ikterus dan hiperbilirubinemia pada neonatus

23
Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus Raja Ahmad Rusdan Musyawir bin Raja Abdul Malek 102012505 E1 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat [email protected] Pendahuluan Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan masa transisi dimana bayi memulai kehidupan di luar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami sampai dari organ fisik maupun fungsi tubuhnya. Mengingat begitu besar perubahan yang terjadi maka tak dapat diingkari begitu banyak juga permasalahan yang timbul karena hal tersebut. Diantaranya adalah perubahan patologis yang memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi. Salah satunya adalah terjadinya ikterus atau yang lebih dikenal dengan bayi kuning. Ikterus neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit, mukosa, dan sklera berubah warna menjadi kuning. Ikterus ini banyak terjadi pada bayi prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Hal ini disebabkan karena organ hati yang berfungsi sebagai pemecah bilirubin belum terbentuk sempurna atau belum berfungsi sempurna layaknya bayi cukup bulan. 1 Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan 1

Upload: rajamusyawir

Post on 27-Dec-2015

127 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ikterus vs hiperbilirubinemia

TRANSCRIPT

Page 1: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus

Raja Ahmad Rusdan Musyawir bin Raja Abdul Malek

102012505

E1

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat

[email protected]

Pendahuluan

Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan masa transisi dimana

bayi memulai kehidupan di luar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami sampai dari

organ fisik maupun fungsi tubuhnya. Mengingat begitu besar perubahan yang terjadi maka tak dapat

diingkari begitu banyak juga permasalahan yang timbul karena hal tersebut. Diantaranya adalah

perubahan patologis yang memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan

bayi. Salah satunya adalah terjadinya ikterus atau yang lebih dikenal dengan bayi kuning. Ikterus

neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh

sehingga kulit, mukosa, dan sklera berubah warna menjadi kuning. Ikterus ini banyak terjadi pada

bayi prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR). Hal ini disebabkan karena organ hati yang

berfungsi sebagai pemecah bilirubin belum terbentuk sempurna atau belum berfungsi sempurna

layaknya bayi cukup bulan.1

Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus,

ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian

ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan

32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat

menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan

ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama

kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkkat lebih dari 5 mg/dL dalam 24 jam. Proses hemolisis

darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta kadar bilirubin direk lebih dari

1 mg/dL juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam

keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus

dapat dihindarkan.

Definisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus adalah

pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar

bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL atau disebut

1

Page 2: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati

bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dapat dikendalikan.1,2

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan

rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2

sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit

pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering

terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab

bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk

memproses eritrosit (sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil

pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk

melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin. Bilirubin ini yang menyebabkan

kuning pada bayi.1-3

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dari orang tua bayi. Pertama, dapatkan identitas

penting bayi penderita ikterus seperti nama, jenis kelamin, alamat, golongan darah, tanggal dan jam

lahir, tanggal dan jam masuk rumah sakit, serta tanggal dan jam pemeriksaan dilakukan. Tanyakan

keluhan utama (biasanya kulit kuning) dan riwayat penyakit sekarang. Penting ditanyakan sejak kapan

timbulnya ikterus dalam hitungan jam setelah lahir karena hal inilah yang membedakan ikterus yang

fisiologis dengan yang patologik serta menentukan penatalaksanaannya. Tanyakan juga keluhan

penyerta misalnya panas badan. Riwayat penyakit dahulu pada pasien praktis tidak ada karena pasien

merupakan neonatus atau bayi baru lahir. Tetapi, harus ditanyakan ke ibunya apakah pernah

mengalami penyakit tertentu selama dan di luar waktu kehamilan. Begitu juga dengan riwayat

keluarga. Tanyakan apakah bayi sudah diebrikan pengobatan untuk keluhannya. Anamnesis ikterus

pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia

pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah, riwayat

transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Di samping itu faktor risiko kehamilan dan

persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko

tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama

hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi

intranatal, dan lain-lain.

Pemeriksaan Fisik

Bayi diperiksa keadaan umumnya, frekuensi nafas, denyut nadi, suhu dan berat badannya.

Kemudian lakukan inspeksi. Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau

beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu

sendiri. Pada bayi dengan peningkatan bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai

2

Page 3: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak

kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit

dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila

penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya memperlihatkan

gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Lakukan juga pemeriksaan lain

yang perlu, misalnya tanda prematuritas, polisitemia, trauma lahir, pucat (hemolisis), petekhie,

hepatosplenomegali, omfalitis, dan hipotiroidism.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap

dan pemeriksaan kadar bilirubin total dan direk. Ini juga sangat tergantung dari waktu timbulnya

ikterus pada bayi yang membedakan apakah ikterus tersebut fisiologik atau patologik. Contoh

pemeriksaan lain untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit tertentu, misalnya, golongan darah

ABO dan Rhesus ibu serta bayi, uji Coombs, hematokrit, uji penyaring sepsis, tes fungsi hati dan

tiroid, dan uji penyaring defisiensi enzim G6PD.

Diagnosis

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual sebagai

berikut.1 Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya

matahari) karena ikterus dapat terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan dapat

tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk

mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan

umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning (Tabel 1).

Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus.

Usia Kuning terlihat pada: Tingkat keparahan ikterus

Hari 1 Bagian tubuh manapun*

Hari 2 Lengan dan tungkai* Berat

Hari 3 dan seterusnya Tangan dan kaki

*bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai,

tangan, dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan

terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk

memulai terapi sinar.

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum

serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan

3

Page 4: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

dalam pelaksanaan pemeriksaan bilirubin serum adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang

dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total.

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau

usia bayi 2 minggu.3 Kramer telah membuat suatu hubungan antara kadar bilirubin total serum

dengan luas daerah ikterus pada bayi baru lahir, yang selama ini banyak dipakai sebagai acuan

penilaian derajat ikterus (Tabel 2 dan Gambar 1).

Tabel 2. Penilaian Derajat Ikterus melalui Hubungan Kadar Bilirubin dengan Daerah Ikterus menurut

Kramer.3

Daerah yang ikterus Penjelasan Kadar bilirubin (mg/dL)

Prematur Aterm

1 Kepala dan leher 4-8 4-8

2 Dada sampai pusat 5-12 5-12

3 Pusat bagian bawah

sampai lutut

7-15 8-16

4 Lutut sampai pergelangan

kaki dan bahu sampai

pergelangan tangan

9-18 11-18

5 Kaki dan tangan termasuk

telapak kaki dan telapak

tangan

> 10 > 15

Gambar 1. Pembagian Daerah Tubuh untuk Penilaian Derajat Ikterus menurut Kramer.3

4

Page 5: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

Diagnosis Banding

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang

banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan

penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah menggunakan saat timbulnya

ikterus seperti Tabel 3.1

Tabel 3. Diagnosis Banding Ikterus Neonatorum menurut Saat Timbulnya.

Saat timbulnya ikterus Diagnosis kemungkinan Pemeriksaan anjuran laboratorium

24 jam pertama - Inkompatibilitas darah Rh,

ABO, atau golongan lain- Infeksi intrauterin (virus,

TORCH,dan bakteri)- Defisiensi enzim G6PD

- kadar bilirubin serum berkala

- Darah perifer lengkap (DPL)

- Golongan darah ibu dan bayi

- Uji Coombs

- Pemeriksaan penyaring

defisiensi enzim G6PD, biakan

darah atau biopsi hepar bila

perlu

24 - 72 jam sesudah lahir - Ikterus fisiologis.- Inkompatibilitas darah ABO

atau Rh atau golongan lain.- Defisiensi enzim G6PD- Polisitemia- Hemolisis perdarahan tertutup

(perdarahan subaponeurosis,

perdarahan hepar,

subkapsuler, dan lain-lain)- Hipoksia- Sferositosis, eliptositosis, dan

lain-lain- Dehidrasi asidosis- Defisiensi enzim eritrosit

lainnya.

- Pemeriksaan DPL

- Kadar bilirubin serum berkala

- Pemeriksaan penyaring enzim

G6PD

Sesudah 72 jam pertama sampai - Sepsis - Pemeriksaan DPL

5

Page 6: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

akhir minggu pertama - Dehidrasi asidosis- Defisiensi enzim G6PD- Pengaruh obat- Sindrom Crigler-Najjar- Sindrom Gilbert

- Biakan darah

- Pemeriksaan penyaring enzim

G6PD

Akhir minggu pertama dan

selanjutnya

- Obstruksi- Hipotiroidisme- 'Breast milk jaundice'- Infeksi- Hepatitis neonatal- Galaktosemia

- Pemeriksaan bilirubin total

(indirek dan direk) berkala

- Pemeriksaan DPL

- Pemeriksaan penyaring

G6PD

- Biakan darah, biopsi

hepar bila ada indikasi

- Pemeriksaan lainnya

yang berkaitan dengan

kemungkinan

penyebab

Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi

dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi

berkembang menjadi 'kernicterus'.

Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis ialah seperti berikut.1,2

1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.

2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10

mg/dL pada neonatus kurang bulan.

3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin melebihi 5 mg/dL per hari.

4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama (14 hari pertama).

5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan

patologis lain yang telah diektahui.

6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dL.

Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang paling mencolok adalah pewarnaan kuning pada kulit bayi serta sklera dan

mukosa. Ikterus dapat berbentuk fisiologik atau patologik. Perbedaan penting adalah waktu timbulnya

6

Page 7: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

ikterus tersebut. Pada ikterus fisiologis, penampakan kuning pada kulit bayi timbul setelah 24 jam

sesudah lahir sedangkan pada ikterus patologik penampakan kuning pada kulit bayi timbul dalam 24

jam pertama kelahiran. Ikterus fisiologik hilang dalam 14 hari tanpa pengobatan sedangkan ikterus

patologik berlangsung lebih dari 14 hari. Warna urin bayi yang menderita ikterus patologik kuning tua

dan warna fesesnya dempul.1-3

Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian

besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas

atau eritropoiesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang

menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan

menjadi bilirubin indirek. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai

sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar

darah otak. Bilirubin indirek tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di

dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan

masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin

(protein-Y), protein-Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati,

tempat terjadinya proses konjugasi.1 Proses ini merupakan proses 2 arah, tergantung dari konsentrasi

dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk

hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin

mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi

ligandin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.

Proses ini timbul berkat adanya enzim glukuronil transferase yang kemudian menghasilkan

bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat

diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus

hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja

sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian dihidrolisis menjadi bilirubin indirek oleh bakteri yang

mempunyai enzim β-glukoronidase. Selanjutnya bilirubin indirek ini direabsorpsi oleh mukosa usus.

Maka, terbentuklah siklus enterohepatik.1

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari

pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses

tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek

(80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-

3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian menurun kembali pada hari ke 10-14. Kadar

bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dL pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dL

pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian kadar bilirubin masih dianggap nirmal dan

karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu

7

Page 8: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terjadi akumulasi dalam darah. Peningkatan kadar

bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel

otak yang akan mengakibatkan gejala sisa di hari kemudian.3,4

Karena itu bayi penderita ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologik apabila telah dibuktikan

bukan suatu keadaan patologik. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada konsentrasi tertentu yang

disebut hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk mengetahui penyebabnya,

sehingga pengobatan pun dapat dilaksanakan dini. Kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek

patologik ini disebut hiperbilirubinemia. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek

patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi. Bayi dinyatakan menderita hiperbilirubinemia

apabila kadar bilirubin total mencapai 12 mg/dL atau lebih pada bayi cukup bulan, sedangkan pada

bayi kurang bulan bila kadarnya lebih dari 10 mg/dL.

Bagan 1. Metabolisme bilirubin.3

Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering

ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan.

Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya

umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bikirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan

sirkulasi enterohepatik.

8

Page 9: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin

tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar ligandin berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-

Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan

lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi

hepar (defisiensi enzim glukuronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya

penderita hepatitis neonatal atau sumbatan sakuran empedu intra/ekstrahepatik.

Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas

ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tetapi mudah larut

dalam lemak. Sifat ini akan memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin

tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau

ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut

mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 29 mg/dL. Mudah tidaknya bilirubin

melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung daru tingginya kadar bilirubin tetapi

tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah

otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia,

hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1

Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh

beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi seperti berikut.1,2

A. Produksi yang berlebihan

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Hal ini melebihi

kemampuan bayi untuk mengeluarkannya. Penyebab yang tersering ditemukan di Indonesia adalah

hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD.

Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup (hematoma sefal, perdarahan

subaponeurotik) atau inkompatibilitas golongan darah Rhesus. Infeksi juga memegang peranan

penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan

gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah

hipoksia, anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia.

B. Gangguan dalam proses 'uptake' dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi

bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim

glukuronil transferase (sindrom Crigler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein-Y atau

ligandin dalam hepar yang berperanan penting dalam 'uptake' bilirubin ke sel hepar.

9

Page 10: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

C. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin

dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin

menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah

melekat ke sel otak.

D. Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar (intrahepatik) dan atau di luar hepar

(ekstrahepatik). Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam

hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Epidemiologi

Di Indonesia, didapatkan data ikkterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.

Selama tahun 2003, prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5

mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan.

Sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8%

mempunyai kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3, dan 5. Dengan

pemeriksaan kadar bilirubin setipa hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82%

dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan

hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian

neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan bahwa insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%,

78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait

hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan

sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.4

Penatalaksanaan

1. Ikterus fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif,

minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya ikterus sangat kecil.

Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut.4

- Minum air susu ibu (ASI) dini dan sering.

- Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO.

- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, dilakukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat

(terutama bila tampak kuning).

10

Page 11: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

Bilirubin total serum 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi

hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang

dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tatalaksana awal ikterus neonatorum menurut WHO:

a. Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.

b. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir

sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis.

c. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan

golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:

i. Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan

terapi sinar.

ii. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi

sinar, lakukan terapi sinar.

iii. Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab

hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD

bila memungkinkan.

2. Mengatasi Hiperbilirubinemia

a. Mempercepat proses konjugasi

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar

kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris

yaitu hiperbilirubinemia, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar

bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat

berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan

pemberian obat seperti fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai 'enzyme inducer' sehingga konjugasi

dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam

baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-

kira 2 hari sebelum melahirkan.

b. Menghambat metabolisme bilirubin

Pemberian substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi dapat menghambat

metabolisme bilirubin (plasma atau albumin). Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat

bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15 - 20 ml/kgbb. Albumin

biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat

keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah

dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber

energi.

11

Page 12: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

c. Dekomposisi blirubin

Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi atau terapi sinar. Walaupun fototerapi

dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar

pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar.1

d. Transfusi tukar

Pada umumnya transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut.

- Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg/dL.

- Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3 - 1 mg/dL/jam.

- Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.

- Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg/dL dan uji Coombs direk positif.

Sesudah transfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti asfiksia

perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum kurang atau sama

dengan 5 g/dL, berat badan lahir kurang dari 1.500 g dan tanda-tanda gangguan saraf pusat, penderita

harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.1

Tabel 4. Skema Pelaksanaan Ikterus Menurut Waktu Timbulnya dan Kadar Bilirubin.1

Bilirubin

serum

(mg/dL)

<24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam

<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500

<5 Tidak perlu terapi-observasi

5-9 Terapi sinar bila hemolisis

10-14 Transfusi tukar bila

hemolisis

Terapi sinar

15-19 Transfusi tukar Terapi sinar

>20 Transfusi tukar

e. Terapi suportif

Terapi suportif, antara lain:

a. Minum ASI atau pemberian ASI peras.

b. infus cairan dnegan dosis rumatan.

3. Monitoring

Monitoring yang dilakukan antara lain seperti berikut.2

12

Page 13: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

i. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat

digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi

mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

ii. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau

bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Pencegahan

Sebagai pencegahan primer, ibu dianjurkan untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12

kali/hari untuk beberapa hari pertama. Tidak dianjurkan untuk memberikan cairan tambahan rutin

seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi. Sebagai

pencegahan sekunder, wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan Rhesus serta

penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa. Selain itu, petugas medik harus

memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadapa timbulnya ikterus yang harus dinilai

saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.1,2

Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan

bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus,

nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa

mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku,

dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai

ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.1

Kernikterus adalah komplikasi terberat hiperbilirubinemia. Oleh karena itu terhadap bayi yang

menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut.1

A. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan

B. Penilaian berkala pendengaran

C. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa.

Prognosis

Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar

darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris.

Grjala kernikterus ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa

lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan

gangguan minum, letargi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan

opistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran

dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada

13

Page 14: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisik

dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.1-3

Kesimpulan

Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Bila

ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dL dan untuk selanjutnya

menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis sedangkan ikterus patologis yaitu bila

bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dL/24 jam pertama kehidupan

yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak didiagnosa dan ditangani secara dini. Gejala

klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang menurun dan hilangnya refleks

moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim ditemukan tanda-tanda kernikterus jarang timbul pada

hari pertama terjadinya kernikterus. Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk

mencegah agar konsentrasi bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan

neurotoksitas, pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar. Prognosis

ikterus tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.

14

Page 15: Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

Daftar Pustaka

1. Kliegman RM, Behrman RE & Jenson BH Nelson textbook of pediatrics, 6th ed.

Philadelphia: Elsevier Science Health Science Division; 2007, 592-9.

2. Aminullah A, Ikterus dan hiperbilirubinemia pada neonatus. In AH Markum, S Ismael, H

Alatas, A Akib, A Firmansyah & S Sastroasmoro editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak

Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. pp.313-7.

3. Steffensrud S. Hyperbilirubinemia in term and near-term infants: Physiology. Newborn and

Infant Nursing Reviews [serial on the Internet]. 2004 [cited 2014 Jun 10].;4(4) Available

from: http://www.medscape.com/viewarticle/497028_2

4. Murray RK, Porphyrins & bile pigments. In RK Murray, DA Bender, KM Botham, PJ

Kennelly, VW Rodwell & PA Weil editors. Harper's Illustrated Biochemistry 28th Edition.

New York: McGraw Hill; 2009. pp.278-83.

15