nata de coco_hana melinda_12.70.0114_e2

20
Acara I FERMENTASI SUBSTRAT CAIR: FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh : Nama : Hana Melinda NIM : 12.70.0114 Kelompok E2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

Upload: james-gomez

Post on 11-Sep-2015

17 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

nata de coco merupakan makanan pencuci mulut atau penutup Filipina dengan bentuk kotak 1 cm x 1 cm. menurutnya nata de coco dihasilkan dengan fermentasi air kelapa menggunakan Acetobacter xylinum dimana Acetobacter xylinum ini akan bermetabolisme glukosa dalam air kelapa kepada selulosa bakteri yang mempunyai ciri-ciri unik seperti kemurnian yang tinggi, crytalinity, keseragaman dan kekuatan mekanikal yang tinggi. Selama fermentasi glukosa berperan sebagai sumber karbon dan mengubahnya menjadi extracellular selulosa sebagai metabolit. Beberapa tipe Acetobacter bahkan juga dapat mengoksidasdi acetic acid menjadi karbondiosida.

TRANSCRIPT

  • Acara I

    FERMENTASI SUBSTRAT CAIR:

    FERMENTASI NATA DE COCO

    LAPORAN RESMI

    PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

    Disusun oleh :

    Nama : Hana Melinda

    NIM : 12.70.0114

    Kelompok E2

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 1

    1. HASIL PENGAMATAN

    Hasil Pengamatan Praktikum Nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

    Tabel 1. Hasil Pengamatan Ketebalan nata de coco

    Kel Tinggi media

    awal (cm)

    Ketebalan Presentase Lapisan (%)

    H0 H7 H14 H0 H7 H14

    E1 2,8 0 0,4 0,4 0 14,29 14,29

    E2 2,6 0 0,5 0,4 0 19,23 15,38

    E3 1,3 0 0,5 0,8 0 38,46 61,54

    E4 3 0 0,4 0,6 0 13,33 20

    E5 2,5 0 0,3 0,3 0 12 12

    Dari tabel 1 diatas dapat diketahui ketebalan nata de coco selama fermentasi

    berlangsung. Dapat dilihat pada hari ke 7, nata dari kelompok E1 dan E4 terbentuk

    setinggi 0,4 cm sedangkan nata kelompok E2 dan E3 terbentuk 0,5 cm dan pada

    kelompok E5 terbentuk hanya 0,3 cm. Sehingga diketahui pada hari ke 7 presentase

    lapisan nata tertinggi (yang ditinjau dari tinggi media awal dan nata yang terbentuk

    pada hari ke 7) adalah pada nata kelompok E3 sebesar 38,46% dan yang terendah ada

    pada kelompok E5 sebesar 12%. Pada hari ke 14, lapisan nata kelompok E3 bertambah

    tebal menjadi 0,8 cm dan kelompok E4 menjadi 0,6 cm. namun pada kelompok E2

    lapisan nata berkurang ketebalannya menjadi 0,4 sedangkan pada kelompok E1 dan E5

    tebal lapisan nata tetap. Sehingga, dapat dilihat presentasi lapisan nata tertinggi pada

    hari ke 14 ada pada nata E3 sebesar 61,54, sedangkan yang terkecil ada pada E5 yaitu,

    sama seperti sebelumnya, 12%.

    Tabel 2. Hasil Pengamatan uji sensori Nata de coco

    Kelompok Aroma Warna Tesktur Rasa

    E1 + + - -

    E2 + + - -

    E3 ++++ + + -

    E4 + + - -

    E5 + + - - Keterangan :

    Aroma Warna Tekstur Rasa

    ++++ : tidak asam ++++ : putih ++++ : sangat kenyal ++++:sangat manis

    +++ : agak asam +++ : putih agak kuning +++ : kenyal +++ : manis

    ++ : asam ++ : putih bening ++ : agak kenyal ++ : agak manis

    + : sangat asam + : kuning + : tidak kenyal + : tidak manis

  • 2

    Dari tabel uji sensoris nata de coco, dapat dilihat bahwa pada kelompok E1, E2, E4 dan

    E5 menghasilkan nata yang beraroma sangat asam sedangkan nata yang dihasilkan

    kelompokm E3 beraroma tidak asam. Namun, warna yang nata yang dihasilkan semua

    kelompok sama yaitu kuning. Tekstur nata yang dihasilkan kelompok E3 adalah tidak

    kenyal. Sedangkan pada kelompok lainnya nata yang terbentuk adalah cair. Parameter

    rasa tidak ditinjau pada uji sensoris nata de coco kali ini.

  • 3

    2. PEMBAHASAN

    Nata de coco merupakan makanan pencuci mulut atau penutup di Filipina dengan

    bentuk kotak (1 cm x 1 cm). Nata de coco dihasilkan dengan cara memfermentasikan

    air kelapa dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Selama fermentasi, dibutuhkan

    glukosa yang berperan sebagai sumber karbon. Beberapa tipe Acetobacter bahkan dapat

    mengoksidasdi asam astetat menjadi CO2 (Halib et al., 2012). Menurut Palungkur

    (1996) menjelaskan bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan membentuk gel pada

    permukaan air kelapa yang mengandung gula. Hal tersebut didukung oleh Rahman

    (1992) yang mengatakan bahwa nata de coco merupakan hasil fermentasi air kelapa

    oleh Acetobacter xylinum yang merupakan bakteri asam asetat. Acetobacter xylinum

    yang tergolog bakteri gram negatif dan bersifat aerob diketahui memiliki kemampuan

    untuk mengoksidasi alkohol dan gula yang berbeda menjadi asam asetat.

    Mekanisme pembentukan nata de coco menurut Palungkur (1996), adalah:

    Proses pengambilan glukosa dari larutan gula atau gula dalam air kelapa oleh

    sel-sel Acetobacter xylinum.

    Kemudian glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak membentuk

    prekusor (penciri nata) pada membrane sel.

    Prekusor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim

    mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel.

    Selulosa yang terbentuk akan memiliki konsistensi menyerupai jelly, yang sering

    disebut nata de coco.

    Menurut Palungkur (1996), sebenarnya nata de coco tidak memiliki nilai gizi yang

    berarti bagi manusia. Oleh karena itu, produk ini dapat digunakan sebagai sumber

    makanan rendah energi dalam keperluan diet. Santosa et al. (2012) menambahkan

    bahwa nata de coco kaya akan serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Serat pada nata de

    coco dapat meningkatkan kesehatan pencernaan dan mencegah terjadinya penyakit

    kanker usus besar (kolon).

  • 4

    Proses fermentasi substrat cair nata de coco yang dilakukan pada praktikum ini

    memiliki 2 tahapan utama. Thapan pertama adalah pembuatan media. Pembuatan media

    berbahan dasar air kelapa dan dengan penambahan beberapa bahan lainnya.

    Selanjutnya, dilakukan tahapan proses fermentasi. Pada proses fermentasi ini akan

    dilakukan pengulturan starter/mikroorganisme yang memiliki peran untuk

    menghasilkan nata de coco yaitu Acetobacter xyilinum.

    2.1. Pembuatan Media

    Pada praktikum kali ini, media dalam pembuatan nata dibuat dengan bahan dasar air

    kelapa. Menurut Widayati et al. (2002), air kelapa dapat digunakan sebagai salah satu

    sumber isolat bakteri dan sumber substrat selama fermentasi nata berlangsung.

    Terkandung gula, asam amino, serta berbagai macam vitamin dan mineral yang

    berfungsi sebagai substrat untuk proses fermentasi dalam air kelapa. Beberapa

    kelebihan penggunaan air kelapa sebagai substrat pembuatan nata antara lain:

    Harganya yang cukup murah

    Mempunyai potensi kontaminasi yang rendah.

    Ketersediaan yang berlimpah, sehingga terjamin kontinuitas ketersediaannya.

    Almeida et al. (2012) menambahkan bahwa dalam memproduksi selulosa (nata) dengan

    strain Acetobacter, media kultur harus memenuhi beberapa syarat seperti: kaya akan

    makronutrien (karbohidrat dan protein) serta vitamin, garam anorganik, dan minral-

    mineral. Penggunaan air kelapa sebagai sumber substrat bagi A. xylinum telah

    memenuhi syarat kandungan nutrisi untuk media nata, dimana kandungan nutrisi air

    kelapa dapat dilihat pada tabel 3. Selain itu air kelapa juga mengandung nutrisi

    pendukung lainnya seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa, dan beberapa vitamin B

    kompleks yang mendukung pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum.

    Tabel 3. Kandungan nutrisi pada air kelapa

    Nutrien Kandungan (%)

    Air 91,23

    Protein 0,29

    Lemak 0,15

    Karbohidrat 7,27

    Abu 1,06

  • 5

    Dalam pembuatan media, pertama-tama 1,2 liter air kelapa disaring menggunakan kain

    saring (Gambar 1). Menurut Astawan & Astawan (1991), penyaringan ini memiliki

    tujuan untuk memisahkan air kelapa dari pengotor yang ada. Kemudian, air kelapa yang

    telah tersaring bersih dimasukan ke dalam panci dan dimasak (Gambar 2) hingga

    mendidih. Menurut Tortora et al. (1995), tahap pemasakan diperlukan untuk

    mengeliminasi mikroba kontaminan dalam air kelapa. Astawan & Astawan (1991)

    menambahkan bahwa pemasakan air kelapa bertujuan untuk menghilangkan mikroba

    patogen yang berpotensi mencemari nata yang akan dihasilkan nantinya. Jika

    pemanasan tidak dilakukan, maka mikroorganisme lain dapat tumbuh. Pertumbuhan

    mikroba yang tidak diharapkan secara langsung atau tidak dapat mengganggu

    pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang diinginkan atau diharapkan tumbuh dalam

    proses pembuatan nata de coco.

    Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa

    Gambar 2. Pemasakan Air Kelapa

    Setelah mendidih, api dikecilkan dan ke dalam air kelapa ditambahkan gula (Gambar 3)

    sebanyak 10% dari berat awal (120 gram). Penambahan gula pada media menurut

    Awang (1991) dikarenakan gula merupakan sumber karbon organik yang dibutuhkan

    oleh bakteri untuk berkembang biak. Penggunaan gula menurut Pambayun (2002)

    paling umum digunakan dalam pembuatan nata de coco sebagai penyuplai karbon

    karena mudah didapatkan dan harga yang terjangkau. Disisi lain, penggunaan gula

    dalam pemasakan media menurut Hayati (2003) bertujuan untuk memberikan tekstur,

    kenampakan, dan flavor nata de coco yang khas, serta berperan sebagai pengawet.

    Selain itu menurut Sunarso (1982) penambahan gula sebesar 10% dari berat awal media

  • 6

    dalam pembuatan nata de coco merupakan konsentrasi optimum. Karena pada

    konsentrasi tersebut bakteri A. xylinum akan menghasilkan nata yang tebal.

    Penambahan gula yang berlebih akan membuat bakteri A. xylinum tidak mampu

    memanfaatkan gula tersebut secara optimal. Setelah gula ditambahkan, air kelapa

    diaduk hingga gula pasir larut sambil tetap dipanaskan dengan api kecil.

    Gambar 3. Penambahan Gula

    Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa pemanasan saat penambahan gula

    perlu dilakukan. Hal tersebut bertujuan untuk melarutkan gula pasir yang ditambahkan.

    Karena bila gula tidak larut dengan sempurna, maka gula tersebut akan menjadi sulit

    untuk digunakan oleh bakteri A. xylinum selama proses fermentasi. Sehingga gula yang

    tidak larut dapat menghambat aktivitas bakteri, dimana hal tersebut dapat

    mengakibatkan kegagalan dalam pembuatan lapisan nata.

    Setelah gula larut, ammonium sulfat ditambahkan (Gambar 4) sebanyak 0,5% dari

    volume total air kelapa awal atau sebanyak 6 gram. Menurut Awang (1991),

    penambahan ammonium sulfat pada media berfungsi agar media memenuhi syarat

    minimal yaitu mengandung unsur karbon (yang sudah didapatkan dari gula) dan

    nitrogen. Oleh karena itu, ammonium sulfat yang ditambahkan pada praktikum kali ini

    berperan sebagai sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas bakteri

    fermentasi pembentuk nata. Ammonium sulfat merupakan bahan yang paling sering

    digunakan, karena dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter aceti (kompetitor bagi

    pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum) (Pambayun, 2002).

  • 7

    Gambar 4. Penambahan Ammonium Sulfat

    Setelah itu, air kelapa ditunggu agak dingin kemudian diukur pH nya (Gambar 5).

    Untuk menurunkan pH media, ditambahkan asam asetat glasial (Gambar 6) ke dalam air

    kelapa. Penambahan asam asetat ini dilakukan setetes demi setetes hingga pH media

    mencapai 4-5. Penambahan asam asetat glasial ini dilakukan dengan monitor pH meter.

    Menurut Anastasia & Afrianto (2008), asam asetat disini berfungsi untuk menjadikan

    pH medium sesuai dengan kebutuhan A.xylinum, dimana menurut Pambayun (2002), A.

    xylinum tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5 namun memiliki pH optimum pada kisaran pH

    4,3 (suasana asam). Sehingga penambahan asam asetat hingga pH 4-5 sesuai dengan

    teori yang ada. Setelah mencapai pH 4-5, air kelapa kemudian dipanaskan kembali

    (Gambar 7) hingga semua bahan larut (hampir mendidih).

    Gambar 5. Pengukuran pH pada pH meter

  • 8

    Gambar 6. Penambahan Asam Asetat Glasial

    (pada ruang asam)

    Gambar 7. Pemanasan Media

    Akhir

    Setelah dilakukan pemasakan kembali, media disaring kembali menggunakan kain

    saring yang telah di sterilisasi. Pato & Dwiloted (1994) menjelaskan bahwa pada

    tahapan akhir pembuatan media, perlu dilakukan pemasakan media kembali dan

    penyaringan media. Pemasakan akhir ini bertujuan untuk pasteurisasi media, sehingga

    mikroba yang tidak diharapkan dapat tereliminasi. Sedangkan proses penyaringan

    sendiri bertujuan agar mendapatkan media yang bersih, jernih dan bebas dari pengotor.

    Jagannath et al. (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang penting dalam pembuatan

    media nata adalah:

    penambahan gula sebanyak 10%

    penambahan ammonium sulfat sebesar 0,5%

    Kondisi pH 4,0

    Faktor-faktor tersebut akan menghasilkan nata yang optimum (tebal) karena A. xylinum

    secara efektif dapat tumbuh dengan menggunakan gula sebagai sumber karbon dalam

    air kelapa. Sedangkan produksi selulosa (lapisan nata) dipengaruhi oleh tingkat

    keasaman atau pH dan sukrosa serta konsentrasi ammonium sulfat.

    2.2. Proses Fermentasi

    Pada tahap fermentasi, media yang sudah dipersiapkan sebelumnya dibagi ke dalam

    wadah plastik, dimana pada masing-masing wadah per kelompok media yang digunakan

    sebanyak 200 ml. Kemudian,tinggi media pada wadah diukur dan dicatat sebagai tinggi

    awal media. Setelah suhu media menurun (hingga hangat), starter ditambahkan ke

  • 9

    dalam wadah berisi media. Starter berisi bakteri Acetobacter xylinum ditambahkan

    sebanyak 10% dari media awal atau sebanyak 20 ml. Jumlah starter yang ditambahkan

    sesuai dengan pendapat dari Pato & Dwiloted (1994) yaitu dibutuhkan starter sebanyak

    4-10% dari jumlah media dalam fermentasi nata.

    Penambahan starter dilakukan pada Laminar Air Flow (LAF) secara aseptis (Gambar 8)

    agar menghindari kontaminasi pada nata. Menurut Hadioetomo (1993), dalam

    pengkulturan harus dalam keadaan aseptis agar terhindar dari kontaminasi oleh

    mikroorganisme yang tidak diharapkan keberadaannya dalam produk, serta mencegah

    adanya infeksi oleh bakteri yang merugikan. Kondisi aseptis ini diperoleh dengan cara

    semua alat harus disterilisasi terlebih dahulu, serta ruang LAF telah disinari dengan

    sinar UV selama kurang lebih 45 menit. Sebelum dilakukan pengambilan dan

    pemindahan starter, tangan dan meja LAF harus disemprotkan dengan alkohol dan

    dikeringkan dengan tissue. Selama pengambilan dan pemindahan starter harus

    menggunakan masker serta dilakukan di dekat bunsen yang menyala.

    Gambar 8. Penambahan starter pada media nata

    Penggunaan starter Acetobacter xylinum menurut Palungkun (1996) sesuai, karena

    bakteri Acetobacter xylinum adalah jenis bakteri yang dapat membentuk selaput tebal

    pada permukaan media cairan fermentasi yang disebut nata. Swissa et al. (1980)

    berpendapat, sebenarnya terdapat beberapa spesies yang merupakan bakteri asam asetat

    dan mampu membentuk selulosa. Namun bakteri asam asetat yang umum digunakan

    secara komersial adalah Acetobacter xylinum. Castaneda et al. (2007) menjelaskan

    bahwa A. xylinum penghasil nata de coco ini bersifat aerob obligat, chemotropic,

  • 10

    berbentuk ellipsoidal, berbentuk basil sedikit melengkung yang tergolong dalam family

    Acetobacteraceae. A. xylinum juga tergolong dalam bakteri gram negatif.

    Selanjutnya air kelapa yang sudah ditambahkan starter digoyang perlahan agar starter

    tercampur merata. Kemudian toples ditutup dengan kertas coklat hingga seluruh bagian

    toples terselubung. Pambayun (2002) menjelaskan bahwa A. xylinum sebenarnya

    membutuhkan oksigen untuk tumbuh, namun oksigen tidak boleh bersentuhan langsung

    dengan permukaan substrat, sehingga penutupan wadah ini dilakukan dengan

    menggunakan kertas agar oksigen tetap dapat masuk ke dalam wadah. Penutupan juga

    dilakukan untuk melindungi nata dari kontaminasi lingkungan sekitar. Setelah itu

    dilakukan inkubasi selama 2 minggu dengan suhu ruang. Hal ini sesuai dengan

    pernyataan Pambayun (2002) bahwa bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada

    suhu ruang, dimana suhu di atas dan di bawah 28C dapat menyebabkan pertumbuhan

    bakteri terhambat, sedangkan suhu diatas 40C dapat membunuh bakteri tersebut.

    Kemudian dilakukan pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata pada hari ke-7 dan 14

    inkubasi. Lama inkubasi nata pada suhu ruang selama 2 minggu yang dilakukan pada

    praktikum ini telah sesuai dengan pernyataan Santosa et al. (2012) bahwa pada tahap

    pembuatan nata de coco dilakukan fermentasi selama 2 minggu. Hal ini diperkuat pula

    oleh teori Rahman (1992) bahwa untuk mendapatkan pembentukan ketebalan nata yang

    optimal dibutuhkan waktu dalam melakukan proses fermentasi berkisar antara 1014

    hari. Setelah dilakukan pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata pada hari ke-7 dan

    14, maka dapat dilakukan perhitungan persentase lapisan nata dengan rumus :

  • 11

    2.3. Hasil Pengamatan

    Berikut merupakan hasil jadi nata pada percobaan kali ini

    Gambar 8. Penampakan Nata Gambar 9. Nata kelompok E3

    2.3.1. Ketebalan Nata

    Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat pada hari ke 7, nata dari kelompok E1 dan

    E4 terbentuk setinggi 0,4 cm sedangkan nata kelompok E2 dan E3 terbentuk 0,5 cm dan

    pada kelompok E5 terbentuk hanya 0,3 cm. Sehingga diketahui pada hari ke 7

    presentase lapisan nata tertinggi (yang ditinjau dari tinggi media awal dan nata yang

    terbentuk pada hari ke 7) adalah pada nata kelompok E3 sebesar 38,46% dan yang

    terendah ada pada kelompok E5 sebesar 12%. Perbedaan presentase nata yang

    dihasilkan jika menurut Rachman (1989) disebabkan oleh faktor-faktor pembentukan

    nata, yaitu meliputi tingkat keasaman, temperatur atau suhu penyimpanan, sumber

    karbon, sumber nitrogen, dan umur kelapa sangat mendukung pertumbuhan dari bakteri

    A. xylinum. Lapuz et al. (1967) menjelaskan bahwa tinggi ketebalan nata dipengaruhi

    oleh lamanya waktu inkubasi. Semakin lama waktu inkubasi, maka lapisan nata yang

    terbentuk akan semakin tebal.

    Jika dilihat pada hari ke 14, lapisan nata kelompok E3 bertambah tebal menjadi 0,8 cm

    dan kelompok E4 menjadi 0,6 cm. Walaupun terjadi peningkatan ketebalan nata, namun

    jika dilihat secara fisik, tidak terdapat lapisan nata yang kokoh terbentuk. Lapisan nata

    hanya berupa lapisan-lapisan dan tidak berada di atas cairan. Hal ini tidak sesuai dengan

    teori Palungkun (1996) bahwa pada fermentasi nata de coco, Acetobacter xylinum

  • 12

    memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan tebal pada permukaan medium.

    Lapisan yang terbentuk di atas medium tersebut merupakan komponen selulosa yang

    terbentuk dari glukosa dan disebut sebagai nata. Komponen selulosa ini akan

    membentuk myofibril yang panjang dalam cairan fermentasi, sehingga lapisan tersebut

    dapat melayang diatas medium. Selain itu, proses fermentasi juga akan menghasilkan

    gelembung-gelembung karbondioksida yang melekat pada selulosa, sehingga

    menyebabkan jaringan tersebut terangkat ke cairan dan nata de coco dapat terlihat

    melayang di atas medium. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Hakimi & Daddy

    (2006) bahwa nata de coco termasuk produk fermentasi dari substrat cair oleh bakteri

    Acetobacter xylinum yang berbentuk gel dan mengandung gula serta asam yang

    terapung pada permukaan mediumnya. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan

    terjadi gangguan berupa goyangan saat inkubasi karena menurut Palungkun (1996),

    nata dapat tidak terbentuk di permukaan cairan apabila terjadi gangguan selama

    fermentasi, misalnya goyangan. Goyangan juga dapat memungkinkan pecahnya nata

    yang terbentuk.

    Namun pada kelompok E2 lapisan nata berkurang ketebalannya menjadi 0,4 sedangkan

    pada kelompok E1 dan E5 tebal lapisan nata tetap. Menurut Wijayanti et al. (2010), hal

    ini dapat disebabkan kandungan oksigen yang kurang dalam nata, sehingga

    pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum terhambat karena ketersediaan oksigen

    merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembuatan nata. Anastasia & Afrianto

    (2008) mengungkapkan bahwa pada ketebalan nata yang menyusut, dapat dikarenakan

    terjadi goyangan pada wadah sehingga pembentukan lapisan tidak sempurna dan lapisan

    nata tenggelam. Sedangkan jika tinggi nata yang tetap walau sudah melewati waktu

    fermentasi yang cukup panjang, dapat dikarenakan kondisi pH media sudah tidak sesuai

    dengan pertumbuhan Acetobacter xylinum akan menyebabkan bakteri tersebut tidak

    tumbuh. Perubahan pH dapat terjadi karena adanya kontaminasi saat proses pembuatan

    ataupun pada saat fermentasi berlangsung.

    Jika dilihat, lapisan nata yang terbentuk pada percobaan kali ini memiliki tinggi

    dibawah 1 cm. Berdasarkan pendapat Seumahu et al. (2007), seharusnya ketinggian

    nata yang optimal adalah 1,5-2 cm dengan lapisan yang kokoh. Selain itu, adanya

  • 13

    mikroba pengganggu dan pemindahan starter yang dilakukan secara tidak aseptis dapat

    menyebabkan kontaminasi yang mengganggu pertumbuhan bakteri Acetobacter

    xylinum, sehingga nata tidak dapat terbentuk. Hal ini sesuai jurnal yang ditulis oleh

    Jagannath et al. (2008) bahwa kondisi aseptis perlu diciptakan pada saat pembuatan

    nata de coco karena penggunaan sukrosa (gula pasir) rentan terkontaminasi dengan

    yeast. Budiyanto (2002) menambahkan bahwa selain pH fermentasi, kebersihan alat

    juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata. Jika alat

    yang digunakan dalam proses pembuatan nata de coco tidak steril dan bersih maka

    dapat menyebabkan kontaminasi dan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter

    xylinum.

    Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan perbedaan lapisan nata yang terbentuk antar

    kelompok dapat dikarenakan wadah yang digunakan pada masing-masing kelompok

    berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Mashudi (1993) bahwa ketinggian media pada

    wadah dalam proses pembentukan nata dapat mempengaruhi ketebalan lapisan nata

    yang terbentuk. Semakin dangkal dan luas permukaan wadah, maka akan menghasilkan

    ketebalan nata yang semakin tinggi. Hal ini dikarenakan adanya oksigen yang cukup

    dan rata pada lapisan nata. Menurut Tranggono & Sutardi (1990), hal lain yang dapat

    mempengaruhi ketebalan nata adalah keaseptisan selama penambahan starter nata. Hal

    ini disebabkan karena keberadaan mikroorganisme yang bersifat perusak / patogen

    berpotensi untuk mengurangi konsentrasi glukosa pada substrat, sehingga berdampak

    pada pembentukan nata.

    2.3.2. Uji Sensois

    Dari tabel uji sensoris nata de coco, dapat dilihat bahwa pada kelompok E1, E2, E4 dan

    E5 menghasilkan nata yang beraroma sangat asam sedangkan nata yang dihasilkan

    kelompokm E3 beraroma tidak asam. Menurut Halib et al. (2012), aroma pada nata de

    coco didapatkan dari hasil oksidasi gula menjadi asam asetat yang dilakukan oleh

    Acetobacter xylinum. Aroma nata yang asam biasanya akan hilang bila telah dilakukan

    pencucian dan perebusan dengan air gula. Tetapi proses pencucian dan perebusan

    dengan air gula tidak dapat dilakukan karena nata yang dihasilkan cair Walaupun pada

    E3 terbentuk padat, tapi tidak kokoh dan serat yang terbentuk tipis.

  • 14

    Warna nata yang dihasilkan semua kelompok sama yaitu kuning. Hal tersebut tidak

    sesuai dengan teori yang ada. Karena, Rahman (1992) mengungkapkan bahwa nata

    merupakan makanan berbentuk padat, kokoh, kuat, putih, transparan dan kenyal. Warna

    kuning pada nata menunjukan bahwa nata yang dihasilkan tercemar atau

    terkontaminasi. Sedangkan tekstur nata yang dihasilkan kelompok E3 adalah tidak

    kenyal dan pada kelompok lainnya nata yang terbentuk adalah cair. Hal ini dipengaruhi

    oleh jumlah serat (selulosa) yang ada pada lapisan nata apakah banyak atau sedikit

    (Herman, 1979). Dapat diartikan bahwa serat selulosa tidak terbentuk. Hal tersebut

    dapat dikarenakan faktor-faktor penyebab kegagalan yang ada.

    Menurut Tranggono & Sutardi (1990), hal lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan

    terbentuknya nata adalah keaseptisan selama penambahan starter nata. Hal ini

    disebabkan karena keberadaan mikroorganisme yang bersifat perusak / patogen

    berpotensi untuk mengurangi konsentrasi glukosa pada substrat, sehingga berdampak

    pada pembentukan nata. Menurut Rachman (1989), faktor-faktor lainnya yang sangat

    penting dalam pembuatan nata adalah pH media atau tingkat keasaman, temperatur atau

    suhu penyimpanan, sumber karbon, sumber nitrogen, dan umur kelapa sangat

    mendukung pertumbuhan dari bakteri A. xylinum. Proses persiapan media nata juga

    sangat mempengaruhi produk nata yang terbentuk. Penambahan bahan-bahan harus

    sesuai sehingga media yang dihasilkan benar-benar dapat dipergunakan sebagai substrat

    oleh bakteri asam asetat dalam pembentukan nata.

  • 15

    3. KESIMPULAN

    Nata de coco merupakan produk fermentasi yang terbuat dari air kelapa yang

    memanfaatkan mikroorganisme Acetobacter xylinum.

    Nata de coco berbentuk padat, kokoh, kuat, memiliki warna transparan, dan

    bertekstur kenyal.

    Acetobacter xylinum mengubah komponen gula menjadi selulosa, dimana selulosa

    yang terbentuk disebut sebagai nata de coco.

    Proses pembuatan nata de coco meliputi 2 tahapan utama, yaitu pembuatan media

    dan proses fermentasi.

    Air kelapa optimal sebagai media untuk memproduksi bakteri Acetobacter.

    Gula berperan sebagai sumber karbon organik yang digunakan oleh bakteri,

    pengawet, dan pemberi tekstur, penampakan, serta flavor nata de coco.

    Konsentrasi optimum gula untuk membuat nata de coco adalah sebesar 10%

    Ammonium sulfat sebanyak 0,5% berperan sebagai sumber nitrogen untuk

    mendukung pertumbuhan dan aktivitas bakteri pembentuk nata.

    Bakteri Acetobacter xylinum tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5 dan tumbuh

    optimum pada pH 4,3.

    Asam asetat glasial berperan sebagai zat asidulan untuk menciptakan pH medium

    yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum.

    Penambahan starter sebanyak 4-10% dilakukan secara aseptis untuk menghindari

    kontaminan dan mencegah adanya infeksi dari bakteri yang merugikan.

    Semakin lama waktu inkubasi, maka lapisan nata yang terbentuk semakin tebal.

    Ketinggian nata yang optimal adalah 1,5-2 cm.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata oleh

    pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pH, ketersediaan oksigen, suhu

    inkubasi, sumber karbon dan nitrogen, umur kelapa, serta kondisi aseptis.

    Semarang, 7 Juli 2015 Asisten Dosen,

    - Wulan Apriliana - Nies Mayangsari

    Hana Melinda

    12.70.0114

  • 16

    4. DAFTAR PUSTAKA

    Almeida, D. M.; R. A. Prestes; A. F. da Fonseca; A. L.Woiciechowski & G. Wosiacki

    (2012). Minerals Consumption by Acetobacter xylinum on Cultivation Medium

    on Coconut Water. Brazilian Journal of Microbiology, Vol. 44 (1) : 197-206.

    Brazil.

    Anastasia, N. & Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai

    Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi

    II, Universitas Lampung. Lampung

    Astawan, M. & M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi

    Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

    Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial-Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

    Budiyanto, M. A. K. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Gizi. UMM Press. Malang.

    Castaneda, L.; F. G. Pineda & Joselito D. G. (2007). Evaluation of Different Acidifying

    Agents for Acetobacter xylinum Pellicle (Nata de Coco) Production. Journal of

    Tropical Biology, Vol. 5 (6) : 32-34.

    Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka

    Utama. Jakarta.

    Hakimi, R & Daddy B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production) pada

    Industri Nata de Coco. Jurnal Teknik Mesin, Vol. 3 (2) : 89-98.

    Halib, N; M. C. I. M. Amin & I. Ahmad (2012). Physicochemical Properties and

    Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of

    Cellulose. Sains Malaysiana, Vol. 41 (2) : 205-211.

    Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

    Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi

    Pangan Indonesia 4(1):9 17.

  • 17

    Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju & A. S. Bawa. (2008). The

    Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The

    Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-Coco) by Acetobacter xylinum.

    World J. Microbiol Biotechnol, Vol. 24 : 2593-2599. India.

    Lapuz, M. M.; Gallardo, E. G. & Palo, M. A. (1967). The Nata Organism Cultural.

    Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science,

    Vol. 96.

    Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu

    Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel

    Nata de Coco. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta, IPB.

    Bogor.

    Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

    Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

    Pato, U. & Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan

    Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70-77.

    Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan

    Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

    Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan

    dan Gizi IPB. Bogor.

    Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentrations and Carboxy

    Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata

    de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol.

    1 (1) : 6-11. Malang.

    Seumahu, C. A.; A. Suwanto; D. Hadisusanto & M. T. Suhartono. (2007). The

    Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco

    Fermentation. Microbiology Indonesia, pp. 65-68.

    Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel

    pada Pembuatan Nata de Coco. [Skripsi]. UGM. Yogyakarta.

  • 18

    Swissa, M.; Aloni, Y.; Weinhouse, H. & Benziman, M. (1980). Intermediary Step in

    Acetobacter xylinum Cellulose Synthesis Studies with Whole Cells and Cell Free

    Preparation of the Wild Type and A Celluloses Mutant. J. Bacteriol., Vol. 143 :

    1142-1150.

    Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin /

    Cummings Publishing Company, Inc. USA.

    Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi

    UGM. Yogyakarta.

    Widayati, E.; Sutarno & R. Setyaningsih. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk

    Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L.

    var. rubescent). Biosmart, Vol. 4 (2) : 32-35.

    Wijayanti, F.; Sri K. & Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey Tahu dan Substrat Air Kelapa.

    Jurnal Industria, Vol. 1 (2) : 86-93.

  • 19

    5. LAMPIRAN

    5.1. Perhitungan

    Persentase Lapisan Nata = 100%x Awal Media Tinggi

    NataKetebalan Tinggi

    Kelompok E1

    Hari ke-7

    % Lapisan nata =

    x 100% = 14,29 %

    Hari ke-14

    % Lapisan nata =

    x 100% = 14,29 %

    Kelompok E2

    Hari ke-7

    % Lapisan nata =

    x 100% = 19,23 %

    Hari ke-14

    % Lapisan nata =

    x 100% = 15,38 %

    Kelompok E3

    Hari ke-7

    % Lapisan nata =

    x 100% = 38,46%

    Hari ke-14

    % Lapisan nata =

    x 100% = 61,54 %

    Kelompok E4

    Hari ke-7

    % Lapisan nata =

    x 100% = 13,33 %

    Hari ke-14

    % Lapisan nata =

    x 100% = 20 %

    Kelompok E5

    Hari ke-7

    % Lapisan nata =

    x 100% = 12 %

    Hari ke-14

    % Lapisan nata =

    x 100% = 12%

    5.2. Laporan Sementara