varicella zoster

Upload: pupuprincess

Post on 13-Jul-2015

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Infeksi Varicella-Zooster

Etiologi Virus varicella-zooster. Infeksi primer virus ini menyebabkan penyakit varicella atau cacar air (chicken pox) sedangkan reaktivasinya menyebabkan penyakit herpes zoster1. Manifestasi Klinis Infeksi virus varicella-zooster adalah penyakit yang beresiko menular tinggi. VZV adalah virus DNA untai ganda yang berukuran medium ( diameter 100-200 nm) yang termasuk dalam kelompok virus herpes dan secara morfologi tidak dapat dibedakan dengan HSV4. Hanya ada satu tipe serologis. Virus ini berkembang lebih lambat dibandingkan HSV dan tidak dilepaskan dari sel yang terinfeksi. Infeksinya disebabkan oleh penghirupan dari sekresi respiratori dan saliva/ludah, atau dari kontak langsung dengan lesi kulit. Infeksi primer VZV menyebabkan cacar (chickenpox). Kemudian immunitas tubuh berkembang dan mencegah adanya infeksi lagi (infeksi kedua dari varicella), namun virus tersebut tetap menetap di dalam tubuh dan setelah beberapa lama, reaktivasi virus ini menyebabkan herpes zoster (shingles). Herpes zoster disebabkan oleh virus herpes yang sama dengan virus varicella. Setelah infeksi varicella primer, virus akan bertahan pada ganglia radiks dorsalis3. Herpes zoster biasanya menyerang pasien yang berusia lanjut. Virus varicella yang dorman diaktifkan dan timbul vesikel-vesikel meradang unilateral di sepanjang satu dermatom. Kulit di sekitarnya mengalami edema dan perdarahan. Keadaan ini biasanya didahului atau disertai rasa nyeri yang hebat dan rasa terbakar. Meskipun setiap saraf dapat terkena, tapi saraf torakal, lumbal, atau cranial paling sering terserang3. Herpes zoster dapat berlangsung kurang lebih selama tiga minggu. Nyeri yang timbul sesudah serangan herpes disebut

neuralgia pascaherpetika dan biasanya berlangsung selama beberapa bulan., bahkan kadang-kadang sampai beberapa tahun3. Varicella dapat diidentifikasikan dari kumpulan vesikel-vesikel yang berkembang menjadi papul dan kemudian menjadi koreng (scab/crust). Masa inkubasi berlangsung 14-21 hari. Terdapat gejala prodromal berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, dan nyeri kepala, disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel dengan bentuk khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul kemudia krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul vesikel baru sehingga timbul gambaran polimorfi. Mula-mula timbul di badan, mnyebar secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata (konjungtiva), mulut, dan saluran nafas atas4. Pada infeksi sekunder kelenjar getah bening regional membesar. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal. Varicella biasanya lebih buruk dan lebih berpotensi menimbulkan komplikasi pada orang dewasa. Lesi varicella pada kulit dapat terinfeksi oleh staphylococci and streptococci yang menyebabkan impetigo sekunder, tetapi varicella pada anak-anak biasanya hanya terasa sakit yang ringan. Komplikasi utama yang dapat terjadi antara lain adalah: 1. pneumonia interstitial, yang mana dapat dideteksi dengan radiologi, walaupun seringkali subklinis, pada 20% orang dewasa balteri pneumonia sekunder juga dapat menjangkit. 2. keterlibatan CNS, yang terdiri atas suatu lymphocytic meningitis atau suatu encephalomyelitis. 3. komplikasi lainnya dapat berupa glomerulonefritis, otitis, arteritis, hepatitis, dan kelainan darah (beberapa macam purpura). Thrombocytopenia dapat terjadi, tetapi biasanya tanpa gejala. Pada pasien dengan kekebalan tubuh rendah, khususnya anak-anak pengidap leukimia, varicella dapat menjadi penyakit yang mengancam nyawa.

Setelah infeksi primer selama masa kehamilan, virus ini berkemungkinan menginfeksi fetus, tetapi dengan adanya antibodi maternal kemudian,maka infeksinya secara umum tidak akan memberi dampak serius. Sindrom varicella kongenital terjadi sampai 1-2% jika infeksi maternal terjadi pada trisemester pertama atu kedua2. Saat ibu terinfeksi beberapa hari sebelum atau sesudah persalinan, bayinya terpapar tanpa proteksi dari antibodi maternal dan dapat terjangkit penyakit yang serius. Imunisasi pasif dengan varicella-zooster immune globulin (VZIG) bisa melindungi atau mengurangi infeksi pada bayi. Diagnosis laboratorium VZV dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis klinis dapat dibantu dengan melakukan tes Immunoflouresence dari kerokan lesi menggunakan antibodi monoclonal spesifik dari VZV, menggunakan tes molekular untuk mendeteksi DNA VZV, atau dengan mengisolasi VZV pada kultur sel, walaupun efek sitopatik bisa memakan waktu beberapa minggu. Partikel virus Herpes dapat dilihat dengan mikroskop elektron pada cairan vesikel namun tidak bisa dibedakan dengan virus herpes lainnya dan HSV tertentu., yang juga dapat menyebabkan lesi vesikular. Infeksi terdahulu ditentukan dengan mendeteksi VZV IgG dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) atau metode-metode lainnya2. Hasil VZV IgM dapat sangat menbantu jika lesi di kulit telah disembuhkan dan diagnosis diperlukan untuk alasan klinis2. Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan membuat sediaan hapus yang diwarnai dengan Giemsa1. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan didapatkan sel berinti banyak. Diagnosis Banding Variola

Pengobatan untuk infeksi Varicella-Zooster 1. Pengobatan secara non farmakologi Lesi kulit varicella dapat dirawat dengan mandi teratur dan melakukan beberapa Soothing Treatment untuk menghilangkan rasa gatal sehingga menghindari garukan pada lesi dan juga untuk menghindari infeksi sekunder. Pengobatan secara farmakologi sering kali tidak begitu diutamakan karena sebenarnya penyakit cacar/varicella ini hanya berupa infeksi ringan yang menyebabkan sedikit ketidaknyamanan. 2. Pengobatan secara farmakologi VZV lebih tidak sensitif terhadap Aciclovir dibandingkan HSV, tetapi obat ini, atau obat lain seperti Famciclovir/Valaciclovir, dapat digunakan secara oral untuk mengobati varicella dan zoster. Selain itu, karena varicella dapat menyebabkan komplikasi pada orang dewasa dan remaja, maka pengobatan antiviral harus dilakukan khususnya untuk mengatasi terbentuknya lesi-lesi baru sehingga perluasan oleh virus dan gejala-gejalanya dapat dikurangi seminimal mungkin. Infeksi yang lebih buruk lagi harus diobati dengan intravenous aciclovir, khususnya pada kelompok resiko tinggi2. Untuk penatalaksanaan yang lebih sederhana, dijelaskan bahwa pengobatan bersifat simtomatik dengan antipiretik dan analgesik. Untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedativa1. Diberikan bedak yang mengandung zat anti gatal seperti mentol dan kamfora untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini dan sekaligus menghilangkan gatal1. Pada infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep daan oral. Dapat pula diberikan obat-obat antivirus atau immunostimulator.

REFERENSI1. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran:Jilid 2, 3rd Ed. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2007 2. Goering, V. Richard, and Dockrell, M. Hazel. Medical Microbiology, 3rd Ed. Elsevier. 2004 3. Price, A. Sylvia, and Wilson, M. Lorraine. Patofisiologi:Konsep Klinis ProsesProses Penyakit . Jakarta. EGC. 2006 4. http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=4&hid=2&sid=b67d2f-a18c-49dc9f0f-9f2859d8f61c%40sessionmgr109 5. http://JAMA_files\CAYV702_files\jama.js