rangkuti (2009: 104) persepsi mengenai harga diukur
berdasarkan persepsi pelanggan yaitu dengan cara menanyakan kepada pelanggan
variabel-variabel apa saja yang menurut mereka paling penting dalam memilih
sebuah produk. Persepsi harga dibentuk oleh dua dimensi utama yaitu:
1. Persepsi Kualitas
Konsumen cenderung lebih menyukai produk yang harganya mahal ketika
informasi yang didapat hanya harga produknya. Persepsi konsumen terhadap
kualitas produk dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap nama, merek,
nama toko, garansi yang diberikan dan negara yang menghasilkan produk
tersebut.
2. Persepsi Biaya yang Dikeluarkan
Secara umum konsumen menganggap bahwa harga merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk mendapat sebuah produk baik berbentuk uang maupun
lainnya. Tetapi konsumen mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap
biaya yang dikeluarkan meskipun untuk produk yang sama. Hal ini
tergantung situasi dan kondisi yang dialami.
Sedangkan menurut Litchtenstein et al. (dalam jurnal “ Eximining Price
Perception and The Relationships Among Its Dimensions Via Structural Equation
Modeling: A Research On Turkish Consumers”, 2014), persepsi harga konsumen
memiliki beberapa dimensi, yaitu:
1. Price – Quality Association
Price – quality association digambarkan sebagai keyakinan umum di seluruh
kategori produk, dimana tingkat isyarat harga yang berhubungan positif
dengan tingkat kualitas produk.
2. Prestige Sensitivity
Prestige sensitivity digambarkan sebagai persepsi yang menguntungkan,
dimana tingkat harga yang lebih tinggi akan menciptakan perasaan dan status
yang menonjol kepada orang lain tentang pembeli. Prestige sensitivity dapat
dilihat sebagai kecenderungan untuk merujuk konsumen atau menjadi sensitif
terhadap arahan yang dibuat oleh konsumen lain berdasarkan tingkat harga.
Selain itu konsumen dengan prestige sensitivity yang tinggi dapat mebeli
18
barang-barang mahal bukan karena persepsi kualitas dari produk tersebut,
tetapi karena persepsi bahwa orang lain mungkin menganggap mereka
sebagai sosial yang positif karena harga yang tinggi.
3. Price Consciousness
Untuk beberapa konsumen persepsi harga mungkin menjadi menonjol dengan
kesadaran mereka terhadap harga. Konsep kesadaran harga (price
consciousness) digambarkan sebagai tingkat dimana konsumen memfokuskan
secara ekslusif pada pembayaran tingkat harga yang rendah.
4. Value Consciousness
Kesadaran nilai (value consciousness) dipandang sebagai harga yang harus
dibayar untuk kualitas yang diterima. Jika konsumen mempertimbangkan
harga sebagai pengorbanan moneter, maka mereka akan lebih sadar mengenai
sebuah nilai dari produk maupun jasa.
5. Sale Poreness
Peningkatan keinginan membeli karena adanya promosi atau potongan harga
apabila konsumen membeli produk maupun jasa tersebut.
6. Coupon Poreness
Peningkatan keingina membeli yang ditimbulkan karena adanya pemberian
kupon pada produk maupun jasa yang dibeli.
2.2.3 Customer Perceived Value
Nilai yang dirasakan pelanggan memiliki banyak makna. Mengutip dari
jurnal yang berjudul “A Review on Customer Perceived Value and Its Main
Components” (2015), nilai yang dirasakan oleh pelanggan (customer perceived
value / CPV) diindentifikasikan oleh segi nilai (Monroe, 1990; Zeithaml 1988) atau
nilai pelanggan (Butz Jr. & Goodstein, 1997). Zeithaml (1998: 14) menefinisikan
CPV sebagai “Penilaian keseluruhan konsumen dari kegunaan produk berdasarkan
persepsi apa yang diterima dan apa yang diberikan”.
Sedangkan menurut Butz dan Goodstein (dalam jurnal “A Review on
Customer Perceived Value and Its Main Components”, 2015), CPV adalah hasil dari
konsumen yaitu:
1. Persepsi para-pembelian (harapan)
2. Evaluasi selama transaksi (harapan vs yang diterima)
3. Pasca-pembelian (setelah digunakan) penilaian (harapan vs yang diterima)
19
Dari aspek pasca-pembelian, Butz dan Goodstein mendefinisikan, bahwa
nilai yang dirasakan pelanggan sebagai “Ikatan emosional yang didirikan antara
pelanggan dan produsen setelah pelanggan telah menggunakan produk yang
menonjol atau layanan yang diproduksi oleh pemasok tersebut dan menemukan
produk atau memberikan nilai tambah”. Sedangkan Moliner et al. (2007: 1999)
mendefinisikan CPV sebagai “Variabel dinamis yang juga dialami setelah konsumsi,
hal ini diperlukan untuk menyertakan reaksi subjektif atau emosional yang
dihasilkan”.
Berdasarkan Sweeney dan Soutar (dalam jurnal “Relationship Between
Service Quality, Perceived Value, Statisfaction, and Revisit Intention in Hotel
Industry”, 2012), terdapat dimensi untuk mengukur perceived value, yaitu emotional
value. Dimana adanya “Perasaan yang dihasilkan oleh suatu produk maupun jasa
yang dibeli atau digunakan”.
Selain itu, nilai yang dirasakan pelanggan melibatkan perbedaan antara
manfaat yang diterima dan pengorbanan. McDougall dan Levesque (2000: 3)
mendefinisikan nilai dianggap sebagai “Hasil atau manfaat pelanggan menerima
dalam kaitannya dengan biaya total yang meliputi harga yang harus dibayar
ditambah biaya lainnya terkait dengan pembelian”. Manfaat ini meliputi nilai yang
diinginkan pelanggan. Pengorbanan termasuk moneter dan non-moneter (waktu,
produk alternatif atau merek alternatif, dan pengalaman diri) pengorbanan (Dodds,
Monroe, & Grewal, 1991).
Menurut Kotler dan Keller (2009: 173) perceived value (nilai yang
dipikirkan) adalah selisih antara evaluasi calon konsumen atas semua manfaat
ekonomis, fungsional, dan psikologis yang diharapkan oleh konsumen atas tawaran
pasar tertentu. Menurut Kotler, perceived value adalah selisih antara total customer
value (jumlah nilai bagi konsumen) dan total customer cost (biaya total bagi
konsumen). Total customer value (jumlah nilai bagi konsumen) adalah kumpulan
manfaat yang diharapkan diperoleh konsumen dari produk atau jasa tertentu. Total
customer cost (biaya total bagi konsumen) adalah kumpulan pengorbanan yang
diperkirakan konsumen akan terjadi mengevaluasi, memperoleh, dan menggunakan
produk jasa tersebut. Dapat dilihat dalam persamaan berikut ini:
20
Dimana:
V = Nilai
B = Manfaat yang dirasakan (Produk, Pelayanan, Karyawan, dan Citra
Perusahaan)
C = Pengorbanan (Pengorbanan Moneter, Waktu, Energi, dan Psikologi)
Sementara itu Sweeney, Soutar dan Johnson (2009) menjelaskan bahwa
faktor-faktor seperti kualitas, tanggapan emosi, harga dan status sosial merupakan
dimensi dari perceived value. Kualitas dilihat dari beberapa aspek produk tersebut
dibuat, sedangkan tanggapan emosi lebih berkaitan perasaan konsumen setelah
membeli suatu produk. Dalam membeli suatu produk konsumen tidak hanya
mempertimbangkan kualitasnya saja, tetapi juga memikirkan kelayakan harganya.
Menurut Moliner et al. (2007) nilai dilihat sebagai nilai yang dirasakan dalam segi
nilai fungsional dari barang atau kualitas jasa dan harga, nilai emosional perasaan,
dan nilai sosial dari dampak sosial pengalaman sendiri, dan alternatif lain.
Gambar 2.1 Penentu Nilai yang Diberikan Kepada Pelanggan
Sumber: Kotler dan Keller (2009: 173), dialih bahasakan oleh Benyamin Molan
BENEFIT (B)
COST (C) VALUE (V) =
21
2.2.4 Minat Pembelian (Purchase Intention)
Dalam memahami perilaku konsumen, terdapat banyak pengaruh yang
mendasari seseorang dalam memiliki minat pembelian suatu produk atau merek.
Pada kebanyakan orang, perilaku pembelian konsumen seringkali diawali dan
dipengaruhi oleh banyaknya rangsangan (stimuli) dari luar dirinya, baik berupa
rangsangan pemasran maupun rangsangan dari lingkungan yang lain. Rangsangan
tersebut kemudian diproses (diolah) dalam diri, sesuai dengan karakteristik
pribadinya, sebelum akhirnya diambil keputusan pembelian. Karakteristik pribadi
konsumen yang dipergunakan untuk memproses rangsangan tersebut sangat
kompleks, dan salah satunya adalah motivasi konsumen untuk membeli.
Terdapat 4 faktor minat pembelian menurut Rodoula Tsiotsou (2006: 207-
217), yaitu:
1. Involvement
Keterlibatan telah menjadi pada dunia marketing dan telah menjadi topik
yang menarik dalam perilaku konsumen dan riset iklan. Terjadinya
keterlibatan terhadap suatu produk yang dirasakan oleh konsumen
dikarenakan melekatnya kebutuhan, kepentingan dan nilai-nilai suatu produk
tersebut di benak konsumen. Setelah diikthisarkan akibat dari adanya suatu
keterlibatan terhadap produk yaitu meningkatnya motivasi, adanya gairah
yang tinggi terhadap pembelian dan meningkatnya elaborasi kognitif.
2. Satisfaction
Kepuasan konsumen telah dipelajari secara ekstensif dalam pemasaran
selama beberapa dekade terakhir. Kepuasan menjadi salah satu tujuan utama
dari pemasaran. Kepuasan memerankan peran penting dalam pemasaran
karena kepuasan menjadi prediksi yang baik dalam menilai perilaku
konsumen. Begitu juga terhadap loyalitas pelanggan.
3. Values
Telah dikemukakan bahwa nilai-nilai dapat menjadi prediktor yang signifikan
terhadap banyaknya sikap sosial dan perilaku seperti perilaku konsumen.
Beberapa peniliti telah menyambungkan antara nilai terhadap perilaku
konsumsi dan efek komunikasi. Sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Sherell et al (1984) hubungan antara nilai dan atribut merek
dan minat pembelian. Mereka menyarankan bahwa sistem nilai pengaruh
masing-masing perilaku individual terhadap persuasive communications.
22
4. Perceived Quality
Persepsi kualitas sudah diartikan menjadi penilaian konsumen terhadap
keseluruahan produk. Dalam beberapa penelitian, persepsi kualitas telah
ditemukan memiliki efek langsung yang positif terhadap minat pembelian.
Selain itu, belum ada kesepakatan apakah ada interaksi pengaruh antara
persepsi kualitas dan kepuasan konsumen terhadap minat pembelian. Persepsi
kualitas dianggap sebagai konsep yang lebih spesifik yang didasarkan pada
produk dan layanan fitur sementara kepuasan dapat menjadi hasil dari segala
dimensi.
Gambar 2.2 Inisial Model Minat Pembelian
Sumber: Rodoula Tsiotsou (2006: 207-217)
2.3 Penelitian Terdahulu
Pada bagian penelitian terdahulu ini, peneliti mengambil beberapa contoh
penelitian yang sudah ada sebagai panduan untuk penelitian yang dilakukan. Contoh
yang diambil oleh peneliti berupa jurnal-jurnal mengenai pengaruh country of origin,
perceived price, perceived value, dan purchase intention, baik secara individual
maupun simultan (bersamaan).
Berikut ini adalah beberapa jurnal internasional yang berhasil peneliti
dapatkan dari berbagai sumber di internet.
Involvement
Perceived
Product
Quality
Purchase
Intention
Values Overall
Satisfaction
23
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Judul Jurnal Penulis Tahun Kesimpulan
1. Study of Perceived
Image of Origin
Country on
Perceived Value and
Repurchase
Intention Among
Korean Appliances
Gholamreza
Asadian
2015 Country of origin dan
nilai (value) dampat
mempengaruhi minat
pembelian kembali
pada suatu produk.
Nilai yang
dimaksudkan di sini
dapat berupa kualitas
produk, harga, dan
brand distinction
2. The Relationship
Between Perceived
Price and
Consumers’
Purchase Intentions
of Private Label
Wine Brands
Ms. D.
Oosthuizen
Professor J.
Spowart, &
Professor C. F.
De Meyer-
Heydenrych
2015 Keseluruhan harga
yang dirasakan relative
memiliki hubungan
positif yang signifikan
pada keseluruhan nilai
yang dirasakan dan
memiliki hubungan
positif yang signifikan
pada keseluruhan niat
pembelian yang
berkaitan
3. A Conceptual Study
on The Country of
Origin Effect on
Consumer Purchase
Intention
Samin
Rezvani,
Goodarz
Javadian
Dehkordi,
Muhammad
Sabbir
2012 Ketika konsumen
dapat mengevaluasi
semua karakter
intrinsic dari suatu
produk dengan cara
mengalaminya
langsung, ternyata efek
24
Rahman,
Firoozeh
Fouladivanda,
Masha Habibi,
& Sanaz
Eghtebasi
dari ekstrinsik suatu
produk lebih
memeiliki pengaruh
pada evaluasi
konsumen terhadap
produk tersebut.
Country of origin
adalah salah satu unsur
ekstrinsik; di samping
itu tidak ada keraguan
bahwa country of
origin memiliki
pengaruh yang besar
terhadap proses niat
beli
4. The Effect and
Influence of
Country-of-Origin
on Consumers’
Perceptions of
Product Quality and
Purchasing
Intentions
Harrychand D.
Kalicharan
2014 Meskipun country of
origin digunakan
sebagai isyarat
eksternal oleh
konsumen ketika
mengevaluasi kualitas
produk, faktor-faktor
lain juga memiliki
kepentingan yang
sama dan dapat
mempengaruhi
keputusan pembelian
5. An Empirical Study
of the Effect of
Perceived Price on
Purchase Intention
Ya-Hui Wang
& Li-Yan
Chen
2016 Perceved price
memiliki pengaruh
positif dan signifikan
secara langsung
25
Evidence From Low-
Cost Carriers
terhadap perceived
value, perceived risk,
dan purchase
intention. Selain itu,
perceived price juga
berpengaruh secara
tidak langsung
terhadap perceived
value dan perceived
risk
6. The Influence of
Perceived Value on
Consumer Purchase
Intention
Dr. Hsinkuang
Chi, Dr. Huery
Ren Yeh, & Yi
Ching Tsai
- Ketika konsumen
membeli suatu produk,
mereka akan
membandingkannya.
Sebuah produk yang
memiliki citra merek
baik dapat
memberikan tingkat
kepuasaan yang tinggi
kepada konsumen dan
kepercayaan diri untuk
membeli produk
tersebut. Semakin
tinggi nilai yang
dirasakan (perceived
value) berarti niat beli
yang ditimbulkan pun
akan semakin tinggi.
Selain itu, konsumen
cenderung
menggunakan persepsi
secara subjektif dan
26
nilai yang dirasakan
untuk mengevaluasi
produk atau layanan
dalam proses
pembelian mereka
7. An Analyzed Model
of Consumer
Perceived Value in
Selecting Retail
Shop for Fresh
Product
Mochammad
Mukti Ali,
Ujang
Sumarwan,
Setiadi Djohar,
& Eva Z.
Yusuf
2014 Perceived shop image
mempengaruhi
perceived value
konsumen. Semakin
tinggi perceived shop
image, maka akan
semakin tinggi nilai
dari consumers’
perceived value,
sehingga konsumen
akan lebih
bersemangat untuk
berbelanja di tempat
tersebut
8. Consumer
Perception on
Purchase Intention
Towards Koa Hang:
An Exploratory
Survey in Sakon
Nakhon Province
Jitti
Kittilertpaisan
& Chakrit
Chachitpreecha
2013 Nilai yang dirasakan
sangatlah penting.
Oleh karena itu,
mereka akan
mempertimbangkan
untuk membeli suatu
produk jika mereka
menganggap bahwa
produk tersebut
memiliki perceived
value, yaitu memiliki
tingkat kualitas yang
27
tinggi dan harga yang
rendah
9. Antecedents of
Customer Perceived
Value: Evidence of
Mobile Phone
Customers in Kenya
Francis
Mungai
Muturi, Dr.
Joseph Kibuye
Wadawi, & Dr.
Edward
Otineno Owino
2014 Sementara harga telah
berhasil digunakan
sebagai dasar
keunggulan kompetitif
di masa lalu,
pelanggan saat ini
mencari nilai dan
dapat membayar lebih
jika mereka melihat
bahwa meraka akan
mendapatkan nilai
yang lebih dari produk
atau layanan yang
diberikan
10. A Review on
Customer Perceived
Value and Its Main
Components
Rasoul
Asgarpour,
Abu Bakar A.
Hamid, &
Zuraidah Binti
Sulaiman
2015 Perusahaan dapat
membangun
keunggulan kompetitif
dengan memberikan
nilai unggul yang
diinginkan oleh
pelanggan. Selain itu,
persepsi kualitas dan
harga dari pelanggan
merupakan komponen
utama dari nilai
pelanggan yang
memiliki peran
signifikan dalam
menawarkan nilai
28
terbaik bagi para
pelanggan
11. Factors Influencing
Importance of
Country of Brand
and Country of
Manufacturing in
Consumer Product
Evaluation
Jashim Uddin,
Shehely
Parvin, & Md.
Lutfur Rahman
2013 Faktor penentu yang
ditimbulkan oleh
pengaruh yang
signifikan secara
statistic untuk negara
merek adalah
keunggulan teknologi,
tingkat harga,
kehandalan, kinerja,
dan daya tahan
2.4 Kerangka Pemikiran
Pada bagian kerangka pemikiran, peneliti akan menjabarkan beberapa teori
atau konsep yang berkaitan dengan beberapa literatur yang telah digunakan sebagai
acuan atau landasan dalam pemecahan masalah penelitian ini.
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Sumber: Peneliti (2016)
COUNTRY OF
ORIGIN X1
PERCEIVED
VALUE
PURCHASE
INTENTION Y Z
PERCEIVED
PRICE X2
29
2.4 Hipotesa Penelitian
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Sub-struktur 1
Bagaimana pengaruh Country of Origin dan Perceived Price terhadap
Perceived Value, baik secara individual dan simultan?
1. Hipotesis pengujian pengaruh secara individual antara X1 dan Y
H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of
Origin (X1) terhadap variabel Perceived Value (Y)
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of Origin
(X1) terhadap variabel Perceived Value (Y)
2. Hipotesis pengujian pengaruh secara individual antara X2 dan Y
H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Perceived
Price (X2) terhadap variabel Perceived Value (Y)
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Perceived Price
(X2) terhadap variabel Perceived Value (Y)
3. Hipotesis pengujian pengaruh secara simultan antara X1 dan X2
terhadap Y
H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of
Origin (X1) dan Perceived Price (X2) terhadap variabel Perceived
Value (Y) secara simultan
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of Origin
(X1) dan Perceived Price (X2) terhadap variabel Perceived Value (Y)
secara simultan
30
• Sub-struktur 2
Bagaimana pengaruh Country of Origin dan Perceived Price terhadap
Purchase Intention melalui Perceived Value, baik secara individual dan
simultan?
4. Hipotesis pengujian pengaruh secara individual antara X1 dan Z
H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of
Origin (X1) terhadap variabel Purchase Intention (Z)
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of Origin
(X1) terhadap variabel Purchase Intention (Z)
5. Hipotesis pengujian pengaruh secara individual antara X2 dan Z
H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Perceived
Price (X2) terhadap variabel Purchase Intention (Z)
H1: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Perceived
Price (X2) terhadap variabel Purchase Intention (Z)
6. Hipotesis pengujian pengaruh secara individual antara Y dan Z
H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Perceived
Value (Y) terhadap variabel Purchase Intention (Z)
H1: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Perceived
Value (Y) terhadap variabel Purchase Intention (Z)
7. Hipotesis pengujian pengaruh secara simultan antara X1, X2, dan Y
terhadap Z
H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of
Origin (X1), variabel Perceived Price (X2), dan variabel Perceived
Value (Y) terhadap variabel Purchase Intention (Z) secara simultan
31
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Country of Origin
(X1), variabel Perceived Price (X2), dan variabel Perceived Value
(Y) terhadap variabel Purchase Intention (Z) secara simultan
32