hiperbilirubinemia neonatus

20
BAB I PENDAHULUAN Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. 1 Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan. 1 Peningkatan kadar bilirubin (hiperbilirubinemia) merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabakan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15 Z bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam 1

Upload: sjanemt

Post on 09-Apr-2016

55 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hiperbilirubin

TRANSCRIPT

Page 1: hiperbilirubinemia neonatus

BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat

tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus.

Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa

normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya

lebih pendek.1

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau

usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data

epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang

dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus

ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan.1

Peningkatan kadar bilirubin (hiperbilirubinemia) merupakan salah satu fenomena

klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan

yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabakan oleh keadaan ini.

Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat

akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15 Z bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus pada sklera

dan kulit. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga

menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru

lahir, hiperbilirubinemia merupakan fenomena yang normal, tetapi pada beberapa bayi,

terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik

dan dapat menyebabkan kematian. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning,

harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau

patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi

hiperbilirubinemia yang berat.1

Berikut ini laporan suatu kasus bayi berusia 3 hari, berjenis kelamin perempuan, yang

mengalami hiperbilirubinemia.

1

Page 2: hiperbilirubinemia neonatus

BAB III

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Bayi X

Tanggal lahir : 31 Maret 2011

Jenis kelamin : Perempuan

ANAMNESIS

Keluhan utama

Telah lahir bayi perempuan berusia 3 hari pada tanggal 09 Oktober 2015 pukul 04.20

WIB dengan berat badan lahir 2900 gram dan panjangnya 45 cm. APGAR skor pada menit

pertama adalah 7 dan pada menit kelima adalah 10. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu

35,9˚C, denyut nadi 150 kali permenit, frekuensi pernafasan 48 kali permenit, tidak

ditemukannya sianosis, tidak ditemukan kuning pada kulit nya, tidak ditemukannya retraksi

pada sela – sela iga, gerakan nya aktif dan menangis kuat. Bayi sudah di suntik vitamin K dan

hepatitis.

Bayi tersebut dilahirkan dari seorang ibu G3P2A0 dengan jenis persalinan partus

sungsang. Ibu selalu memeriksakan kehamilannya di dokter. Pada usia kehamilan minggu ke

– 16 ibu baru mengetahui kalo sedang mengandung janin.

Pada minggu ke – 34 masa kehamilan, ketuban ibu pecah dan pada saat itu dilakukan

persalinan secara sectio caesar. Ketika bayi baru lahir pada usia hari pertama dan hari kedua,

ASI ibu tidak keluar. Sudah dibantu oleh fisioterapi untuk memompa tetapi ASI nya tetap

tidak keluar.

Pernafasan bayi masih cuping hidung. Kemudian dokter melakukan observasi selama

2 jam, bila ada tanda – tanda retraksi dan masih terdapat tanda – tanda pernafasan cuping

hidung, bayi dipindahkan ke ruang NICU.

Pada hari ke – 3 usia kehidupanbayi tepatnya pada tanggal 15 Mei 2015, kulit bayi

masih kuning dengan suhu tubuh 38,7˚C, tidak muntah, buang air besar dan buang ar

kecilnya baik. ASI ibu keluar sebanyak 30 cc. Pada saat itu juga dilakukan pemeriksaan

laboratorium dengan hasil kadar bilirubin total pada bayi adalah 16,8 mg/dL. Pada

pemeriksaan darah bayi ditemukan bahwa kadar Hb 14,8 g%, Ht 44%, leukosit 12.300 mm3,

trombosit 257.000 mm3, golongan darah ibu B dan golongan darah ayah serta bayi nya adalah

ayah O dan Rhesus positif.

2

Page 3: hiperbilirubinemia neonatus

Oleh karena didapatkan hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium diatas,

maka dibuatlah diagnosis klinik NCB – SMK Hiperbilirubinemia.Dokter menganjurkan agar

bayi dipindahkan ke ruang perinatologi dan ditaruh di dalam inkubator dengan terapi sinar

biru, serta diberikan diet PASI 6 x 30 cc, CIV : KAEN 1B + 10 meq 16 tetes permenit dan

amoxan 3 x 0,6 cc.

Pada hari ke – 4 usia kehidupan bayi, bayi masih tampak kuning pada kulit wajah dan

dada nya dengan kadar bilirubin total 14,9 mg/dL, serta pada pagi hari ibu memberikan PASI

dan ASI sebanyak 40 cc dan pada malam hari sebanyak 160 cc.

Pada hari ke – 5 usia kehidupan bayi, bayi masih tampak kuning pada kulit wajah dan

dada nya, serta berat badan nya menjadi 3400 gram. Pada pagi hari ibu memberikan ASI

3

Gambar 1. Hari ke - 4 usia kehidupan , kuning pada dada.

Gambar 2. Hari ke – 4 usia kehidupan, kuning pada wajah.

Page 4: hiperbilirubinemia neonatus

sebanyak 2 x 60 cc dan pada malam hari sebanyak 2 x 60cc.

Infus sudah dilepas tetapi bayi masih diberikan amoxan 3 x 0,6 cc.

Pada hari ke – 6 usia kehidupan bayi, bayi masih terlihat kuning pada wajahnya tetapi

kuning pada dada nya sudah menghilang. Kadar bilirubin total 12,9 mg/dL dengan berat

badan 3400 gram. Pada pagi hari dan siang hari ibu memberikan ASI dengan total sebanyak

1500 cc. Keluarga bayi meminta kepada perawat dan dokter agar bayi bisa pulang ke rumah.

Bayi laki – laki ini pun pulang ke rumah bersama ayah dan ibu nya.

4

Gambar 3. Hari ke – 5 usia kehidupan bayi, kuning pada dada.

Gambar 4. Hari ke – 5 usia kehidupan bayi, kuning pada wajah.

Page 5: hiperbilirubinemia neonatus

Selama dilakukannya observasi, bayi di tempatkan di dalam inkubator dan diberikan

terapi sinar biru oleh dokter.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

5

Gambar 5. Hari ke – 6 usia kelahiran. kuning pada dahi.

Gambar 6. Bayi di tempatkan di dalam inkubator dan diberikan terapi sinar biru selama observasi.

Page 6: hiperbilirubinemia neonatus

II. 1. Definisi

Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat

peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin

serum > 2mg/dl, sedangkan pada neonates bila kadar bilirubin > 5 mg/dl.2

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan

ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan.

Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5 – 7

mg/dl. Peningkatan kadar plasma bilirubin serum disebut hiperbilirubinemia.

Ikterus terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patofisiologi.

Berikut perbedaan dari kedua jenis ikterus tersebut yang terlihat pada tabel 1.

Ikterus Fisiologis Ikterus Patofisiologi

1. Umumnya terjadi pada BBL,

kadar bilirubin tak terkonjugasi

pada minggu pertama >2mg/dl.

2. Pada bayi cukup bulan yang

mendapat susu formula kadar

bilirubin akan mencapai

puncaknya sekitar 6 – 8 mg/dl

pada hari ke – 3 kehidupan

kemudian menurun cepat selama

2 – 3 hari diikuti dengan

penurunan yang lambat sebesar1

mg/dl selama 1 – 2 minggu.

3. Pada bayi cukup bulan yang

mendapat ASI kadar bilirubin

puncak akan mencapai kadar yang

lebih tinggi (7 – 14 mg/dl) dan

penurunan terjadi lebih lambat.

Bisa terjadi dalam 2 – 4 minggu,

bahkan dapat mencapai waktu 6

1. Ikterus terjadi sebelum 24 jam

2. Setiap peningkatan kadar bilirubin

serum yang memerlukan

fototerapi.

3. Peningkatan kadar bilirubin total

serum >0,5 mg/dl/jam.

4. Adanya tanda – tanda penyakit

yang mendasari pada setiap bayi

(muntah, letargis, malas menetek,

penurunan berat badan yang

cepat, apnea, takipnea atau suhu

yang tidak stabil).

5. Ikterus bertahan setelah 8 hari

pada bayi cukup bulan atau

setelah 14 hari pada bayi kurang

bulan.

6

Tabel 1. Perbedaan ikterus fisiologis dan ikterus patofisiologi.

Page 7: hiperbilirubinemia neonatus

minggu.

4. Pada bayi kurang bulan yang

mendapat susu formula akan

mengalami peningkatan dengan

puncak yang lebih tinggi dan lebih

lama, begitu juga dengan

penurunannyajika tidak diberikan

fototerapi pencegahan.

Peningkatan sampai 10 – 12 mg/dl

masih dalam kisaran fisiologis,

bahkan hingga 15 mg/dl tanpa

disertai kelainan metabolisme

bilirubin.

Setelah menganalisis data di atas, maka kita dapat memastikan bahwa bayi perempuan

berusia 3 hari ini mengalami ikterus fisiologis karena bayi dilahirkan dengan cukup bulan

meskipun usia kehamilan 34 minggu tetapi berat badan bayi sudah memenuhi standart

kategori untuk bayi dengan berat lahir normal. Bayi tersebut memiliki kadar bilirubin total

nya 16,8 mg/dl dan tanpa dengan adanya muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat

badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil. Bayi juga diberikan susu

formula karena pada usia kehidupan pertama dan keduanya air ASI ibu belum keluar. Maka

dari itu, penurunan kadar bilirubin bisa menjadi lambat. Selain itu bayi diberikan cairan infus

KAEN 3 B yang berfungsi untuk memelihara keseimbangan air dan elektrolit pada keadaan

dimana asupan makanan per – oral tidak mencukupi. Untuk pencegahannya, bayi akan

diberikan terapi fototerapi sinar biru agar kadar bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai

kadar neurotoksik.

Penyebab Hiperbilirubinemia pada Neonatal

Jaundice bisa disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin dan penurunan

ekskresi bilirubin.

Penyebab tersering jaundice dini adalah peningkatan produksi bilirubin, seperti

inkompabilitas golongan darah fetus – ibu dengan akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi

jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi maternal. Eritrosit fetus membawa antigen yang

7

Sumber : Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama, 2014, Badan Penerbit IDAI, Hal : 147 - 148

Page 8: hiperbilirubinemia neonatus

berbeda yang dikenal sebagai benda asing oleh sistem imun ibu yang membentuk antibodi

untuk melawannya (sensitisasi ibu). Antibodi ini (IgG) melewati barrier plasenta ke dalam

sirkulasi fetal dan terikat ke eritrosit fetal.

Pada inkompibilitas Rh, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis antibodi

mengambil tempat dalam sistem retikuloendotelial fetus.

Pada inkompatibilitas ABO, hemolisis terjadi intravaskular, complement – mediated

dan biasanya tidak seberaat pada Rh disease. Inkompatibilitas Rh biasanya baru muncul pada

kehamilan kedua. Bayi yang baru lahir dengan inkompatibilitas Rh, tampak pucat,

hepatosplenomegali dan cepat menjadi jaundice dalam umur beberapa jam. Jika masalahnya

berat, bayi dapat lahir dengan edema generalisata (hidrops fetalis).

Inkompatibilitas ABO biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic

disease terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan

golongan darah O. ABO hemolytic disease jarang timbul pada ibu dengan golongan darah A

atau B. Jaundice yang timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum >12

mg/dl pada umur 3 hari adalah tipikal.

Polisitemia dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, karena peningkatan jumlah sel

darah merah absolut menyebabkan peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan

eritrosit dengan kecepatan normal.Selama pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi

perdarahan dari sirkulasi maternal kedalam sirkulasi fetal (maternal – fetal transfusion) atau

karena keterlambatan penjepitan tali pusat. Twin – to – twin transfusion juga dapat

menyebabkan polisitemia.

Hipoksia intrauterine dan penyakit – penyakit pada ibu seperti diabetes mellitus dapat

menyebabkan polistemia neonatus.

Induksi partus dengan oksitosin tampak berhubungan dengan neonatal jaundice, ada

hubungan yang signifikan antara hiponatremia dan jaundice pada bayi atau ibu yang

mendapatkan oksitosin untuk induksi partus. Efek vasopressin like – action dan oksitosin

memacu transport elektrolit dan air seperti pembengkakan eritrosit dan peningkatan fragilitas

osmotik dan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Pemberian steroid pada permulaan

pemberian oksitosin dan 4 jam berikutnya dapat mencegah hiperbilirubinemia.

Peningkatan bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik diyakini merupakan hal yang

penting pada neonatal jaundice. Neonatal beresiko untuk mengabsorpsi bilirubin intestinal

karena empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga

lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase

dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang

8

Page 9: hiperbilirubinemia neonatus

mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora intestinal untuk

mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid dan mekonium, intestinal mengandung

akumulasi selama kehamilan, mengandung bilirubin dalam jumlah yang signifikan. Keadaan

yang memperlama pasase mekonium (misalnya penyakit Hirschsprung, ileus mekonium,

meconium pluge syndrome) berhubungan dengan hiperbilirubinemia.

Pemberian ASI telah diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan neonatal

jaundice. Bayi – bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi

dibandingkan bayi – bayi yang mendapat susu formula. Pada usia 5 hari hiperbilirubinemia

tak terkonjugasi ini dapat bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice, yaitu early

(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early onset

diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum, sedangkan bentuk late onset diyakini

dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi.

Jaundice selama minggu pertama kehidupan sering dideskripsikan sebagai breast –

feeding jaundice untuk membedakan dari breast – milk jaundice yang berhubungan dengan

kurangnya intake ASI.

Diduga sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu dengan glukoronidase atau zat

lain di dalam ASI, yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat

glukoroniltransferase hepatik. Faktor lain yang mungkin berhubungan dengan jaundice pada

bayi yang mendapat ASI antara lain, intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan,

keterlambatan pasase mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil

transferase.

Bayi sehat yang mendapat ASI dengan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi,

mempunyai kadar Hb, retikulosit dan apusan darah yang normal, tanpa inkompabilitas

golongan darah dan tanpa kelainan lain pada pemeriksaan fisik, dianggap mengalami early

breast – feeding jaundice. Beberapa bayi dengan breast – milk jaundice menunjukan

peningkatan kadar asam empedu, menandakan adanya disfungsi hati ringan atau kolestasis.

Neonatal Jaundice

Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan

timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan

bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami

peningkatan kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya kadar bilirubin

9

Page 10: hiperbilirubinemia neonatus

serum, kulit menjadi lebih jaundice dengan urutan sefalo – kaudal. Mula – mula ikterus

tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki.

Kramer menemukan kadar bilirubin indirek serum sebagai perkembangan jaundice,

seperti pada gambar 7.

Gambar 7. Kramer Grading

Sumber : Buku Ajar

Gastroenterologi – Hepatologi Jilid 1 Cetakan

kedua 2011. Badan Penerbit IDAI, Hal 273.

Walaupun demikian jika kadar bilirubin >15 mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara

terbaik untuk melihat jaundice adalah dengan menekan kulit secara hati – hati dengan jari

dibawah penerangan yang cukup. Setidaknya 1/3 bayi akan tampak jaundice.

Setelah mengevaluasi data diatas, didapatkan bahwa neonatal jaundice ini disebabkan

oleh penurunan ekskresi bilirubin yang tepatnya disebabkan oleh kurangnya intake ASI

( kategori breast – milk jaundice ) dan tidak berhubungan dengan inkompatibilitas ABO

maupun Rh disease. Bayi baru lahir ini termasuk dalam Kramer 1 , yaitu jaundice pada

kepala dan leher dengan kadar bilirubin 4 – 8 mg/dl , serta Kramer 2, yaitu tubuh sebelah atas

tepatnya pada dada dan punggung dengan kadar bilirubin 5 – 12 mg/dl .

10

Grade Lokasi Kadar

Bilirubin

1 Kepala dan

leher

4 – 8 mg/dl

2 Tubuh

sebelah atas

5 – 12 mg/dl

3 Tubuh

sebelah

bawah dan

paha

8 – 16 mg/dl

4 Lengan dan

tungkai

bawah

11 – 18 mg/dl

5 Telapak

tangan dan

telapak kaki

>15 mg/dl

Page 11: hiperbilirubinemia neonatus

Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir

dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal

dari katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25%

berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin,

sitokrom, katalase, dan peroksidase. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin,

transportasi bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.

GAMBAR

Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan

enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ

lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim

biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH

normal bersifat tidak larut.

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya

dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan

albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar.

Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat nontoksik.

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin

akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran

yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik

lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan

berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.

Bili

Patomekanisme Ikterus

Berdasarkan metabolisme normal bilirubin di atas, maka mekanisme terjadinya ikterus

berkaitan dengan; (1) produksi bilirubin, (2) ambilan bilirubin oleh hepatosit, (3) ikatan

bilirubin intrahepatosit, (4) konjugasi bilirubin, (5) sekresi bilirubin, dan (6) ekskresi

bilirubin. Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan

bilirubin akibat hemolisis dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan bilirubin akibat

hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris, yang

kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan eksresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan

eksresi bilirubin dapat mengganggu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan

11

Page 12: hiperbilirubinemia neonatus

hepatoselular memperpendek umur eritrosit, sehingga menambah hiperbilirubinemia dan

gangguan proses ambilan bilirubin oleh hepatosit. (buku dioagnosis tata laksana)

Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI

Berikut ini adalah elemen – elemen kunci yang perlu diperhatikan pada

pengelolaanearly jaundice pada bayi yang mendapat ASI (Tabel 2).

Tabel 2. Pengelolaan ikterus dini (early jaundice) pada bayi yang mendapat ASI.

1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang

pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24 jam.

2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering

dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang

lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang diberikan

adalah sama.

3. Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa atau formula pengganti.

4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola menyusui.

5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dl, tingkatkan pemberian minum,

rangsang pengeluaran / produksi ASI dengan cara memompa, dan

menggunakan protokol penggunaan fototerapi.

6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas

ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya

diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat di atas 20

mg/dl, atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

Penanganan Jaundice

Fototerapi terdiri dari radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang berasal

dari lampu akan merubah struktur molekul bilirubin dengan dua cara sehingga bilirubin

diekskresi ke empedu atau urin tanpa membutuhkan glukuronidase hepatik seperti biasanya.

Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus (atau biru

super, tapi bukan biru biasa) tampaknya lebih baik dari sinar putih atau hijau, walaupun

warna putih lebih tidak mengganggu terhadap paramedis. Secara umum fototerapi digunakan

12

Sumber : Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama, 2008, Badan Penerbit IDAI, Hal : 147 - 148

Page 13: hiperbilirubinemia neonatus

untuk mencegah supaya bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange

transfusion.

Bayi – bayi sehat cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum

sudah <14 – 15 mg/dl sehingga bayi dapat dipulangkan.

Optimisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar bilirubin

meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan interval 2

jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya 8 – 10 kali per 24 jam.

Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi akan meningkatkan

peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi bilirubin. Jika pemberian ASI

dihentikan, pemberian PASI dapat dimulai selama 24 – 48 jam atau ASI dan PASI diberikan

selang seling. Pemberian ASI yang dipanaskan juga dapat menurunkan kadar bilirubin serum.

Penurunan kadar bilirubin serum 2 – 5mg/dl sesuai dengan diagnosis breast – milk jaundice.

Jadi pemberian ASI dilanjutkan lagi, penting untuk memberikan ASI dengan menggunakan

pompa payudara. Penghentian ASI selama 24 – 48 jam berhasil menurunkan kadar bilirubin

serum dan menurunkan kebutuhan fototerapi pada 81 – 87 bayi jaundice.

Pada penanganan jaundice menurut saya perlu ditambahkan dalam pencegahan

pemberian zat – zat yang mengikat albumin dan menggeser bilirubin sehingga menyebabkan

kernikterus. Obat – obatan yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah sulfonamid dan

seftriakson. Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain

fototerapi, exchange transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.

Efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu

(panjang gelombang), intensitas cahaya (iradiasi), luas permukaan tubuh, ketebalan kulit dan

pigmentasi, lama paparan cahaya. Fototerapi yang intensif seharusnya dapat menurunkan

kadar bilirubin total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam, sehingga kadar bilirubin harus

dimonitor setiap 4-12 jam.

Kesimpulan

Telah dilaporkan kasus bayi baru lahir usia 2 hari dengan diagnosa NCB – SMK

Hiperbilirubinemia. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah menentukan

penyebabnya. Bayi melakukan fototerapi dengan sinar biru selama 4 hari dan terjadi

penurunan kadar bilirubin total dari 16,8mg/dl sampai menjadi 12,9 mg/dl. Bayi – bayi yang

sehat dan cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum sudah <14,5

mg/dl sehingga bayi dapat dipulangkan.

13

Page 14: hiperbilirubinemia neonatus

Daftar Pustaka

1. Sastroasmoro, Sudigdo. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. 2004. HTA Indonesia

2. Juffrie M. Buku Ajar Gastroenterologi – Hepatologi Jilid 1. Cetakan kedua 2011.

Badan Penerbit IDAI.

3. Kosim M.S. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Cetakan pertama 2014. Badan

Penerbit IDAI.

14