fermentasi substrat cair fermentasi nata de coco_melita mulyani_12.70.0080. b3

Upload: james-gomez

Post on 14-Jan-2016

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pada praktikum Teknologi Fermentasi ini dilakukan pembuatan nata de coco. Nata de coco merupakan salah satu produk fermentasi yang terbuat dari air kelapa yang memanfaatkan mikroorganisme Acetobacter xylinum. Nata de coco seharusnya akan terbentuk pada permukaan media air kelapa setelah diinkubasi selama beberapa minggu.

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan nata de coco dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nata de cocoKelTinggi awal media (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

B1200,3 cm0,8 cm01540

B21,500,5 cm0,6 cm013,3340

B32,900,3 cm0,5 cm010,3417,24

B4200,4 cm0,5 cm02025

B51,500,5 cm0,8 cm033,3353,33

Berdasarkan Tabel 1. di atas diketahui bahwa tinggi awal media, tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata yang terbentuk pada hari ke-7 dan 14 inkubasi masing-masing kelompok berbeda-beda. Hasil pengamatan yang diperoleh setiap kelompok pun berbeda-beda. Namun untuk ketebalan nata pada hari ke-0 dan % lapisan nata yang terbentuk adalah sama untuk semua kelompok yaitu 0. Pada hari ke-7 dan hari ke-14 terlihat adanya peningkatan tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata pada semua kelompok. Ketebalan nata paling tinggi diperoleh kelompok B2 dan B5 pada hari ke-7, yaitu sebesar 5 cm, sedangkan ketebalan nata paling tinggi pada hari-14 diperoleh oleh kelompok B1 dan B5, yaitu sebesar 0,8 cm. Ketebalan nata terendah justru terlihat pada kelompok B1 dan B3 di hari ke-7, yaitu sebesar 0,3 cm, sedangkan ketebalan nata terendah di hari ke-14 diperoleh pada kelompok B3 dan B4, yaitu sebesar 0,5 cm. % lapisan nata tertinggi pada hari ke-7 dan 14 diperoleh oleh kelompok B5, yaitu sebesar 33,33% dan 53,33%, sedangkan nilai terendah diperoleh kelompok B3 sebesar 10,34% dan 17,24%.

3

2. 1

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan nata de coco. Astawan & Astawan (1991) mengungkapkan bahwa nata de coco merupakan salah satu produk fermentasi yang terbuat dari air kelapa yang memanfaatkan mikroorganisme Acetobacter xylinum. Karakteristik nata de coco adalah berbentuk padat, kokoh, kuat, memiliki warna transparan, dan bertekstur kenyal. Nata de coco mengandung selulosa dan serat kasar (dietary fiber) yang bermanfaat bagi sistem pencernaan. Namun nilai nutrisi dari nata de coco dapat dikatakan sangat rendah karena kandungan terbesar dari nata de coco adalah air.

Adanya kandungan serat dalam nata de coco sesuai dengan jurnal berjudul Effects of Health Food from Cereal and Nata de Coco on Serum Lipids in Human yang dikemukakan oleh Mesomya et al. (2006) bahwa nata de coco merupakan produk pangan yang mengandung serat pangan organik dalam jumlah tinggi yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri dalam air kelapa. Serat pangan ini merupakan bagian dari sel tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, sehingga bermanfaat bagi pencernaan. Selain itu, nata de coco memiliki selulosa yang tinggi, lemak dan kalori yang rendah, serta tidak mengandung kolesterol. Berdasarkan penelitian juga terungkap bahwa nata de coco baik dikonsumsi untuk menjaga berat badan dan mencegah penyakit kanker colon serta rectum. Dalam jurnal yang berjudul Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose, Halib et al. (2012) menambahkan pula bahwa nata de coco yang berasal dari proses fermentasi oleh bakteri asam asetat Acetobacter xylinum merupakan makanan yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai sumber selulosa murni, sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri. Dalam proses fermentasi, Acetobacter xylinum akan memanfaatkan sumber karbon berupa gula atau glukosa untuk diubah menjadi selulosa ekstraseluler sebagai metabolit.

Berdasarkan pendapat Santosa et al. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Dextrin Concentrations and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco, bakteri Acetobacter xylinum yang akan mengubah komponen gula pada air kelapa menjadi selulosa, dimana selulosa yang terbentuk itulah yang disebut sebagai nata de coco. Nata de coco yang kaya akan serat sangat dibutuhkan tubuh untuk menjaga kesehatan, seperti meningkatkan pencernaan dan mencegah serangan kanker kolon. Czaja et al (2004) menjelaskan bahwa selulosa merupakan bipolimer yang terdiri dari beberapa myofibril. Pada umumnya myofibril ini dihasilkan dari bakteri golongan Acetobacter. Selain itu, bakteri akan membuat selulosa memiliki kekenyalan dan kemampuan mengikat air yang tinggi, rongga yang besar, serta memiliki kemampuan mengkristal yang baik.

3.1. Cara Kerja dan Bahan-Bahan yang DigunakanProses pembuatan nata de coco yang dilakukan pada praktikum kali ini meliputi 2 tahapan utama, yaitu pembuatan media dan proses fermentasi. Pembuatan media dilakukan dengan menggunakan bahan dasar air kelapa dan beberapa bahan tambahan lainnya. Pada proses fermentasi akan dilakukan penambahan starter / mikroorganisme yang memiliki peran untuk menghasilkan nata de coco terlebih dahulu.

3.1.1. Pembuatan MediaVolk & Wheeler (1993) mengungkapkan bahwa pembuatan media perlu dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan makanan bagi sejumlah organisme dan menunjang kondisi lingkungan untuk pembiakan organisme dalam jumlah yang besar. Selain itu media juga dijadikan sebagai tempat biakan penyuburan dan mendapatkan biakan murni. Pada praktikum kali ini, bahan dasar pembuatan media untuk pembuatan nata de coco berasal dari air kelapa. Hal ini sesuai dengan teori Widayati et al. (2002) bahwa air kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan nata karena air kelapa dapat dijadikan sebagai salah satu sumber isolat bakteri dan sumber substrat selama fermentasi berlangsung. Air kelapa mengandung gula, protein, asam amino, serta berbagai macam vitamin dan mineral yang digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi. Penggunaan air kelapa juga memiliki beberapa kelebihan, antara lain harganya yang cukup murah, mempunyai potensi kontaminasi yang kecil, serta terjamin kontinuitas ketersediaannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Rahman (1992) bahwa air kelapa merupakan bahan yang paling sering digunakan dalam pembuatan nata terutama dalam industri komersial karena harga air kelapa terjangkau, potensi kontaminasinya minimal, serta ketersediaannya melimpah. Almeida et al. (2012) dalam jurnal yang berjudul Minerals Consumption by Axetobacter xylinum on Cultivation Medium on Coconut Water menambahkan pula bahwa dalam memproduksi selulosa dengan strain Acetobacter, media kultur harus kaya akan karbohidrat, protein, vitamin, garam anorganik, dan minral. Oleh karena itu penggunaan air kelapa sebagai media telah optimal dalam memproduksi bakteri Acetobacter karena adanya nutrisi yang terkandung dalam air kelapa. Menurut Palungkun (1996), air kelapa mengandung air sebanyak 91,23%, protein sebesar 0,29%, lemak 0,15%, kabrohidrat 7,27%, dan juga abu sebesar 1,06%. Selain itu juga mengandung nutrisi pendukung lainnya seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa, dan beberapa vitamin B kompleks yang mendukung pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum.

Pembuatan media diawali dengan menyaring 1,2 liter air kelapa dengan kain saring. Astawan & Astawan (1991) menjelaskan bahwa penyaringan ini bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang masih ada. Setelah itu air kelapa dimasak hingga mendidih. Menurut Tortora et al. (1995), proses pemasakan diperlukan untuk mematikan mikroba kontaminan yang terdapat dalam air kelapa. Hal ini sesuai pula dengan teori Astawan & Astawan (1991) bahwa pemanasan air kelapa memiliki tujuan untuk membunuh mikroba patogen yang kemungkinan dapat mencemari produk yang dihasilkan. Jika tidak dilakukan pemanasan, maka kemungkinan akan terdapat mikroorganisme lain yang dapat tumbuh dan secara langsung atau tidak langsung dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang bermanfaat dalam proses pembuatan nata de coco.

Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa(Sumber : Dokumentasi Pribadi)Gambar 2. Pemasakan Air Kelapa(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Selanjutnya dilakukan penambahan gula pasir sebanyak 10% (120 gram) dan diaduk hingga larut sambil tetap dipanaskan dengan api yang tidak besar. Pengadukan dilakukan untuk menghomogenkan seluruh komponen yang ada dalam media. Penambahan gula sesuai dengan pernyataan Awang (1991) yang menyatakan bahwa gula perlu ditambahkan karena gula merupakan sumber karbon organik yang dapat digunakan oleh bakteri. Penggunaan gula pasir ini juga didukung oleh teori Pambayun (2002) bahwa sumber karbon yang paling sering digunakan dalam pembuatan nata de coco adalah sukrosa karena memiliki harga yang murah dan mudah didapatkan. Hayati (2003) menambahkan pula bahwa penambahan gula bertujuan untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor nata de coco yang ideal, serta berperan sebagai pengawet. Konsentrasi gula yang ditambahkan pun juga sudah sesuai dengan teori Sunarso (1982) bahwa konsentrasi optimum gula untuk membuat nata de coco adalah sebesar 10% karena pada konsentrasi tersebut, bakteri Acetobacter xylinum dapat menghasilkan nata yang tebal dan liat, sedangkan keberadaan gula yang berlebih justru akan membuat bakteri Acetobacter xylinum tidak mampu memanfaatkannya secara optimal.

Gambar 3. Penambahan Gula(Sumber : Dokumentasi Pribadi)Gambar 4. Tahap Pengadukan(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Setelah itu dilakukan penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dari volume total air kelapa (6 gram). Awang (1991) mengungkapkan bahwa media yang digunakan pada proses fermentasi harus memiliki syarat minimal yaitu mengandung unsur karbon dan nitrogen. Oleh karena itu, menurut Pambayun (2002) ammonium sulfat yang ditambahkan pada praktikum ini berperan sebagai sumber nitrogen yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas bakteri pembentuk nata. Selain menggunakan ammonium sulfat, sumber nitrogen juga dapat berasal dari protein maupun ekstrak yeast (nitrogen organik), ammonium fosfat (ZA), maupun urea (nitrogen anorganik). Namun ammonium fosfat merupakan bahan yang paling banyak digunakan karena dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter aceti yang merupakan kompetitor bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Dalam jurnal yang berjudul The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-Coco) by Acetobacter xylinum, Jagannath et al. (2008) menjelaskan bahwa penambahan sukrosa sebanyak 10%, ammonium sulfat sebesar 0,5%, dan kondisi pH 4,0 akan menghasilkan ketebalan nata yang optimum karena A.xylinum dapat efektif tumbuh dengan menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon inti dalam air kelapa, sedangkan produksi selulosa dipengaruhi oleh pH dan sukrosa atau konsentrasi ammonium sulfat.

Gambar 5. Penambahan Ammonium Sulfat(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Tidak hanya ditambahkan ammonium sulfat, penambahan asam asetat glasial juga dilakukan. Penambahan asam asetat ini dilakukan hingga media mencapai pH 4-5. Menurut Anastasia & Afrianto (2008), penambahan asam asetat bertujuan untuk menciptakan pH medium yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum. Pambayun (2002) menambahkan pula bahwa bakteri Acetobacter xylinum tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5, namun pertumbuhan akan optimum pada pH 4,3, yaitu pada suasana asam dan tidak dapat tumbuh pada kondisi basa, sehingga penambahan asam asetat hingga pH 4-5 sudah sesuai dengan teori.

Menurut Anastasia & Afrianto (2008), asam asetat glasial yang ditambahkan berperan sebagai zat asidulan yang berfungsi untuk menciptakan pH medium yang sesuai dengan kebutuhan A. xylinum. pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum karena menurut Atlas (1984), pH yang terlalu rendah akan menyebabkan Acetobacter xylinum menggunakan energi secara berlebih untuk mengatasi stress akibat perbedaan pH yang terlalu besar, sehingga aktivitas Acetobacter xylinum menjadi terhenti karena energi yang tersedia telah habis. Setelah mencapai pH 4-5 dengan bantuan pengukuran pH menggunakan pH meter, air kelapa kemudian dipanaskan kembali hingga semua bahan larut (hampir mendidih), kemudian disaring dengan kain saring.

Gambar 6. Penambahan Asam Asetat Glasial(Sumber : Dokumentasi Pribadi)Gambar 7. Pemanasan Akhir(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Gambar 8. Penyaringan Akhir(Sumber : Dokumentasi Pribadi)Gambar 9. Pengukuran pH(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Tahap pemasakan dan penyaringan ini sesuai dengan pernyataan Pato & Dwiloted (1994) bahwa pada tahap akhir proses pembuatan media perlu dilakukan pemasakan dan penyaringan air kelapa kembali. Proses pemasakan ini bertujuan untuk mensterilkan media, sehingga mikroorganisme yang tidak diinginkan dapat terbunuh, sedangkan proses penyaringan bertujuan untuk mendapatkan media yang bersih dan bebas dari kontaminan. Astawan & Astawan (1991) menambahkan pula bahwa pemanasan akhir perlu dilakukan dengan tujuan agar dapat melarutkan gula pasir karena jika gula dalam media tidak larut dengan sempurna, maka gula tersebut akan sulit digunakan oleh bakteri Acetobacter xylinum selama proses fermentasi, sehingga dapat menghambat aktivitas bakteri yang mengakibatkan tidak dapat dihasilkan selaput tebal nata.

3.1.2. Proses FermentasiProses fermentasi dilakukan dengan mula-mula membagi media dalam wadah plastik masing-masing kelompok sebanyak 200 ml. Kemudian diukur tinggi awal medianya. Setelah suhu menurun (hangat), maka ditambahkan starter nata yang berisi bakteri Acetobacter xylinum sebanyak 10% dari media (20 ml). Penambahan jumlah starter yang digunakan sesuai dengan teori Pato & Dwiloted (1994) bahwa untuk membuat nata dibutuhkan starter sebanyak 4-10% dari media. Penambahan starter dilakukan secara aseptis di dalam LAF yang sudah mengalami tahap penyinaran UV. Menurut Hadioetomo (1993), perlakuan aseptis perlu dilakukan untuk menghindari adanya kontaminasi oleh mikroorganisme kontaminan lain dan mencegah adanya infeksi dari bakteri yang merugikan. Untuk memperoleh kondisi aseptis ini, maka sebelum melakukan pengambilan dan pemindahan starter, tangan dan meja dalam LAF (Laminar Air Flow) harus disemprotkan dengan alkohol, serta selama pengambilan dan pemindahan starter dilakukan di dekat bunsen api.

Dwidjoseputro (1994) menambahkan pula bahwa perlakuan aseptis yang dilakukan dalam proses fermentasi bertujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran pada kultur biakan, serta mencegah adanya kontaminasi dari mikroba lain yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi. Penggunaan starter Acetobacter xylinum sesuai pula dengan teori Palungkun (1996) bahwa bakteri Acetobacter xylinum adalah jenis bakteri yang memiliki sifat spesifik, sehingga dapat membentuk selaput tebal pada permukaan cairan fermentasi yang disebut nata. Berdasarkan pendapat Swissa et al. (1980), sebenarnya terdapat beberapa spesies yang termasuk bakteri asam asetat dan memiliki kemampuan membentuk selulosa, namun bakteri asam asetat yang paling banyak digunakan secara komersial adalah Acetobacter xylinum. Castaneda et al. (2007) menjelaskan pula bahwa nata de coco dihasilkan dengan pemanfaatan Acetobacter xylinum yang bersifat aerob obligat, chemotropic, berbentuk ellipsoidal, batang, marupun sedikit melengkung yang tergolong dalam family Acetobacteraceae. Acetobacter xylinum juga tergolong dalam bakteri gram negatif.

Gambar 10. Pengukuran 200 ml Media(Sumber : Dokumentasi Pribadi)Gambar 11. Penuangan Media dalam Wadah Plastik(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Gambar 12. Penambahan Starter Nata dalam LAF (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Selanjutnya air kelapa yang sudah ditambahkan starter nata dilakukan penggojogan secara perlahan agar seluruh starter tercampur homogen dan ditutup dengan kertas coklat. Pambayun (2002) menjelaskan bahwa Acetobacter xylinum membutuhkan oksigen untuk tumbuh, namun oksigen tidak boleh bersentuhan langsung dengan permukaan substrat, sehingga penutupan wadah ini dilakukan dengan menggunakan kertas agar oksigen tetap dapat masuk ke dalam wadah. Penutupan juga dilakukan untuk melindungi nata dari kontaminasi lingkungan sekitar. Setelah itu dilakukan inkubasi selama 2 minggu dengan suhu ruang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pambayun (2002) bahwa bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang, dimana suhu di atas dan di bawah 28C dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat, sedangkan suhu diatas 40C dapat membunuh bakteri tersebut. Rahayu et al. (1993) mengungkapkan bahwa suhu inkubasi harus diperhatikan karena suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan sebagian bakteri mati, namun apabila terlalu rendah justru akan menyebabkan teksturnya menjadi terlalu lunak, sehingga lapisan nata de coco tidak terbentuk. Selama inkubasi, wadah jangan digoyangkan agar lapisan yang terbentuk tidak terpisah-pisah. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata pada hari ke-7 dan 14 inkubasi. Lama inkubasi nata pada suhu ruang selama 2 minggu yang dilakukan pada praktikum ini telah sesuai dengan pernyataan Santosa et al. (2012) bahwa pada tahap pembuatan nata de coco dilakukan fermentasi selama 2 minggu. Hal ini diperkuat pula oleh teori Rahman (1992) bahwa untuk mendapatkan pembentukan ketebalan nata yang optimal dibutuhkan waktu dalam melakukan proses fermentasi berkisar antara 1014 hari. Setelah dilakukan pengamatan terhadap tinggi ketebalan nata pada hari ke-7 dan 14, maka dapat dilakukan perhitungan persentase lapisan nata dengan rumus :

Gambar 13. Pengukuran Tinggi Ketebalan Nata(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Menurut Jagannath et al. (2008) dalam jurnalnya dijelaskan bahwa biomassa nata dapat dihasilkan oleh Acetobacter xylinum yang mengalami pertumbuhan selama proses fermentasi cairan karena adanya kandungan gula dan dalam kondisi yang asam. Biomassa nata tersebut akan muncul pada bagian permukaan dari media yang digunakan. Palungkun (1996) menambahkan bahwa selama inkubasi, proses pembentukan nata de coco akan terjadi dikarenakan sel-sel bakteri Acetobacter xylinum akan mengambil dan menggunakan senyawa gula dari larutan gula yang telah dicampurkan ke dalam air kelapa. Gula tersebut akan menyatu dengan asam lemak dan membentuk prekursor di dalam membran sel. Prekursor yang terbentuk ini akan dikeluarkan secara ekskresi dan dengan bantuan enzim yang dihasilkan, maka akan terjadi polimerisasi glukosa untuk dapat diubah menjadi polisakarida, yaitu selulosa.

3.2. Hasil PengamatanBerdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini diketahui bahwa dari hari ke-0 hingga hari ke-14, ketebalan lapisan nata de coco dan persentase lapisan nata terus mengalami peningkatan pada semua kelompok. Pada hari ke-0 belum terbentuk lapisan nata de coco, sehingga ketebalan pada semua kelompok masih 0 cm. Peningkatan ketebalan nata dan persentase lapisan nata yang terjadi pada hari ke-7 dan ke-14 sesuai dengan teori Lapuz et al. (1967) yang mengatakan bahwa tinggi ketebalan nata dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi. Semakin lama waktu inkubasi, maka lapisan nata yang terbentuk akan semakin tebal. Selain dipengaruhi oleh lama inkubasi, menurut Tranggono & Sutardi (1990), hal lain yang dapat mempengaruhi ketebalan nata adalah keaseptisan selama penambahan starter nata. Hal ini disebabkan karena keberadaan mikroorganisme yang bersifat perusak / patogen berpotensi untuk mengurangi konsentrasi glukosa pada substrat, sehingga berdampak pada pembentukan nata.

Walaupun terjadi peningkatan ketebalan nata, namun jika dilihat secara fisik, tidak terdapat lapisan nata yang kokoh terbentuk. Lapisan nata hanya berupa lapisan-lapisan dan tidak berada di atas cairan. Hal ini tidak sesuai dengan teori Palungkun (1996) bahwa pada fermentasi nata de coco, Acetobacter xylinum memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan tebal pada permukaan medium. Lapisan yang terbentuk di atas medium tersebut merupakan komponen selulosa yang terbentuk dari glukosa dan disebut sebagai nata. Komponen selulosa ini akan membentuk myofibril yang panjang dalam cairan fermentasi, sehingga lapisan tersebut dapat melayang diatas medium. Selain itu, proses fermentasi juga akan menghasilkan gelembung-gelembung karbondioksida yang melekat pada selulosa, sehingga menyebabkan jaringan tersebut terangkat ke cairan dan nata de coco dapat terlihat melayang di atas medium. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Hakimi & Daddy (2006) bahwa nata de coco termasuk produk fermentasi dari substrat cair oleh bakteri Acetobacter xylinum yang berbentuk gel dan mengandung gula serta asam yang terapung pada permukaan mediumnya. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan terjadi gangguan berupa goyangan saat inkubasi karena menurut Palungkun (1996), nata dapat tidak terbentuk di permukaan cairan apabila terjadi gangguan selama fermentasi, misalnya goyangan. Goyangan juga dapat memungkinkan pecahnya nata yang terbentuk.

B5B4B3B2B1

Gambar 14. Hasil Pengamatan Nata de Coco Hari ke-7 (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

B5B4B1B3B2

Gambar 15. Hasil Pengamatan Nata de Coco Hari ke-14 (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Berdasarkan pendapat Seumahu et al. (2007), ketinggian nata yang optimal adalah 1,5-2 cm dengan selulosa gel yang homogen dan mempunyai transparansi yang tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan hasil nata de coco yang pada praktikum ini karena ketinggian nata kurang dari 1,0 cm pada semua kelompok. Menurut Wijayanti et al. (2010), hal ini dapat disebabkan kandungan oksigen yang kurang dalam nata, sehingga pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum terhambat karena ketersediaan oksigen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembuatan nata. Pato & Dwiloted (1994) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan nata adalah tingkat keasaman, temperatur, sumber karbon, sumber nitrogen, dan umur kelapa karena faktor-faktor tersebut akan memberikan pengaruh pada pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yang berperan dalam proses pembuatan nata. Anastasia & Afrianto (2008) mengungkapkan bahwa kondisi pH media yang tidak sesuai dengan pertumbuhan Acetobacter xylinum akan menyebabkan bakteri tersebut tidak tumbuh.

Selain itu, adanya mikroba pengganggu dan pemindahan starter yang dilakukan tidak secara aseptis dapat menyebabkan kontaminasi yang mengganggu pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum, sehingga nata tidak dapat terbentuk. Hal ini sesuai jurnal yang ditulis oleh Jagannath et al. (2008) bahwa kondisi aseptis perlu diciptakan pada saat pembuatan nata de coco karena penggunaan sukrosa (gula pasir) rentan terkontaminasi dengan yeast. Budiyanto (2002) menambahkan bahwa selain pH fermentasi, kebersihan alat juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata. Jika alat yang digunakan dalam proses pembuatan nata de coco tidak steril dan bersih maka dapat menyebabkan kontaminasi dan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum.

Jika dilihat dari hasil pengamatan juga terlihat adanya perbedaan pada hasil pengujian terhadap ketebalan dan persentase lapisan nata tiap kelompok. Pada kelompok B1 dan B3 yang memiliki tinggi awal media berbeda juga justru menghasilkan ketebalan nata yang sama. Perbedaan tesebut dapat terjadi dikarenakan wadah yang digunakan pada masing-masing kelompok berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Mashudi (1993) bahwa ketinggian media pada wadah dalam proses pembentukan nata dapat mempengaruhi ketebalan lapisan nata yang terbentuk. Semakin dangkal dan luas permukaan wadah, maka akan menghasilkan ketebalan nata yang semakin tinggi. Hal ini dikarenakan adanya oksigen yang cukup dan rata pada lapisan nata.

4. KESIMPULAN

Nata de coco merupakan produk fermentasi yang terbuat dari air kelapa yang memanfaatkan mikroorganisme Acetobacter xylinum. Nata de coco berbentuk padat, kokoh, kuat, memiliki warna transparan, dan bertekstur kenyal. Acetobacter xylinum mengubah komponen gula menjadi selulosa, dimana selulosa yang terbentuk disebut sebagai nata de coco. Proses pembuatan nata de coco meliputi 2 tahapan utama, yaitu pembuatan media dan proses fermentasi. Air kelapa optimal sebagai media untuk memproduksi bakteri Acetobacter. Gula berperan sebagai sumber karbon organik yang digunakan oleh bakteri, pengawet, dan pemberi tekstur, penampakan, serta flavor nata de coco. Konsentrasi optimum gula untuk membuat nata de coco adalah sebesar 10% Ammonium sulfat sebanyak 0,5% berperan sebagai sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas bakteri pembentuk nata. Bakteri Acetobacter xylinum tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5 dan tumbuh optimum pada pH 4,3. Asam asetat glasial berperan sebagai zat asidulan untuk menciptakan pH medium yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum. Penambahan starter sebanyak 4-10% dilakukan secara aseptis untuk menghindari kontaminan dan mencegah adanya infeksi dari bakteri yang merugikan. Semakin lama waktu inkubasi, maka lapisan nata yang terbentuk semakin tebal. Proses fermentasi menghasilkan gelembung CO2 yang melekat pada selulosa, sehingga nata de coco terlihat melayang di atas medium. Ketinggian nata yang optimal adalah 1,5-2 cm. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata oleh pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pH, ketersediaan oksigen, suhu inkubasi, sumber karbon dan nitrogen, umur kelapa, serta kondisi aseptis. Semakin dangkal dan luas permukaan wadah dalam proses pembuatan nata, maka akan menghasilkan ketebalan nata yang semakin tinggi.

Semarang, 8 Juli 2015Asisten Dosen, Wulan Apriliana Nies Mayangsari

Melita Mulyani12.70.0080

5. 6. DAFTAR PUSTAKA

Almeida, D. M.; R. A. Prestes; A. F. da Fonseca; A. L.Woiciechowski & G. Wosiacki (2012). Minerals Consumption by Acetobacter xylinum on Cultivation Medium on Coconut Water. Brazilian Journal of Microbiology, Vol. 44 (1) : 197-206. Brazil.

Anastasia, N. & Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II, Universitas Lampung. Lampung

Astawan, M. & M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial-Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Budiyanto, M. A. K. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Gizi. UMM Press. Malang.

Castaneda, L.; F. G. Pineda & Joselito D. G. (2007). Evaluation of Different Acidifying Agents for Acetobacter xylinum Pellicle (Nata de Coco) Production. Journal of Tropical Biology, Vol. 5 (6) : 32-34.

Dwijoseputro, D. (1994). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hakimi, R & Daddy B. (2006). Aplikasi Produksi Bersih (Cleaner Production) pada Industri Nata de Coco. Jurnal Teknik Mesin, Vol. 3 (2) : 89-98.

Halib, N; M. C. I. M. Amin & I. Ahmad (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana, Vol. 41 (2) : 205-211.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju & A. S. Bawa. (2008). The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-Coco) by Acetobacter xylinum. World J. Microbiol Biotechnol, Vol. 24 : 2593-2599. India.

Lapuz, M. M.; Gallardo, E. G. & Palo, M. A. (1967). The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science, Vol. 96.

Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata de Coco. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta, IPB. Bogor.

Mesomya, W.; V. Pakpeankitvatana; S. Komindr; P. Leelahakul; Y. Cuptapun; D. Hengsawadi; P. Tammarate & P. Tangkanakul (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata de Coco on Serum Lipids in Human. Songklanakarin J. Sci. Technol., Vol. 28 (1) : 23-28. Thailand.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70-77.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentrations and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 (1) : 6-11. Malang.

Seumahu, C. A.; A. Suwanto; D. Hadisusanto & M. T. Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia, pp. 65-68.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. [Skripsi]. UGM. Yogyakarta.

Swissa, M.; Aloni, Y.; Weinhouse, H. & Benziman, M. (1980). Intermediary Step in Acetobacter xylinum Cellulose Synthesis Studies with Whole Cells and Cell Free Preparation of the Wild Type and A Celluloses Mutant. J. Bacteriol., Vol. 143 : 1142-1150.

Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

Volk, W. A. & M. F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Widayati, E.; Sutarno & R. Setyaningsih. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart, Vol. 4 (2) : 32-35.

Wijayanti, F.; Sri K. & Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey Tahu dan Substrat Air Kelapa. Jurnal Industria, Vol. 1 (2) : 86-93.

7. 8. LAMPIRAN8.1. PerhitunganRumus :

Kelompok B1 Hari ke-7 Hari ke-14

Kelompok B2 Hari ke-7 Hari ke-14

Kelompok B3 Hari ke-7 Hari ke-14

Kelompok B4 Hari ke-7 Hari ke-14

Kelompok B5 Hari ke-7 Hari ke-14

8.2. Laporan Sementara8.3. Jurnal