miastenia gravis

Upload: la-lydia-tampubolon

Post on 05-Mar-2016

37 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

this file are very important

TRANSCRIPT

PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDANNAMA : ANDRU ASWARNIM : 090100105

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangMiastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR) pada kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).1Beberapa abad yang lalu telah dilaporkan dua kasus yang merupakan penyakit miastenia gravis, satu di Amerika dan yang satu lagi di Eropa. Pada tahun 1672 Sir Thomas Willis, yang merupakan dokter di Inggris mendeskripsikan gejala miastenia gravis pada seorang wanita yang dituliskannya didalam bukunya. Beberapa dekade sebelumnya di Amerika Utara dilaporkan kasus miastenia gravis yang dialami oleh Opechankanough, seorang kepala suku di Virginia, oleh Marsteller berdasarkan keterangan dari penulis sejarah tentang Virginia. Sebutan miastenia gravis sendiri disahkan pada tahun 1899 saat pertemuan Berlin Society of Psychiatry and Neurology.2Dari penelitian Singhal et al di dapatkan banyaknya penderita miastenia gravis di India dari tahun 1966-2008 sebanyak 841 orang, 836 orang mengalami acquired miastenia dan 5 orang mengalami kongenital miastenia. Di Singapura dari penelitian Au et al didapatkan penderita miastenia gravis dari tahun 1994-2000 sebanyak 133 orang.3, 4Dalam 30 tahun terakhir sudah diketahui proses autoimun dalam pathogenesis miastenia gravis. Hal ini menyebabkan semakin berkembangnya terapi miastenia gravis dengan titik fokus pada penekanan imunitas yang abnormal tersebut. Diharapkan dari kemajuan dalam bidang terapi ini dapat menigkatkan kualitas hidup dari orang yang terkena penyakit tersebut.21.2. Tujuan PenulisanTujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan miastenia gravis. Selain itu, tujuan penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. AnatomiMataMata merupakan alat indra yang terdiri dari 3 lapisan:5, 6a. Lapisan luar yang merupakan jaringan ikat fibrosa terdiri dari: kornea dan sclerab. Lapisan tengah (uvea) terdiri dari: iris, badan silier, dan koroidc. Lapisan dalam: retinaPada mata terdapat 3 ruangan yaitu: 5, 6a. anterior chamberb. posterior chamber: di dalamnya terdapat lensac. vitreus chamber

Gambar 1 MataUntuk pergerakannya mata memiliki otot-otot yaitu:a. Oblik inferiorOblik inferior memiliki origo pada fosa lakrimal tulang lakrima, berinsersi pada sclera posterior 2 mm dari kedudukan macula, dipersarafi saraf okulomotorius, dan bekerja untuk mengatur mata ke atas, abduksi, dan eksorotasi.7b. Oblik superiorOblik superior merupakan otot pergerakan mata yang terpanjang dan tertipis. Oblik superior berorigo pada annulus zinn ala parva tulang sfenoid di atas foramen optic, berjalan menuju troklea dan dikatrol balik dan kemudian berjalan diatas otot rektus superior yang kemudian berinsersi dengan sclera di bagian temporal belakang bola mata. Oblik superior dipersarafu saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat.7Otot ini mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada bola mata denga kerja utama terjadi bila sumbu aksi dan sumbu pengelihatan searah atau mata melihat ke arah nasal. Berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi (primer) terutama bila mata bergerak ke nasal, abduksi, dan insiklorotasi.7c. Rektus inferiorRektus inferior mempunyai origo pada annulus zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola mata atau sclera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik inferior diikat kuat oleh ligament lockwood, membentuk sudut 23 derajat sengan sumbu pengelihatan. Rektus inferior dipersarafi oleh nervus III.7 Fungsi menggerakkan mata:7 Depresi (gerak primer) Eksoklotorsi (gerak sekunder) Aduksi (gerak sekunder)

d. Rektus lateralRektus lateral mempunyai origo pada annulus zinn di atas dan di bawah foramen optic. Rektus lateral dipersarafi oleh nervus VI. Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi.7e. Rektus mediusRektus medius mempunyai origo pada annulus zinn dan pembungkus dura saraf optic yang memberi rasa sakit pada pergerakan mata bila terdapat neuritis retrobulbar, dan berinsersi 5mm dibelakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal dengan tendon terpendek. Otot ini menggerakkan mata untuk aduksi (gerak primer).7f. Rektus superiorRektus superior mempunyai origo pada annulus zinn dekat fisura orbita superior beserta lapisan dura saraf optic yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakan bola mata bial terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinser 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang superior nervus III.7Fungsi nya adalah menggerakkan mata:7 elevasi, terutama bila mata melihat ke latera. Aduksi terutama bila mata tidak melihat ke lateral. insiklotorsi

Gambar 2 Otot Penggerak Mata

Untuk menghindari kerusakan, mata dilindungi oleh alpebral. Selain itu alpebral juga berfungsi untuk meregulasi cahaya yang masuk ke mata, menyebarkan air mata ke seluruh kornea saat berkedip, juga dalam proses pengaliran air mata, yaitu dalam pemompaan conjunctival sac dan lacrimal sac.7, 8 , 9

Gambar 3 Permukaan PalpebraPalpebra terdiri dari 5 lapisan jaringan, yaitu lapisan kulit, lapisan otot, jaringan areolar, jaringan ikat/ fibros (tarsal plates), dan mukosa. Lapisan kulit pada palpebral tipis, elastis, serta mempunyai sedikit folikel rambut dan tidak mempunyai jaringan lemak. Tarsal plate merupakan bagian utama yang menyokong alpebral dan terdiri dari jaringan fibrosa serta sedikit jaringan elastis.8

Gambar 4 Palpebra SuperiorPalpebral terdiri dari 3 otot mata yang diinervasi oleh saraf yang berbeda. Nervus alpebral (Nervus III) mempersarafi otot levator alpebral superior yang berfungsi untuk membuka mata. Fungsi ini dibantu oleh Mullers muscle yang dipersarafi alpeb saraf simpatis. Otot yang berfungsi untuk menutup kelopak mata adalah otot orbicularis oculi yang dipersarafi nervus fasialis (nervus VII).9Muskulus levator alpebral superior berasal dari alpebr Zinn dan berjalan ke anterior, melewati struktur suspensorium, alpebra Whitnall (ligamentum transversal superior), yang terikat oleh jaringan ikat. Muskulus levator alpebral superior terdiri dari 4 jenis serabut otot, yaitu red fast-twitch fibers, intermediate fast-twitch fibers, pale fast-twitch fibers, dan slow-twitch fiber. Komposisi serabut otot dari levator alpebral sesuai dengan dua peran utamanya, yaitu kontraksi berkelanjutan untuk melawan kekuatan pasif bawah yang bekerja pada kelopak atas dan gerakan aktif kelopak atas yang menyertai gerakan mata saccadic.9

Gambar 5 Anatomi dari muskulus levator palpebra superior dan aponeurosisnyaOtot Mullers adalah lapisan tipis dari otot polos dengan lebar sekitar 10 mm dengan insersi pada pinggir superior dari tarsus atas. Walaupun otot ini berada pada kelopak bagian atas, terdapat otot yang mirip tetapi lebih kecil yang berada di kelopak bawah. Gangguan fungsi dari otot ini akan mengakibatkan sedikit elevasi dari kelopak mata bawah.9Otot orbicularis oculi merupakan otot yang mengelilingi palpebra dalam bentuk konsentrik. Otot ini terbagi menjad 3 bagian, yaitu preseptal, pretarsal, dan orbital. Bagian orbital membentuk gambaran elips yang melapisi orbital rim dan pipi. Ini adalah bagian paling tebal dari otot dan berpartisipasi terutama dalam penutupan kelopak mata yang kuat. Bagian preseptal dibentuk oleh dua serat otot berbentuk setengah elips yang dipisahkan oleh tendon canthal medial dan lateral. Bagian pretarsal dari oculi terletak pada bagian anterior dari tarsal plate atas dan bawah. Bagian ini sebagian besar terdiri dari intermediate fast-twitch fibers (tipe IIa ), pale fast-twitch fibers (tipe IIb ), serta sedikit slow-twitch fibers (tipe I). Adanya fast-twitch fibers menghasilkan kontraksi yang cepat meskipun mudah lelah yang konsisten dengan aktivitas fungsi phasic orbicularis oculi selama berkedip.9

Gambar 6 Anatomi Muskulus Orbikularis OkuliNeuromuscular JunctionPengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting sebelum memahami tentang miastenia gravis. Tiap-tiap serat secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan otoricular.1Membran presinaptik (otoric saraf), otoric post sinaptik (otoric otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction. Bagian terminal dari saraf otoric melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.1

Gambar 7 Neuromuscular Junction2.2. Defenisi Miastenia gravis berasal dari bahasa Yunani yang berarti otot yang sangat lemah dan pertama sekali diperkenalkan oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Kemudian dijelaskan dengan lebih rinci oleh tiga orang Jerman yaitu Goldflam, Erb, dan Jolly pada tahun 1890.10Miastenia gravis adalah kelainan autoimun pada neuromuscular yang ditandai oleh suatu kelemahan yang abnormal dan progresif pada otot. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Penyakit ini dapat mengenai otot mata atau bahkan general termasuk otot rangka, pernafasan, dan otot lainnya.1, 11, 13, 15, 17

2.3. Etiologi Penyebab dari penyakit auto imun ini tidak diketahui diduga ada hubungannya dengan kelainan genetic atau infeksi virus. Kelainan pada timus ada hubungannya dengan miastenia gravis, tetapi hubungan tersebut masih belum jelas. Timus menghasilkan sel yang berperan dalam respon imun. Sekitar 10% penderita miastenia gravis menderita timoma atau tumor timus, dan sekitar 70% menderita hyperplasia timus, yang sangat berhubungan dengan penyakit auto imun. Karena timus adalah organ utama untuk toleransi imunologi diri sendiri, sehingga diduga kelainan pada timus menyebabkan system imun menyerang reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis.10

2.4. EpidemiologiMiastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka kejadiannya 5 20 tiap 100.000 orang. Prevalensinya 36.000 kasus di Amerika. Lebih sering ditemukan pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 4,5 : 1. Miastenia gravis dapat terjadi pada usia berapapun dengan onset rata-rata pada usia 26 tahun bagi wanita dan 31 tahun bagi pria. Ada juga yang menyebutkan pada wanita sering terjadi pada usia dibawah 40 tahun sedangkan pada pria sering terjadi pada usia lebih dari 60 tahun.1, 10, 11, 14, 15Sekitar 50 % pasien hanya mengalami gejala pada matanya saja (ptosis, diplopia), hal ini disebut dengan ocular miastenia gravis. 50-60 % penderita yang mengalami gejala ocular akan berkembang menjadi general, dan 44 % dalam 1-2 tahun.10, 14, 16

2.5. PatofisiologiNormalnya saraf mengirim sinyal ke otot menggunakan asetilkolin agar otot dapat berkontraksi. Ketika impuls saraf dimulai, impuls tersebut akan bergerak menuju neuromuscular junction. Disinilah neurotransmitter asetilkolin akan dilepas melewati neuromuscular junction dan akhirnya akan berikatan dengan reseptor yang ada di otot, sehingga otot dapat berkontraksi.13Pada penderita miastenia gravis antibody dengan keliru menghancurkan reseptor asetilkolin sehingga menghambat asetilkolin berikatan denga sel-sel otot, dan mencegah terjadinya kontraksi otot. Belakangan ini diduga penyebab dari timbulnya respon antibody yang keliru tersebut karena sel T yang berasal dari timus menstimulasi sel B untuk memproduksi antibody yang bereaksi terhadap reseptor asetilkolin. Menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot yang progresif dan semakin memburuk dengan banyaknya aktivitas.1, 10

Gambar 8 Patofisiologi Miastenia Gravis2.6. Gejala KlinisGejala klinis pada ocular miastenia gravis:1. DiplopiaTerjadi karena mata tidak dapat difokuskan sesuai keinginan akibat kelemahan dari satu atau lebih otot ekstra okuler yang mengontrol gerakan mata. Hal ini paling sering terjadi saat melihat ke atas atau ke samping. Sebagai kompensasi untuk mengimbangi kelemahannya, pasien dapat memiringkan kepalanya atau memalingkan wajahnya sehingga memungkinkan mata lebih kuat untuk bekerja. 11, 122. PtosisPtosis merupakan keadaan dimana kelopak mata atas tidak dapat diangkat atau terbuka sehingga celah kelopak mata menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal. Kadang-kadang dapat juga terlihat adanya kedutan pada kelopak mata.1, 11, 12

Gambar 9 Ptosis3. NistagmusNistagmus merupakan gerakan bola mata yang konstan, berulang, dan involunter ke segala arah yang dapat terjadi pada satu maupun kedua bola mata.122.7. DiagnosisDiagnosis ocular miastenia gravis biasanya dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan prosedur diagnosis lainnya. Sangkaan ocular miastenia gravis harus difikirkan pada pasien dengan riwayat gejala ptosis, diplopia yang progresif. Gold standard untuk ocular miastenia gravis adalah tensilon tes, namun masih banyak pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis ocular miastenia gravis.1, 10, 11, 121. Tes Edrophonium (Tensilon)Tes ini merupakan pilihan pertama dalam menegakkan diagnosis miastenia gravis. Tes edrophonium (tensilon) dilakukan dengan cara menyuntikkan sedikit edrophonium secara intravena. Awalnya 2 mg tensilon disuntikkan intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan kembali 8 mg tensilon secara intravena. Jika pasien menderita miastenia gravis akan terjadi perbaikan gejala kelemahan otot okuler, ptosis, nistagmus, maupun kelemahan otot pada seluruh tubuh dalam waktu singkat.1, 10, 11, 122. Uji prostigmin Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.13. Uji kininDiberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.1

4. Sleep testDilakukan pada anak-anak atau pada pasien yang alergi terhadap obat-obatan antikolinesterase seperti tensilon. Pemeriksaan dilakukan di tempat yang tenang, gelap, dan pasien diminta untuk menutup matanya selama 30 menit. Pasien di foto dan pergerakan mata dinilai sebelum dan sesudah istirahat. Hasil tes dikatakan positif apabila terjadi perbaikan dari ptosis dan pergerakan mata setelah 30 menit periode istirahat.1, 10, 11, 125. The morning/ evening comparison testPrinsipnya sama dengan sleep test. Pasien difoto kemudian membandingkan ptosis dan pergerakan mata pada waktu yang berbeda dalam satu hari. Foto lama sangat membantu untuk menentukan sudah berapa lama pasien mengalami ptosis.1, 10, 11, 126. The ice testTes ini merupakan tes yang sederhana pada pasien miastenia gravis ocular. Sarung tangan bedah diisi dengan batu es lalu di kompres ke kelopak mata yang mengalami ptosis. Pada pasien dengan miastenia gravis ocular, dia dapat membuka matanya secara normal dalam waktu singkat setelah selesai dikompres.1, 10, 11, 127. Fatigue testTes ini dilakukan dengan meminta pasien untuk melihat objek yang diletakkan di depannya. Kemudian dalam waktu singkat kelopak mata akan jatuh pada pasien dengan miastenia gravis ocular.1, 10, 11, 128. Laboratoriuma. Antistriated muscle (anti-SM) antibodyTes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.1, 10, 11, 12

b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negative (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.1, 10, 11, 12c. Antistriational antibodiesAntibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/ RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis. Hal ini disebabkan dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.1, 10, 11, 12d. Anti-asetilkolin reseptor antibodiHasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.1, 10, 11, 12Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan diantaranya: pemeriksaan profil tiroid, dan kadar sedimentasi.1, 10, 11, 129. CT scan dan MRIPemeriksaan CT scan dan MRI timus perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya timoma.1010. ElektrodiagnostikPemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik:1a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).1b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.1

2.8. Diagnosis BandingDiagnosis banding dari ocular miastenia gravis adalah: oftalmoplegia eksternal progresif kronik, distrofi muscular okulofaringeal, distrofi miotonik, kelumpuhan nervus kranialis motoric mata, lesi batang otak, ensefalitis epidemic, kelumpuhan bulbar dan pseudo bulbar, paralisis paska difteri, botulisme, dan sclerosis multiple.18

2.9. Terapi Terapi untuk miastenia gravis terdiri dari satu atau lebih pilihan berikut: kolinesterase inhibitor, timomektomi, plasmapharesis, kortikosteroid, dan imunosupresif lainnya. Hasil dari terapi bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan respon dari pasien terhadap pemberian terapi. Miastenia gravis yang tak terobati memiliki mortalitas 25-30 %, biasanya akibat terjadinya paralisis otot pernafasan. Namun, dengan pengobatan saat ini angka mortalitasnya sudah turun menjadi 4%.10

1. Kolinesterase inhibitorOral kolin esterase inhibitor seperti pyridostigmine bromide (Mestinon) merupakan lini pertama dalam terapi miastenia gravis. Kerjanya adalah dengan menghambat hancurnya enzim asetilkolin di neuromuscular junction, sehingga asetilkolin dapat terakumulasi yang selanjutnya memperpanjang kontraksi otot.1, 10, 12Terapi menggunakan kolinesterase inhibitor pada pasien dengan ocular miastenia gravis dapat memberikan perbaikan terhadap gejala yang dialami pada beberapa pasien, tetapi bisa juga hanya sedikit terjadi perbaikan atau bahkan tidak terjadi perbaikan pada beberapa pasien lainnya. Umumnya kolinesterase inhibitor bekerja lebih baik pada miastenia gravis sistemik dibandingkan pada ocular miastenia gravis. Dalam beberapa kasus tidak efektifnya terapi ini dikarenakan obat ini hanya mengurangi tetapi tidak menghilangkan keluhan pada mata, sehingga dapat menyebabkan diplopia menjadi semakin berat ataupun memperparah ptosis. Karena tingginya efek samping terhadap system gastrointestinal, penggunaan kolinesterase inhibitor tidak disarankan pada orang yang sudah tua. Walaupun jarang, penggunaan obat kolinergik dapat menyebabkan kolinergik krisis.1, 10, 11, 122. Timomektomi Telah banyak penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal centre hyperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggung jawab sebagai penyebab miastenia gravis. Banyak ahli saraf berpengalaman meyakinkan bahwa timomektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun keuntungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan, dan masih belum dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.1, 10, 11Timomektomi merupakan pembedahan untuk mengangkat kelenjar timus. Tujuan utama dari timomektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timomektomi yang dilakukan. Ahli lain percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% pada 5 hingga 10 tahun setelah pembedahan adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.1, 10, 11 Timomektomi sering dilakukan pada psien yang masih muda pada awal perjalanan penyakit. Oprasi dilakukan pada pasien yang masih muda dengan atau tanpa tumor pada kelenjar timusnya. Kebanyakan pasien mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah pembedahan dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan otot dan penggunaan obat-obatan). Sayangnya pada pasien dengan umur lebih dari 60 tahun jarang yang menunjukkan perbaikan yang besar setelah dilakukannya timomektomi.1, 10, 113. Plasmapharesis (plasma exchange)Plasmapharesis merupakan terapi yang diberikan sementara pada pasien dengan gejala yang memburuk secara tiba-tiba. Dasar dari terapi ini adalah pemindahan anti asetilkolin secara efektif. Beberapa liter darah dikeluarkan, sel plasma disaring, kemudian sel darah merah di masukkan kembali kedalam tubuh pasien dengan plasma buatan. Tujuannya adalah untuk menurunkan titer antibody yang mengganggu. Pasien akan merasa lebih baik setelah dilakukannya prosedur plasmapharesis, tetapi gejala perbaikan hanya berlangsung beberapa minggu. Terapi ini juga untuk memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timomektomi dan dapat juga dilakukan pada pasien yang kesulitan menjalani periode paska operasi.1, 10, 11Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5-6 kali terapi setiap hari. Albumin 5% dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek plasmapharesis akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.1, 10, 11Efek samping utama dari plasmapharesis adalah terjadinya retensi dari kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Hal ini disebabkan karena terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Trombositopeni dan perubahan pada berbagai factor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi plasmapharesis yang berulang. Tetapi hal ini bukan merupakan keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh frozen plasma tidak dibutuhkan.1, 10, 114. Terapi imunosupresifTerapi imunosupresif dapat memperbaiki kekuatan otot dengan cara menekan produksi abnormal antibodi. Oral kortikosteroid (prednisone) diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap kolinesterase inhibitor dan timomektomi. Perbaikan yang signifikan terjadi pada 75% kasus. Terapi dimulai dengan pemberian dosis prednisone harian yang tinggi (60-80 mg), kemudian diturunkan sampai dosis minimal yang efektif tercapai. Pemberian terapi kortikosteroid jangka panjang dapat memberikan remisi atau perbaikan yang signifikan dari penyakit pada kebanyakan pasien dalam 1-4 bulan. Namun, penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah seperti hiperglikemia, osteoporosis, gastrik ulcer, peningkatan berat badan, dan cushing sindrom. Perhatikan tekanan intra ocular dan formasi katarak.1, 10Baru-baru ini, pemberian imunosupresif lain seperti cyclosporine dan azathioprine efektif untuk mengobati miastenia gravis.1, 10a. CyclosporineCyclosporine merupakan peptide jamur dengan efek imunosupresif yang baik. Respon terhadap cyclosporine lebih cepat dari pada azathioprine. Dosis awal pemberian cyclosporine sekitar 5 mg/ kgBB/ hari dibagi kedalam 2 atau 3 dosis. Efek maksimum nya didapatkan dalam waktu 6 bulan, setelah dosis diturunkan untuk mendapatkan dosis minimum yang efektif. Cyclosporine berpengaruh terhadap produksi dan pelepasan interleukin- 2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper menimbulkanefek terhadap produksi antibody. Efek samping nya berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.1, 10

b. Azathioprine Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek menghambat sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat yang secara relative dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Azathioprine diberikan pada pasien miastenia gravis yang secara relative terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine efektif pada pasien yang tidak respon terhadap terapi dengan prednisone dan cyclosporine.1, 10Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis awal 20-50 mg/ hari hingga dosis optimal tercapai, kemudian diberikandosis pemeliharaan 2-3 mg/ kg BB/ hari.1, 10Respon azathioprine sangat lambat dapat mencapai 6-8 bulan, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan sehingga pemberiannya harus simultan. Ketika dosis prednisone turun efek azathioprine muncul. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.1, 10Penelitian terbaru oleh Kupersmith et al dan Mee et al sangat menyarankan penggunaan imunomodulatori (kortikosteroid, azathioprine, dan timektomi) secara significant menghambat bahkan mencegah generalisasi penyakit.10

5. Intravena Human Imune Globuline (IVIG)IVIG merupakn terapi jangka pendek baru yang sedang diteliti. Mekanisme kerja dari IVIG adalah dengan mensaturasi tubuh dengan antibody gama globulin yang dikumpulkan dari banyak donor, sehingga mampu memodulasi respon immune. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibody. Produk tertentu dimana 99% merupaka IgG adalah complement-activating aggregates yang relative aman untuk diberikan secara intravena. Efek dari terapi IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.1, 10Berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi plasmapharesis dan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan tidak menjadikan IVIG sebagai terapi awal terhadap pasien yang sedang dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga mendapatkan terapi plasmapharesis, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.1, 10Dosis standar IVIG adalah 400 mg/ kgBB/ hari pada 5 hari pertama, kemudian dilanjutkan dengan 1 gr/ kgBB/ hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10-15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.1, 10Efek samping dari terapi IVIG adalah flue likesyndrome seperti demam, mengigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise yang dapat terjadi dalam 24 jam pertama. Dapat terjadi nyeri kepala yang sangat hebat serta rasa mual saat pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.1, 106. Intravena Metilprednisolone (IVMP)IVMP diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon maka pemberian dapat diulang dalam 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada maka pemberian dapat diulang lagi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis dapat dipertimbangkan apabila terapi lain gagal atau tidak dapat dipergunakan.1

2.10. PrognosisSekitar 10-20 % pasien ocular miastenia gravis akan mengalami remisi secara spontan. Factor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah usia ketika timbulnya gejala dan durasi gejala yang terjadi pada mata. Pasien yang berumur lebih dari 50 tahun disaat onset muncul memiliki resiko besar berkembangnya penyakit menjadi general miastenia gravis dengan komplikasi respiratory distress dan kematian. Sebaliknya onset penyakit yang timbul pada umur yang lebih muda menunjukkan hasil yang lebih ringan. Sekitar 50-80 % pasien dengan gejala ocular miastenia gravis berkembang menjadi general miastenia gravis dalam waktu 2 tahun dari onset penyakit. Tetapi jika setelah 2 tahun onset penyakit hanya terjadi ocular miastenia gravis, maka kemungkinan berkembangnya general miastenia gravis sangat berkurang.11

BAB 3KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah kelainan autoimun pada neuromuscular yang ditandai oleh suatu kelemahan yang abnormal dan progresif pada otot. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Penyakit ini dapat mengenai otot mata atau bahkan general termasuk otot rangka, pernafasan, dan otot lainnya. Penyebabnya belum diketahui. Ada yang mengatakan penyakit ini berhubungan dengan kelainan pada timus, tetapi hubungan tersebut msih belum jelas.Miastenia gravis menyerang 5-20 tiap 100.00 orang. Gejala dari penyakit ini adalah terjadinya kelemahan pada otot. Pada mata dapat timbul gejala seperti: ptosis, diplopia, dan nistagmus. Untuk menegakkan diagnosa miastenia gravis dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti tensilon tes yang merupakan gold standard pemeriksaan miastenia gravis, uji prostigmin, uji kinin, sleep test, morning/ evening comparison test, ice test, dan fatigue test. Pemeriksaan laboratorium juga perlu dilakukan untuk memeriksa kadar titer anti bodi dari si penderita miastenia gravis. Untuk menyingkirkan kelainan di timus pemeriksaan CT scan atau MRI juga dapat dilakukan.Untuk mengobati miastenia gravis dapat dilakukan beberapa terapi yaitu: kolinesterase inhibitor, timomektomi, plasmapharesis, terapi imunosupresif, dan Intravena Human Imune Globulin (IVIG). Prognosis nya akan lebih berat jika penyakit muncul pada usia tua. Pada usia lebih dari 50 tahun kemungkinannya lebih besar untuk berkembangnya penyakit dari ocular miastenia gravis menjadi general dibandingkan dengan umur yang lebih muda.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arie A A G A A, Adnyana M O, Widyadharma I P E. Diagnosis dan Tata Laksana Miastenia Gravis. SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar. 2011; p 1-22.2. Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider. Myasthenia Gravis Fondation of America. 2008; p 2-5.3. Singhal BS, Bhatia NS, Umesh T et al. Myasthenia Gravis: A Study from India. Departement of Neurology, Bombay Hospital Institute of Medical Sciences, Mumbai - 400 020, Kamineni Wokhardt Hospital, Hyderabad, India. 2008; p 352-5.4. Au WL, Das A, Tjia HT. Myasthenia Gravis in Singapore. Department of Neurology, National Neuroscience Institute. 2003; p 35-40.5. Remington LA. Clinical Anatomy of the Visual System. 2nd edition. Elsevier. 2005; p 1.6. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th edition. New Age International (P) Limited. 2007; p 3-5.7. Ilyas H S. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010; p 1-13, 24.8. Riordan-Eva P. Anatomy & Embriology of the Eye. In Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology. 17th edition. The McGraw-Hill Companies; 2008. p. 17-20.9. Skarf B. Normal and Abnormal Eyelid Function. In Miller NR, Newman NJ, Kerrison JB, Biousse V, editors. Walsh and Hoyts Clinical Neuro-Ophthalmology. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 1117-1182.10. Colavito J, Cooper J, Ciuffreda K J. Non-ptotic ocular myasthenia gravis: common presentation of an uncommon disease. Optometry. 2005; p 363-75.11. March G A, Johnson L N. Ocular Myasthenia Gravis. National Medical Association. 1994; 681-412. Myasthenia Gravis Association Of Western Pennsylvania. Ocular Myasthenia Gravis at Allagheny General Hospital. West PennAllegheny Health System. 2009; p 1-2.13. Mackay D, Prasad S. Ocular Myasthenia Gravis. Division of Neuro-Ophtalmology Brigham and Womens Hospital Harvard Medical School. 2005; p 1-8.14. Benatar M, Kaminsky H J Evidance Report: The Medical Treatment of Ocular Myasthenia Gravis (An Evidance-Based Review). American Academy of Neurology. 2006; p 2144-915. Sommer N, Sigg B, Melms A et al. Ocular Myasthenia gravis Response toLong Term Immunossuppresive Treatment. Department of Ophthalmology, Eberhard-Karls- University Tbingen, 1996; p 156-62.16. Kupersmith M J, Latkany R, Homel P. Development of Generalized Disease at 2 Years in Patients With Ocular Myasthenia Gravis. American Medical Association. 2003; p 1-6.17. Vincent A, Davis J N. Acetylcholine receptor antibody characteristics in myasthenia gravis. I. Patients with generalized myasthenia or disease restricted to ocular muscles. Blackwell Scientific Publications. 1982; p 257-65.18. Riordan-Eva P, Hoyt WF. Neuro Oftalmologi. In Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology. 17th edition. The McGraw-Hill Companies; 2008. p. 296-7.

24