referat hiperbilirubinemia

43
BAB I PENDAHULUAN Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total >5 mg/dL. 1 Hiperbilirubinemia merupakan salah satu keadaan klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. 2 Hiperbilirubinemia ditemukan 60% di Amerika Serikat, sedangkan insiden hiperbilirubinemia pada neonatus di negara-negara berkembang belum tersedia karena mayoritas persalinan dilakukan di rumah. Insiden hiperbilirubinemia di Indonesia di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis dan patologis. Hiperbilirubinemia fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada neonatus cukup maupun kurang bulan selama minggu pertama kehidupan yang insidennya berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Insidens hiperbilirubinemia patologis sekitar 9,8% pada tahun 2002 dan 15,66% pada tahun 2007 di RS Dr Soetomo. Insiden hiperbilirubinemia patologis berdasarkan penyebab didapatkan inkompatibilitas ABO 35%, infeksi 18%, prematuritas 11%, defisiensi enzim glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD)5%, inkompatibiltas rhesus 3,5% dan idopatik 9%. Setiap neonatus yang mengalami kuning harus dibedakan apakah hiperbilirubinemia yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat.

Upload: shinta-arumadina

Post on 06-Dec-2015

158 views

Category:

Documents


27 download

DESCRIPTION

anak

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total >5 mg/dL.1 Hiperbilirubinemia

merupakan salah satu keadaan klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir.2

Hiperbilirubinemia ditemukan 60% di Amerika Serikat, sedangkan insiden

hiperbilirubinemia pada neonatus di negara-negara berkembang belum tersedia karena

mayoritas persalinan dilakukan di rumah. Insiden hiperbilirubinemia di Indonesia di

beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi

bervariasi dari 13,7% hingga 85%.

Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis dan patologis.

Hiperbilirubinemia fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada neonatus cukup

maupun kurang bulan selama minggu pertama kehidupan yang insidennya berturut-turut

adalah 50-60% dan 80%. Insidens hiperbilirubinemia patologis sekitar 9,8% pada tahun 2002

dan 15,66% pada tahun 2007 di RS Dr Soetomo. Insiden hiperbilirubinemia patologis

berdasarkan penyebab didapatkan inkompatibilitas ABO 35%, infeksi 18%, prematuritas

11%, defisiensi enzim glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD)5%, inkompatibiltas rhesus

3,5% dan idopatik 9%. Setiap neonatus yang mengalami kuning harus dibedakan apakah

hiperbilirubinemia yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta

dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia

berat.

Tata laksana hiperbilirubinemia bertujuan untuk mencegah agar kadar bilirubin tidak

terkonjugasi dalam darah tidak mencapai kadar yang neurotoksik.4 Penggunaan fototerapi

sebagai salah satu terapi hiperbilirubinemia telah dimulai sejak tahun 1950 dan umum

digunakan karena mempunyai keuntungan tidak invasif, efektif, tidak mahal dan mudah

digunakan.

BAB 2

HIPERBILIRUBINEMIA

1.1 PENGERTIAN

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5 mg/dL

(86μmol/L). Hiperbilirubinemia sering dijumpai pada minggu-minggu pertama setelah lahir,

sebagian besar ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus atau jaundice adalah

warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin tak

terkonjugasi pada jaringan. Ikterus pada neonatus akan terlihat bila kadar bilirubin serum

>5 mg/dL. Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan sebagai ikterus berat yang

membutuhkan terapi segera. Sesungguhnya, hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice

merupakan terminologi yang merujuk pada keadaan yang sama.

Hiperbilirubinemia fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dari

berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis neonatus. Hiperbilirubinemia

patologis disebabkan oleh inkompatibilitas darah (Rhesus atau ABO), hemolisis, sepsis,

kelainan metabolisme, defisiensi enzim glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD), Sindrom

Gulbert dan Sindrom Crigler-Najjar. Inkompatibiltas ABO dan defisiensi G6PD merupakan

penyebab hiperbilirubinemia terbanyak di Indonesia.

Peningkatan bilirubin secara berlebihan berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan

kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan

menimbulkan sekuele nerologis.

1.2 EPIDEMIOLOGI

Hiperbilirubinemia merupakan kondisi yang umum ditemukan di seluruh dunia.

Penelitian di Amerika Serikat, sebanyak 65% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu

pertama kehidupannya. Di Indonesia, data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa

kurang dari 50% bayi baru lahir menderita hiperbilirubinemia yang dapat dideteksi secara

klinis dalam minggu pertama kehidupannya.

Insiden hiperbilirubinemia neonatus pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan

antara lain RSCM, RS Dr.sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7%

hingga 85%.3 Penelitian di RSCM menemukan 58% kadar bilirubin >5 mg/dL dan 29,3%

dengan kadar bilirubin >12 mg/dL. Di RS Dr. Sardjito, 82% bayi cukup bulan dan 95% bayi

kurang bulan mengalami hiperbilirubinemia fisiologis.

2

1.3 KLASIFIKASI

a. Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di

minggu pertama kehidupannya disebabkan oleh peningkatan bilirubin tak terkonjugasi

akibat proses fisiologis pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena penurunan level

glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih

pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar.

Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada neonatus

cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur

turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik

perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama

untuk menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat

mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa

adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dL setelah usia 1 bulan,

baik pada bayi cukup bulan maupun prematur. Jika ikterus fisiologis, maka harus:

1. Tidak muncul pada hari pertama

2. Kadar bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL

3. Peningkatan kadar bilirubin < 0,2 mg/dL/jam atau < 5 mg/dL/hari

4. Ikterus tidak menetap > 2 minggu pada bayi cukup bulan

b. Ikterus non fisiologis

Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan berikut :

1. Ikterus terjadi sebelum usia 24 jam

2. Bilirubin total serum > persentil 95 berdasarkan grafik normogram

3. Peningkatan kadar bilirubin > 0,2 mg/dL/jam atau > 5 mg/dL/hari

4. Kadar bilirubin serum terkonjugasi > 1,5 – 2 mg/dL atau > 10 – 20% dalam

bilirubin serum total

5. Ikterus menetap setelah > 2 minggu pada bayi cukup bulan

6. Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan berat

badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)

3

1.4 ETIOLOGI

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh

beberapa faktor antara lain :

1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya.

- Hemolitik

Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit > 6%, hb <13

g/dL. Seperti pada:

Coombs’ test positif: Rh factor incompatibility, ABO incompatibility

Coombs’ test negatif: defek membrane eritrosit (sferositosis,

eliptositosis), defek enzim eritrosit (defisiensi G6PD, defisiensi

piruvat kinase), obat-obatan (contoh: streptomycin, vitamin K),

hemoglobinopati, sepsis, infeksi seperti bakteri, virus, dan protozoa.

- Non hemolitik

Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit normal.

Ekstravaskular: sefalohematoma, perdarahan SSP

Polisitemia: transfusi fetal-maternal, terlambatnya penjepitan tali pusat

2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi hepar.

Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit normal. Gangguan ini

dapat disebabkan oleh:

- Ikterus fisiologis

Peningkatan kadar bilirubin serum pada minggu pertama kehidupan

disebabkan karena:

Beban bilirubin yang meningkat pada neonatus karena volume eritrosit

meningkat sebagai kompensasi tekanan parsial oksigen yang rendah,

umur eritrosit pendek dan peningkatan resirkulasi bilirubin

enterohepatal.

Kurangnya uptake hati sebagai dampak penurunan kadar protein

pengikat bilirubin.

Kurangnya konjugasi karena masih rendahnya aktivitas enzim uridine

diphospate glucuronyl transferase (UDPGT)

4

- Crigler-Najjar syndrome tipe 1 dan 2: tidak terdapatnya enzim glukoronil

transferase

- Gilbert syndrome

- Hipotiroidisme

- Breast milk jaundice

3. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin. Bilirubin

dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin

dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole.

Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang

bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

4. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau

kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau

diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.

Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab

lain. Terdapat peningkatan bilirubin konjugasi dan tidak terkonjugasi, Coomb’s tes

negative, bilirubin terkonjugasi >2mg/dL atau >20% dari total serum bilirubin.

- Obstruksi bilier: atresia bilier, choledochal cyst, primary sclerosing

cholangitis, batu empedu, neoplasma, Dubin-Johnson syndrome, Rotor’s

syndrome

- Infeksi: sepsis, ISK, sifilis, toksoplasmosis, tuberculosis, hepatitis,

rubella, herpes

- Gangguan metabolik: cystic fibrosis, galaktosemia, glycogen storage

disease, Gaucher’s disease, hypothyroidism, Wilson’s disease, Niemann-

Pick disease

- Obat-obatan: aspirin, acetaminophen, sulfa, alcohol, rifampisin,

erythromycin, kortikosteroid, tetracycline

5

1.5 PATOFISIOLOGI

Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses

oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme

dengan bantuan enzim heme oxigenase. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi

bilirubin oleh enzim biliverdin reductase.

Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis bilirubin berasal dari katabolisme heme

haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10

mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 minggu/kgBB/hari. Peningkatan produksi

bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari)

dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over

sitokrom yang meningkat, dan reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat.

Gambar 1. Metabolisme Degradasi Heme dan Pembentukan Bilirubin22

6

Metabolisme bilirubin

Bilirubin diproduksi dari degradasi hemoglobin. Heme dilepaskan dari hemoglobin

sel darah merah atau dari hemoprotein lainnya yang terdegradasi oleh proses enzimatik yang

melibatkan heme oxygenase, yang membutuhkan NADPH dan oksigen, dan mengakibatkan

pelepasan besi dan pembentukan karbon monoksida dan biliverdin. Biliverdin kemudian

dikonversikan menjadi bilirubin oleh biliverdin reduktase.

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial ini selanjutnya

dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin, kemudian akan ditransportasi ke

sel hepar. Bilirubin ini disebut bilirubin tidak terkonjugasi yang mempunyai sifat larut dalam

lemak, tidak larut dalam air, dapat melalui plasenta. Dalam bentuk bilirubin tidak

terkonjugasi ini, bilirubin sulit untuk diekskresikan (karena sifatnya yag larut lemak) dan bisa

dengan mudah melewati sistem saraf pusat, toksik bagi saraf sehingga bisa terjadi

kernikterus.

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda.

1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian

besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum

2. Bilirubin bebas

3. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu

bilirubin yang siap diekresikan melalu ginjal atau sistem bilier

4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ bilirubin).

Pada saat bilirubin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin terikat pada

reseptor permukaan sel. Bilirubin ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan

ligandin (protein Y) dan dengan protein ikatan sistolik lainnya. Bilirubin tidak terkonjugasi

akan dikonjugasikan oleh Uridine Diphophate Glucuronosyltransferase (UDPGT) dalam

bentuk bilirubin terkonjugasi. Katalisasi oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi

bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin

diglukoronida. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air, non –

toxic dan tidak dapat melewati sawar darah otak. Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan dari

hepar melalui kanalikuli empedu ke dalam traktus digestivus kemudian keluar bersama

dengan feses atau direabsorpsi kembali. Akan tetapi, bilirubin terkonjugasi tidak dapat

langsung direabsorpsi kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi

oleh enzim β-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Reabsorpsi bilirubin dari saluran cerna

dan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi entero hepatik.

7

1.6 FAKTOR RISIKO

Faktor MaternalBlood type ABO or Rh incompatibilityBreastfeeding Drugs: diazepam (Valium), oxytocin (Pitocin) Ethnicity: Asian, Native, American Maternal illness: gestational diabetes

Faktor NeonatalBirth trauma: cephalohematoma, cutaneous bruising, instrumented delivery Drugs: sulfisoxazole acetyl with erythromycin ethylsuccinate (Pediazole), chloramphenicol (Chloromycetin) Excessive weight loss after birth Infections: TORCH Infrequent feedings Male gender Polycythemia Prematurity Previous sibling with hyperbilirubinemia

TORCH = toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses.

1.7 MANIFESTASI KLINIS

Warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat

saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l. Disamping itu dapat pula disertai

dengan gejala-gejala:

1. Dehidrasi.Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)

2. Pucat. Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan

darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.

3. Trauma lahir. Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan tertutup

lainnya.

4. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan

memotong tali pusat.

5. Letargik dan gejala sepsis lainnya.

6. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis

atau eritroblastosis.

7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan anemia

hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati

8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)

9. Omfalitis (peradangan umbilikus)

10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)

11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)

8

12. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,

selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.

1.8 DIAGNOSIS

Anamnesis

- Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :

o Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada

neonates adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.

o Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi

hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala

sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,

paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).

- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-

fosfat dehidrogenase (G6PD).

- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan

galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit

Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik.

- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan

inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice.

- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus

atau toksoplasma.

- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan

bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi

dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria).

- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau

hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan

ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial.

Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan

peningkatan bilirubin.

- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk

berkepanjangan.

- Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breast feeding jaundice dan breast-milk

jaundice

9

Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan

ASI.Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum

banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat

lahir rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan

lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme

selama 72 jam.Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya

hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat

kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh

breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia

fisiologis.

Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI).

Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi,

kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin

terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI

dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan

kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi

sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati

normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang

(70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang

menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat

terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase

(UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha2-beta-

diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

P emeriksaan fisik

Ikterus terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit, mukosa dan atau

sklera bayi tampak kekuningan. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang dipakai untuk

ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar

bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl.

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa

hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan

terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,

terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila

penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan 10

untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai

arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya

ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol

seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau

kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan

tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer

Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisik:

- Prematuritas

- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.

- Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan

- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom

- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular

- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis

- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau

penyakit hati

- Omfalitis

- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital

- Tanda hipotiroid

Pemeriksaan penunjang

11

Zona Bagian tubuh yang

kuningRata-rata serum bilirubin

indirek ( mol/l)Bilirubin

serum total

1. Kepala dan leher 100 5 mg/dL;

2. Pusat-leher 150 10 mg/dL

3. Pusat-paha 200 12 mg/dL

4. Lengan + tungkai 250 13-15mg/dL

5. Tangan + kaki > 250 >15 mg/dL

Tabel 2. Evaluasi Laboratorium Hiperbilirubinemia NeonatalIndication AssessmentsJaundice in the first 24 hours TSB or TcB levelJaundice excessive for infant's age TSB or TcB levelReceiving phototherapy or TSB level increasing rapidly

Blood type and Coombs' testCBC and peripheral blood smearConjugated bilirubin levelConsider reticulocyte count; G6PD and end-tide carbon monoxide (corrected) levelsRepeat TSB measurement in four to 24 hours

TSB level approaching exchange transfusion threshold or not responding to phototherapy

Reticulocyte count; G6PD, albumin, and end-tide carbon monoxide (corrected) levels

Elevated conjugated bilirubin level Urine culture, urinalysisConsider sepsis evaluation

Prolonged jaundice (more than 3 weeks) or sick infant

TSB and conjugated bilirubin levelsCheck results of newborn thyroid and galactosemia screen

CBC = complete blood count; G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase; TcB = transcutaneous bilirubin; TSB = total serum bilirubin.

Sumber: Adapted with permission from American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation [published correction appears in Pediatrics. 2004;114(4):1138]. Pediatrics. 2004;114(1):30030

- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus

menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.

- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi

eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung

retikulosit.

- Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari

penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani

pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test segera setelah lahir.

- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.

- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk

mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital,

sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.

1.9 PENATALAKSANAAN 

12

Pencegahan :

American Academy of Pediatric mengeluarkan strategi praktis dalam pencegahan dan

penanganan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir (<35 minggu atau lebih) dengan tujuan

menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan ensefalopati bilirubin serat

meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti kecemasan ibu, berkurangnya breast

feeding atau terapi yang diperlukan. Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum

sesegera mungkin, sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang

kestabilan bakteri flora normal dan merangsang aktifitas usus halus.

Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia9

1. Pencegahan primer

- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari

untuk beberapa hari pertama.

- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi

yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

2. Pencegahan sekunder

- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya

hiperbilirubinemia berat, selama periode neonatal.

- Tentang golongan darah: Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah

ABO dan rhesus serta penyaringan serum antibodi isoimun yang tidak biasa

- Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif dilakukan

pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh (D)

darah tali pusat bayi.

- Bila golongan darah ibu O,Rh positif terdapat pilihan untuk dilakukan tes

golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak

diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum

keluar rumah sakit (RS) dan tidak lanjut yang memadai.

- Tentang penilaian klinis : Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin

dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap

penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital, terapi tidak

kurang dari setiap 8-12 jam.

13

- Protokol untuk penilaian ikterus harus melibatkan seluruh staf perawatan yang

dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin secara transkutan atau

memeriksakan bilirubin serum total.

Evaluasi Laboratorium

Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus dilakukan

pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir. Penentuan

waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum total

tergantung pada daerah mana kadar bilirubin terletak, umur bayi, dan evolusi

hiperbilirubinemia.

Pengukuran bilirubin transkutaneus atau dan bilirubin serum total harus dilakukan bila

tampak ikterus yang berlebihan. Jika derajat ikterus meragukan, pemeriksaan bilirubin serum

harus dilakukan, terutama pada kulit hitam, oleh karena pemeriksaan derajat ikterus secara

visual seringkali salah. Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai umur bayi dalam

jam.

Penyebab kuning

Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima foto terapi atau

bilirubin total serum meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesa dan

pemriksaan fisik.

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjungasi harus dilakukan

analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis

harus dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik.

Bayi sakit dan ikterus pada bayi sakit atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan

pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin kongasi untuk mengidentifikasi adanya

kolestasis, juga dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.

Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin kongasi meningkat, dilakukan evaluasi

tambahan untuk mencari penyeba kolestasis. Pemeriksaan terhadap kadar Glukose- 6-

Phospat Dehindrogenase (G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat

fototerapi dan dengan riwaya=t keluarga atau etnis atau asal geografis yang menunjukkan

kecendrungan defisiensi G6PD atau pada bayi yang respon buruk terhadap fototerapi

Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan

14

Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko

berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menetapkan protokol

untuk menilai resiko ini. Penilaian ini sangat penting untuk bayi yang pulang sebelum 72 jam.

Kebijakan dan prosedur RS

Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua saat keluar dari RS,

termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya monitoring terhadap kuning, dan anjuran

bagaimana monitoring dilakukan.

Tindak lanjut : Semua bayi harus diperiksa oleh petugas kesehatan profesional yang

berkualitas beberapa hari setelah keluar RS untuk menilai keadaan bayi dan ada tidaknya

kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lama

perawatan, ada atau tidaknya faktor resiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah

neonatal lainnya.

Saat tindak lanjut : Berdasarkan tabel dibawah :

Bayi Keluar RS Harus Dilihat Saat Umur

Sebelum umur 24 jam 72 jam

Antara umur 24 dan 47,9 jam 96 jam

Antara umur 48 dan 72 jam 120 m

Untuk beberapa bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam, di perlukan 2 kunjungan

tindak lanjut yaitu kunjungan pertama antar 24- 72 jam dan kedua antara 72-120 jam.

Penilaian klinis harus dikgunakan dalam tindak lanjut. Pada bayi yang mempunyai faktor

resiko terhadap hiperbilirubinemia harus dilakukan tindak lanjut yang lebih awal atau lebih

sering. Sedangkan bayi yang resiko kecil dan tidak beresiko, waktu pemeriksaan kembali

dapat lebih lama.

Menunda pulang dari RS: Bila tindak lanjut yang memadai tidak dapat dilakukan

terhadap adanya peningkatan resiko timbulnya hiperbilirubinemia berat, mungkin diperlukan

penundaan kepulangan dari RS sampai tindak lanjut memadai dapat dipastikan atau periode

resiko terbesar telah terlewati (72-96 jam)

Penilaian tindak lanjut harus termasuk berat badan bayi dan perubahan persentasi

berat lahir, asupan yang adekuat, pola BAB dan BAK, serta ada tidaknya kuning. Penilaian

klinis harus digunakan untuk dilakukan perlunya pemeriksaan bilirubin. Jika penilaian visual

15

meragukan, kadar bilirubin transkutaneus dan bilirubin total serum harus diperksa. Perkiraan

kadar bilirubin visusal dapat keliru, terutama pada bayi dengan kulit hitam.

Pengelolaan bayi dengan ikterus

1. Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI

Berikut ini adalah elemen-elemen kunci yang harus diperhatikan pada pengelolaan

early jaundice pada bayi yang mendapat ASI.

Pengelolaan ikterus dini (early jaudice) pada bayi yang mendapat ASI

1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang

pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24 jam

2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.

3. Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa atau formula pengganti

4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola

menyusui

5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dl, tingkatkan pemberian minum,

rangsang pengeluaran/ produksi ASI dengan cara memompa dan

menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP

6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan

abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya

hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat

diatas 20mg/dl atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning

2. Penggunaan Farmakoterapi :

Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan

merangsang induksi enzim- enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi

penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga

reabsorpsi enterohepatik menurun. Antara lain :

1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi- bayi dengan Rh yang berat

dan imunokompabilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan

tindakan tranfusi. IVIG dapat digunakan dengan dosis 0,5 g- 1g/kgbb (single

dose)

16

2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktifitas, dan

konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan

bilirubin. Terjadi peningkatan uptake hepar, konjugasi dan eksresi bilirubin.

Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum

tidak direkomendasikan. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat

perubahan bermakna, hal ini membuat pengguaan fototerapi nampak jauh lebih

muda. Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompabilitas Rh untuk

mengurangi jumlah tindakan tranfusi ganti. Penggunaan fenobarbital profilaksis

untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau transfusi ganti pada bayi dengan

defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil.

3. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotoporpirin juga

telah diteliti. Zat ini adalah analoq sintesis heme. Protoporpirin telah terbukti

efektif sebagai inhibitor kompetitif sari heme oksigenase, enzim ini deperlukan

untuk katabolisme heme menjadi biliverdin, dengan zat ini heme dicegah dari

katabolisme dan diekskresikan secara utuh didalam empedu.

4. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan datau tanpa

penyakit hemolitik, tin-protoporpirin (Sn-PP) dan tin- mesoporpirin (Sn-MP)

dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi setelah

pemberian Sn-PP berhubungan dnegan timbulnya eritema foto toksik. Sn- MP

kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan fototerapi.

Pada penelitian terbaru dnegan penggunaan Sn-MP maka fototerapi pada bayi

cukup bulan tidak diperlukan lagi, sedangkan pada bayi kurang penggunaannya

telah banyak berkurang. Pemakaian obat ini masih dalam percobaan dan keluaran

jangka panjang belum diketahui, sehingga pemakaian obat ini sebaiknya hanya

digunakan untuk bayi yang mempunyai resiko tinggi tehadap kejadian

hiperbilirubinemia ynag berkembang menjadi disfungsi neurologi dan juga

sebagai klinikal trial.

5. Baru- baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor B Glukoronidase pada bayi

sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-Aspartik dan casein

hoidrolisat dalam jumlah kecil (5ml / dosis – 6x perhari ) dapat meningkatkan

pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan

bayi kontrol. Kelompok bayi yang mendapat campuran whey atau kasein (bukan

inhibitor B glukuronidase) Kuningnya juga tampak menurun dibandingkan

17

dengan kelompok kontrol, hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan ikatan

bilirubin konjugasi yang berakibat pada penurunan jalur enterohepatik.

Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau meningkat walaupun telah

mendapat fototerapi intensif, kemungkinan telah terjadi hemolisis dan direkomendasikan

untuk menghentikan foto terapi.

Dalam penggunaan petunjuk fototerapi dan transfusi tukar, kadar bilirubin direk atau

konjugasi tidak harus dikurangkan dari bilirubin total. Dalam kondisi dimana kadar bilirubin

direk 50% atau lebih dari bilirubin total , tidak tersedia data yang baik untuk petunjuk terapi

dan direkomendasikan untuk berkonsultasi kepada ahlinya.

Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan

transfusi ganti atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dl atau lebih tinggi pada setiap

waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan mendapatkan

perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui bagian emergensi

karena hal ini dapat menunda terapi.

Transfusi ganti harus dilakukan hanya oleh personal yang terlatih diruangan NICU

dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi.

Penyakit isoimun hemolitik, pemberian gama- globulin (0,5-1 gr/Kgbb selama 2 jam)

direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun telah mendapat

fototerapi intensif atau kadar bilirubin total serum berkisar 2-3 mg/dl dari kadar transfusi

ganti. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.

Rasio albumin serum dan rasio bilirubin/ albumin

Merupakan suatu pilihan untuk mengukur kadar serum albumin dan

mempertimbangkan kadar albumin kurang dari 3 gr/dl sebagai satu faktor resiko untuk

menurunkan ambang batas penggunaan fototerapi.

Jika dipertimbangkan transfusi ganti, kadar albumin serum harus diukur dan

digunakan rasio bilirubin / albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan

faktor- faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi ganti.

Bilirubin ensefalopati akut

18

Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi ganti untuk setipa bayi ikterus

dan tampak manifestasi fase menengah sampai lanjut dari ensefalopati bilirubin akut

(hipertonia, arching, tetrocollis, opistotonus, demam, menangis melengking) meskipun kadar

bilirubintotal serum telah turun. 9 Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus

memilki peralatan untuk fototerapi intensif.

Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan

Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa, jika

memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Juga terdapat pilihan untuk menghentikan

sementara dan menggantinya dengan formula. Hal ini dapat mengurangi kadar bilirubin dan

atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi menyusui yang mendapat fototerapi,

suplementasi dengan pemberian ASI yang dipompa atau formula adalah cukup jika asupan

bayi tidak adekuat, berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.

Foto Terapi

Indikasi Fototerapi

- Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total

- Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis,suhu tubuh

yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin < 3g/dL

- Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada

kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk melakukan

intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi- bayi yang

mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk

bayi- bayi yang mendekati usia 37 minggu.

- Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah pada kadar

bilirubin total 2-3 mg/dl dibawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi- bayi yang

memiliki faktor resiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah.

Petunjuk fototerapi (menurut AAP, 2004) tertera pada:

Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam.

19

1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/dl bayi sakit/BKB diperlukan

transfusi tukar.

2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat diperlukan

transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5 – 1 gr/kg > 2 jam,

ulangi dalam 12 jam bila perlu.

3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan

intravena (kristaloid).

4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar, atau rasio

TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.

5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan setelah

pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian

Gambar Pedoman Fototerapi Intensive Neonatus Usia ≥35 Minggu.

Tabel Indikasi Fototerapi berdasarkan TSB (WHO)

20

Tabel Indikasi Fototerapi BBLR (Choherty,2004)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah:

Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk

menghindari turunnya energy yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.

Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.

Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk

mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan

kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantauan

iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka penutup mata.

Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk

melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototeraphy.

Pada lampu diatur dengan jarak 20-30cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan

energi yang optimal.

Posisi bayi diubah tiap 8 jam , agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin.

Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.

Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses, dan muntah diukur,

dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi

Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan.

Lamanya terapi sinar dicatat.

Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin serum barada dalam batas normal, terapi sinar

dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah, perlu dipikirkan

21

adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif atau bayi menderita

dehidrasi, hipoksia, infeksi, dan gangguan metabolism.

Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek samping

tersebut bersifat sementara, yang dapat di cegah atau dapat ditanggulangi dengan

memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan

bayi secara berkelanjutan.

Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapati terapi sinar adalah :

Peningkatan kehilangan cairan yang tidak terukur.

Energi cahaya fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan

peningkatan penguapan melalui kulit. Terutama bayi premature atau berat lahir sangat

rendah. Keadaan ini dapat di antisipasi dengan pemberian cairan tambahan.

Frekuensi defekasi meningkat. Meningkatnya bilirubin indirect pada usus akan

meningkatkan pembentukan enzim lactase yang dapat meningkatkan peristaltic usus.

Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.

Timbul kelainan kulit di daerah muka badan dan ekstremitas, dan akan segera hilang

setelah terapi berhenti. Di laporkan pada beberapa bayi terjadi “bronze baby

syndrome”, hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera

hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak

mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.

Peningkatan suhu.

Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu tubuh,

ini disebabkan karena suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan pengaturan

suhu tubuh bayi.

Kadang di temukan kelainan, seperti gangguan minum, letargi, dan iritabilitas. Ini

bersifat sementara dan hilang sendirinya.

Mekanisme kerja fototerapi

Efektifitas dari fototerapi tergantung dari penyinaran (energi yang dikeluarkan)

sumber cahaya. Sinar diukur dengan radiometer atau spektroradiometer dalam satuan W/cm2

atau μW/ cm2/nanometer. Diposisikan 20 cm diatas neonatus dengan gelombang 430 -490

nm 36 Baik sinar biru (400-550 nm), sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih (300-800

nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk

diekskresikan melalui empedu atau urine dan tinja.

22

Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi, selain

itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang disebut lumirubin

yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu. Lumirubin merupakan produk

terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin

plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin.

Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa

diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan

melalui urin.

Transfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang

dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan

berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried, 1982). Pada pasien

hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara

mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena

isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan

antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya

hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemianya.

Indikasi transfusi tukar berdasarkan TSB (WHO)

Indikasi transfusi tukar pada BBLR (Choherry, 2004)

23

Indikasi transfusi tukar

1. Gagal dengan intensif fototerapi.

2. Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang ditandai

gejala hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis melengking.

Darah donor untuk transfusi tukar

1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.

3. Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan harus

golongan O dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika darah

dipersiapkan setelah kelahiran, caranya sama, hanya dilakukan cross match dengan

bayinya.

4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau Rhesus

yang samadengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan bayi yang

mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya memakai eritrosit

golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A

dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen

tersensitisasi dan harus di-cross match terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah donor

terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.

7. Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160 ml/kgBB

sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar, terjadi

sekitar sekitar 87%.

1.10 DIAGNOSA BANDING

24

Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang

atau diagnosis lain yang

sudah diketahui

Kemungkinan

diagnosis

Timbul saat lahir hari ke-2

Riwayat ikterus pada bayi

sebelumnya

Riwayat penyakit keluarga:

ikterus, anemia,

pembesaran hati,

pengangkatan limfa,

defisiensi G6PD

Sangat ikterus

Sangat pucat

Hb<13>8 mg/dl pada hari

ke-1 atau

kadar Bilirubin>13 mg/dl

pada hari ke-2

ikterus/kadar bilirubin

cepat

Coombs tes positif

Defisiensi G6PD

Inkompatibilitas golongan

darah ABO atau Rh

Ikterus hemolitik akibat

inkompatibilitas darah

Timbul saat lahir sampai

dengan hari ke2 atau lebih

Riwayat infeksi maternal

Sangat ikterus

Tanda

infeksi/sepsis:

malas minum,

kurang aktif,

tangis lemah,

suhu tubuh

abnormal

Lekositosis, leukopeni,

trombositopenia

Ikterus diduga karena

infeksi berat/sepsis

Timbul pada hari 1

Riwayat ibu hamil

pengguna obat

Ikterus hebat timbul pada

hari ke2

Ensefalopati timbul

pada hari ke 3-7

Ikterus hebat yang tidak

atau terlambat diobati

Ikterus menetap setelah

Ikterus

Sangat ikterus,

kejang, postur

abnormal,

letragi

Bila ada fasilitas: Hasil tes

Coombs positif

Faktor pendukung: Urine

gelap, feses pucat,

Ikterus akibat obat

Ensefalopati

Ikterus berkepenjangan

25

usia 2 minggu

Timbul hari ke2 atau lebih

Bayi berat lahir rendah

Ikterus

berlangsung >

2 minggu pada

bayi cukup

bulan dan > 3

minggu pada

bayi kurang

bulan

Bayi tampak

sehat

peningkatan bilirubin

direks

(Prolonged Ikterus)

Ikterus pada bayi

prematur

1.11 KOMPLIKASI

- Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)

- Kern icterus, adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya

bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak Kern ikterus merupakan suatu

sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy,

gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental

retardasi.

1.12 PROGNOSIS

Konsentrasi yang tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati sawar darah otak

dan penetrasi sel otak, sehingga mengakibatkan disfungsi neuron dan kematian. Mekanisme

bilirubin menginduksi kerusakan sel neuron tidak dapat sepenuhnya dimengerti, namun

konsentrasi tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat mengakibatkan neurotoksik pada sel

membran dan homeostasis kalsium intrasel di neuron dan kegagalan energi mitokondria

dalam sel. Faktor yang menentukan toksisitas bilirubin pada neuron neonatus sangat komplek

dan tidak sepenuhnya dimengerti. Konsentrasi bilirubin yang spesifik pada bayi preterm

dengan risiko kernikterus sampai saat ini tidak teridentifikasi. Insiden kernikterus dalam grup

26

ini tidak diketahui, dan hubungan antara serum bilirubin dengan perkembangan neuron pada

bayi berat badan sangat rendah masih belum jelas.

Ensefalopati

Ensefalopati bilirubin klinis terdiri dari 2 tahap yaitu fase akut dan fase kronis. Pada

fase awal dan intermediate dari fase akut bersifat reversible (sementara) yang masih aman

jika segera diterapi (transfusi ganti dan foto terapi). Fase lanjut dan kronis bersifat

irreversible (menetap).

Ensefalopati bilirubin kronis dapat mengakibatkan gejala klinis refleks tonik leher

(tonic-neck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal,

gangguan visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual

minor dapat terjadi. Angka kematian dapat lebih dari 10 %.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum.

Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.

2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl.

17th edition. Saunders. 596-598.

3. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-

103

4. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP 2011 “Hiperbilirubinemia”

27

5. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. World Health Organization.

Ikterus neonatorum

6. Medscape. Hepatobilier pediactric hyperbilirubinemia

7. Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal

Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

28