fermentasi kecap francisca sari kd 12700157 d4

Upload: james-gomez

Post on 01-Mar-2016

16 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

fermentasi terdiri dari 2 tahap yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi.

TRANSCRIPT

Acara II1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan pembuatan kecao yang telah dilakukan oleh kloter D dpaat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakteristik Kecap Yang Diuji Secara SensorisKel.PerlakuanWarnaAromaRasaKekentalan

D1Kedelai hitam + 0,15% inokulum+++++++

D2Kedelai putih + 0,75% inokulum----

D3Kedelai hitam + 0,75% inokulum++++++++

D4Kedelai Putih + 1% inokulum+++++++

D5Kedelai hitam + 1% inokulum++++++

AromaKekentalanRasaWarna+: kurang kuat+: kurang kental+: kurang manis+: kurang hitam++: kuat++: kental++: manis++: hitam+++: sangat kuat+++: sangat kental+++: sangat manis+++: sangat hitam

Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa perlakuan yang berbeda-beda memberikan hasil yang berbeda pula pada masing-masing kelompok. Dapat dilihat bahwa kelompok D1 dengan bahan baku kedelai hitam + 0,15% inokulum memberikan warna kurang hitam dengan aroma kurang kuat dan rasa manis yang sangat kental. Pada kelompok D3 dengan bahan baku kedelai hitam + 0,75% inokulum memberikan warna hitam yang manis dan aroma kurang kuat yang sangat kental. Kemudian pada kelompok D4 dengan bahan baku kedelai putih + 1% menghasilkan warna kurang hitam yang rasanya kurang manis, dengan aroma kuat yang kental. Kelompok D5 dengan bahan baku kedelai hitam + 1 % inokulum menghasilkan warna hitam yang kurang manis, dengan aroma kurang kuat yang kental. Sedangkan, pada kelompok D2 dengan bahan baku kedelai putih + 0,75% inokulum tidak menghasilkan warna, aroma, rasa dan kekentalan. Sehingga tidak diamati sensorinya.

19

12. PEMBAHASAN

Pada bab praktikum fermentasi ini, produk yang akan dibuat adalah kecap. Kecap merupakan makanan tradisional dengan bahan baku kedelai ataupun bahan yang lain dengan nilai protein yang tinggi yang dibuat dengan cara fermentasi dengan hasil cairan yang memiliki warna coklat hingga kehitaman. Tujuan pembuatan produk olahan fermentasi adalah kemudahan bagi tubuh kita dalam mencerna makanan, karena memiliki kelarutan yang cukup tinggi (90%) di dalam air dan nilai berat molekul yang rendah (Rahman, 1992). Selain itu, alasan bahwa kecap mudah diabsorbsi oleh tubuh karena dalam proses fermentasi protein, karbohidrat, lemak diubah menjadi asam amino, monosakarida dan asam lemak (Purwoko et al., 2007). Pemilihan bahan baku kecap ini telah sesuai dengan teori yaitu menggunakan kedelai hitam maupun kedelai putih. Karena kedelai tersebut digunakan sebagai substrat padat untuk proses fermentasi berlangsung. Purwoko et al. (2007) menuliskan bahwa kandungan protein kedelai yaitu 40% ini menyebabkan kedelai dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan kecap. Kedelai yang sering kita kenal dan banyak dijumpai dipasaran ini adalah kedelai hitam dan kedelai kuning. Pada umumnya, pembuatan kecap menggunakan bahan baku kedelai hitam. Namun, di dalam praktikum ini kecap yang dibuat menggunakan bahan baku kedelai kuning yang biasanya digunakan dalam pembuatan tempe.

Gambar 1. Bahan Baku Fermentasi Kecap

Kecap memiliki pH 4,9-5. Kecap dapat digunakan sebagai pewarna alami untuk jenis masakan tertentu serta memperkuat flavor (Rahman, 1992). Berdasarkan jurnal yang dituliskan oleh Feng et al. (2013) bahwa kecap hasil fermentasi ini mengandung sejumlah komponen flavor organik dengan sifat volatile. Pembentukan senyawa flavor ini adalah saat proses fermentasi sedang berlangsung. Komponen volatile tersebut antara lain adalah fenol, alkohol, asam dan ester serta senyawa-senyawa heterosiklik. Selain itu, juga terdapat asam organik dan asam amino yang menyumbangkan pembentukan flavor dalam kecap ini.

2.1. Cara Kerja Fermentasi Kecap

Awalnya, kedelai sebanyak 250 gram dari masing-masing kelompok ini direndam menggunakan air selama 1 malam kemudian dihilangkan kulit ari dan didiamkan pada suhu ruang. Perendaman ini bertujuan agar biji kedelai berubah bentuk menjadi besar (mekar) karena proses hidrasi yang meyebabkan kedelai menjadi lebih lunak. Karena kedelai sudah berubah tekstur menjadi lebih lunak, maka waktu yang dibutuhkan untuk memasak pun tidak terlalu lama, selain itu untuk menghilangkan kulit ari (Tortora et al., 1995). Kasmidjo (1990) menambahkan bahwa kedelai yang direndam dengan air (2-3 kali dari berat kedelai) menyebabkan air mudah diserap oleh kedelai sehingga kulit ari yang menempel lebih mudah untuk dihilangkan dan pada proses ini juga nantinya dapat meningkatkan bobot kedelai karena penyerapan air selama perendaman sehingga menjadikan dua kali lipat lebih berat.

Gambar 2. Perendaman Kedelai dalam air

Tahap selanjutnya adalah kedelai masuk dalam proses perebusan. Perebusan ini bertujuan agar bau langu dapat hilang karena aktivitas enzim lipoksegenase terhambat, membunuh bakteri kontaminan yang tidak diinginkan, membuat tekstur menjadi lebih lunak, menginaktivasi zat antinutrisi yang terkadung di dalam kedelai, dan dapat merusak protein inhibitor yang ada Tortora et al. (1995). Dengan adanya perebusan tersebut, tidak berarti bahwa protein mengalami kerusakan. Dalam proses pendinginan kedelai, kadar air harus selalu diperhatikan. Hal ini menyebabkan adanya kandungan air yang tinggi menghasilkan lendir di permukaan oleh bakteri pembusuk (Bacillus subtilis). Tetapi, jika kedelai yang didinginkan ini memiliki suhu yang terlalu dingin setelah proses perebusan dapat menimbulkan pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai. Disamping itu, dapat mengaktifkan enzim proteinase dan amilase (Atlas, 1984). Adanya protein-protein tersebut akan lebih memudahkan untuk jalannya proses fermentasi ini.

Setelah proses perebusan ini selesai, kedelai yang telah lunak teksturnya ditiriskan dan didinginkan hingga tidak panas (hangat) di atas tampah yang dilapisi daun pisang. Kondisi tidak panas (hangat) ini dimaksutkan agar tercapai kondisi yang lembab sehingga mendukung pertumbuhan kapang. Perlakuan ini didukung oleh Santosa (1941) bahwa pendinginan kedelai hingga tidak panas (hangat) ini agar suhu kedelai mendekati suhu 35-40oC. Pada suhu yang masih panas, kapang yang ditambahkan tidak dapat tumbuh.

Kemudian, kedelai dimasukkan ke dalam wadah besek yang sebelumnya telah dilapisi dengan daun pisang dan sudah disemprot dengan alkohol. Penggunaan besek ini sudah sesuai dengan teori bahwa kedelai yang diletakkan di dalam besek akan memasuki proses fermentasi koji dimana kedelai akan disebarkan dan akan diberi inokulum (Kasmidjo, 1990). Penyemprotan besek dengan alkohol ini dilakukan agar proses fermentasi dapat berlangsung dengan baik tanpa adanya kontaminasi silang yang menyebabkan adanya mikroorganisme lain yang tidak diinginkan dapat tumbuh. Kedelai yang sudah diletakkan dalam besek ini, kemudian ditambah dengan inokulum komersial (ragi) yang biasanya digunakan untuk pembuatan tempe. Hal ini sesuai dengan teori Santoso (1994) bahwa inokulum komersial yang dicampurkan adalah jenis Rhizopus sp. Menurut jurnal yang dituliskan oleh Shin et al.(2007) bahwa proses fermentasi yang ada pada kecap biasanya akan dibantu oleh adanya jamur, ragi, bakteri, ataupun bisa dengan kombinasi dari mikroorganisme. Pada praktikum ini jumlah inokulum yang diberikan oleh masing-masing kelompok berbeda-beda. Pada kelompok D1 ditambahkan sebanyak 0,5% inokulum komersial, kelompok D2 dan D3 sebanyak 0,75% inokulum komersial, dan kelompok D4 dan D5 sebanyak 1% inokulum komersial. Inokulum yang dtitambahkan tersebut harus tercampur dengan rata. Kemudian kedelai yang telah dicampur dengan ragi tersebut ditutup dengan besek yang telah dilapisi dengan daun pisang. Setelah itu, kedelai memasuki tahapan inkubasi selama 3 hari dalam suhu ruang. Penambahan inokulum ini memiliki tujuan agar proses fermentasi oleh kapang dapat berlangsung dengan baik sehingga akan mempengaruhi karakteristik dari kecap yang dihasilkan. Fermentasi oleh kapang ini adalah secara aerob. Kondisi fermentasi, misalnya kadar air, suhu, aerasi harus diatur dengan tepat untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme kontaminan (Mucor sp.). Pada praktikum ini waktu inkubasi yang digunakan sudah sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991), bahwa waktu yang digunakan dalam proses inkubasi adalah pada suhu ruang dalam 3-5 hari untuk menfermentasi kedelai tersebut.

(a)(b)(c)Gambar 3. (a) perebusan kedelai, (b) penirisan kedelai (c) pendinginan kedelai di atas tampah

(a)(b)(c)Gambar 4. (a) besek disemprot alkohol (b) kedelai diberi inokulum (c) hasil fermentasi koji

Dalam inkubasi selama 3 hari tersebut, maka akan mulai nampak warna putih yang menyelimuti kedelai tersebut. Warna putih yang menyelimuti kedelai ini disebabkan karena terjadi pertumbuhan kapang oleh inokulum. Adanya pertumbuhan inokulum tersebut, berarti fermentasi koji ini telah terlewati dengan baik (tanpa kontaminasi).

Mutu kecap dapat ditentukan dengan proses pengolahan dan jenis mikroba yang digunakan, misalnya Aspergillus soyae, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger, dan Rhizopus sp. Jenis mikroba tersebut sering diaplikasikan dalam proses fermentasi. Mikroba seperti Lactobacillus delbruckii dan ragi Hansenula sp juga digunakan dalam fermentasi kecap (Astawan & Astawan, 1991). Wu, Yeong et al. 2010 menuliskan di dalam jurnal bahwa inokulum yang ditambahkan saat proses fermentasi koji ini, akan menghasilkan beberapa enzim yaitu protease, amilase, dan enzim lainnya. Enzim yang dihasilkan, akan menghidrolisa kedelai, sehingga akan berubah menjadi bentuk yang lebih sederhana. Misalnya enzim tersebut, akan bekerja spesifik dalam mengubah kandungan protein menjadi asam amino begitu juga emzim amilase akan mengubah karbohidrat menjadi gula yang sederhana. Kemudian hasil pemecahan menjadi bentuk yang lebih sederhana tersebut akan menghasilkan nutrisi yang digunakan untuk proses fermentasi moromi. Ditambahkan oleh Chancharoonpong et al. (2012) bahwa selama fermentasi koji, jamur koji (Aspergillus oryzae) akan memproduksi enzim amilase dan juga enzim protease dimana masing-masing untuk memecah karbohidrat dan juga protein yang ada pada kedelai selama berlangsungnya tahap fermnetasi koji.

Karakteristik kecap di antaranya adalah berwarna coklat hingga hitam, cair, dan pH antara 4,9 hingga 5,0 dan biasa dipakai untuk memperkuat flavor dan warna terutama pada produk pangan atau masakan (Rahman, 1992). Dalam penerapannya sendiri, kecap dapat diproduksi dengan berbagai macam cara, di antaranya fermentasi, hidrolisis kimia, atau kombinasi cara-cara tersebut (Winarno et al, 1980). Namun, yang dilakukan pada saat praktikum ada proses pembuatan secara fermentasi.

Gambar 5. Pengeringan kedelai setelah fermentasi koji

Masuk ke tahap fermentasi moromi. Tahap moromi ini, kedelai yang sudah terselimuti dengan kapang ini (tempe) dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil dan keringkan dalam dehumidifier selama 2-4 jam supaya kapang di kedelai bisa dihilangkan. Pengecilan ukuran ini memudahkan dalam proses pengeringan dan mempermudah dalam pelepasan filamen. Pengeringan ini dilakukan untuk membantu menghilangkan kapang yang melekat pada permukaan kedelai. Peppler & Perlman (1979) menyatakan bahwa pengeringan dapat menurunkan kadar air dan menghambat pertumbuhan kapang, karena kapang tidak digunakan untuk proses selanjutnya.

(a)(b)(c)Gambar 6. (a) Hasil Pengeringan dari Fermentasi Koji (b) kedelai dimasukkan ke dalam toples (c) kedelai diberi larutan garam 20%

Setelah pengeringan, kedelai dimasukkan dalam toples plastik. Selanjutnya, ditambahakan larutan garam sebanyak 20% dalam 500 ml air. Perendaman ini dilakukan selama 1 minggu (setiap siang hari dijemur selama 1 jam dan diaduk). Perendaman dalam larutan garam ini bertujuan untuk mengekstrak senyawa yang terhidrolisis. Dalam pernedaman ini, bakteri yang tahan dengan garam (bakteri halofilik) tumbuh dengan spontan sehingga didapatkan flavor pada kecap dan dapat membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan (Tortora et al., 1995). Konsentrasi garam 20% ini merupakan konsentrasi yang ideal dalam pembuatan kecap (Astawan & Astawan, 1991). Konsentrasi garam tinggi, menyebabkan mengalami tekanan osmotik (air keluar dari sel) sehingga pertumbuhan mikroorganisme akan terhambat. Elbashiti et al. (2010) didalam jurnalnya menuliskan tahapan fermentasi moromi merupakan penggabungan antara penambahan air garam dengan fermentasi dari kedelai. Produk kecap harus mengandung total nitrogen dan amino nitrogen masing masing sebanyak 1,4 dan 0,56%. Konsentrasi NaCl produk kecap mampu untuk menghentikan pertumbuhan bakteri. Seperti misalnya merusak bakteri staphylococci. Perendaman kedelai dalam larutan garam ini merupakan proses inkubasi. Menurut jurnal oleh Sugume ( 2008) bahwa masa inkubasi ini dilakukan untuk proses selanjutnya.

Menurut Tortora et al. (1995), pejemuran dan pengadukan ini berfungsi untuk meratakan permukaan substrat serta menyediakan udara sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan khamir dan bakteri yang diinginkan. Perubahan warna dari larutan garam ini disebabkan karena adanya reaksi browning yang disebabkan karena terjadinya reaksi antara gugus amino (protein) dengan gula pereduksi.

Gambar 7. Penjemuran dan pengadukan kedelaiSetelah 1 minggu terlewati, tahapan selanjutnya adalah penyaringan kedelai. Penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan kedelai dengan cairan. Cairan yang dihasilkan ini, diambil sebanyak 250 ml untuk dapat diproses lebih lanjut. Santoso (1994) menegaskan bahwa penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran (ampas kedelai) dengan cairan, sehingga nantinya akan dihasilkan kecap yang bebas dari kotoran. Kecap dimasak dengan ditambah air putih sebanyak 750ml. Kemudian ditambah rempah-rempah seperti kayu manis sebanyak 20g, ketumbar sebanyak 3g, laos yang sudah digeprek sebesar 1 jentik, 1 buah bunga pekak, serta gula jawa sebanyak 1 kg. Perlakuan pembeda ini dilakukan dalam penambahan rempah-remoah seperti cengkeh, daun serai dan buah pala. Pada kelompok D1 dan D2 ini menggunakan cengkeh sebanyak 1g, sedangkan kelompok D3 dan D4 menggunakan daun serai yang digeprek sebanyak 1 buah, serta pada kelompok D5 ditambahkan 1 buah isi pala.

Cara pemasakannya, pertama cairan kedelai yang telah disaring sebanyak 250 ml tersebut dimasukkan ke dalam wajan dan ditambah dengan 750 ml air putih. Kemudian, gula jawa yang telah dipotong kecil-kecil ini dimasukkan dan diaduk hingga larut. Selanjutnya, rempah-rempah yang sudah disiapkan tadi dimasukkan satu persatu secara bergantian. Kemudian, dilakukan pengadukan hingga memiliki viskositas yang cukup tinggi. Pengadukan ini dilakukan selama 40 menit. Setelah mengalami perubahan viskositas, kecap ini dilakukan penyaringan lagi untuk memisahkan rempah-rempah yang tidak larut. Kemudian, kecap yang telah disaring ini, dimasukkan ke dalam botol kaca untuk dilakukan penyimpanan dan dilakukan uji sensori meliputi aroma, rasa, kekentalan dan warna yang dilakukan oleh panelis. Penambahan rempah-rempah dalam pembuatan kecap ini dilakukan untuk meningkatkan cita rasa, aroma. Cita rasa dan aroma ini muncul karena adanya komponen flavor dalam rempah-rempah tersebut (Fachruddin, 1997).Praktikum tersebut sudah sesuai dengan Rahayu et al., (2005).

Gula jawa disini digunakan untuk memberikan karakteristik sensori. Disamping itu menurut Kasmidjo, (1990) fungsi gula jawa adalah sebagai pemberi warna karamel dan dapat meningkatkan viskositas. Adanya reaksi maillard dan karamelisasi ini yang memicu terjadinya perubahan warna pada kecap sehingga kecap memiliki warna yang khas (Judoamidjojo, 1987). Gula jawa ini tidak dapat digantikan oleh gula yang lain. Hal ini dikarenakan gula jawa memiliki sifat yang khusus seperti rasa manis, warna karamel dan aroma asam organik (Nurlela, 2002).

Bungapekak yang digunakan dalam praktikum ini, memiliki aroma spesifik yang dihasilkan dari anisketon, -pinene, anethole, dan methyl chavicol. Laos merupakan rempah-rempah yang biasa digunakan sebagai penyedap makanan. Kandungan di dalam laos antara lain galangol, galangin dan kaemferida. Kayu manis (Cinnamomum zeylanicum) adalah kulit kayu pohon yang sudah mengelupas, kering, dan menggulung. Penambahan ketumbar (Coriandum sativum) berfungsi sebagai bahan penyedap makanan, serta obat-obatan. Kandungan senyawa yang ada di dalam ketumbar antara lain adalah pinene, -erpinene, -linalool, dipentene-cymene, -borneal, geremol, protein, karbohidrat, dan lemak yang cukup, serta juga mengandung (Wahab & Hasanah, 1996). Proses pembuatan kecap ini dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Diagram Alir pembuatan Kecap

Faktor yang mempengaruhi pembentukan rasa kecap antara lain disebabkan oleh enzim yang dihasilkan kapang akan memecah substrat menjadi senyawa terlarut. Senyawa terlarut yang dihasilkan akan menentukan rasa kecap. Selain itu, rasa kecap juga dipengaruhi oleh jenis bumbu yang ditambahkan serta penambahan gula kelapa, penambahan bumbu yang berbeda akan menghasilkan rasa kecap yang berbeda. Bakteri asam laktat akan tumbuh pada awal fermentasi dan akan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH. Terbentuknya rasa pada kecap juga dipengaruhi oleh pertumbuhan bakteri asam laktat. Penurunan pH fermentasi juga akan menstimulasi tumbuhnya yeast yang berperan dalam pembentukan rasa kecap (Rahayu et al., 2005).

Kelompok D2 mengalami kegagalan dalam menghasilkan kecap menggunakan kedelai putih. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kontaminasi yang dapat menyebabkan proses pemecahan menjadi bentuk yang lebih sederhana ini tidak dapat berjalan dengan baik sehingga akan mempengaruhi hasil akhir dari kecap ini (Atlas, 1984). Hal ini didukung oleh Sumague et al. (2008) kontaminasi ini disebabkan oleh bakteri Bacillaceae. Bakteri yang tergolong dalam Bacillaceae ini dapat mengkontaminasi kedelai ketika di tahap fermentasi koji ataupun moromi.

Proses fermentasi moromi ini, biakan murni beserta sifatnya harus diketahui sifatnya. Oleh sebab itu harus dijaga kondisi lingkunganya. Selain kedelai hitam, yang digunakan dalam praktikum ini adalah kedelai putih. Umumnya, kedelai putih ini digunakan dalam pembuatan tempe, tahu maupun susu kedelai. Kedelai putih ini kurang baik untuk dijadikan kecap. Hal ini dikarenakan, bahwa kulit ari susah dihilangkan dan biasanya menghasilkan rasa yang kurang enak (Rahayu et al., 1993). Kedelai putih ini memiliki kandungan kimia yang hampir sama dengan kedelai hitam. Kandungan asam glutamat pada kedelai hitam ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai putih. Hal ini yang menyebabkan kecap yang terbuat dari kedelai hitam memiliki rasa yang lebih gurih. Kedelai hitam memiliki kadar lemak 11% hingga 22%, kadar protein 37% hingga 41% per 100 gram bahan. Hal ini ditambahkan oleh Astawan & Astawan (1991) bahwa mutu dari kecap ini dapat dipengaruhi oleh jenis dan varietas kedelai yang digunakan.

2.2. Pembahasan Hasil Pengamatan2.2.1. AromaAroma kecap yang dihasilkan dari masing- masing kelompok ini adalah berbeda-beda. Diketahui pada kelompok D1 dengan bahan baku kedelai hitam + 0,5% jumlah inokulum menghasilkan aroma kurang kuat. Sedangkan aroma yang kurang kuat ini juga terdapat pada kelompok D4 dengan bahan baku kedelai putih + 1% inokulum. Bahan baku yang sama dengan jumlah inokulum yang berbeda menghasilkan aroma yang sama yaitu aroma kuat. Hal ini terjadi pada kelompok D3 dan D5. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah inokulum yang ditambahkan semakin besar, maka meghasilkan aroma yang lebih kuat. Berbeda pada kelompok D4 jika dibandingkan dengan kelompok yang lain bahwa semakin tinggi jumlah inoklum yang ditambahkan, aroma yang dihasilkan kurang kuat. Ini disebabkan karena kecepatan pemecahan protein menjadi asam amino, karbohidrat menjadi gula yang lebih sederhana ini dipengaruhi oleh jumlah inokulum yang ditambahkan (Astawan & Astawan, 1991).

Astawan & Astawan (1991) menegaskan bahwa meskipun tidak ada perbedaan dalam jenis dan jumlah penambahan bumbu, tetapi berbeda tingkatan penambahan inokulum, semakin tinggi jumlah inokulum yang ditambahkan maka aroma yang dihasilkan akan semakin kuat. Aroma ini disebabkan karena adanya proses pemanasan dari reaksi kimia. (Tortora et al. 1995). Menurut Wong et al. (2008) jenis gula dan asam amino,suhu, pH, sulfur dioksida, aktivitas air, medium reaksi, kadar air, fosfat dan waktu merupakan faktor yang menentukan pembentukan aroma saat terhadi reaksi maillard. Aroma yang muncul dalam proses pembuatan kecap ini dihasilkan karena adanya senyawa histidin, ammonia, putresin, arginin, dan kadaverin yang dihasilkan dari pemecahan protein selama fermentasi. Reaksi antara asam glutamat dan garam ini akan menghasilkan flavor. Selain reaksi tersebut, flavor yang enak juga dapat muncul dari reaski asam suksinat dan histidin, putresin, lisin, dan arginin (Armstrong, 1995). Kasmidjo (1990) juga mengatakan bahwa aroma khas kecap juga dipengaruhi bumbu yang ditambahkan dalam pemasakan, terutama gula jawa yang memiliki sifat-sifat khusus. Dalam jurnal yang ditulis oleh Feng et al. (2013) bahwa kandungan flavor yang dikeluarkan oleh fermentasi kedelai ini yaitu fenol, alkohol, asam, ester, dan heterocyclic berperan dalam pembentukan aroma. Aroma yang dihasilkan ini berasal dari asam amino glutamat (Muangthai et al, 2007). 2.2.2. WarnaDilihat dari tabel hasil pengamatan yang dilakukan oleh kloter D ini, didapatkan hasil bahwa warna yang dihasilkan dari setiap kelompok ini adalah berbeda-beda. Kelompok D1, D3 dan D5 ini memiliki warna kurang hitam. Kelompok D4 memiliki warna hitam. Namun pada kelompok D2 ini tidak memberikan warna,dikarenakan kedelai yang akan diolah telah busuk. Gula jawa berperan dalam pemberian warna pada kecap. Hal ini disampaikan oleh Kasmidjo (1990) warna coklat karamel pada kecap ini disebabkan karena adanya penambahan gula jawa yang akan terus meningkat seiring dengan suhu yang semakin tinggi. Astawan & Astawan (1991) mendukung teori tersebut adanya reaksi gula jawa yang terus terkena suhu tinggi lama kelamaan akan terjadi reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino (browning) sehingga didapatkan warna kecap yang kehitaman/gelap. Namun, dalam praktikum ini warna yang dihasilkan berbeda, padahal gula jawa yang ditambahkan dalam jumlah yang sama. Hal ini disebabkan karena sensori yang dilakukan ini bersifat subyektif, sehingga warna yang dihasilkan menurut persepsi dari panelis tersebut juga berbeda-beda. Selain itu, juga disebabkan karena pemanasan yang dilakukan oleh setiap kelompok ini berbeda-beda. Berdasarkan jurnal oleh Yeong Wu et al. (2010) bahwa warna dapat dipengaruhi oleh suhu fermentasi. Yang mana pada suhu 45oC ini akan menghasilkan kecap dengan warna yang lebih coklat terutama saat proses fermentasi pada larutan garam hari 1.

2.2.3. RasaRasa kecap yang dihasilkan pada setiap kelompok ini adalah berbeda- beda. Dapat tilihat dari tabel hasil pengamatan bahwa pada kelompok D1. D3 dan D4 memiliki rasa kecap yang kuat. Sedangkan pada kelompok D5 memiliki rasa kecap yang kurang kuat. Hal ini disebabkan mungkin karena kedelai hitam ini memiliki varietas yang berbeda dibandingkan dengan kelompok dengan bahan baku kedelai hitam yang lain. Ini diungkapkan oleh Astawan & Astawan (1991) bahwa mutu kecap dapat dipengaruhi oleh jenis dan varietas dari kedelai. Dan pada kelompok D2 tidak menghasilkan rasa apapun. Menurut Amalia (2008) bahwa gula jawa yang ditambahkan dalam pembuatan kecap ini dapat mempengaruhi rasa kecap. Semakin banyak gula jawa yang ditambahkan, maka kecap yang dihasilkan akan semakin manis. Selain itu rasa yang dihasilkan ini disebabkan karena adanya penambahan rempah-rempah yang berbeda-beda dari setiap kelompok. Oleh karena itu rasa yang dihasilkanpun berbeda pula.

Selain dipengaruhi oleh rempah-rempah, rasa dipengaruhi pula oleh aktivitas dari bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus delbrueckii. Saat fermentasi di dalam larutan garam bakeri tersebut akan tumbuh dan akan menghasilkan asam organik seperti suksinat, fosfat, laktat dan asetat. Karena terbentuknya asam organik, pH akan menurun dan kapang akan mulai tumbuh untuk membentuk cita rasa (Rahayu et al.,2005). Namun, dalam pemasakan kecap ini dapat menimbulkan rasa pahit apabila proses pemasakannya terlalu lama. Rasa pahit ini dihasilkan karena garam dari klorin, asam laktat, fosfat, tiramin, dan asetat akan menghasilkan rasa pahit (Tortora et al., 1995).

2.2.4. KekentalanKekentalan yang dihasilkan untuk setiap kelompok ini menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Untuk kelompok D1 dan D3 memiliki kekentalan yang sama, yaitu sangat kental. Kemudian untuk kelompok D4 dan D5 ini juga memiliki kekentalan yang sama, yaitu kental. Gula jawa yang ditambahkan oleh setiap kelompok memiliki berat yang sama. Namun, menghasilkan kekentalan yang berbeda. Menurut Kasmidjo (1990) bahwa selain gula jawa, kekentalan kecap juga dipengaruhi oleh bumbu selama pemasakan, khususnya penambahan gula jawa. Peppler & Perlman, 1979 ini menambahkan kekentalan juga dipengaruhi oleh adanya penambahan bumbu rempah-rempah. Semakin tinggi inokulum yang ditambahkan, maka kekentalan kecap meningkat (Lim et al., 2009)

Dalam penambahan jumlah inokulum yang berbeda-beda oleh setiap kelompok. kelompok D1 dengan bahan baku kedelai hitam + 0,15% inokulum memberikan warna kurang hitam dengan aroma kurang kuat dan rasa manis yang sangat kental. Pada kelompok D3 dengan bahan baku kedelai hitam + 0,75% inokulum memberikan warna hitam yang manis dan aroma kurang kuat yang sangat kental. Kemudian pada kelompok D4 dengan bahan baku kedelai putih + 1% menghasilkan warna kurang hitam yang rasanya kurang manis, dengan aroma kuat yang kental. Kelompok D5 dengan bahan baku kedelai hitam + 1 % inokulum menghasilkan warna hitam yang kurang manis, dengan aroma kurang kuat yang kental. Sedangkan, pada kelompok D2 dengan bahan baku kedelai putih + 0,75% inokulum tidak menghasilkan warna, aroma, rasa dan kekentalan. Sehingga tidak diamati sensorinya. Dengan demikian, apabila inokulum yang ditambahkan semakin tinggi konsentrasinya, maka proses fermentasi akan berlangsung dengan cepat. Hal ini ditambahkan oleh Masashi (2006) bahwa fermentasi akan berlangsung semakin cepat bila konsentrasi ragi yang ditambahkan itu semakin tinggi, mengakibatkan cepat pula pembentukan etanol dan asam laktat. Tetapi, bila ragi yang ditambahkan ini melebihi batas, maka akan berdampak dalam karakteristik sensori kecap. Hal ini disebabkan karena pembentukan asam laktat dan etanol yang tinggi.

23. KESIMPULAN

Prinsip dalam fermentasi yaitu pengurian komponen mayor (karbohidrat, lemak dan protein) menjadi bentuk yang lebih sederhana (monosakarida, asam lemak, dan asam amino). Pembuatan kecap ini menggunakan bahan baku yang memiliki protein tinggi, yaitu kedelah hitam dan kedelai putih. Mikroorganisme yang digunakan dalam fermentasi moromi adalah Hansenula dan Lactobacillus delbrueckii. Lactobacillus delbrueckii dapat menurunkan pH antara 4,8-5,0 oleh asam laktat. Fermentasi ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap fermentasi Koji dan Fermentasi Moromi Dalam praktikum, kelompok D2 ini mengalami kegagalan saat proses fermentasi koji, dikarenakan adanya kontaminasai. Kedelai mengalami proses perebusan dengan tujuan membunuh bakteri yang tidak diinginkan yang berada di permukaan, menghilangkan bau langu, menginaktifkan zat-zat antinutrisi, dan melunakan biji kedelai. Pengadukan kedelai dalam larutan garam ini berfungsi untuk menghomogenkan dan memberikan udara sehingga dapat membantu pertumbuhan mikroorganisme. Warna, rasa dan kekentalan ini disebabkan karena adanya penambahan gula jawa. Warna coklat yang terbentuk ini dihasilkan dari reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi. Aroma pada kecap dihasilkan dari reaksi antara asam glutamat dengan senyawa garam dibantu dengan adanya proses pemanasan yang memghasilkan komponen nitrogen. Semakin tinggi jumlah inokulum yang ditambahkan maka, semakin cepat proses fermentasi. Semarang, 26 Juni 2015 Praktikan, Asisten dosen Abigail Sharon E Frisca Melia

Francisca Sari Kusuma Dewi12.70.0157154. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. (2008). Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Chancharoonpong, C; Hsieh, Pao-Chuan; & Sheu, Shyang-Chwen. (2012). Enzyme production and growth of Aspergillus oryzae S. on soybean koji fermentation. APCBEE Procedia 00 (2012) 000000.

Elbashiti, T.; A. Fayyad & A. Elkichaoui. (2010). Isolation and Identification of Aspergillus oryzae and the Production of Soy Sauce with New Aroma. Pakistan Journal of Nutrition 9 (12): 1171-1175,2010.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Feng, J.; Xiao-Bei, Z.; Zhi-Yong, Z.; Dong, W.; Li-Min, Z.; and Chi-Chung L. (2013). New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3: 292305.

Judoamidjojo, R.M. (1987). The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of Agriculture, Japan.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lim, J. Y.; Kim, J.J.;. Lee, D.S.; Kim, G.H.; Shim, J.Y.; Lee, I. and Imm, J.Y. (2009). Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans. Food Chemistry.

Masashi, K. (2006). Method of Brewing Soy Sauce. Diakses di http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html. Diakses tanggal 20 Juni 2015.

Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. (2007). Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2

Nurlela, E. (2002). Kajian Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Warna Gula Merah. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. IPB, Bogor.

Peppler, H.J. and Perlman, D. (1979). Microbial Technology. Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, T dan Handajani, N.S. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Jurnal Biodiversitas Vol. 8(2) p:223-227.

Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. (2005). Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi Vol. 2(1): 14-20.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santoso, H.B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Shin, R.; Momoyo, S.; Takeo, M. and Nobuyuki, S. (2007). Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders in Rats using Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract (BiofermenticsTM). Oxford Journals Volume 6(3): p 357-363.

Sumague, M. J. V.; Reynaldo C. Mabesa; Erlinda I. Dizon; Ernesto V. Carpio; and Ninfa P. Roxas. (2008). Predisposing Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans. Philippine Journal of Science 137 (2): 105-114.

Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Wahab, I. dan M., Hasanah. 1996. Perkembangan penelitian aspek perbenihan tanaman ketumbar (Coriandrum sativum Linn). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol XV(1) 1-5.

Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yeong Wu T., Mun S. K., Lee F. S., Lithness K. P. (2010). Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with intermittent aeration. African Journal of Biotechnology Vol. 9(5): 702-706.

165. LAMPIRAN

5.1. Lampiran Jurnal5.2. Laporan Sementara

18FERMENTASI SUBSTRAT PADATFERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:Nama: Francisca Sari Kusuma DewiNIM: 12.70.0157Kelompok: D4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015