^nata de coco-try.docx

16
1. HASIL PENGAMATAN 1.1. Lapisan Nata de Coco Data pengamatan tinggi ketebalan dan lapisan nata de coco dapat dilihat pada T berikut. Tabel 1. Tinggi Ketebalan dan Lapisan Nata de Coco Kel Tinggi awal media (cm) Tinggi ketebalan nata (cm) lapisan nata (%) 0 7 14 0 7 14 1 0!" 0 0!4 0!4 0 #0 #0 $ $!0 0 0!$ 0!$ 0 10 10 1!" 0 0!" 0!$ 0 ! 1! 4 1!" 0 0! 0! 0 $0 $0 " 1!" 0 0! 0!1 0 $0 &!&7 'erdasarkan Tabel 1.! dapat dilihat bahwa tinggi awal media pada mai kel mp k berbeda beda tergantung pada lebar wadah t ples *ang digunakan. +a ke 0 dapat dilihat bahwa tinggi ketebalan nata dan lapisan masih 0 kel mp k. Lalu pada hari ke 7 dapat dilihat bahwa tinggi ketebalan nata pada masing kel mp k mulai berbeda beda! begitu pula dengan lapisan nata pada mas masing kel mp k. +ada hari ke 14! tinggi ketebalan nata pada kel mp k da mengalami penurunan! begitu pula dengan lapisan nata pada kel mp k dan ". 'erdasarkan data tersebut! lapisan nata *ang tertinggi adalah kel mp k 1! * dan *ang terendah adalah kel mp k $ *aitu 10%. 1.2. Uji Sensori Nata de Coco Data pengamatan u,i sens ri nata de coco dapat dilihat pada Tabel $. berikut. Tabel $. -,i sens ri Nata de Coco Kel Tinggi awalmedia (cm) r ma /arna 1 0!" $ $ 1!" 4 1!" " 1!" Keterangan r ma /arna

Upload: james-gomez

Post on 04-Nov-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Lapisan Nata de CocoData pengamatan tinggi ketebalan dan lapisan nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Tinggi Ketebalan dan Lapisan Nata de CocoKelTinggi awal media (cm)Tinggi ketebalan nata (cm)lapisan nata (%)

07140714

F10,500,40,408080

F22,000,20,201010

F31,500,50,2033,3313,33

F41,500,30,302020

F51,500,30,10206,67

Berdasarkan Tabel 1., dapat dilihat bahwa tinggi awal media pada maisng-masing kelompok berbeda-beda tergantung pada lebar wadah toples yang digunakan. Pada hari ke-0 dapat dilihat bahwa tinggi ketebalan nata dan lapisan masih 0 pada semua kelompok. Lalu pada hari ke-7 dapat dilihat bahwa tinggi ketebalan nata pada masing-masing kelompok mulai berbeda-beda, begitu pula dengan lapisan nata pada masing-masing kelompok. Pada hari ke-14, tinggi ketebalan nata pada kelompok F3 dan F5 mengalami penurunan, begitu pula dengan lapisan nata pada kelompok F3 dan F5. Berdasarkan data tersebut, lapisan nata yang tertinggi adalah kelompok F1, yaitu 80% dan yang terendah adalah kelompok F2 yaitu 10%.

1.2. Uji Sensori Nata de CocoData pengamatan uji sensori nata de coco dapat dilihat pada Tabel 2. berikut.

Tabel 2. Uji sensori Nata de CocoKelTinggi awal media (cm)AromaWarna

F10,5++++

F22++++

F31,5++++

F41,5++++

F51,5++++

Keterangan:AromaWarna+: sangat asam+: kuning++: asam++: putih bening+++: agak asam+++: putih agak bening++++: tidak asam++++: putih

Berdasarkan Tabel 2., dapat dilihat bahwa atribut aroma dan warna pada nata de coco yang dihasilkan dari kelompok F1-F5 adalah sama, yaitu beraroma agak asam dan berwarna kuning. Tinggi awal media tidak berpengaruh terhadap atribut aroma dan warna pada nata de coco.

2. PEMBAHASAN

2.1. Cara KerjaDalam praktikum ini, bahan baku yang digunakan dalam pembuatan nata de coco adalah air kelapa. Air kelapa digunakan karena mengandung gula (7-10%), protein dan asam amino, serta berbagai macam vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berumbuh dan berkembang. Selain kaya akan nutrisi, air kelapa juga harganya murah dan mudah didapat dan selalu tersedia di alam. Selain air kelapa, sari buah lainnya yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi juga dapat digunakan, seperti sari nanas dan sari jambu (Widayati et al., 2002). Nata de coco dibuat dengan 2 tahapan, yaitu preparasi bahan baku dan fermentasi bakteri Acetobacter xylinum. Air kelapa difermentasi menggunakan Acetobacter xylinum yang akan menghasilkan lapisan seperti gel berbentuk lembaran pada permukaan air kelapa. Biasanya lapisan tipis ini dicuci bersih, dipotong-potong dan direbus, lalu bisa disajikan sebagai dessert yang tinggi serat (Halib et al., 2012). Nata de coco memiliki kandungan serat tidak larut (insoluble fiber) yang tinggi. Serat tidak larut adalah serat yang dapat membantu melancarkan proses pencernaan manusia dengan cara meningkatkan penyerapan air pada usus manusia (Mesomya et al., 2006).

Proses pembuatan nata de coco di awali dengan proses penyaringan air kelapa menggunakan kain saring. Penyaringan bertujuan untuk menghilangkan zat-zat pengotor yang nampak secara visual mata. Setelah itu nata de coco dipanaskan di atas kompor hingga mendidih untuk mengeliminasi mikroorganisme kontaminan yang dapat mempengaruhi hasil akhir nata de coco. Mikroorganisme kontaminan perlu dihilangkan agar tidak mengganggu jalannya proses fermentasi nantinya (Tortora et al., 1995).

Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa

Pada saat proses pemanasan, ke dalam air kelapa ditambahkan gula sebanyak 10% dan amonium sulfat sebanyak 0,5% dari total volume air kelapa yang digunakan, yaitu 1200 ml. Penambahan gula bertujuan sebagai sumber karbon bagi bakteri Acetobacter xylinum yang akan digunakan sebagai sumber energi pada saat proses fermentasi nantinya. Selain itu, penambahan gula juga berfungsi sebagai pemberi rasa manis dan pengawet alami pada nata de coco. Penambahan gula sebesar 10% dari total volume air kelapa yang digunakan sudah sesuai karena dapat memacu proses fermentasi yang paling optimum sehingga dihasilkan nata de coco yang tebal. Jenis gula yang digunakan adalah gula pasir atau sukrosa yang mana paling cocok dan merupakan gula terbaik untuk fementasi nata de coco (Hayati, 2003; Pambayun, 2002; Awang, 1991; Sunarso, 1982). Penambahan gula juga sesuai dengan teori Almeida et al., (2012) bahwa substrat yang akan ditumbuhi oleh Acetobacter xylinum harus diperkaya dengan berbagai macam nutrisi seperti protein, vitamin, garam-garaman dan juga karbohidrat atau gula.

Gambar 2. Pemasakan dan Penambahan Gula.

Penambahan amonium sulfat sebesar 5% bertujuan sebagai sumber nitrogen anorganik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Sumber nitrogen lain yang dapat digunakan adalah protein atau ekstrak khamir, namun sumber nitrogen ini terlalu mahal dan jarang ditemukan. Penggunaan amonium sulfat dikarenakan mudah didapat, murah, dan dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter acesi yang dapat merugikan Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Setelah ditambahkan gula dan amonium sulfat, air kelapa terus menerus diaduk sambil dipanaskan hingga mendidih.

Gambar 3. Penambahan Amonium Sulfat.

Setelah mendidih, air kelapa didinginkan pada suhu ruang, lalu ditambahkan asam cuka glasial hingga pH air kelapa menjadi 4-5. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter yang sebelumnya sudah dikalibrasi terlebih dahulu. Penambahan asam cuka bertujuan untuk menurunkan pH air kelapa sehingga cocok untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum. Air kelapa mengalami penurunan pH karena adanya konversi 2,5-asam ketoglukonat. Acetobacter xylinum dapat bertumbuh secara optimal pada pH 4,3 (Pambayun, 2002) dan 4,2 (Jagannath et al., 2008). Hasil pengukuran pH pada praktikum ini adalah 4,92 dan hal ini kurang sesuai dengan teori di atas. Seharusnya penambahan asam cuka glasial dilakukan hingga pH air kelapa menjadi 4-4,5 agar mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum. Setelah air kelapa ditambahkan asam cuka glasial, lalu air kelapa kembali didihkan untuk mengeliminasi mikroorganisme kontaminan.

Gambar 4. Penambahan Asam Cuka Glasial dan Pengukuran pH.

Air kelapa kemudian dibagi ke dalam 5 wadah yang berbeda, sehingga didapatkan air kelapa pada masing-masing wadah sebanyak 200 ml. Pembagian air kelapa dilakukan dengan menggunakan gelas ukur yang sudah dicuci bersih. Wadah yang digunakan adalah wadah plastik transparan yang tinggi dan berbentuk kotak. Penggunaan wadah tersebut bertujuan untuk memudah praktikan dalam melakukan pengamatan terhadap tinggi ketebalan dan lapisan nata de coco yang telah terbentuk. Selanjutnya wadah yang berisi nata de coco ditambahkan biang nata de coco sebanyak 10% (20 ml) secara aseptis. Penambahan biang tersebut dilakukan dalam Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya sudah disemprot dengan alkohol serta menggunakan kaidah aseptis untuk mencegah terjadinya kontaminasi (Hadioetomo, 1984). Apabila terjadi kontaminasi, maka selulosa yang terkandung pada substrat akan menurun dan menyebabkan proses fermentasi tidak berjalan dengan optimal. Wadah kemudian ditutup menggunakan kertas coklat yang diikat dengan karet dan diinkuasi selama 14 hari dalam suhu ruang. Penggunaan kertas coklat karena kertas coklat memiliki pori-pori yang cukup besar, sehingga dapat mengalirkan udara sedikit demi sedikit masuk ke dalam wadah. Udara dibutuhkan karena Acetobacter xylinum merupakan mikroorganisme aerob yang hanya dapat hidup jika ada O2. Meski demikian, aliran udara harus dikontrol agar tidak merusak lapisan nata yang terbentuk (Pambayun, 2002). Penambahan jumlah starter sebanyak 10% sudah sesuai dengan teori Pato & Dwiloka (1994) bahwa starter dalam pembuatan nata de coco adalah 4-10%. Inkubasi selama 14 hari sudah sesuai dengan teori Misgiyarta (2007) dan Palungkun (1992) bahwa pada umumnya, masa panen nata de coco adalah 10-15 hari.

Gambar 5. Air Kelapa dalam Wadah Plastik Transparan.

Gambar 6. Kultur Starter dan Inkubasi.Pemilihan Acetobacter xylinum sebagai starter dalam pembuatan nata de coco sudah sesuai karena Acetobacter xylinum dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, menguraikan asam amino menjadi CO2 dan H2 dengan melepaskan amonia dan H2S. Pola pertumbuhan Acetobacter xylinum dimulai dari fase adaptasi dimana bakteri akan beradaptasi dengan media yang baru. Fase adaptasi berlangsung selama 24 jam. Setelah itu fase pertumbuhan awal, yaitu bakteri mulai membelah dengan kecepatan yang rendah dan akan bertumbuh dengan pesat pada fase exponensial. Fase eksponensial didukung dengan adanya nutrisi yang cukup serta kondisi lingkungan yang memadai. Ketika nutrisi dalam substrat mulai habis, pertumbuhan akan berjalan lambat dan mulai ada kematian sel. Tahap selanjutnya adalah fase survival dimana bakteri harus dapat hidup meskipun ketersediaan nutrisi sangat minim. Fase yang terakhir adalah kematian yang dikarenakan tidak adanya lagi nutrisi yang dipergunakan dalam substrat. Fase ini ditandai dengan adanya jamur pada permukaan nata de coco. Ketika fase ini telah terjadi, maka nata de coco tidak dapat dipergunakan lagi sebagai starter untuk produksi selanjutnya (Pambayun, 2002).

Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, 7 dan 14. Atribut yang diamati adalah tinggi ketebalan nata de coco dan lapisan nata. Pada hari ke-14 juga dilakukan pengamatan terhadap kualitas nata de coco secara sensori organoleptik. Pengamatan tinggi ketebalan dan lapisan nata dilakukan dengan menggunakan penggaris dan perhitungannya didasarkan pada perbandingan antara volume air kelapa dengan nata yang dihasilkan. Pengamatan sensori dilakukan secara organoleptik menggunakan 5 panca indera panelis. Syarat seorang panelis sehat secara jasmani dan rohani, 5 panca inderanya berfungsi dengan baik, tidak sedang dalam tekanan maupun perasaan gelisah (Soekarto, 1981)

Gambar 7. Pengamatan Lapisan Nata De Coco Hari ke-7

Gambar 8. Pengamatan Lapisan Nata De Coco Hari ke-14.

2.2. Tinggi Ketebalan dan Lapisan NataBerdasarkan Tabel 1. Dapat dilihat bahwa pada kelompok F1, F2 dan F4 tinggi ketebalan dan lapisan nata de coco semakin meningkat, sedangkan pada kelompok F3 dan F5 justru menurun. Nata de coco terbaik dihasilkan oleh kelompok F1 karena lapisan natanya sebesar 80%, sedangkan yang terburuk adalah kelompok F2 yaitu hanya 10%. Bila dibandingkan secara keseluruhan, maka dapat dikatakan bahwa percobaan pembuatan nata de coco pada kloter F adalah gagal atau tidak berhasil, karena dari 5 kelompok yang membuat hanya ada 1 kelompok saja yang berhasil.

Kegagalan pada praktikum dapat disebabkan karena faktor-faktor penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan nata de coco tidak diperhatikan dengan baik. Faktor-faktor yang berpegaruh dalam proses pembuatan nata de coco adalah ketersediaan sumber karbon, sumber nitrogen, pH dan keberadaan mikroorganisme kontaminan (Pato & Dwiloted, 1994). Sumber karbon dan nitrogen dalam praktikum ini sudah terpenuhi dengan baik karena adanya penambahan gula dan amonium sulfat pada proses preparasi substrat. Namun pH substrat pada praktikum ini kurang sesuai dengan teori. Seharusnya pH substrat disesuaikan dengan pH optimal untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum, yaitu pH 4,3 (Pambayun, 2002) dan 4,2 (Jagannath et al., 2008), sedangkan dalam praktikum ini adalah 4,92. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan asam cuka glasial yang lebih banyak hingga pH substrat 4-4,5.

Selain pH, keberadaan mikroorganisme kontaminan pada nata de coco juga tidak dapat dipastikan sepenuhnya aseptis. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak kondusif, terlalu ramai dan banyak praktikan yang tidak menerapkan kaidah aseptis, seperti mengganti sandal sewaktu masuk ke dalam laboratorium, tidak mencuci jas labnya dengan bersih, dan tidak menggunakan sarung tangan saat mengkulturkan starter ke dalam air kelapa. Kondisi yang terlalu ramai disebabkan karena ruang laboratorium yang sempit diisi oleh 2 kloter, yaitu kloter E dan F yang masing-masing melakukan praktikum fermentasi. Kondisi lingkungan yang terlalu padat dapat menyebabkan kontaminasi silang, sehingga menyebabkan kegagalan dalam pembuatan nata de coco. Selain itu, kegagalan pada proses pembuatan nata de coco juga disebabkan karena adanya guncangan yang terlalu kuat pada wadah yang berisi nata de coco. Guncangan tersebut dikarenakan kloter lain ingin mencari wadah miliknya yang tertumpuk-tumpuk oleh wadah kloter lain. Guncangan ini dapat menggagalkan calon lapisan nata de coco sehingga ketebalannya justru menurun. Dugaan lain adalah dimungkinkan starter yang digunakan kurang segar atau sudah terlalu tua, sehingga produktifitasnya menurun. Menurut Pambayun (2012), starter seharusnya diadaptasikan terlebih dahulu pada media yang baru selama 24 jam, setelah itu starter dapat digunakan untuk membuat nata de coco.

2.3. Uji Sensori2.3.1. AromaBerdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa aroma nata de coco pada seluruh kelompok adalah agak asam. Aroma asam yang muncul pada nata de coco disebabkan karena adanya penggunaan asam cuka glasial pada tahap preparasi substrat. Asam cuka glasial adalah larutan asam yang memiliki karakteristik mudah menguap, tergolong larutan asam yang kuat karena merupakan asam cuka murni (glasial), dan memiliki aroma asam. Selain itu, penambahan starter pada proses fermentasi juga menyebabkan nata de coco memiliki bau agak asam. Hal ini disebabkan karena starter yang digunakan adalah serat yang terdapat pada nata de coco yang sudah jadi, sedangkan nata de coco yang sudah jadi juga dibuat dengan proses pengasaman. Dengan demikian, maka penambahan starter juga dapat menyebabkan aroma asam pada nata de coco (Arsatmodjo, 1996; Fardiaz, 1992; Rahman, 1992). Aroma asam pada nata de coco adalah hal yang sangat tidak diinginkan oleh konsumen karena asam yang dihasilkan sangat menyengat. Untuk menghilangkan aroma asam pada nata de coco, biasanya dilakukan pencucian sebanyak 3x dengan air mengalir, lalu dilakukan perebusan selama 30 untuk menguapkan sisa asam pada nata de coco. Adanya aroma asam pada nata de coco menunjukkan bahwa telah terjadi fermentasi oleh bakter Acetobacter xylinum selama masa inkubasi (Santosa et al., 2012).

2.3.2. Warna Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa warna nata de coco pada seluruh kelompok adalah kuning. Warna kuning pada nata de coco disebabkan karena adanya penambahan gula pada proses preparasi substrat. Gula yang terlarut pada air kelapa menyebabkan air kelapa berubah menjadi kuning dan warna kuning tersebut terserap ke dalam jaringan serat nata de coco. Warna kuning juga terjadi karena adanya proses fermentasi oleh Acetobacter xylinum yang menyebabkan warna kekeruhan pada nata menyerupai warna kuning,. Selain itu, perombakan substrat oleh Acetobacter xylinum juga biasanya diikuti oleh terbentuknya endapan karena melibatkan reaksi antara gula dengan nitrogen pada substrat (Arsatmodjo, 1996; Rahman, 1992; Astawan & Astawan, 1991). Pada umumnya, nata de coco memiliki warna putih transparan hingga putih kekuningan. Warna yang dikehendaki adalah putih transparan. Adanya warna kekuningan disebabkan karena selama proses pemasakan menggunakan suhu terlalu tinggi, sehingga gula mengalami karamelisasi dan menyebabkan warna kuning.

3. KESIMPULAN

Perebusan air kelapa bertujuan untuk mengeliminasi mikroorganisme kontaminan. Gula pasir (10%) berfungsi sebagai sumber karbon dalam proses fermentasi nata de coco. Amonium sulfat (0,5%) berfungsi sebagai sumber nitrogen dalam proses fermentasi nata de coco. Asam cuka glasial berfungsi untuk menurunan pH air kelapa menjadi 4-5. Starter yang ditambahkan dalam proses fermentasi sebesar 4-10%. Penutupan kertas coklat bertujuan untuk memberikan suplai O2 bagi bakteri untuk melakukan fermentasi. Faktor yang mempengaruhi produksi nata de coco adalah ketersediaan sumber karbon, sumber nitrogen, pH, temperatur dan adanya mikroorganisme kontaminan. Aroma asam pada nata de coco disebabkan karena adanya proses fermentasi dan penambahan asam cuka glasial. Warna kuning pada nata de coco disebabkan karena adanya penambahan gula.

Semarang, 10 Juli 2015PraktikanAsisten Praktikum, Nies Mayangsari Wulan Apriliana

Lukas Terry Boedianto12.70.0044

4. DAFTAR PUSTAKA

Almeida, M. D; Prestes, A. R; Fonseca; Woiciechowski; & Wosiacki. (2012). Minerals consumption by Acetobacter xylinum on cultivation medium on coconut water. Brazilian Journal of Microbiology. Vol 44(1) : 197-206

Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. Skripsi Fateta. IPB. Bogor.

Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.

Awang, S. A. (1991). Kelapa Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Jakarta.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.

Halib, N., M. C. Iqbal., M. Amin., dan I. Ahmad. (2012). Physicochemical properties and characterization of nata de coco from local food industries as a source of cellulose. Sains Malaysiana. 41(2): 205-211.

Hayati, M. ( 2003 ). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta

Jagannath, A., A. Kalaiselvan., dan S. S. Manjunatha. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentration on production of bacterial cellulose (nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J. Microbiol. Biotechnol. 24:2593-2599.

Mesomya, W., V. Pakpeankitvatana., S. Komindr., P. Leelahakul., Y. Cuptapun., D. Hengsawadi., P. Tammarate., dan P. Tangkanakul. (2006). Effect of health food from cereal and nata de coco on serum lipids in human. Songklanakarin J. Sci. Technol., 28: 23-28.

Misgiyarta, 2007, Teknologi Pembuatan Nata de Coco, Pelatihan Teknologi Pengolahan Kelapa Terpadu Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.

Palungkun, R. (1992). Aneka Produk Olahan Kelapa. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloka, B. (1994). Proses & Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70-77.

Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A . (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta Santosa dkk., 2012

Santosa, B., Kgs. Ahmadi., dan D. Taeque. (2012). Dextrin concentration and carboxy melthyl cellulosa (CMC) in making of fiber-rich instant beverage from nata de coco. IEESE Int. J. of Sci. and Technol. Vol 1. No. 1. 6-11.

Soekarto, S. T. (1981). Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. PUSBANGTEPA / Food Technology Development Center. IPB. Bogor.

Sunarso.(1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco.Skripsi.UGM.Yogyakarta.

Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case.(1995). Microbiology.The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Persentase Lapisan Nata =

Kelompok F1

H0 % Lapisan Nata = = 0

H7 % Lapisan Nata = = 80

H14 % Lapisan Nata = = 80

Kelompok F2

H0 % Lapisan Nata = = 0

H7 % Lapisan Nata = = 10

H14 % Lapisan Nata = = 10

Kelompok F3

H0 % Lapisan Nata = = 0

H7 % Lapisan Nata = = 33,33

H14 % Lapisan Nata = = 13,33

Kelompok F4

H0 % Lapisan Nata = = 0

H7 % Lapisan Nata = = 20

H14 % Lapisan Nata = = 20

Kelompok F5

H0 % Lapisan Nata = = 0

H7 % Lapisan Nata = = 20

H14 % Lapisan Nata = = 80

5.2. Laporan Sementara

5.3. Jurnal