fermentasi nata de coco_rosabella elviana_12.70.0019_e3

18
22 FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama: Rosabella Elviana NIM: 2!"#!##$ Kelom%o& : E' PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNI(ERSITAS KATOLIK SOEGI)APRANATA SEMARANG A*a+a II

Upload: james-gomez

Post on 04-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Nata de coco merupakan selulosa hasil fermentasi air kelapa dengan melibatkan Acetobacter xylinum.

TRANSCRIPT

22

fermentaAcara IIsi substrat cairfermentasi nata de coco

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:Nama: Rosabella ElvianaNIM: 12.70.0019Kelompok : E3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

1

201517

1. hasil pengamatan

1.1. Pengamatan Lapisan Nata de cocoHasil uji pengamatan lapisan nata de coco yang terbentuk selama pembuatan nata de coco pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 dapat diketahui pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de cocoKel.Tinggi Media Awal (cm)Ketebalan (cm)Presentase Lapisan (%)

H0H7H14H0H7H14

E12,800,40,4014,2914,29

E22,600,50,4019,2315,38

E31,300,50,8038,4661,54

E4300,40,6013,3320

E52,500,30,301212

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada H7 presentase lapisan nata tertinggi didapati pada kelompok E3 dengan 38,46% sedangkan terendah pada kelompok E5 yaitu 12%. Pada H14 dapat diketahui persentase tertinggi lapisan nata, yaitu pada kelompok E3 dengan 61,54%, sedangkan presentase terendah pada kelompok E5 dengan 12%. Terjadi kesamaan ketebalan nata pada H7 dan H14, yaitu pada kelompok E1dengan 0,4 cm dan E5 dengan 0,3 cm.

1.2. Pengamatan Sensoris Nata de cocoPengujian sensori terhadap nata de coco yang dihasilkan dapat diketahui pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensoris Nata de cocoKel.AromaWarnaTeksturRasa

E1++--

E2++--

E3++++++++-

E4++--

E5++--

Keterangan:Aroma Warna TeksturRasa++++ : tidak asam++++ : putih ++++ : sangat kenyal++++ : sangat manis+++ : agak asam+++ : putih agak bening +++ : kenyal+++ : manis++ : asam++ : putih bening ++ : agak kenyal++ : agak manis+ : sangat asam+ : kuning + : tidak kenyal+ : tidak manis

Pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa pada pengujian rasa pada setiap kelompok tidak dapat diuji, sedangkan pengujian tekstur nata de coco hanya dapat dilakukan pada kelompok E3 yaitu kenyal. Pada uji warna, hasil yang diperoleh pada setiap kelompok sama yaitu nata de coco memiliki warna yang kuning. Pada uji aroma nata de coco, dapat diketahui bahwa semua kelompok didapati aroma yang sangat asam, kecuali pada kelompok E3 dengan aroma yang tidak asam.10

pembahasan

Air kelapa merupakan bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan nata de coco. Air kelapa seringkali dibuang karena biasanya buah atau daging kelapanya saja yang manfaatkan. Sebenarnya, air kelapa mengandung banyak nutrisi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Apabila air kelapa dapat dimanfaatkan dengan penggunaan mikroorganisme yang sesuai, salah satu produk yang dihasilkan dapat berupa nata de coco (Astawan & Astawan, 1991).

Menurut Widayati et al., (2002), air kelapa dapat dibuat menjadi substrat dan sumber isolat bakteri dalam proses fermentasi karena banyak mengandung gula, protein, asam-asam amino, dan bermacam-macam vitamin serta mineral. Kandungan gulanya berkisar antara 7 10% yang tersusun atas polisakarida (dekstrosa) yang sangat berpotensi sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organik. Onifade (2003) juga menambahkan, air kelapa mengandung beberapa nutrisi seperti 0,14% protein, 1,5% lemak, 4,6% karbohidrat, 1,06% abu, dan sisanya air. Gula yang tersedia adalah sukrosa, dekstrosa, dan fruktosa. Selain itu, di dalam air kelapa juga terdapat vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat, asam folat, asam pantotenat, riboflavin, dan biotin.

Menurut Santosa et al., (2012) nata de coco adalah salah satu produk fermentasi berupa selulosa yang dihasilkan dari air kelapa dengan melibatkan mikroba Acetobacter xylinum. Menurut Anastasia et al., (2008), Nata berarti selulosa yang berbentuk padat, berwarna putih transparan, dan memiliki tekstur yang kenyal serta kuat, dengan kandungan air sekitar 98%; sedangkan Coco berarti buah kelapa. Oleh karena itu, selulosa yang dihasilkan dari air buah kelapa dinamakan sebagai nata de coco. Meskipun nutrisi dalam nata de coco kecil karena hanya terdiri dari air, tetapi serat-serat kasar yang dihasilkan dari selulosa ini (dietary fiber) sangat diperlukan oleh tubuh dalam proses fisiologi, terutama daalam sistem pencernaan (Astawan & Astawan, 1991).

Dalam praktikum pembuatan nata de coco ini, proses pembuatan dibagi menjadi 2 tahap utama, yaitu pembuatan media dan proses fermentasi. Media yang digunakan dalam praktikum ini adalah air kelapa. Sesuai dengan teori Ofinade (2003), nutrisi yang ada pada air kelapa seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa, dan vitamin B kompleks sangat mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum sebagai substrat di saat fermentasi berlangsung. Pembuatan media fermentasi bertujuan untuk memberi makanan, menunjang kondisi lingkungan, dan agar diperoleh biakan murni dalam jumlah besar (Volk & Wheeler, 1993). Hal pertama yang dilakukan dalam pembuatan media ini adalah dilakukan penyaringan air kelapa sebanyak 1200 ml. Hal ini sesuai dengan teori Volk & Wheeler (1993), dimana proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran yang tidak terlarut sehingga air kelapa bebas dari kotoran. Setelah disaring, air kelapa direbus hingga mendidih, dimana hal ini bertujuan untuk membunuh semua mikroorganisme yang terkandung pada air kelapa sehingga Acetobacter xylinum yang nantinya akan ditumbuhkan pada media tidak mengalami gangguan pertumbuhan karena hadirnya mikroorganisme kontaminan (Tortora et al., 1995).

Proses selanjutnya adalah pemberian gula pasir ke sebanyak 10% dari total air kelapa yaitu 120 gram ke dalam air kelapa yang telah direbus, lalu diaduk hingga larut. Menurut Hayati (2003), penambahan gula dilakukan untuk memperoleh karakteristik nata de coco yang diinginkan dari segi penampakan, tekstur, dan rasa. Selain itu, gula juga berfungsi untuk meningkatkan nilai nutrisi Nata de coco dan juga sebagai pengawet. Namun, menurut Awang (1991) fungsi utama gula selama proses fermentasi adalah sebagai sumber karbon yang digunakan untuk menunjang pertumbuhan bakteri. Dalam praktikum ini, gula yang digunakan adalah gula pasir, dimana hal ini sesuai dengan teori Pambayun (2002) bahwa sukrosa dalam gula pasir merupakan sumber karbon yang sering digunakan dalam proses fermentasi. Jumlah gula yang ditambahkan dalam praktikum ini sesuai dengan teori Sunarso (1982), dimana, konsentrasi gula sebesar 10% dalam proses pembuatan nata de coco akan dapat diperoleh serat-serat selulosa yang tebal, liat, dan kokoh. Konsentrasi gula yang sebaiknya tidak terlalu banyak karena bakteri Acetobacter xylinum tidak mampu memanfaatkan seluruh gula tersebut secara optimal sehingga produk akhir nata de coco yang dihasilkan menjadi terlalu manis.

Setelah penambahan gula, tahap selanjutnya adalah penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dari total air kelapa yaitu 6 gram dan diaduk sampai larut. Menurut Awang (1991), syarat medium yang akan digunakan dalam proses fermentasi minimal harus mengandung unsur karbon dan nitrogen. Oleh karena itu, ammonium sulfat tersebut berfungsi sebagai sumber nitrogen dalam media. Pambayun (2002) menambahkan bahwa nitrogen juga digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Selain dari ammonium sulfat, sumber nitrogen lain adalah ammonium fosfat (ZA) dan urea.

Setelah ammonium sulfat larut, kompor dimatikan kemudian dilakukan penambahan asam cuka glasial di dalam lemari asam sampai tercapai kondisi media dengan pH 4-5. Menurut Anastasia et al., (2008), asam cuka ini ditambahkan agar sebagai acidulan dalam media pertumbuhan Acetobacter xylinum agar tercipta kondisi pH medium yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal yang dilakukan ini sesuai dengan teori Pambayun (2002), yang menyatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum tumbuh dalam kondisi asam sekitar pH 4,3 dan tidak dapat tumbuh pada kondisi basa/alkali.

Setelah pengkondisian pH pada media, selanjutnya dilakukan pemanasan kembali media hingga agak mendidih dan semua campuran terlarut. Setelah itu, media disaring dengan menggunakan kain saring. Sesuai dengan teori Pato & Dwiloted (1994), proses pemasakan kembali dilakukan untuk membebaskan media pertumbuhan Acetobacter xylinum dari mikroorganisme lain. Hal ini perlu dilakukan karena selama proses penambahan gula, ammonium sulfat, dan asam cuka glasial tidak dilakukan secara aseptis, sehingga kontaminasi yang akan menggangu aktivitas Acetobacter xylinum dalam membentuk nata (selulosa) dapat dicegah. Proses penyaringan kembali juga dilakukan untuk memurnikan media agar tidak mengandung cemaran fisik seperti kotoran, pasir, dan padatan-padatan lain yang mungkin masuk saat penambahan gula atau ammonium sulfat.

Pada tahap kedua, yaitu fermentasi diawali dengan mempersiapkan wadah plastik bersih sebagai tempat fermentasi nata de coco. Masing-masing wadah diisi dengan 200 ml media yang telah dipersiapkan sebelumnya pada tahap pembuatan media. Setelah media tidak terlalu panas, biang nata (starter) ditambahkan ke dalam media sebanyak 10% dari media (20 ml) secara aseptis. Kemudian, media diaduk secara perlahan agar seluruh starter tercampur secara homogen di dalam media. Lalu ditutup dengan kertas coklat untuk diinkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang. Banyaknya starter yang ditambahkan sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993) yang mengatakan bahwa jumlah inokulum yang ditambahkan pada pembuatan nata berkisar antara 5-10%.

Selama proses inkubasi, media tumbuh harus dijaga agar tidak terkena goncangan dan terhindar dari paparan cahaya matahari oleh karena itu wadah fermentasi ditutup dan dibungkus dengan kertas coklat. Pengamatan hari ke-0, media diukur tingginya. Kemudian pada hari ke-7 dan hari ke-14 dilakukan pengukuran tebal lapisan nata yang terbentuk. Ketebalan lapisan yang terbentuk diukur dan kemudian dihitung presentasenya.

Menurut Pambayun (2002), penutupan dengan kertas coklat ini bertujuan untuk melindungi nata dari kontaminasi luar atau lingkungan sekitar. Kertas coklat merupakan kertas yang sangat tipis dan memiliki pori-pori yang besar sehingga masih memungkinkan adanya udara (oksigen) untuk masuk ke dalam wadah fermentasi. Hal ini sesuai dengan teori Budiyanto (2002) yang mengatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat obligat anaerob. Menurut Kouda et al (1997), ketersediaan oksigen akan berpengaruh terhadap produksi selulosa sebagai hasil metabolit sekunder dari Acetobacter xylinum. Proses inkubasi dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pada bakteri Acetobacter xylinum untuk beradaptasi, beraktivitas, dan memproduksi selulosa (nata) pada media air kelapa yang mengandung gula (Rahayu et al., 1993). Lama fermentasi dan suhu inkubasi yang dibutuhkan untuk dalam fermentasi nata de coco ini sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993), yang mengatakan bahwa untuk memperoleh lapisan nata dengan ketebalan yang optimum, lama fermentasi yang dibutuhkan sekitar 10-14 hari pada suhu 28-32C.

Selama proses inkubasi, penempatan media juga dijaga agar jangan sampai terkena goncangan. Hal ini dikarenakan gerakan atau goncangan selama proses fermentasi nata de coco akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk dan menyebabkan terbentuknya lapian nata yang baru yang strukturnya terpisah dari nata yang sudah terbentuk sebelumnya. Paparan cahaya matahari secara langsung dan panas harus dihindarkan terkena media karena paparan panas akan menyebabkan pertumbuhan Acetobacter xylinum terhambat oleh karena suhu yang tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhannya (Budiyanto, 2002).

Gambar 1. Inokulasi biang nata dan pembungkusan dengan kertas coklatPada praktikum ini, pembentukan nata berada pada permukaan atas media cair. Hal ini sesuai dengan teori Palungkun (1996) bahwa bakteri Acetobacter xylinum menghasilkan CO2 selama proses fermentasi yang memiliki kecenderungan untuk melekat pada jaringan selulosa yang juga dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum sehingga jaringan selulosa terangkat ke permukaan

Pada hari ke-0 belum terbentuk lapisan nata karena memang proses inkubasi baru dimulai. Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada H7 semua kelompok menghasilkan lapisan nata dengan presentase lapisan nata tertinggi didapati pada kelompok E3 dengan 38,46% sedangkan terendah pada kelompok E5 yaitu 12%. Hal ini sesuai dengan teori Rahman (1992) yang mengatakan bahwa pembentukan lapisan nata menunjukkan adanya aktivitas dari Acetobacter xylinum pada media air kelapa. Pada H14 diketahui persentase tertinggi lapisan nata, pada kelompok E3 dengan 61,54%, sedangkan presentase terendah pada kelompok E5 dengan 12%. Nata yang dihasilkan pada E3 memiliki persentase ketebalan nata tertinggi karena permukaan media yang lebar dengan ketinggian media yang paling rendah dibanding kelompok lain sehingga aktivitas Acetobacter xylinum menjadi lebih tinggi daripada starter pada kelompok lain.

Pada hasil juga didapati kesamaan ketebalan nata pada H7 dan H14, yaitu pada kelompok E1 dan E5. Selain itu, pada kelompok E2 didapati ketebalan nata menurun dari 0,5 pada H7 menjadi 0,4 pada H14. Penurunan ini tidak sesuai Padahal seharusnya pada hari ke-14, lapisan nata akan semakin tebal. Hal ini tidak sesuai dengan teori Rahman (1992), bahwa aktivitas Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan yang berwarna putih yang lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor kebersihan alat seperti wadah fermentasi dan proses inokulasi kurang dilakukan dengan aseptis sehingga memungkinkan mikroba lain mengkontaminasi dan mengganggu jalannya fermentasi. Kondisi aseptis perlu diterapkan dalam pembuatan nata de coco karena penggunakan sukrosa dalam jumlah besar dapat menjadi media bagi pertumbuhan yeast yang mengkontaminasi (Jagannath et al., 2008).

Gambar 2. Hasil nata de coco E3

Pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa tidak ada pengujian rasa pada setiap kelompok, sedangkan pengujian tekstur nata de coco hanya dapat dilakukan pada kelompok E3 yaitu kenyal. Menurut Anastasia et al. (2008), kekenyalan nata ditentukan oleh ketebalan nata yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan hanya pada E3 didapati lapisan nata yang paling besar presentase lapisannya dan terlihat padat. Pada uji aroma nata de coco, dapat diketahui bahwa semua kelompok didapati aroma yang sangat asam, kecuali pada kelompok E3 dengan aroma yang tidak asam. Menurut Halib et al., (2012), aroma asam yang ditimbulkan adalah berasal dari produksi asam dari gula oleh bakteri Acetobacter xylinum. Selain itu, asam asetat glasial yang ditambahkan pada saat pembuatan media juga mempengaruhi rasa asam pada nata de coco.

Pada uji warna, hasil yang diperoleh pada setiap kelompok sama yaitu nata de coco memiliki warna yang kuning. Hal ini tidak sesuai dengan teori Rahman (1992), dimana nata yang baik memiliki warna yang putih namun agak keruh. Warna putih disebabkan karena terjadinya degradasi atau perombakan substrat oleh Acetobacter xylinum, sedangkan kekeruhan disebabkan oleh reaksi antara gula dan nitrogen yang terlarut di dalam cairan. Warna kuning ini bisa disebabkan oleh penambahan gula pasir yang warnanya dari mula tidak putih bening, namun kekuningan sehingga media dan nata yang dihasilkan berwarna kekuningan.

Pada jurnal yang ditulis oleh Jagannath et al., (2008) diteliti mengenai pengaruh konsentrasi pH, sukrosa, dan ammonium sulfat pada pembuatan nata de coco. Sesuai dengan yang dilakukan pada praktikum, pada penelitian ini untuk mendapatkan ketebalan lapisan nata yang maksimal, media fermentasi dikondisikan pada pH 4.0 dengan sukrosa 10%, serta ammonium sulfat sebesar 0,5%. Pada kondisi tersebut, kualitas nata de coco yang dihasilkan adalah memiliki permukaan yang lembut dan tekstur yang kenyal. Oleh karena itu, faktor penting yang mempengaruhi proses fermentasi nata de coco adalah sukrosa sebagai sumber karbon, ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen, dan pH media.

Pada jurnal yang ditulis oleh Kamarudin et al., (2013), dijelaskan mengenai pembuatan media dengan formulasi yang berbeda untuk menghasilkan selulosa yang diproduksi oleh Acetobacter xylinum. Ketiganya media yang diuji menggunakan bahan baku yang sama yaitu dari air kelapa, namun formulasi yang dibuat berbeda-beda. Media tersebut adalah CWHSM (Coconut water in Hestrin-Schramm medium), CM (Complex medium), dan HSM (Hestrin-Schramm medium), dengan masing-masing komposisinya yang berbeda. Fermentasi dilakukan selama 12 hari dengan kondisi yang sama seperti yang dilakukan pada praktikum ini. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan berat kering, kemampuan penangkapan sel (cell entrapped), pH media, dan tingkat produktivitas nata yang dihasilkan. Dari hasil fermentasi, diperoleh bahwa media CWHSM paling cocok untuk memproduksi nata de coco karena tingkat produktivitasnya tinggi yaitu sampai dengan 0.044 gram per liter per hari.

Menurut jurnal yang ditulis oleh Seumahu et al., (2005), pengukuran dinamika populasi bakteri Acetobacter xylinum dilakukan dengan isolasi DNA, amplifikasi, dan kloning Gen 16S rRNA. Metode yang digunakan adalah metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Pengujian dilakukan terhadap 2 jenis nata yaitu nata yang berkualitas baik dan nata yang berkualitas buruk. Pada kedua media, didapati mengandung bakteri yang merugikan, dimana bakteri yang merugikan tersebut akan mengganggu aktivitas Acetobacter. Sama halnya dengan yang dilakukan pada praktikum, fermentasi yang pada awalnya menggunakan kultur murni Acetobacter xylinum, tetapi pada prosesnya terjadi kontaminasi dengan mikroorganisme lain sehingga terjadi kegagalan pembentukan nata dengan bentuk dan tebal yang diinginkan.

Selain dapat dihasilkan dari air kelapa (coco), nata juga dapat dihasilkan dari air jagung yang produknya disebut dengan nata de corn. Pada jurnal yang ditulis oleh Rizal et al., (2013) mengenai pengaruh penambahan gula, asam asetat, dan waktu fermentasi terhadap kualitas nata de corn, terbukti bahwa jumlah penambahan gula dan asam asetat berbeda dengan pembuatan nata de coco dalam praktikum ini. Pada media air jagung yang digunakan untuk kondisi optimum pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pada pH 5 5.5, dengan penambahan gula sebanyak 4,5%, dan waktu fermentasi yang sama yaitu selama 14 hari. Dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan Acetobacter xylinum pada air kelapa, pH 5 pada air jagung kondisinya sedikit lebih basa dan penambahan gula lebih sedikit yaitu hanya membutuhkan 4,5%. Tetapi, waktu yang diperlukan adalah sama yaitu 14 hari.

Menurut jurnal yang ditulis oleh Afreen dan Lokeshappa (2014), Selulosa bacterial adalah selulosa yang secara biologis dihasilkan oleh beberapa spesies dari Acetobacter karena sifat uniknya. Acetobacter xylinum yang dapat menghasilkan selulosa bacterial atau dalam praktikum ini disebut nata dari bermacam-macam substrat termasuk gula, limbah buah, dan sayur. Selulosa yang dihasilkan Acetobacter xylinum ini merupakan tipe baru biopolymer yang akhir-akhir ini memiliki banyak aplikasi di sector industri, dapat didegradasi, dan tidak beracun bagi lingkungan. Pada penelitian ini, dilakukan produksi selulosa bacterial dari air kelapa, limbah sari buah papaya, dan limbah sari buah muskmelon. Pada hari ke-7 fermentasi, hasil terbesar adalah pada sari buah papaya tanpa penambahan gula, diikuti oleh air kelapa, dan yang terendah pada sari buah muskmelon. Produksi selulosa meningkat dengan penggunaan sumber karbon pada media, oleh karena itu hasil sangat dipengaruhi oleh media yang digunakan.

kesimpulan

Tahap fermentasi nata dibagi menjadi proses pembuatan media dan proses fermentasi. Nata de coco adalah produk fermentasi berupa selulosa yang berasal dari air kelapa dengan melibatkan mikroba Acetobacter xylinum. Pada tahap pembuatan media nata de coco, media air kelapa harus menyediakan substrat yang cukup seperti sumber karbon berupa gula, sumber nitrogen berupa ammonium sulfat, serta mineral dan vitamin sebagai nutrisi tambahan bagi Acetobacter xylinum. Faktor yang mempengaruhi fermentasi nata adalah gula, sumber nitrogen, dan pH media fermentasi, serta faktor lingkungan seperti temperature dan lama fermentasi. Kondisi optimum media air kelapa adalah pada konsentrasi gula 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4-5. Jumlah inokulum yang ditambahkan pada pembuatan nata berkisar antara 5-10%. Inkubasi dilakukan selama 14 hari pada suhu 28-32C, tanpa goncangan, dan terhindar dari paparan cahaya matahari. Aktivitas Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan yang berwarna putih yang lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat pada akhir fermentasi. Proses pembuatan nata de coco memerlukan perlakuan aseptis untuk menghindari gangguan aktivitas Acetobacter xylinum dari mikroba kontaminan.

Semarang, 10 Juli 2015

Asisten Dosen:Wulan AprilianaNies MayangsariPraktikan

Rosabella Elviana12.70.0019daftar pustaka

Afreen S.S. dan Lokeshappa B. 2014. Production of Bacterial Cellulose from Acetobacter Xylinum using Fruits Wastes as Substrate. The International Journal Of Science & Technoledge, 2(8):57-64

Anastasia; Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Budiyanto, M.A.K., (2002), Dasar-dasar Ilmu Gizi, Malang: UMM Press.

Halib, N; M.C.I.M. Amin; dan I. Achmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Journal of Sains Malaysia 41 (2) (2012): 205 211.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; dan S.S. Manjunatha. (2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World Journal Microbiology Biotechnology (2008) 24: 2593 2599.

Kamarudin, S; M. Sahaid. K.; M. Sobri, T.;W. Mochtar, W.Y.; D. Radiah, A.B.; dan H. Norhasliza. (2013). Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter xylinum (0416). Journal of Science and Technology. 21 (1): 29 36.

Kouda T, Naritomi T, Yano H, dan Yoshinaga F. (1997). Effects of oxygen and carbon dioxide pressures on bacterial cellulose production by Acetobacter in aerated and agitated culture. Journal of Fermentation and Bioengineering. 84: 124-127.

Onifade. A.K. Jeff-Agboola, Y.A. 2003. Effect of Fungal Infectionon Proximate nutrient Composition of Coconut (Cocos Nucifera Linn) fruit. Food, Agriculture & Environment. Volume 1(2).

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. dan Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti dan M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Rizal, H.M.; D.M. Pandiangan; dan A. Saleh. (2013). Pengaruh Penambahan Gula, Asam Asetat, dan Waktu Fermentasi terhadap Kualitas Nata de Corn. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 19. Halaman 34 39.

Santosa, B; Kgs. Ahmadi; dan D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1, No. 1, pp. 6 11.

Seumahu, C.A.; A. Suwanto; dan M.T. Suhartono. (2005). Dinamika Populasi Acetobacter selama Proses Fermentasi Nata de Coco. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Vol. 10, No. 2, pp. 75 78.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.

lampiran

5.1. PerhitunganRumus:

Persentase Lapisan Nata =

Kelompok E1

H7 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %

Kelompok E2

H7 Persentase Lapisan Nata = = 19,23 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 15,38 %

Kelompok E3

H7 Persentase Lapisan Nata = = 38,46 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 61,54 %

Kelompok E4

H7 Persentase Lapisan Nata = = 13,33%

H14 Persentase Lapisan Nata = = 20%

Kelompok E5

H7 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 14,29 %

5.2. Laporan Sementara5.3. Jurnal