miastenia gravis (by_ susilo eko putra)
TRANSCRIPT
MIASTENIA GRAVIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Patofisiologi
Dosen Pengampu : Ns. Nur Widayati, S.kep
Oleh :
NAMA : Susilo Eko Putra
NIM : 082310101019
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2009
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Miastenia gravis. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Patofisiologi.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. dr. Sudjono Kardis, Sp. KJ., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Jember,
2. Nur Widayati, S.Kep., Ns. selaku dosen pembimbing dan penanggung
jawab mata kuliah Patofisiologi,
3. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
angkatan 2008 yang telah memberikan dorongan semangat, serta
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Saya menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Jember, November 2009
Penulis
2..1.1.1
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 3
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................................... 2
1.3 Manfaat .................................................................................................................... 2
BAB 2 KONSEP PENYAKIT
2.1 Definisi .................................................................................................................... 3
2.2 Etiologi .................................................................................................................... 3
2.3 Epidemologi ............................................................................................................. 4
2.4 Patogenesis/Patofisiologi ......................................................................................... 4
2.5 Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala) ................................................................... 5
2.6 Komplikasi ............................................................................................................... 7
2.7 Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier ............................................................ 7
2.8 Penatalaksanaan ....................................................................................................... 8
2.9 Prognosis ................................................................................................................. 11
BAB 3 PATHWAY
3.1 Patofisiologi Gambaran Penyakit Secara Menyeluruh ............................................ 12
BAB 4 IMPLIKASI DALAM BIDANG KEPERAWATAN
4.1 Implikasi Patofisiologi Penyakit Dalam Bidang Keperawatan .............................. 15
4.2 Peranan Keperawatan .............................................................................................. 21
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 23
5.2 Saran ........................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 24
LAMPIRAN ..................................................................................................................... 25
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 4
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah.
Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya
pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa
mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya
unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat
penyakit ini bisa dikurangi.
Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan
pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot
akibat paralisis burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita
penyakit Miastenia gravis merasa lebih baik setelah minum obat efidrin
yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Dan
pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat
adanya gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan
kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk
mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam
penyembuhan penyakit ini.
Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan
antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan
usia yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria
dewasa yang lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh
insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam
perawatan intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat
ditangani dengan lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga
20 % pasien dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien
tertentu dan yang paling cocok dengan jalan penyembuhan seperti ini adalah
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 5
golongan wanita muda, yaitu pada usia awitan. Usia awitan dari miastenia
gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan 40-60 untuk pria.
Berdasarkan uraian diatas, Miastenia gravis merupakan penyakit
yang masih belum diketahui penyebab pasti serta masih belum teratasi
secara menyeluruh. Untuk itulah saya mengangkat penyakit Miastenia
gravis ini sebagai tugas makalah saya.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi penyakit Miastenia gravis.
2. Mengetahui penyebab penyakit Miastenia gravis.
3. Mengetahui epidemologi penyakit Miastenia gravis.
4. Mengetahui patogenesis/patofisiologi penyakit Miastenia gravis.
5. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Miastenia gravis.
6. Mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit
Miastenia gravis.
7. Mengetahui pencegahan penyakit Miastenia gravis.
8. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Miastenia gravis.
9. Mengetahui prognosis penyakit Miastenia gravis.
10. Mengetahui implikasi patofisiologi penyakit Miastenia gravis dalam
bidang keperawatan.
11. Mengetahui peranan keperawatan dalam penanganan penyakit
Miastenia gravis.
1.3 Manfaat
1. Bagi masyarakat; dapat mengetahui lebih mendalam tentang
Miastenia gravis serta penanganannya.
2. Bagi mahasiswa; khususnya bagi mahasiswa keperawatan atau
kesehatan yang lain dapat dijadikan sebagai media pembelajaran.
3. Bagi tenaga kesehatan; dapat mengetahui perkembangan dan
pencegahan dari Miastenia gravis.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 6
BAB 2. KONSEP PENYAKIT
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan
mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di
bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot
volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.(Dewabenny,
2008)
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan
transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi
reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia
gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini
merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.
(Chandrasoma dan Taylor, 2005)
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan
gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara
unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel
-partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika
rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh
dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi
dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini
membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya
kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 7
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia
gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat
kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir,
faktor imunologiklah yang berperanan. (Qittun, 2008)
2.3 Epidemologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat
terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada
usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis
adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda,
yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada
usia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu
penderita Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak menetap/transient
(kadang permanen). (Dewabenny, 2008)
2.4 Patogenesis / Patofisiologi
Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada
Miastenia gravis dianggap karena kekurangan ACh. Dengan ditemukan
antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui, gangguan tersebut
adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada
membran postsinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90%
penderita. Adanya proses imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga
oleh Simpson dan Nastuk pada tahun 1960. Selain itu, dalam serum
penderita Miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap jaringan otot
serat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%.
Kadar anti-AChR pada Miastenia gravis bervariasi antara 2-1000
nMol/L, dan kadar ini berbeda secara individu. Anti-AChR ini akan
mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak menghambat pembentukan
AChR baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran postsinaptik
mengalami perubahan sehingga jarak antara ujung saraf dan membran post
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 8
sinaptik bertambah lebar dengan demikian kolinesterase mendapat
kesempatan lebih banyak untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik
Miastenia gravis akan timbul bila 75% AChR tidak berfungsi, atau
jumlahnya berkurang 1/3 dari normal. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
2.5 Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang
merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan
neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai penyakit yang
berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa
gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak
mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan
penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien
mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal
atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan
sebagai tanda rahang menggantung.
Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat
dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea
dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-
cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat
terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka.
Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat
dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala
tersebut dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (Silvia
A. Price, Lorain M. Wilson. 1995.);
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan,
fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid,
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 9
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian
atas, dan infeksi yang disertai diare dan demam,
3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan
otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang,
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung
kuinin (suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan
obat-obat lainnya.
Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala
kelemahan otot dapat diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam
dan obat-obat tertentu seperti B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida dan
lain-lain. Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul sebelum pubertas, akan
tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan - 10
tahun. Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3
tipe (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) :
1. Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu
yang menderita Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan
dengan beratnya penyakit pada ibu . Segera atau beberapa jam
setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan gerakan berkurang,
tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah. Gejala
ini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur
kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara
transplasenter ke dalam tubuh bayi.
2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit
Miastenia gravis. Gejala hampir sama dengan tipe neonatal
transient Miastenia gravis, bersifat ringan, berlangsung lama,
makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap pengobatan dan
remisi komplit jarang.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 10
3. Juvenile Miastenia gravis
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan
dan gejala sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama
biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan
mengunyah, menelan atau suara sengau.
2.6 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang
terjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah.
Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien seringkali
membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan selama krisis
berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasi
makanan, dan pneumonia.
Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk
riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca
operasi, pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas
berlebih (terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stress
emosional.
2.7 Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang
dilakukan pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang
dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degan
cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari
penyakit Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-
minuman beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut
dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini
merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan
otot.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 11
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan
dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-
pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi
yang lelah dan tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit
dan menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat
dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan
mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang bisa
dilaksanakan dengan; Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yang
biasanya menggunakan Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini
mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan
bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat
dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan.
Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita
oleh individu.
b. Istirahat yang cukup
c. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan
kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat
antikolinesterase secara berlebihan.
2.8 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan
yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan
tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu
menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 12
factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. (Silvia
A. Price, Lorain M. Wilson. 1995.)
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang
pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling
dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia
gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih
lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3
prinsip, yaitu
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah
ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin,
edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita,
biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi
dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak
besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 13
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya
perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat
yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan
yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa
timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi,
setelah 3 tahun ± 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan
40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah
efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan
sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk
mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau
bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine,
Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin
(imuran) dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat
yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan
secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat
sesudah 3-12bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih
efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat
diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah
problem psikis.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 14
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus
yang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher
yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk
menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang
merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang
mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivat
kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti
aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
2.9 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari
pada orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang
dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis
tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan
yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot.
Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian
berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami
remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miastenia
gravis. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 15
BAB 3. PATHWAY
3.1 Patofisiologi Gambaran Penyakit Secara Menyeluruh
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla
spinalis dan batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-
saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial
menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali dan
mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf
motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.
Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi
setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik.
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf
motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan
neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia
antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps,
elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200Å.
Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang
berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis
dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson
terminal disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membran
postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinaps
dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur
atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya.
Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat
menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor
asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang
selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran
postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin
yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat
gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 16
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membran
akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps
dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium
maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan
pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng
akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai
ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidak
berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi
serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi,
asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang
normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk
menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang
mungkin dikarenakan cedera autoimun.
Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya
tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak
digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi
limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat
ditemukan kelainan yang konsisten.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 17
Gambaran patofisiologi Miastenia gravis dapat dilihat dari skema yang ada
dibawah ini :
Gangguan Autoimun yang merusak reseptor asetilkolin
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membrane
Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membrane postsinaps pada sambungan neuromuskular
Penurunan hubungan neuromuscular
Kelemahan otot-otot
Otot – otot okular
Otot wajah, laring, faring
Otot volunter Otot pernapasan
Gangguan otot levator
palpebra
4. Gangguan citra diri
Ptosis & Diplopia
Regurgitasi makanan ke hidung pada saat menelan Suara abnormal
ketidakmampuan menutup rahang
Krisis miestania 3. Kerusakan komunikasi
verbal
Kelemahan otot-otot rangka
Ketidakmampuan batuk
efektif Kelemahan otot-otot
pernafasan
1. Ketidakefektifan pola
2. Hambatan mobilitas fisik
kematian
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 18
BAB 4. IMPLIKASI DALAM BIDANG KEPERAWATAN
4.1 Implikasi Patofisiologi Miastenia gravis Dalam Bidang Keperawatan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, Miastenia gravis diduga
merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin
dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Berikut dibawah ini
adalah asuhan keperawatan mengenai Miastenia gravis:
A. Pengkajian, meliputi:
a. B1 (Breating)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau
penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan sering
didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot
pernafasan. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronchi atau
stridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan
nafas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan
untuk memantau perkembangan status kardiovaskular, terutama
denyut nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah
sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernafasan.
c. B3 (Brain)
Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi ocular,
jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien
mungkin disatrik.
d. B4 (Bladder)
Pengkajian terutama ditujukan pada sistem perkemihan.
Biasanya terjadi kondisi dimana fungsi kandung kemih menurun,
retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
e. B5 (Bowel)
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 19
Ditunjukkan dengan kesulitan menelan-mengunyah, disfagia,
kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
f. B6 (Bone)
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan
aktifitas atau mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan meliputi hal
berikut :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan.
2. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan
fisik umum, keletihan.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan
kontrol tonus otot fasial atau oral.
4. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal.
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan No. 1
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan kelemahan otot pernapasan.
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola
pernapasan klien kembali efektif
Kriteria Hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam
batas normal, bunyi nafas terdengar jelas, respirator
terpasang dengan optimal
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan
ventilasi
Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
pernapasan, kedalaman, dna bunyi nafas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru (volume
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 20
tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi),
dengan interval yang sering dalam
mendeteksi masalah pau-paru, sebelum
perubahan kadar gas darah arteri dan
sebelum tampak gejala klinik.
Kaji kualitas, frekuensi,
dan kedalaman
pernapasan, laporkan
setiap perubahan yang
terjadi.
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan
kedalaman pernapasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi
klien.
Baringkan klien dalam
posisi yang nyaman
dalam posisi duduk
Penurunan diafragma memperluas daerah
dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
Observasi tanda-tanda
vital (nadi,RR).
Peningkatan RR dan takikardi merupakan
indikasi adanya penurunan fungsi paru.
Diagnosa
Keperawatan No. 2
Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan
dengan kelemahan fisik umum, keletihan.
Tujuan : Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk
menghilangkan edema inflamasi dan memungkinkan
penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor
yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki
paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria Hasil : Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90
x/menit, dan kemampuan batuk efektif dapat optimal,
tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien
dalam melakukan
aktivitas
Menjadi data dasar dalam melakukan
intervensi selanjutnya.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 21
Atur cara beraktivitas
klien sesuai kemampuan.
Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatan
dan daya tahan. Menjadi partisipan dalam
pengobatan, klien harus belajar tentang
fakta-faakta dasar mengenai agen-agen
antikolinesterase-kerja, waktu, penyesuaian
dosis, gejala-gejala kelebihan dosis, dan
efek toksik. Dan yang penting pada
pengguaan medikasi dengan tepat waktu
adalah ketegasan.
Evaluasi kemampuan
aktivitas motorik
Menilai singkat keberhasilan dari terapi
yang boleh diberikan.
Diagnosa
Keperawatan No. 3
Gangguan komunikasi verbal berhubungan
dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral.
Tujuan : Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu
menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria Hasil : Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan
klien dapat dipenuhi, klien mampu merespons setiap
berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi Rasional
Kaji komunikasi verbal
klien.
Kelemahan otot-otot bicara klien krisis
miastenia gravis dapat berakibat pada
komunikasi.
Lakukan metode
komunikasi yang ideal
sesuai dengan kondisi
klien.
Teknik untuk meningkatkan komunikasi
meliputi mendengarkan klien, mengulangi
apa yang mereka coba komunikasikan
dengan jelas dan membuktikan yang
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 22
diinformasikan, berbicara dengan klien
terhadap kedipan mata mereka dan atau
goyangkan jari-jari tangan atau kaki untuk
menjawab ya/tidak. Setelah periode krisis
klien selalu mampu mengenal kebutuhan
mereka.
Beri peringatan bahwa
klien di ruang ini
mengalami gangguan
berbicara, sediakan bel
khusus bila perlu.
Untuk kenyamanan yang berhubungan
dengan ketidakmampuan komunikasi.
Antisipasi dan bantu
kebutuhan klien.
Membantu menurunkan frustasi oleh karena
ketergantungan atau ketidakmampuan
berkomunikasi.
Ucapkan langsung
kepada klien dengan
berbicara pelan dan
tenang, gunakan
pertanyaan dengan
jawaban ”ya” atau
”tidak” dan perhatikan
respon klien
Mengurangi kebingungan atau kecemasan
terhadap banyaknya informasi. Memajukan
stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
Kolaborasi: konsultasi ke
ahli terapi bicara.
Mengkaji kemampuan verbal individual,
sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif
untuk mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi.
Diagnosa
Keperawatan No. 4
Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal.
Tujuan : Citra diri klien meningkat.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 23
Kriteria Hasil : Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan
orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang
sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri
terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan
perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari
gangguan persepsi dan
hubungan dengan derajat
ketidakmampuan.
Menentukan bantuan individual dalam
menyusun rencana perawatan atau
pemilihan intervensi.
Identifikasi arti dari
kehilangan atau
disfungsi pada klien.
Beberapa klien dapat menerima dan
mengatur beberapa fungsi secara efektif
dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan
yang lain mempunyai kesulitan
membandingkan mengenal dan mengatur
kekurangan.
Bantu dan anjurkan
perawatan yang baik dan
memperbaiki kebiasaan.
Membantu meningkatkan perasaan harga
diri dan mengontrol lebih dari satu area
kehidupan.
Anjurkan orang yang
terdekat untuk
mengizinkan klien
melakukan hal untuk
dirinya sebanyak-
banyaknya.
Menghidupkan kembali perasaan
kemandirian dan membantu perkembangan
harga diri serta mempengaruhi proses
rehabilitasi.
Kolaborasi: rujuk pada
ahli neuropsikologi dan
konseling bila ada
indikasi.
Dapat memfasilitasi perubahan peran yang
penting untuk perkembangan perasaan.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 24
D. Implementasi Keperawatan
Tahap ini merupakan pengelolaan, perwujudan, serta bentuk
tindakan nyata dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
intervensi.
E. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan suatu penilaian terhadap proses
keperawatan yang telah dilakukan. Dengan kata lain, evaluasi
merupakan suatu bentuk perbandingan antara hasil-hasil yang diperoleh
dengan kriteria hasil yang telah dibuat sebelumnya pada tahap
intervensi. Berikut adalah evaluasi dari diagnosa proses keperawatan di
atas:
1. Keefektifan fungsi pernapasan.
2. Batuk secara optimal bisa dilakukan.
3. Fungsi komunikasi sudah adekuat ditunjukkan dengan
penggunaan baik dengan bahasa isyarat maupun verbal secara
optimal.
4.2 Peranan Keperawatan
Dalam proses pencegahan ataupun penyembuhan Miastenia gravis
sangat penting dilakukan oleh perawat. Adapun peran perawat pada individu
dengan Miastenia gravis antara lain:
1. Care giver (pemberi perawatan),
Dimana perawat memberikan perawatan secara langsung pada
klien Miastenia gravis dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
dasar klien seperti pada saat pasien menunjukkan gejala sesak nafas,
maka perawat harus meninggikan bagian kepala tempat tidur 30-40
derajat, karena dengan posisi ini akan memudakan upaya untuk
bernafas.
2. Pendidik
Perawat harus mengajarkan atau memberi pendidikan baik pada
klien ataupun pada keluarga mengenai penatalaksaan jangka panjang
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 25
dalam penanganan pemyakit Miastenia gravis ini. Sehingga
diharapkan klien dan keluarga dapat memahami dengan baik tentang
proses penyakit kronis yang memungkinkan dapat mengenali gejala
yang bisa menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
3. Pengawas kesehatan
Perawat perlu mengawasi klien dengan cara melakukan
kunjungan rumah (home visit) secara periodik yang bertujuan untuk
mengetahui sebagaimana jauh perkembangan setelah menjalani
pengobatan dan perawatan.
4. Konsultan
Perawat sebagai narasumber baik pada klien maupun keluarga
dalam mengatasi masalah yang timbul, seperti bila tidak mengetahui
atau lupa dalam memberikan obat-obatan baik kapan maupun jumlah
dosis, maka perawat perlu memberikan nasehat kepada mereka.
Waktu yang tepat dalam pemberian obat sesuai dosis yang akurat
berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energy. Dengan memberikan
obat sebelum makan akan memberikan kekuatan otot untuk
mengunyah makanan.
5. Kolaborasi
Perawat harus mampu berkolaborasi atau bekerja sama dengan
tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan penanganan pada masalah
klien. Dengan adanya kerjasama ini, maka pemberian asuhan
keperawatan bisa sesuai dengan pengobatan yang seharusnya
diberikan.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 26
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan
mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di
bawah kesadaran seseorang (volunter).
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1.
Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar
20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40
tahun. Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari
pada orang dewasa
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3
prinsip, yaitu; (1) Mempengaruhi transmisi neuromuskuler, (2)
Mempengaruhi proses imunologik, (3) Penyesuaian penderita terhadap
kelemahan otot.
5.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai
pedoman bagi pembaca baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalam
pemberian asuhan keperawatan secara professional. Selain itu pembaca
diharapkan dapat mengaplikasikan tindakan pencegahan dan
penanggulangan untuk menghindari penyakit Miastenia gravis ini. Mungkin
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan makalah
ini.
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 27
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1995. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan:
Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, hal: 293-297
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/
miastenia-gravis. (3 September 2009)
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41, 1986.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, hal: 40-42
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/
2008/06/miastenia-gravis.html. (3 September 2009)
Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
hal: 998 – 1003
Qittun. 2008. Asuhan keperawatan dengan Miastenia Gravis.
http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-
miastenia.html. (3 September 2009)
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 28
LAMPIRAN
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 29