makalah blok 23

20
Tonsilofaringitis Difteri Karina Marcella Widjaja 102011183 Kelompok C7 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespendensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510 Telp: (021) 5694-2061, Fax: 021-5631731, E-mail: [email protected] PENDAHULUAN Telinga, hidung, dan tenggorok (THT) harus menjadi kesatuan karena saluran ketiganya saling berhubungan. Bila ada satu bagian dari organ tersebut terganggu, maka kedua organ lainnya akan terimbas. Pada kasus seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dimana ia dibawa ke klinik THT, anak menangis lemah, suara parau, dan sesak dimana anak tersebut memiliki riwayat imunisasi yang tidak jelas, suhu subfebril, nadi lambat, anak sedikit gelisah, dan menimbulkan gejala lain yang berhubungan dengan THT. Oleh karena itu, untuk mengetahui diagnosis yang tepat diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat. ANAMNESIS 1

Upload: fitry-hardiyanti

Post on 28-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

file

TRANSCRIPT

Page 1: makalah blok 23

Tonsilofaringitis Difteri

Karina Marcella Widjaja

102011183

Kelompok C7

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespendensi:

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Telp: (021) 5694-2061, Fax: 021-5631731, E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Telinga, hidung, dan tenggorok (THT) harus menjadi kesatuan karena saluran

ketiganya saling berhubungan. Bila ada satu bagian dari organ tersebut terganggu, maka

kedua organ lainnya akan terimbas.

Pada kasus seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dimana ia dibawa ke klinik THT,

anak menangis lemah, suara parau, dan sesak dimana anak tersebut memiliki riwayat

imunisasi yang tidak jelas, suhu subfebril, nadi lambat, anak sedikit gelisah, dan

menimbulkan gejala lain yang berhubungan dengan THT. Oleh karena itu, untuk mengetahui

diagnosis yang tepat diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat.

ANAMNESIS

Sebagai seorang dokter harus menampilkan sikap hormat, sopan, dan bersahabat saat

pasien datang. Pertama-tama memberikan ucapan selamat pagi / siang / sore dan berjabat

tangan, serta mempersilahkan duduk berhadapan dengan posisi duduk sopan. Usahakan

supaya suasana menyenangkan, relaks, bersahabat sehingga pasien tidak merasa takut.

Pertanyaan yang diberikan adalah:

1. Identitas pasien

Nama, tanggal lahir / umur, tempat lahir, pekerjaan, alamat, jenis kelamin, suku

bangsa, agama, dan pendidikan.

1

Page 2: makalah blok 23

2. Keluhan utama

Keluhan kelainan di daerah faring dan rongga mulut umumnya adalah 1) nyeri

tenggorok, 2) nyeri menelan (odinofagia), 3) rasa banyak dahak di tenggorokan, 4) sulit

menelan (disfagia), 5) rasa ada yang menyumbat atau mengganjal.

Nyeri tenggorok. Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri

tenggorok ini disertai dengan demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering.

Apakah pasien merokok dan berapa jumlahnya per hari.

Nyeri menelan (odinofagia) merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan

menelan. Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.

Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di

hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus, atau bercampur darah.

Dahak ini dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.

Sulit menelan (disfagia) sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat.

Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat, apakah makin

lama makin betambah berat.

Rasa sumbatan di leher (sense of lump in the neck) sudah berapa lama, tempatnya

dimana. Keluhan pasien pada hipofaring dan Laring dapat berupa : 1) suara serak, 2)

batuk, 3) rasa ada sesuatu di leher. 1,2

Suara serak (disfoni) atau tidak keluarnya suara sama sekali (afoni) sudah berapa lama

dan apakah sebelumnya menderita peradangan di hidung atau tenggorokan. Apakah

keluhan ini disertai dengan batuk, rasa nyeri dan penurunan berat badan.

Batuk yang diderita pasien sudah berapa lama, dan apakah ada factor sebagai pencetus

batuk tersebut seperti rokok, udara yang kotor serta kelelahan. Apa yang dibatukkan,

dahak kental, bercampur darah dan jumlahnya. Apakah pasien seorang perokok.

Rasa ada sesuatu di leher merupakan keluhan yang sering dijumpai dan perlu

ditanyakan sudah berapa lama diderita, adakah keluhan lain yang menyertainya serta

hubungannya dengan keletihan mental dan fisik.

3. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat perjalanan penyakit, perkembangan penyakit yang sejak awal dirasakan

pasien, mulai dari saat gejala masih ringan kemudian menjadi sedang dan akhirnya

menjadi berat, serta usaha pengobatan

4. Riwayat penyakit dahulu

2

Page 3: makalah blok 23

Penilaian kesehatan pasien secara keseleruhan sebelum penyakit sekarang ini.

Riwayat ini seperti keadaan kesehatan umum, penyakit yang lalu, cedera, perawatan di

RS, pembedahan, alergi, penyalahgunaan zat, obat yang sedang digunakan.

5. Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat kesehatan keluarga meliputi status kesehatan (sehat/sakit/meninggal),

penyakit apa yang diderita/penyebab meninggal

6. Riwayat pribadi, sosial, dan ekonomi3

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik yang dilakukan, antara lain:

1. Tanda-tanda vital

Pemeriksaan tanda-tanda vital berupa tekanan darah, frekuensi suhu, frekuensi denyut

nadi, dan frekuensi pernapasan.

2. Inspeksi, palpasi, dan perkusi

Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan lokal. Pada inspeksi umum

pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat diperoleh kesan

keadaan umum pasien. Pada inspeksi perlu membandingkan kedua sisi tubuh pasien.

3. Pemeriksaan faring dan rongga mulut

Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa

rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah memakai

spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai

dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus

faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi geligi.

Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista, dan lain-lain. Apakah

ada rasa nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut.3

4. Pemeriksaan hipofaring dan laring

Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Kaca laring

dihangatkan dengan api lampu spiritus agar tidak terjadi kondensasi uap air pada kaca

waktu dimasukkan ke dalam mulut. Sebelum dimasukkan ke dalam mulut, kaca yang

sudah dihangatkan itu dicoba dulu pada kulit tangan kiri apakah tidak terlalu panas.

Pasien diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya sejauh mungkin, lidah

dipegang dengan tangan kiri memakai kain kasa dan ditarik keluar dengan hati-hati

sehingga pangkal lidah tidak menghalangi pandangan ke arah laring. Kemudian kaca

laring dimasukkan ke dalam mulut dengan arah kaca ke bawah, bersandar pada uvula dan

3

Page 4: makalah blok 23

palatum mole. Melalui kaca dapat terlihat hipofaring dan laring. Bila laring belum

terlihat jelas penarikan lidah dapat ditambah sehingga pangkal lidah lebih ke depan dan

epiglotis lebih terangkat.

Untuk menilai gerakan pita suara adduksi pasien diminta mengucapkan “iiii”,

sedangkan untuk menilai gerakan pita suara abduksi dan melihat daerah subglotik pasien

diminta untuk inspirasi dalam.

Pemeriksaan laring dengan menggunakan kaca laring disebut laringoskopi tidak

langsung. Pemeriksaan laring juga dapat dilakukan dengan menggunakan teleskop dan

monitor video, atau dengan secara langsung memakai alat laringoskop. Bila pasien

sangat sensitive sehingga pemeriksaan ini sulit dilakukan, maka dapat diberikan obat

anestesi silokain yang disemprotkan ke bibir, rongga mulut, dan lidah. 3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilofaringitis

akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :3,5,6

1. Leukosit : terjadi peningkatan.

2. Hemoglobin : terjadi penurunan.

3. Usap tonsil yang diambil dari permukaan bawah membrane semu untuk pemeriksaan

kultur bakteri dan tes sensitifitas obat. Hasil positif jika didapatkan kuman

Corynebacterium diphteriae.

4. Laringoskopi langsung (untuk anak-anak).

WORKING DIAGNOSIS

Berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan yang ditemukan yang ada di skenario

seperti menangis lemah, suara parau, sesak, riwayat imunisasi tidak jelas, suhu subfebril, nadi

lambat, anak sedikit gelisah, sesak, stridor, ditemukan adanya retraksi suprasternal, infra

clavicula, infrasternal, dan tonsil diliputi selaput putih keabu-abuan, mudah berdarah bila

diangkat, serta adanya bull neck, maka saya menduga bahwa anak tersebut menderita

tonsilofaringitis difteri. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian

dari cincin Waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di

dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil facial), tonsil

lingual (tonsil pamgkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s

tonsil).

4

Page 5: makalah blok 23

Tonsillitis difteri ialah tonsilitis yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium

diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu

hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi

sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin

sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal

inilah yang dipakai pada tes Schick. Tonsilitis sering ditemukan pada anak berusia kurang

dari 10 tahun. Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi

dan anak.3

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Ada beberapa diagnosis banding yang mempunyai beberapa kesamaan gejala dengan

scenario antara lain sebagai berikut:

Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada

penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejalanya adalah

demam sampai 39oC, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang terdapat gangguan

pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi, dan gusi mudah berdarah. Mukosa

mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding

faring, gusi serta proses alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar sub

mandibula membesar. Terapinya adalah antibiotika broad spektrum selama 1 minggu.

Memperbaiki higiene mulut. Vitamin C dan vitamin B kompleks.

Tonsilo laryngitis difteri dengan gejala umum seperti kenaikan suhu tubuh biasanya

subfebris, nyeri kepala, dedar (malaise), tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,

serta keluhan nyeri menelan. Gejala local juga bisa tampak berupa tonsil membengkak

ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk

membrane semu, suara parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika

menelan atau berbicara, serta gejala sumbatan laring. Pada perkembangan penyakit ini

bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya

sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals.

Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 1 : gejalanya sama dengan

tonsillitis difteri ditambah cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor

pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang.

Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 2 : gejalanya sama dengan

tonsillitis difteri ditambah cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin

5

Page 6: makalah blok 23

dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah

mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi.

Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 3 : gejalanya sama dengan

tonsillitis difteri ditambah cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga

terdapat di infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor

terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.

Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 4 : gejalanya sama dengan

tonsillitis difteri ditambah cekungan – cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat

gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka

pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien

lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.3,4

ETIOLOGI

Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf,

tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Perwarnaan sediaan langsung dapat dilakukan

dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung

dari lesi.

Sifat Basil

Polimorf, gram positif, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora, mati pada

pemanasan 600C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air, susu, dan

lendir yang telah mengering.

Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar

perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil

dapat membentuk :

1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan

yang meliputi daerah yang terkena, terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.

2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam

diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot

jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmot

dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. Minimum lethal dose (MLD) dari

toksin ini ialah 0,02 ml.

6

Page 7: makalah blok 23

Uji Schick adalah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah

mengandung antitioksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permililiter darah cukup

dapat menahan infeksi difteria.5

EPIDEMIOLOGI

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok

setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas. Umumnya masih tetap terjadi pada

individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi

primer). Serangan difteri yang sering terjadi menyiratkan bahwa penyakit ini terjadi di

kalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat yang berdesakan dan memperoleh fasilitas

pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum

mendapatkan imunisasi.

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan

frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin

menderita penyakit ini.

PATOFISIOLOGI

Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih

bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang, basil

dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga, dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk

pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul local atau

kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian

atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan

mengalami hyperplasia dan mengandung toksin.

Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau

mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin

juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis

interstitialis (jarang sekali). Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membrane pada

laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu

bronkopneumonia.

Penularan umumnya melalui udara berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula

melalui tangan, ciuman, benda atau makanan yang terkontaminasi. Dapat terjadi pada semua

umur, terutama pada anak.5

7

Page 8: makalah blok 23

GEJALA KLINIS

Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan

apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa

inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari

bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya

sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC ± 38,9oC. Pada

mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran

putih/keabu-abuan.

Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula.

Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam

tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran

mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk

diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak

ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi

akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.

Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang. Dan

perubahan ini akan lebih cepat bila diberikan antitoksin. Difteri berat akan lebih berat pada

anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri.

Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat

menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul.

Kadang-kadang udema disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam

jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula

sehingga memberi gambaran bullneck.

Gambaran klinis dibagi dalam tiga golongan yaitu :

1. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya

subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri

menelan.

2. Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang

makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membrane ini dapat

meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus yang dapat

menyumbat slauran napas. Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila

diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan

terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher

menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals.

8

Page 9: makalah blok 23

3. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai

decompensatio cordis, mengenai saraf cranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan

otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Paling sering dijumpai (+ 75%). Gejala mungkin ringan hanya berupa radang pada

selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas

dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada

penderita. Pada penderita yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan

suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya

berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas

berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi

(bull neck). Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun

belum terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum mole. Pada

pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis

polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada urin

mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan.3

Tonsilo Laringitis Difteri

Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa infeksi ini dapat menjalar sampai ke

laring sehingga menyebabkan peradangan pada daerah laring, sehingga terjadi tonsilo

laryngitis difteri, yang mempunyai gejala seperti demam, dedar (malaise), serta gejala local,

seperti suara parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan atau

berbicara, serta gejala sumbatan laring.

Sumbatan Laring

Tonsilo laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring

dan menyebabkan gejala sumbatan jalan napas yaitu laring. Sumbatan laring dapat

disebabkan oleh 1) radang akut dan radang kronis, 2) benda asing, 3) trauma akibat

kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata tajam, 4) trauma akibat

tindakan medic, 5) tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas, 6)

kelumpuhan nervus rekuren bilateral.

Gejala dan tanda sumbatan laring ialah :

1. Suara serak (disfoni) sampai afoni.

2. Sesak napas (dispnea).

9

Page 10: makalah blok 23

3. Stridor (napas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula,

dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk

mendapatkan oksigen yang adekuat.

5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)

6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.3

KOMPLIKASI

Tonsilitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring dan

menyebabkan gejala sumbatan jalan napas yang membutuhkan trakeostomi. Makin muda usia

pasien makin cepat timbul komplikasi ini.

Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau decompensatio cordis.

Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring

sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.

Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal. Proses peradangan juga dapat menyebar ke

telinga, menyebabkan otitis media, atau ke paru-paru, menyebabkan pneumonia.3

PENATALAKSANAAN

Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan

dosis 20.000- 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotika penisilin

atau eritromisin 25 - 50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.

Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena

penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama

2 - 3 minggu, serta pemberian cairan serta diet yang adekuat.

Untuk laringitisnya, istirahatkan berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup

udara lembab. Menghindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok, makanan pedas

atau minum es. Antibiotika diberikan juga pada peradangan yang berasal dari paru.

Penanganan sumbatan laring akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini.3

Penanggulangan Sumbatan Laring

Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan

dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin ventilasi sehingga jalan

napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi,

antibiotika, serta pemberian oksigen intermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1

10

Page 11: makalah blok 23

yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan saluran

napas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea)

atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan

krikotirotomi.

Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring

stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium 4.

Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah

(pemeriksaan Astrup). Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea merupakan pilihan

pertama, sedangkan jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan

trakeostomi.

Trakeostomi

Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/ anterior trakea

untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang

rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan

tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan

sarana sangat kurang dan 2) trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat

dilakukan secara baik (lege artis).

Indikasi trakkeostomi yaitu :

1. Mengatasi obstruksi laring.

2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah

rongga mulut, sekitar lidah, dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen

yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi

itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya

berkurang.

3. Mempermudah pengisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat

mengeluarkan secret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.

4. Untuk memasang respirator (alat babtu pernapasan).

5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk

bronkoskopi.3

PENCEGAHAN

Secara umum kita dapat mencegah melalui kebersihan dan pengetahuan tentang

bahaya penyakit ini bagi anak- anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri,

11

Page 12: makalah blok 23

kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.

Pencegahan khusus terdiri dari imunisasi DPT yang lengkap. Imunisasi aktif dilakukan

dengan menyuntikkan toksoid. Imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakukan 3 kali

berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Biasanya diberikan bersama-sama dengan

toksoid tetanus dan basil B. pertussis yang telah dimatikan sehingga disebut tripel vaksin

DPT dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subkutan dalam atau intramuscular. Vaksinasi

ulangan dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira pada

umur 11/2 - 2 tahun dan pada umur 5 tahun. Selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15

tahun hanya diberikan vaksin difteri dan tetanus (DT) atau bila ada kontak dengan penderita

difteri.5

PROGNOSIS

Tonsilitis difteri ini sebenarnya bukanlah penyakit yang berbahaya asal ditangani dan

diketahui sejak awal. Penyakit ini dapat menimbulkan banyak sekali komplikasinya seperti

menjalar ke laring bahkan sampai menimbulkan obstruksi laring. Jika setelah timbul

obstruksi laring dan tidak ditangani dengan baik, maka ini menjadi sangat buruk, karena

dapat menyebabkan kematian.

KESIMPULAN

Tonsillitis difteri ialah tonsilitis yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium

diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu

hidung, faring, dan laring. Tonsilitis difteri ini sering ditemukan pada anak berusia kurang

dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih

mungkin menderita penyakit ini. Penyaki ini tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit

ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas. Gambaran

klinis penyakit ini adalah kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu

makan, badan lemah, nadi lambat, keluhan nyeri menelan, tonsil membengkak ditutupi

bercak putih kotor yang makin lama makin meluas, adanya bull neck, dan lain sebagainya.

Terkadang juga sering menyebabkan laryngitis dan obstruksi laring pula.

12

Page 13: makalah blok 23

DAFTAR PUSTAKA

1. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-8. Jakarta :

EGC, 2009.h.349-60.

2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC, 2009.h.95-106.

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga

hidung tenggorokan kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.h.212-53.

4. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies : buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta :

EGC, 2012.h.3-23.

5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku

ajar ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2007.h.1-9, 550-6.

6. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatric Nelson. Edisi ke-4. Jakarta : EGC,

2010.h.428-9.

13