nata de coco francisca sari 12.70.0157 d4

31
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan praktikum pembuatan nata de coco kloter D dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1.Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco Yang Dihasilkan Ke l Tinggi Media Awal (cm) Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata 0 7 14 0 7 14 D1 2 - 0,5 0,7 - 25 35 D2 1,2 - 0,5 0,6 - 41,67 50 D3 1,3 - 0,4 0,5 - 30,77 38,46 D4 1 - 0,4 0,5 - 40 50 D5 2,5 - 0,6 0,6 - 24 24 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa ketebalan lapisan Nata de Coco setiap kelompok ini berbeda-beda. Kelompok D1 memiliki tinggi media awal adalah 2 cm. Setelah hari ke-7 ini lapisan nata yang terbentuk memiliki ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 ini ketebalan nata yang terbentuk adalah 0,7 cm. presentase dari masing-masing ketebalan nata yaitu 25% dan 35%. Kelompok D2 memiliki tinggi media awal adalah 1,2 cm. Setelah hari ke-7 ini lapisan nata yang terbentuk memiliki ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 ini ketebalan nata yang terbentuk adalah 0,6 cm. Presentase dari masing-masing ketebalan nata yaitu 42,67% dan 50%. Kemudian, pada kelompok D3 ini memiliki tinggi media awal sebesar 1,3 cm. Pada hari ke- 7 didapatkan lapisan nata sebesar 0,4 cm dan 0,5 pada hari ke-14. Dengan masing-masing presentase ketebalan nata adalah 30,77% dan 38,46%. Kemudian, pada kelompok D4 ini 1

Upload: james-gomez

Post on 12-Sep-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nata de coco ini dibuat dengan menggunakan bahan baku air kelapa. Air kelapa ini akan dijadikan media untuk pertumbuhan bakteri. Pembuatan nata de coco ini menggunakan metode fermentasi dimana Acetobacter xylinum ini sebagai mikroorganisme pembentuk nata de coco.

TRANSCRIPT

Acara III1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan praktikum pembuatan nata de coco kloter D dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1.Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco Yang DihasilkanKelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

D12-0,50,7-2535

D21,2-0,50,6-41,6750

D31,3-0,40,5-30,7738,46

D41-0,40,5-4050

D52,5-0,60,6-2424

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa ketebalan lapisan Nata de Coco setiap kelompok ini berbeda-beda. Kelompok D1 memiliki tinggi media awal adalah 2 cm. Setelah hari ke-7 ini lapisan nata yang terbentuk memiliki ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 ini ketebalan nata yang terbentuk adalah 0,7 cm. presentase dari masing-masing ketebalan nata yaitu 25% dan 35%. Kelompok D2 memiliki tinggi media awal adalah 1,2 cm. Setelah hari ke-7 ini lapisan nata yang terbentuk memiliki ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 ini ketebalan nata yang terbentuk adalah 0,6 cm. Presentase dari masing-masing ketebalan nata yaitu 42,67% dan 50%. Kemudian, pada kelompok D3 ini memiliki tinggi media awal sebesar 1,3 cm. Pada hari ke- 7 didapatkan lapisan nata sebesar 0,4 cm dan 0,5 pada hari ke-14. Dengan masing-masing presentase ketebalan nata adalah 30,77% dan 38,46%. Kemudian, pada kelompok D4 ini memiliki tinggi media awal sebesar 1 cm. Pada hari ke- 7 didapatkan lapisan nata sebesar 0,4 cm dan 0,5 pada hari ke-14. Dengan masing-masing presentase ketebalan nata adalah 40% dan 50%. Sedangkan, kelompok D5 dengan ketinggian media awal adalah 2,5 cm memiliki ketebalan lapisan nata pada hari ke-7 dan hari ke-14 adalah 0,6 cm dengan presentase lapisan nata yaitu 24%.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Lapisan NataKelompokAromaWarnaTekstur

D1++++

D2++++++

D3+++++++

D4+++++

D5++++

Keterangan:Aroma Warna Tekstur++++ : tidak asam++++ : putih ++++ : sangat kenyal+++ : agak asam+++ : putih bening +++ : kenyal++ : asam++ : putih agak bening ++ : agak kenyal+ : sangat asam+ : bening + : tidak kenyal

Dari tabel hasil pengamatan di atas, dapat dilihat uji sensori dari setiap kelompok menghasilkan aroma, warna dan tekstur yang berbeda-beda. Pada kelompok D1 memiliki aroma asam, dengan warna kuning dan tidak kenyal. Kelompok D2 menghasilkan aroma asam, warna kuning dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada kelompok D3 ini menghasilkan aroma agak asam, dengan warna putih bening dan tekstur yang agak kenyal. Selanjutnya, pada kelompok D4 ini memiliki aroma sangat asam, dengan warna kuning dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada kelompok D5 ini menghasilkan aroma asam dengan warna kuning dan tekstur yang tidak kenyal.

17

12. PEMBAHASAN

Praktikum yang dilakukan oleh kloter D ini adalah pembuatan nata de coco. Sesuai dengan namanya, nata de coco ini dibuat dengan menggunakan bahan baku air kelapa. Air kelapa ini akan dijadikan media untuk pertumbuhan bakteri. Pembuatan nata de coco ini menggunakan metode fermentasi dimana Acetobacter xylinum ini sebagai mikroorganisme pembentuk nata de coco. Menurut Anastasia & Afrianto (2008) nata termasuk dalam selulosa yang memiliki warna putih transparan, dengan bentuk padat, dan tekstur kenyal. Nata de coco ini merupakan salah satu contoh produk fermentasi menggunakan substrat cair dengan bantuan mikroorganisme yaitu Acetobacter xylinum, ketika proses ini berhasil, maka akan memiliki kandungan gula, berbentuk gel dan asam pada permukaan medium yang mengapung (Hakimi & Daddy, 2006). Hal ini didukung oleh Jagannath et al. (2008) yang menuliskan di dalam jurnal bahwa biomassa nata dapat dihasilkan oleh Acetobacter xylinum yang mengalami pertumbuhan selama proses fermentasi cairan berlangsung karena adanya kandungan gula dan asam. Biomassa tersebut akan muncul pada bagian permukaan dari media yang digunakan.

Menurut Moat (1986) dalam pembuatan nata de coco ini menggunakan bakteri Acetobacter xylinum dengan genus Acetobacter gram negatif bersifat aerob. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Awang (1991), bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan menggunakan nutrient yang ada dalam air kelapa ini sebagai medium untuk pertumbuhannya. Dimana, akan terbentuk lapisan yang tipis dan licin, permukaan yang tebal, dimana semakin tebal permukaan akan berjalaan seiring dengan berjalannya waktu pembentukan setelah 15-20 hari. Biasanya, lapisan selulosa tersebut akan dipotong dalam bentuk kubus (kotak-kotak kecil seprti dadu) dicuci dan dapat diolah lebih lanjut. Jadi, pembentukan nata ini terjadi imbibisi air ke dalam selulosa ( 90%).

Nutisi yang terkadung dalam air kelapa antara lain mengandung air sebanyak 91,23% dan komponen utama yaitu karbohidrat sebanyak 7,27%, lemak sebesar 0,15%, protein sebesar 0,29%. Selain itu juga mengandung kadar abu sebesar 1,06%, asam niotinat 0,01 mg, mengandung asam pantotenat 0,52 mg, riboflavin 0,01 mg, dan asam folat 0,003 mg/l, dan biotin 0,02 mg (Palungkun, 1996). Kandungan yang lengkap dan kandungan air yang tinggi di dalam air kelapa tersebut akan digunakan oleh bakteri Acetobacter xylinum dalam mendukung pertumbuhannya. Kandungan air di nata tergolong tinggi.

Di dalam jurnal yang dituliskan oleh Halib et al. (2012) bahwa bakteri Acetobacter xylinum merupakan bakteri asam asetat yang menguntungkan karena gula dan alkohol dapat dioksidasi. Pernyatan ini didukung oleh Anastasia & Afrianto (2008) gula atau glukosa dalam pembuatan Nata de coco ini merupakan sumber karbon. Gula yang terdapat di dalam media oleh bakteri Acetobacter xylinum ini akan dipecah menjadi polisakarida (selulosa) dengan pembentukan benang-benang serat, dimana akan semakin tebal seiring dengan berjalannya waktu dan akan terbentuk jaringan yang kuat. Bipolimer yang dihasilkan dari Acetobacter xylinum disebut dengan selulosa. Selulosa sendiri merupakan bipolimer yang dihasilkan dari mikroorganisme. Selulosa yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum ini akan mempunyai tingkat kekenyalan yang tinggi, kemampuan mengikat air yang tinggi, rongga yang besar, dan kemampuan mengkristal yang baik. Kualitas selulosa yang baik memiliki banyak myofibril (Czaja et al, 2004).

Langkah awal yang dilakukan dalam praktikum pembuatan Nata de coco ini adalah pembuatan media awal dengan bahan baku air kelapa. Air kelapa ini disaring menggunakan kain saring dengan tujuan agar di dapatkan air kelapa yang bersih, bebas dari kontaminan, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan yang baik oleh bakteri Acetobacter xylinym untuk didapatkan hasil Nata de coco dengan kualitas yang baik (Pato & Dwiloka, 1994).

Gambar 1. Proses Penyaringan Air Kelapa

Penggunaan air kelapa ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Air kelapa ini digunakan ini memiliki beberapa keunggulan dan kelemaha. Salah satu keunggulan yang diperoleh adalah dapat digunakan sebagai substrat dengan efisiensi yang tinggi karena media ini adalah cair sehingga tidak memerlukan banyak tempat. Disamping itu, air kelapa merupakan bahan baku yang mudah didapat dengan harga yang murah, ketersediaan yang berkelanjutan, dan dapat menekan adanya kontaminasi, karena sebab air kelapa ini merupakan produk alami. Disamping itu, kelemahan menggunakan air kelapa ini adalah dapat menyebabkan kerusakan lingkungan karena adanya isolat dalam fermentasi (Rahman, 1992). Berdasarkan jurnal oleh Almeida et al. (2012) menuliskan bahwa air kelapa ini dapat merangsang produksi bakteri Acetobacter xylinum untuk dapat menghasilkan selulosa karena adanya kandungan nutrisi yang digunakan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Selain mengandung sumber nitrogen dan sumebr karbon, media dalam fermentasi harus mengandung nutrisi seperti protein, lemak karbohidrat, garam anorganik dan garam organik seperti K, Na, Fe, Ca, dan Mg. Senyawa tersebut digunakan sebagai kofaktor enzimatis untuk produksi polisakarida. Dalam produksi bakateri selulosa oleh Acetobacter xylinum, magnesium ini penting dalam pemeliharaan metabolisme sel, selain itu magnesium ini tersedia juga untuk pertumbuhan dan memproduksi selulosa. Hal ini dikarenakan magnesium ini berpartisipasi langsung dalam aktivitas enzim selulose dan akan diaktifkan oleh oligonukleotida. Ini sangat penting dalam pembentukan jaringan subunit myofibril.

Setelah air kelapa disaring, akan didapatkan air kelapa yang bebas dari kotoran. Selanjutnya, air kelapa ini dimasukkan ke dalam panci, dan dipanaskan lalu ditambah dengan gula pasir kemudan diaduk hingga gula larut. Gula pasir yang ditambahkan adalah sebesar 10% dari volume air kelapa. Air kelapa ini akan menyediakan sumber karbon organik untuk Acetobacter xylinum yang akan menghasilkan selulosa yang tebal (Awang, 1991). Menurut Pambayun, (2002) gula yang digunakan sebagai sukrosa dalam fermentasi Nata de coco ini adalah gula pasir. Pada praktikum ini gula pasir yang digunakan dengan konsentrasi 10% ini telah sesuai dengan teori yang ada, karena digunakan sebagai sumber unsur organik dalam proses fermentasi, dan pada konsentrasi tersebut dapat menghasilkan lapisan nata yang tebal. Namun, bila konsentrasi gula pasir yang ditambahkan terlalu sedikit atau bahkan lebih, akan menyebabkan bakteri Acetobacter xylinum tidak memanfaatkannya dengan optimal (Sunarso, 1982). Gula pasir ini tidak hanya mempengaruhi ketebalan dari nata namun juga mempengaruhi penampakan tekstur dan flavor (Hayati, 2003).

Selanjutnya, ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dengan tujuan untuk menyediakan sumber organik nitrogen untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum sehingga proses fermentasi dapat berjalan dengan baik (Awang, 1991). Hal ini didukung oleh Pambayun (2002) bahwa selain ammonium sulfat, yang dapat digunakan sebagai sumber nitrogen adalah ammonium fosfat, urea, ekstrak dari yeast, protein. Proses selanjutnya adalah ditambahkan asam cuka glasial hingga tercapai pH 4-5. Asam cuka glasial yang ditambahkan ini akan membantu menciptakan suasana asam dengan pH sekitar 4-5 agar media tersebut dalam kondisi yang optimal. Suasana asam ini akan mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Hal ini ditambahkan oleh Anastasia & Afrianto (2008), penambahan acidulan ini akan menciptakan pH yang sesuai untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu sekita pH 4 sampai 5, sehingga akan menghasilkan Nata de coco. Setelah panambahan asam cuka glasial dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan penyaringan kembali untuk mendapatkan air kelapa yang bebas dari kotoran/ kontaminasi yang tidak mendukung proses fermentasi (Pato & Dwiloka, 1994).

(a)(b)(c)(d)Gambar 2. (a) Penambahan Gula Pasir (b) Penambahan Ammonium Sulfat (c) Penambahan Asam Cuka Glasial (d) Pengecekkan pH

Menurut Awang (1991) pH merupakan faktor yang penting dalam pembuatan Nata de coco oleh Acetobacter xylinum karena bakteri tersebut memiliki sifat yang spesifik dan khusus. Bakteri Acetobacter xylinum memiliki kemampuan untuk dapat hidup pada pH yang rendah, sehingga bakteri Acetobacter xylinum ini akan mengeluarkan energi yang besar agar proses fermentasi tetap berjalan dengan baik. Dengan adanya sifat yang spesifik tersebut, akan terjadi pembentukan selulosa di permuakaan substrat cair. (Atlas, 1984).

Kemudian, setelah pH sudah mencapai 4-5 maka dilakukan pemanasan lagi dan disaring lagi. Penyaringan lanjutan ini dengan tujuan agar air kelapa yang digunakan untuk proses selanjutnya ini, bersih dan bebas dari kotoran yang dapat mengkontaminasi media. Selanjutnya masuk dalam proses fermentasi. Awalnya, wadah plastik diambil untuk meletakkan media yang akan dijadikan Nata de coco. Sebanyak 100 ml media steril dimasukkan ke dalam wadah pastik dan kemudian ditutup rapat meggunakan kertas coklat. Kemudian biang nata (starter) dimasukkan ke dalam wadah yang berisi media sebanyak 10% dari jumlah media. Perlakuan ini dilakukan secara aseptis, dan media yang telah dicampur dengan starter tersebut di gojog denga perlahan hingga semua starter tercampur rata kemudian ditutup kembali menggunakan kertas coklat. Tidak lupa praktikan mengukur ketinggian dari media awal. Praktikum ini sudah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Pato & Dwiloka (1994) bahwa secara ideal, starter yang ditambahkan ke dalam media untuk produksi Nata de coco ini adalah sebanyak 4-10%. Apabila jumlahnya kurang atau lebih dari standar ideal, maka nata yang dihasilkan ini memiliki karakteristik yang kurang dari standar yang ada. Penambahan starter ini agar terbentuk lapisan tebal di permukaan. Wadah plastik yang ditutupi dengan kertas coklat ini selain mencegah kontaminasi yang ditimbulkan dari lingkungan luar, penutupan ini merupakan cara agar bakteri Acetobacter xylinum ini dapat tumbuh dengan baik. Karena bakteri Acetobacter xylinum ini termasuk dalam bakteri anaerob yang dapat memproduksi asam asetat dari etanol (Fardiaz, 1992). Penginokulasian bakteri Acetobacter xylinum ini dilakukan secara aseptis, untuk menghindari kontaminasi mikroba pencemar (yang tidak diinginkan) dan dari lingkungan sekitar. Cara aseptis ini dapat dilakukan dengan menyemprotkan alkohol pada meja percobaan, tangan praktikan. Selain itu, dalam proses penginokulasian ini digunakan api bunsen untuk mencegah kontaminasi bakteri pencemar (Hadioetomo,1993).

Gambar 4. (a) Pemasakkan kembali Air Kelapa (b) Penyaringan Kembali (c) Air Kelapa dimasukan ke dalam wadah plastik (d) Pengukuran Ketinggian Media Awal (e) Penambahan starter secara aseptis (f) Wadah plastik di tutup dengan kertas coklat

Kemudian, masuk dalam tahap inkubasi. Inkubasi ini dilakukan selama 2 minggu. Dimana pada hari ke-7 dan hari ke-14 dilakukan pengamatan visual, yaitu pengukuran lapisan nata mengetahui ketebalan lapisan Nata de coco. Proses inkubasi ini dilakukan di suhu ruang dan tanpa terpapar oleh cahaya. Pada saat diinkubasi ini, wadah plastik dibirakan tenang atau tidak boleh tergoyang, hal ini berfungsi agar lapisan nata tidak yang terbentuk tidak terpisah. Proses inkubasi ini dilakukan pada suhu ruang yaitu 28-30oC karena pada suhu tersebut merupakan suhu yang optimum untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum (Wijayanti et al, 2010). Rahayu et al. (1993) menambahkan suhu inkubasi ini penting dalam pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Karena, apabila suhu inkubasi ini menggunakan suhu yang tinggi, menyebabkan bakteri Acetobacter xylinum ini akan mati, namun apabila suhu inkubasi menggunakan suhu rendah akan didapatkan nata dengan tekstur yang lunak atau tidak membentuk lapisan nata. Hal ini ditegaskan kembali oleh Pambayun (2002), pada proses inkubasi bakteri Acetobacter xylinum ini diberikan kesempatan untuk beradaptasi dan beraktivitas sehingga dapat membantu dalam pembentukan nata di permukaan media dengan mengubah gula menjadi selulosa. Kemudian, pengamatan pada pembentukan lapisan nata akan dilakukan pada hari ke-7 dan ke-14 untuk mengetahui ketebalan lapisan Nata de coco.

Setelah proses inkubasi ini selesai, maka dilakukan pengamatan sensori seperti warna, tekstur dan aroma. Pengamatan juga dilakukan dengan mengukur ketebalan lapisan nata yang dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14 menggunakan rumus :

Proses fermentasi dari proses pembuatan Nata de coco ini berakhir ketika terjadi pembentukan lapisan putih. Dengan adanya pembentukan lapisan putih ini, berarti pembentukan myofibril yang panjang dari glukosa ini telah dimulai. Hal ini menunjukkan adanya selulosa ketika fermentasi sedang berlangsung. Pembentukan lapisan nata ini terjadi di permukaan media (Rahman, 1992). Adanya pertumbuhan mikrorganisme ini juga dapat menyebabkan terbentuknya lapisan nata menyerupai benang-benang selulosa, yang secara bertahap akan berubah warna menjadi transparan dan padat (Pambayun, 2002). Adanya pembentukan lapisan nata ini juga ditegaskan oleh Hamid et al. (2011) pembentukan lapisan nata ini disebabkan adanya gas karbondioksida yang dihasilkan dari proses fermentasi, sehingga menyebabkan lapisan nata ini terangkat ke permukaan. Pengangkatan lapisan Nata de coco ke permukaan tersebut mekanismenya adalah Glukosa (Glukokinase) ini dipecah menjadi Glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase). Selanjutnya akan diuraikan membentuk Glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirofosforilase) dipecah lagi menjadi UDP- Glukosa (Sintesis selulosa) dan akhirnya terbentuk selulosa.

Gambar 5. Hasil Nata de cocoRahayu et al (1993) mekanisme dalam pembentukan Nata de coco ini bila substrat mengandung gula, gula ini akan digunakan oleh bakteri Acetobacter xylinum ini untuk menunjang proses pertumbuhannya, sehingga gula di dalam substrat ini akan membentuk selulosa. Semain lama, selulosa yang dihasilkan akan semakin tebal dan menghasilkan jaringan yang kuaatau partikel nata (Rahman, 1992).

Berdasarkan jurnal yang telah ditulis oleh Mesomya et al. (2006) bahwa Nata de coco merupakan produk pangan dengan serat pragnik yang tinggi yang diproduksi melalui fermentasi bakteri dalam air kelapa. Nata de coco memiliki kandungan selulosa yang tinggi, rendah lemak dan kalori, dan tidak terdapat kolesterol. Sehingga produk Nata de coco ini baik dikunsumai sebagai makanan untuk orang yang sedang diet karena dapat membantu mengontrol berat badan dan juga membantu dalam pencegahan kanker seperti kolon dan rektum. Hernaman (2007) menyatakan bahwa Nata de coco merupakan produk pangan yang kaya akan kandungan seratnya. Ini menyebabkan adanya kandungan serat pangan ini dapat mengikat lemak yang menyebabkan penyerapan mineral yang rendah di dalam tubuh. Kandungan serat dalam Nata de coco dapat membantu pencernaan dan mengurangi terkena resiko kanker usus.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan ini, diketahui bahwa tinggi media awal setiap kelompok ini berbeda-beda. Begitu pula pada ketebalan dan presentase ketebalan nata ini juga berbeda-beda. Perbedaan ketinggian awal media ini disebabkan karena wadah plastik yang digunakan oleh setiap kelompok berbeda-beda, sehingga volume wadahnya pun juga berbeda. Bila pembuatan Nata de coco ini dibuat dalam wadah dengan permuaakn yang lebar dan tidak tinggi, akan menghasilkan nata dengan ketebalan yang tinggi, namun bila pembuatan Nata de coco ini dalam wadah dengan luas permukaan yang kecil dan tinggi akan menghasilkan lapisan nata yang rendah dikarenakan susah dalam penyediaan oksigen (Mashudi, 1993). Hal ini akan berpengaruh terhadap hasil akhir dari Nata de coco. Kelompok D1 memiliki tinggi media awal adalah 2 cm. Setelah hari ke-7 ini lapisan nata yang terbentuk memiliki ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 ini ketebalan nata yang terbentuk adalah 0,7 cm. presentase dari masing-masing ketebalan nata yaitu 25% dan 35%. Kelompok D2 memiliki tinggi media awal adalah 1,2 cm. Setelah hari ke-7 ini lapisan nata yang terbentuk memiliki ketebalan 0,5 cm, dan pada hari ke-14 ini ketebalan nata yang terbentuk adalah 0,6 cm. Presentase dari masing-masing ketebalan nata yaitu 42,67% dan 50%. Kemudian, pada kelompok D3 ini memiliki tinggi media awal sebesar 1,3 cm. Pada hari ke- 7 didapatkan lapisan nata sebesar 0,4 cm dan 0,5 pada hari ke-14. Dengan masing-masing presentase ketebalan nata adalah 30,77% dan 38,46%. Kemudian, pada kelompok D4 ini memiliki tinggi media awal sebesar 1 cm. Pada hari ke- 7 didapatkan lapisan nata sebesar 0,4 cm dan 0,5 pada hari ke-14. Dengan masing-masing presentase ketebalan nata adalah 40% dan 50%. Sedangkan, kelompok D5 dengan ketinggian media awal adalah 2,5 cm memiliki ketebalan lapisan nata pada hari ke-7 dan hari ke-14 adalah 0,6 cm dengan presentase lapisan nata yaitu 24%. Seiring dengan berjalannya waktu, ketinggian yang diperoleh ini semakin meningkat. Begitu pula dengan ketebalan lapisan nata dan presentase ketebalan nata. Hal ini telah sesuai dengan teori Lapuz et al (1967) bahwa waktu inkubasi ini berbading lurus dengan peningkatan ketebalan nata. Jadi, semakin lama waktu inkubasi, maka akan menghasilkan lapisan Nata de coco yang semakin tebal dengan presentase yang meningkat pula. Namun, pada kelompok D5 ini semakin lama waktu inkubasi, ketebalan yang diperoleh tidak ada peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena kuranynya suplai oksigen, adanya gangguan saat proses fermentasi berlangsung (Rahman, 1992). Wijayanti et al. (2010) menambahkan bahwa ketebalan yang tidak meningkat ini dapat disebabkan pula karena media yang digunakan ini terlalu peka sehingga menyebabkan pembentukan selulosa terhambat.

Ketebalan media yang dihasilkan oleh masing-masing kelompok ini berbeda-beda. Namun pada ketinggian awal yang berbeda, bisa menghasilkan ketebalan yang hampir sama pada setiap kelompok. Hal ini disebabkan karena kandungan oksigen, nutien yang masih kurang, sumber mineral seperti K, Na, C, Fe dll yang tidak mencukupi dalam pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum terhambat. Presesntase tinggi ketebalan nata ini menandakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum memecah (Anastasia & Afrianto, 2008). Selain itu, ketebalan media yang berebda-beda dari setiap kelompok ini disebabkan pula karena tingkat keasaman. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa pH ini juga berpengaruh dalam menentukan ketebaln dari Nata de coco. pH optimum untuk media adalah 4-5. Perbedaan ketebalan ini juga disebabkan karena untuk pengukuran pH setiap kelompok ini berbeda-beda. Sehingga, nata yang terbentuk pada kisaran pH 3,5-7,5 ini memiliki nata yang tipis dan lunak. Suhu saat dilakukan fermentasi juga dapat memoengaruhi ketebalan dari nata. Tinggi yang optimal untuk Nata de coco ini adalah 1,5-2 cm, dengan warna yang transparan dan tekstur gel yang homogen (Seumahu et al., 2007). Namun, bila ketinggian nata yang diperoleh ini tidak sesuai dengan standar makan akan didapatkan nata dengan kualitas yang kurang baik yaitu warna putih pucat.

Dengan adanya hasil uji sensori yang telah dilakukan, maka di dapatkan data bahwa pada kelompok D1 memiliki aroma asam, dengan warna kuning dan tidak kenyal. Kelompok D2 menghasilkan aroma asam, warna kuning dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada kelompok D3 ini menghasilkan aroma agak asam, dengan warna putih bening dan tekstur yang agak kenyal. Selanjutnya, pada kelompok D4 ini memiliki aroma sangat asam, dengan warna kuning dan tekstur yang kenyal. Sedangkan pada kelompok D5 ini menghasilkan aroma asam dengan warna kuning dan tekstur yang tidak kenyal.

Pada hasil pengamatan, aroma yang dihasilkan oleh setiap kelompok ini adalah bekisar antara sangat asam dan agak asam. Aroma asam yang ditimbulkan ini menandakan bahwa Nata de coco ini memiliki pH yang asam dan mengindikasi bahwa telah dilakukan proses fermentasi (Astawan & Astawan, 1991). Aroma yang sangat asam ini disebabkan karena tidak adanya proses pencucian. Hal ini tidak sesuai dengan Rahayu et al. (1993) bahwa untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan aroma asam ini dapat dilakukan proses pencucian. Hal ini ditegaskan oleh Arsatmodjo (1996) bahwa cara untuk menghilangkan aroma asam pada nata ini dapat dicuci dengan air bersih,lalu direbus bersama dengan penambahan gula, sehingga tidak muncul aroma asam. Namun, sebenarnya rasa asam ini berasal dari penambahan asam cuka glasial. Hal ini diperkuat oleh teori Rahman (1992) dan Fardiaz (1992) bahwa aroma asam yang ditimbulkan ini dipengaruhi oleh asam cuka glasial yang ditambahkan pada proses pembuatan Nata de coco selain itu aroma asam ini juga disebabkan karena asam asetat yang ditimbulkan dari proses fermentasi. Namun berdasarkan hasil pengamatan, setiap kelompok ini memiliki perbedaan aroma. Perbedaan aroma disebabkan karena pengarturan pH pada media. Sehingga, ketika fermentasi berlangsung bakteri Acetobacter xylinum ini memiliki perbedaan pertumbuhan dan menghasilkan aroma asam yang berbeda-beda.

Selanjutnya, dilakukan analisis warna. Warna yang ditimbulkan ini berbeda-beda untuk setiap kelompoknya. Untuk kelompok D1, D2 D4 dan D5 memiliki warna kuning. Sedangkan pada kelompok D3 memiliki warna putih bening. Menurut Santosa et al (2012) Nata de coco memiliki warna putih, bentuk yang kubus yang padat dan kokoh. Teori ini sesuai dengan praktikum yang dihasilkan pada kelompok D3. Namun teori tersebut tidak sesuai dengan hasil praktikum yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan warna air kelapa sebagai media ini memiliki warna kuning, dan proses fermentasi yang telah ditambah dengan gula. Menurut Rahman (1992) menyatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan memberikan warna yang keruh karena bakteri Acetobacter xylinum ini mendegradasi substrat dan akan mengendap. Gula yang bertinteraksi dengan nitrogen ini juga akan meyebabkan kekeruhan. Hal ini ditambahkan oleh Mashudi (1993) bahwa warna kuning yang dihasilkan ini disebabkan karena reaksi browning.

Analisa sensoris yang terakhir ini adalah tekstur. Pada kelompok D1 dan D5 ini menghasilkan tekstur tidak kenyal. Sedangkan pada kelompok D2 dan D4 ini memiliki tekstur yang kenyal, dan pada kelompok D3 ini memiliki tekstur yang agak kenyal. Kekenyalan ini berhubungan dengan ketebalan Nata de coco, dimana ketebalan Nata de coco ini ditentukan dari banyaknya selulosa. Apabila selulosa ini tebal, maka tinggat kekenyalan juga semakin tinggi (Anastasia & Afrianto, 2008). Nata de coco yang tidak sesuai dengan hasil teori dapat disebabkan karena pH media yang kurang seragam, suhu fermentasi, dan juga karena sensori yang dilakukan ini oleh praktikan, mungkin penilaian ini secara subyektif.

Produk Nata de coco ini juga ditentukan dari pH media, suhu, gula dan sumber nitrogen. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pH ini dapat mempengaruhi ketebalan dari Nata de coco, apabila pH yang digunakan bekisar antara 3,5 7,5. Dengan pH tersebut akan dihasilkan nata yang tipis dan lunak. Begitu pula dengan suhu. Bakteri Acetobacter xylinum ini memiliki pH optimum dalam pertumbuhannya yaitu 280C-310C. Dengan suhu tersebut bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan dapat membentuk lapisan Nata de coco. Apabila suhu yang digunakan kurang dari suhu oprtimum maka akan menghasilkan Nata de coco dengan lapisan tipis. dan apabila suhu yang digunakan lebih dari suhu optimal maka nata tidak dapat terbentuk meskipun dapat tumbuh. Gula akan dijadikan sumber karbon dalam fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum pada konsentrasi tertentu. Konsentrasi yang optimal adalah 10%, apabila kurang dari 10% akan dihasilkan nata yang tipis dan lunak. Selain itu, juga adanya sumber nitrogen ini yang dapat membantu pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Sumber nitrogen yang digunakan dala praktikum ini adalah ammonium sulfat.

33. KESIMPULAN

Nata de coco merupakan salah satu contoh produk fermentasi yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Nata de coco ini memiliki tekstur yang kenyal, dan warna yang putih dan padat. Media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum ini adalah air kelapa. Penggunaan air kelapa ini dikarenakan memiliki komponen karbohidrat, lemak, protein dan nutrisi yang dibutuhkan dalam fermentasi. Pembuatan Nata de coco ini melalaui 2 tahap, yaitu tahapan pembuatan media dan tahapan fermentasi Gula berfungsi sebagai sumber karbon dalam fermentasi ini Ammonium sulfat berfungsi sebagai sumber nitrogen Asam cuka glasial bertujuan untuk memberikan pH asam sehingga bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik. Ketebalan Nata de coco ini disebabkan karena wadah dan kondisi media yang digunakan. Kekenyalan berbanding lurus dengan ketebalan Nata de coco. Warna keruh yang dihasilkan ini berasal dari media awal, gula dan fermentasi bakteri Acetobacter xylinum.

Semarang, 8 Juli 2015 Praktikan, Asisten dosen Nies Mayangsari Wulan Apriliana Dewi

Francisca Sari Kusuma Dewi(12.70.0157)

154. DAFTAR PUSTAKA

Almeida, M. D; Prestes, A. R; Fonseca; Woiciechowski; & Wosiacki. (2012). Minerals consumption by Acetobacter xylinum on cultivation medium on coconut water. Brazilian Journal of Microbiology. Vol 44(1) : 197-206

Anastasia, N. dan Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. IPB. Bogor.[Skripsi]

Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural Investigations Of Microbial Cellulose Produced In Stationary And Agitated Culture. Cellulose 11: 403-411.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.

Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.

Hakimi, R dan Daddy B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production) pada Industri Nata de coco. Jurnal Teknik Mesin 3(2) : 89-98.

Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana Journal 41(2)(2012): 205211

Hamid, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. (2011). Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata de coco. Jurnal Teknik Kimia. Vol 12 (2): 74-77.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. (2007). Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The Effect Of pH, Sucrose And Ammonium Sulphate Concentrations On The Production Of Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) By Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:2593 2599.

Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. (1967). The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science Vol 96.

Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata de coco. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta. IPB. Bogor.[ Skripsi]

Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata de coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de coco. Sains Teks I (A): 70 77.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol. 1:6-11.

Seumahu, Cecilia Anna, Antonius Suwanto, Debora Hadisusanto, dan Maggy Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de coco Fermentation. Microbiology Indonesia, August 2007, p 65-68.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Wijayanti, F; Sri K; dan Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey Tahu dan Substrat Air Kelapa. Jurnal Industria 1(2) : 86-93.

165. LAMPIRAN

5.1. Lampiran Perhitungan

Persentase Lapisan Nata =

Kelompok D1H7 H14 Kelompok D2H7 H14 Kelompok D3H7 H14 Kelompok D4H7 H14 Kelompok D5H7 H14 5.2. Lampiran Jurnal5.3. Laporan Sementara

18FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCO

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:Nama: Francisca Sari Kusuma DewiNIM: 12.70.0157Kelompok: D4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015