bab 2 landasan teori dan kerangka...
TRANSCRIPT
-
8
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Kewirausahaan dan Wirausaha
Istilah kewirausahaan merupakan padanan kata dari entrepreneurship dalam bahasa
Inggris. Kata entrepreneurship sendiri sebenarnya berawal dari bahasa Perancis, yaitu
“entreprende” yang mengandung arti petualang, pencipta dana pengelola usaha (Lupiyoadi,
2004, p.1).
Wirausaha, menurut Frinces (2004, p.11) adalah mereka yang selalu bekerja keras
dan kreatif untuk mencari peluang bisnis, mendayagunakan peluang yang diperoleh, dan
kemudian merekayasa penciptaan alternatif sebagai peluang bisnis baru dengan faktor
keunggulan.
Kewirausahaan (entrepreneurship) menurut Hisrich (2005, pp.8-9), yaitu process of
creating something new and assuming the risk and rewards, yaitu merujuk pada suatu
proses penciptaan sesuatu yang baru dan mengambil risiko dan hasil upah. Sedangkan
wirausaha (entrepreneur), adalah individual who takes risks and starts something new, yaitu
seorang pribadi yang berani untuk mengambil risiko dan memulai sesuatu yang baru.
Definisi ini menekankan empat aspek dasar; aspek yang pertama,
kewirausahaan melibatkan proses penciptaan, yaitu menciptakan suatu nilai yang
baru. Penciptaan harus memiliki nilai, baik bagi wirausaha maupun bagi pihak – pihak lain
yang baginya nilai tersebut diciptakan. Pihak - pihak tersebut misalnya (1) pasar dari pembeli
pihak perusahaan yang melakukan inovasi bisnis, (2) pihak administrasi rumah sakit yang
menggunakan prosedur dan program perangkat lunak yang baru, (3) para mahasiswa yang
-
9
mempelajari studi mengenai kewirausahaan, atau (4) pelanggan jasa yang baru yang
diberikan oleh organisasi nonprofit. Yang kedua, kewirausahaan menuntut
pengorbanan waktu dan usaha, karena untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
menerapkannya, diperlukan sejumlah waktu dan usaha. Aspek yang ketiga adalah dapat
mengasumsikan risiko. Risiko ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada
bidang usaha yang ditekuni, tetapi risiko ini terutama terkait dengan masalah finansial,
psikologi dan sosial. Aspek keempat melibatkan penghargaan (reward) dalam
menjadi seorang wirausaha. Penghargaan yang paling utama dalam hal ini adalah
adanya kemandirian, kebebasan (independence), yang diikuti dengan kepuasan pribadi
(personal satisfaction). Uang juga dapat diperhitungkan sebagai penghargaan, di mana
terkadang uang juga dapat dijadikan indikator kesuksesan seorang wirausaha.
Sedangkan menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, p.xv), kewirausahaan
(entrepreneurship) dapat diartikan melalui 3 kata berikut: destiny, courage, action. Ketiga
kata tersebut merupakan kata-kata yang penting dalam membangun sikap dan perilaku
wirausaha dalam diri seseorang. Destiny berarti takdir, yang sebenarnya lebih merupakan
tujuan hidup kita, bukan nasib. Tujuan dan misi hidup kita adalah fondasi awal untuk
menjadi seorang wirausaha yang sukses. Dengan memiliki tujuan hidup (life purpose) yang
jelas, kita dapat memiliki semangat (spirit) dan sikap mental (attitude) yang diperlukan
dalam membangun sebuah usaha yang dapat memberi nilai tambah dalam kehidupan kita.
Keberanian (courage) untuk memulai dan menghadapi tantangan adalah sikap awal yang
kita perlukan. Dalam kewirausahaan, keberanian untuk mulai dan mengambil risiko adalah
syarat mutlak. Impian dan cita-cita yang besar, kemudian ditambah dengan kreativitas yang
diwujudkan dengan keberanian untuk mencoba dan melakukan (action) langkah pertama
adalah awal kesuksesan seorang wirausaha sejati.
-
10
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.3), wirausaha adalah orang yang
menciptakan bisnis baru dengan mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai
keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan
sumber daya yang diperlukan untuk mendirikannya.
2.1.2 Peran Pendidikan dalam Proses Pembentukan Wirausaha
Menurut Lupiyoadi (2004, p.33), meskipun seorang wirausaha belajar dari
lingkungannya dalam memahami dunia wirausaha, namun ada pendapat yang mengatakan
bahwa seorang wirausaha lebih memiliki streetsmart daripada booksmart, maksudnya adalah
seorang wirausaha lebih mengutamakan untuk belajar dari pengalaman (streetsmart)
dibandingkan dengan belajar dari buku dan pendidikan formal (booksmart).
Pandangan di atas disanggah oleh Churchill (1987) sebagaimana dikutip oleh
Lupiyoadi (2004, p.33), dengan pandangan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat
penting bagi keberhasilan wirausaha. Bahkan ia mengatakan bahwa bahwa kegagalan
pertama dari seorang wirausaha adalah karena dia lebih mengandalkan pengalaman
daripada pendidikan. Oleh karena itu perpaduan antara pendidikan dan pengalaman adalah
faktor utama yang menentukan keberhasilan wirausaha.
Menurut Eels (1984) dan Mas’oed (1994) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004,
p.34), dibandingkan dengan tenaga lain, tenaga terdidik S1 memiliki potensi lebih besar
untuk menjadi seorang wirausaha karena memiliki kemampuan penalaran yang telah
berkembang dan wawasan berpikir yang lebih luas. Seorang sarjana juga memiliki dua peran
pokok, pertama sebagai manajer dan sebagai pencetus gagasan. Peran pertama berupa
tindakan untuk menyelesaikan masalah, sehingga pengetahuan manajemen dan keteknikan
yang memadai mutlak diperlukan. Peran kedua menekankan pada perlunya kemampuan
-
11
merangkai alternatif - alternatif. Dalam hal ini bekal yang diperlukan berupa pengetahuan
keilmuan yang lengkap.
Sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, pp.20-22), McGrath dan MacMillan
(2000) menegaskan betapa pentingnya persoalan pola pikir kewirausahaan (entrepreneurial
mindset). Setidaknya ada tiga keunggulan; pertama, kesuksesan wirausaha disebabkan
orientasi pada tindakan (action-oriented) yang berada dalam kerangka berpikir wirausaha di
mana ide – ide yang timbul dapat segera diterapkan walaupun berada dalam situasi yang
tidak menentu. Kedua, konsep ini mudah diterapkan sehingga mampu menumbuhkan
kepercayaan diri. Ketiga, konsep ini dimaksudkan untuk tumbuh bersama diawali dari yang
sederhana seiring peningkatan petualangan seseorang.
Lebih jauh lagi, pada umumnya wirausaha memiliki lima karakteristik pola pikir
(mindset), yaitu:
• Mereka sangat bersemangat dalam melihat atau mencari peluang-peluang
baru dengan tetap waspada, selalu mengambil kesempatan untuk mendapat
keuntungan dari perubahan dan hambatan dari jalannya bisnis. Mereka akan
memiliki pengaruh yang amat besar ketika mereka menciptakan keseluruhan model
bisnis yang baru dari cara memperoleh penghasilan, membuat pembiayaan,
menjalankan operasional, dan keseluruhan kegiatan industri.
• Mereka mengejar peluang dengan disiplin yang ketat. Umumnya wirausaha
tidak hanya bersiap untuk peluang yang kecil, namun mereka langsung mengambil
tindakan terhadap peluang-peluang yang belum tergali. Mereka sering mengkaji
ulang koleksi ide - ide mereka, tetapi mereka merealisasikannya hanya ketika hal itu
diperlukan. Mereka melakukan investasi hanya jika arena suatu kompetisi menarik
mereka dan peluang yang ada sudah matang.
-
12
• Mereka hanya mengejar peluang yang sangat baik dan menghindari
mengejar peluang lain yang melelahkan diri dan organisasi mereka.
Walaupun kebanyakan wirausaha adalah orang-orang berada, untuk meraih
kesuksesan besar tetap dituntut kedisiplinan dalam membatasi jumlah proyek yang
hendak mereka raih. Mereka tetap mengikuti portofolio dari peluang dengan kendali
yang amat ketat dalam berbagai tahap pengembangan. Mereka cenderung mengikat
kuat strategi mereka dengan proyek yang telah mereka pilih dibandingkan
melonggarkan usaha mereka terlalu melebar.
• Mereka fokus pada pelaksanaan, khususnya yang bersifat adaptif. Orang dengan
kerangka berpikir wirausaha akan memilih melaksanakan apa yang telah mereka
tetapkan daripada menganalisis ide baru yang menghancurkan. Adaptasi yang
mereka lakukan dengan mengubah arah kerja sesuai dengan peluang yang nyata
dan mengambil langkah terbaik untuk merealisasikannya.
• Mereka mengikutsertakan energi setiap orang yang berada dalam
jangkauan mereka. Kebiasaan wirausaha diantaranya adalah melibatkan banyak
orang baik dari dalam maupun luar organisasi untuk mewujudkan peluang mereka.
Mereka memilih membuat dan menyebarkan jaringan kerja daripada
mengerjakannya sendiri. Mereka memberdayakan berbagai potensi intelektual dan
sumber daya manusia untuk membantu mereka meraih tujuan sebaik mungkin.
2.1.3 Profil, Karakteristik, Jiwa Wirausaha
Gambaran atau pengertian tentang jiwa wirausaha, dapat diperoleh dengan melihat
uraian ciri – ciri, profil, karakteristik khusus yang melekat pada diri wirausaha, yaitu :
Menurut Suparman (Alma, 2001, p.17), ciri – ciri seorang wirausaha antara lain yaitu
sebagai berikut:
-
13
• Berpikir teliti dan berpandangan kreatif dengan imajinasi konstruktif,
• Memiliki sikap mental untuk menyerap dan menciptakan kesempatan,
• Membiasakan diri bersikap mental positif untuk maju dan selalu bergairah dalam
setiap pekerjaan,
• Mempunyai insiatif,
• Membiasakan membangun disiplin diri,
• Menguasai salesmanship (kemampuan jual), memiliki kepemimpinan dan mampu
memperhitungkan risiko,
• Ulet, tekun, terarah, jujur dan bertanggung jawab,
• Berwatak maju, cerdik dan percaya pada diri sendiri.
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.3-7), profil seorang wirausaha dapat
digambarkan sebagai berikut:
• Menyukai tanggung jawab
Wirausaha merasa bertanggung jawab secara pribadi atas hasil perusahaan
tempat mereka terlibat. Mereka lebih menyukai dapat mengendalikan sumber –
sumber daya mereka sendiri dan menggunakan sumber – sumber daya tersebut
untuk mencapai cita – cita yang telah ditetapkan sendiri.
• Lebih menyukai risiko menengah
Wirausaha bukanlah seorang pengambil risiko liar, melainkan seseorang yang
mengambil risiko yang diperhitungkan. Wirausaha melihat suatu bisnis dengan
tingkat pemahaman risiko pribadinya. Cita – cita mungkin tampak tinggi - bahkan
mungkin mustahil tercapai - menurut orang lain, tetapi wirausaha melihat situasi itu
dari sudut pandang yang berbeda dan percaya bahwa sasaran mereka masuk akal
dan dapat tercapai. Mereka biasanya melihat peluang di daerah yang sesuai dengan
-
14
pengetahuan, latar belakang, dan pengalamannya yang akan meningkatkan
kemungkinan keberhasilannya.
Paul Hawken, mitra pendiri Smith & Hawken, sebuah perusahaan yang bergerak
dalam penjualan alat taman lewat pos menjelaskan demikian:
” Wirausaha yang baik adalah penghindar risiko bukan pengambil risiko. Mereka
terlihat sebagai pengambil risiko karena mereka melihat pasar dengan cara yang
berbeda dengan cara kita melihat; mereka melihat produk atau jasa yang sesuai
dengan perubahan kebudayaan. Segera setelah mereka menciptakannya, mereka
secara sistematis menghilangkan semua faktor risiko dan akan terlindung di risiko
sewaktu masuk ke pasar. Mereka menjadi penghapus risiko.”
• Keyakinan atas kemampuan mereka untuk berhasil
Wirausaha umumnya memiliki banyak keyakinan atas kemampuan mereka untuk
berhasil. Mereka cenderung optimis terhadap peluang keberhasilan dan optimisme
mereka biasanya berdasarkan kenyataan. Salah satu penelitian dari National
Federation of Independent Business (NFIB) menyatakan bahwa sepertiga dari
wirausaha menilai peluang berhasil mereka 100%. Tingkat optimisme yang tinggi
kiranya dapat menjelaskan mengapa kebanyakan wirausaha yang berhasil pernah
gagal dalam bisnis – kadang – kadang lebih dari sekali – sebelum akhirnya berhasil.
• Hasrat untuk mendapatkan umpan balik langsung
Wirausaha ingin mengetahui sebaik apa mereka bekerja dan terus - menerus
mencari pengukuhan. Tricia Fox, pendiri Fox Day School, Inc., menyatakan, “Saya
senang menjadi seorang yang bebas dan berhasil. Tidak ada umpan balik yang
sebaik bisnis milik Anda sendiri.”
-
15
• Tingkat energi yang tinggi
Wirausaha lebih enerjik dibandingkan orang kebanyakan. Energi ini merupakan
faktor penentu mengingat luar biasanya usaha yang diperlukan untuk mendirikan
suatu perusahaan. Kerja keras dalam waktu yang lama merupakan sesuatu yang
biasa.
• Orientasi ke depan
Wirausaha memiliki indera yang kuat dalam mencari peluang. Mereka melihat ke
depan dan tidak begitu mempersoalkan apa yang telah dikerjakan kemarin,
melainkan lebih mempersoalkan apa yang akan dikerjakan esok. Bila manajer
tradisional memperhatikan pengelolaan sumber daya yang ada, wirausaha lebih
tertarik mencari dan memanfaatkan peluang.
• Keterampilan mengorganisasi
Membangun sebuah perusahaan “dari nol” dapat dibayangkan seperti
menghubungkan potong – potongan sebuah gambar besar. Para wirausaha
mengetahui cara mengumpulkan orang – orang yang tepat untuk menyelesaikan
suatu tugas. Penggabungan orang dan pekerjaan secara efektif memungkinkan para
wirausaha untuk mengubah pandangan ke depan menjadi kenyataan.
• Menilai prestasi lebih tinggi dari uang
Salah satu kesalahmengertian yang paling umum mengenai wirausaha adalah
anggapan bahwa mereka sepenuhnya terdorong oleh keinginan menghasilkan uang.
Sebaliknya, prestasi tampak sebagai motivasi utama para wirausaha; uang hanyalah
cara untuk “menghitung skor” pencapaian sasaran atau simbol prestasi. Seorang
peneliti bisnis mengatakan, “Yang membuat wirausaha bergerak maju lebih
kompleks - dan lebih luhur – dari sekedar uang. Kewirausahaan lebih mengenai
-
16
menjalankan sendiri apa yang diinginkan. Tentang sesuatu yang tampaknya tidak
mungkin.”
Sedangkan kompetensi - kompetensi yang merupakan karakteristik dari wirausaha
yang berhasil yaitu:
o Proaktif:
1. Inisiatif, yaitu: melakukan sesuatu sebelum diminta atau terdesak oleh
keadaan.
2. Asertif, yaitu: menghadapi masalah secara langsung dengan orang lain.
Meminta orang lain mengerjakan apa yang harus mereka lakukan.
o Berorientasi prestasi :
1. Melihat dan bertindak berdasarkan peluang, yaitu: menangkap peluang
khusus untuk memulai bisnis baru, mencari bantuan keuangan, lahan ruang
kerja dan bimbingan.
2. Orientasi efisiensi, yaitu: mencari dan menemukan cara untuk mengerjakan
sesuatu dengan lebih cepat atau dengan lebih sedikit biaya.
3. Perhatian pada pekerjaan dengan mutu tinggi, yaitu: keinginan untuk
menghasilkan atau menjual produk atau jasa dengan mutu tinggi.
4. Perencanaan yang sistematis, yaitu: menguraikan pekerjaan yang besar
menjadi tugas-tugas atau sasaran-sasaran kecil, mengantisipasi hambatan,
menilai alternatif.
5. Pemantauan, yaitu: mengembangkan atau menggunakan prosedur untuk
memastikan bahwa pekerjaan dapat diselesaikan atau sesuai dengan standar
mutu yang ditetapkan.
-
17
o Komitmen pada orang lain:
1. Komitmen terhadap pekerjaan, yaitu: melakukan pengorbanan pribadi
atau bisnis yang luar biasa untuk menyelesaikan pekerjaan, menyingsingkan
lengan baju bersama karyawan dan bekerja di tempat karyawan untuk
menyelesaikan pekerjaan.
2. Menyadari pentingnya dasar - dasar hubungan bisnis, yaitu:
melakukan tindakan agar tetap dekat dengan pelanggan, memandang hubungan
pribadi sebagai sumber daya bisnis, menempatkan jasa baik jangka panjang di
atas keuntungan jangka pendek.
Sedangkan karakter lain yang sering tampak pada wirausaha, antara lain sebagai
berikut yaitu :
• Komitmen yang tinggi.
Meluncurkan sebuah perusahaan agar berhasil membutuhkan komitmen penuh
dari wirausaha. Pendiri bisnis sering membenamkan diri sepenuhnya dalam bisnis
mereka. Seorang pakar mengemukakan “Wirausaha pada umumnya harus melewati
rintangan yang mengecilkan hati pada tahap – tahap awal.” Ini memerlukan
komitmen. “Saya menyamakan komitmen dengan kemampuan bertahan.” kata
seorang konsultan.
• Toleransi terhadap keraguan
Wirausaha cenderung memiliki toleransi tinggi terhadap keraguan, situasi yang
selalu berubah, lingkungan tempat kebanyakan dari mereka bekerja. Kemampuan
untuk menangani ketidakpastian sangat penting sebab pendiri bisnis akan terus -
menerus diharuskan mengambil keputusan dengan menggunakan informasi baru
-
18
yang kadang – kadang bertentangan dengan yang diperoleh dari berbagai sumber
yang tidak lazim.
• Fleksibilitas
Salah satu ciri khas wirausaha sejati adalah kemampuan mereka untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan permintaan pelanggan dan bisnisnya. Dalam
ekonomi dunia yang berubah dengan cepat ini, kekakuan sering mengakibatkan
kegagalan. Dengan berubahnya masyarakat kita, orang – orangnya dan seleranya,
para wirausaha juga harus bersedia menyesuaikan bisnisnya untuk memenuhi
perubahan – perubahan ini.
• Keuletan
Hambatan, rintangan, dan kekalahan, umumnya tidak menghalangi para
wirausaha, yang secara keras kepala menggapai tujuan mereka. “Wirausaha adalah
orang yang menikmati permainan bisnisnya dan tidak pernah menyerah – tidak
peduli seberapa berat keadaan,“ tutur seorang peneliti.
Sedangkan menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.54-55), yang membedakan
seorang entrepreneur dengan orang biasa atau orang lain adalah bahwa seorang
entrepreneur ialah seorang yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Pandai mengelola ketakutannya
Seorang smart and good entrepreneur pandai mengelola ketakutannya untuk
membangkitkan keberanian dan kepercayaan dirinya dalam menghadapi suatu risiko
(Risk Manager, bukan Risk Taker).
2. Mempunyai “iris mata” yang berbeda dengan yang lain
Iris mata adalah cara seseorang memandang sesuatu (masalah, kesulitan,
perubahan, diri sendiri, lingkungan, tren dan kejadian) untuk memunculkan
-
19
kreativitasnya agar tercipta ide - ide, gagasan, konsep dan impiannya, lalu mencoba
untuk meningkatkan nilai (added value). Jadi, seorang yang mempunyai jiwa
entrepreneur yang kuat itu mempunyai pola pandang akan sesuatu yang berbeda
dengan orang lain.
3. Pemasar sejati atau penjual yang ulung
Skill akan mempermudah dalam membangun bisnis, mengakselerasi kecepatan
pertumbuhan bisnis, dan mengurangi ketergantungan modal yang besar.
4. Melawan arus dan menyukai tantangan baru
Seorang smart and good entrepreneur cenderung tidak suka mengikuti arus
tengah, orang atau terperangkap di dalam kehidupan yang monoton (sempurna).
Dia selalu tidak bisa diam, berpikir dan terus berpikir. Dia adalah seorang “creative
and smart worker”.
5. High determination (mempunyai keteguhan hati yang tinggi)
Perbedaan seorang entrepreneur sejati dengan entrepreneur yang biasa-biasa
saja adalah dalam hal durability, firm, dan determination. Keteguhan hati membuat
orang berbeda di dalam memandang suatu kegagalan. Kegagalan adalah persepsi
orang yang merasa buntu dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan cenderung
tidak ingin berusaha untuk mencari jalan keluar atau pemecahannya. Kegagalan
bukanlah ujung dari perjalanan.
Sebetulnya orang-orang tersebut tidak akan gagal, tetapi:
Kehilangan langkah selanjutnya.
Bahwa itu bukanlah jalan yang harus kita lakukan atau ambil – cobalah
mundur dan melihat dari sisi lain (dari atas, sebagai penonton, atau dari
samping) sehingga kita akan menemukan jalan lain yang menolong kita
untuk berubah lebih baik lagi.
-
20
Bahwa persiapan kita untuk mengantisipasi risiko tidak sebanding dengan
yang terjadi (tidak “proaktif”).
Itu adalah rintangan. Apa yang kita anggap sebagai sebuah kegagalan
adalah sebuah rintangan. Kita diberi sinyal bahwa hal itu bukanlah jalan
yang baik bagi kita.
Kita kehabisan “napas”, dalam arti bingung atau kekurangan modal.
6. Tidak menerima apa yang ada di depannya dan selalu mencari yang
terbaik (perfectionist)
Seorang smart and good entrepreneur diharapkan mampu memberikan apa yang
lebih baik lagi pada pelanggan. Seorang yang perfeksionis itu seperti pisau bermata
dua. Yang pertama ialah bahwa ia berdampak untuk berusaha mencapai yang
terbaik dan memberikan yang terbaik. Dan yang kedua, ia berdampak buruk bagi
dirinya sendiri bila ia tidak mampu menanggung senjata kesempurnaan dirinya dan
pikirannya sehingga berakibat fatal, seperti frustasi dan putus asa karena idealisme
yang mengubur impiannya. Wirausaha yang baik harus mengubah hal itu menjadi
kekuatannya.
Selain itu, menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.56), ada beberapa ciri yang
biasanya ada dalam diri seorang entrepreneur yang telah sukses, yaitu:
• Mempunyai impian - impian realistis dan tinggi dan mampu diubah menjadi cita –
cita yang harus ia capai. Hidupnya ingin berubah karena kekuatan emosionalnya
yang tinggi dan keyakinannya yang kuat, sehingga impian itu bisa terwujud (power
of dream).
• Mempunyai empat karakter dasar kekuatan emosional yang saling mendukung
untuk sukses :
-
21
Sumber : Hendro dan Widhianto (2006, p56)
Gambar 2.1 Karakter Dasar Kekuatan Emosional Wirausaha Sukses
• Menyukai tantangan dan tidak pernah puas dengan apa yang didapat (High
Achiever)
• Mempunyai ambisi dan motivasi yang kuat (motivator)
• Memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuannya bahwa dia bisa (power of
mind)
• Seorang yang visioner dan mempunyai daya kreativitas tinggi
• Risk manager, not just a risk taker.
• Memiliki strong emotional attachment (kekuatan emosional)
• Seorang problem solver
• Mampu menjual dan memasarkan produknya (seller)
• Ia mudah bosan dan sulit diatur
• Seorang kreator ulung.
Determinasi – keteguhan hati
Persistence
Keberanian
Struggle Risk Manager
(Akan visinya)
(Mampu menaklukan rasa
ketakutannya)
(Pantang
menyerah)
(Ulet dan mudah
bangkit dari
keterpurukan) (Emotional
Quotient)
-
22
Sedangkan menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, pp.15-19), seorang wirausaha
sejati memiliki sikap fokus dan sikap disiplin dalam berwirausaha.
Ada beberapa alasan mengapa seorang wirausaha harus fokus, yaitu sebagai
berikut:
- Pertama, dengan fokus seorang wirausaha dapat melihat dengan lebih jelas dan
tujuan atau sasaran yang hendak dicapainya.
- Kedua, dengan lebih fokus, seorang wirausaha dapat melihat peluang – peluang
yang ada di sekitarnya. Bila kita mempunyai impian dan sasaran – sasaran dalam
membangun bisnis kita dan fokus terhadap impian itu, akan muncul banyak peluang
yang dapat kita lihat. Apa yang menjadi fokus, itulah yang akan selalu terlihat.
- Ketiga, dengan fokus, persepsi terhadap masalah, kegagalan yang dihadapi dalam
membangun bisnis akan berubah. Jika kita fokus pada impian atau tujuan akhir kita,
maka persepsi kita terhadap hal – hal tersebut akan menjadi positif.
- Keempat, fokus memberi kita energi untuk bergerak lebih tinggi.
- Kelima, fokus dapat meningkatkan daya juang terhadap kegagalan dan kesulitan
dalam membangun bisnis.
Di sisi lain, keunggulan seorang entrepreneur sejati terletak dari kedisiplinannya
untuk terus – menerus membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat senantiasa
memperbaiki dan mengembangkan bisnisnya, baik itu kebiasaan untuk melakukan
inovasi terus – menerus, kebiasaan untuk mengakumulasi aset, kebiasaan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik pada pelanggan, kebiasaan untuk terus belajar dan mengembangkan
diri dan sebagainya.
Menurut John Maxwell dalam bukunya “Developing the Leader within You”
sebagaimana dikutip oleh Prijosaksono dan Bawono (2005, pp.23-24), disiplin didefinisikan
sebagai suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan
-
23
melakukan apa yang tidak kita inginkan. Ada dua hal yang sangat sukar dilakukan seseorang.
Pertama, melakukan hal – hal berdasarkan urutan kepentingannya (menetapkan prioritas).
Kedua, secara terus – menerus, melakukan hal tersebut berdasarkan urutan kepentingan
dengan disiplin. Untuk itu, yang diperlukan adalah komitmen untuk mencapai keunggulan.
Karena keunggulan merupakan hasil dari kedisiplinan untuk melakukan sesuatu secara
teratur dan terus – menerus.
Untuk menjadi entrepreneur yang sukses, kita harus belajar untuk disiplin dalam
segala hal. Dimulai dengan membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat memperbaiki diri
kita maupun kebiasaan – kebiasaan yang dapat memperbaiki kinerja bisnis kita.
Berdasarkan uraian – uraian yang telah dikemukakan tentang karakteristik jiwa
wirausaha, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang wirausaha akan memiliki sejumlah
karakteristik khusus seperti :
• Mampu menciptakan kesempatan usaha, dapat memanfaatkan
kesempatan usaha yang ada, serta lebih menyukai kerja mandiri
dibandingkan bekerja pada orang lain.
Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.54), seorang smart and good
entrepreneur cenderung tidak suka mengikuti arus tengah, orang atau terperangkap
didalam kehidupan yang monoton (sempurna). Dia selalu tidak bisa diam, berpikir
dan terus berpikir. Dia adalah seorang “creative and smart worker”.
Seorang wirausaha yang sejati juga memiliki “iris mata” yang berbeda dari
orang lain. Iris mata adalah cara seseorang memandang sesuatu (masalah,
kesulitan, perubahan, diri sendiri, lingkungan, tren dan kejadian) untuk
memunculkan kreativitasnya agar tercipta ide - ide, gagasan, konsep dan mimpinya,
lalu mencoba untuk meningkatkan nilai (added value). Jadi, seorang yang
-
24
mempunyai jiwa entrepreneur yang kuat itu mempunyai pola pandang akan sesuatu
yang berbeda dengan orang lain.
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.7), salah satu karakteristik dalam
wirausaha yang berhasil adalah memiliki kompetensi orientasi prestasi, yaitu
diantaranya mampu melihat dan bertindak berdasarkan peluang, yaitu:
menangkap peluang khusus untuk memulai bisnis baru, mencari bantuan keuangan,
lahan ruang kerja dan bimbingan.
Wirausaha memiliki orientasi ke depan. Mereka mempunyai indera
yang kuat dalam mencari peluang. Mereka melihat ke depan dan tidak begitu
mempersoalkan apa yang telah dikerjakan kemarin, melainkan lebih
mempersoalkan apa yang akan dikerjakan esok. Bila manajer tradisional
memperhatikan pengelolaan sumber daya yang ada, wirausaha lebih tertarik mencari
dan memanfaatkan peluang (Zimmerer dan Scarborough, 2004, p.5).
• Menyadari perlu kerja keras agar berhasil, membiasakan untuk disiplin diri
dalam kehidupan, selalu melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung
jawab serta selalu mengerjakan segala hal dengan baik, teliti, dan tekun.
Menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.55-56), wirausaha yang sukses
mempunyai impian – impian realistis dan tinggi dan mampu diubah
menjadi cita – cita yang harus ia capai. Hidupnya ingin berubah karena
kekuatan emosionalnya yang tinggi dan keyakinannya yang kuat, sehingga impian itu
bisa terwujud (power of dream).
Perbedaan seorang entrepreneur sejati dengan entrepreneur yang biasa-biasa
saja adalah dalam hal durability, firm, dan determination. Keteguhan hati
membuat orang berbeda di dalam memandang suatu kegagalan. Kegagalan adalah
-
25
persepsi orang yang merasa buntu dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan
cenderung tidak ingin berusaha untuk mencari jalan keluar/pemecahannya.
Kegagalan bukanlah ujung dari perjalanan.
Mereka mengejar peluang dengan disiplin yang ketat. Umumnya
wirausaha tidak hanya bersiap untuk peluang yang kecil, namun mereka langsung
mengambil tindakan terhadap peluang-peluang yang belum tergali. Mereka sering
mengkaji ulang koleksi ide-ide mereka, tetapi mereka merealisasikannya hanya
ketika hal itu diperlukan. Mereka melakukan investasi hanya jika arena suatu
kompetisi menarik mereka dan peluang yang ada sudah matang.
Mereka juga fokus pada pelaksanaan, khususnya yang bersifat adaptif.
Orang dengan kerangka berpikir wirausaha akan memilih melaksanakan apa yang
telah mereka tetapkan daripada menganalisis ide baru yang menghancurkan.
Adaptasi yang mereka lakukan dengan mengubah arah kerja sesuai dengan peluang
yang nyata dan mengambil langkah terbaik untuk merealisasikannya. (Lupiyoadi,
2004, p.22)
Keunggulan seorang entrepreneur sejati terletak dari kedisiplinannya untuk
terus – menerus membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat senantiasa
memperbaiki dan mengembangkan bisnisnya, baik itu kebiasaan untuk melakukan
inovasi terus – menerus, kebiasaan untuk mengakumulasi aset, kebiasaan untuk
memberikan pelayanan yang terbaik pada pelanggan, kebiasaan untuk terus belajar
dan mengembangkan diri dan sebagainya. (Prijosaksono dan Bawono, 2005, p.23).
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.5-7), hambatan, rintangan,
dan kekalahan, umumnya tidak menghalangi para wirausaha, yang secara
keras kepala menggapai tujuan mereka. “Wirausaha adalah orang yang menikmati
-
26
permainan bisnisnya dan tidak pernah menyerah – tidak peduli seberapa berat
keadaan,“ tutur seorang peneliti.
Salah satu karakteristik dalam wirausaha yang berhasil adalah memiliki
kompetensi komitmen pada orang lain, yaitu diantaranya komitmen terhadap
pekerjaan, yaitu: melakukan pengorbanan pribadi atau bisnis yang luar biasa untuk
menyelesaikan pekerjaan, menyingsingkan lengan baju bersama karyawan dan
bekerja di tempat karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Meluncurkan sebuah perusahaan agar berhasil membutuhkan komitmen
penuh dari wirausaha. Pendiri bisnis sering membenamkan diri sepenuhnya dalam
bisnis mereka. Seorang pakar mengemukakan “Wirausaha pada umumnya harus
melewati rintangan yang mengecilkan hati pada tahap – tahap awal.” Ini
memerlukan komitmen. “Saya menyamakan komitmen dengan kemampuan
bertahan.” kata seorang konsultan.
Di sisi lain, wirausaha merasa bertanggung jawab secara pribadi atas hasil
perusahaan tempat mereka terlibat. Mereka lebih menyukai dapat mengendalikan
sumber – sumber daya mereka sendiri dan menggunakan sumber – sumber daya
tersebut untuk mencapai cita – cita yang telah ditetapkan sendiri.
• Memiliki jiwa kepemimpinan
Hal ini terkait dengan keterampilan mengorganisasi. Membangun sebuah
perusahaan “dari nol” dapat dibayangkan seperti menghubungkan potong –
potongan sebuah gambar besar. Para wirausaha mengetahui cara mengumpulkan
orang – orang yang tepat untuk menyelesaikan suatu tugas. Penggabungan orang
dan pekerjaan secara efektif memungkinkan para wirausaha untuk mengubah
pandangan ke depan menjadi kenyataan. (Zimmerer dan Scarborough, 2004, p.5).
-
27
Hal ini juga terkait dengan hal bagaimana mereka mengikutsertakan energi
setiap orang yang berada dalam jangkauan mereka. Kebiasaan wirausaha
diantaranya adalah melibatkan banyak orang baik dari dalam maupun luar organisasi
untuk mewujudkan peluang mereka. Mereka memilih membuat dan menyebarkan
jaringan kerja daripada mengerjakannya sendiri. Mereka memberdayakan berbagai
potensi intelektual dan sumber daya manusia untuk membantu mereka meraih
tujuan sebaik mungkin (Lupiyoadi, 2004, p.22).
• Mampu mempertimbangkan risiko, serta selalu mempertimbangkan faktor
penghambat maupun penunjang dalam mengambil keputusan
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.4), wirausaha bukanlah seorang
pengambil risiko liar, melainkan seseorang yang mengambil risiko yang
diperhitungkan. Wirausaha melihat suatu bisnis dengan tingkat pemahaman risiko
pribadinya. Cita – cita mungkin tampak tinggi - bahkan mungkin mustahil tercapai -
menurut orang lain, tetapi wirausaha melihat situasi itu dari sudut pandang yang
berbeda dan percaya bahwa sasaran mereka masuk akal dan dapat tercapai. Mereka
biasanya melihat peluang di daerah yang sesuai dengan pengetahuan, latar
belakang, dan pengalamannya yang akan meningkatkan kemungkinan
keberhasilannya.
Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.54), seorang smart and good
entrepreneur pandai mengelola ketakutannya untuk membangkitkan keberanian dan
kepercayaan dirinya dalam menghadapi suatu risiko. Mereka adalah risk manager,
bukan risk taker.
-
28
2.1.4 Intrapreneur dan Intrapreneurship
Selain definisi mengenai kewirausahaan (entrepreneurship) dan wirausaha
(entrepreneur), dikenal juga istilah intrapreneur dan intrapreneurship.
Intrapreneur merujuk pada mereka yang bekerja pada suatu perusahaan yang
memiliki semangat kewirausahaan. Atau dengan kata lain, intrapreneur merupakan
wirausaha yang ada dalam lingkungan perusahaan. Sosok seperti ini sangat diperlukan
karena sangat relevan dengan tujuan perusahaan dalam hal upaya memenuhi kebutuhan
dan keinginan konsumen (Lupiyoadi, 2004, p.11).
Menurut Morris dan Kuratko (2002, pp.84-86), intrapreneur (atau disebut juga
dengan istilah corporate entrepreneur), tidak perlu merupakan seorang pencipta produk, jasa
atau proses yang baru (walaupun pada kenyataannya, mereka sering begitu), tetapi mereka
mengubah ide atau model (prototype) menjadi sesuatu yang nyata yang menghasilkan
keuntungan (profitable realities). Mereka adalah pembangun tim yang memiliki komitmen
dan dorongan yang diperlukan untuk melihat bagaimana ide dapat diwujudkan menjadi
kenyataan. Dan yang paling penting, mereka adalah orang – orang yang biasa yang
mencoba untuk melakukan hal – hal yang luar biasa.
Intrapreneur memulai dengan adanya ide. Ide ini diawali dengan adanya visi, yang
mungkin tidak terlalu jelas. Ia melalui tahap “melamun” (daydreaming phase). Di sini, para
intrapreneur melihat proses yang harus ia lewati untuk menjadikan ide yang awalnya konsep
menjadi implementasi yang berhasil. Mereka juga memeriksa jalan – jalan lain, rintangan dan
penghalang yang potensial yang mereka mungkin hadapi. Intrapreneur dapat bergerak cepat
untuk menyelesaikan segala sesuatu. Mereka adalah orang yang berfokus pada tujuan,
mereka bersedia untuk melakukan berbagai hal yang perlu dilakukan untuk memastikan
tercapainya tujuan mereka. Mereka adalah kombinasi dari seorang pemikir, perencana,
pelaku, dan pekerja. Dedikasi mereka terhadap ide tersebut sangat besar. Mereka harus
-
29
berjuang untuk menjadikan ide mereka tetap nyata, bahkan seringkali setelah manajer
atasan mereka, komite dan lainnya telah berupaya “membunuh” ide itu dua atau tiga kali.
Para intrapreneur seringkali mengharapkan hal yang mustahil dari diri mereka dan
mempertimbangkan tidak adanya sesuatu yang dapat menghalangi proses untuk membuat
usaha mereka berhasil. Mereka adalah para pengejar – pengejar keinginan yang kuat dari
suatu visi yang berada di luar tugas mereka dalam mencapai tujuan mereka.
Saat dihadapkan dengan kegagalan atau hal yang dapat menghalangi mereka, para
intrapreneur mempunyai pandangan yang optimis. Pertama, mereka tidak mengakui
bahwa mereka telah kalah; mereka mengganggap kegagalan sebagai hal yang
menghalangi mereka sementara untuk ditarik pelajaran dan dihadapi. Hal ini tidak
dilihat sebagai alasan untuk berhenti. Kedua, mereka melihat diri mereka sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri. Mereka tidak mencari
kambing hitam atas kegagalan mereka, namun mereka memfokuskan pada pembelajaran
bagaimana mereka bertindak dengan lebih baik. Dengan menghadapi kesalahan – kesalahan
dan kegagalan – kegagalan mereka secara objektif, maka mereka belajar bagaimana mereka
dapat menghindari kesalahan – kesalahan yang sama, dan hal inilah yang bagian yang
membuat mereka mencapai keberhasilan.
Sedangkan menurut Hisrich (2005, p.17), intrapreneurship merupakan
kewirausahaan yang ada di dalam struktur bisnis yang ada, yang dapat menjembatani
kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan pasar. Bisnis yang ada telah memiliki sumber
daya keuangan, kemampuan usaha, dan sistem pemasaran dan distribusi untuk memasarkan
inovasi yang ada dengan sukses. Namun terkadang struktur perusahaan yang terlalu
birokratis, penekanan pada profit jangka pendek dan rumitnya struktur organisasi dapat
menghambat kreativitas dan pengembangan produk dan usaha. Perusahaan – perusahaan
mulai mengenali faktor – faktor penghambat ini dan kebutuhan akan kreatifitas dan inovasi
-
30
telah menumbuhkan kebutuhan akan jiwa intrapreneurship dalam perusahaan – perusahaan.
Sehingga dalam era kompetisi usaha saat ini, kebutuhan munculnya produk baru dan jiwa
intrapreneurship telah menjadi hal yang penting sehingga semakin banyak perusahaan yang
kini mengembangkan lingkungan untuk mengembangkan jiwa intrapreneurship, terutama
dalam unit – unit bisnis strategis (Strategic Business Unit atau SBU).
Menurut Hisrich (2005, pp.45-46), budaya intrapreneurial (intrapreneurial culture)
berbeda secara signifikan dengan budaya perusahaan tradisional (traditional corporate
culture). Budaya – budaya perusahaan tradisional adalah seperti menaati pada instruksi –
instruksi yang diberikan, hindari kesalahan – kesalahan, jangan gagal, jangan mengambil
inisiatif tetapi tunggulah perintah / instruksi, atau tetaplah berada pada area kerja masing -
masing. Lingkungan ini tentunya, tidak menerima kreativitas, fleksibilitas, kemandirian,
kepemilikan, atau pengambilan risiko – yang sebenarnya adalah arahan – arahan utama para
intrapreneur.
Tujuan dari budaya intrapreneurial cukup berbeda dengan budaya perusahaan
tradisional, yaitu : untuk mengembangkan visi, tujuan, dan rencana – rencana aksi; untuk
mendapatkan penghargaan atas tindakan (prestasi) yang telah dicapai; untuk menyarankan,
mencoba; untuk menciptakan dan berkembang tanpa dibatasi oleh area kerja; serta untuk
mengambil tanggung jawab dan kepemilikan.
Perbedaan juga muncul dalam nilai yang dibagikan (shared values) dan norma –
norma dari dua budaya di atas. Perusahaan tradisional pada dasarnya bersifat hirarkis,
dengan prosedur – prosedur yang telah ada, sistem pelaporan, lini komando dan tanggung
jawab, instruksi dan mekanisme kontrol. Hal inilah yang mendasari budaya perusahaan saat
ini dan kurang memberikan ruang pada penciptaan produk – produk, jasa – jasa atau usaha
– usaha baru. Sebaliknya perusahaan dengan budaya intrapreneurial mempunyai kondisi
yang sangat berbeda dengan kondisi di atas. Perusahaan dengan budaya intrapreneurial,
-
31
memiliki struktur organisasi yang datar dengan networking, kerja tim, sponsor – sponsor dan
didukung oleh mentor – mentor. Hubungan kerja yang erat akan membantu menciptakan
atmosfer kejujuran yang akan memfasilitasi pencapaian visi dan tujuan. Tugas – tugas
dipandang sebagai hal yang menyenangkan dan bukan sebagai hal rutin atau hal yang tidak
menyenangkan, di mana para partisipan akan dengan senang hati memberikan waktunya
beberapa jam yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sebaliknya, bukan
malah membangun benteng untuk melindungi area kerja, individu – individu justru akan
membuat usulan – usulan dalam dan lintas area dan divisi fungsional, menghasilkan
banyaknya usulan ide – ide.
2.1.5 Perbedaan Antara Manajer Tradisional dan Wirausaha (Entrepreneurs dan
Intrapreneurs)
Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.7-8) menyatakan bahwa terdapat sejumlah
perbedaan antara wirausaha dan manajer, seperti dapat digambarkan dalam tabel berikut di
bawah ini:
Tabel 2.1 Perbedaan Wirausaha dan Manajer
Manajer Konvensional Wirausaha
Sangat sadar akan aturan dan
larangan.
Memandang aturan hanya sebagai
petunjuk.
Peka terhadap masa depan dan
bersedia menunda imbalan.
Konsep masa depan berdasarkan pada
angan-angan. Ambang batas frustasi
rendah.
Memiliki keinginan kuat untuk
diterima.
Tidak jelas dalam pengendalian,
keberhasilan dan tanggung jawab.
-
32
Dapat bersifat manipulatif dan
eksploitatif terhadap orang lain.
Mampu mengidentifikasi masalah
dalam segala arah tindakannya.
Membuat perencanaan rinci.
Tidak sabar dengan diskusi dan teori.
Cepat bertindak dan menuruti kata
hati.
Sumber: Zimmerer dan Scarborough (2004, p8)
Sedangkan menurut Lupiyoadi (2004, pp.19-20), perbedaan antara wirausaha dan
manajer tradisional adalah sebagai berikut:
1. Seorang wirausaha aktif mencari perubahan dengan mengeksploitasi peluang
– peluang, sedangkan manajer tradisional cenderung lebih berjaga – jaga. Ketika
tengah memburu peluang – peluang ini, wirausaha sering mempertaruhkan
jaminan keuangan pribadinya menghadapi risiko. Tingkatan hierarki dalam
organisasi birokratis mengisolasikan manajer dari imbalan dan upah uang yang
diterima untuk meminimalkan risiko dan menghindari kesalahan. Dalam
kenyataannya, manajer tradisional cenderung menghindari risiko sementara
wirausaha menerima risiko sebagai bagian dari proses untuk menjadi seorang
wirausaha.
2. Wirausaha juga dimotivasi oleh kebebasan dan peluang untuk menciptakan
kebebasan finansial. Manajer tradisional cenderung dimotivasi oleh promosi
karier dan imbalan tradisional lainnya. Manajer tradisional lebih berorientasi ke
arah pencapaian tujuan – tujuan jangka pendek, sementara wirausaha
berorientasi pada pencapaian pertumbuhan bisnis lima sampai sepuluh tahun ke
depan.
-
33
3. Aktivitas manajerial yang mereka geluti juga berbeda. Wirausaha cenderung
lebih intens dan langsung terlibat dalam aktivitas operasional
organisasi, sementara manajer tradisional cenderung mendelegasikan tugas –
tugas dan mengawasi pekerja dalam melaksanakan tugas – tugas tersebut.
4. Terakhir, manajer tradisional dan wirausaha memiliki perbedaan pandangan
dalam melihat kesalahan dan kegagalan. Wirausaha cenderung menerima
kesalahan sebagai suatu bagian normal dalam menjalankan suatu bisnis,
sementara manajer tradisional cenderung menghindari situasi yang
memungkinkan mereka gagal atau membuat kesalahan.
Sedangkan menurut Hisrich (2005, p.46), perbedaan dua budaya antara budaya
perusahaan tradisional dan budaya intrapreneurial akan melahirkan perbedaan antara
manajer – manajer tradisional dan para intrapreneur.
Perbandingan antara manajer – manajer tradisional, entrepreneurs dan intrapreneurs
digambarkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.2 Perbandingan antara Manajer – manajer Tradisional,
Entrepreneurs dan Intrapreneurs
Manajer
Tradisional
Entrepreneurs Intrapreneurs
Motivasi utama Promosi dan
penghargaan
tradisional
perusahaan, seperti
Kemandirian atau
kebebasan, peluang
untuk menciptakan,
serta uang
Kemandirian atau
kebebasan dan
kemampuan untuk
meningkatkan
-
34
kantor, staf dan
kekuasaan
penghargaan
perusahaan
Orientasi
waktu
Jangka pendek-kuota
rapat dan anggaran,
mingguan, bulanan,
dan horizon
perencanaan tahunan
Bertahan dan
mencapai
pertumbuhan bisnis
dalam 5-10 tahun
Antara manajer
tradisional dan
entrepreneur,
tergantung pada
desakan untuk
memenuhi beban
pribadi dan rencana
waktu (timetable)
perusahaan
Aktivitas Mendelegasikan dan
mengawasi,
ketimbang
melibatkan diri secara
langsung
Melibatkan diri secara
langsung
Melibatkan diri secara
langsung ketimbang
mendelegasikan
Risiko Berhati - hati Pengambil risiko
moderat
Pengambil risiko
moderat
Status Peduli terhadap
simbol status
Tidak terlalu peduli
dengan simbol status
Tidak terlalu peduli
dengan simbol status
tradisional - lebih
menginginkan
kemandirian,
kebebasan.
-
35
Kegagalan dan
kesalahan
Mencoba untuk
menghindari
kesalahan dan hal
yang tidak terduga
Berurusan dengan
kegagalan dan
kesalahan
Berupaya untuk
menghindari proyek
yang berisiko
sebelum siap
menghadapinya
Keputusan Umumnya setuju
dengan keputusan
manajemen yang
lebih tinggi
Cenderung
mengambil keputusan
untuk mengikuti
impian
Mampu membuat
yang lain untuk
setuju untuk
mencapai impian
yang dicita-citakan
Siapa yang
dilayani
Orang lain Diri sendiri dan
pelanggan
Diri sendiri,
pelanggan dan
sponsor
Sejarah
keluarga
Anggota – anggota
keluarga bekerja
pada organisasi yang
besar
Memiliki latar
belakang keluarga
yang bergerak dalam
kewirausahaan bisnis
kecil, profesional.
Memiliki latar
belakang keluarga
yang bergerak dalam
kewirausahaan bisnis
kecil, profesional.
Hubungan
dengan orang
lain
Dasar hubungan
adalah hirarki
Dasar hubungan
adalah transaksi dan
pembuatan
persetujuan (deal
making)
Adanya transaski
yang berlangsung
dalam hirarki.
Sumber : Hisrich (2005, p46)
-
36
2.1.6 Proses Terbentuknya Wirausaha
Menurut Lupiyoadi (2004, pp.23-31), ada sejumlah teori mengenai proses
pembentukan kewirausahaan. Teori tersebut antara lain : teori perubahan arah hidup (life
path change), perilaku yang dimotivasi oleh tujuan (goal directed behaviour), pengambilan
keputusan, dan hasil yang diharapkan (outcome expectancy).
1. Teori Perubahan Arah Hidup (Life Path Change)
Menurut Shapero dan Sokol (1982) dalam Sundjaja (1990) sebagaimana dikutip
oleh Lupiyoadi (2004, p.25), tidak semua wirausaha lahir dan berkembang mengikuti
jalur yang sistematis dan terencana. Banyak orang yang menjadi wirausaha justru
tidak melalui proses yang direncanakan, yaitu antara lain disebabkan oleh :
a. Pemindahan secara negatif (negative displacement)
Seseorang bisa saja menjadi wirausaha karena adanya faktor pemecatan
dari tempat kerja, merasa tertekan atau bahkan mengalami kebosanan selama
bekerja, dipaksa atau terpaksa pindah dari daerah asal. Atau bisa juga karena
seseorang sudah memasuki usia pensiun. Dalam hal ini, pilihan berwirausaha
diambil karena selain untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya,
menjadi wirausaha dalam kondisi seperti ini adalah pilihan terbaik karena
sifatnya yang bebas dan tidak bergantung pada birokrasi yang diskriminatif.
b. ”Berada di tengah dua dunia yang berbeda” (Being between things)
Orang – orang yang baru keluar dari ketentaraan, sekolah atau bahkan
penjara, terkadang merasa seperti memasuki dunia baru yang belum mereka
mengerti dan kuasai. Keadaan ini membuat mereka seakan berada di tengah -
tengah (being between things) dari dua dunia yang berbeda, namun mereka
harus tetap harus berjuang menjaga kelangsungan hidupnya. Di sinilah biasanya
-
37
pilihan menjadi wirausaha muncul karena dengan menjadi wirausaha mereka
bekerja dengan mengandalkan diri mereka sendiri.
c. Memiliki tarikan yang positif (having positive pull)
Terdapat juga orang – orang yang mendapat dukungan membuat usaha dari
mitra kerja, investor, pelanggan atau mentor. Dukungan memudahkan mereka
dalam mengantisipasi peluang usaha, selain itu juga menciptakan rasa aman dari
risiko usaha. Seorang mantan manajer di sebuah perusahaan otomotif, misalnya
dengan bahan baku ban bekas, seperti stopper back door, engine mounting,
atau mufler mounting. Perusahaan otomotif tersebut memberi dukungan dengan
menampung produk mantan manajernya tersebut.
2. Teori Perilaku yang Dimotivasi Tujuan (Goal Directed Behaviour)
Menurut Wolman (1973) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, p.27),
seseorang dapat saja menjadi wirausaha karena termotivasi untuk mencapai tujuan
tertentu. Teori ini disebut dengan perilaku yang dimotivasi tujuan (Goal Directed
Behaviour). Teori ini hendak menggambarkan bagaimana seseorang tergerak
menjadi wirausaha, motivasinya dapat terlihat dari langkah – langkahnya dalam
mencapai tujuan (goal directed behaviour). Diawali dari adanya dorongan
kebutuhan, kemudian munculnya perilaku yang dimotivasi tujuan, hingga
tercapainya tujuan.
Seseorang terjun dalam dunia wirausaha diawali dengan adanya kebutuhan –
kebutuhan, ini mendorong kegiatan – kegiatan tertentu, yang ditujukan pada
pencapaian tujuan. Dari kacamata teori kebutuhan dan motivasi tingkah laku, seperti
menemukan kesempatan berusaha, sampai mendirikan dan melembagakan
usahanya merupakan perilaku yang dimotivasi tujuan (goal directed behaviour).
-
38
Sedangkan tujuannya adalah mempertahankan dan memperbaiki kelangsungan
hidup wirausaha.
3. Teori Pengambilan Keputusan
Moore (1964) dalam Lupiyoadi (2004, p.27) mengatakan bahwa pengambilan
keputusan adalah perpaduan dari kegiatan berpikir,memilih dan bertindak. Faktor -
faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dapat berasal dari situasi
keputusan itu sendiri serta dari diri si pengambil keputusan itu sendiri.
a. Faktor - faktor dari situasi lingkungan itu sendiri (decision
environment)
Suatu lingkungan keputusan bisa berstruktur baik dan buruk, tergantung dari
seberapa jauh si pengambil keputusan mengenal keadaannya pada masa
sekarang (initial state), tujuan – tujuan yang akan datang (terminal state) dan
transformasi yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan yang diinginkannya. Hal
ini dapat digambarkan sebagai berikut :
A B
Di mana :
A = keadaan sekarang dari si pengambil keputusan (initial state atau existing
state).
B = target atau tujuan yang dicoba dicapai oleh si pengambil keputusan
(terminal state atau desired state).
= proses atau langkah di mana si pengambil langkah dapat bergerak dari
kondisi sekarang ke kondisi yang dituju (transformation atau decision
alternatives)
-
39
Apabila si pengambil keputusan cukup mengenal ketiga hal di atas dengan
baik, maka dia diharapkan pada lingkungan keputusan (decision environment)
yang berstruktur baik (well structured). Sebaliknya bila si pengambil keputusan
tidak cukup mengenal ketiga hal di atas, maka dia akan dihadapkan pada
lingkungan keputusan yang berstruktur buruk (ill structured).
Ada tiga kondisi lingkungan keputusan yang berstruktur buruk yang
mempengaruhi proses pengambilan keputusan :
- Lingkungan keputusan yang tidak pasti. Dalam keadaan ini si
pengambil keputusan dihadapkan pada situasi di mana: si pengambil
keputusan tidak mengetahui peristiwa – peristiwa yang akan mempengaruhi
hasil keputusannya, si pengambil keputusan tidak mengetahui hubungan
kausal yang terjadi dalam lingkungan keputusan, si pengambil keputusan
mempunyai kontrol yang sedikit terhadap lingkungan keputusan, atau tidak
stabilnya lingkungan keputusan.
- Lingkungan keputusan yang kompleks. Di sini pengambil keputusan
dihadapkan pada situasi – situasi di mana lingkungannya sangat luas,
heterogen, abstrak, dan saling berhubungan.
- Lingkungan keputusan yang merupakan situasi konflik. Di sini
pengambil keputusan dihadapkan pada situasi – situasi yang melibatkan
banyak interaksi dengan banyak orang , tetapi mempunyai tujuan dan
sumber penentuan yang berbeda.
-
40
b. Faktor-faktor dari dalam diri si pengambil keputusan sendiri
Menurut Taylor dan Dunnete (1976) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi
(2004, p.29), ada empat atribut psikologis yang mempengaruhi strategi –
strategi keputusan, yaitu :
- Kemampuan perseptual. Yaitu persepsi pengambil keputusan terhadap
suatu masalah yang dihadapi akan menentukan derajat ketidakpastian,
kompleksitas maupun yang diidentifikasi dari problem tersebut.
- Kapasitas informasi; merupakan kemampuan untuk mengolah informasi
dalam hubungan dengan strategi pengambilan keputusan di mana
pengambil keputusan dapat menggunakan strategi – strategi di dalam
kondisi lingkungan yang tidak pasti, kompleks, dan penuh pertentangan.
- Kecenderungan untuk mengambil risiko; merupakan kecenderungan
yang mempengaruhi strategi keputusan yang digunakan untuk menahan
karakteristik – karakteristik lingkungan yang mempunyai range yang luas.
Dalam situasi pengambil keputusan yang penuh risiko, merasa tidak pasti
mengenai hasil dan kemungkinan – kemungkinan kerugian yang terjadi.
Kecenderungan ini mengakibatkan perbedaan – perbedaan tingkah laku
orang – orang yang mengambil keputusan dalam melakukan aktivitasnya.
- Tingkat aspirasi. Tingkat aspirasi dari pengambil keputusan
mempengaruhi keefektivitasannya dalam menggunakan strategi – strategi
keputusan di bawah lingkungan yang bervariasi. Tingkat aspirasi juga
mempengaruhi efektivitas dalam mengidentifikasi masalah, mengevaluasi
alternatif – alternatif yang akan dipilih, dan menentukan tawaran – tawaran
pemilihan. Ada tiga kondisi yang mempengaruhi tingkat aspirasi seseorang
dalam tugas – tugas pengambilan keputusan, yaitu:
-
41
- Tujuan - tujuan yang spesifik
- Pengalaman – pengalaman masa lalu tentang keberhasilan dan
kegagalan
- Penerimaan pengetahuan dari suatu akibat.
4. Teori Hasil yang Diharapkan (Outcome expectancy)
Bandura (1986) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, p.30),
menyatakan bahwa hasil yang diharapkan (outcome expectancy) bukan suatu
perilaku tetapi keyakinan tentang konsekuensi yang diterima setelah seseorang
melakukan tindakan tertentu.
Dari definisi di atas, hasil yang diharapkan (outcome expectancy) dapat
diartikan sebagai keyakinan seseorang mengenai hasil yang akan diperolehnya
jika ia melaksanakan suatu perilaku tertentu, yaitu perilaku yang menunjukkan
keberhasilan. Seseorang memperkirakan bahwa keberhasilannya dalam
melakukan tugas tertentu akan mendatangkan imbalan dengan nilai tertentu
juga. Imbalan ini berupa juga insentif kerja yang dapat diperoleh dengan segera
atau dalam jangka panjang. Karenanya jika seseorang menganggap profesi
wirausaha akan memberikan insentif yang sesuai dengan keinginannya, maka
maka dia akan berusaha memenuhi keinginannya dengan menjadi wirausaha.
Ada berbagai jenis insentif sebagai imbalan kerja yang diharapkan individu
dan setiap jenis memiliki keunikan tersendiri. Jenis insentif tersebut yaitu :
• Insentif primer. Yaitu merupakan imbalan yang berhubungan dengan
kebutuhan fisiologis kita seperti makan, minum, kontak fisik, dan
sebagainya.
-
42
• Insentif sensoris. Beberapa kegiatan manusia ditujukan untuk
memperoleh umpan balik sensoris yang terdapat di lingkungannya. Misalnya
anak kecil melakukan berbagai kegiatan untuk mendapatkan insentif sensoris
berupa bunyi – bunyian baru atau berupa stimulus baru untuk dilihat atau
orang dewasa yang bermain musik untuk memperoleh umpan balik sensoris
berupa bunyi alat musik yang dimainkannya.
• Insentif sosial. Manusia akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan
penghargaan dan penerimaan dari lingkungan sosialnya. Penerimaan atau
penolakan dari sebuah lingkungan sosial akan lebih berfungsi secara efektif
sebagai imbalan atau hukuman daripada reaksi yang berasal dari satu
individu.
• Insentif yang berupa token ekonomi. Token ekonomi adalah imbalan
yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, seperti upah,
kenaikan pangkat, penambahan tunjangan, dan sebagainya. Hampir seluruh
masyarakat menggunakan uang sebagai insentif. Hal ini disebabkan karena
dengan uang, individu dapat memperoleh hampir semua hal yang
diinginkannya, mulai dari pelayanan jasa, hingga pemenuhan kebutuhan
fisik, kesehatan, dan lain – lain.
• Insentif yang berupa aktivitas. Beberapa aktivitas atau kegiatan fisik
ternyata dapat memberikan nilai insentif tersendiri bagi individu.
• Insentif status dan pengaruh. Kedudukan kerapkali dikaitkan dengan
status kekuasaan. Dengan memiliki kedudukan yang tinggi, seseorang dapat
menikmati imbalan materi, penghargaan sosial, kepatuhan dan lain – lain.
Keuntungan yang khas ini membawa individu berusaha keras untuk
mencapai posisi yang memberikan kekuasaan.
-
43
• Insentif berupa terpenuhinya standar internal. Insentif ini berasal dari
tingkat kepuasan diri yang diperoleh individu dari pekerjaannya dan berasal
dari dalam diri seseorang. Bentuk imbalan internal yaitu reaksi diri berupa
rasa puas dan senang. Misalnya seseorang berwirausaha karena adanya
imbalan rasa puas karena segenap potensinya dapat tersalurkan ketimbang
bila ia menjadi karyawan biasa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ada insentif – insentif tertentu yang umumnya
diharapkan seseorang dengan menjadi wirausaha.
Teori – teori di atas telah menjelaskan proses pembentukan seseorang menjadi
wirausaha. Dengan memadukan teori di atas, maka kita dapat menyimpulkan model tahapan
pembentukan yang sifatnya lebih komprehensif (Lupiyoadi, 2004, pp.32-33):
1. Kurangnya keseimbangan (deficit equilibrium)
Dalam hal ini seseorang merasa ada kekurangan dalam dirinya dan berusaha
untuk mengatasinya. Kekurangan tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk,
tidak hanya berupa materi, namun dapat berupa ketidakpuasan terhadap diri sendiri
(baik motivasi, standar internal maupun hal lainnya). Selain itu, kondisi ini juga dapat
terjadi karena berubahnya jalur hidup, seperti misalnya jika seseorang mengalami
tekanan atau hinaan, misalnya baru keluar dari penjara, ataupun mendapat
dukungan orang lain.
2. Pengambilan keputusan menjadi wirausaha
Perasaan kekurangan akan mendorong seseorang untuk mencari pemecahannya.
Untuk itu, ia akan mengevaluasi alternatif pemecahan yang dimiliki. Dalam hal ini
kemampuan perseptual, kapasitas informasi yang diterima, keberanian mengambil
risiko, dan tingkat aspirasinya terhadap suatu alternatif keputusan memiliki peran
-
44
yang sangat besar dalam usahanya mengambil keputusan. Jika pada akhirnya ia
menganggap bahwa masalah kekurangannya dapat dipecahkan dengan menjadi
wirausaha, maka ia akan mengambil keputusan untuk menjadi wirausaha.
3. Perilaku yang dimotivasi oleh tujuan (goal directed behaviour)
Keputusan menjadi wirausaha diambil dengan tujuan memecahkan masalah
kekurangan yang ia miliki. Di sini masalah kekurangan diidentifikasi dengan adanya
harapan sebagai pemecahan. Harapan – harapan tersebut berupa insentif yang akan
ia dapat jika melakukan tindakan tertentu. Insentif ini menjadi rangsangan atau
tujuan (goal) sehingga mendorong tindakan dan perilakunya sebagai seorang
wirausaha.
4. Pencapaian Tujuan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tujuan (goal) sangat penting untuk
pengambilan keputusan menjadi wirausaha. Tujuan ini berupa insentif yang diyakini
akan dinikmati jika seseorang melakukan kegiatan tertentu. Jenis – jenis insentif
yang diharapkan menjadi wirausaha, antara lain :
a. Insentif primer
Seseorang menjadi wirausaha karena dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
(pangan, sandang, papan). Insentif ini sangat mendasar karena merupakan
kebutuhan seseorang untuk bertahan hidup.
b. Insentif token ekonomi
Insentif ini paling dapat dilihat bentuknya; banyak orang menjadi wirausaha
karena dapat memperbaiki kesejahteraan hidupnya, atau dengan kata lain
menjadi kaya.
-
45
c. Insentif aktivitas
Ada sejumlah orang yang tidak suka bekerja pada orang lain karena merasa
terkekang. Dengan menjadi wirausaha, maka ia dapat bebas beraktivitas tanpa
perlu ada tekanan dari atasan.
d. Insentif sosial, status dan pengaruh
Jika seseorang berhasil menjadi wirausaha sukses, maka ia akan mendapat
perhatian dari lingkungan sekitarnya. Pemberian status dari masyarakat secara
langsung juga membuat ia memiliki pengaruh terhadap orang lain.
e. Insentif terpenuhinya standar internal
Pada orang – orang tertentu, memiliki kebutuhan berprestasi sangat cocok
dengan kriteria wirausaha. Mereka memiliki standar internal sendiri yang harus
dipuaskan dengan menjadi wirausaha, karena profesi lain tidak memuaskan
mereka.
Tahapan – tahapan di atas telah menggambarkan proses menjadi wirausaha, namun
faktor keadaan lingkungan dan budaya seseorang juga memiliki pengaruh besar dalam
mendorong seseorang menjadi wirausaha.
2.1.7 Level Entrepreneur
Menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.44-47), seorang businessman yang smart
haruslah tidak hanya “risk taker” namun juga “risk manager” bagi dirinya sendiri. Level dari
entrepreneur yaitu:
1. Level “zero” – unemployee
Di dalam Rich Dad Poor Dad karangan Robert T. Kiyosaki, level ini tidak dibahas
secara detail, tetapi orang – orang yang berada pada level ini juga merupakan
-
46
“entrepreneur”yang memilih risiko yang paling minimal (zero atau risk free) serta
manfaat yang juga “zero”, tetapi yang paling berisiko. Namun di dunia ini semuanya
berisiko. Hidup ini juga mempunyai risiko, yaitu kematian.
Usaha mereka yang terus – menerus seakan – akan buntu, dan mereka ingin
merangkak naik ke level 1 (employee), tetapi tidak kunjung bisa karena tidak ada
“selling points”. Strategi dan kiat yang sering mereka lakukan (mungkin) hanya
sekadar mencari kerja dan terus berusaha melamar saja, tetapi tidak ada strategi
untuk berubah, dan ini tidaklah cukup karena mereka tidak melakukan atau
mempunyai jiwa “entrepreneurship” atau “nol”. Mereka memilih untuk menjadi “Bos”
bagi diri mereka sendiri tanpa mengetahui kepada siapa mereka harus bertanggung
jawab. Skill entrepreneurship yang sangat diperlukan di level ini adalah “selling skill”
yaitu kemampuan untuk menjual diri (sell yourself).
Seharusnya mereka bertanggung jawab kepada dirinya sendiri (bosnya ialah
dirinya sendiri), bahwa mereka harus berubah dan terus mencari jalan keluar untuk
berubah dan mereka inilah yang kami sebut sebagai entrepreneurship level “zero”
(employee = owner)
2. Level 1 – Employee (Little Risk),
Semua pekerja dari buruh hingga profesional pasti mempunyai seorang pimpinan
(kepala) kepada siapa mereka harus mempertanggungjawabkan manfaat, risiko
(tuntutan dari atasan tersebut untuk memberikan kontribusi atau manfaat yang akan
diterima mereka).
Misalnya:
- Buruh kepada mandor
- Pekerja kepada atasan atau manajer
-
47
- Direktur kepada komisaris
- Manajer kepada direktur
Sedangkan bagi pengusaha, mereka juga harus bertanggung jawab kepada
seseorang, yaitu diri mereka sendiri. Inilah yang disebut dengan Business Owner
atau komisaris, dan pengusaha adalah juga direkturnya.
Seorang pekerja adalah juga sama dengan seorang entrepreneur. Hanya di sisi
ini, risiko yang besar ditanggung oleh pemilik perusahaan, begitu juga seluruh
kontribusi yang dihasilkannya. Seorang pekerja akan mendapatkan prosentase dari
kontribusinya. Sebaliknya risiko yang terjadi akibat kesalahan pekerja ditanggung
sepenuhnya oleh pemilik perusahaan.
Inilah yang disebut entrepreneurship level satu. Bila kita memperhatikan
entrepreneur level satu ini, yaitu employee, maka bila ia mempunyai visi jauh ke
depan, pasti ia akan meningkatkan level entrepreneur - nya ke level di atasnya,
yaitu “Self Employee” atau “Self Business”.
3. Level 2 – Self Business (Self Employee)
Pada level ini, ciri – ciri entrepreneur sejati sudah mulai muncul, yaitu bahwa ia
mempunyai visi yang tidak ingin diatur, ia tidak mudah puas diri dan ia adalah
seorang “High Achiever”.
Di dalam suatu organisasi perusahaan, seorang pekerja yang mempunyai
karakter entrepreneur selalu mempunyai sifat ingin jadi bos bagi dirinya sendiri dan
tidak mau diatur sehingga ia bisa keluar dari sistem karena faktor keahlian dan
pengalaman yang didukung oleh kesukaan akan sesuatu yang telah lama
dirindukannya. Berbeda dengan “Employee”, pada level ini “Self Business” ingin
menjadi bos bagi dirinya sendiri dan berani menanggung risiko atas dirinya sendiri.
-
48
Inilah yang dimaksud dengan entrepreneurship tahap dua (spin out from the
organization system).
4. Level 3 – Businessman (Business Owner)
Businessman pada level ini sedikit mempunyai jiwa “challanging” yang kuat,
sehingga dia ingin benar – benar menjadi bos dari sebuah tim atau sistem. Ia lebih
komplit dan mendekati “Perfect Organizational Leader” dari suatu unit usaha. Inilah
yang disebut entrepreneur level tiga.
5. Level 4 – Investor (Truly Speculative Businessman)
Mereka yang berada pada level ini sedikit berbeda dari businessman lainnya.
Pada level ini ada faktor kalkulasi yang spekulatif untuk menentukan bisnisnya, tetapi
penuh dengan perhitungan (profesional) atau menjurus ke gambling (gambler),
namun tidak ada organisasi yang dipertahankan atau dikelolanya secara langsung
dalam waktu yang lama. Istilahnya membisniskan sebuah bisnis.
Seorang investor hampir mirip dengan seorang “gambler”, hanya berbeda pada
alat yang digunakan dan apa yang dibeli olehnya. Level ini (investor) bisa dicapai
secara langsung oleh level – level yang lain tanpa melalui level 1, 2 dan 3.
Misal:
- Level Employee bisa langsung menjadi investor dengan cara membeli saham di
bursa saham atau investasi tanah, emas, properti dan lain – lain.
- Level Employee, Self Business atau Businessman bisa membeli perusahaan orang
lain, saham perusahaan, menanamkan modal, atau membeli franchise tanpa
melewati level – level sebelumnya secara langsung.
-
49
2.1.8 Usulan Alat Ukur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, p.1256), usulan berasal dari kata
dasar usul, yang dapat didefinisikan sebagai anjuran (pendapat, dan sebagainya) yang
dikemukakan untuk dipertimbangkan atau diterima. Sedangkan usulan diartikan sebagai
sesuatu yang diusulkan.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, p.28), alat ukur dapat
didefinisikan sebagai berikut : perkakas untuk mengukur (mencocokkan atau mengetahui
jarak, bobot, luas, panas, getaran, kecepatan, tegangan, tekanan, volume, dan sebagainya).
2.2 Uji Validitas dan Reliabilitas
2.2.1 Uji Validitas
Menurut Simamora (2004, pp.58-59), validitas merupakan suatu ukuran yang
menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dianggap
valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Dengan kata lain, mampu memperoleh
data yang tepat dari variabel yang diteliti. Misalnya, meteran dapat mengukur tinggi badan
dengan tepat (dalam hal ini tinggi badan adalah variabel penelitian).
Dalam menyusun kuesioner, pertanyaan yang ingin diajukan perlu dipastikan. Untuk
menentukannya, sebelumnya harus sudah jelas variabel apa yang diukur. Variabel masih bisa
dipecah menjadi subvariabel atau indikator. Apabila penyusunannya dilakukan sesuai
prosedur, sebenarnya kuesioner telah memenuhi validitas logis. Oleh karena itu validitas logis
sangat dipengaruhi oleh kemampuan peneliti dalam memahami masalah penelitian,
mengembangkan variabel penelitian, serta menyusun kuesioner.
Validitas logis belum memiliki bukti empiris. Sebuah kuesioner yang disusun secara
hati – hati dan dapat dipertimbangkan valid logis, ada baiknya diuji untuk mengetahui
validitas empirisnya.
-
50
Untuk menguji tingkat validitas empiris instrumen, peneliti dapat melakukan try – out
dengan memakai responden terbatas dahulu. Dari try – out ini, ada dua macam validitas
sesuai dengan cara pengujiannya, yaitu validitas eksternal dan validitas internal.
a. Validitas Eksternal
Validitas instrumen dapat dicapai apabila data yang dihasilkan dari instrumen
tersebut sesuai dengan data atau informasi lain mengenai variabel yang diteliti.
Menurut Umar (2005, p.185), validitas eksternal adalah validitas yang diperoleh
dengan cara mengkorelasikan alat pengukur baru dengan tolak ukur eksternal, yang
berupa alat ukur yang sudah valid.
b. Validitas Internal
Menurut Simamora (2004, pp.59-60), validitas internal dapat dicapai apabila
terdapat kesesuaian antara bagian – bagian kuesioner dengan kuesioner secara
keseluruhan. Dengan kata lain, apabila setiap bagian di dalam kuesioner mendukung
“misi” kuesioner secara keseluruhan, yaitu mengungkap variabel penelitian yang
telah ditentukan sebelumnya. Bagian kuesioner dapat berupa butir – butir
pertanyaan secara sendiri – sendiri, dapat pula berupa faktor, yaitu kumpulan
beberapa butir yang memiliki keterkaitan. Sehubungan dengan kenyataan ini, maka
dikenal adanya validitas butir dan validitas faktor.
Dalam penelitian ini akan digunakan uji validitas internal dengan menggunakan
teknik validitas butir. Teknik ini dilakukan dengan mengkorelasikan skor butir – butir
pertanyaan (sebagai variabel X) dengan skor total (sebagai variabel Y).
Menurut Masrun (1979) sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2005, p.124),
syarat suatu pertanyaan dianggap valid adalah bila korelasi antara butir dengan skor
total lebih dari 0,3. Jadi bila korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3
maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid.
-
51
2.2.2 Uji Reliabilitas
Menurut Umar (2005, p.194), reliabilitas adalah suatu angka indeks yang
menunjukkan suatu konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur suatu gejala yang
sama. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil
pengukuran yang konsisten.
Menurut Simamora (2004, pp.63-69) reliabilitas adalah tingkat keandalan kuesioner.
Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila dicobakan secara berulang – ulang
kepada kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama. Asumsinya, tidak terdapat
perubahan psikologis pada responden. Ada dua jenis reliabilitas, yaitu reliabilitas eksternal
dan reliabilitas internal.
a. Reliabilitas Eksternal
Secara garis besar, reliabilitas eksternal adalah reliabilitas yang diperoleh dengan
membandingkan hasil dua kelompok data. Ada dua jenis cara untuk menguji
reliabilitas eksternal, yaitu teknik paralel dan teknik ulang.
b. Reliabilitas Internal
Reliabilitas internal diperoleh dengan menganalisis data yang berasal dari satu
kali pengujian kuesioner. Adapun teknik reliabilitas internal yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik Alpha.
Menurut Simamora (2004, pp.77-78), teknik reliabilitas dengan menggunakan
teknik Alpha digunakan untuk mengukur reliabilitas kuesioner dengan kategorisasi
jawaban selain 0 dan 1. Misalnya dari 1 sampai 5, 1 sampai 7, - 3 sampai 3, dan
seterusnya.
Teknik Alpha dilakukan dengan menghitung varians tiap butir pertanyaan dan
varians total dari pertanyaan – pertanyaan. Selanjutnya varians butir dan varians
total tersebut dimasukkan ke dalam rumus Alpha :
-
52
r11 = ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
−∑
2
2
11 t
b
kk
σσ
Keterangan :
r11 = reliabilitas kuesioner
k = banyaknya butir pertanyaan
∑ 2bσ = jumlah varians butir 2tσ = varians total
Langkah berikutnya adalah membandingkan angka tersebut dengan r product
moment (r tabel).
Dasar pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut :
- Bila rhasil (r11) > r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan reliabel.
- Bila rhasil (r11) < r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan tidak reliabel.
2.3 Uji Cochran Q Test
Dalam metode ini, diberikan pertanyaan tertutup kepada responden, yaitu
pertanyaan yang pilihan jawabannya sudah disediakan. Dengan kata lain, daftar atribut
sudah tersedia. Responden tinggal memilih atribut mana yang berkait dengan produk. Untuk
itu, daftar atribut yang diuji harus lengkap. Jadi sebaiknya terlebih dahulu dilakukan riset
pendahuluan (plemininary research) untuk menyusun daftar pilihan atribut selengkap
mungkin. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyusun daftar pertanyaan yang pilihan
jawabannya YA dan TIDAK (Simamora, 2004, pp.80-81).
1. Uji hipotesis
Hipotesis yang diuji yaitu:
H0 : Semua faktor yang akan diuji memiliki proporsi jawaban “YA” yang sama.
-
53
Ha : Semua faktor yang akan diuji memiliki proporsi jawaban “YA” yang
berbeda.
2. Mencari Q hitung dengan rumus:
Q hitung =
∑−∑
∑ ∑−− ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
n
iR
n
iRk
k
j
k
jCCk 1)(k
2ii
2
j2j
Di mana :
k = jumlah variabel
n = jumlah reponden (pengamatan)
Cj = total respon pada j variabel (kolom)
Ri = total respon pada i pengamatan (baris)
Perhitungan dengan Q hitung dengan bantuan komputer juga dapat dilakukan dengan
bantuan perangkat lunak SPSS versi 12 melalui menu Analyze – Non Parametric Test
– K Related Samples.
3. Penentuan Q tabel :
Dengan α = 0,05, derajat kebebasan atau degree of freedom (df) = k - 1, maka
diperoleh Q tab (0,05 ,df) dari tabel Chi Square Distribution.
4. Dasar Pengambilan Keputusan:
• Q hitung > Q tabel maka H0 ditolak.
• Q hitung < Q tabel maka H0 diterima.
-
54
5. Kesimpulan:
• Jika menolak H0, berarti proporsi jawaban ”YA” masih berbeda pada semua
atribut. Artinya belum ada kesepakatan diantara para responden tentang atribut
sebagai faktor yang dipertimbangkan.
• Jika menerima H0, berarti proporsi jawaban ”YA” pada semua atribut dianggap
sama. Dengan demikian, semua responden dianggap sepakat mengenai semua
atribut sebagai faktor yang dipertimbangkan.
2.4 Kerangka Pemikiran
Wirausaha, menurut Frinces (2004, p.11) adalah mereka yang selalu bekerja keras
dan kreatif untuk mencari peluang bisnis, mendayagunakan peluang yang diperoleh, dan
kemudian merekayasa penciptaan alternatif sebagai peluang bisnis baru dengan faktor
keunggulan.
Wirausaha (entrepreneur), menurut Hisrich (2005, p.8) adalah individual who takes
risks and starts something new, yaitu seorang pribadi yang berani untuk mengambil risiko
dan memulai sesuatu yang baru. Sedangkan kewirausahaan (entrepreneurship) didefinisikan
sebagai process of creating something new and assuming the risk and rewards, yaitu
merujuk pada suatu proses penciptaan sesuatu yang baru dan mengambil risiko dan hasil
upah.
Menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, p.xviii), setiap orang pada dasarnya
memiliki kecerdasan berwirausaha meski pada tingkat yang berbeda-beda.
Universitas Bina Nusantara merupakan lembaga pendidikan yang mencoba untuk
mengembangkan jiwa wirausaha yang ada dikalangan mahasiswanya. Hal ini antara lain
dapat dilihat dengan adanya mata kuliah Entrepreneurship (J0692) yang diberikan
sebagai mata kuliah wajib di setiap jurusan dan adanya pilihan Peminatan Kewirausahaan
-
55
(Entrepreneurship) dalam Jurusan Manajemen disamping pilihan peminatan lainnya, yaitu
Pemasaran Internasional (International Marketing) dan E - Business.
Untuk menajamkan peminatan yang ada dan mengembangkan jiwa wirausaha
mahasiswa dalam Peminatan Kewirausahaan, Jurusan Manajemen lebih banyak berfokus
pada sisi pembelajaran, diantaranya dengan memberikan pembekalan berupa mata kuliah –
mata kuliah khusus Peminatan Kewirausahaan yang membedakan Peminatan Kewirausahaan
dengan peminatan – peminatan lainnya. Di samping itu, selama ini, Jurusan Manajemen juga
tidak menetapkan sistem seleksi apapun untuk membantu proses pemilihan peminatan yang
ada.
Diharapkan melalui model pembelajaran yang dilakukan, baik melalui mata kuliah -
mata kuliah peminatan, sistem pembelajaran, dosen maupun faktor dukungan lain yang
diberikan, dapat membantu para mahasiswa untuk membentuk dan mengembangkan jiwa
wirausaha sehingga mereka dapat mempraktekkan jiwa wirausaha mereka nantinya, terlebih
saat mereka lulus nanti. Bila ada perbedaan antara harapan dan kenyataan yang dialami oleh
para mahasiswa Peminatan Kewirausahaan, baik dari faktor sikap wirausaha yang diharapkan
terbentuk, mata kuliah, sistem pembelajaran, dosen, dan faktor dukungan lain, maka hal ini
akan menimbulkan gap (kesenjangan).
Untuk itu, perlu didefinisikan kembali deskripsi jiwa wirausaha yang bagaimanakah
yang ingin dibentuk oleh Jurusan Manajemen terhadap para mahasiswanya, serta perlu
dilakukan analisa terhadap jiwa wirausaha mahasiswa Peminatan Kewirausahaan Jurusan
Manajemen. Selanjutnya dengan mempertimbangkan analisa – analisa tersebut, dapat
disusun suatu usulan alat ukur jiwa wirausaha, di mana nantinya usulan alat ukur jiwa
wirausaha ini dapat digunakan untuk membantu sistem seleksi dalam Peminatan
Kewirausahaan, untuk mengembangkan jiwa wirausaha, khususnya di dalam Jurusan
Manajemen.
-
56
Sumber : Penulis
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Jiwa Wirausaha
(Yang ingin dibentuk dan dikembangkan)
Sistem seleksi
Mahasiswa Peminatan
Kewirausahaan
Mahasiswa Jurusan
Manajemen
Peminatan
Kewirausahaan
Usulan Alat Ukur
Jiwa Wirausaha
(dikembangkan dari
studi literatur)
Pengukuran dan Hasil Ukur
Gap
Analysis