bab 2 landasan teori dan kerangka...

49
8 BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kewirausahaan dan Wirausaha Istilah kewirausahaan merupakan padanan kata dari entrepreneurship dalam bahasa Inggris. Kata entrepreneurship sendiri sebenarnya berawal dari bahasa Perancis, yaitu entreprende” yang mengandung arti petualang, pencipta dana pengelola usaha (Lupiyoadi, 2004, p.1). Wirausaha, menurut Frinces (2004, p.11) adalah mereka yang selalu bekerja keras dan kreatif untuk mencari peluang bisnis, mendayagunakan peluang yang diperoleh, dan kemudian merekayasa penciptaan alternatif sebagai peluang bisnis baru dengan faktor keunggulan. Kewirausahaan (entrepreneurship) menurut Hisrich (2005, pp.8-9), yaitu process of creating something new and assuming the risk and rewards, yaitu merujuk pada suatu proses penciptaan sesuatu yang baru dan mengambil risiko dan hasil upah. Sedangkan wirausaha (entrepreneur), adalah individual who takes risks and starts something new, yaitu seorang pribadi yang berani untuk mengambil risiko dan memulai sesuatu yang baru. Definisi ini menekankan empat aspek dasar; aspek yang pertama, kewirausahaan melibatkan proses penciptaan, yaitu menciptakan suatu nilai yang baru. Penciptaan harus memiliki nilai, baik bagi wirausaha maupun bagi pihak – pihak lain yang baginya nilai tersebut diciptakan. Pihak - pihak tersebut misalnya (1) pasar dari pembeli pihak perusahaan yang melakukan inovasi bisnis, (2) pihak administrasi rumah sakit yang menggunakan prosedur dan program perangkat lunak yang baru, (3) para mahasiswa yang

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8

    BAB 2

    LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

    2.1 Landasan Teori

    2.1.1 Pengertian Kewirausahaan dan Wirausaha

    Istilah kewirausahaan merupakan padanan kata dari entrepreneurship dalam bahasa

    Inggris. Kata entrepreneurship sendiri sebenarnya berawal dari bahasa Perancis, yaitu

    “entreprende” yang mengandung arti petualang, pencipta dana pengelola usaha (Lupiyoadi,

    2004, p.1).

    Wirausaha, menurut Frinces (2004, p.11) adalah mereka yang selalu bekerja keras

    dan kreatif untuk mencari peluang bisnis, mendayagunakan peluang yang diperoleh, dan

    kemudian merekayasa penciptaan alternatif sebagai peluang bisnis baru dengan faktor

    keunggulan.

    Kewirausahaan (entrepreneurship) menurut Hisrich (2005, pp.8-9), yaitu process of

    creating something new and assuming the risk and rewards, yaitu merujuk pada suatu

    proses penciptaan sesuatu yang baru dan mengambil risiko dan hasil upah. Sedangkan

    wirausaha (entrepreneur), adalah individual who takes risks and starts something new, yaitu

    seorang pribadi yang berani untuk mengambil risiko dan memulai sesuatu yang baru.

    Definisi ini menekankan empat aspek dasar; aspek yang pertama,

    kewirausahaan melibatkan proses penciptaan, yaitu menciptakan suatu nilai yang

    baru. Penciptaan harus memiliki nilai, baik bagi wirausaha maupun bagi pihak – pihak lain

    yang baginya nilai tersebut diciptakan. Pihak - pihak tersebut misalnya (1) pasar dari pembeli

    pihak perusahaan yang melakukan inovasi bisnis, (2) pihak administrasi rumah sakit yang

    menggunakan prosedur dan program perangkat lunak yang baru, (3) para mahasiswa yang

  • 9

    mempelajari studi mengenai kewirausahaan, atau (4) pelanggan jasa yang baru yang

    diberikan oleh organisasi nonprofit. Yang kedua, kewirausahaan menuntut

    pengorbanan waktu dan usaha, karena untuk menciptakan sesuatu yang baru dan

    menerapkannya, diperlukan sejumlah waktu dan usaha. Aspek yang ketiga adalah dapat

    mengasumsikan risiko. Risiko ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada

    bidang usaha yang ditekuni, tetapi risiko ini terutama terkait dengan masalah finansial,

    psikologi dan sosial. Aspek keempat melibatkan penghargaan (reward) dalam

    menjadi seorang wirausaha. Penghargaan yang paling utama dalam hal ini adalah

    adanya kemandirian, kebebasan (independence), yang diikuti dengan kepuasan pribadi

    (personal satisfaction). Uang juga dapat diperhitungkan sebagai penghargaan, di mana

    terkadang uang juga dapat dijadikan indikator kesuksesan seorang wirausaha.

    Sedangkan menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, p.xv), kewirausahaan

    (entrepreneurship) dapat diartikan melalui 3 kata berikut: destiny, courage, action. Ketiga

    kata tersebut merupakan kata-kata yang penting dalam membangun sikap dan perilaku

    wirausaha dalam diri seseorang. Destiny berarti takdir, yang sebenarnya lebih merupakan

    tujuan hidup kita, bukan nasib. Tujuan dan misi hidup kita adalah fondasi awal untuk

    menjadi seorang wirausaha yang sukses. Dengan memiliki tujuan hidup (life purpose) yang

    jelas, kita dapat memiliki semangat (spirit) dan sikap mental (attitude) yang diperlukan

    dalam membangun sebuah usaha yang dapat memberi nilai tambah dalam kehidupan kita.

    Keberanian (courage) untuk memulai dan menghadapi tantangan adalah sikap awal yang

    kita perlukan. Dalam kewirausahaan, keberanian untuk mulai dan mengambil risiko adalah

    syarat mutlak. Impian dan cita-cita yang besar, kemudian ditambah dengan kreativitas yang

    diwujudkan dengan keberanian untuk mencoba dan melakukan (action) langkah pertama

    adalah awal kesuksesan seorang wirausaha sejati.

  • 10

    Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.3), wirausaha adalah orang yang

    menciptakan bisnis baru dengan mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai

    keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan

    sumber daya yang diperlukan untuk mendirikannya.

    2.1.2 Peran Pendidikan dalam Proses Pembentukan Wirausaha

    Menurut Lupiyoadi (2004, p.33), meskipun seorang wirausaha belajar dari

    lingkungannya dalam memahami dunia wirausaha, namun ada pendapat yang mengatakan

    bahwa seorang wirausaha lebih memiliki streetsmart daripada booksmart, maksudnya adalah

    seorang wirausaha lebih mengutamakan untuk belajar dari pengalaman (streetsmart)

    dibandingkan dengan belajar dari buku dan pendidikan formal (booksmart).

    Pandangan di atas disanggah oleh Churchill (1987) sebagaimana dikutip oleh

    Lupiyoadi (2004, p.33), dengan pandangan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat

    penting bagi keberhasilan wirausaha. Bahkan ia mengatakan bahwa bahwa kegagalan

    pertama dari seorang wirausaha adalah karena dia lebih mengandalkan pengalaman

    daripada pendidikan. Oleh karena itu perpaduan antara pendidikan dan pengalaman adalah

    faktor utama yang menentukan keberhasilan wirausaha.

    Menurut Eels (1984) dan Mas’oed (1994) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004,

    p.34), dibandingkan dengan tenaga lain, tenaga terdidik S1 memiliki potensi lebih besar

    untuk menjadi seorang wirausaha karena memiliki kemampuan penalaran yang telah

    berkembang dan wawasan berpikir yang lebih luas. Seorang sarjana juga memiliki dua peran

    pokok, pertama sebagai manajer dan sebagai pencetus gagasan. Peran pertama berupa

    tindakan untuk menyelesaikan masalah, sehingga pengetahuan manajemen dan keteknikan

    yang memadai mutlak diperlukan. Peran kedua menekankan pada perlunya kemampuan

  • 11

    merangkai alternatif - alternatif. Dalam hal ini bekal yang diperlukan berupa pengetahuan

    keilmuan yang lengkap.

    Sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, pp.20-22), McGrath dan MacMillan

    (2000) menegaskan betapa pentingnya persoalan pola pikir kewirausahaan (entrepreneurial

    mindset). Setidaknya ada tiga keunggulan; pertama, kesuksesan wirausaha disebabkan

    orientasi pada tindakan (action-oriented) yang berada dalam kerangka berpikir wirausaha di

    mana ide – ide yang timbul dapat segera diterapkan walaupun berada dalam situasi yang

    tidak menentu. Kedua, konsep ini mudah diterapkan sehingga mampu menumbuhkan

    kepercayaan diri. Ketiga, konsep ini dimaksudkan untuk tumbuh bersama diawali dari yang

    sederhana seiring peningkatan petualangan seseorang.

    Lebih jauh lagi, pada umumnya wirausaha memiliki lima karakteristik pola pikir

    (mindset), yaitu:

    • Mereka sangat bersemangat dalam melihat atau mencari peluang-peluang

    baru dengan tetap waspada, selalu mengambil kesempatan untuk mendapat

    keuntungan dari perubahan dan hambatan dari jalannya bisnis. Mereka akan

    memiliki pengaruh yang amat besar ketika mereka menciptakan keseluruhan model

    bisnis yang baru dari cara memperoleh penghasilan, membuat pembiayaan,

    menjalankan operasional, dan keseluruhan kegiatan industri.

    • Mereka mengejar peluang dengan disiplin yang ketat. Umumnya wirausaha

    tidak hanya bersiap untuk peluang yang kecil, namun mereka langsung mengambil

    tindakan terhadap peluang-peluang yang belum tergali. Mereka sering mengkaji

    ulang koleksi ide - ide mereka, tetapi mereka merealisasikannya hanya ketika hal itu

    diperlukan. Mereka melakukan investasi hanya jika arena suatu kompetisi menarik

    mereka dan peluang yang ada sudah matang.

  • 12

    • Mereka hanya mengejar peluang yang sangat baik dan menghindari

    mengejar peluang lain yang melelahkan diri dan organisasi mereka.

    Walaupun kebanyakan wirausaha adalah orang-orang berada, untuk meraih

    kesuksesan besar tetap dituntut kedisiplinan dalam membatasi jumlah proyek yang

    hendak mereka raih. Mereka tetap mengikuti portofolio dari peluang dengan kendali

    yang amat ketat dalam berbagai tahap pengembangan. Mereka cenderung mengikat

    kuat strategi mereka dengan proyek yang telah mereka pilih dibandingkan

    melonggarkan usaha mereka terlalu melebar.

    • Mereka fokus pada pelaksanaan, khususnya yang bersifat adaptif. Orang dengan

    kerangka berpikir wirausaha akan memilih melaksanakan apa yang telah mereka

    tetapkan daripada menganalisis ide baru yang menghancurkan. Adaptasi yang

    mereka lakukan dengan mengubah arah kerja sesuai dengan peluang yang nyata

    dan mengambil langkah terbaik untuk merealisasikannya.

    • Mereka mengikutsertakan energi setiap orang yang berada dalam

    jangkauan mereka. Kebiasaan wirausaha diantaranya adalah melibatkan banyak

    orang baik dari dalam maupun luar organisasi untuk mewujudkan peluang mereka.

    Mereka memilih membuat dan menyebarkan jaringan kerja daripada

    mengerjakannya sendiri. Mereka memberdayakan berbagai potensi intelektual dan

    sumber daya manusia untuk membantu mereka meraih tujuan sebaik mungkin.

    2.1.3 Profil, Karakteristik, Jiwa Wirausaha

    Gambaran atau pengertian tentang jiwa wirausaha, dapat diperoleh dengan melihat

    uraian ciri – ciri, profil, karakteristik khusus yang melekat pada diri wirausaha, yaitu :

    Menurut Suparman (Alma, 2001, p.17), ciri – ciri seorang wirausaha antara lain yaitu

    sebagai berikut:

  • 13

    • Berpikir teliti dan berpandangan kreatif dengan imajinasi konstruktif,

    • Memiliki sikap mental untuk menyerap dan menciptakan kesempatan,

    • Membiasakan diri bersikap mental positif untuk maju dan selalu bergairah dalam

    setiap pekerjaan,

    • Mempunyai insiatif,

    • Membiasakan membangun disiplin diri,

    • Menguasai salesmanship (kemampuan jual), memiliki kepemimpinan dan mampu

    memperhitungkan risiko,

    • Ulet, tekun, terarah, jujur dan bertanggung jawab,

    • Berwatak maju, cerdik dan percaya pada diri sendiri.

    Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.3-7), profil seorang wirausaha dapat

    digambarkan sebagai berikut:

    • Menyukai tanggung jawab

    Wirausaha merasa bertanggung jawab secara pribadi atas hasil perusahaan

    tempat mereka terlibat. Mereka lebih menyukai dapat mengendalikan sumber –

    sumber daya mereka sendiri dan menggunakan sumber – sumber daya tersebut

    untuk mencapai cita – cita yang telah ditetapkan sendiri.

    • Lebih menyukai risiko menengah

    Wirausaha bukanlah seorang pengambil risiko liar, melainkan seseorang yang

    mengambil risiko yang diperhitungkan. Wirausaha melihat suatu bisnis dengan

    tingkat pemahaman risiko pribadinya. Cita – cita mungkin tampak tinggi - bahkan

    mungkin mustahil tercapai - menurut orang lain, tetapi wirausaha melihat situasi itu

    dari sudut pandang yang berbeda dan percaya bahwa sasaran mereka masuk akal

    dan dapat tercapai. Mereka biasanya melihat peluang di daerah yang sesuai dengan

  • 14

    pengetahuan, latar belakang, dan pengalamannya yang akan meningkatkan

    kemungkinan keberhasilannya.

    Paul Hawken, mitra pendiri Smith & Hawken, sebuah perusahaan yang bergerak

    dalam penjualan alat taman lewat pos menjelaskan demikian:

    ” Wirausaha yang baik adalah penghindar risiko bukan pengambil risiko. Mereka

    terlihat sebagai pengambil risiko karena mereka melihat pasar dengan cara yang

    berbeda dengan cara kita melihat; mereka melihat produk atau jasa yang sesuai

    dengan perubahan kebudayaan. Segera setelah mereka menciptakannya, mereka

    secara sistematis menghilangkan semua faktor risiko dan akan terlindung di risiko

    sewaktu masuk ke pasar. Mereka menjadi penghapus risiko.”

    • Keyakinan atas kemampuan mereka untuk berhasil

    Wirausaha umumnya memiliki banyak keyakinan atas kemampuan mereka untuk

    berhasil. Mereka cenderung optimis terhadap peluang keberhasilan dan optimisme

    mereka biasanya berdasarkan kenyataan. Salah satu penelitian dari National

    Federation of Independent Business (NFIB) menyatakan bahwa sepertiga dari

    wirausaha menilai peluang berhasil mereka 100%. Tingkat optimisme yang tinggi

    kiranya dapat menjelaskan mengapa kebanyakan wirausaha yang berhasil pernah

    gagal dalam bisnis – kadang – kadang lebih dari sekali – sebelum akhirnya berhasil.

    • Hasrat untuk mendapatkan umpan balik langsung

    Wirausaha ingin mengetahui sebaik apa mereka bekerja dan terus - menerus

    mencari pengukuhan. Tricia Fox, pendiri Fox Day School, Inc., menyatakan, “Saya

    senang menjadi seorang yang bebas dan berhasil. Tidak ada umpan balik yang

    sebaik bisnis milik Anda sendiri.”

  • 15

    • Tingkat energi yang tinggi

    Wirausaha lebih enerjik dibandingkan orang kebanyakan. Energi ini merupakan

    faktor penentu mengingat luar biasanya usaha yang diperlukan untuk mendirikan

    suatu perusahaan. Kerja keras dalam waktu yang lama merupakan sesuatu yang

    biasa.

    • Orientasi ke depan

    Wirausaha memiliki indera yang kuat dalam mencari peluang. Mereka melihat ke

    depan dan tidak begitu mempersoalkan apa yang telah dikerjakan kemarin,

    melainkan lebih mempersoalkan apa yang akan dikerjakan esok. Bila manajer

    tradisional memperhatikan pengelolaan sumber daya yang ada, wirausaha lebih

    tertarik mencari dan memanfaatkan peluang.

    • Keterampilan mengorganisasi

    Membangun sebuah perusahaan “dari nol” dapat dibayangkan seperti

    menghubungkan potong – potongan sebuah gambar besar. Para wirausaha

    mengetahui cara mengumpulkan orang – orang yang tepat untuk menyelesaikan

    suatu tugas. Penggabungan orang dan pekerjaan secara efektif memungkinkan para

    wirausaha untuk mengubah pandangan ke depan menjadi kenyataan.

    • Menilai prestasi lebih tinggi dari uang

    Salah satu kesalahmengertian yang paling umum mengenai wirausaha adalah

    anggapan bahwa mereka sepenuhnya terdorong oleh keinginan menghasilkan uang.

    Sebaliknya, prestasi tampak sebagai motivasi utama para wirausaha; uang hanyalah

    cara untuk “menghitung skor” pencapaian sasaran atau simbol prestasi. Seorang

    peneliti bisnis mengatakan, “Yang membuat wirausaha bergerak maju lebih

    kompleks - dan lebih luhur – dari sekedar uang. Kewirausahaan lebih mengenai

  • 16

    menjalankan sendiri apa yang diinginkan. Tentang sesuatu yang tampaknya tidak

    mungkin.”

    Sedangkan kompetensi - kompetensi yang merupakan karakteristik dari wirausaha

    yang berhasil yaitu:

    o Proaktif:

    1. Inisiatif, yaitu: melakukan sesuatu sebelum diminta atau terdesak oleh

    keadaan.

    2. Asertif, yaitu: menghadapi masalah secara langsung dengan orang lain.

    Meminta orang lain mengerjakan apa yang harus mereka lakukan.

    o Berorientasi prestasi :

    1. Melihat dan bertindak berdasarkan peluang, yaitu: menangkap peluang

    khusus untuk memulai bisnis baru, mencari bantuan keuangan, lahan ruang

    kerja dan bimbingan.

    2. Orientasi efisiensi, yaitu: mencari dan menemukan cara untuk mengerjakan

    sesuatu dengan lebih cepat atau dengan lebih sedikit biaya.

    3. Perhatian pada pekerjaan dengan mutu tinggi, yaitu: keinginan untuk

    menghasilkan atau menjual produk atau jasa dengan mutu tinggi.

    4. Perencanaan yang sistematis, yaitu: menguraikan pekerjaan yang besar

    menjadi tugas-tugas atau sasaran-sasaran kecil, mengantisipasi hambatan,

    menilai alternatif.

    5. Pemantauan, yaitu: mengembangkan atau menggunakan prosedur untuk

    memastikan bahwa pekerjaan dapat diselesaikan atau sesuai dengan standar

    mutu yang ditetapkan.

  • 17

    o Komitmen pada orang lain:

    1. Komitmen terhadap pekerjaan, yaitu: melakukan pengorbanan pribadi

    atau bisnis yang luar biasa untuk menyelesaikan pekerjaan, menyingsingkan

    lengan baju bersama karyawan dan bekerja di tempat karyawan untuk

    menyelesaikan pekerjaan.

    2. Menyadari pentingnya dasar - dasar hubungan bisnis, yaitu:

    melakukan tindakan agar tetap dekat dengan pelanggan, memandang hubungan

    pribadi sebagai sumber daya bisnis, menempatkan jasa baik jangka panjang di

    atas keuntungan jangka pendek.

    Sedangkan karakter lain yang sering tampak pada wirausaha, antara lain sebagai

    berikut yaitu :

    • Komitmen yang tinggi.

    Meluncurkan sebuah perusahaan agar berhasil membutuhkan komitmen penuh

    dari wirausaha. Pendiri bisnis sering membenamkan diri sepenuhnya dalam bisnis

    mereka. Seorang pakar mengemukakan “Wirausaha pada umumnya harus melewati

    rintangan yang mengecilkan hati pada tahap – tahap awal.” Ini memerlukan

    komitmen. “Saya menyamakan komitmen dengan kemampuan bertahan.” kata

    seorang konsultan.

    • Toleransi terhadap keraguan

    Wirausaha cenderung memiliki toleransi tinggi terhadap keraguan, situasi yang

    selalu berubah, lingkungan tempat kebanyakan dari mereka bekerja. Kemampuan

    untuk menangani ketidakpastian sangat penting sebab pendiri bisnis akan terus -

    menerus diharuskan mengambil keputusan dengan menggunakan informasi baru

  • 18

    yang kadang – kadang bertentangan dengan yang diperoleh dari berbagai sumber

    yang tidak lazim.

    • Fleksibilitas

    Salah satu ciri khas wirausaha sejati adalah kemampuan mereka untuk

    menyesuaikan diri dengan perubahan permintaan pelanggan dan bisnisnya. Dalam

    ekonomi dunia yang berubah dengan cepat ini, kekakuan sering mengakibatkan

    kegagalan. Dengan berubahnya masyarakat kita, orang – orangnya dan seleranya,

    para wirausaha juga harus bersedia menyesuaikan bisnisnya untuk memenuhi

    perubahan – perubahan ini.

    • Keuletan

    Hambatan, rintangan, dan kekalahan, umumnya tidak menghalangi para

    wirausaha, yang secara keras kepala menggapai tujuan mereka. “Wirausaha adalah

    orang yang menikmati permainan bisnisnya dan tidak pernah menyerah – tidak

    peduli seberapa berat keadaan,“ tutur seorang peneliti.

    Sedangkan menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.54-55), yang membedakan

    seorang entrepreneur dengan orang biasa atau orang lain adalah bahwa seorang

    entrepreneur ialah seorang yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:

    1. Pandai mengelola ketakutannya

    Seorang smart and good entrepreneur pandai mengelola ketakutannya untuk

    membangkitkan keberanian dan kepercayaan dirinya dalam menghadapi suatu risiko

    (Risk Manager, bukan Risk Taker).

    2. Mempunyai “iris mata” yang berbeda dengan yang lain

    Iris mata adalah cara seseorang memandang sesuatu (masalah, kesulitan,

    perubahan, diri sendiri, lingkungan, tren dan kejadian) untuk memunculkan

  • 19

    kreativitasnya agar tercipta ide - ide, gagasan, konsep dan impiannya, lalu mencoba

    untuk meningkatkan nilai (added value). Jadi, seorang yang mempunyai jiwa

    entrepreneur yang kuat itu mempunyai pola pandang akan sesuatu yang berbeda

    dengan orang lain.

    3. Pemasar sejati atau penjual yang ulung

    Skill akan mempermudah dalam membangun bisnis, mengakselerasi kecepatan

    pertumbuhan bisnis, dan mengurangi ketergantungan modal yang besar.

    4. Melawan arus dan menyukai tantangan baru

    Seorang smart and good entrepreneur cenderung tidak suka mengikuti arus

    tengah, orang atau terperangkap di dalam kehidupan yang monoton (sempurna).

    Dia selalu tidak bisa diam, berpikir dan terus berpikir. Dia adalah seorang “creative

    and smart worker”.

    5. High determination (mempunyai keteguhan hati yang tinggi)

    Perbedaan seorang entrepreneur sejati dengan entrepreneur yang biasa-biasa

    saja adalah dalam hal durability, firm, dan determination. Keteguhan hati membuat

    orang berbeda di dalam memandang suatu kegagalan. Kegagalan adalah persepsi

    orang yang merasa buntu dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan cenderung

    tidak ingin berusaha untuk mencari jalan keluar atau pemecahannya. Kegagalan

    bukanlah ujung dari perjalanan.

    Sebetulnya orang-orang tersebut tidak akan gagal, tetapi:

    Kehilangan langkah selanjutnya.

    Bahwa itu bukanlah jalan yang harus kita lakukan atau ambil – cobalah

    mundur dan melihat dari sisi lain (dari atas, sebagai penonton, atau dari

    samping) sehingga kita akan menemukan jalan lain yang menolong kita

    untuk berubah lebih baik lagi.

  • 20

    Bahwa persiapan kita untuk mengantisipasi risiko tidak sebanding dengan

    yang terjadi (tidak “proaktif”).

    Itu adalah rintangan. Apa yang kita anggap sebagai sebuah kegagalan

    adalah sebuah rintangan. Kita diberi sinyal bahwa hal itu bukanlah jalan

    yang baik bagi kita.

    Kita kehabisan “napas”, dalam arti bingung atau kekurangan modal.

    6. Tidak menerima apa yang ada di depannya dan selalu mencari yang

    terbaik (perfectionist)

    Seorang smart and good entrepreneur diharapkan mampu memberikan apa yang

    lebih baik lagi pada pelanggan. Seorang yang perfeksionis itu seperti pisau bermata

    dua. Yang pertama ialah bahwa ia berdampak untuk berusaha mencapai yang

    terbaik dan memberikan yang terbaik. Dan yang kedua, ia berdampak buruk bagi

    dirinya sendiri bila ia tidak mampu menanggung senjata kesempurnaan dirinya dan

    pikirannya sehingga berakibat fatal, seperti frustasi dan putus asa karena idealisme

    yang mengubur impiannya. Wirausaha yang baik harus mengubah hal itu menjadi

    kekuatannya.

    Selain itu, menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.56), ada beberapa ciri yang

    biasanya ada dalam diri seorang entrepreneur yang telah sukses, yaitu:

    • Mempunyai impian - impian realistis dan tinggi dan mampu diubah menjadi cita –

    cita yang harus ia capai. Hidupnya ingin berubah karena kekuatan emosionalnya

    yang tinggi dan keyakinannya yang kuat, sehingga impian itu bisa terwujud (power

    of dream).

    • Mempunyai empat karakter dasar kekuatan emosional yang saling mendukung

    untuk sukses :

  • 21

    Sumber : Hendro dan Widhianto (2006, p56)

    Gambar 2.1 Karakter Dasar Kekuatan Emosional Wirausaha Sukses

    • Menyukai tantangan dan tidak pernah puas dengan apa yang didapat (High

    Achiever)

    • Mempunyai ambisi dan motivasi yang kuat (motivator)

    • Memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuannya bahwa dia bisa (power of

    mind)

    • Seorang yang visioner dan mempunyai daya kreativitas tinggi

    • Risk manager, not just a risk taker.

    • Memiliki strong emotional attachment (kekuatan emosional)

    • Seorang problem solver

    • Mampu menjual dan memasarkan produknya (seller)

    • Ia mudah bosan dan sulit diatur

    • Seorang kreator ulung.

    Determinasi – keteguhan hati

    Persistence

    Keberanian

    Struggle Risk Manager

    (Akan visinya)

    (Mampu menaklukan rasa

    ketakutannya)

    (Pantang

    menyerah)

    (Ulet dan mudah

    bangkit dari

    keterpurukan) (Emotional

    Quotient)

  • 22

    Sedangkan menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, pp.15-19), seorang wirausaha

    sejati memiliki sikap fokus dan sikap disiplin dalam berwirausaha.

    Ada beberapa alasan mengapa seorang wirausaha harus fokus, yaitu sebagai

    berikut:

    - Pertama, dengan fokus seorang wirausaha dapat melihat dengan lebih jelas dan

    tujuan atau sasaran yang hendak dicapainya.

    - Kedua, dengan lebih fokus, seorang wirausaha dapat melihat peluang – peluang

    yang ada di sekitarnya. Bila kita mempunyai impian dan sasaran – sasaran dalam

    membangun bisnis kita dan fokus terhadap impian itu, akan muncul banyak peluang

    yang dapat kita lihat. Apa yang menjadi fokus, itulah yang akan selalu terlihat.

    - Ketiga, dengan fokus, persepsi terhadap masalah, kegagalan yang dihadapi dalam

    membangun bisnis akan berubah. Jika kita fokus pada impian atau tujuan akhir kita,

    maka persepsi kita terhadap hal – hal tersebut akan menjadi positif.

    - Keempat, fokus memberi kita energi untuk bergerak lebih tinggi.

    - Kelima, fokus dapat meningkatkan daya juang terhadap kegagalan dan kesulitan

    dalam membangun bisnis.

    Di sisi lain, keunggulan seorang entrepreneur sejati terletak dari kedisiplinannya

    untuk terus – menerus membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat senantiasa

    memperbaiki dan mengembangkan bisnisnya, baik itu kebiasaan untuk melakukan

    inovasi terus – menerus, kebiasaan untuk mengakumulasi aset, kebiasaan untuk memberikan

    pelayanan yang terbaik pada pelanggan, kebiasaan untuk terus belajar dan mengembangkan

    diri dan sebagainya.

    Menurut John Maxwell dalam bukunya “Developing the Leader within You”

    sebagaimana dikutip oleh Prijosaksono dan Bawono (2005, pp.23-24), disiplin didefinisikan

    sebagai suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan

  • 23

    melakukan apa yang tidak kita inginkan. Ada dua hal yang sangat sukar dilakukan seseorang.

    Pertama, melakukan hal – hal berdasarkan urutan kepentingannya (menetapkan prioritas).

    Kedua, secara terus – menerus, melakukan hal tersebut berdasarkan urutan kepentingan

    dengan disiplin. Untuk itu, yang diperlukan adalah komitmen untuk mencapai keunggulan.

    Karena keunggulan merupakan hasil dari kedisiplinan untuk melakukan sesuatu secara

    teratur dan terus – menerus.

    Untuk menjadi entrepreneur yang sukses, kita harus belajar untuk disiplin dalam

    segala hal. Dimulai dengan membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat memperbaiki diri

    kita maupun kebiasaan – kebiasaan yang dapat memperbaiki kinerja bisnis kita.

    Berdasarkan uraian – uraian yang telah dikemukakan tentang karakteristik jiwa

    wirausaha, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang wirausaha akan memiliki sejumlah

    karakteristik khusus seperti :

    • Mampu menciptakan kesempatan usaha, dapat memanfaatkan

    kesempatan usaha yang ada, serta lebih menyukai kerja mandiri

    dibandingkan bekerja pada orang lain.

    Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.54), seorang smart and good

    entrepreneur cenderung tidak suka mengikuti arus tengah, orang atau terperangkap

    didalam kehidupan yang monoton (sempurna). Dia selalu tidak bisa diam, berpikir

    dan terus berpikir. Dia adalah seorang “creative and smart worker”.

    Seorang wirausaha yang sejati juga memiliki “iris mata” yang berbeda dari

    orang lain. Iris mata adalah cara seseorang memandang sesuatu (masalah,

    kesulitan, perubahan, diri sendiri, lingkungan, tren dan kejadian) untuk

    memunculkan kreativitasnya agar tercipta ide - ide, gagasan, konsep dan mimpinya,

    lalu mencoba untuk meningkatkan nilai (added value). Jadi, seorang yang

  • 24

    mempunyai jiwa entrepreneur yang kuat itu mempunyai pola pandang akan sesuatu

    yang berbeda dengan orang lain.

    Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.7), salah satu karakteristik dalam

    wirausaha yang berhasil adalah memiliki kompetensi orientasi prestasi, yaitu

    diantaranya mampu melihat dan bertindak berdasarkan peluang, yaitu:

    menangkap peluang khusus untuk memulai bisnis baru, mencari bantuan keuangan,

    lahan ruang kerja dan bimbingan.

    Wirausaha memiliki orientasi ke depan. Mereka mempunyai indera

    yang kuat dalam mencari peluang. Mereka melihat ke depan dan tidak begitu

    mempersoalkan apa yang telah dikerjakan kemarin, melainkan lebih

    mempersoalkan apa yang akan dikerjakan esok. Bila manajer tradisional

    memperhatikan pengelolaan sumber daya yang ada, wirausaha lebih tertarik mencari

    dan memanfaatkan peluang (Zimmerer dan Scarborough, 2004, p.5).

    • Menyadari perlu kerja keras agar berhasil, membiasakan untuk disiplin diri

    dalam kehidupan, selalu melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung

    jawab serta selalu mengerjakan segala hal dengan baik, teliti, dan tekun.

    Menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.55-56), wirausaha yang sukses

    mempunyai impian – impian realistis dan tinggi dan mampu diubah

    menjadi cita – cita yang harus ia capai. Hidupnya ingin berubah karena

    kekuatan emosionalnya yang tinggi dan keyakinannya yang kuat, sehingga impian itu

    bisa terwujud (power of dream).

    Perbedaan seorang entrepreneur sejati dengan entrepreneur yang biasa-biasa

    saja adalah dalam hal durability, firm, dan determination. Keteguhan hati

    membuat orang berbeda di dalam memandang suatu kegagalan. Kegagalan adalah

  • 25

    persepsi orang yang merasa buntu dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan

    cenderung tidak ingin berusaha untuk mencari jalan keluar/pemecahannya.

    Kegagalan bukanlah ujung dari perjalanan.

    Mereka mengejar peluang dengan disiplin yang ketat. Umumnya

    wirausaha tidak hanya bersiap untuk peluang yang kecil, namun mereka langsung

    mengambil tindakan terhadap peluang-peluang yang belum tergali. Mereka sering

    mengkaji ulang koleksi ide-ide mereka, tetapi mereka merealisasikannya hanya

    ketika hal itu diperlukan. Mereka melakukan investasi hanya jika arena suatu

    kompetisi menarik mereka dan peluang yang ada sudah matang.

    Mereka juga fokus pada pelaksanaan, khususnya yang bersifat adaptif.

    Orang dengan kerangka berpikir wirausaha akan memilih melaksanakan apa yang

    telah mereka tetapkan daripada menganalisis ide baru yang menghancurkan.

    Adaptasi yang mereka lakukan dengan mengubah arah kerja sesuai dengan peluang

    yang nyata dan mengambil langkah terbaik untuk merealisasikannya. (Lupiyoadi,

    2004, p.22)

    Keunggulan seorang entrepreneur sejati terletak dari kedisiplinannya untuk

    terus – menerus membangun kebiasaan – kebiasaan yang dapat senantiasa

    memperbaiki dan mengembangkan bisnisnya, baik itu kebiasaan untuk melakukan

    inovasi terus – menerus, kebiasaan untuk mengakumulasi aset, kebiasaan untuk

    memberikan pelayanan yang terbaik pada pelanggan, kebiasaan untuk terus belajar

    dan mengembangkan diri dan sebagainya. (Prijosaksono dan Bawono, 2005, p.23).

    Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.5-7), hambatan, rintangan,

    dan kekalahan, umumnya tidak menghalangi para wirausaha, yang secara

    keras kepala menggapai tujuan mereka. “Wirausaha adalah orang yang menikmati

  • 26

    permainan bisnisnya dan tidak pernah menyerah – tidak peduli seberapa berat

    keadaan,“ tutur seorang peneliti.

    Salah satu karakteristik dalam wirausaha yang berhasil adalah memiliki

    kompetensi komitmen pada orang lain, yaitu diantaranya komitmen terhadap

    pekerjaan, yaitu: melakukan pengorbanan pribadi atau bisnis yang luar biasa untuk

    menyelesaikan pekerjaan, menyingsingkan lengan baju bersama karyawan dan

    bekerja di tempat karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan.

    Meluncurkan sebuah perusahaan agar berhasil membutuhkan komitmen

    penuh dari wirausaha. Pendiri bisnis sering membenamkan diri sepenuhnya dalam

    bisnis mereka. Seorang pakar mengemukakan “Wirausaha pada umumnya harus

    melewati rintangan yang mengecilkan hati pada tahap – tahap awal.” Ini

    memerlukan komitmen. “Saya menyamakan komitmen dengan kemampuan

    bertahan.” kata seorang konsultan.

    Di sisi lain, wirausaha merasa bertanggung jawab secara pribadi atas hasil

    perusahaan tempat mereka terlibat. Mereka lebih menyukai dapat mengendalikan

    sumber – sumber daya mereka sendiri dan menggunakan sumber – sumber daya

    tersebut untuk mencapai cita – cita yang telah ditetapkan sendiri.

    • Memiliki jiwa kepemimpinan

    Hal ini terkait dengan keterampilan mengorganisasi. Membangun sebuah

    perusahaan “dari nol” dapat dibayangkan seperti menghubungkan potong –

    potongan sebuah gambar besar. Para wirausaha mengetahui cara mengumpulkan

    orang – orang yang tepat untuk menyelesaikan suatu tugas. Penggabungan orang

    dan pekerjaan secara efektif memungkinkan para wirausaha untuk mengubah

    pandangan ke depan menjadi kenyataan. (Zimmerer dan Scarborough, 2004, p.5).

  • 27

    Hal ini juga terkait dengan hal bagaimana mereka mengikutsertakan energi

    setiap orang yang berada dalam jangkauan mereka. Kebiasaan wirausaha

    diantaranya adalah melibatkan banyak orang baik dari dalam maupun luar organisasi

    untuk mewujudkan peluang mereka. Mereka memilih membuat dan menyebarkan

    jaringan kerja daripada mengerjakannya sendiri. Mereka memberdayakan berbagai

    potensi intelektual dan sumber daya manusia untuk membantu mereka meraih

    tujuan sebaik mungkin (Lupiyoadi, 2004, p.22).

    • Mampu mempertimbangkan risiko, serta selalu mempertimbangkan faktor

    penghambat maupun penunjang dalam mengambil keputusan

    Menurut Zimmerer dan Scarborough (2004, p.4), wirausaha bukanlah seorang

    pengambil risiko liar, melainkan seseorang yang mengambil risiko yang

    diperhitungkan. Wirausaha melihat suatu bisnis dengan tingkat pemahaman risiko

    pribadinya. Cita – cita mungkin tampak tinggi - bahkan mungkin mustahil tercapai -

    menurut orang lain, tetapi wirausaha melihat situasi itu dari sudut pandang yang

    berbeda dan percaya bahwa sasaran mereka masuk akal dan dapat tercapai. Mereka

    biasanya melihat peluang di daerah yang sesuai dengan pengetahuan, latar

    belakang, dan pengalamannya yang akan meningkatkan kemungkinan

    keberhasilannya.

    Menurut Hendro dan Widhianto (2006, p.54), seorang smart and good

    entrepreneur pandai mengelola ketakutannya untuk membangkitkan keberanian dan

    kepercayaan dirinya dalam menghadapi suatu risiko. Mereka adalah risk manager,

    bukan risk taker.

  • 28

    2.1.4 Intrapreneur dan Intrapreneurship

    Selain definisi mengenai kewirausahaan (entrepreneurship) dan wirausaha

    (entrepreneur), dikenal juga istilah intrapreneur dan intrapreneurship.

    Intrapreneur merujuk pada mereka yang bekerja pada suatu perusahaan yang

    memiliki semangat kewirausahaan. Atau dengan kata lain, intrapreneur merupakan

    wirausaha yang ada dalam lingkungan perusahaan. Sosok seperti ini sangat diperlukan

    karena sangat relevan dengan tujuan perusahaan dalam hal upaya memenuhi kebutuhan

    dan keinginan konsumen (Lupiyoadi, 2004, p.11).

    Menurut Morris dan Kuratko (2002, pp.84-86), intrapreneur (atau disebut juga

    dengan istilah corporate entrepreneur), tidak perlu merupakan seorang pencipta produk, jasa

    atau proses yang baru (walaupun pada kenyataannya, mereka sering begitu), tetapi mereka

    mengubah ide atau model (prototype) menjadi sesuatu yang nyata yang menghasilkan

    keuntungan (profitable realities). Mereka adalah pembangun tim yang memiliki komitmen

    dan dorongan yang diperlukan untuk melihat bagaimana ide dapat diwujudkan menjadi

    kenyataan. Dan yang paling penting, mereka adalah orang – orang yang biasa yang

    mencoba untuk melakukan hal – hal yang luar biasa.

    Intrapreneur memulai dengan adanya ide. Ide ini diawali dengan adanya visi, yang

    mungkin tidak terlalu jelas. Ia melalui tahap “melamun” (daydreaming phase). Di sini, para

    intrapreneur melihat proses yang harus ia lewati untuk menjadikan ide yang awalnya konsep

    menjadi implementasi yang berhasil. Mereka juga memeriksa jalan – jalan lain, rintangan dan

    penghalang yang potensial yang mereka mungkin hadapi. Intrapreneur dapat bergerak cepat

    untuk menyelesaikan segala sesuatu. Mereka adalah orang yang berfokus pada tujuan,

    mereka bersedia untuk melakukan berbagai hal yang perlu dilakukan untuk memastikan

    tercapainya tujuan mereka. Mereka adalah kombinasi dari seorang pemikir, perencana,

    pelaku, dan pekerja. Dedikasi mereka terhadap ide tersebut sangat besar. Mereka harus

  • 29

    berjuang untuk menjadikan ide mereka tetap nyata, bahkan seringkali setelah manajer

    atasan mereka, komite dan lainnya telah berupaya “membunuh” ide itu dua atau tiga kali.

    Para intrapreneur seringkali mengharapkan hal yang mustahil dari diri mereka dan

    mempertimbangkan tidak adanya sesuatu yang dapat menghalangi proses untuk membuat

    usaha mereka berhasil. Mereka adalah para pengejar – pengejar keinginan yang kuat dari

    suatu visi yang berada di luar tugas mereka dalam mencapai tujuan mereka.

    Saat dihadapkan dengan kegagalan atau hal yang dapat menghalangi mereka, para

    intrapreneur mempunyai pandangan yang optimis. Pertama, mereka tidak mengakui

    bahwa mereka telah kalah; mereka mengganggap kegagalan sebagai hal yang

    menghalangi mereka sementara untuk ditarik pelajaran dan dihadapi. Hal ini tidak

    dilihat sebagai alasan untuk berhenti. Kedua, mereka melihat diri mereka sebagai

    pihak yang bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri. Mereka tidak mencari

    kambing hitam atas kegagalan mereka, namun mereka memfokuskan pada pembelajaran

    bagaimana mereka bertindak dengan lebih baik. Dengan menghadapi kesalahan – kesalahan

    dan kegagalan – kegagalan mereka secara objektif, maka mereka belajar bagaimana mereka

    dapat menghindari kesalahan – kesalahan yang sama, dan hal inilah yang bagian yang

    membuat mereka mencapai keberhasilan.

    Sedangkan menurut Hisrich (2005, p.17), intrapreneurship merupakan

    kewirausahaan yang ada di dalam struktur bisnis yang ada, yang dapat menjembatani

    kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan pasar. Bisnis yang ada telah memiliki sumber

    daya keuangan, kemampuan usaha, dan sistem pemasaran dan distribusi untuk memasarkan

    inovasi yang ada dengan sukses. Namun terkadang struktur perusahaan yang terlalu

    birokratis, penekanan pada profit jangka pendek dan rumitnya struktur organisasi dapat

    menghambat kreativitas dan pengembangan produk dan usaha. Perusahaan – perusahaan

    mulai mengenali faktor – faktor penghambat ini dan kebutuhan akan kreatifitas dan inovasi

  • 30

    telah menumbuhkan kebutuhan akan jiwa intrapreneurship dalam perusahaan – perusahaan.

    Sehingga dalam era kompetisi usaha saat ini, kebutuhan munculnya produk baru dan jiwa

    intrapreneurship telah menjadi hal yang penting sehingga semakin banyak perusahaan yang

    kini mengembangkan lingkungan untuk mengembangkan jiwa intrapreneurship, terutama

    dalam unit – unit bisnis strategis (Strategic Business Unit atau SBU).

    Menurut Hisrich (2005, pp.45-46), budaya intrapreneurial (intrapreneurial culture)

    berbeda secara signifikan dengan budaya perusahaan tradisional (traditional corporate

    culture). Budaya – budaya perusahaan tradisional adalah seperti menaati pada instruksi –

    instruksi yang diberikan, hindari kesalahan – kesalahan, jangan gagal, jangan mengambil

    inisiatif tetapi tunggulah perintah / instruksi, atau tetaplah berada pada area kerja masing -

    masing. Lingkungan ini tentunya, tidak menerima kreativitas, fleksibilitas, kemandirian,

    kepemilikan, atau pengambilan risiko – yang sebenarnya adalah arahan – arahan utama para

    intrapreneur.

    Tujuan dari budaya intrapreneurial cukup berbeda dengan budaya perusahaan

    tradisional, yaitu : untuk mengembangkan visi, tujuan, dan rencana – rencana aksi; untuk

    mendapatkan penghargaan atas tindakan (prestasi) yang telah dicapai; untuk menyarankan,

    mencoba; untuk menciptakan dan berkembang tanpa dibatasi oleh area kerja; serta untuk

    mengambil tanggung jawab dan kepemilikan.

    Perbedaan juga muncul dalam nilai yang dibagikan (shared values) dan norma –

    norma dari dua budaya di atas. Perusahaan tradisional pada dasarnya bersifat hirarkis,

    dengan prosedur – prosedur yang telah ada, sistem pelaporan, lini komando dan tanggung

    jawab, instruksi dan mekanisme kontrol. Hal inilah yang mendasari budaya perusahaan saat

    ini dan kurang memberikan ruang pada penciptaan produk – produk, jasa – jasa atau usaha

    – usaha baru. Sebaliknya perusahaan dengan budaya intrapreneurial mempunyai kondisi

    yang sangat berbeda dengan kondisi di atas. Perusahaan dengan budaya intrapreneurial,

  • 31

    memiliki struktur organisasi yang datar dengan networking, kerja tim, sponsor – sponsor dan

    didukung oleh mentor – mentor. Hubungan kerja yang erat akan membantu menciptakan

    atmosfer kejujuran yang akan memfasilitasi pencapaian visi dan tujuan. Tugas – tugas

    dipandang sebagai hal yang menyenangkan dan bukan sebagai hal rutin atau hal yang tidak

    menyenangkan, di mana para partisipan akan dengan senang hati memberikan waktunya

    beberapa jam yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sebaliknya, bukan

    malah membangun benteng untuk melindungi area kerja, individu – individu justru akan

    membuat usulan – usulan dalam dan lintas area dan divisi fungsional, menghasilkan

    banyaknya usulan ide – ide.

    2.1.5 Perbedaan Antara Manajer Tradisional dan Wirausaha (Entrepreneurs dan

    Intrapreneurs)

    Zimmerer dan Scarborough (2004, pp.7-8) menyatakan bahwa terdapat sejumlah

    perbedaan antara wirausaha dan manajer, seperti dapat digambarkan dalam tabel berikut di

    bawah ini:

    Tabel 2.1 Perbedaan Wirausaha dan Manajer

    Manajer Konvensional Wirausaha

    Sangat sadar akan aturan dan

    larangan.

    Memandang aturan hanya sebagai

    petunjuk.

    Peka terhadap masa depan dan

    bersedia menunda imbalan.

    Konsep masa depan berdasarkan pada

    angan-angan. Ambang batas frustasi

    rendah.

    Memiliki keinginan kuat untuk

    diterima.

    Tidak jelas dalam pengendalian,

    keberhasilan dan tanggung jawab.

  • 32

    Dapat bersifat manipulatif dan

    eksploitatif terhadap orang lain.

    Mampu mengidentifikasi masalah

    dalam segala arah tindakannya.

    Membuat perencanaan rinci.

    Tidak sabar dengan diskusi dan teori.

    Cepat bertindak dan menuruti kata

    hati.

    Sumber: Zimmerer dan Scarborough (2004, p8)

    Sedangkan menurut Lupiyoadi (2004, pp.19-20), perbedaan antara wirausaha dan

    manajer tradisional adalah sebagai berikut:

    1. Seorang wirausaha aktif mencari perubahan dengan mengeksploitasi peluang

    – peluang, sedangkan manajer tradisional cenderung lebih berjaga – jaga. Ketika

    tengah memburu peluang – peluang ini, wirausaha sering mempertaruhkan

    jaminan keuangan pribadinya menghadapi risiko. Tingkatan hierarki dalam

    organisasi birokratis mengisolasikan manajer dari imbalan dan upah uang yang

    diterima untuk meminimalkan risiko dan menghindari kesalahan. Dalam

    kenyataannya, manajer tradisional cenderung menghindari risiko sementara

    wirausaha menerima risiko sebagai bagian dari proses untuk menjadi seorang

    wirausaha.

    2. Wirausaha juga dimotivasi oleh kebebasan dan peluang untuk menciptakan

    kebebasan finansial. Manajer tradisional cenderung dimotivasi oleh promosi

    karier dan imbalan tradisional lainnya. Manajer tradisional lebih berorientasi ke

    arah pencapaian tujuan – tujuan jangka pendek, sementara wirausaha

    berorientasi pada pencapaian pertumbuhan bisnis lima sampai sepuluh tahun ke

    depan.

  • 33

    3. Aktivitas manajerial yang mereka geluti juga berbeda. Wirausaha cenderung

    lebih intens dan langsung terlibat dalam aktivitas operasional

    organisasi, sementara manajer tradisional cenderung mendelegasikan tugas –

    tugas dan mengawasi pekerja dalam melaksanakan tugas – tugas tersebut.

    4. Terakhir, manajer tradisional dan wirausaha memiliki perbedaan pandangan

    dalam melihat kesalahan dan kegagalan. Wirausaha cenderung menerima

    kesalahan sebagai suatu bagian normal dalam menjalankan suatu bisnis,

    sementara manajer tradisional cenderung menghindari situasi yang

    memungkinkan mereka gagal atau membuat kesalahan.

    Sedangkan menurut Hisrich (2005, p.46), perbedaan dua budaya antara budaya

    perusahaan tradisional dan budaya intrapreneurial akan melahirkan perbedaan antara

    manajer – manajer tradisional dan para intrapreneur.

    Perbandingan antara manajer – manajer tradisional, entrepreneurs dan intrapreneurs

    digambarkan dalam tabel berikut ini :

    Tabel 2.2 Perbandingan antara Manajer – manajer Tradisional,

    Entrepreneurs dan Intrapreneurs

    Manajer

    Tradisional

    Entrepreneurs Intrapreneurs

    Motivasi utama Promosi dan

    penghargaan

    tradisional

    perusahaan, seperti

    Kemandirian atau

    kebebasan, peluang

    untuk menciptakan,

    serta uang

    Kemandirian atau

    kebebasan dan

    kemampuan untuk

    meningkatkan

  • 34

    kantor, staf dan

    kekuasaan

    penghargaan

    perusahaan

    Orientasi

    waktu

    Jangka pendek-kuota

    rapat dan anggaran,

    mingguan, bulanan,

    dan horizon

    perencanaan tahunan

    Bertahan dan

    mencapai

    pertumbuhan bisnis

    dalam 5-10 tahun

    Antara manajer

    tradisional dan

    entrepreneur,

    tergantung pada

    desakan untuk

    memenuhi beban

    pribadi dan rencana

    waktu (timetable)

    perusahaan

    Aktivitas Mendelegasikan dan

    mengawasi,

    ketimbang

    melibatkan diri secara

    langsung

    Melibatkan diri secara

    langsung

    Melibatkan diri secara

    langsung ketimbang

    mendelegasikan

    Risiko Berhati - hati Pengambil risiko

    moderat

    Pengambil risiko

    moderat

    Status Peduli terhadap

    simbol status

    Tidak terlalu peduli

    dengan simbol status

    Tidak terlalu peduli

    dengan simbol status

    tradisional - lebih

    menginginkan

    kemandirian,

    kebebasan.

  • 35

    Kegagalan dan

    kesalahan

    Mencoba untuk

    menghindari

    kesalahan dan hal

    yang tidak terduga

    Berurusan dengan

    kegagalan dan

    kesalahan

    Berupaya untuk

    menghindari proyek

    yang berisiko

    sebelum siap

    menghadapinya

    Keputusan Umumnya setuju

    dengan keputusan

    manajemen yang

    lebih tinggi

    Cenderung

    mengambil keputusan

    untuk mengikuti

    impian

    Mampu membuat

    yang lain untuk

    setuju untuk

    mencapai impian

    yang dicita-citakan

    Siapa yang

    dilayani

    Orang lain Diri sendiri dan

    pelanggan

    Diri sendiri,

    pelanggan dan

    sponsor

    Sejarah

    keluarga

    Anggota – anggota

    keluarga bekerja

    pada organisasi yang

    besar

    Memiliki latar

    belakang keluarga

    yang bergerak dalam

    kewirausahaan bisnis

    kecil, profesional.

    Memiliki latar

    belakang keluarga

    yang bergerak dalam

    kewirausahaan bisnis

    kecil, profesional.

    Hubungan

    dengan orang

    lain

    Dasar hubungan

    adalah hirarki

    Dasar hubungan

    adalah transaksi dan

    pembuatan

    persetujuan (deal

    making)

    Adanya transaski

    yang berlangsung

    dalam hirarki.

    Sumber : Hisrich (2005, p46)

  • 36

    2.1.6 Proses Terbentuknya Wirausaha

    Menurut Lupiyoadi (2004, pp.23-31), ada sejumlah teori mengenai proses

    pembentukan kewirausahaan. Teori tersebut antara lain : teori perubahan arah hidup (life

    path change), perilaku yang dimotivasi oleh tujuan (goal directed behaviour), pengambilan

    keputusan, dan hasil yang diharapkan (outcome expectancy).

    1. Teori Perubahan Arah Hidup (Life Path Change)

    Menurut Shapero dan Sokol (1982) dalam Sundjaja (1990) sebagaimana dikutip

    oleh Lupiyoadi (2004, p.25), tidak semua wirausaha lahir dan berkembang mengikuti

    jalur yang sistematis dan terencana. Banyak orang yang menjadi wirausaha justru

    tidak melalui proses yang direncanakan, yaitu antara lain disebabkan oleh :

    a. Pemindahan secara negatif (negative displacement)

    Seseorang bisa saja menjadi wirausaha karena adanya faktor pemecatan

    dari tempat kerja, merasa tertekan atau bahkan mengalami kebosanan selama

    bekerja, dipaksa atau terpaksa pindah dari daerah asal. Atau bisa juga karena

    seseorang sudah memasuki usia pensiun. Dalam hal ini, pilihan berwirausaha

    diambil karena selain untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya,

    menjadi wirausaha dalam kondisi seperti ini adalah pilihan terbaik karena

    sifatnya yang bebas dan tidak bergantung pada birokrasi yang diskriminatif.

    b. ”Berada di tengah dua dunia yang berbeda” (Being between things)

    Orang – orang yang baru keluar dari ketentaraan, sekolah atau bahkan

    penjara, terkadang merasa seperti memasuki dunia baru yang belum mereka

    mengerti dan kuasai. Keadaan ini membuat mereka seakan berada di tengah -

    tengah (being between things) dari dua dunia yang berbeda, namun mereka

    harus tetap harus berjuang menjaga kelangsungan hidupnya. Di sinilah biasanya

  • 37

    pilihan menjadi wirausaha muncul karena dengan menjadi wirausaha mereka

    bekerja dengan mengandalkan diri mereka sendiri.

    c. Memiliki tarikan yang positif (having positive pull)

    Terdapat juga orang – orang yang mendapat dukungan membuat usaha dari

    mitra kerja, investor, pelanggan atau mentor. Dukungan memudahkan mereka

    dalam mengantisipasi peluang usaha, selain itu juga menciptakan rasa aman dari

    risiko usaha. Seorang mantan manajer di sebuah perusahaan otomotif, misalnya

    dengan bahan baku ban bekas, seperti stopper back door, engine mounting,

    atau mufler mounting. Perusahaan otomotif tersebut memberi dukungan dengan

    menampung produk mantan manajernya tersebut.

    2. Teori Perilaku yang Dimotivasi Tujuan (Goal Directed Behaviour)

    Menurut Wolman (1973) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, p.27),

    seseorang dapat saja menjadi wirausaha karena termotivasi untuk mencapai tujuan

    tertentu. Teori ini disebut dengan perilaku yang dimotivasi tujuan (Goal Directed

    Behaviour). Teori ini hendak menggambarkan bagaimana seseorang tergerak

    menjadi wirausaha, motivasinya dapat terlihat dari langkah – langkahnya dalam

    mencapai tujuan (goal directed behaviour). Diawali dari adanya dorongan

    kebutuhan, kemudian munculnya perilaku yang dimotivasi tujuan, hingga

    tercapainya tujuan.

    Seseorang terjun dalam dunia wirausaha diawali dengan adanya kebutuhan –

    kebutuhan, ini mendorong kegiatan – kegiatan tertentu, yang ditujukan pada

    pencapaian tujuan. Dari kacamata teori kebutuhan dan motivasi tingkah laku, seperti

    menemukan kesempatan berusaha, sampai mendirikan dan melembagakan

    usahanya merupakan perilaku yang dimotivasi tujuan (goal directed behaviour).

  • 38

    Sedangkan tujuannya adalah mempertahankan dan memperbaiki kelangsungan

    hidup wirausaha.

    3. Teori Pengambilan Keputusan

    Moore (1964) dalam Lupiyoadi (2004, p.27) mengatakan bahwa pengambilan

    keputusan adalah perpaduan dari kegiatan berpikir,memilih dan bertindak. Faktor -

    faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dapat berasal dari situasi

    keputusan itu sendiri serta dari diri si pengambil keputusan itu sendiri.

    a. Faktor - faktor dari situasi lingkungan itu sendiri (decision

    environment)

    Suatu lingkungan keputusan bisa berstruktur baik dan buruk, tergantung dari

    seberapa jauh si pengambil keputusan mengenal keadaannya pada masa

    sekarang (initial state), tujuan – tujuan yang akan datang (terminal state) dan

    transformasi yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan yang diinginkannya. Hal

    ini dapat digambarkan sebagai berikut :

    A B

    Di mana :

    A = keadaan sekarang dari si pengambil keputusan (initial state atau existing

    state).

    B = target atau tujuan yang dicoba dicapai oleh si pengambil keputusan

    (terminal state atau desired state).

    = proses atau langkah di mana si pengambil langkah dapat bergerak dari

    kondisi sekarang ke kondisi yang dituju (transformation atau decision

    alternatives)

  • 39

    Apabila si pengambil keputusan cukup mengenal ketiga hal di atas dengan

    baik, maka dia diharapkan pada lingkungan keputusan (decision environment)

    yang berstruktur baik (well structured). Sebaliknya bila si pengambil keputusan

    tidak cukup mengenal ketiga hal di atas, maka dia akan dihadapkan pada

    lingkungan keputusan yang berstruktur buruk (ill structured).

    Ada tiga kondisi lingkungan keputusan yang berstruktur buruk yang

    mempengaruhi proses pengambilan keputusan :

    - Lingkungan keputusan yang tidak pasti. Dalam keadaan ini si

    pengambil keputusan dihadapkan pada situasi di mana: si pengambil

    keputusan tidak mengetahui peristiwa – peristiwa yang akan mempengaruhi

    hasil keputusannya, si pengambil keputusan tidak mengetahui hubungan

    kausal yang terjadi dalam lingkungan keputusan, si pengambil keputusan

    mempunyai kontrol yang sedikit terhadap lingkungan keputusan, atau tidak

    stabilnya lingkungan keputusan.

    - Lingkungan keputusan yang kompleks. Di sini pengambil keputusan

    dihadapkan pada situasi – situasi di mana lingkungannya sangat luas,

    heterogen, abstrak, dan saling berhubungan.

    - Lingkungan keputusan yang merupakan situasi konflik. Di sini

    pengambil keputusan dihadapkan pada situasi – situasi yang melibatkan

    banyak interaksi dengan banyak orang , tetapi mempunyai tujuan dan

    sumber penentuan yang berbeda.

  • 40

    b. Faktor-faktor dari dalam diri si pengambil keputusan sendiri

    Menurut Taylor dan Dunnete (1976) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi

    (2004, p.29), ada empat atribut psikologis yang mempengaruhi strategi –

    strategi keputusan, yaitu :

    - Kemampuan perseptual. Yaitu persepsi pengambil keputusan terhadap

    suatu masalah yang dihadapi akan menentukan derajat ketidakpastian,

    kompleksitas maupun yang diidentifikasi dari problem tersebut.

    - Kapasitas informasi; merupakan kemampuan untuk mengolah informasi

    dalam hubungan dengan strategi pengambilan keputusan di mana

    pengambil keputusan dapat menggunakan strategi – strategi di dalam

    kondisi lingkungan yang tidak pasti, kompleks, dan penuh pertentangan.

    - Kecenderungan untuk mengambil risiko; merupakan kecenderungan

    yang mempengaruhi strategi keputusan yang digunakan untuk menahan

    karakteristik – karakteristik lingkungan yang mempunyai range yang luas.

    Dalam situasi pengambil keputusan yang penuh risiko, merasa tidak pasti

    mengenai hasil dan kemungkinan – kemungkinan kerugian yang terjadi.

    Kecenderungan ini mengakibatkan perbedaan – perbedaan tingkah laku

    orang – orang yang mengambil keputusan dalam melakukan aktivitasnya.

    - Tingkat aspirasi. Tingkat aspirasi dari pengambil keputusan

    mempengaruhi keefektivitasannya dalam menggunakan strategi – strategi

    keputusan di bawah lingkungan yang bervariasi. Tingkat aspirasi juga

    mempengaruhi efektivitas dalam mengidentifikasi masalah, mengevaluasi

    alternatif – alternatif yang akan dipilih, dan menentukan tawaran – tawaran

    pemilihan. Ada tiga kondisi yang mempengaruhi tingkat aspirasi seseorang

    dalam tugas – tugas pengambilan keputusan, yaitu:

  • 41

    - Tujuan - tujuan yang spesifik

    - Pengalaman – pengalaman masa lalu tentang keberhasilan dan

    kegagalan

    - Penerimaan pengetahuan dari suatu akibat.

    4. Teori Hasil yang Diharapkan (Outcome expectancy)

    Bandura (1986) sebagaimana dikutip oleh Lupiyoadi (2004, p.30),

    menyatakan bahwa hasil yang diharapkan (outcome expectancy) bukan suatu

    perilaku tetapi keyakinan tentang konsekuensi yang diterima setelah seseorang

    melakukan tindakan tertentu.

    Dari definisi di atas, hasil yang diharapkan (outcome expectancy) dapat

    diartikan sebagai keyakinan seseorang mengenai hasil yang akan diperolehnya

    jika ia melaksanakan suatu perilaku tertentu, yaitu perilaku yang menunjukkan

    keberhasilan. Seseorang memperkirakan bahwa keberhasilannya dalam

    melakukan tugas tertentu akan mendatangkan imbalan dengan nilai tertentu

    juga. Imbalan ini berupa juga insentif kerja yang dapat diperoleh dengan segera

    atau dalam jangka panjang. Karenanya jika seseorang menganggap profesi

    wirausaha akan memberikan insentif yang sesuai dengan keinginannya, maka

    maka dia akan berusaha memenuhi keinginannya dengan menjadi wirausaha.

    Ada berbagai jenis insentif sebagai imbalan kerja yang diharapkan individu

    dan setiap jenis memiliki keunikan tersendiri. Jenis insentif tersebut yaitu :

    • Insentif primer. Yaitu merupakan imbalan yang berhubungan dengan

    kebutuhan fisiologis kita seperti makan, minum, kontak fisik, dan

    sebagainya.

  • 42

    • Insentif sensoris. Beberapa kegiatan manusia ditujukan untuk

    memperoleh umpan balik sensoris yang terdapat di lingkungannya. Misalnya

    anak kecil melakukan berbagai kegiatan untuk mendapatkan insentif sensoris

    berupa bunyi – bunyian baru atau berupa stimulus baru untuk dilihat atau

    orang dewasa yang bermain musik untuk memperoleh umpan balik sensoris

    berupa bunyi alat musik yang dimainkannya.

    • Insentif sosial. Manusia akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan

    penghargaan dan penerimaan dari lingkungan sosialnya. Penerimaan atau

    penolakan dari sebuah lingkungan sosial akan lebih berfungsi secara efektif

    sebagai imbalan atau hukuman daripada reaksi yang berasal dari satu

    individu.

    • Insentif yang berupa token ekonomi. Token ekonomi adalah imbalan

    yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, seperti upah,

    kenaikan pangkat, penambahan tunjangan, dan sebagainya. Hampir seluruh

    masyarakat menggunakan uang sebagai insentif. Hal ini disebabkan karena

    dengan uang, individu dapat memperoleh hampir semua hal yang

    diinginkannya, mulai dari pelayanan jasa, hingga pemenuhan kebutuhan

    fisik, kesehatan, dan lain – lain.

    • Insentif yang berupa aktivitas. Beberapa aktivitas atau kegiatan fisik

    ternyata dapat memberikan nilai insentif tersendiri bagi individu.

    • Insentif status dan pengaruh. Kedudukan kerapkali dikaitkan dengan

    status kekuasaan. Dengan memiliki kedudukan yang tinggi, seseorang dapat

    menikmati imbalan materi, penghargaan sosial, kepatuhan dan lain – lain.

    Keuntungan yang khas ini membawa individu berusaha keras untuk

    mencapai posisi yang memberikan kekuasaan.

  • 43

    • Insentif berupa terpenuhinya standar internal. Insentif ini berasal dari

    tingkat kepuasan diri yang diperoleh individu dari pekerjaannya dan berasal

    dari dalam diri seseorang. Bentuk imbalan internal yaitu reaksi diri berupa

    rasa puas dan senang. Misalnya seseorang berwirausaha karena adanya

    imbalan rasa puas karena segenap potensinya dapat tersalurkan ketimbang

    bila ia menjadi karyawan biasa.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa ada insentif – insentif tertentu yang umumnya

    diharapkan seseorang dengan menjadi wirausaha.

    Teori – teori di atas telah menjelaskan proses pembentukan seseorang menjadi

    wirausaha. Dengan memadukan teori di atas, maka kita dapat menyimpulkan model tahapan

    pembentukan yang sifatnya lebih komprehensif (Lupiyoadi, 2004, pp.32-33):

    1. Kurangnya keseimbangan (deficit equilibrium)

    Dalam hal ini seseorang merasa ada kekurangan dalam dirinya dan berusaha

    untuk mengatasinya. Kekurangan tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk,

    tidak hanya berupa materi, namun dapat berupa ketidakpuasan terhadap diri sendiri

    (baik motivasi, standar internal maupun hal lainnya). Selain itu, kondisi ini juga dapat

    terjadi karena berubahnya jalur hidup, seperti misalnya jika seseorang mengalami

    tekanan atau hinaan, misalnya baru keluar dari penjara, ataupun mendapat

    dukungan orang lain.

    2. Pengambilan keputusan menjadi wirausaha

    Perasaan kekurangan akan mendorong seseorang untuk mencari pemecahannya.

    Untuk itu, ia akan mengevaluasi alternatif pemecahan yang dimiliki. Dalam hal ini

    kemampuan perseptual, kapasitas informasi yang diterima, keberanian mengambil

    risiko, dan tingkat aspirasinya terhadap suatu alternatif keputusan memiliki peran

  • 44

    yang sangat besar dalam usahanya mengambil keputusan. Jika pada akhirnya ia

    menganggap bahwa masalah kekurangannya dapat dipecahkan dengan menjadi

    wirausaha, maka ia akan mengambil keputusan untuk menjadi wirausaha.

    3. Perilaku yang dimotivasi oleh tujuan (goal directed behaviour)

    Keputusan menjadi wirausaha diambil dengan tujuan memecahkan masalah

    kekurangan yang ia miliki. Di sini masalah kekurangan diidentifikasi dengan adanya

    harapan sebagai pemecahan. Harapan – harapan tersebut berupa insentif yang akan

    ia dapat jika melakukan tindakan tertentu. Insentif ini menjadi rangsangan atau

    tujuan (goal) sehingga mendorong tindakan dan perilakunya sebagai seorang

    wirausaha.

    4. Pencapaian Tujuan

    Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tujuan (goal) sangat penting untuk

    pengambilan keputusan menjadi wirausaha. Tujuan ini berupa insentif yang diyakini

    akan dinikmati jika seseorang melakukan kegiatan tertentu. Jenis – jenis insentif

    yang diharapkan menjadi wirausaha, antara lain :

    a. Insentif primer

    Seseorang menjadi wirausaha karena dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

    (pangan, sandang, papan). Insentif ini sangat mendasar karena merupakan

    kebutuhan seseorang untuk bertahan hidup.

    b. Insentif token ekonomi

    Insentif ini paling dapat dilihat bentuknya; banyak orang menjadi wirausaha

    karena dapat memperbaiki kesejahteraan hidupnya, atau dengan kata lain

    menjadi kaya.

  • 45

    c. Insentif aktivitas

    Ada sejumlah orang yang tidak suka bekerja pada orang lain karena merasa

    terkekang. Dengan menjadi wirausaha, maka ia dapat bebas beraktivitas tanpa

    perlu ada tekanan dari atasan.

    d. Insentif sosial, status dan pengaruh

    Jika seseorang berhasil menjadi wirausaha sukses, maka ia akan mendapat

    perhatian dari lingkungan sekitarnya. Pemberian status dari masyarakat secara

    langsung juga membuat ia memiliki pengaruh terhadap orang lain.

    e. Insentif terpenuhinya standar internal

    Pada orang – orang tertentu, memiliki kebutuhan berprestasi sangat cocok

    dengan kriteria wirausaha. Mereka memiliki standar internal sendiri yang harus

    dipuaskan dengan menjadi wirausaha, karena profesi lain tidak memuaskan

    mereka.

    Tahapan – tahapan di atas telah menggambarkan proses menjadi wirausaha, namun

    faktor keadaan lingkungan dan budaya seseorang juga memiliki pengaruh besar dalam

    mendorong seseorang menjadi wirausaha.

    2.1.7 Level Entrepreneur

    Menurut Hendro dan Widhianto (2006, pp.44-47), seorang businessman yang smart

    haruslah tidak hanya “risk taker” namun juga “risk manager” bagi dirinya sendiri. Level dari

    entrepreneur yaitu:

    1. Level “zero” – unemployee

    Di dalam Rich Dad Poor Dad karangan Robert T. Kiyosaki, level ini tidak dibahas

    secara detail, tetapi orang – orang yang berada pada level ini juga merupakan

  • 46

    “entrepreneur”yang memilih risiko yang paling minimal (zero atau risk free) serta

    manfaat yang juga “zero”, tetapi yang paling berisiko. Namun di dunia ini semuanya

    berisiko. Hidup ini juga mempunyai risiko, yaitu kematian.

    Usaha mereka yang terus – menerus seakan – akan buntu, dan mereka ingin

    merangkak naik ke level 1 (employee), tetapi tidak kunjung bisa karena tidak ada

    “selling points”. Strategi dan kiat yang sering mereka lakukan (mungkin) hanya

    sekadar mencari kerja dan terus berusaha melamar saja, tetapi tidak ada strategi

    untuk berubah, dan ini tidaklah cukup karena mereka tidak melakukan atau

    mempunyai jiwa “entrepreneurship” atau “nol”. Mereka memilih untuk menjadi “Bos”

    bagi diri mereka sendiri tanpa mengetahui kepada siapa mereka harus bertanggung

    jawab. Skill entrepreneurship yang sangat diperlukan di level ini adalah “selling skill”

    yaitu kemampuan untuk menjual diri (sell yourself).

    Seharusnya mereka bertanggung jawab kepada dirinya sendiri (bosnya ialah

    dirinya sendiri), bahwa mereka harus berubah dan terus mencari jalan keluar untuk

    berubah dan mereka inilah yang kami sebut sebagai entrepreneurship level “zero”

    (employee = owner)

    2. Level 1 – Employee (Little Risk),

    Semua pekerja dari buruh hingga profesional pasti mempunyai seorang pimpinan

    (kepala) kepada siapa mereka harus mempertanggungjawabkan manfaat, risiko

    (tuntutan dari atasan tersebut untuk memberikan kontribusi atau manfaat yang akan

    diterima mereka).

    Misalnya:

    - Buruh kepada mandor

    - Pekerja kepada atasan atau manajer

  • 47

    - Direktur kepada komisaris

    - Manajer kepada direktur

    Sedangkan bagi pengusaha, mereka juga harus bertanggung jawab kepada

    seseorang, yaitu diri mereka sendiri. Inilah yang disebut dengan Business Owner

    atau komisaris, dan pengusaha adalah juga direkturnya.

    Seorang pekerja adalah juga sama dengan seorang entrepreneur. Hanya di sisi

    ini, risiko yang besar ditanggung oleh pemilik perusahaan, begitu juga seluruh

    kontribusi yang dihasilkannya. Seorang pekerja akan mendapatkan prosentase dari

    kontribusinya. Sebaliknya risiko yang terjadi akibat kesalahan pekerja ditanggung

    sepenuhnya oleh pemilik perusahaan.

    Inilah yang disebut entrepreneurship level satu. Bila kita memperhatikan

    entrepreneur level satu ini, yaitu employee, maka bila ia mempunyai visi jauh ke

    depan, pasti ia akan meningkatkan level entrepreneur - nya ke level di atasnya,

    yaitu “Self Employee” atau “Self Business”.

    3. Level 2 – Self Business (Self Employee)

    Pada level ini, ciri – ciri entrepreneur sejati sudah mulai muncul, yaitu bahwa ia

    mempunyai visi yang tidak ingin diatur, ia tidak mudah puas diri dan ia adalah

    seorang “High Achiever”.

    Di dalam suatu organisasi perusahaan, seorang pekerja yang mempunyai

    karakter entrepreneur selalu mempunyai sifat ingin jadi bos bagi dirinya sendiri dan

    tidak mau diatur sehingga ia bisa keluar dari sistem karena faktor keahlian dan

    pengalaman yang didukung oleh kesukaan akan sesuatu yang telah lama

    dirindukannya. Berbeda dengan “Employee”, pada level ini “Self Business” ingin

    menjadi bos bagi dirinya sendiri dan berani menanggung risiko atas dirinya sendiri.

  • 48

    Inilah yang dimaksud dengan entrepreneurship tahap dua (spin out from the

    organization system).

    4. Level 3 – Businessman (Business Owner)

    Businessman pada level ini sedikit mempunyai jiwa “challanging” yang kuat,

    sehingga dia ingin benar – benar menjadi bos dari sebuah tim atau sistem. Ia lebih

    komplit dan mendekati “Perfect Organizational Leader” dari suatu unit usaha. Inilah

    yang disebut entrepreneur level tiga.

    5. Level 4 – Investor (Truly Speculative Businessman)

    Mereka yang berada pada level ini sedikit berbeda dari businessman lainnya.

    Pada level ini ada faktor kalkulasi yang spekulatif untuk menentukan bisnisnya, tetapi

    penuh dengan perhitungan (profesional) atau menjurus ke gambling (gambler),

    namun tidak ada organisasi yang dipertahankan atau dikelolanya secara langsung

    dalam waktu yang lama. Istilahnya membisniskan sebuah bisnis.

    Seorang investor hampir mirip dengan seorang “gambler”, hanya berbeda pada

    alat yang digunakan dan apa yang dibeli olehnya. Level ini (investor) bisa dicapai

    secara langsung oleh level – level yang lain tanpa melalui level 1, 2 dan 3.

    Misal:

    - Level Employee bisa langsung menjadi investor dengan cara membeli saham di

    bursa saham atau investasi tanah, emas, properti dan lain – lain.

    - Level Employee, Self Business atau Businessman bisa membeli perusahaan orang

    lain, saham perusahaan, menanamkan modal, atau membeli franchise tanpa

    melewati level – level sebelumnya secara langsung.

  • 49

    2.1.8 Usulan Alat Ukur

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, p.1256), usulan berasal dari kata

    dasar usul, yang dapat didefinisikan sebagai anjuran (pendapat, dan sebagainya) yang

    dikemukakan untuk dipertimbangkan atau diterima. Sedangkan usulan diartikan sebagai

    sesuatu yang diusulkan.

    Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, p.28), alat ukur dapat

    didefinisikan sebagai berikut : perkakas untuk mengukur (mencocokkan atau mengetahui

    jarak, bobot, luas, panas, getaran, kecepatan, tegangan, tekanan, volume, dan sebagainya).

    2.2 Uji Validitas dan Reliabilitas

    2.2.1 Uji Validitas

    Menurut Simamora (2004, pp.58-59), validitas merupakan suatu ukuran yang

    menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dianggap

    valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Dengan kata lain, mampu memperoleh

    data yang tepat dari variabel yang diteliti. Misalnya, meteran dapat mengukur tinggi badan

    dengan tepat (dalam hal ini tinggi badan adalah variabel penelitian).

    Dalam menyusun kuesioner, pertanyaan yang ingin diajukan perlu dipastikan. Untuk

    menentukannya, sebelumnya harus sudah jelas variabel apa yang diukur. Variabel masih bisa

    dipecah menjadi subvariabel atau indikator. Apabila penyusunannya dilakukan sesuai

    prosedur, sebenarnya kuesioner telah memenuhi validitas logis. Oleh karena itu validitas logis

    sangat dipengaruhi oleh kemampuan peneliti dalam memahami masalah penelitian,

    mengembangkan variabel penelitian, serta menyusun kuesioner.

    Validitas logis belum memiliki bukti empiris. Sebuah kuesioner yang disusun secara

    hati – hati dan dapat dipertimbangkan valid logis, ada baiknya diuji untuk mengetahui

    validitas empirisnya.

  • 50

    Untuk menguji tingkat validitas empiris instrumen, peneliti dapat melakukan try – out

    dengan memakai responden terbatas dahulu. Dari try – out ini, ada dua macam validitas

    sesuai dengan cara pengujiannya, yaitu validitas eksternal dan validitas internal.

    a. Validitas Eksternal

    Validitas instrumen dapat dicapai apabila data yang dihasilkan dari instrumen

    tersebut sesuai dengan data atau informasi lain mengenai variabel yang diteliti.

    Menurut Umar (2005, p.185), validitas eksternal adalah validitas yang diperoleh

    dengan cara mengkorelasikan alat pengukur baru dengan tolak ukur eksternal, yang

    berupa alat ukur yang sudah valid.

    b. Validitas Internal

    Menurut Simamora (2004, pp.59-60), validitas internal dapat dicapai apabila

    terdapat kesesuaian antara bagian – bagian kuesioner dengan kuesioner secara

    keseluruhan. Dengan kata lain, apabila setiap bagian di dalam kuesioner mendukung

    “misi” kuesioner secara keseluruhan, yaitu mengungkap variabel penelitian yang

    telah ditentukan sebelumnya. Bagian kuesioner dapat berupa butir – butir

    pertanyaan secara sendiri – sendiri, dapat pula berupa faktor, yaitu kumpulan

    beberapa butir yang memiliki keterkaitan. Sehubungan dengan kenyataan ini, maka

    dikenal adanya validitas butir dan validitas faktor.

    Dalam penelitian ini akan digunakan uji validitas internal dengan menggunakan

    teknik validitas butir. Teknik ini dilakukan dengan mengkorelasikan skor butir – butir

    pertanyaan (sebagai variabel X) dengan skor total (sebagai variabel Y).

    Menurut Masrun (1979) sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2005, p.124),

    syarat suatu pertanyaan dianggap valid adalah bila korelasi antara butir dengan skor

    total lebih dari 0,3. Jadi bila korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3

    maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid.

  • 51

    2.2.2 Uji Reliabilitas

    Menurut Umar (2005, p.194), reliabilitas adalah suatu angka indeks yang

    menunjukkan suatu konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur suatu gejala yang

    sama. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil

    pengukuran yang konsisten.

    Menurut Simamora (2004, pp.63-69) reliabilitas adalah tingkat keandalan kuesioner.

    Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila dicobakan secara berulang – ulang

    kepada kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama. Asumsinya, tidak terdapat

    perubahan psikologis pada responden. Ada dua jenis reliabilitas, yaitu reliabilitas eksternal

    dan reliabilitas internal.

    a. Reliabilitas Eksternal

    Secara garis besar, reliabilitas eksternal adalah reliabilitas yang diperoleh dengan

    membandingkan hasil dua kelompok data. Ada dua jenis cara untuk menguji

    reliabilitas eksternal, yaitu teknik paralel dan teknik ulang.

    b. Reliabilitas Internal

    Reliabilitas internal diperoleh dengan menganalisis data yang berasal dari satu

    kali pengujian kuesioner. Adapun teknik reliabilitas internal yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah teknik Alpha.

    Menurut Simamora (2004, pp.77-78), teknik reliabilitas dengan menggunakan

    teknik Alpha digunakan untuk mengukur reliabilitas kuesioner dengan kategorisasi

    jawaban selain 0 dan 1. Misalnya dari 1 sampai 5, 1 sampai 7, - 3 sampai 3, dan

    seterusnya.

    Teknik Alpha dilakukan dengan menghitung varians tiap butir pertanyaan dan

    varians total dari pertanyaan – pertanyaan. Selanjutnya varians butir dan varians

    total tersebut dimasukkan ke dalam rumus Alpha :

  • 52

    r11 = ⎟⎟⎠

    ⎞⎜⎜⎝

    ⎛−⎟

    ⎠⎞

    ⎜⎝⎛

    −∑

    2

    2

    11 t

    b

    kk

    σσ

    Keterangan :

    r11 = reliabilitas kuesioner

    k = banyaknya butir pertanyaan

    ∑ 2bσ = jumlah varians butir 2tσ = varians total

    Langkah berikutnya adalah membandingkan angka tersebut dengan r product

    moment (r tabel).

    Dasar pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut :

    - Bila rhasil (r11) > r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan reliabel.

    - Bila rhasil (r11) < r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan tidak reliabel.

    2.3 Uji Cochran Q Test

    Dalam metode ini, diberikan pertanyaan tertutup kepada responden, yaitu

    pertanyaan yang pilihan jawabannya sudah disediakan. Dengan kata lain, daftar atribut

    sudah tersedia. Responden tinggal memilih atribut mana yang berkait dengan produk. Untuk

    itu, daftar atribut yang diuji harus lengkap. Jadi sebaiknya terlebih dahulu dilakukan riset

    pendahuluan (plemininary research) untuk menyusun daftar pilihan atribut selengkap

    mungkin. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyusun daftar pertanyaan yang pilihan

    jawabannya YA dan TIDAK (Simamora, 2004, pp.80-81).

    1. Uji hipotesis

    Hipotesis yang diuji yaitu:

    H0 : Semua faktor yang akan diuji memiliki proporsi jawaban “YA” yang sama.

  • 53

    Ha : Semua faktor yang akan diuji memiliki proporsi jawaban “YA” yang

    berbeda.

    2. Mencari Q hitung dengan rumus:

    Q hitung =

    ∑−∑

    ∑ ∑−− ⎟⎟⎠

    ⎞⎜⎜⎝

    n

    iR

    n

    iRk

    k

    j

    k

    jCCk 1)(k

    2ii

    2

    j2j

    Di mana :

    k = jumlah variabel

    n = jumlah reponden (pengamatan)

    Cj = total respon pada j variabel (kolom)

    Ri = total respon pada i pengamatan (baris)

    Perhitungan dengan Q hitung dengan bantuan komputer juga dapat dilakukan dengan

    bantuan perangkat lunak SPSS versi 12 melalui menu Analyze – Non Parametric Test

    – K Related Samples.

    3. Penentuan Q tabel :

    Dengan α = 0,05, derajat kebebasan atau degree of freedom (df) = k - 1, maka

    diperoleh Q tab (0,05 ,df) dari tabel Chi Square Distribution.

    4. Dasar Pengambilan Keputusan:

    • Q hitung > Q tabel maka H0 ditolak.

    • Q hitung < Q tabel maka H0 diterima.

  • 54

    5. Kesimpulan:

    • Jika menolak H0, berarti proporsi jawaban ”YA” masih berbeda pada semua

    atribut. Artinya belum ada kesepakatan diantara para responden tentang atribut

    sebagai faktor yang dipertimbangkan.

    • Jika menerima H0, berarti proporsi jawaban ”YA” pada semua atribut dianggap

    sama. Dengan demikian, semua responden dianggap sepakat mengenai semua

    atribut sebagai faktor yang dipertimbangkan.

    2.4 Kerangka Pemikiran

    Wirausaha, menurut Frinces (2004, p.11) adalah mereka yang selalu bekerja keras

    dan kreatif untuk mencari peluang bisnis, mendayagunakan peluang yang diperoleh, dan

    kemudian merekayasa penciptaan alternatif sebagai peluang bisnis baru dengan faktor

    keunggulan.

    Wirausaha (entrepreneur), menurut Hisrich (2005, p.8) adalah individual who takes

    risks and starts something new, yaitu seorang pribadi yang berani untuk mengambil risiko

    dan memulai sesuatu yang baru. Sedangkan kewirausahaan (entrepreneurship) didefinisikan

    sebagai process of creating something new and assuming the risk and rewards, yaitu

    merujuk pada suatu proses penciptaan sesuatu yang baru dan mengambil risiko dan hasil

    upah.

    Menurut Prijosaksono dan Bawono (2005, p.xviii), setiap orang pada dasarnya

    memiliki kecerdasan berwirausaha meski pada tingkat yang berbeda-beda.

    Universitas Bina Nusantara merupakan lembaga pendidikan yang mencoba untuk

    mengembangkan jiwa wirausaha yang ada dikalangan mahasiswanya. Hal ini antara lain

    dapat dilihat dengan adanya mata kuliah Entrepreneurship (J0692) yang diberikan

    sebagai mata kuliah wajib di setiap jurusan dan adanya pilihan Peminatan Kewirausahaan

  • 55

    (Entrepreneurship) dalam Jurusan Manajemen disamping pilihan peminatan lainnya, yaitu

    Pemasaran Internasional (International Marketing) dan E - Business.

    Untuk menajamkan peminatan yang ada dan mengembangkan jiwa wirausaha

    mahasiswa dalam Peminatan Kewirausahaan, Jurusan Manajemen lebih banyak berfokus

    pada sisi pembelajaran, diantaranya dengan memberikan pembekalan berupa mata kuliah –

    mata kuliah khusus Peminatan Kewirausahaan yang membedakan Peminatan Kewirausahaan

    dengan peminatan – peminatan lainnya. Di samping itu, selama ini, Jurusan Manajemen juga

    tidak menetapkan sistem seleksi apapun untuk membantu proses pemilihan peminatan yang

    ada.

    Diharapkan melalui model pembelajaran yang dilakukan, baik melalui mata kuliah -

    mata kuliah peminatan, sistem pembelajaran, dosen maupun faktor dukungan lain yang

    diberikan, dapat membantu para mahasiswa untuk membentuk dan mengembangkan jiwa

    wirausaha sehingga mereka dapat mempraktekkan jiwa wirausaha mereka nantinya, terlebih

    saat mereka lulus nanti. Bila ada perbedaan antara harapan dan kenyataan yang dialami oleh

    para mahasiswa Peminatan Kewirausahaan, baik dari faktor sikap wirausaha yang diharapkan

    terbentuk, mata kuliah, sistem pembelajaran, dosen, dan faktor dukungan lain, maka hal ini

    akan menimbulkan gap (kesenjangan).

    Untuk itu, perlu didefinisikan kembali deskripsi jiwa wirausaha yang bagaimanakah

    yang ingin dibentuk oleh Jurusan Manajemen terhadap para mahasiswanya, serta perlu

    dilakukan analisa terhadap jiwa wirausaha mahasiswa Peminatan Kewirausahaan Jurusan

    Manajemen. Selanjutnya dengan mempertimbangkan analisa – analisa tersebut, dapat

    disusun suatu usulan alat ukur jiwa wirausaha, di mana nantinya usulan alat ukur jiwa

    wirausaha ini dapat digunakan untuk membantu sistem seleksi dalam Peminatan

    Kewirausahaan, untuk mengembangkan jiwa wirausaha, khususnya di dalam Jurusan

    Manajemen.

  • 56

    Sumber : Penulis

    Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

    Jiwa Wirausaha

    (Yang ingin dibentuk dan dikembangkan)

    Sistem seleksi

    Mahasiswa Peminatan

    Kewirausahaan

    Mahasiswa Jurusan

    Manajemen

    Peminatan

    Kewirausahaan

    Usulan Alat Ukur

    Jiwa Wirausaha

    (dikembangkan dari

    studi literatur)

    Pengukuran dan Hasil Ukur

    Gap

    Analysis