fermentasi nata de coco-kloter b-poei, laurensia cindy - 11.70.0041- universitas soegijapranata

25
 Acara II FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NA TA DE COCO   LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI ` Disusun oleh:  Nama: Poei,Laurensia Cindy S  NIM: 11.70.004 1 Kelompok: B2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2014

Upload: james-gomez

Post on 14-Oct-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Nata de coco merupakan salah satu produk fermentasi dengan menggunakan bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Substrat cair yang dibutuhkan dalam fermentasi ini adalah air kelapa. Masa inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 2 minggu. Nata de coco yang terbentuk akan diuji warna, aroma, rasa, tekstur (kekenyalan) dan tingkat ketebalan nata yang erat kaitannya dengan adanya penambahan gula selama pemasakan nata.

TRANSCRIPT

FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCO

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

`Disusun oleh:Nama: Poei,Laurensia Cindy SNIM: 11.70.0041Kelompok: B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Acara II20141

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de cocoKelTinggi media awal (cm)Ketebalan (cm)% Lapisan Nata

07140714

B1 (50 g)0,500,80,50160100

B2 (25 g)100,90,509050

B3 (125 g)1,201,31,60108,33133,33

B4 (75 g)0,500,80,50160100

B5 (100 g)0,8010,7012587,5

Berdasarkan dari Tabel 1 diatas dapat diketahui tinggi media awal, ketebalan nata yang terbentuk dan % lapisan nata yang terbentuk selama 2 minggu inkubasi. Hasil pengamatan yang diperoleh setiap kelompok pun berbeda-beda. Namun untuk ketebalan nata pada hari ke 0 dan % lapisan nata yang terbentuk adalah sama untuk semua kelompok yaitu 0. Untuk kelompok B1, tinggi media awal sebesar 0,5 cm kemudian ketebalan nata meningkat dari hari 0 ke hari 7 dan menurun pada hari 14 sehingga persentase lapisan nata yang terbentuk pun juga meningkat dari hari 0 ke hari 7 dan menurun pada hari 14. Untuk kelompok B2, tinggi media awal sebesar 1 cm dimana ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 0,9 cm dan menurun pada hari ke 14 yaitu 0,5 cm sehingga persentase lapisan nata pada hari ke 7 adalah 90% dan menurun pada hari ke 14 yaitu sebesar 50%. Lain halnya dengan kelompok B3, tinggi media awal adalah sebesar 1,2 cm dimana ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 1,3 cm dan meningkat pada hari ke 14 yaitu 1,6 cm sehingga persentase lapisan nata pada hari ke 7 adalah 108,33% dan meningkat pada hari ke 14 yaitu 133,33%. Untuk kelompok B4, tinggi media awal sebesar 0,5 cm dimana ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 0,8 cm dan menurun pada hari ke 14 yaitu 0,5 cm sehingga persentase lapisan nata pada hari ke 7 adalah 1600% dan menurun pada hari ke 14 yaitu sebesar 100%. Dan untuk kelompok B5, tinggi media awal sebesar 0,8 cm dimana ketebalan nata pada hari ke 7 sebesar 1 cm dan menurun pada hari ke 14 yaitu 0,7 cm sehingga persentase lapisan nata pada hari ke 7 adalah 125% dan menurun pada hari ke 14 yaitu sebesar 87,5%.

Tabel 2.Hasil Pengamatan Uji Sensoris Nata de Coco

Kelompok Aroma Warna Tekstur Rasa

B1 (50 g)++++++++++++

B2 (25 g)++++++++++++

B3 (125 g)++++++++++++++

B4 (75 g)+++++++++++++

B5 (100 g)++++++++++++++

Keterangan : Aroma WarnaTekstur Rasa++++: tidak asamputihsangat kenyalsangat manis +++: agak asamputih beningkenyalmanis ++: asamputih agak beningagak kenyalagak manis +: sangat asamkuningtidak kenyaltidak manis

Berdasarkan pada Tabel 2 dapat diketahui hasil pengamatan uji sensoris terhadap nata de coco dari segi aroma, warna, tekstur dan rasa. Untuk parameter aroma, semua kelompok menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak asam. Untuk parameter warna, kelompok B1 berbeda dengan kelompok lainnya dimana kelompok B1 menghasilkan nata yang berwarna putih bening sedangkan keempat kelompok lainnya menunjukkan warna putih. Untuk parameter tekstur, kelompok B1 dan B2 menunjukkan tekstur nata yang kenyal sedangkan untuk kelompok B3 hingga B5 menunjukkan tekstur nata yang agak kenyal. Sedangkan untuk parameter rasa menunjukkan hasil yang berbeda-beda untuk setiap kelompok. Untuk kelompok B1 menghasilkan nata dengan rasa agak manis. Untuk kelompok B2 menghasilkan nata dengan rasa tidak manis. Untuk kelompok B3 dan B5 menghasilkan nata dengan rasa sangat manis. Dan kelompok B4 menghasilkan nata dengan rasa manis.

2

1

2. PEMBAHASAN

Menurut Astawan & Astawan (1991), nata de coco merupakan suatu jenis makanan yang merupakan produk hasil fermentasi oleh adanya bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Nata de coco memiliki bentuk padat, kokoh, kuat, berwarna putih, transparan, teksturnya kenyal dan rasanya mirip dengan kolang-kaling. Produk ini sering digunakan sebagai bahan pencampur dalam es krim, koktail buah, maupun makanan lainnya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Anastasia & Afrianto (2008) yang mengatakan bahwa nata merupakan senyawa selulosa yang memiliki bentuk padat, berwarna putih dan transparan, serta bertekstur kenyal. Nata ini memiliki kandungan air yang tinggi dan biasanya nata ini dikonsumsi sebagai makanan ringan.

Sedangkan menurut Pambayun (2002), nata de coco merupakan jenis makanan yang berasal dari air kelapa yang difermentasi dan menghasilkan senyawa selulosa karena adanya bantuan jasad renik (mikroba). Selain air kelapa, bahan dasar pembuatan nata juga bisa dari bahan-bahan yang mengandung mineral, protein dan gula seperti sari kedelai, sari buah mangga, maupun sari buah nanas.

Menurut Hernaman (2007) dalam jurnalnya yang berjudul Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral menyatakan bahwa nata de coco merupakan salah satu jenis makanan berserat tinggi dan hal ini sangat bermanfaat bagi tubuh. Oleh karena itu, nata de coco juga biasa dikonsumsi sebagai menu makan dalam diet. Hal ini didukung pula oleh Mesomya et al (2006) dimana dalam jurnalnya yang berjudul Effects of health food from cereal and nata de coco on serum lipids in human menyatakan bahwa nata de coco merupakan jenis makanan yang sangat cocok untuk dikonsumsi dengan tujuan dapat menjaga berat badan. Selain itu, dengan mengkonsumsi nata de coco juga dapat mencegah kanker kolon dan rektum. Adanya nilai fungsional dari nata de coco ini dikarenakan kandungan selulosa yang tinggi, rendah kandungan lemak dan kalori, serta tidak mengandung lemak kolesterol. Selain itu, Halib et al (2012) juga menyatakan dalam jurnalnya yang berjudul Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose bahwa nata de coco adalah makanan yang memiliki potensi untuk dapat dijadikan sebagai sumber selulosa murni sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri.

Dan pada praktikum kali ini, substrat cair yang digunakan dalam fermentasi nata de coco adalah air kelapa. Sedagkan untuk starter yang digunakan adalah bakteri Acetobacter xylinum. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Astawan & Astawan (1991) dimana nata de coco merupakan suatu jenis makanan yang merupakan produk hasil fermentasi oleh adanya bantuan bakteri Acetobacter xylinum dan pendapat menurut Pambayun (2002) bahwa substrat cair yang dapat digunakan untuk fermentasi nata de coco adalah air kelapa. Hal serupa juga didukung oleh pernyataan menurut Rahayu et al (1993) yang menyatakan bahwa ketika Acetobacter xylinum dikulturkan pada substrat yang mengandung gula, maka kandungan gula dalam substrat tersebut akan diubah menjadi selulosa dan akan diakumulasikan secara ekstraseluler menjadi bentuk pelikel. Rahman (1992) menambahkan juga bahwa selama proses fermentasi yang terjadi, Acetobacter xylinum akan menguraikan gula dan menghasilkan selulosa yang akan membentuk benang-benang serat yang semakin lama akan semakin menebal sehingga membentuk jaringan yang kuat yang biasa disebut dengan sebutan pelikel nata.

Widayati et al., (2002) menyatakan bahwa air kelapa dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi. Penggunaan air kelapa sebagai substrat cair dikarenakan air kelapa mengandung gula, protein, asam-asam amino, vitamin dan mineral yang dapat menunjang pertumbuhan bakteri seperti Acetobacter xylinum dalam pembuatan nata de coco. Oleh karena itu, air kelapa sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organic seperti pembuatan nata de coco. Hal serupa juga diungkapkan oleh Palungkun (1996) yang menyatakan bahwa air kelapa mengandung sukrosa, dekstrosa, fruktosa, dan vitamin B kompleks yang dapat menunjang pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Berikut dibawah ini merupakan kandungan nutrisi yang terdapat di dalam air kelapa menurut Palungkun (1996) :

KandunganPersentaseKandungan5Persentase

Air91,23%Asam niotinat0,01 mg

Protein0,29%Asam pantotenat0,52 mg

Lemak0,15%Biotin0,02 mg

Karbohidrat7,27%Riboflavin0,01 mg

Abu1,06%Asam folat0,003 mg/l

Menurut Palungkun (1996), bakteri Acetobacter xylinum adalah jenis bakteri yang memiliki sifat spesifik yaitu dapat membentuk selaput tebal pada permukaan cairan fermentasi yang disebut nata. Hal serupa juga dinyatakan oleh Awang (1991) yang menyatakan bahwa Acetobacter xylinum memiliki kemampuan untuk dapat membentuk selaput tebal menjadi komponen selulosa pada permukaan substrat cair selama proses fermentasi berlangsung. Menurut Palungkun (1996), proses pembentukan nata de coco selama inkubasi dapat terjadi dikarenakan sel-sel bakteri Acetobacter xylinum mengambil dan menggunakan senyawa gula dari larutan gula yang telah dicampurkan ke dalam air kelapa. Selanjutnya, gula tersebut akan bergabung menyatu dengan asam lemak dan membentuk prekursor (penciri nata) di dalam membran sel. Lalu, prekursor yang terbentuk ini akan dikeluarkan secara ekskresi, yang dengan bantuan enzim akan mempolimerisasikan glukosa tersebut untuk dapat diubah menjadi polisakarida yaitu selulosa.

Dalam praktikum ini, proses pembuatan nata de coco terbagi menjadi 2 tahap yaitu pembuatan media dan proses fermentasi.

2.1. Proses Pembuatan MediaDalam proses pembuatan media perlu dilakukan dalam kondisi aseptic. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi kontaminasi selama proses fermentasi berlangsung. Hal ini sesuai dengan teori menurut Dwidjoseputro (1994) yang mengatakan bahwa perlakuan aseptis perlu dilakukan dalam proses fermentasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran pada kultur biakan, serta mencegah adanya kontaminasi dari mikroba lainnya yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi.

6Dalam proses pembuatan media, pertama-tama air kelapa yang akan digunakan sebagai substrat dapat disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kain saring untuk memisahkan kotoran yang adal dalam air kelapa. Selanjutnya, ditambahkan gula pasir sebanyak 10% dan diaduk sampai semua gula larut. Setelah itu, dapat dilakukan penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Kemudian dapat ditambahkan asam cuka glasial hingga pH larutan menjadi berkisar antara 4-5. Setelah pH larutan berada pada range pH yang telah ditentukan, larutan air kelapa tersebut dapat dipanaskan hingga gulanya larut kemudian disaring lagi sebelum digunakan sebagai substrat cair.

Pada awalnya, air kelapa harus disaring terlebih dahulu dengan kain saring. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Astawan & Astawan (1991) yang menyatakan bahwa air kelapa yang akan digunakan sebagai media cair dalam pembuatan nata harus disaring dengan menggunakan kain penyaring terlebih dahulu dengan tujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang mungkin masih ada didalamnya. Selain itu, dengan penyaringan air kelapa juga akan menghasilkan media cair yang bebas kontaminan dan bersih. Hal ini juga telah sesuai dengan teori menurut Pato & Dwiloka (1994) yang mengatakan bahwa air kelapa perlu disaring terlebih dahulu dengan tujuan agar dapat memperoleh media cair yang steril, bersih, serta bebas dari kotoran atau kontaminan. Berikut dibawah ini merupakan gambar penyaringan air kelapa dengan menggunakan kain saring.

Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa

Setelah air kelapa disaring, dapat ditambahkan gula pasir sebanyak 10%. Tujuan penambahan gula dalam penyiapan media ini adalah sebagai sumber karbon bagi bakteri Acetobacter xylinum dimana selama fermentasi berlangsung bakteri akan menguraikan gula ini. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Pambayun (2002) bahwa sumber karbon yang dapat digunakan dalam proses fermentasi adalah monosakarida dan disakarida dimana disakarida yang paling banyak digunakan adalah sukrosa yang berbentuk gula pasir. Secara ekonomis, sukrosa juga memiliki harga yang paling murah dan mudah ditemukan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Awang (1991) yang mengatakan bahwa dengan adanya penambahan gula pasir ke dalam air kelapa maka hal ini akan menjadi sumber unsur karbon organik (C) bagi bakteri Acetobacter xylinum selama proses fermentasi berlangsung sehingga bakteri ini dapat menghasilkan selulosa pada akhir fermentasi. Untuk penambahan gula sebesar 10%, hal ini telah sesuai dengan teori yang ada menurut Sunarso (1982) yang mengatakan bahwa dalam pembuatan nata de coco konsentrasi maksimal gula yang dapat ditambahkan ke dalam media cair adalah 10%. Dengan penambahan gula sebesar 10% maka lapisan nata yang dihasilkan akan tebal. Namun jika penambahan gula kurang atau lebih dari konsentrasi maksimal maka bakteri tidak dapat memanfaatkan gula tersebut secara optimal. Kemudian, dengan adanya penambahan gula menurut Hayati (2003) bertujuan untuk membentuk tekstur nata, mempengaruhi penampakan nata, membentuk flavor nata yang pas dan juga memiliki fungsi sebagai pengawet.

7Setelah dilakukan penambahan gula, dilakukan pula penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Hal ini telah sesuai dengan teori yang ada yaitu teori menurut Awang (1991) yang mengatakan bahwa penambahan ammonium sulfat ke dalam media cair dalam proses pembuatan nata de coco bertujuan sebagai sumber nitrogen dimana sumber nutrisi ini juga diperlukan guna mendukung aktivitas bakteri Acetobacter xylinum selama fermentasi berlangsung. Menurut Pambayun (2002), sumber nitrogen lainnya selain ammonium sulfat yang bisa digunakan dalam proses pembuatan nata de coco adalah protein atau ekstrak yeast, ammonium fostat (ZA), urea.

Selanjutnya, dilakukan pula penambahan asam cuka glacial ke dalam larutan air kelapa hingga mencapai pH yang berkisar antara 4-5. Tujuan dilakukannya penambahan asam cuka glacial ini adalah untuk mencapai kondisi dimana pH lingkungan sesuai dengan pH optimum bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Pambayun (2002) bahwa dengan adanya penambahan asam asetat glacial maka akan menciptakan media dengan kondisi pH yang optimal, dan juga untuk 8menghasilkan kondisi lingkungan yang asam karena bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh optimal pada pH yang berkisar antara 4-4,5. Hal serupa juga telah dikatakan oleh Anastasia & Afrianto (2008) yang mengatakan bahwa pencapaian pH media yang sesuai dengan aktivitas Acetobacter xylinum dapat ditempuh dengan melakukan penambahan acidulan (asam) dimana asam yang ditambahkan dapat berupa asam cuka glacial. Berikut merupakan gambar pengecekan pH media hingga mencapai pH 4-5 dengan penamabahan asam cuka glacial.

Gambar 2. Pengecekan pH Media & Penambahan Asam Cuka Glacial

Setelah dilakukan penambahan berbagai bahan pendukung, dilakukan proses pemanasan hingga semua gula terlarut sempurna. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat membunuh semua mikroorganisme yang ada dalam larutan air kelapa. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Tortora et al (1995) dimana pemanasan air kelapa harus dilakukan hingga mendidih dengan tujuan agar mikroba kontaminan dalam air kelapa dapat mati. Dengan demikian maka akan diperoleh media cair yang steril dan bebas dari kontaminan. Selanjutnya, Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa pemanasan air kelapa perlu dilakukan dengan tujuan agar dapat melarutkan gula pasir. Jika gula dalam media tidak larut dengan sempurna, maka gula tersebut akan sulit digunakan oleh bakteri Acetobacter xylinum sehingga proses fermentasi dapat terhambat dan tidak dapat menghasilkan selaput tebal nata.

2.2. Proses FermentasiPada proses fermentasi, pertama-tama wadah plastic bersih disiapkan dan media steril sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam masing-masing wadah lalu ditutup rapat. 9Selanjutnya, biang nata (starter) sebanyak 10% dari jumlah media dapat ditambahkan ke dalam media secara aseptis dan digojog secara perlahan hingga seluruh starter dapat bercampur homogen dalam media. Dalam menambahkan biang nata ke dalam media harus dilakukan secara aseptis dengan tujuan agar dapat mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroba lain yang dapat menghambat kerja mikroba biakan selama proses fermentasi berlangsung. Hal yang dilakukan saat praktikum telah sesuai dengan pendapat menurut Hadioetomo (1993). Berikut merupakan gambar pengambilan biang nata secara aseptis:

Gambar 3. Pengambilan Biang Nata secara Aseptis

Kemudian, wadah dapat ditutup dengan menggunakan kertas coklat dan dilakukan inkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang. Selama inkubasi berlangsung, wadah plastik tidak boleh digoyang-goyang dengan tujuan agar lapisan nata yang terbentuk tidak akan terpisah-pisah/rusak. Berikut dibawah ini merupakan gambar inkubasi media yang berisi starter pada suhu ruang:

Gambar 4. Inkubasi Media

Selanjutnya, pengamatan terhadap nata de coco dilakukan ketika lapisan di permukaan cairan mulai terbentuk, serta dilakukan pengamatan terhadap ketebalan lapisan nata de coco pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14. Persentase lapisan nata yang terbentuk dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

10

Setelah nata sudah jadi dan terbentuk, selanjutnya nata dapat dicuci dengan menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali. Kemudian, nata dipotong kecil-kecil menjadi bentuk kotak dadu yang dapat dilihat pada gambar 4, lalu dimasak dengan menggunakan air gula dimana konsentrasi gula yang digunakan untuk setiap kelompok berbeda yaitu kelompok B1 sebanyak 50 gram, kelompok B2 sebanyak 25 gram, kelompok B3 sebanyak 125 gram, kelompok B4 sebanyak 75 gram dan kelompok B5 sebanyak 100 gram. Setelah nata tersebut dimasak maka dilakukan pengujian sensori terhadap nata yaitu parameter rasa, aroma, tekstur dan warna dari nata yang telah dimasak.

Gambar 5. Pemotongan Nata

Dalam praktikum mengenai pembuatan nata de coco, dilakukan penambahan starter sebanyak 10%. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Pato & Dwiloka (1994) yang mengemukakan bahwa jumlah starter yang dapat ditambahkan dalam proses pembuatan nata adalah sebanyak 4-10%. Dalam penambahan starter ini perlu memperhatikan jumlahnya dikarenakan jika jumlah starter yang ditambahkan tidak pas (terlalu sedikit atau terlalu banyak jumlahnya), maka akan menghasilkan nata dengan karakteristik yang tidak baik. Menurut Misgiyarta (2007), pada substrat cair nata de coco dapat diinokulasikan dengan starter atau bibit sebanyak 10% (v/v). Rahayu et al (1993) juga menambahkan bahwa jumlah inokulum starter yang dapat ditambahkan dalam pembuatan nata berkisar 410% dari jumlah media yang digunakan.

11Setelah dilakukan penambahan starter, wadah plastik yang berisi media steril dan starter dapat ditutup dengan menggunakan kertas coklat. Penutupan wadah ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kontaminasi yang dapat terjadi selama inkubasi berlangsung. Penutupan wadah dengan menggunakan kertas ini dilakukan agar oksigen masih dapat masuk ke dalam wadah. Dan hal yang telah dilakukan dalam praktikum ini telah sesuai dengan teori menurut Pambayun (2002) yang mengatakan bahwa penutupan wadah ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada nata. Pambayun (2002) juga menyatakan bahwa penutup yang digunakan untuk menutupi wadah harus memiliki ventilasi yang baik agar oksigen dapat tetap masuk ke dalam wadah yang mengandung substrat, namun oksigen yang masuk ini tidak boleh bersentuhan langsung dengan permukaan nata. Sehingga, penutupan wadah ini biasa dilakukan dengan menggunakan kertas agar oksigen tetap dapat masuk ke dalam wadah mengingat bakteri Acetobacter xylinum termasuk dalam jenis bakteri aerob.

Dalam praktikum ini, inkubasi selama fermentasi nata de coco dilakukan di suhu ruang dalam waktu 2 minggu. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Pambayun (2002) yang mengatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh optimum ketika berada pada suhu ruang. Ketika suhu terlalu tinggi (>40C), maka bakteri Acetobacter xylinum akan mati, sedangkan ketika suhu terlalu rendah, maka pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dapat terhambat. Selain itu, menurut Rahayu et al (1993), untuk dapat memperoleh hasil nata yang baik yaitu nata dengan ketebalan yang optimum, maka proses fermentasi dapat dilakukan pada suhu 28-32C dalam kurun waktu 2 minggu.

Setelah 2 minggu inkubasi, pada akhir proses fermentasi akan terbentuk lapisan nata. Hasil praktikum telah sesuai dengan teori menurut Rahman (1992) yang mengemukakan bahwa ketika proses fermentasi sudah berakhir, maka pda akhir fermentasi akan terbentuk lapisan putih yang disebut nata dimana hal ini menandakan bahwa proses fermentasi pada substrat yang digunakan tersebut berhasil. Gunsalus & Staines (1962) juga menambahkan bahwa selama proses fermentasi berlangsung maka akan dihasilkan pula gas CO2 sehingga dengan adanya gas tersebut maka lapisan nata yang terbentuk akan terangkat ke permukaan cairan substrat. Menurut Hamad et al (2011) dalam jurnalnya Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco menyatakan bahwa pembentukan lapisan nata dapat digambarkan seperti pada reaksi berikut ini:

12Glukosa Glukosa-6-fosfat Glukosa-1-fosfat UDP-Glukosa Selulosa

Selanjutnya, lapisan nata yang terbentuk dapat dicuci dengan air mengalir, lalu dilakukan pemasakan dengan air gula. Tujuan dari proses pencucian lapisan nata adalah untuk menghilangkan flavor asam yang dihasilkan oleh nata akibat fermentasi. Hal yang dilakukan saat praktikum tersebut telah sesuai dengan teori menurut Rahayu et al (1993) yang mengatakan bahwa setelah terbentuk lapisan putih, maka lapisan putih tersebut dapat disebut nata yang selanjutnya akan mengalami proses pencucian dan perendaman. Proses pencucian dan perendaman nata ini dilakukan dengan tujuan agar dapat menghilangkan rasa asam dan aroma asam yang dihasilkan oleh nata dan flavor asam tersebut tidak diinginkan ada pada nata yang sudah jadi. Hayati (2003) juga menambahkan bahwa tujuan dilakukannya penambahan gula selama proses pemasakan nata adalah untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal bagi nata dan sebagai pengawet pada nata. Berikut dibawah ini merupakan gambar pencucian nata dan proses pemasakan nata dengan menggunakan air gula :

Gambar 6. Proses Pencucian dan Pemasakan Nata

Setelah dilakukan pemasakan dengan penambahan gula, hasil nata yang sudah jadi dan selanjutnya akan dilakukan uji sensoris dapat dilihat pada Gambar 5.

13

Gambar 7. Hasil nata yang akan diuji sensoris

Pada praktikum kali ini, uji sensoris yang dilakukan pada nata yang sudah jadi meliputi uji aroma, warna, tekstur dan rasa. Berdasarkan pada hasil uji sensoris pada parameter aroma, hasil praktikum yang diperoleh semua kelompok (B1-B5) menunjukkan bahwa aroma nata de coco yang diuji memiliki aroma tidak asam. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Rahayu et al (1993) yang mengatakan proses pencucian dan perendaman nata dilakukan dengan tujuan agar dapat menghilangkan rasa dan aroma asam dimana flavor asam tersebut tidak diinginkan pada nata. Arsatmodjo (1996) juga menambahkan bahwa agar dapat menghilangkan aroma dan rasa asam yang ada pada nata, maka nata dapat dicuci beberapa kali dengan air mengalir kemudian dilakukan pemasakan dengan penambahan air gula hingga mendidih sehingga akan dihasilkan nata yang tidak berflavor asam lagi. Menurut Astawan & Astawan (1991), aroma asam pada nata dapat terbentuk dikarenakan media substrat yang digunakan yaitu air kelapa juga memiliki pH asam. Selain itu, aroma asam yang dihasilkan oleh nata juga menunjukan bahwa proses fermentasi telah berlangsung dengan baik.

Selanjutnya jika dilihat dari parameter sensoris warna, dapat dilihat bahwa warna nata yang dihasilkan memiliki warna putih untuk kelompok B2-B4 dan warna putih bening untuk kelompok B1. Warna putih pada nata ini menunjukkan bahwa nata mengalami kekeruhan yang diakibatkan karena adanya reaksi gula dan asam pada nata. Hasil praktikum yang diperoleh ini telah sesuai dengan teori menurut Astawan & Astawan (1991) yang mengemukakan bahwa ketika air kelapa bercampur dengan bakteri Acetobacter xylinum maka akan menghasilkan kekeruhan yang ditunjukkan dengan warna keruh pada nata dikarenakan adanya proses fermentasi yang berlangsung. Kekeruhan pada nata dapat disebabkan pula karena adanya kandungan gula dan asam selama berlangsungnya proses fermentasi. Selain itu, Rahman (1992) menambahkan pula bahwa nata akan berwarna keruh dikarenakan adanya penguraian substrat yang mengandung gula oleh bakteri Acetobacter xylinum, dan dikarenakan adanya reaksi gula dengan nitrogen yang terlarut. Namun, hasil praktikum ini juga kurang sesuai dengan pendapat menurut Mashudi (1993) yang mengatakan bahwa ketika penambahan gula semakin banyak jumlahnya, maka akan semakin banyak pula gula yang mengalami browning, terlebih ketika dilakukan proses pemanasan dan hal ini akan mempengaruhi warna nata yang terbentuk. Seharusnya, kelompok B2 yang memiliki warna putih bening dan kelompok B3 yang memiliki warna putih. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah gula yang ditambahkan maka kekeruhan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Arsatmodjo (1996) juga menambahkan bahwa selama proses pemasakan nata dengan penambahan air gula, gula tersebut akan masuk ke jaringan antar serat (selulosa) sehingga hal ini akan mempengaruhi warna nata.

14Selanjutnya jika dilihat dari parameter tekstur, dapat dilihat bahwa kelompok B1 dan B2 menghasilkan tekstur nata yang kenyal sedangkan kelompok B4-B5 menghasilkan nata yang agak kenyal. Adanya perbedaan tekstur pada nata yang dihasilkan ini dikarenakan oleh jumlah gula yang ditambahkan selama pemasakan nata berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Astawan & Astawan (1991) yang mengatakan bahwa tingkat kekenyalan pada nata akan berubah setelah nata mengalami proses perebusan dengan penambahan air gula. Tingkat kekenyalahn nata yang telah mengalami pemasakan dengan air gula akan mengalami penurunan dan ketika nata tersebut digigit maka akan lebih mudah putus. Hal ini dikarenakan selama proses pemasakan nata, komponen air dan gula akan beralih masuk ke jaringan selulosa yang ada pada nata sehingga susunan dalam nata menjadi lebih longgar dan lebih mudah putus. Selain itu, Arsatmodjo (1996) menambahkan pula semakin tinggi kandungan yang ada pada nata, maka nata akan memiliki tekstur yang semakin kenyal dan ketebalan nata pun semakin meningkat.

Jika dilihat dari parameter rasa, hasil praktikum menunjukkan bahwa kelompok B2 menghasilkan nata yang tidak manis, kelompok B1 menghasilkan rasa agak manis, kelompok B4 menghasilkan nata yang manis dan kelompok B3 dan B5 menghasilkan nata yang sangat manis. Adanya perbedaan tingkat kemanisan pada nata yang dihasilkan ini dikarenakan adanya perbedaan jumlah gula yang ditambahkan pada saat proses pemasakan nata. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Arsatmodjo (1996) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumah gula yang ditambahkan dalam proses pemasakan nata maka nata yang dihasilkan akan memiliki rasa yang semakin manis.

15Selanjutnya, untuk pengamatan terhadap lapisan nata de coco, berdasarkan hasil pengamatan dapat diperoleh informasi mengenai tinggi media awal dimana tinggi media awal untuk setiap kelompoknya berbeda-beda. Kemudian untuk tinggi ketebalan nata dan persentase lapisan nata pada hari ke-0 adalah 0. Hal ini dikarenakan pada hari ke-0 belum terjadi pembentukan lapisan nata. Jika dilihat dari ketebalan nata dan persentase lapisan nata yang terbentuk maka ketebalan dan persentase lapisan nata meningkat dari hari ke-0 menuju ke hari-7 selanjutnya menurun ketika mencapai hari ke-14 kecuali kelompok B3. Adanya penurunan ketebalan dan persentase lapisan nata yang terbentuk ini tidak sesuai dengan teori yang ada dimana seharusnya semakin lama berlangsungnya fermentasi, maka ketebalan nata dan persentase lapisan nata yang terbentuk akan semakin meningkat. Pernyataan ini didukung oleh teori menurut Lapuz et al (1967) yang mengatakan bahwa tinggi ketebalan nata dapat dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi dimana semakin lama waktu inkubasi yang berlangsung, maka lapisan nata yang terbentuk akan semakin tebal. Namun ketika selama inkubasi terjadi goncangan maka hal ini akan menyebabkan lapisan nata yang terbentuk menjadi tenggelam. Hal inilah yang mungkin menyebabkan tinggi ketebalan nata pada hari ke-14 lebih rendah daripada hari ke-7 karena terjadinya goncangan pada wadah selama inkubasi berlangsung sehingga menyebabkan lapisan nata yang sudah terbentuk menjadi turun dan tenggelam. Selain itu, jumlah gula yang ditambahkan pun juga mempengaruhi ketebalan nata yang terbentuk dimana semakin banyak jumlah gula yang ditambahkan maka ketebalan akan semakin tinggi. Anastasia & Afrianto (2008) menyatakan bahwa selama proses fermentasi berlangsung, bakteri Acetobacter xylinum akan memecah gula yang terdapat pada media dan mengubahnya menjadi polisakarida (selulosa) dimana selulosa ini akan membentuk serat-serat yang semakin menebal sehingga dapat membentuk nata. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Naufalin & Condro (2004) dalam jurnalnya yang berjudul Pemanfaatan Hasil Samping Pengolahan tepung Tapioka Untuk Pembuatan Nata de Cassava : Kajian Penambahan Sukrosa dan Ekstrak Kecambah yang menyatakan bahwa ketebalan nata dapat meningkat dikarenakan adanya peningkatan kadar serat yang dihasilkan oleh nata akibat adanya penambahan sukrosa dimana sukrosa ini akan digunakan sebagai sumber karbon bagi bakteri A. xylinum untuk diubah menjadi serat-serat selulosa yang dapat meningkatkan ketebalan nata. Hal serupa diungkapkan pula oleh Iskandar et al (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Pembuatan Film Selulosa dari nata de pina yang mengemukakan bahwa peningkatan ketebalan nata berkaitan erat dengan aktivitas A. xylinum. Seperti halnya pada praktikum, penambahan gula dengan konsentrasi 10% dan pencapaian pH optimum yaitu pH 5 akan menyebabkan bakteri bertumbuh optimum sehingga akan menggunakan sumber nutrisi yang ada yaitu gula untuk diubah menjadi selulosa sehingga lapisan selulosa yang berbentuk serat-serat inilah yang akan semakin menebal. Dengan begitu nata yang terbentuk akan semakin tebal pula.

16Adanya perbedaan pada hasil pengujian terhadap ketebalan dan persentase lapisan nata dapat terjadi mungkin juga dikarenakan wadah yang digunakan untuk setiap kelompok berbeda-beda. Menurut Mashudi (1993), ketinggian media pada wadah dalam proses pembentukan nata dapat mempengaruhi ketebalan lapisan nata yang terbentuk. Semakin luas permukaan wadah maka akan menghasilkan ketebalan nata yang lebih rendah daripada nata yang dihasilkan dari wadah yang luas permukaannya kecil.

4

3. 3

4. KESIMPULAN

Nata de coco merupakan salah satu produk hasil fermentasi pada substrat cair Substrat cair yang digunakan untuk membuat nata de coco adalah air kelapa Bakteri yang berperan dalam proses pembuatan nata de coco adalah Acetobacter xylinum. Nata de coco memiliki bentuk padat, memiliki warna putih transparan, dan kenyal. Selama inkubasi, Acetobacter xylinum akan mengubah substrat gula menjadi polisakarida (selulosa) yang ditandai dengan terbentuknya lapisan tebal pada permukaan substrat cair. Tujuan dilakukannya penyaringan pada air kelapa adalah untuk menghilangkan kotoran yang ada pada air kelapa. Tujuan dilakukannya penambahan gula adalah sebagai suplai sumber karbon yang dapat menunjang pertumbuhan Acetobacter xylinum. Tujuan dilakukannya penambahan ammonium silfat adalah sebagai suplai sumber nitrogen yang dapat menunjang pertumbuhan Acetobacter xylinum. Tujuan dilakukannya penambahan asam cuka glacial adalah agar dapat menciptakan kondisi lingkungan pH yang sesuai bagi A.xylinum untuk tumbuh optimal. Tujuan dilakukannya pemasakan adalah untuk melarutkan gula yang ditambahkan dan membunuh bakteri pathogen. Proses inkubasi dalam pembuatan nata dilakukan selama 2 minggu di suhu ruang. Pencucian nata dengan air mengalir bertujuan untuk menghilangkan flavor asam yang dihasilkan oleh nata akibat adanya fermentasi. Warna putih pada nata disebabkan karena adanya kekeruhan yang timbul akibat adanya kandungan gula dan asam. Semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan, maka rasa nata yang dihasilkan semakin manis, warna nata semakin putih keruh. Semakin tinggi kandungan selulosa pada nata maka ketebalan nata semakin tinggi. Peningkatan ketebalan nata berkaitan erat dengan akitivitas bakteri A. xylinum. 17Semakin lama waktu fermentasi yang berlangsung maka ketebalan dan persentase lapisan nata yang terbentuk akan semakin tinggi. 18Dalam proses pembuatan nata de coco diperlukan kondisi aseptis dengan tujuan agar tidak ada mikroba kontaminan selama proses fermentasi berlangsung.

Praktikan, Asisten Dosen

Poei, Laurensia Cindy Chrysentia Archinitta 11.70.0041

5. DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, N. dan Afrianto, E. 2008. Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Arsatmodjo, E. 1996. Formulasi Pembuatan Nata de Pina. Skripsi Fateta. IPB. Bogor.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Awang, S.A. 1991. Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan.

Gunsalus, I.C. and Staines, R.Y. 1962. The Bacteria A Treatise On Structure & Function. Academic Press. New York.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. 2012. Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco fromLocal Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205211.

Hamad, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. 2011. Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco. Jurnal Teknik Kimia. Vol 12 (2): 74-77.

Hayati, M. 2003. Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. 2007. Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

Iskandar, M. Zaki, Sri Mulyati, Umi Fathanah, Indah Sari & Juchairawati. 2010. Pembuatan Film Selulosa dari nata de pina. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Universitas Syiah Kuala.

19

20Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. 1967. The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science Vol 96.

20Mashudi. 1993. Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata de coco. Skripsi. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta. IPB. Bogor.

Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. 2006. Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.

Misgiyarta. 2007. Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Naufalin, R. dan Condro Wibowo. 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Pengolahan tepung Tapioka Untuk Pembuatan Nata de Cassava : Kajian Penambahan Sukrosa dan Ekstrak Kecambah. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan vol XV, No 2.

Palungkun, R. 1996. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. dan Dwiloka, B. 1994. Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Sunarso. 1982. Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tortora, G.J., Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

21Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35

6. LAMPIRAN6.1. Perhitungan

Rumus :

Kelompok B1Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok B2Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok B3Hari ke 0

22

23Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok B4Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok B5Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

6.2. Laporan Sementara6.3. Report Viper6.4. Abstrak Jurnal