nata de coco_ivanna carissa_12.70.0050_e5

26
1 FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama : Ivanna Carissa NIM : 12.70.0050 Kelompok E5 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA Acara

Upload: james-gomez

Post on 11-Sep-2015

24 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

nata de coco merupakan salah satu produk fermentasi yang berasal dari air kelapa. bakteri yang digunakan adalah Acetobacter xylinum dengan waktu inkubasi selama 10-14 hari.

TRANSCRIPT

Acara IIFERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO

laporan resmi praktikum teknologi fermentasi

Disusun oleh:Nama : Ivanna CarissaNIM : 12.70.0050Kelompok E5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2

20153

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de cocoHasil pengamatan fermentasi substrat cair fermentasi nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de cocoKelTinggi media awal cmTinggi ketebalan nata cm Lapisan nata

014014

E12,800,40,4014,2914,29

E22,600,50,4019,2315,38

E31,300,50,2038,4615,38

E43,000,40,6013,3320

E52,500,30,301212

Berdasarkan tabel di atas, diketahui tinggi awal media, tinggi ketebalan nata, dan persentase lapisan nata yang terbentuk masing-masing kelompok. Tinggi media awal adalah 2,8 cm untuk E1, 2,6 cm untuk E2, 1,3 cm untuk E3, 3 cm untuk E4, dan 2,5 cm untuk E5. Pada hari ke-0, belum terbentuk nata de coco. Pada hari ke-7, ketebalan nata pada kelompok E2 dan E3 paling tinggi yaitu 0,5 cm, diikuti kelompok E1 dan E4 yaitu 0,4 cm, dan kelompok E5 yaitu 0,3 cm. Pada hari ke-14, kelompok E1 dan E5 tidak mengalami peningkatan, sedangkan kelompok E2 dan E3 mengalami penurunan. Nata kelompok E4 yang mengalami peningkatan menjadi 0,6 cm. Persentase lapisan nata tertinggi dihasilkan oleh kelompok E3 sebesar 38,46% pada hari ke-7 dan kelompok E4 sebesar 20% pada hari ke-14.

1.2. Uji Sensori Nata de cocoHasil pengamatan uji sensori nata de coco dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji Sensori Nata de cocoKelompokAromaWarnaTeksturRasa

E1++--

E2++--

E3++++++++-

E4++--

E5++--

Keterangan :AromaWarnaTeksturRasa++++: Tidak asamPutihSangat kenyalSangat manis+++: Agak asamPutih agak beningKenyalManis++ : AsamPutih beningAgak kenyalAgak manis+ : Sangat asam KuningTidak kenyalTidak manis

Berdasarkan tabel di atas, diketahui hasil uji sensori nata de coco, meliputi aroma, warna, tekstur, dan rasa. Nata de coco yang terbentuk hanya kelompok E3 saja, dimana memeiliki aroma tidak asam, berwarna kuning, dan memiliki tekstur kenyal. Sedangkan, kelompok lainnya tidak terbentuk.

2. 3. PEMBAHASAN

Menurut Rahman (1992), nata adalah salah satu produk fermentasi berupa selulosa dengan karakteristik berbentuk padat, memiliki tekstur kenyal, berwarna putih transparan, dan memiliki kandungan air sekitar 98%. Nata sering dikonsumsi sebagai makanan ringan. Menurut Palungkun (1996), istilah nata berasal dari Bahasa Spanyol, yang berarti krim dari air kelapa. Krim ini terbentuk melalui proses fermentasi oleh mikoorganisme Acetobacter xylinum. Menurut Rahayu et al.(1993), bakteri yang digunakan dalam pembuatan natadipengaruhi oleh jumlah dan umur inokulum. Pada umumnya, inokulum yang ditambahkan adalah 1-10%. Selama proses pertumbuhan, inokulum akan menggunakan gula sebagai sumber energi, sehingga bahan baku yang digunakan harus mengandung gula yang cukup. Menurut Pambayun (2002), nata dapat terbuat dari berbagai macam bahan yang mengandung gula, protein, dan mineral. Berbeda bahan baku yang digunakan menghasilkan nata yang berbeda pula. Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan nata adalah air kelapa (nata de coco), sari kedelai (nata de soya), sari buah mangga (nata de mango), sari buah nanas (nata de pina), dan sebagainya. Menurut Fardiaz (1992), mikroorganisme Acetobacter xylinum membutuhkan adaptasi terhadap media sebagai tempat untuk pertumbuhannya. Selain kandungan gula, ketersediaan nitrogen juga mempengaruhi pembentukan biomassa bakteri, sehingga mempengaruhi pula produk nata yang dihasilkan.

Menurut Santosa (2012), nata de coco adalah salah satu makanan berkalori rendah yang mengandung nutrisi yang tinggi dan serat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjaga kesehatan pencernaan, sehingga dapat digunakan sebagai makanan untuk diet. Nata de coco memiliki kandungan air yang tinggi, sehingga membutuhkan perlakuan khusus dalam penyimpanannya. Nata de coco dapat diolah kembali menjadi minuman instan yang tinggi serat dengan metode pengeringan dan penambahan dekstrin, serta Carboxy Methyl Cellulose(CMC) sebagai penstabil produk.

Pada praktikum ini, bahan yang digunakan untuk membuat nata adalah air kelapa, sehingga produk yang dihasilkan disebut nata de coco. Menurut Prades et al. (2011), air kelapa berasal dari cairan di bagian dalam buah kelapa, dimana dapat dikonsumsi sebagai minuman dengan rasa manis yang menyegarkan. Air kelapa berbeda dengan santan kelapa, dimana santan kelapa berupa cairan berwarna putih yang berminyak dan berasal dari parutan kernel segar. Dalam air kelapa, terkandung sejumlah mineral dan gula yang dapat dimanfaatkan sebagai minuman isotonik alami. Air kelapa mengandung gula yang cukup tinggi, diantaranya adalah sukrosa, sorbitol, glukosa, fruktosa, galaktosa, xylosa, dan mannosa. Selain itu, air kelapa juga mengandung mineral sebesar 0,4-1% dari volume cairan, seperti potasion, klorida, zat besi, dan sulfur. Kandungan asam amino pada air kelapa juga cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan susu sapi, yaitu alanin, arginin, sistein, dan serin. Air kelapa memiliki faktor pertumbuhan yang dapat menstimulasi strain bakteri yang berbeda dan kultur in vitrotanaman. Dalam pembuatan nata de coco, air kelapa digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme, yaitu Acetobacter xylinum.

Menurut Rahman (1992), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan nata, yaitu pH, kandungan gula dalam substrat, dan suhu. pH yang optimal dalam pembuatan nata adalah 4 dengan pH medianya sekitar 4-5. Proses pembuatan nata dapat dikatakan berhasil, jika terbentuk lapisan berwarna putih yang mengambang pada permukaan substrat. Dan menurut Rahayu et al.(1993), proses fermentasi nata yang paling optimal berlangsung selama 10-14 hari dengan suhu 28-320C.

Menurut Sanchez et al. (1998), nata dapat terbentuk oleh Acetobacter xylinum, jika komponen selulosa yang berasal dari glukosa membentuk mikrofibril yang panjang selama fermentasi berlangsung. Menurut Rahayu (1993), selama proses fermentasi berlangsung, diharapkan agar tidak terjadi gangguan, misalnya goncangan, karena akan menyebabkan lapisan yang terbentuk turun ke bawah. Menurut Kane (1996), sumber nitrogen berperan penting dalam pembentukan protein dan asam nukleat. Protein tersebut berfungsi sebagai sumber energi bakteri untuk bertumbuh.

Menurut Suhardiyono (1988), pembuatan nata de coco memerlukan kondisi lingkungan yang optimal. Ketebalan lapisan natayang terbentuk dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kondisi fermentasi, perlakuan dasar pada bahan baku, dan konsentrasi larutan induk. Menurut Tranggono & Sutardi (1990), mikroorganisme perusak dapat tumbuh pada air kelapa yang ditandai dengan warna kuning keruh dan kecoklatan pada nata yang dihasilkan.

Menurut Hayati (2003), pembuatan nata harus memperhatikan beberapa hal, antara lain sebagai berikut. Pertama, peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan haruslah steril. Kedua, suhu selama proses fermentasi berlangsung harus stabil, yaitu sekitar 300C. ketiga, pH harus optimal (pH 4,3-4,5), dimana pengukuran pH dilakukan setelah penambahan asam asetat glasial. Keempat, sisa media dari nata yang sudah dipanen dapat digunakan kembali sebagai starter untuk pembuatan nata selanjutnya.

Menurut Pambayun (2002), bakteri semasa pertumbuhannya melewati beberapa fase, antara lain sebagai berikut.a. Fase adaptasiSaat bakteri ditambahkan pada media, bakteri akan melakukan adaptasi untuk menyesuaikan terlebih dahulu sebelum mengalami pertumbuhan. Fase ini berlangsung selama 24 jam setelah dilakukan inokulasi.b. Fase pertumbuhan awalBakteri mulai mengalami pertumbuhan, namun dengan kecepatan yang rendah.c. Fase pertumbuhan eksponensialPada fase ini, bakteri memproduksi enzim ekstraseluler dalam jumlah banyak untuk mengubah polimer glukosa menjadi sukrosa. Fase ini berlangsung selama 1-5 hari.d. Fase pertumbuhan lambatPada fase ini, pertumbuhan bakteri mulai melambat. Hal ini dapat dikarenakan jumlah nutrisi yang mulai berkurang, umur sel yang sudah tua, atau keberadaan sel metabolit yang bersifat toksik. Selain itu, adapun sel bakteri yang mulai mati, namun jumlahnya masih sedikit.e. Fase pertumbuhan tetapPada fase ini, jumlah bakteri yang hidup sama banyaknya dengan jumlah sel yang mati.f. Fase menuju kematianPada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian.g. Fase kematianPada fase ini, bakteri mati secara keseluruhan dan tidak dapat digunakan sebagai bibit untuk fermentasi kembali. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya jamur pada nata. Fase ini terjadi pada hari ke-15.

Menurut Halib et al.(2012), nata de coco biasanya disajikan dalam bentuk kotak dengan ukuran 1 cm x 1 cm. Nata de coco terbuat dari hasil pengkulturan Acetobacter xylinum pada fermentasi air kelapa. Dan beberapa saat kemudian, lapisan gelatin akan terbentuk pada permukaan air kelapa yang terfermentasi. Pada umumnya, lapisan yang terbentuk akan terus bertambah ketebalannya mencapai 1 cm dan nantinya akan dipotong menjadi kubus kecil. Nata de cocosering disajikan dengan sirup, jelly, atau koktail buah. Selama proses fermentasi, Acetobacter xylinum memetabolisme gula dari air kelapa, dimana hasilnya digunakan sebagai sumber karbon, dan kemudian diubah menjadi selulosa ekstraseluler. Acetobacter xylinum merupakan bakteri asam asetat yang mampu mengoksidasi berbagai macam alkohol dan gula menjadi asam asetat. Acetobacter xylinumtermasuk dalam kelompok bakteri asam asetat, dimana bakteri asam asetat merupakan bakteri gram negatif. Acetobacter dikatakan bakteri asam asetat karena dapat mengoksidasi asam asetat menjadi karbon dioksida dan air melalui aktivitas enzim pada siklus Krebs.

Pada praktikum pembuatan nata de coco, hal pertama yang dilakukan adalah menyiapkan media fermentasi, yaitu air kelapa. Air kelapa disaring terlebih dahulu dengan tujuan untuk memisahkan kotoran dari air kelapa. Kemudian, air kelapa dipanaskan. Menurut Astawan & Astawan (1991), proses pemanasan bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang dapat merusak produk yang dihasilkan. Jika pemanasan tidak lakukan, pertumbuhan Acetobacter xylinum dapat terganggu oleh mikroorganisme kontaminan. Dan hal ini mengakibatkan proses fermentasi terganggu dan natatidak terbentuk sempurna. Setelah air kelapa mendidih, ditambahkan gula pasir sebanyak 10% dan diaduk sampai larut. Penambahan gula pasir bertujuan sebagai sumber karbon atau karbohidrat sederhana (Pambayun, 2002). Menurut Rahayu et al.(1993), jumlah gula yang ditambahkan harus sesuai dengan jumlah inokulum. Hal ini dikarenakan gula tersebut nantinya akan digunakan oleh Acetobacter xylinumuntuk pertumbuhannya. Menurut Sunarso (1982), penambahan gula terlalu banyak akan terbuang percuma karena Acetobacter xylinum hanya menggunakannya secukupnya saja. Konsentrasi gula 10% dianggap konsentrasi yang optimum/sesuai. Gula berfungsi sebagai sumber karbon, serta sebagai pengawet dan pemberi tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal (Hayati, 2003).

Gambar 1. Penyaringan air kelapa (kiri) dan Perebusan air kelapa (kanan)

Gambar 2. Penimbanga gula (kiri) dan Penambahan gula pada air kelapa (kanan)

Setelah penambahan gula, air kelapa ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dan diaduk sampai larut. Menurut Pambayun (2002), ammonium sulfat merupakan nitrogen anorganik yang berfungsi sebagai sumber nitrogen dalam proses fermentasi. Sumber nitrogen tersebut nantinya akan mendukung aktivitas bakteri nata. Menurut Rahayu et al.(1993), keberadaan senyawa C dan N mempengaruhi tingkat pembentukan asam nukleat dan protein, dimana kedua senyawa tersebut tersedia dalam bentuk molekul amonia yang dapat diserap langsung oleh sel bersamaan dengan sumber N lain. Tahap selanjutnya adalah menambahan asam cuka hingga pH air kelapa sekitar 4-5 dengan menggunakan pHmeter untuk mengukur pH. Menurut Rahman (1992), bakteri Acetobacter xylinum hanya dapat tumbuh optimal pada kondisi asam dengan pH 4,3, sedangkan pH media sekitar 4-5. Menurut Jagannath et al.(2008), kerusakan asam asetat dapat terjadi, sehingga berubah menjadi CO2 dan air. Kedua senyawa tersebut kemudian akan menghasilkan ATP tambahan, sehingga sintesis selulosa dapat lebih efisien dengan menggunakan gula tersebut. Menurut Pambayun (2002), asam asetat atau asam cuka dapat digunakan untuk menurunkan pH suatu larutan. Air kelapa selanjutnya dipanaskan kembali sampai agak mendidih dan disaring dengan kain saring yang sudah steril. Media fermentasi nata de coco telah siap digunakan.

Gambar 3. Penimbangan ammonium sulfat (kiri), dan pengukuran pH (kanan)

Gambar 4. Perebusan kembali dan penyaringan air kelapa

Setelah menyiapkan media fermentasi berupa air kelapa, langkah selanjutnya adalah proses fermentasi. Mula-mula, media sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disterilkan dengan disemprot alkohol dan ditutup rapat. Setelah itu, ditambahkan starter atau biang nata sebanyak 10% dari total media dan dikocok secara perlahan agar starter tercampur rata dengan media. Proses penambahan starter harus dilakukan secara aseptis untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Biakan murni adalah biakan yang terdiri dari satu spesies mikroorganisme saja. Menurut Hadioetomo (1993), teknik aseptis menyebabkan mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam biakan tersebut adalah mikroorganisme yang diinginkan saja, yaitu bakteri Acetobacter xylinum. Hal ini dapat disebut sebagai tindak pencegahan terjadinya kontaminasi.

Gambar 5. Penambahan starter(kiri&tengah) dan penutupan wadah dengan kertas coklat (kanan)

Kemudian, wadah ditutup dengan kertas coklat dan karet untuk menjaga kerapatannya. Setelah itu, air kelapa dan biakan nata diinkubasi pada suhu ruang selama 2 minggu. Selama proses inkubasi, wadah tersebut tidak boleh digoyang untuk menjaga lapisan yang terbentuk tetap utuh. Menurut Pambayun (2002), suhu optimal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum adalah suhu ruang. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan, terutama Indonesia memiliki suhu ruang rata-rata sekitar 280C. menurut Rahayu et al.(1993), nata yang baik adalah nata dengan ketebalan yang optimum dengan cara menyesuaikan suhu fermentasi sekitar 28-320C dan waktu fermentasi selama 10-14 hari. Jika suhu fermentasi terlalu tinggi, sebagian bakteri akan mati dan proses fermentasi menjadi terhambat. Sedangkan, suhu fermentasi yang terlalu rendah akan menyebabkan nata terlalu lunak atau tidak terbentuk lapisan nata sama sekali.

Menurut Pambayun (2002) dan Palungkun (1996), pembentukan nata dapat terjadi karena terdapat enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Enzim tersebut mepolimerisasi gula menjadi ribuan rantai selulosa dan ribuan rantai selulosa tersebut akan membentuk jaringan mikrofibril yang panjang selama proses fermentasi. Selain selulosa yang terbentuk, gelembung gas CO2 juga dihasilkan, dimana gas tersebut melekat pada jaringan selulosa, sehingga jaringan selulosa akan terangkat ke permukaan cairan. Proses penginkubasian yang cukup lama memberikan waktu bagi jutaan jasad renik untuk tumbuh dan menghasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa, dimana benang-benang tersebut nantinya memadat dan berwarna putih hingga transparan (nata). Natayang terbentuk di permukaan cairan dapat turun ke dasar cairan, jika mengalami gangguan (goyangan) selama proses fermentasi berlangsung.

Selama proses inkubasi sampai proses fermentasi selesai, dilakukan pengamatan ketebalan lapisan natapada hari ke-7 dan ke-14, serta dihitung persentase ketebalannya. Dan pada hari ke-14, dimana proses fermentasi telah selesai, dilakukan pengamatan secara organoleptik atau sensori dengan parameternya adalah aroma, warna, dan tekstur.

Gambar 6. Lapisan Nata pada hari ke-14

Berdasarkan hasil pengamatan, tinggi media awal tiap kelompok berbeda-beda. Hal ini dikarenakan wadah plastik yang digunakan juga berbeda-beda. Pada hari ke-0, natamasih belum terbentuk karena bakteri natamasih beradaptasi dengan medianya. Setelah hari ke-7, lapisan nata mulai terbentuk, namun pada hari ke-14 tidak terjadi peningkatan (sama) dan bahkan penurunan lapisan. Pada nata E1, lapisan natatetap sama pada hari ke-7 dan hari ke-14. Hal ini terjadi juga dengan nataE5, dimana tidak ada penambahan ketebalan lapisan. Selain itu, kelompok E2 dan E3 mengalami penurunan. Dan hanya kelompok E3 yang terbentuk nata. Hal ini menandakan bahwa proses fermentasi tidak berjalan dengan baik, dimana lapisan nataseharusnya mengalami peningkatan. Menurut Rahayu et al.(1993), natadapat turun ke dasar cairan jika mengalami gangguan (goyangan) selama proses fermentasi berlangsung. Selain itu, keaseptisan selama proses preparasi media juga menentukan ketebalan lapisan nata, dimana memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba perusak. Adanya kontaminasi ini menyebabkan konsentrasi glukosa pada medium berkurang dan pembentukan natamenjadi tidak maksimal (Tranggono & Sutardi, 1990). Persentase lapisan nata tertinggi dihasilkan oleh kelompok E3 sebesar 38,46% pada hari ke-7 dan kelompok E4 sebesar 20% pada hari ke-14.

Gambar 7. Nata E3 yang berhasilMenurut Seumahu et al.(2007), nata dapat dikatakan baik atau buruk berdasarkan karakteristiknya. Karakteristik nata yang baik adalah memiliki ketebalan lapisan sekitar 1,5-2 cm, selulosa gelnya homogen, dan tingkat ketransparannya tinggi. Sedangkan, karakteristik nata yang buruk adalah ketebalan lapisan kurang dari 0,5 cm, lembut, dan berwarna putih atau pucat. Perbedaan antara natayang baik dan buruk adalah dinamika populasi bakteri selama fermentasi akan mengalami fluktuasi pada natayang buruk, sedangkan natayang baik cenderung stabil dengan persentase variabilitiasnya rendah. Dan jika dibandingkan dengan hasil nataE3 yang terbentuk, dapat dikatakan bahwa natatersebut buruk. Hal ini dikarenakan ketebalannya hanya 0,6 cm saja.

Menurut Jagannath et al. (2008), ketebalan natamempengaruhi water holding capacity(kemampuan menahan air), dimana juga akan mempengaruhi tekstur fisik dan organoleptik nata. Nata de cocoyang baik dapat menahan air sebanyak 100 kali dari beratnya. Kemampuan menahan air adalah kemampuan struktur suatu bahan dalam mencegah air untuk keluar dari struktur 3 dimensinya. Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi ketebalan dan tekstur dari natayang dihasilkan, antara lain pH, sukrosa, dan konsentrasi amonium sulfat. Menurut Nurhayati (2011), tingkat kekenyalan dipengaruhi oleh kepadatan atau ketebalan lapisan natayang dihasilkan. Selain itu, adapula faktor lain yang mempengaruhi yaitu konsentrasi dan jenis mikroorganisme yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi gula dan semakin murni kultur yang digunakan, natayang dihasilkan akan lebih padat. Kadar gula yang ditambahkan juga mempengaruhi kekenyalan nata, dimana berbanding lurus dengan tingkat kekenyalannya. Hal ini dikarenakan ikatan yang terbentuk antar serat lebih longgar dan sebagian besar gel yang terbentuk terisi oleh air dan sedikit padatan. Dan dilihat dari nataE3 yang memiliki tekstur kenyal, sehingga dapat dikatakan bahwa meskipun nata yang dihasilkan tipis ketebalannya, namun tekstur yang kenyal menandakan bahwa konsentrasi gula dan kemurnian kultur yang digunakan telah sesuai.

Berdasarkan hasil pengamatan, nataE3 memiliki aroma yang tidak asam. Menurut Rahman (1992), aroma sangat dipengaruhi oleh proses pencucian dan perendaman nata. Jika proses pencuciannya benar dan dilakukan secara berulang-ulang, semakin banyak asam yang terbuang. Selain itu, jika setiap hari air rendaman nata diganti dengan yang baru, semakin cepat asam hilang. Namun, pada praktikum kali ini, tidak dilakukan pencucian dan perendaman nata, sehingga dapat disimpulkan bahwa asam yang terkandung dalam natatelah hilang seiring dengan proses fermentasi berakhir. Hal ini kurang sesuai dengan teori Fardiaz (1992), dimana bakteri Acetobacter xylinummenghasilkan asam asetat selama proses fermentasi. Dan berdasarkan hasil pengamatan mengenai warna nata, semua kelompok memiliki warna kuning. Padahal, menurut Pambayun (2002), bakteri Acetobacter xylinum akan menghasilkan jutaan lembar benang selulosa dan nantinya akan memadat dengan warna putih hingga transparan. Padatan tersebut disebut dengan nata.

A4A3A2A14. KESIMPULAN

Nata adalah salah satu produk fermentasi berupa selulosa dengan karakteristik berbentuk padat, memiliki tekstur kenyal, bewarna putih transparan, dan memiliki kandungan air sekitar 98%. Nata de cocoadalah salah satu makanan berkalori rendah yang mengandung nutrisi tinggi dan serat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjaga pencernaan, serta digunakan sebagai makanan diet. Kata Nataberasal dari bahan Spanyol, yaitu krim dari air kelapa. Proses fermentasi nata de coco menggunakan mikroorganisme Acetobacter xylinumdengan air kelapa sebagai media pertumbuhannya. Air kelapa mengandung gula, asam amino, dan mineral yang cukup tinggi. Faktor yang mempengaruhi pembuatan nata adalah pH, kandungan gula dalam substrat, dan suhu. Proses fermentasi nata yang paling optimal selama 10-14 hari pada suhu 28-320C. Pembuatan natadikatakan berhasil saat terbentuk lapisan berwarna putih yang mengambang di permukaan substrat. Selama proses fermentasi, tidak boleh ada gangguan, berupa goncangan, karena akan menyebabkan lapisan yang terbentuk turun ke bawah. Bakteri Acetobacter xylinum akan menghasilkan jutaan lembar benang selulosa dan nantinya akan memadat dengan warna putih hingga transparan. Padatan tersebut disebut dengan nata. Pemanasan bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang dapat merusak produk yang dihasilkan. Penambahan gula pasir sebanyak 10% berperan sebagai sumber karbon atau karbohidrat sederhana, pengawet, pemberi tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal. Penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5% berperan sebagai sumber nitrogen. Acetobacter xylinumdapat tumbuh optimal pada kondisi asam dengan pH 4,3 dan pH media 4-5. Keaseptisan akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Karakteristik nata yang baik adalah memiliki ketebalan lapisan sekitar 1,5-2 cm, selulosa gelnya homogen, dan tingkat ketransparannya tinggi. Nata de cocoyang baik dapat menahan air sebanyak 100 kali dari beratnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ketebalan dan tekstur dari natayang dihasilkan, antara lain pH, sukrosa, dan konsentrasi amonium sulfat. Semakin tinggi konsentrasi gula dan semakin murni kultur yang digunakan, natayang dihasilkan akan lebih padat. Semakin tinggi kadar gula yang ditambahkan, semakin kenyal natayang dihasilkan. Aroma asam dipengaruhi oleh proses pencucian dan perendaman natadalam menghilangkan asam.

Semarang, 9 Juli 2015Asisten dosen:-Wulan Apriliana-Nies Mayangsari

Ivanna Carissa12.70.0050

5. DAFTAR PUSTAKAAstawan, M. & M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.

Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.

Halib, N; M. Cairul & I. Ahmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Malaysiana Journal. Malaysia.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.

Kane, L. Mc & Kandel. J. (1996). Mikrobiology : Essential & Applications. Mc Graw Hill International. Singapore.

Nurhayati, Siti. (2011). Kajian Pengaruh Kadar Gula dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Nata De Soya. Universitas Terbuka p1-8.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.

Prades, A., M. Dornier, N. Diop, and J. P. Pain. (2011). Coconut Water Uses, Composition and Properties: a Review. Fruits Journal vol. 67, p. 87-107.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Sanchez, C; S. Prissilla & Yeshida. T. (1998). Microbial Cellulose Productions & Utilization. The Institue of Physical and Chemical Research (RIKEN). Science and Technology Agency. Japan.

Santosa, B; Ahmadi, K & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. International Journal of Science and Technology. Indonesia.

Seumahu, Cecilia Anna, Antonius Suwanto, Debora Hadisusanto, dan Maggy Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia, August 2007, p 65-68.

Suhardiyono, L. (1988). Tanaman Kelapa : Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan% Lapisan nata = x 100%

Kelompok E1Hari ke-7% Lapisan nata = x 100% = 14,29 %Hari ke-14% Lapisan nata = x 100% = 14,29 %Kelompok E2Hari ke-7% Lapisan nata = x 100% = 19,23 %Hari ke-14% Lapisan nata = x 100% = 15,38 %Kelompok E3Hari ke-7% Lapisan nata = x 100% = 38,46%Hari ke-14% Lapisan nata = x 100% = 61,54 %Kelompok E4Hari ke-7% Lapisan nata = x 100% = 13,33 %Hari ke-14% Lapisan nata = x 100% = 20 %Kelompok E5Hari ke-7% Lapisan nata = x 100% = 12 %Hari ke-14% Lapisan nata = x 100% = 12%

6.2. Laporan Sementara6.3. Jurnal (Abstrak)