mengenal tentang miastenia gravis

Upload: zainal-arifin-ariga

Post on 14-Apr-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    1/30

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    2/30

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    3/30

    19

    MENGENAL TENTANG MIASTENIA GRAVIS DANPENATALAKSANAANNYA

    Oleh:

    Fahrun Nur Rosyid Bagian Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Kesehatan

    Universitas Muhammadiyah SurabayaEmail: [email protected]

    Abstract Myastenia gravis may cause paralysis due to the mobility of neuromuscular connections to deliver signals from nerve fibers to muscle fiber. This diseaseoccurs due to disruption of synaptic transmission at neuromuscular junction.Prior understanding of myastenia gravis, knowledge of anatomy and normal

    function of the neuromuscular junction is very important. Presinaptic membrane(membrane of nerve), post synaptic membrane (muscle membrane), and thesynapse is a gap forming parts of the neuromuscular junction. Immunoigenicmechanism plays a very important in the pathophysiology myastenia gravis whereantibodies are the product ofB cells in fact against the acethylcholine receptor.

    Management myasatenia gravis can be done with drugs thymomectomy or withimmunomodulating and immunosuppressive therapy that can provide a good

    prognosis in mystenia gravis healing.

    Key word: Mystenia gravis, and management.

    PENDAHULUAN Miastenia gravis, yang terjadi

    pada kira-kira 1 dari 20.000 orang,menyebabkan kelumpuhan akibatketidakmampuan sambunganneuromuskular untuk menghantarkansinyal dari serat saraf ke serat otot.Secara patologis, dalam darahsebagian besar penderita miasteniagravis terlihat antibodi yangmenyerang protein transpor

    bergerbang asetilkolin. Oleh karenaitu, ada anggapan bahwa miasteniagravis merupakan penyakit autoimun

    karena pada penderita ini terbentuk antibodi yang melawan saluran ionteraktivasi asetilkolin miliknyasendiri. Tanpa memperhatikan

    penyebabnya, potensial lempengakhir yang timbul di dalam serat ototterlalu lemah untuk dapatmerangsang serat otot secara adekuat.

    Bila penyakit tersebut cukup parah, penderita meninggal akibat paralisisterutama, paralisis otot pernapasan(Guyton & Hall, 1997).

    Miastenia gravis adalah salahsatu karakteristik penyakit autoimun

    pada manusia. Selama beberapadekade terakhir telah dilakukan

    penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang diimunisasi denganacetylcholine receptor (AchR).Sedangkan pada manusia yangmenderita miastenia gravis,ditemukan adanya deflsiensi dari

    acetylcholine receptor (AchR) padaneuromuscular junction. Pada tahun1977, karakteristik autoimun padamiastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasilditemukan melalui beberapa

    penelitian. Hal ini meliputidemonstrasi tentang sirkulasi antibodi

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    4/30

    20

    AchR pada hampir 90% penderitamiastenia gravis, transfer pasif IgG

    pada beberapa bentuk penyakit dari

    manusia ke tikus, lokalisasi imunkompleks (IgG dan komplemen) padamembran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis(Engel,1984)

    Kemudian terdapat perkembangan dalam

    pengertian tentang struktur dan fungsidari AchR serta interaksinya denganantibodi AchR. Hubungan antarakonsentrasi, spesifisitas, dan fungsidari antibodi terhadap manifestasiklinik pada miastenia gravis telahdianalisis dengan sangat hati-hati, danmekanisme dimana antibodi AchR me m p e n g a r u h i transmisineuromuskular telah diinvestigasilebih jauh (Engel , 1984). Kelainanmiastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena

    berbagai faktor. Hal ini menyebabkansindrom miastenik kongenital banyak diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya,kelainan pada transmisineuromuskular yang berbeda darimiastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata

    juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini,zona partikel aktif dari membran

    presinaptik merupakan target dariautoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung (Engel , 1984). Walaupunterdapat banyak penelitian tentang

    terapi miastenia gravis yang berbeda- beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulas i dan

    imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakitini.

    Ironisnya, beberapa dari terapiini justru diperkenalkan saat

    pengetahuan dan pengertian tentangimunopatogenesis masih sangatkurang (Lewis, 1995).

    DEFINISI MIASTENIA GRAVISMiastenia gravis adalah suatu

    kelainan autoimun yang ditandai olehsuatu kelemahan abnormal dan

    progresif pada otot rangka yangdipergunakan secara terus-menerusdan disertai dengan kelelahan saat

    beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard,2008). Bila penderita beristirahat,maka tidak lama kemudian kekuatanotot akan pulih kembali. Penyakit initimbul karena adanya gangguan darisynoptic transmission atau padaneuromuscular junction (Ngoerah,1991).

    EPIDEMIOLOGIMiastenia gravis merupakan

    penyakit yang jarang ditemui, dandapat terjadi pada berbagai usia.Biasanya penyakit ini lebih seringtampak pada usia 20-50 tahun.Wanita lebih sering menderita

    penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yangmenderita miastenia gravis adalah 6:4. Pada wanita, penyakit ini tampak

    pada usia yang lebih muda, yaitusekitar 28 tahun, sedangkan pada

    pria, penyakit ini sering terjadi padausia 42 tahun (Ngoerah, 1991;Howard, 2008).

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    5/30

    21

    ANATOMI, FISIOLOGIS, DANBIOKIMIA NEUROMUSCULARJUNCTION

    Anatomi Neuromuscular JunctionSebelum memahami tentang

    miastenia gravis, pengetahuantentang anatomi dan fungsi normaldari newomuscular junction sangatlah

    penting. Tiap-tiap serat saraf secaranormal bercabang beberapa kali danmerangsang tiga hingga beberaparatus serat otot rangka. Ujung-ujungsaraf membuat suatu sambunganyang disebut neuromuscular junctionatau sambungan neuromuscular (Howard, 2008; Newton, 2008).Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yangdisebut terminal bulb, yangterbentang diantara celah-celah yangterdapat di sepanjang serat saraf.Membran presinaptik (membransaraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinapsmerupakan bagian-bagian pembentuk

    neuromuscular junction (Howard,2008).

    Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction Celah sinapsmerupakan jarak antara membran

    presinaptik dan membran postsinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatulamina basalis, yang merupakanlapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui olehcairan ekstraselular secara difusi(Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yangdidalamnya berisi asetilkolin (ACh).Asetilkolin disintesis dalamsitoplasma bagian terminal namundengan cepat diabsorpsi ke dalamsejumlah vesikel sinaps yang kecil,yang dalam keadaan normal terdapatdi bagian terminal suatu lempengakhir motorik (motor end plate)(Howard, 2008; Newton, 2008).

    Bila suatu impuls saraf tiba dineuromuscular junction, kira-kira 125kantong asetilkolin dilepaskan dariterminal masuk ke dalam celah

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    6/30

    22

    sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akanterjadi difusi dari ion-ion kalsium ke

    bagian dalam terminal. Ion-ionkalsium ini kemudian didugamempunyai pengaruh tarikanterhadap vesikel asetilkolin. Beberapavesikel akan bersatu ke membransaraf dan mengeluarkanasetilkolinnya ke dalam celah sinaps.Asetilkolin yang dilepaskan berdifusisepanjang sinaps dan berikatandengan reseptor asetilkolin (AChRs)

    pada membran post sinaptik (Howard, 2008; Newton, 2008).

    Menurut Murray (1999) secara biokimiawi keseluruhan proses padaneuromuscular junction dianggap

    berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam

    sitosol terminal saraf denganmenggunakan enzim kolin as ti1ransferase yang mengkatalisasireaksi berikut ini: Asetil-KoA+Kolin a Asetilkolin + KoA

    2. Asetilkolin kemudian disatukanke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikelsinap dan disimpan di dalamvesikel ini.

    3. Pelepasan asetilkolin dari vesikelke dalam celah sinaps merupakantahap berikutnya. Peristiwa initerjadi melalui eksositosis yangmelibatkan fusi vesikel denganmembran presinaptik. Dalamkeadaan istirahat, kuanta tunggal(sekitar 10.000 molekul

    transmitter yang mungkin sesuaidengan isi satu vesikel sinaps)akan dilepaskan secara spontansehingga menghasilkan potensialendplate miniature yang kecil.Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibattransmisi sebuah impuls saraf,

    proses ini akan membuka saluranCa:+ yang sensitive terhadapvoltase listrik sehingga

    memungkinkan aliran masuk Ca2" dari ruang sinaps keterminal saraf. Ion Ca2+ inimemerankan peranan yangesensial dalam eksositosis yangmelepaskan asitilkolin (isi kuranglebih 125 vesikel) ke dalamrongga sinaps.

    4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasicelah sinaps ke dalam reseptor didalam lipatan taut (junctionalfold), merupakan bagian yangmenonjol dari motor end plateyang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengankerapatan yang tinggi dan sangatrapat dengan terminal saraf.Kalau 2 molekul asetilkolinterikat pada sebuah reseptor,maka reseptor ini akanmengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalamreseptor yang memungkinkanaliran kation melintasi membran.Masuknya ion Na+ akanmenimbulkan depolarisasimembran otot sehingga terbentuk

    potensial end plate. Keadaan iniselanjutnya akan menimbulkandepolarisasi membran otot didekatnya dan terjadi potensialaksi yang ditransmisikandisepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

    5.

    Kalau saluran tersebut menutup,asetilkolin akan terurai dandihidrolisis oleh enzimasetilkolinesterase yangmengkatalisasi reaksi berikut:Asetilkolin + H,O a Asetat +Kolin Enzim yang penting initerdapat dengan jumlah yang

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    7/30

    23

    besar dalam lamina basalisrongga sinaps

    6. Kolin didaur ulang ke dalamterminal saraf melalui mekanismetransport aktif di mana proteintersebut dapat digunakan kembali

    bagi sintesis asetilkolin.Setiap reseptor asetilkolin

    merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segeraterbuka setelah melekatnyaasetilkolin. Kompleks ini terdiri dari5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa,dan masing-masing satu protein beta,

    delta, dan gamma. Melekatnyaasetilkolin memungkinkan natriumdapat bergerak secara mudah

    melewati saluran tersebut, sehinggaakan terjadi depolarisasi parsial darimembran post sinaptik. Peristiwa iniakan menyebabkan suatu perubahan

    potensial setempat pada membranserat otot yang disebut excitatory

    postsynaptic potential (potensiallempeng akhir). Apabila pembukaangerbang natrium telah mencukupi,maka akan terjadi suatu potensial aksi

    The Neuromuscular Junction

    Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction (Newton, 2008). pada membran otot yang

    selanjutnya menyebabkan kontraksiotot. (Howard, 2008; Newton, 2008).Menurut Murray (1999) beberapasifat dari reseptor asetilkolin dineuromuscularjunction adalahsebagai berikut:1. Merupakan reseptor nikotinik

    (nikotin adalah agonis terhadapreseptor)

    2. Merupakan glikoprotein bermembran dengan beratmolekul sekitar275kDa.

    3. Mengandung lima subunit, terdiridari ?,???

    4. Hanya subunit ? yang mengikatasetilkolin dengan afinitas tinggi.

    5. Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluranion, yang memungkinkan aliran

    baik Na+ maupun K4.

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    8/30

    24

    6. Bisa ular ?-bungarotoksin berikatan dengan erat padasubunit - ? dan dapat digunakan

    untuk melabel reseptor atausebagai suatu ligand berafinitasuntuk memurnikannya.

    7. Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miasteniagrafis.

    PATOFISIOLOGIMekanisme imunogenik

    memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miasteniagravis. Observasi klinik yangmendukung hal ini mencakuptimbulnya kelainan autoimun yangterkait dengan pasien yang menderitamiastenia gravis, misalnya autoimuntiroiditis, sistemik lupus eritematosus,arthritis rheumatoid, dan lain-lain(Howard, 2008)

    Sejak tahun 1960, telahdidemonstrasikan bagaimanaautoantibodi pada serum penderitamiastenia gravis secara langsungmelawan konstituen pada otot. Halinilah yang memegang peranan

    penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.

    Tidak diragukan lagi, bahwaantibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebabutama kelemahan otot pasien denganmiastenia gravis. Autoantiboditerhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum90% pasien yang menderita acquired

    myasthenia gravis generalisata(Lewis ,1995)Mekanisme pasti tentang

    hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada

    penderita miastenia gravis belumsepenuhnya dapat dimengerti.Miastenia gravis dapat dikatakan

    sebagai "penyakit terkait sel B",dimana antibodi yang merupakan

    produk dari sel B justru melawan

    reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravismulai semakin menonjol. Timusmerupakan organ sentral terhadapimunitas yang terkait dengan sel T.Abnormalitas pada timus sepertihiperplasia timus atau thymoma,

    biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik (Howard, 2008).

    Pada pasien miastenia gravis,antibodi IgG dikomposisikan dalam

    berbagai subklas yangberbeda,dimana satu antibodi secara langsungmelawan area imunogenik utama

    pada subunit alfa. Subunit al'fa jugamerupakan binding site dariasetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolinakan mengakibatkan terhalangnyatransmisi neuromuskular melalui

    beberapa cara, antara lain : ikatansilang reseptor asetilkolin terhadapantibodi anti-reseptor asetilkolin danmengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular

    junction dengan cara menghancurkansambungan ikatan pada membran

    post sinaptik, sehingga mengurangiarea permukaan yang dapatdigunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang barudisintesis (Howard, 2008).

    GEJALAKLINIS

    Miastenia gravisdikarakteristikkan melalui adanyakelemahan yang berfluktuasi padaotot rangka dan kelemahan ini akanmeningkat apabila sedang

    beraktivitas. Penderita akan merasaototnya sangat lemah pada siang haridan kelemahan ini akan berkurang

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    9/30

    25

    apabila penderita beristirahat(Howard, 2008). Gejala klinismiastenia gravis antara lain :

    Kelemahan pada ototekstraokular atau ptosis

    Ptosis yang merupakan salahsatu gejala kelumpuhan nervusokulomotorius, seing menjadikeluhan utama penderita miasteniagravis. Walupun pada miasteniagravis otot levator palpebra jelaslumpuh, namun ada kalanya otot-ototokular masih bergerak normal. Tetapi

    pada tahap lanjut kelumpuhan ototokular kedua belah sisi akanmelengkapi ptosis miastenia gravis7.Kelemahan otot bulbar juga seringterjadi, diikuti dengan kelemahan

    pada fleksi dan ekstensi kepala(Howard, 2008).

    Gambar 3. Penderita MiasteniaGravis yang mengalami kelemahanotot esktraokular (ptosis).

    Kelemahan otot penderitasemakin lama akan semakinmcmburuk. Kelemahan tersebut akan

    menyebar mulai dari otot ocular, ototwajah, otot leher, hingga ke ototekstremitas (Howard, 2008).

    Sewaktu-waktu dapat pulatimbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbulkelemahan dari otot faring, lidah,

    pallatum molle, dan laring sehinggatimbullah

    kesukaran menelan dan

    berbicara. Paresis dari pallatum molleakan menimbulkan suara sengau.Selain itu bila penderita minum air,mungkin air itu dapat keluar darihidungnya.

    KLASIFIKASI MIASTENIAGRAVIS

    Menurut My asthenia GravisFoundation of America (MGFA),miastenia gravis dapatdiklasifikasikan sebagai berikut:1) Klas I, adanya kelemahan otot-

    otot okular, kelemahan pada saatmenutup mata, dan kekuatanotot-otot lain normal.

    2) Klas II, terdapat kelemahan ototokular yang semakin parah, sertaadanya kelemahan ringan padaotot-otot lain selain otot okular.

    3) Klas lia, mempengaruhi otot-ototaksial, anggota tubuh, ataukeduanya. Juga terdapatkelemahan otot-otot orofaringealyang ringan.

    4) Klas lib, mempengaruhi otot-ototorofaringeal, otot pernapasanatau keduanya. Kelemahan padaotot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringandibandingkan klas Ha.

    5) Klas III, terdapat kelemahanyang berat pada otot-otot okular.Sedangkan otot-otot lain selainotot-otot ocular mengalami

    kelemahan tingkat sedang.6) Klas Ilia, mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-ototaksial, atau keduanya secara

    predominan. Terdapat kelemahanotot orofaringeal yang ringan.

    7) Klas Illb, mempengaruhi ototorofaringeal, otot-otot

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    10/30

    26

    pernapasan, atau keduanyasecara predominan. Terdapatkelemahan otot-otot anggota

    tubuh, otot-otot aksial, ataukeduanya dalam derajat

    8) Klas IV, otot-otot lain selainotot-otot okular mcngalamikelemahan dalam derajat yang

    berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam

    bcrbagai derajat.9) Klas Iva, secara predominan

    mempengaruhi otot-otot anggotatubuh dan atau otot-otot aksial.Otot orofaringeal mengalamikelemahan dalam derajat ringan.

    10) Klas Ivb, mempengaruhi ototorofaringeal, otot-otot

    pemapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu jugaterdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-ototaksial, atau keduanya denganderajat ringan. Penderitamcnggunakan feeding tube tanpadilakukanintubasi.

    11) Klas V, penderita terintubasi,dengan atau tanpa ventilasimckanik. Biasanya gejala-gejalamiastenia gravis sepeti ptosis danstrabismus tidak akan tarnpak

    pada waktu pagi hari. Di waktusore hari atau dalam cuaca panas,gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemcriksaan,tonus otot lampaknya agak menurun.

    Menurut Ngurah (1991)Miastenia ivis juga dapatdikelompokkan :ara lebih sederhanaseperti dibawahMiastenia gravisdengan ptosis atau diplopia ringan.

    Miastenia gravis dengan ptosis,diplopi, dan kelemahan otot-ototiintuk untuk mengunyah, menelan,

    dan berbicara. Otot-otot anggotatubuhpun dapat ikut menjadi lemah.Pemapasan tidak terganggu.

    Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengankelemahan otot-otot okulobulbar.

    Pemapasan tidak terganggu.Penderita dapat meninggal dunia.

    DIAGNOSISMIASTENIAGRAVISPenegakan Diagnosis MiasteniaGravis

    Pemeriksaan fisik yang cermatharus dilakukan untuk menegakkandiagnosis suatu miastenia gravis.Kelemahan otot dapat muncul dalam

    berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris dikedua anggota gerak kanan dan kiri.Refleks tendon biasanya masih adadalam batas normal. Miastenia gravis

    biasanya selalu disertai denganadanya kelemahan pada otot wajafc.Kelemahan otot wajah bilateral akanmenyebabkan timbulnya a mask-likeface dengan adanya ptosis dansenyum yang horizontal (Howard ,2008). Kelemahan otot bulbar jugasering terjadi pada penderita denganmiastenia gravis. Pada pcmeriksaanfisik, terdapat kelemahan otot-otot

    palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung(nasal twang to the voice) sertaregurgitasi makanan terutama yang

    bcrsifat cair ke hidung penderita.

    Selain itu, penderita miastenia gravisakan mengalami kesulitan dalammengunyah serta menelan makanan,sehingga dapat terjadi aspirasi cairanyang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahanotot-otot rahang pada miasteniagravis menyebakan penderita sulit

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    11/30

    27

    untuk menutup mulutnya, sehinggadagu penderita harus terus ditopangdengan tangan. Otot-otot leher juga

    mengalami kelemahan, sehinggaterjadi gangguan pada saat fleksi sertaekstensi dari leher (Howard, 2008).

    Otot-otot anggota tubuhtertentu mengalami kelemahan lebihsering dibandingkan otot-ototanggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih seringmengalami kelemahan dibandingkanotot-otot anggota tubuh bawah.Deltoid serta fungsi ekstensi dariotot-otot pergelangan tangan serta

    jari-jari tangan sering kali mengalamikelemahan. Otot trisep lebih seringterpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kaliterjadi kelemahan saat melakukanfleksi panggul, serta melakukandorsofleksi jari-jari kakidibandingkan dengan melakukan

    plantarfleksi jari-jari kaki (Howard,2008).

    Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkangagal napas akut, dimana hal inimerupakan suatu keadaan gawatdarurat dan tindakan intubasi cepatsangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapatmenyebabkan retensi karbondioksidasehingga akan berakibat terjadinyahipoventilasi. Kelemahan otot-ototfaring dapat menyebabkan kolapsnyasaluran napas atas, pengawasan yangketat terhadap fungsi respirasi pada

    pasien miastenia gravis fase akutsangat diperlukan (Howard, 2008).Biasanya kelemahan otot-otot

    ekstraokular terjadi secara asimetris.Kelemahan sering kali mempengaruhilebih dari satu otot ekstraokular, dantidak hanya terbatas pada otot yangdiinervasi oleh satu nervus cranialis.

    Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatumiastenia gravis. Kelemahan pada

    muskulus rektus lateralis danmedialis akan menyebabkanterjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandaidengan terbatasnya kemampuanadduksi salah satu mata yang disertainistagmus pada mata yang melakukanabduksi (Howard , 2008). Menurut

    Ngurah (1991) untuk penegakandiagnosis miastenia gravis, dapatdilakukan pemeriksaan sebagai

    berikut:1. Penderita ditugaskan untuk

    menghitung dengan suara yangkeras. Lama kelamaan akanterdengar bahwa suaranya

    bertambah lemah dan menjadikurang terang. Penderita menjadianartri s jdan .afoni s.

    2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secaraterus-menerus. Lama kelamaanakan timbul ptosis. Setelah suara

    penderita menjadi parau atautampak ada ptosis, maka

    penderita disuruh beristirahat..Kemudian tampak bahwasuaranya akan kembali baik dan

    ptosis juga tidak tampak lagi.Menurut Ngurah (1991) untuk

    memastikan diagnosis miasteniagravis, dapat dilakukan beberapa tesantara lain:1. Uji Tensilon (edrophonium

    chloride), tmtuk uji tensilon,

    disuntikkan 2 mg tensilon secaraintravena, bila tidak terdapatreaksi maka disuntikkan lagisebanyak 8 mg tensilon secaraintravena. Segera sesudahtensilon disuntikkan hendaknyadiperhatikan otot-otot yang lemahseperti misalnya kelopak mata

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    12/30

    28

    yang memperlihatkan ptosis. Bilakelemahan itu benar disebabkanoleh miastenia gravis, maka

    ptosis itu akan segera lenyap.Pada uiji ini kelopak mata yanglemah hams diperhatikan dengansangat seksama, karcnaefektivitas tensilon sangatsingkat.

    2. Uji Prostigmin (neostigmw), padatcs ini disuntikkan 3 cc atau 1,5mg prostigmin merhylsulfatsecara intramuskular (bila perlu,diberikan pula atropin !X atau'/2 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravismaka gejala-gejala sepertimisalnya ptosis, strabismus ataukelemahan lain tidak lamakemudian akan lenyap.

    3. Uji Kinin, diberikan 3 tabletkinina masing-masing 200 mg. 3

    jam kemudian diberikan 3 tabletlagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,maka gejala seperti ptosis,strabismus, dan lain-lain akan

    bertambah berat. Untuk uji ini,sebaiknya disiapkan juga injeksi

    prasiigmin, agar gejala-gejala

    miastenik tidak bertambah berat.

    Pemeriksaan Penunjang untukDiagnosis Pasti1. Pemeriksaan Laboratorium

    Anti-asetilkolin reseptor antibodi

    Hasil dari pemeriksaan inidapat digunakan untuk mendiagnosissuatu miastenia gravis, dimanaterdapat hasil yang postitif pada 74%

    pasien. 80% dari penderita miasteniagravis generalisata dan 50% dari

    penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang

    positif. Pada pasien thymoma tanpamiastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibody(Howard, 2008). Menurut(Howard, 2008) rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yangdilakukan oleh Tidall, di sampaikan

    pada tabel berikut:

    Klasifikasi : R = remission, I = ocular onlv, IIA = mild generalized, IIB =moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe

    Osserman class Mean antibody titer Percent positive

    R 0.79 24

    I 2.17 55

    IIA 49.8 80

    IIB 57.9 100

    III 78.5 100

    IV 205.3 89

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    13/30

    29

    Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam

    kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakitmiastenia gravis.

    Antistriated muscle (anti-SM) antibody

    Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miasteniagravis. Tes ini menunjukkan hasil

    positif pada sekitar 84% pasien yangmenderita thymoma dalam usiakurang dari 40 tahun. Pada pasientanpa thymoma dengan usia lebih dari40 tahun, anti-SM Ab dapatmenunjukkan hasil positif.

    Anti-muscle-specific kinase(MuSK) antibodies.

    Hampir 50% penderitamiastenia gravis yang menunjukkanhasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif),menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

    Antistriational antibodies

    Dalam serum beberapa pasiendengan miastenia gravismenunjukkan adanya antibody yang

    berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksidengan epitop pada reseptor protein

    titin dan ryanodine (RyR). Antibodyini selalu dikaitkan dengan pasienthymoma dengan miastenia gravis

    pada usia muda. Terdeteksinyatitin/RyR antibody mcrupakan suatukecurigaaan yang kuat akan adanyathymoma pada pasien muda denganmiastenia gravis.

    2. ImagingChest x-ray (foto roentgen

    thorak), dapat dilakukan dalam

    posisi anteroposterior dan lateral.Pada roentgen thorak, thymomadapat diidentifikasi sebagai suatumassa pada bagian anterior mediastinum.

    Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkanadanya thymoma ukuran kecil,sehingga terkadang perludilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma padasemua kasus miastenia gravis,terutama pada penderita denganusia tua.

    MRI pada otak dan orbitasebaiknya tidak digunakansebagai pemeriksaan rutin. MRIdapat digunakan apabiladiagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan

    pemeriksaan penunjang lainnyadan untu mencaripenyebab defisit

    pada sarafotak.

    3. Pendekatan Elektrodiagnostik Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek padatransmisi neuromuscular melalui2 teknik :

    Repetitive Nei~veStimulation (RNS), pada

    penderita miastenia gravisterdapat penurunan jumlahreseptor asetilkolin, sehingga

    pada RNS tidak terdapat adanya

    suatu potensial aksi.Single-fiber Electromyography (SFEMG),menggunakan jarum single-fiber,yang memiliki permukaan keciluntuk merekam serat otot

    penderita. SFEMG dapatmendeteksi suatu jitter

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    14/30

    30

    (variabilitas pada intervalinterpotensial diantara 2 ataulebih serat otot tunggal pada

    motor unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensialaksi dari serat otot tunggal yangdapat direkam oleh jarum

    perekam). SFEMG mendeteksiadanya defek transmisi padaneuromuscular fiber berupa

    peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

    Diagnosis BandingMenurut Ngurah (1991) dan

    Howard (2008). Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosismiastenia gravis, antara lain:

    Adanya ptosis atau strabismusdapat juga disebabkan oleh lesinervus III pada beberapa penyakitelain miastenia gravis, antara lain:a. Meningitis basalis (tuberkulosa

    atau luetika) b. Infiltrasi karsinoma anaplastik

    dari nasofaringc. Aneurisma di sirkulus arteriosus

    Willisiid. Paralisispascadifterie. Pseudoptosis pada trachoma

    Apabila terdapat suatu diplopiayang transient maka kemungkinanadanya suatu sklerosis multipleks.Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

    Penyakit ini dikarakteristikkandengan adanya kelemahan dankelelahan pada otot anggota tubuh

    bagian proksimal dan disertai denganke;emahan relatif pada otot-ototekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,terjadi peningkatan tenaga padadetik-detik awal suatu kontraksivolunter, terjadi hiporefleksia, mulutkering, dan sering kali dihubungkandengan suatu

    karsinoma terutama oat cellcarcinoma pada paru.

    EMG pada LEMS sangat

    berbeda dengan EMG pada miasteniagravis. Defek pada transmisineuromuscular terjadi pada frekuensirenah (2Hz) tetapi akan terjadiahmbatan stimulasi pada frekuensiyang tinggi (40 Hz). Kelainan padamiastenia gravis terjadi padamembran postsinaptik sedangkankelainan pada LEMS terjadi padamembran pre sinaptik, dimana

    pelepasan asetilkolin tidak berjalandengan normal, sehingga jumlahasetilkolin yang akhirnya sampai kemembran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkandepolarisasi.

    PENATALAKSANAANWalaupun belum ada penelitian

    tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravismerupakan kelainan neurologik yang

    paling dapat diobati.Antikolinesterase (asetilkolinesteraseinhibitor) dan terapi imunomudulasimerupakan penatalaksanaan utama

    pada miastenia gravis.Antikolinesterase biasanya digunakan

    pada miastenia gravis yang ringan.Sedangkan pada pasien denganmiastenia gravis generalisata, perludilakukan terapi imunomudulasi yangrutin (Howard , 2008). Terapiimunosupresif dan imunomodulasiyang dikombinasikan dengan

    pemberian antibiotik dan penunjangventilasi, mampu menghambatterjadinya mortal itas danmenurunkan morbiditas pada

    penderita miastenia gravis.Pengobatan ini dapat digolongkanmenjadi terapi yang dapatmemulihkan kekuatan otot secara

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    15/30

    31

    cepat dan tepat yang memiliki onsetlebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat

    mencegah terjadinya kekambuhan(Lewis, 1995).

    Terapi Jangka Pendek untukIntervensi Keadaan AkutMenurut Lewis (1995) terapi JangkaPendek untuk Intervensi KeadaanAkut adalah sebagai berikut1. Plasma Exchange (PE)

    Jumlah pasien yang mendapattindakan berupa hospitalisasi danintubasi dalam waktu yang lama sertatrakeostomi, dapat diminimalisasikankarena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahananti-asetilkolin secara efektif. Respondari terapi ini adalah menurunnyatiter antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi

    jangka pendek yang menguntungkanmenjadi prioritas. Terapi inidigunakan pada pasien yang akanmemasuki atau sedang mengalamimasa krisis. PE dapatmemaksimalkan tenaga pasien yangakan menjalani thymektomi atau

    pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum adaregimen standar untuk terapi ini,tetapi banyak pusat kesehatan yangmengganti sekitar satu volume

    plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6kali terapi setiap hari. Albumin (5%)dengan larutan salin yangdisuplementasikan dengan kalsium

    dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10minggu. Efek samping utama dariterapi PE adalah terjadinya

    pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,

    magnesium, dan natrium yang dpatmenimbulkan terjadinya hipotensi.Trombositopenia dan perubahan pada

    berbagai faktor pembekuan darahdapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatukeadaan yang dapat dihubungkandengan terjadinya perdarahan, dan

    pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. 2. IntravenousImmunoglobulin (IVIG)

    Produk tertentu dimana 99%merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secaraintravena. Mekanisme kerja dariIVIG belum diketahui secara pasti,tetapi IVIG diperkirakan mampumemodulasi respon imun. Reduksidari titer antibody tidak dapatdibuktikan secara klinis, karena padasebagian besar pasien, tidak terdapat

    penurunan dari tjter antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat munculsekitar 3-4 hari setelah memulaiterapi. IVIG diindikasikan pada

    pasien yang juga menggunakan terapiPE, karena kedua terapi ini memilikionset yang cepat dengan durasi yanghanya beberapa minggu. Tetapi

    berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat responyang sama antara terapi PE denganIVIG, sehingga banyak pusatkesehatan yang tidak menggunakanIVIG sebagai terapi awal untuk

    pasien dalam kondisi krisis. Dosisstandar IVIG adalah 400

    mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama2 hari. IVIG dilaporkan memilikikeuntungan klinis berupa penurunanlevel anti-asetilkolin reseptor yangdimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    16/30

    32

    menggunakan IVIG adalah nyerikepala yang hebat, serta rasa mualselama pemasangan infus, sehingga

    tetesan infus menjadi lebih lambat.Flulike symdrome seperti demam,menggigil, mual, muntah, sakitkepala, dan malaise dapat terjadi pada24 jam pertama.

    3. IntravenousMelhvlprednisolone (IVMp)

    IVMp diberikan dengan dosis 2gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapatdiulangi 5 hari kemudian. Jika responmasih juga tidak ada, maka

    pemberian dapat diulangi 5 harikemudian. Sekitar 10 dari 15 pasienmenunjukkan respon terhadap IVMp

    pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimaltercapai dalam

    waktu sekitar 1 minggu setelahterapi. Penggunaan IVMp padakeadaan krisisakan dipertimbangkanapabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

    Pengobatan Farmakologi JangkaPanjang

    Menurut Lewis (1995) terapi jangka panjang untuk IntervensiKeadaan Akut adalah sebagai berikut:1. Kortikosteroid

    Kortikosteroid adalah terapiyang paling lama digunakan dan

    paling murah untuk pengobatanmiastenia gravis. Respon terhadap

    pengobatan kortikosteroid mulaitampak dalam waktu 2-3 minggusetelah inisiasi terapi. Durasikerja kortikosteroid dapat

    berlangsung hingga 18 bulan,dengan rata-rata selama 3 bulan.Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem

    imun dan efek terapi yang pastiterhadap miastenia gravis masih

    belum diketahui. Koortikosteroid

    diperkirakan memiliki efek padaaktivasi sel T helper dan padafase proliferasi dari sel B. Sel tserta antigen-presenting cell yangteraktivasi diperkirakan memiliki

    peran yang menguntungkandalam memposisikankortikosteroid di tempat kelainanimun pada miastenia gravis.Pasien yang berespon terhadapkortikosteroid akan mengalami

    penurunan dari titer antibodinya.Kortikosteroid diindikasikan pada

    penderita dengan gejala klinisyang sangat menggangu, yangtidak dapat di kontrol denganantikolinesterase. Dosis maksimal

    penggunaan kortikosteroid adalah60 mg/hari kemudian dilakukantapering pada pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosisdiatas 30 mg setiap harinya, akatimbul efek samping berupaosteoporosis, diabetes, dankomplikasi obesitas sertahipertensi.

    2. AzathioprineAzathioprine biasanya

    digunakan pada pasien miasteniagravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakankortikosteroid dengan dosistinggi. Azathioprine dapat

    dikonversi menjadimerkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesisnukleotida pada DNA dan RNA.Azathioprine diberikan secaraoral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    17/30

    33

    dosis awal sebesar 25-50 mg/harihingga dosis optimafl tercapai.Azathioprine merupakan obat

    yang secara relatif dapatditoleransi dengan baik olehtubuh dan secara umum memilikiefek samping yang lebih sedikitdibandingkan dengan obatimunosupresif lainnya. ResponAzathioprine sangant lambat,dengan respon maksimaldidapatkan dalam 12-36 bulan.Kekambuhan dilaporkan terjadi

    pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya jugadikombinasikan dengan obatimunomodulasi yang lain.

    3. CyclosporineCyclosporine berpengaruh

    pada produksi dan pelepasaninterleukin-2 dari sel T-helper.Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada

    produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5mg/kgbb/hari terbagi dalam duaatau tiga dosis. Respon terhadapCyclosporine lebih cepatdibandingkan azathioprine.Cyclosporine dapat menimbulkanefek samping berupanefrotoksisitas dan hipertensi.

    4. 4. Cyclophosphamide (CPM)CPM adalah suatu alkilating

    agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesisimunoglobulin. Secara teori CPM

    memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkanobat lainnya.

    5. Thymectomy (Surgical Care)Thymectomy telah

    digunakan untuk mengobati pasien denganmiastenia gravissejak tahun 1940 dan untuk

    pengobatan thymoma denga atautanpa miastenia gravis sejak awaltahun 1900. Telah banyak

    dilakukan penelitian tentanghubungan antara kelenjar timusdengan kejadian miastenia gravis.Germinal center hiperplasia timusdianggap sebagai penyebab yangmungkin bertanggungjawabterhadap kejadian miasteniagravis. Penelitian terbarumenyebutkan bahwa terdapatfaktor lain sehingga timuskemungkinan berpengaruhterhadap perkembangan daninisiasi imunologi pada miasteniagravis. Tujuan neurologi utamadari Thymectomi ini adalahtercapainya perbaikan signifikandari kelemahan pasien,mengurangi dosis obat yang harusdikonsumsi pasien, sertaidealnya adalah kesembuhanyang permanen dari pasien(Anonim, 2008). Banyak ahlisaraf memiliki pengalamanmeyakinkan bahwa thymektomimemiliki peranan yang pentinguntuk terapi miastenia gravis,walaupun kentungannya

    bervariasi, sulit untuk dijelaskandan masih tidak dapat dibuktikanoleh standar yang seksama.Secara umum, kebanyakan pasienmulai mengalami perbaikandalam waktu satu tahun setelahthymektomi dan tidak sedikityang menunjukkan remisi yang

    permanen (tidak ada lagikelemahan serta obat-obatan).Beberapa ahli percaya besarnyaangka remisi setelah pembedahanadalah antara 20-40% tergantungdari jenis thymektomi yangdilakukan. Ahli lainnya percaya

    bahwa remisi yang tergantung

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    18/30

    34

    dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara40-60% lima hingga sepuluh tahu

    setelah pembedahan (Anonim,2008).

    KESIMPULAN1) Miastenia gravis adalah suatu

    kelainan autoimun yang ditandaioleh suatu kelemahan abnormaldan progresif pada otot rangkayang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengankelelahan saat beraktivitas.

    2) Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat

    penting pada patofisiologimiastenia gravis. Mekanisme

    pasti tentang hilangnya toleransiimunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderitamiastenia gravis belumsepenuhnya dapat dimengcrti.Miastenia gravis dapat dikatakansebagai "penyakit terkait sel B",dimana antibodi yang mcrupakan

    produk dari sel B justru melawanreseptor asetilkolin.

    3) Gejala klinis miastenia gravisantara lain ; Kelerhahan pada ototekstraokular atau ptosis,Kelemahan otot penderitasemakin lama akan semakinmemburuk. Kelemahan tersebutakan menyebar mulai dari ototocular, otot wajah, otot leher,hingga ke otot ekstremitas.Sewaktu-waktu dapat pula timbul

    kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat

    pula timbul kelemahan dari ototfaring, lidah, pallatum molle, danlaring sehingga timbullahkesukaran menelan dan berbicara.Paresis daripallatum molle akan

    menimbulkan suara sengau.Selain itu bila penderita minumair, mungkin air itu dapat keluar

    dari hidungnya.4) Penatalaksaan utama pada

    miastenia gravis dapat diobatidengan antikolinesterase(asetilkolinesterase inhibitor) danterapi i mun o mudu 1 a s i.Antikolinesterase biasanyadigunakan pada miastenia gravisyang ringan. Sedangkan pada

    pasien dengan miastenia gravisgeneralisata, perlu dilakukanterapi imunomudulasi yang rutin.Terapi imunosupresif danimunomodulasi yangdikombainasikan dengan

    pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampumenghambat terjadinya mortalitasdan menurunkan morbiditas

    pada penderita miastenia gravis.Pengobatan ini dapat digolongkanmenjadi terapi yang dapatmemulihkan kekuatan otot secaracepat dan tepat yang memilikionset lebih lambat tetapi memilikiefek yang lebih lama sehinggadapat mencegah terjadinyakekambuhan

    DAFTAR PUSTAKA

    Engel, A. G. MD (1984). MyastheniaGravis and MyasthenicSyndromes. Ann Neurol 16:Page: 519-534.

    Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P.(1995). Myasthenia Gravis:Immunological Mechanisms and Immunotherapy. AnnNeurol.37(S1):S51-S62!

    Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasar-dasar Ilmu Penyakit

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    19/30

    35

    Saraf.Airlanga University Press.Page: 301-305.

    Howard, JF (2008). MyastheniaGravis, a Summary. Availableat:http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail

    _myasthenia_gravis.htm.Accessed : March 22,2008.

    Newton, E (2008). MyastheniaGravis. Available at :http://en.wikipedia.Org/wiki/Myasthenia_gravis. accessed :March 22,2008.

    Murray RK, Granner DK, Mayes PA.(1999). Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa Kelainan

    Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC.Jakarta. Page: 816-835.

    Anonim (2008), Myasthenia Gravis.Available

    at:http://www.myasthcnia.org/dos /MGFA_Brochure_Ocular.pdiAccessed: March 22, 2008.

    Anonim (2008). Thymectomy,Dewa, Benny. Miastenia

    Gravis. Available at:[email protected]://www.myasthenia.org/amgJreatments.cfnx cessed March 22,2008:

    Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar.Fisiologi Kedokteran. Edisi9.Penerbit EGC. Jakarta

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    20/30

    50

    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN LANSIA KE POSYANDU LANSIA DI RW VII KELURAHAN WONOKUSUMO

    KECAMATAN SEMAMPIR SURABAYA

    1Fahrun Nur Rosyid, 2Musrifatul Uliyah, 3Uswatun HasanahIBagian Keperawatan Medikal Bedah, 2Bagian keperawatan Gerontik

    Fakultas IlmuKesehatan UMSurabaya3Mahasiswa SI Ilmu Keperawatan

    AbstractUnder behaviour of old folks to visit Old Folks Posyandu will influence the

    under knowledge of old folks themselves about their health condition, because atthis time healthy of people above 60 years decrease and commonly get sick. It iscaused by decreasing of old folks visit Old Folks Posyandu. The purpose of thisstudy is identifying and analyzing the effect of factors that influenced old folks tovisit Posyandu.

    The method of this study is cross sectional method using 30 respondents.Sample collected by simple random sample technique. Statistic method used bySPSS. The instrument that used is questionnaires and interview.This study is using Linier regression (SPSS). It shows that p = 0.725 for Sex, itmeans HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent variable). It also means Sex is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for education, it meansHO accepted (there is no influence between dependent variable and independentvariable). It also means Education is not one of factor that influences old folksvisiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for job, it means HO notaccepted (there is influence between dependent variable and independentvariable). It also means Job is one of factor that influences old folks visiting toPosyandu. The result shows that p = 0.001 for Income, it means HO not accepted (there is influence between dependent variable and independent variable). It alsomeans Income is one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. Theresult shows that p = 0.634 for knowledge, it means HO accepted (there is noinfluence between dependent variable and independent variable). It also meansknowledge is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. Theresult shows that p = 0.109 for living place, it means HO accepted (there is noinfluence between dependent variable and independent variable). It also meansliving place is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu.Conclusions of this study are Sex, Education, Knowledge, Living place aren'tfactors that influence old folks visiting to Posyandu, and Job and Income are

    factors that influences old folks visiting to Posyandu.

    Keywords: Old Folks Posyandu, old folk's visits, factor that influence.

    PENDAHULUANKeberhasilan dalam bidang

    ketidakmampuan, dan keterlambatan peningkatan dan pencegahan

    penyakit telah meningkatkankualitas hidup manusia danmenjadikan rata-rata umur harapanhidup meningkat keadaan ini

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    21/30

    51

    (Mulyani, 2009). Pada tahun2010 diperkirakan jumlah penduduk

    lanjut usia (Lansia) di Indonesia,sebesar 24 juta jiwa atau 9,77% daritotal jumlah menyebabkan jumlahusia lanjut penduduk (Hambuako,2008). Pada semakin besar.Permasalahan yang tahun 2007

    jumlah penduduk Jawa akan timbul pada lansia yaitu : Timur sebanyak 37.790.642 jiwa, yanglanjut usia mencapai 4.202.908 jiwaatau 11,2 %, dengan prosentasetersebut provinsi Jawa Timur mengalami struktur penduduk tua(Hasan Aminuddin, 2008),sedangkan jumlah lansia di Surabayadi bagi menjadi dua : pra usila (45 th-59 th) terdiri dari 253.723 jiwa danyang usia lanjut (> 60 th) terdiri dari166.437 jiwa 9 (Mohammad Adib,2008). Pada bulan Mei di RW VIIKelurahan Wonokusumo KecamatanSemampir Surabaya di dapatkan datalansia (old) sebanyak 32 lansia. Darilansia yang berkunjung ke posyandulansia hanya 30 lansia, dari situlah

    bisa terlihat bahwa hanya 76% lansiayang berkunjung ke posyandu lansia.Tujuan penelitian ini adalah untuk

    mengetahui faktor-faktor yangmempengaruhi kunjungan lansia ke

    posyandu lansia di RW VIIKelurahan Wonokusumo KecamatanSemampir Surabaya.

    METODEPenelitian ini menggunakan

    desain Cross sectional dengan populasi para lansia di posyandulansia RW 7 Wonosari KelurahanWonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya dengan jumlah 32 orang.Sampel diambil 30 lansia denganteknik Simple Random Sampling.Variabel independen penelitian inikunjungan lansia ke Posyandulansia,sedagkan variabel dependen

    jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tingkat pengetahuan dan pola tempat tinggal.Data yang terkumpuldianalisisdengan uji statistik RegresiLinier Berganda.

    HASILPengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan LansiaTabel 1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VIIKelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun2009

    KunjunganJenis kelamin Total

    Laki-laki PerempuanF % F % F %

    Kunjungan I

    Kunjungan IITotal

    3

    47

    9,9

    13,223,1

    23

    -23

    75,9

    -75,9

    26

    430

    85,8

    13,2100

    Signifikansi (p) = 0,725

    Berdasarkan tabel diatas,menunjukkan sebagian besar yang

    berkunjung ke Posyandu adalahkunjungan 1 bulan 1 kali yaitu

    berjenis kelamin perempuansebanyak 23 orang (75,9%), dansebagian kecil adalah kunjungan 1

    bulan 2 kali yaitu berjenis kelamin

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    22/30

    52

    laki-laki sebanyak 4 orang (13,2%),kemudian dihitung denganmenggunakan Uji Regresi Linier

    (SPSS) didapatkan p=0,725 maka

    HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga jenis kelamin bukan faktor yang mempengaruhi

    kunjungan lansia ke Posyandu lansia Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunj ungan LansiaTabel 2. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VIIKelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun2009

    Kunjungan

    Tingkat Pendidikan

    SD SMP SMAPT/Akadem

    itidak

    sekolah totalF % F % F % F % F % F %

    Kunjungan I 14 46.2 5 16.5 - - - - 7 23.1 2685.

    8Kunjungan

    II 2 6.69 2 6.6 - - - - - - 413.

    2Total 16 52.9 7 23.1 - - - - 7 23.1 30 100

    Signifikansi (p) = 0,528Berdasarkan tabel diatas,menunjukkan sebagian besar yang

    berkunjung ke Posyandu adalahkunjungan 1 bulan 1 kali yaitutingkat pendidikan SD sebanyak 14orang (46,2%), dan sebagian keciladalah kunjungan 1 bulan 2 kali

    yaitu tingkat pendidikan SMPsebanyak 2 orang

    (6,6%), kemudian dihitung denganmenggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,528 makaHO doterima berarti tidak ada

    pengaruh, sehingga tingkat pendidikan bukan fakor yangmempengaruhi kunjungan lansia ke

    Posyandu lansia.

    Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia Tabel 5.17 Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VIIKelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun2009

    Kunjungan

    PekerjaanIbu rumah

    tangga Swasta Wiraswasta PNS totalF % F % F % F % F %

    Kunjungan I 21 69.3 2 6.6 3 9.9 - - 26 85.8Kunjungan II - - - - 2 6.6 2 6.6 4 13.2

    Total 21 69.3 2 6.6 - - - - 30 100Signifikansi (p) = 0,002

    Berdasarkan tabel diatas,menunjukkan sebagian besar yang

    berkunjung ke Posyandu adalah

    kunjungan 1 bulan 1 kali yaitusebagai ibu rumah tangga sebanyak 21 orang (69,3%), dan sebagian kecil

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    23/30

    53

    adalah kunjungan 1 bulan 2 kaliyaitu sebagai wiraswasta dan PNSmasing-masing

    sebanyak 2 orang (6,6%), kemudiandihitung dengan menggunakan Uji

    Regresi Linier (SPSS) didapatkan

    p=0,002 maka HO ditolak berartiada pengaruh, sehingga pekerjaanmerupakan factor yang

    mempengaruhi kunjungan lansia kePosyandu lansia.

    Pengaruh pendapatan terhadap kunjungan LansiaTabel 3. Pengaruh pendapatan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII KelurahanWonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009

    Kunjungan

    Pekerjaan

    Total

    < 150.000(Pendapatanrendah)

    Pendapatan150.000-300.000

    (Pendapatansedang)

    > 300.000(Pendapatantinggi)

    F % F % F % F %Kunjungan I 24 79.2 - - 2 6.6 26 85.8Kunjungan II 2 6.6 2 6.6 - - 4 13.2Total 26 85.8 2 6.6 2 6.6 30 100

    Signifikansi (p) = 0,001

    Berdasarkan tabel diatas,menunjukkan (6,6%), kemudiandihitung dengan sebagian besar yang berkunjung ke menggunakanUji Regresi Linier (SPSS) Posyanduadalah kunjungan 1 bulan 1 kalididapatkan p=0,001 maka HOditolak yaitu berpendapatan rendah

    sebanyak 24 berarti ada pengaruh,sehingga pendapatan orang (79,2%),dan sebagian kecil adalah merupakanfactor yang mempengaruhikunjungan 1 bulan 2 kali yaitukunjungan lansia ke Posyandu lansia.

    berpendapatan rendah sebanyak 2orang

    Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia Tabel 4. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VIIKelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir pada bulan Juli tahun 2009

    KunjunganTingkat pengetahuan

    TotalBaik Cukup KurangF % F % F % F %

    Kunjungan I 23 75.9 1 3.3 2 6.6 26 85.8Kunjungan II 4 13.2 - - - - 4 13.2Total 27 89.1 1 3.3 2 6.6 30 100

    Signifikansi (p) = 0,634

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    24/30

    54

    Berdasarkan tabel diatas, berpendapatan baik sebanyak 4orang menunjukkan sebagian besar

    yang (13,2%), kemudian dihitungdengan berkunjung ke Posyanduadalah menggunakan Uji Regresi

    Linier kunjungan 1 bulan 1 kaliyaitu (SPSS) didapatkan p=0,634

    maka HOberpengetahuan baik sebanyak 23 diterima berarti tidak ada pengaruh,orang (75,9%), .dan

    sebagian kecil sehingga tingkat pengetahuan bukan adalahkunjungan 1 bulan 2 kali yaitu factor yang mempengaruhi kunjunganlansia ke Posyandu lansia.

    Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia Tabel 5 Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VIIKelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun2009

    KunjunganPola tempat tinggal

    TotalDekat Sedang JauhF % F % F % F %

    Kunjungan I 10 33 13 42.9 3 9.9 26 85.8Kunjungan II 4 13.2 - - - - 4 13.2Total 14 46.2 13 42.9 3 9.9 30 99

    Signifikansi(p) = 0,109

    Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan sebagian besar yang berkunjung kePosyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu berjarak sedang sebanyak 13orang (42,9%), dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu berjarak dekat sebanyak 4 orang (13,2%), kemudian dihitung dengan menggunakan Uji

    Regresi Linier (SPSS) didapatkan ;?=0,7 09 maka HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga pola tempat tinggal bukan factor yang mempengaruhikunjungan lansia ke Posyandu lansia.

    PEMBAHASANPengaruh Jenis Kelamin

    Dari hasil penelitian terhadap30 lansia, menunjukkan sebagian

    besar adalah kunjungan 1 bulan 1kali lansia berjenis kelamin

    perempuan, dan sebagian keciladalah kunjungan 1 bulan 2 kalilansia yang berjenis kelamin laki-laki.

    Berdasarkan data yang telahditeliti, jenis kelamin di PosyanduRW.VII Kelurahan WonkusumoKecamatan Semampir Surabaya,kemudian dihitung dengan

    menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,725 makaHO diterima berarti tidak ada

    pengaruh, sehingga jenis kelamin bukan factor yang mempengaruhikunjungan lansia ke Posyandu lansia.

    Hasil uji tersebut bertolak belakang dengan hasil surveyIndonesia Family Life Survey (IFLS)tahun 1993 yang menunjukkan

    bahwa jenis kelamin ikutmempengaruhi seseorang dalammengambil keputusan untuk memanfaatkan fasilitas kesehatanyang ada, dimana perorangan

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    25/30

    55

    memiliki prosentase yang lebih banyak daripada laki-laki (Isfandi,1999). Sedangkan menurut penelitian

    huygen dan Smits, perbedaandiantara wanita dan pria terlihat padasistem rujukan ke pelayanankesehatan yang lebih tinggi wanita.dibandingkan pria (Jamal, 1996).

    Dari data yang diperoleh lansia perempuan cenderung mempunyai perilaku yang tinggi untuk mengikutiPosyandu lansia, sebaliknya bagilansia laki-laki mempunyai perilakucenderung sedang dan rendah. Halini diakibatkan perempuan lebihtekun dalam menghadapi tindakanterutama mengikuti Posyandu lansia.Laki-laki tentunya cepat bosan jikadilihat dari segi psikologis jikamengikuti Posyandu lansia, jadikesimpulannya untuk meningkatkan

    perilaku lansia untuk berkunjung kePosyandu lansia harus melalui

    promosi kesehatan, ceramah, penyuluhan dan lain-lain.

    Pengaruh Tingkat Pendidikan Dari hasil penelitian terhadap

    30 lansia didapatkan lansia yang berkunjung ke posyandu sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1kali di tingkat pendidikan SD, dansebagian kecil adalah kunjungan 1

    bulan 2 kali di tingkat pendidikantidak sekolah dan SMP.

    Berdasarkan data yang telahditeliti, tingkat pendidikan diPosyandu RW.VII Kelurahan

    Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya, kemudian dihitung denganmenggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,528 makaHOditerima berarti tidak ada

    pengaruh, sehingga tingkat pendidikan bukan factor yang

    mempengaruhi kunjungan lansia kePosyandu lansia.

    Menurut Notoatmojo, 1997.

    Konsep dasar pendidikan adalahsuatu proses belajar yang berartidalam pendidikan itu terjadi proses

    pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebihdewasa, lebih baik dan lebih matang

    pada diri individu, kelompok danmasyarakat. Kegiatan atau proses

    belajar apabila didalamnya terjadi perubahan dari tidak tahu menjaditahu dari tidak mau mengerjakanmenjadi mau mengerjakan sesuatu,namun demikian tidak semua

    perubahan itu terjadi karena belajar saja, tetapi juga karena proseskematangan dari perkembangandirinya.

    Tidak adanya pengaruh tingkat pendidikan terhadap kunjunganlansia ke posyandu lansia tersebutmungkin saja terjadi. Karena

    pendidikan pada dasarnya tidak hanya dapat diperoleh dari bangkusekolah (formal) tetapi juga dilingkungan keluarga, masyarakat,dan dari media lainnya (majalah,

    berita, dll).

    Pengaruh Pekerjaan Dari hasil penelitian terhadap

    30 lansia didapatkan lansia yang berkunjung ke posyandu sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1kali sebagai ibu rumah tangga, dansebagian kecil adalah kunjungan 1

    bulan 2 kali yaitu sebagai PNS.Berdasarkan data yang telahditeliti, pekerjaan di PosyanduRW.VII Kelurahan WonokusumoKecamatan Semampir Surabaya,kemudian dihitung denganmenggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,002 maka

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    26/30

    56

    HO diterima berarti ada pengaruh,sehingga pekerjaan merupakan factor yang mempengaruhi kunjungan

    lansia ke Posyandu lansia.Dibandingkan penduduk lansia

    desa dan kota, masyarakat yangtinggal di daerah pedesaan lebih

    banyak yang masih bekerja pada usiatua dibandingkan di daerah

    perkotaan. Alasan lansia untuk bekerja antara lain disebabkan oleh jaminan sosial dan kesehatan yangmasih kurang. Disamping haltersebut desa akan ekonomimerupakan hal pendorong untuk mereka bekerja dan mencari

    pekerjaan. Hal ini dimungkinan,karena pada umumnya keadaan fisik,mental dan emosional mereka masih

    baik (Hardywinoto dan Setiabudhi,1999). Mernurut Wilson tahun 1992,keadaan terjadi bila seseorang

    bekerja terlalu keras dengan kondisi perekonomian yang pas-pasan serta berpendidikan rendah dimana pengertian tentang kesehatan adalahminimal dan akses terhadapinformasi juga terbatas (Astuti,2000).

    Dari Hasil penelitian terhadapfaktor yang mempengaruhi

    penggunaan fasilitas kesehatan yangdilakukan oleh Buhari dalamSudjilah, 1989 antara lain adanya

    pengaruh faktor sistem pelayanankesehatan yaitu tersedianya tenagakesehatan serta faktor dari konsumenyang menggunakan pelayanan

    kesehatan yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan.

    Pengaruh Pendapatan Pendapatan berkaitan erat

    dengan pekerjaan responden, karena pendapatan pada umumnya bersumber dari gaji atau upah yang

    mereka terima setelah bekerja. Darihasil penelitian menunjukkansebagian besar adalah kunjungan 1

    bulan 1 kali yaitu berpendapatanrendah, dan sebagian kecil adalah 1

    bulan 2 kali yaitu berpendapatanmenengah dan tinggi. Berdasarkandata yang telah diteliti, pendapatan diPosyandu RW.VII KelurahanWonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya, kemudian dihitung denganmenggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,001 makaHO ditolak berarti ada pengaruh,sehingga pendapatan merupakanfactor yang mempengaruhikunjungan lansia ke Posyandu lansia.

    Secara ekonomi, keadaanfinancial para lansia jelas tidak seperti waktu muda. Bila lansiatermasuk golongan yang bekerjamengandalkan otot seperti pekerjakasar, tukang becak, petani, buruh,dll dalam menginjak umur tuakemampuan pasti berkurang akan

    pada suatu saat mungkin tidak sanggup lagi melakukan pekerjaantersebut. Oleh sebab itu pendapatanorang tersebut pasti akan menurun(Mangunditoirja, 1995). Kemampuanekonomi menjadisalah satu faktor

    penting yang m e m p e n g a r u h iorang u n t u k memanfaatkanfasilitas kesehatan ataupun untuk

    pergi ke tempat aktifitas sosial(Isfandi, 1999).

    Dari Hasil penelitian terhadapfaktor yang mempengaruhi

    penggunaan fasilitas kesehatan yangdilakukan oleh Buhari dalamSudjilah, 1989 antara lain adanya

    pengaruh faktor sistem pelayanankesehatan yaitu tersedianya tenagakesehatan serta faktor dari konsumenyang menggunakan pelayanan

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    27/30

    57

    kesehatan yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan.

    Pengaruh Pengetahuan Dari hasil penelitian terhadap

    30 lansia di dapatkan sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1 kaliyaitu berpengetahuan baik, dansebagian kecil adalah kunjungan 1

    bulan 2 kali yaitu berpengetahuancukup.

    Berdasarkan data yang telahditeliti, pengetahuan di PosyanduRW.VII Kelurahan WonokusumoKecamatan Semampir Surabaya,kemudian dihitung denganmenggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan/7=r;,634 makaHO diterima berarti tidak ada

    pengaruh, sehingga pengetahuan bukan factor yang mempengaruhikunjungan lansia ke Posyandu lansia.

    Hasil penelitian tersebut sesuaidengan yang dikemukakan oleh

    NoToatmodjo, 1993 bahwa pengetahuan adalah merupakan hasildari tahu dan ini terjadi setelah orangmelakukan penginderaan terhadapsuatu obyek tertentu. Penginderaanterjadi mclalui panca indera manusia.Sebagian besar pengetahuan manusiadiperoleh dari mata dan telinga.Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

    penting untuk terbentuknyatindakan seseorang (ovent

    behaviour).Tingkat pengetahuan seseorang

    tidak selalu memotivasi prilakulogika, artinya pengetahuan yang baik (lansia yang tahu tentang pengertian Posyandu, tujuanPosyandu, bentuk pelayananPosyandu, dan MekanismePosyandu) tidak selalu memimpin

    perilaku yang benar dalam hal ini

    pengetahuan tentang posyandu yang baik belum tentu man berkunjung ke posyandu.

    Pengaruh Pola Tempat Tinggal Pada penelitian terhadap pola

    tempat tinggal lansia, disini mcmakaiklasifikasi jarak rumah ke pelayanankesehatan (posyandu). Dari hasil

    penelitian terhadap 30 lansia didapatkan sebagian besar adalahkunjungan 1 bulan 1 kali yaitu

    bcrjarak dekat dengan pelayanankesehatan (posyandu), dan sebagiankecil adalah berjarak jauh dengan

    pelayanan kesehatan (Posyandu).Berdasarkan data yang telah

    diteliti, pengetahuan di PosyanduRW.VII Kelurahan WonokusumoKecamatan Semampir Surabaya,kemudian dihitung denganmenggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=OJ09 makaHO diterima berarti tidak ada

    pengaruh, sehingga pola tempattinggal bukan merupakan factor yangmempengaruhi kunjungan lansia kePosyandu lansia.

    Menurut pendapat H.L. Bloom, bahwa perilaku mempunyai perananyang besar terhadap derajatkesehatan setelah pengaruhlingkungan, sedangkan faktor adanya

    pelayanan kesehatan mempunyai pengaruh lebih kecil daripada faktor perilaku. Sedangkan menurut Green bahwa perilaku seseorang ataumasyarakat tentang kesehatan

    ditentukan oleh pengetahuan, sikap,kepercayaan, tradisi dan sebagainyadari orang atau masyarakat yang

    bcrsangkutan. Disamping itu.ketersediaan fasilitas, sikap dan

    perilaku para petugas kesehatanterhadap kesehatan juga akan

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    28/30

    58

    mendukung dan memperkuatterbentuknya perilaku.

    Seorang lansia yang tidak mau

    datang ke posyandu disebabkankarena orang tersebut tidak atau

    belum tahu manfaat posyandu.Tetapi barangkali juga rumahnya

    jauh dengan posyandu atau mungkinkarena para petugas kesehatankurang ramah atau tokoh masyarakatlain disekitarnya tidak pernah kePosyandu.

    SIMPULAN DAN SARANSebagian besar lansia yang

    yang berkunjung ke Posyandu lansia berjenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan SD, ibu rumah tangga, berpendapatan rendah, dan memiliki pengetahuan yang baik.

    Masyarakat yang menjadikader kesehatan dan bimbingan dari

    puskesmas diharapkan lebihmemotivasi lansia untuk berkunjungke Posyandu lansia.

    DAFTAR PUSTAKAA. Aziz AH. 2007. Metode

    Penelitian Keperawatan danTehnik Analisis Data. Edisi I.Salemba Medika. Jakarta

    Amrul, Fauzi. 2008. Faktor-Faktor yang MempengaruhiPenwunan Minat LansiaTerhadap Posyandu Lansia di

    Desa Pagak Kecamatan Pagak Kabupaten Making. Malang:

    Fakultas Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah.

    Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu PendekatanPraktek, edisi revisi v, Jakarta:RinekaCipta.

    Astuti, Endang. P. 2000. Faktor-Faktor Yang Mendorong

    Lansia Tetap Bekerja di Sektor

    Pertanian. Skripsi. UniversitasAirlangga.

    Darmojo, R. 2000. Buku Ajar Geriatri Edisi 1. Balai PustakaFKUI. Jakarta.

    Departemen Kesehatan RI, 2000.Pedoman PembinaanKesehatan Lanjut Usia bagiPetugas Kesehatan I. Jakarta :Departemen Kesehatan.

    Departemen Kesehatan RI, 2000.Pedoman PembinaanKesehatan Usia Lanjut bagiPetugas Kesehatan II. Jakarta :Departemen Kesehatan

    Lindepok. 2008. All Bout Posyandu.http://iinaza.wordpres s.com.Diakses rabu tanggal 8 April2009, jam 11.00 WIB

    Isfandari, Siti. (199). PemanfaatanFasilitas Kesehatan PadaGolongan 50 Tahun ke Atas.Analisis Lanjut IFLS 1993.

    Jurnal Epidemologi Nasional.Vol.3, Edisi 3

    Jamal, Sarjani. 1996. Wanita danPria Dalam Karakteristik

    Morbilitas-Morbilitas. JurnalEpidmologi Nasional

    Jenner, B. 1997. KeperawatanGerontik. Jakarta: EGC

    Kuncoro, Zainuddin Sri. 2002. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e-

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    29/30

    59

    psikologi.com. Diakses tanggal11 Mei 2009

    Kusuma, Fitria Trisna. 2008. Skripsi:Pengaruh Pelatihan Posyandu

    Lansia Terhadap KinerjaKader di Kelurahan Bulukerto

    Magetan. Surabaya: FakultasKeperawatan UniversitasAirlangga.

    Mahyu\iansyah..2QQ9.PosyanduUsila.http://keperawatankomunitas.blogspot.com. Diakses tanggal28 Juni 2009 jam: 10:49.

    Mangundiwirja, Daldiri. 1995. Masalah-Masalah Yang Dihadapi Lansia IndonesiaTahun 2000. Seminar Nasional

    Problematic Manula Menggapai Harapan di Penghujung DuniaFana. Surabaya: YayasanPendidikan Tinggi Da'wahIslam JawaTimur.

    Mulyani, Slamet. 2009. Hubungan Antara Pengetahuan TentangKegiatan Posyandu Lansia

    Dengan Partisipasi Lansia diPosyandu Wilayah PuskesmasPatuk 1 Kabupaten Gunung K id u 1 . http://keperawatankomunitas .blogspot.com. Diakses tanggalllMei 2009 jam: 11:34

    Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Pengantar PendidikanKesehatan dan Ilmu Penilaian.Yogyakarta: Andi Offset

    Nugroho, Wahjudi. 2000.Keperawatan Gerontik Ed 2.Jakarta: EGC.

    Nurkusuma, Dudy D. 2001.Posyandu Lanjut Usia di

    Puskesmas Pare KabupatenTemanggung.http://www.tempo.co.id Diakses tanggal 11 Mei 2009

    Nursalam. 2003. Konsep &Penerapan MetodologiPenelitian Ilmu Keperawatan:Pedoman Skripsi, Tesis, dan

    Instrumen PenelitianKeperawatan. Jakarta:Salemba Medika.

    Pemkot Jogja, 2007. Pemkot Jogja Pe d u I i Lansia.http://mediainfokota.jogja.go.id Diakses tanggal 11 Mei 2009

    R.Boedhi Darmojo,dkk. 2006. Buku Ajar Geriatri. Edisi ke-3.Cetakan ke-2. Jakarta :Fakultas Kesehatan UniversitasIndonesia.

    Sa'adah, H.D. 2008. Skripsi :Pengaruh Latihan FleksiWilliam (Stretching) TerhadapTingkat Nyeri Punggung

    Bawah Pada Lansia di Posyandu Lansia RW 2 D e s aKedungkandang Malang.Surabaya : FakultasKedokteran Universitas A i r 1a n g g a .

    Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV.Alfabeta.

  • 7/30/2019 Mengenal Tentang Miastenia Gravis

    30/30

    Sulistyani. 2001. Skripsi :Faktor-Faktor yang MempengaruhiKeaktifan Lansia untukDatang

    ke Posyandu Lansia (StudiKasus di Posyandu Lansia

    Desa Trihanggo KecamatanCamping Kabupaten Sleman

    Daerah Istimewa Yogyakarta).Surabaya: Fakultas KesehatanMasyarakat UniversitasAirlangga.

    Wijayanti, I.K. 2008. Skripsi :Pengaruh Strength TrainingTerhadap Peningkatan

    Keseimbangan Postural Pada Lansia Dengan Nyeri Sendi L ut u t d i Posyandu Lansia"ISWORO" Kelurahan TamanKota Madiun. Surabaya:Fakultas KeperawatanUniversitas Airlangga.