nata de coco_emmanuel natalino_12.70.0171_c2

24
Acara III FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Emmanuel Natalino 12.70.0171 Kelompok C2

Upload: james-gomez

Post on 11-Sep-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Nata de Coco merupakan makanan pencuci mulut (desert)

TRANSCRIPT

Acara III3

FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCOLAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:

Emmanuel Natalino

12.70.0171

Kelompok C2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

20151. HASIL PENGAMATANTabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de cocoKelTinggi Media

Awal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

C1100,300,5003050

C2100,250,7002570

C3200,300,4001520

C4200,300,9001545

C52,500,300,3001212

Berdasarkan hasil pengamatan di atas dapat diperoleh informasi bahwa tinggi awal media kelompok C1 dan C2 adalah 1 cm, untuk kelompok C3 dan C4 adalah 2 cm, dan untuk kelompok C5 adalah 2,5 cm. Untuk tinggi ketebalan nata pada hari ke 0 adalah 0 cm atau belum terbentuk nata pada semua kelompok. Pada % lapisan nata hari ke 0 juga belum dapat dilihat karena nata belum terbentuk. Tinggi ketebalan nata kelompok C2 pada hari ke 7 adalah 0,25. Sedangkan untuk kelompok lainnya yaitu 0,3 semua. Sedangkan pada hari ke 14 tinggi ketebalan nata kelompok C5 adalah yang paling rendah yaitu 0,30. Kelompok C1, C2, C3, dan C4 secara berurutan yaitu 0,5; 0,7; 0,4; dan 0,9. Sedangkan pada % lapisan nata hari ke 7 kelompok C1, C2, C3, C4 dan C5 secara berurutan adalah 30, 25, 15, 15, dan 12. Sedangkan untuk hari ke 14 kelompok C1, C2, C3, C4, dan C5 secara berurutan adalah 50, 70, 20, 45, dan 12.2. PEMBAHASANNata de Coco merupakan makanan pencuci mulut (desert). Nata de Coco adalah makanan yang banyak mengandung serat, mengandung selulosa kadar tinggi yang bermanfaat bagi kesehatan dalam membantu pencernaan. Menurut Santosa (2012) Nata merupakan produk fermentasi yang dihasilkan dari bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Praktikum teknologi fermentasi kali ini, praktikan melakukan percobaan mengenai pembuatan nata de coco. Saat ditumbuhkan di media cair yang mengandung gula, bakteri ini akan menghasilkan asam cuka atau asam asetat dan padatan putih yang terapung di permukaan media cair tersebut, lapisan putih inilah yang dikenal sebagai nata (Tahir et. al., 2008). Teori lain juga membenarkan bahwa Acetobacter xylinum akan membentuk nata melalui proses fermentasi, bakteri ini akan membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula. Sel-sel Acetobacter xylinum selanjutnya akan membentuk nata dapat karena adanya proses pengambilan glukosa di larutan gula dalam substrat. Glukosa tadi akan bergabung dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel yang nantinya akan melakukan ekskresi dan bersama enzim akan mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel (Palungkun, 1996).Nata adalah sejenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary fiber), yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik (mikrobia), yang selanjutnya dikenal sebagai bibit nata. Nata dapat dibuat dari beberapa bahan yang mengandung gula, protein dan mineral, seperti air kelapa (nata de coco), sari kedelai (nata de soya), nata de mango (sari buah mangga), nata de pina (sari buah nanas), dll. Bibit nata sebenarnya berasal dari golongan bakteri Acetobacter xylinum, dimana bakteri ini bersifat menguntungkan karena dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menghasilkan produk yang berguna (Pambayun, 2002).Nata de coco memiliki nilai nutrisi yang sangat rendah karena kandungan terbesarnya adalah air. Namun, nata de coco juga mengandung serat kasar (dietary fiber) yang sangat dibutuhkan tubuh dalam proses fisiologi (Astawan & Astawan, 1991). Menurut Halib et al. (2012), nata de coco bisa digunakan sebagai salah satu pilihan sumber selulosa murni untuk berbagai keperluan industri. Sedangkan Mesomya et al. (2006) juga menambahkan bahwa nata de coco baik dikonsumsi untuk menjaga berat badan dan mencegah penyakit kanker colon dan rectum. Hal ini karena nata de coco memiliki kandungan selulosa yang tinggi, rendah lemak, rendah kalori, serta tidak mengandung kolesterol.Pembuatan nata de coco ini dimulai dengan pembuatan media, yaitu dengan air kelapa. Pembuatan media dalam proses pembuatan nata de coco ini menurut Volk & Wheeler (1993), bertujuan untuk memberi makanan bagi mikroorganisme pembentuk nata, mengkondisikan lingkungan pembiakan organisme dalam jumlah yang besar, membuat biakan penyuburan, serta untuk mendapatkan biakan murni.

Air kelapa digunakan sebagai salah satu bahan utama pembuatan media karena sebenarnya produksi kelapa sangat melimpah, namun belum dimanfaatkan secara maksimal dan justru terkadang dapat merusak lingkungan. Sehingga adanya pemanfaatan air kelapa untuk dibuat menjadi sumber isolat bakteri dan sebagai substrat dalam fermentasi. Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organik, selain karena adanya kandungan yang cukup komplit seperti gula, protein, asam amino, berbagai macam vitamin dan mineral. Air kelapa juga memiliki kelebihan, yaitu murah, kadar kontaminasi yang lebih kecil karena termasuk produk alami dan bukan merupakan sisa suatu proses produksi, produk samping minimum serta ketersediaanya yang terjamin secara kontinyu (Widayati et al., 2002). Awang (1991) menambahkan bahwa air kelapa mengandung air 91,23%, protein 0,29%, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27%, dan abu 1,06%. Selain itu juga mengandung sukrosa, dekstrosa, fruktosa, vitamin B kompleks (asam niotinat 0,01 g, asam pentotenat 0,52 g, biotin 0,02 g, riboflavin 0,01 g, dan asam folat 0,003 g/ml.Dalam praktikum ini, digunakan sebanyak 1,2 liter air kelapa yang telah disaring terlebih dahulu. Penyaringan bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang masih ada (Astawan & Astawan, 1991). Lalu air kelapa dipanaskan hingga mendidih lalu didinginkan hingga suhunya tidak terlalu panas (hangat). Pemanasan air kelapa bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang kemungkinan dapat mencemari produk yang dihasilkan. Dengan tidak adanya pemanasan maka kemungkinan terdapat mikroorganisme lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum dalam mengubah glukosa menjadi selulosa sehingga kemampuan bakteri Acetobacter xylinum untuk membentuk nata juga menjadi tidak sempurna (Astawan & Astawan (1991) & Tortora et al., (1995)).

Kemudian dilakukan penambahan gula pasir sebanyak 10% dari volume air kelapa dan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dari volume air kelapa, lalu diaduk perlahan hingga rata. Penambahan gula pasir pada air kelapa ini berperan sebagai sumber karbon organik untuk mikroorganisme (Awang, 1991). Menurut Pambayun (2002), sumber karbon yang bisa digunakan meliputi monosakarida dan disakarida, dimana sukrosa merupakan sumber karbon yang paling banyak digunakan, contoh sukrosa adalah gula pasir. Penambahan gula pasir sebanyak 10% yang dilakukan telah sesuai dengan pendapat Sunarso (1982), yang menyatakan bahwa konsentrasi optimum gula yang digunakan untuk 100 ml substrat adalah 10 gram. Hal ini karena penambahan gula dalam jumlah yang kurang atau berlebih akan membuat bakteri Acetobacter xylinum tidak mampu memanfaatkannya secara optimal. Hayati (2003) juga mengatakan bahwa penambahan gula dalam pembuatan nata bertujuan untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal, selain juga berfungsi sebagai pengawet.

Sementara itu, penambahan amonium sulfat (sebanyak 0,5% dari volume total air kelapa) sebagai sumber nitrogen bertujuan untuk mendukung aktivitas bakteri nata. Sumber nitrogen yang digunakan dapat diperoleh dari protein maupun ekstrak yeast (nitrogen organik), ammonium fosfat (ZA), urea dan ammonium sulfat (nitrogen anorganik). Sumber nitrogen yang sering digunakan adalah ammoniun fosfat (ZA) karena dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter aceti yang merupakan pesaing Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Menurut Awang (1991), syarat minimal medium yang digunakan untuk proses fermentasi adalah mengandung unsur karbon dan nitrogen. Rahayu (1993) menambahkan bahwa sumber C dan N digunakan untuk pembentukan asam nukleat dan protein sebagai sumber energi untuk pertumbuhan bakteri optimum, yaitu berupa molekul amonia yang dapat langsung diserap oleh sel bersama dengan sumber N lain termasuk urea didalamnya.

Perlakuan berikutnya adalah penambahan asam asetat glasial pada air kelapa hingga pH-nya mencapai 4-5. Penambahan asam asetat glasial bertujuan untuk membuat pH medium yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum, sehingga perlu dilakukan penambahan acidulan ke dalam medium (Anastasia et al., 2008). Pambayun (2002) mengatakan bahwa Acetobacter xylinum masih dapat tumbuh pada kisaran pH 3,57,5 namun kondisi optimum untuk bakteri ini adalah pada suasana asam (pH 4,3). Pada kondisi basa, Acetobacter xylinum tidak dapat tumbuh, sehingga dibutuhkan asam (asam asetat glacial atau asam cuka) untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman.

Menurut Atlas (1984), pada kondisi pH 4,5; 2,5-asam ketoglukonat akan diubah menjadi selulosa. Selain itu, pH yang terlalu rendah menyebabkan Acetobacter xylinum akan menggunakan energi secara berlebih untuk mengatasi stress akibat perbedaan pH yang terlalu besar. Sehingga nantinya aktivitas Acetobacter xylinum akan terhenti akibat ketersediaan energi yang telah habis. Jagannath et al. (2008) mengatakan bahwa untuk membentuk lapisan nata yang tebal, maka diperlukan pembuatan nata dengan perlakuan pada pH 4-4,2 ; penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,45-0,5% serta sukrosa sebanyak 10%.Kemudian air kelapa dimasak agar media menjadi steril dan disaring kembali dengan menggunakan kain saring, lalu dimasukkan pada wadah plastik transparan. Sterilisasi berupa pemasakan bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan, sedangkan proses penyaringan bertujuan untuk mendapatkan media yang bersih dan bebas dari kontaminan atau pengotor lainnya (Pato & Dwiloted, 1994). Selanjutnya ditambahkan biang nata (starter) secara aseptis, ke dalam wadah yang telah berisi media (air kelapa) sebanyak 10% dari volume media. Penambahan starter sudah sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa dalam pembuatan nata ditambahkan inokulum sebanyak 1-10%, yang nantinya akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan nata pada substrat (Rahayu et al., 1993).

Dalam proses pembuatan nata tadi, ditambahkan bakteri Acetobacter xylinum. Menurut Fardiaz (1992), kelompok Acetobacter memiliki sifat anaerobik. Kelompok Acetobacter dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, mengoksidasi asam amino secara lengkap menjadi CO2 dan H2O dengan membebaskan amonia, serta terkadang akan melepaskan H2S jika asam aminonya tergolong sulfidril. Pambayun (2002) menjelaskan bahwa Acetobacter xylinum atau bibit nata tergolong bakteri yang tidak membahayakan, namun menguntungkan karena dapat dimanfaatkan oleh manusia hingga menghasilkan produk yang berguna.

Lalu proses selanjutnya dilanjutkan dengan menggojog secara perlahan agar media dan starter bercampur. Kemudian permukaan wadah ditutup dengan menggunakan kertas koran secara rapat dengan menggunakan bantuan karet, untuk selanjutnya diinkubasikan pada suhu ruang selama 2 minggu. Selama proses inkubasi, wadah tidak boleh digoyang agar lapisan nata yang terbentuk tetap stabil dan tidak terpisah-pisah. Dimana waktu dan suhu inkubasi yang dilakukan sudah sesuai dengan teori, yaitu untuk mendapatkan nata terbaik dengan ketebalan yang optimum, maka dibutuhkan waktu fermentasi selama 10-14 hari pada suhu 28-32C (Rahayu et al., 1993). Teori pendukung lain berupa percobaan yang dilakukan oleh Czaja et al. (2004) yaitu proses inkubasi yang dilakukan pada hari ke-16 sudah tidak dapat lagi terjadi (tidak tampak pertumbuhan lapisan nata) dikarenakan proses fermentasi optimalnya selama 14 hari.Setelah itu, dilakukan inkubasi selama 14 hari diikuti dengan pengamatan yang dilakukan sebanyak 3 kali (hari ke-0, ke-7, dan ke-14) untuk menghitung persentase ketebalan lapisan. Proses inkubasi bertujuan untuk memberi kesempatan pada bakteri untuk beradaptasi, beraktitivas, dan menumbuhkan nata pada substrat dengan mengubah gula menjadi selulosa hingga lapisan nata de coco terbentuk. Pada hari terakhir (hari ke-14), setelah persentase ketebalan lapisan dihitung semua, nata yang telah terbentuk selanjutnya dikeluarkan dari wadah dan dicuci dengan air mengalir sambil dibersihkan dari selaput atau lendir yang menyelimutinya.

Nata yang sudah terbentuk kemudian direndam dalam aquades selama 3 hari, dimana setiap harinya nata harus dicuci dibawa air mengalir dan aquades yang digunakan untuk merendam harus diganti minimal sebanyak 2x, yaitu di pagi dan sore hari untuk mempercepat penghilangan bau asam pada nata. Perendaman dan penggantian air ini bertujuan untuk mempercepat penghilangan bau asam pada nata yang dihasilkan (Rahayu et al., 1993). Setelah itu, dilakukan pengamatan uji sensori terhadap aroma, warna, dan tekstur pada nata yang dihasilkan. Awalnya nata dicuci terlebih dahulu, dipotong-potong, direbus dengan larutan gula (300 gram gula dengan 500 ml air matang) hingga mendidih, baru kemudian dibandingkan antar kelompok dalam satu kloter.

Menurut Anastasia et al (2008), biomassa nata yang terbentuk berasal dari pertumbuhan Acerobacter xylinum selama proses fermentasi cairan yang mengandung gula dan asam. Gula dalam medium akan dipecah oleh A. xylinum sehingga polisakarida yaitu selulosa akan membentuk benang-benang serat yang akan terus menebal membentuk jaringan kuat yang disebut pelikel nata. Dari peraktikum nata tadi, didapatkan nata de coco yang terbentuk berada di bagian atas media atau pada permukaan cairan, dimana menurut Palungkun (1996) hal ini terjadi karena adanya gelembung gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi, yang memiliki kecenderungan melekat pada jaringan selulosa dan mengakibatkan jaringan tersebut terangkat ke permukaan cairan. Apabila terjadi gangguan selama fermentasi (goncangan, dll) maka akan menyebabkan nata yang telah terbentuk di permukaan cairan menjadi turun.Berdasarkan Tabel 1 hasil pengamatan, pada hari ke-0 lapisan nata masih belum terbentuk pada semua kelompok. Pada hari ke-7, pada masing-masing kelompok mulai terlihat lapisan nata yang terbentuk dengan ketinggian yang berbeda-beda. Pada hari ke-14, lapisan nata yang terbentuk juga semakin tebal. Setelah tebal lapisan nata pada hari ke-0, 7, dan 14 diukur ketinggiannya, selanjutnya dilakukan perhitungan presentase lapisan nata dengan menggunakan rumus:

Presentase Lapisan : x100%Dari tabel hasil pengamatan diperoleh informasi tinggi ketebalan nata pada hari ke 0 adalah 0 cm atau belum terbentuk nata pada semua kelompok. Pada % lapisan nata hari ke 0 juga belum dapat dilihat karena nata belum terbentuk. Tinggi ketebalan nata kelompok C2 pada hari ke 7 adalah 0,25. Sedangkan untuk kelompok lainnya yaitu 0,3 semua. Sedangkan pada hari ke 14 tinggi ketebalan nata kelompok C5 adalah yang paling rendah yaitu 0,30. Kelompok C1, C2, C3, dan C4 secara berurutan yaitu 0,5; 0,7; 0,4; dan 0,9.Dari hasil pengamatan ketebalan nata, dapat dilihat adanya kecenderungan pola yang sama, yaitu ketebalan lapisan akan meningkat seiring dengan bertambahnya hari (waktu) inkubasi. Selain itu, hasil yang didapat ini kurang bisa dilihat pengaruh pemberian biang nata sebesar 10% dari volume media karena semua kelompok menggunakan konsentrasi yang sama walaupun persentase ketebalan lapisan yang didapat pada hari ke-14 amat beragam. Adanya perbedaan presentase lapisan pada setiap kelompok kemungkinan disebabkan karena wadah yang digunakan setiap kelompok memiliki ukuran yang berbeda sehingga ketinggiannya juga berbeda satu dengan lainnya.

Sedangkan pada % lapisan nata hari ke 7 kelompok C1, C2, C3, C4 dan C5 secara berurutan adalah 30, 25, 15, 15, dan 12. Sedangkan untuk hari ke 14 kelompok C1, C2, C3, C4, dan C5 secara berurutan adalah 50, 70, 20, 45, dan 12. Dari hasil ini dapat disimpulkan juga bahwa Adanya perbedaan presentase lapisan pada setiap kelompok kemungkinan disebabkan karena wadah yang digunakan setiap kelompok memiliki ukuran yang berbeda sehingga ketinggiannya juga berbeda satu dengan lainnya.

Palungkun (1996) menambahkan bahwa pembentukan nata terjadi karena proses pengambilan glukosa di larutan gula dalam substrat oleh sel-sel Acetobacter xylinum. Kemudian glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor (penciri nata) pada membran sel. Prekursor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel. Komponen selulosa ini selanjutnya akan membentuk jaringan mikrofibril yang panjang dalam cairan fermentasi.Faktor faktor yang berpengaruh dalam pembuatan nata adalah pH, suhu dan kandungan gula dalam substrat (Rahman, 1992). Pambayun (2002) menambahkan bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun (mempolimerisasi) zat gula menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam bahan tersebut, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya tampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut dengan nata.3. KESIMPULAN Nata merupakan produk fermentasi dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum.

Acetobacter xylinum termasuk bakteri yang tidak membahayakan tetapi menguntungkan karena dapat dimanfaatkan oleh manusia hingga menghasilkan produk yang berguna.

Proses pembuatan nata de coco meliputi 2 tahapan utama, yaitu pembuatan media dan proses fermentasi.

Air kelapa mengandung air 91,23%, protein 0,29%, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27%, dan abu 1,06%.

Nata de coco memiliki kandungan selulosa yang tinggi, rendah lemak dan kalori, serta tidak mengandung kolesterol. Penyaringan bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang masih ada.

Pemanasan air kelapa bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang kemungkinan dapat mencemari produk yang dihasilkan. Penambahan gula pasir pada pembuatan nata de coco berperan sebagai sumber karbon untuk mikroorganisme.

Sumber nitrogen yaitu amonium sulfat bertujuan untuk mendukung aktivitas bakteri nata.

Penambahan asam asetat glasial dilakukan untuk membuat pH media menjadi optimal yaitu pada pH 4-5, karena bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok untuk tumbuh pada suasana asam, yaitu sekitar pH 4,3. Pada kondisi pH 4-4,2 serta diberikan penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,45-0,5% serta sukrosa sebanyak 10% akan terbentuk nata yang tebal. Inkubasi nata de coco selama 10-14 hari, pada suhu 2832C akan menghasilkan produk dengan ketebalan yang optimum. Proses pamasakan akhir bertujuan untuk sterilisasi media sehingga mikroorganisme yang tidak diinginkan akan mati. Perendaman nata dalam aquades berfungsi untuk menghilangkan aroma asam. Bibit nata sebenarnya merupakan golongan bakteri dengan nama Acetobacter xylinum.

Biomassa nata berasal dari pertumbuhan Acerobacter xylinum selama proses fermentasi cairan yang mengandung gula dan asam.

Gelembung-gelembung gas CO2 yang dihasilkan selama fermentasi mempunyai kecenderungan melekat pada jaringan selulosa sehingga menyebabkan jaringan tersebut terangkat dan mengapung ke permukaan cairan.

Faktorfaktor yang berpengaruh dalam pembuatan nata adalah pH, suhu dan kandungan gula dalam substrat.

Nata berupa sel berwarna putih hingga abu-abu muda, tembus pandang dan memiliki tekstur kenyal. Terjadi peningkatan ketebalan nata saat fermentasi karena polisakarida berupa selulosa akan membentuk benang-benang serat yang terus menebal membentuk jaringan kuat.

Semakin tebal nata yang dihasilkan, semakin menurun kekenyalannya.Semarang, 8 Juli 2015

Praktikan,

Emmanuel Natalino

Asisten dosen,

Wulan Apriliana

Nies Mayangsari4. DAFTAR PUSTAKAAnastasia; Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Czaja W.; Dwight R; and R. Malcolm Brown, Jr. (2004). Structural Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and Agitated Culture. Cellulose11: 403 411.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.

Halib, N.; Mohd C. I. M. A.; and Ishak A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco fromLocal Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205211

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Jagannath, A; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju; and A. S. Bawa. (2008). The Effect of Ph, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) by Acetobacter Xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.

Mesomya, W; Varapat P; Surat K.; Preeya L.; Yaovadee C.; Duangchan H.; Pramote T.; and Plernchai T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. J. Sci. Technol., 28(Suppl. 1) : 23-28.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santosa, B.; Kgs. Ahmad; and Domingus T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar 2012,6-11.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tahir, I.; Sri S.; and Shinta D. A. (2008). KAJIAN PENGGUNAAN LIMBAH BUAH NENAS LOKAL (Ananas comosus, L) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN NATA Fruit Waste of Local Pineapple (Ananas Comosus, L) as Nata Media.

http://iqmal.staff.ugm.ac.id/wp.../semnaskimxviii-2008-iqmal-nanas.pdfTortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.

5. LAMPIRAN5.1. PerhitunganPersentase Lapisan Nata =

Kelompok C1

H0( Persentase Lapisan Nata = = 0%

H7( Persentase Lapisan Nata = = 30 %

H14( Persentase Lapisan Nata = = 50 %Kelompok C2

H0( Persentase Lapisan Nata = = 0%

H7( Persentase Lapisan Nata = = 25%

H14( Persentase Lapisan Nata = = 70%Kelompok C3

H0( Persentase Lapisan Nata = = 0%

H7( Persentase Lapisan Nata = = 15%

H14( Persentase Lapisan Nata = = 20%Kelompok C4

H0( Persentase Lapisan Nata = = 0%

H7( Persentase Lapisan Nata = = 15%

H14( Persentase Lapisan Nata = = 45%Kelompok C5

H0( Persentase Lapisan Nata = = 0%

H7( Persentase Lapisan Nata = = 12%

H14( Persentase Lapisan Nata = = 12%5.2. Abstrak Jurnal5.3. Laporan Sementara

_1497812799.unknown

_1497812803.unknown

_1497812808.unknown

_1497812810.unknown

_1497812811.unknown

_1497812812.unknown

_1497812809.unknown

_1497812806.unknown

_1497812807.unknown

_1497812805.unknown

_1497812801.unknown

_1497812802.unknown

_1497812800.unknown

_1497812797.unknown

_1497812798.unknown

_1497812796.unknown